1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Kembara hati

Discussion in 'Fiction' started by lrk, Jan 28, 2015.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Dalam diam kutitipkan semua tanya tentangmu
    Menginginkan yang terbaik selalu untuk dirimu
    Hanya cinta, hanya rasa yang akan sanggup bertahan
    Sampai kapan kauharapkan yang lalu akan kembali?

    Reff:
    Merindukah engkau untuk ada dan kembali di pelukku?
    Menginginkan engkau mengakhiri kembara hati kau jalani

    Dan lepaskan segala sesal, dan kuingin bersamamu
    Dalam hujan, dalam awan ku merasakan dirimu
    Dan benarkah ada cinta masih tersisa untukku?
    Dan benarkah ada cinta di dalam hati kecilmu ...


    Aku terbangun dari tidurku yang tak pulas. Memimpikan sesuatu yang aneh semalam. Dalam mimpi tersebut, aku berdiri di atas sebuah puncak gunung, memandang ke bawah, memandang bunga yang ada di dekat kakiku. Aku ingin memetik bunga itu. Aku ingin menggenggam bunga itu. Aku ingin mencium wangi bunga itu dan membawanya pulang. Tapi jangankan untuk melakukan itu semua. Hanya menekukkan lutut dan berada lebih dekat saja aku tak sanggup. Aku tak bisa. Sekuat-kuat inginku. Sebesar apapun tekadku. Aku tak bisa.

    Dan lalu aku terbangun, jendela kamarku sudah terbuka, menghembuskan angin pagi dan udara segar ke dalam kamar. Menyeruakkan dingin yang menggigil ke seluruh tubuhku. Aku melihat jam wekerku, 5.30 pagi. Ah mungkin, dia datang lagi tadi ketika aku tertidur. Tiba-tiba seekor burung gereja hinggap di jendelaku. Dan seekor lagi. Seakan menyapaku, memberikan salam selamat pagi dunia. Satu burung menjejak terbang, yang tertinggal pun terbang mengejar. Rasa sakit tiba-tiba menyesak hatiku. "Apakah bila aku punya sayap, aku akan dapat mengejarmu?" Rindu ini terlalu nyata, Raine.

    Mimpi yang tak bisa kuartikan. Pagi yang terlalu indah.
    Dan tiba-tiba aku tersadar, aku masih menginginkanmu.


    EPISODE 1 - KEMBARA HATI (27 SEPTEMBER 2009)

    "Sierra! Bangun! Itu si Kikan udah krang kring krang kring di depan."

    "Iya, iya, tumben cerewet banget lo pagi-pagi Lowry gendut!"

    Aku masih menyelesaikan kumur-kumur mouthwash setelah sikat gigi.

    Tubuhku terbungkus dengan paduan celana training dan jaket sporty. Ketika aku keluar dari kamar, kulihat Lowry sedang asyik membaca surat kabar paginya.

    "Sarapan dulu gak?" tegurnya, sambil mata tak lepas dari koran yang sedang dibaca.

    "Entar aja deh sepulangnya."

    Aku mengambil kunci sepeda yang berada di dalam laci di dekat televisi. Dan tiba-tiba aku ingat sesuatu.

    "Low, entar bokap lo jadi mampir ke sini? Enggak kan?"

    "Ah, paling dia mampir tanpa kabar. Siap-siap ajalah. Gw sih udah ga ngaruh ama bokap. Masa bodo dia mau ngoceh apa lagi."

    "Ok, deh... lo siap-siap earphone aja, ama kupluk, jadi pas bokap lo ngemeng lo puter tu PERFECT-nya Simple Plan."celotehku riang.

    "Haha .. ngaco. Btw, lo lama ga jalan ama si Kikan?"

    "Tauk, paling entar mampir bentar ke rumah dia," sambil menebar senyum penuh makna.

    "Huuu .. kesempatan lo. Dasar PLAYBOY! Buaya Darat!" Lowry mencoba menimpuk dengan bantal sofa, tapi aku sudah berlari ke luar.

    Di luar, Kikan cantik nan sexy sedang memainkan sepedanya berputar-putar.

    "Kak Sierra, lama amaat sih!"

    "Bawel, gua tidur lagi nih"

    "Lain kali, Kikan banguninnya pake molotov aja lah!"

    "Woy, cantik-cantik sadis!"

    "Orang yang buat Kikan menunggu pantasnya dibom"

    Halah. Dasar bocaah. Lagian ngapain sih gw ama bocah ini. Bagus dia ga di bawah umur. Seusai melepaskan gembok sepeda, aku pun langsung meluncur.

    "Kejar, kalo bisa!"

    "Eh Kak Sierra curang. Tunggu!"

    --//--​


    Minggu pagi yang sama, menunggu di depan sebuah travel Bandung-Jakarta di daerah Cihampelas, Raine terlihat sedikit uring-uringan.
    Masih terlintas dalam ingatannya, percakapannya dengan Max Alfar, pria yang tak kenal lelah mencoba mendekatinya selama tiga bulan terakhir ini, sejak ia menjadi tenaga pengajar di sebuah Bimbel ternama di Jalan Supratman, Bandung.

    "Raine, besok malam, aku mau kita dinner di tempatku ya, boleh?"

    "Boleh," jawabnya setengah hati.

    "Baiklah kalau begitu. Aku jemput atau kamu datang sendiri?"

    "Aku bisa datang sendiri, Max."

    Itu kata-katanya tiga hari yang lalu. Menjanjikan kekasihnya untuk spend some quality time together, a candlelit dinner, tapi kini ia menyesalinya.
    Handphone Nokia E63 di tangannya bergetar.

    SMS dari Fiona.
    : 'Sampe sini jam berapa, kira-kira say?'

    Dengan cepat ia me-reply SMS tersebut
    : 'Masih di tempat travel. Dua tiga jam lagi lah.'

    Tiba-tiba sapaan seorang pria paruh baya dengan logat Sunda yang kental mengejutkannya, "Neng, aya deui koperna?"

    "Ga ada pak, udah mau berangkat ya?"

    "Sok naek neng. Tinggal nunggu supirnya masih di toilet."

    Bye Max, gumam Raine dalam hati.

    —//—​


    Masih pagi yang sama, Max Alfar tengah merencanakan segala sesuatunya untuk malam romantisnya bersama Raine malam ini. Ia bahkan sudah meng-cancel rencana futsal bareng rekan sekantornya. La la la. Hati Max bersenandung gembira. Ia hidupkan mobil Honda Jazznya untuk memanaskan mesin.

    "Mbok," ia memanggil pembantunya. Seorang wanita tua yang sudah memasuki usia 50an. Max memanggilnya Mbok Asih.

    "Ya pak?" Mbok Asih berjalan bergegas dari dalam ke teras depan.

    "Mbok, tolong saya bersihin rumah ya. Dipel sampai wangi. Saya mau belanja dulu ke Carrefour. Soalnya nanti sore saya mau masak-masak. Raine mau datang nanti malam."

    "Baik pak. Pewanginya pake yang mana pak?"

    "Pake yang wangi apel saja. Oh ya terus itu tolong nanti kalau Pak Rudi datang, uang iuran keamanan sama kebersihan sudah saya amplopin di atas meja dekat televisi."

    "Iya pak. Nanti saya kasihkan, kalau pak Rudinya datang."

    -//-​


    Masih pagi yang sama, Lowry sedang gelisah, karena sebentar lagi Ayahnya akan datang. Edward Lowry Senior, seorang perfeksionis yang selalu mengganggu hidupnya sejak ia dan ibunya bercerai. Ketika perceraian itu terjadi Lowry baru berusia delapan tahun. Dan ketika Lowry kecil memilih untuk ikut ibunya, ayahnya merasa sangat kecewa. Lowry sendiri tidak tahu mengapa orang tuanya bercerai. Ia menganggap bahwa ibu dan ayahnya adalah dua orang yang terlalu ambisius dalam mengejar karir masing-masing.

    Dampak positifnya adalah Lowry tidak pernah kekurangan uang. Setiap bulan setidaknya dua puluh juta masing-masing dari ibu dan ayahnya akan mengalir ke rekeningnya. Ayah dan ibunya seakan-akan berlomba-lomba untuk memberikan materi pada Lowry. Bedanya, ibunya tidak campur tangan dalam hidup pribadinya. Sedangkan ayahnya, meskipun sudah minggat ke Jepang sejak ia bercerai, setidak-tidaknya tiga kali dalam setahun akan menyambangi Lowry secara pribadi, dan tiap kunjungan itu adalah 'hari neraka' bagi Lowry Junior.

    Hari tersebut secara tipikal akan dipenuhi dengan kritik dan pertanyaan. Mulai dari keadaan rumah, cara berpakaian, berat badan (Lowry Junior agak bertubuh gempal), asmara, hingga pekerjaan atau pun kuliah.
    Nanti siang, 'monster' kritik pemberi uang itu akan datang. Di e-mailnya, Ayahnya mengatakan bahwa ia membawakan Lowry kejutan besar. Inilah yang membuat Lowry sangat gelisah.

    "Monster kritik akan memberi kejutan, well let's see," kesahnya.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    "Kikan! Awas!"

    Sierra berteriak keras. Ia berada sekitar 5 meter di belakang sepeda Kikan ketika dari arah kiri bundaran taman komplek ada mobil Lancer biru yang melaju kencang.

    Tak terelakkan benturan antara bumper depan mobil sedan tersebut, meskipun mobil tersebut telah mengurangi kecepatannya. Dicium sedan, sepeda Kikan beserta yang menaikinya terhempas setengah terbang ke arah bundaran rumput di sebelah kanannya. Kikan terbanting ke tanah disusul sepedanya menimpanya, menyebabkan sakit yang sangat di bagian tubuh sebelah kanannya. Dengan cepat Sierra, turun setengah melompat dari sepedanya dan berlari bergegas ke arah Kikan.

    "Gembel!" rutuk Sierra dalam hati

    Pintu sedan terbuka. Seorang anak kecil yang mungkin masih duduk di SMP keluar dari pintu pengemudi dengan wajah pucat.

    "Mbaknya mati ya kak?"

    Sierra melihat ke arah bocah tersebut seluruh celana, kaki, dan sepatunya basah oleh air seni.

    "Enggak. Enggak mati. Sini lo bantuin gw. Kita bawa ke rumah sakit."

    Si bocah tersebut dengan sigap membantu mengangkat sepeda Kikan.

    "Eh bocah, lu panggil satpam yang ada di pos depan. Suruh kesini biar jagain sepeda gw."

    Bocah tersebut pun buru-buru berlari ke arah pos depan yang letaknya hanya beberapa puluh meter saja.

    "Kak Sierra, gw kenapa?" ucap Kikan yang mulai siuman.

    "Hah? Lo disenggol mobil. Trus terbang kaya superman, nyungsepnya untung pas di rumput."

    "Aduuuh, kaki Kikan sakit banget kak."

    "Iya, bentaran juga gw bawa ke rumah sakit. Yang nabrak lo bocah SMP. Jadi gw ga bisa marah-marah."

    "Gulung aja tu bocah Kak. Permak mukanya,"

    Aku menyentil hidung Kikan.

    "Udah sengsara juga masih aja bakat sadisnya lu."

    "Hehehe," Kikan tersenyum kecil.

    Dua orang satpam datang dengan langkah tergesa-gesa bersama si Bocah,
    "Ada apa nih bang?" kata salah satu satpam.

    "Gw mau ke rumah sakit ama anak ini. Tolong jagain sepeda gw, ama sepeda yang penyok ini. Entar besok maleman baru gw ambil."

    "Iya bang."

    "Jangan lo bawa ke tukang loak tuh sepeda."

    "Iya bang, buset takut amat."

    Kedua orang Satpam tersebut pun kembali ke pos. Konyolnya, tadinya mereka rebutan sepeda Sierra.

    "Gw naek yang masi bagus. Lo bawa aja yang udah ringsek noh."

    Dan satu orang satpam tersenyum sambil naik sepeda Sierra yang masih bagus, sedangkan satpam satunya lagi dengan malas-malasan kembali ke arah sepeda Kikan yang sudah penyok dan copot rantainya, dan mulai mendorongnya ke pos jaga dengan malas.

    Sierra mengangkat tubuh Kikan, menggendongnya dengan kedua tangannya, Kikan sembari tersenyum merangkulkan tangannya di leher Sierra. "Ini kaya, pengantin baru gendong istrinya kalau mau masuk rumah baru, ya kak?" bisik Kikan manja.

    "Jiah, otak lo gegar? Ini gw mau bawa lo ke pemotongan daging, buat dimutilasi." Sierra menjawab sekenanya.

    Kikan membalas dengan memanyunkan bibirnya. Bibirnya yang bawah ia majukan dan buat lebih tebal dari bibir atasnya.

    "Ih jelek ih."

    Si bocah yang punya mobil membukakan pintu belakang, Sierra pun mendudukkan Kikan secara hati-hati di kursi belakang. Setelah memastikan Kikan dalam posisi yang cukup nyaman, Sierra menutup pintu belakang.

    "Kuncinya mana sini gw yang bawa mobil," ucapnya pada si bocah.

    "Ini bang," si bocah menyerahkan kunci mobil pada Sierra.

    Ketika Sierra sudah duduk di belakang kemudi dan bocah itu duduk di bangku depan sebelah Sierra, si bocah kembali mengatakan sesuatu.

    "Bang boleh kerumah dulu ga, buat ganti celana? Lembab nih," ucapnya dengan muka memelas.

    "Aduh, lo pake ngompol segala sih, ribet banget. Udah biarin, ntar juga kering sendiri."

    Sierra pun langsung tancap gas ke rumah sakit terdekat.

    —//—​


    Masih siang di hari Minggu yang sama. Dering nada penanda SMS masuk di telpon genggam milik Lowry.
    :Ayah sudah di depan rumahmu. Kamu ada kan?

    Lowry yang tertidur di sofa dengan televisi menyala gelagapan langsung berlari ke arah wastafel, dan mencuci mukanya agar tidak terlihat muka bantal. Lalu segera ia lari menuju pintu, membukanya dan mendapati seorang wanita muda cantik berparas sangat Jepang, dan ayahnya berdiri di depan pagar rumahnya. Di belakang mereka ada sebuah Nissan Teana berwarna hitam yang sangat elegan.

    Terhenyak sesaat ia memandang ayahnya dalam setelan jas yang biasanya. ABG Jepang tersebut mengenakan celana jeans dan rambut dikuncir dua, bajunya cardigan biru langit dengan kancing terbuka dan shirt putih. Si gadis dan ayahnya sama-sama membawa Samsonite ukuran kecil.

    "Konnichiwa - Lowry san," sapa si gadis.

    "Dear Lord, will you stop staring at us and open this gate?" ucap ayahnya. Lowry tanpa sepatah kata membukakan pintu gerbang kecil tersebut.

    "Siang ayah."

    Ayahnya dan si gadis melangkah masuk kedalam rumah setelah melepaskan sepatu mereka sebelum teras.

    "A bit messy as usual, you hardly change, young man."

    "Silakan duduk, ayah, mbak.."

    Ayahnya pun duduk. Si gadis Jepang masih berdiri dan melihat-lihat ke sekeliling interior rumah. Ia memperhatikan beberapa foto Sierra dan Lowry yang terpajang di dinding dan berbagai sudut rumah.

    "Ayako, speak English, this man doesn't understand any Japanese at all."

    "Yes, otousan."

    "Lowry, let me introduce you, this is your step sister. Ayako Lowry."

    What ... This girl is my sister?

    "Hello .. oniisan, it's nice to meet you," ucap gadis itu seraya mengajukan tangannya untuk bersalaman.

    "Hello .. welcome to Indonesia," Lowry menjawab dengan mulut terbuka, ia merasa seperti menjadi pemandu wisata dadakan.
     
  4. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    —//—​


    Masih di siang hari yang sama. Raine tiba di Jakarta. Ia turun dari travelnya dan dengan cepat menelpon Fiona.

    "Halo, Fio, aku sudah sampai di pool travelnya nih."

    "Oke, aku lagi di jalan, sepuluh menit lagi mungkin sampai disananya. Tunggu sebentar ya say."

    "OK. See you then."

    Menutup telpon ia melangkahkan kakinya masuk ke sebuah Seven Eleven yang ada beberapa meter di sisi pool travel tersebut. Sebuah SMS masuk. Dari Max. Tanpa membaca isinya ia langsung dengan cepat mendelete message tersebut. Mengambil Slurpee, membayar, dan tanpa banyak bicara ia melangkah keluar dan menikmati minumannya di meja tenda yang ada di luar.

    -//-​


    Masih di siang hari yang sama, Max tengah mengitari area sayuran di Carrefour. Ia nampak seperti memikirkan sesuatu, dan tiba-tiba menghentikan troli belanjanya. Mengeluarkan telpon genggamnya dan membuat sebuah pesan singkat.
    :Apakah kau ada alergi makanan tertentu? Aku berpikir untuk membuat menu seafood nanti malam.

    Mengirimkannya.
    Menunggu balasan.
    Dan kita tahu tidak akan ada balasan apapun.

    Lelaki itu menatapi telpon genggamnya dengan penuh harapan. Menghela nafas dalam-dalam. Mencoba untuk tersenyum dan lalu mendorong kembali trolinya.

    —//—​


    Malam hari di hari minggu yang sama. Rumah sakit tempat Kikan sedang dirawat setelah kecelakaan yang menimpanya tadi pagi. Sierra masih mendampinginya. Ia duduk tertidur di sebuah kursi di sebelah Kikan yang sedang tertidur di ranjang. Sebuah majalah menutupi wajahnya.

    Tiba-tiba lampu menyala. Ruangan kamar itu menjadi terang. Seorang dokter dan dua orang perawat datang. Salah satu perawat menyibakkan tirai yang membatasi pandangan ke pasien di sebelahnya.

    'Selamat malam ya, maaf mengganggu tidurnya nona ... Kikan' ucap dokter tersebut.

    Sierra yang terjaga segera meletakkan majalah yang tadi menutup mukanya ke kursi yang tadi ia duduki. Kikan pun segera terjaga manakala salah satu suster menyentuh lengannya. Perawat tersebut nampaknya sedang mengukur tekanan darahnya.

    "Malam dokter," kata Kikan pelan.

    "Bagaimana yang dirasa? Masih nyeri-nyeri ya?" ucap si dokter ramah.

    "Tadi iya dok, waktu baru masuk, tapi sekarang sakitnya sudah agak berkurang."

    "Iya, tapi hasil pemeriksaan tadi siang, ada sedikit keretakan di jari kaki sebelah kanan. Jadi kaki nona untuk sementara waktu harus digips, dan kalau jalan penopangnya juga harus selalu dipakai ya."

    "Berapa lama itu dok?" tanya Sierra.

    "Ya, normalnya sekitar 3 bulan hingga 4 bulan, biasanya pemulihan akan berlangsung lebih cepat jika asupan kalsiumnya juga dijaga ya."

    "120/80, Dok," ucap salah seorang suster.

    "Ok, normal ya, enggak ada demam juga kan ya. Baiklah kami tinggal dulu, selamat beristirahat kembali nona Kikan. Apabila ada sesuatu yang dirasa perlu silakan hubungi perawat, bisa menggunakan tombol pemanggil di sisi bed nya ya."

    "Terima kasih banyak dokter, suster," ucap Sierra sementara Kikan hanya mengangguk lemah.

    Lampu kamar pun kembali dipadamkan saat suster dan dokter meninggalkan ruangan. Dalam keremangan suasana, satu-satunya sumber cahaya adalah lampu yang ada di balkon, Sierra kembali duduk di kursi, sedangkan tangannya menggenggam tangan Kikan yang terulur ke arahnya. Kikan memecah keheningan.

    "Ini romantis juga ya."

    "Ya," jawab Sierra pelan.

    "Kak Sierra sayang Kikan?"

    Hening sejenak. Lalu Sierra menggenggam tangan Kikan lebih erat.

    "Tentu, kakak sayang Kikan."

    -//-​


    Masih di malam yang sama. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Janji makan malam Raine akan datang pukul 7, itu sudah satu jam yang lalu. Mbok Asih belum bisa tertidur, ia masih mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Ia terus mengamati tingkah majikannya di ruang makan. Max masih duduk dengan tenang, dengan lilin yang menyala. Di hadapannya terhidang berbagai macam menu yang telah ia siapkan untuk makan malam bersama Raine, bahkan lengkap dengan wine dan es segala. Max masih tidak mengerti mengapa Raine tidak datang. Bahkan tidak membalas satu pun dari beberapa sms yang dikirimnya hari ini.

    Pria lain mungkin akan sudah menghempaskan meja makan bila berada dalam posisi Max saat itu. Tetapi Max mencoba untuk terus menekan apa yang ia rasakan menusuk di dalam hatinya. Semakin ia mengingat Raine, semakin perasaannya menjadi perih. Belakangan ini Raine kian jauh dari genggamannya.

    "Mbok Asih," ucap Max tiba-tiba pelan.

    Sang pembantu terhenyak kaget. Ia tidak menduga si majikan akan memanggilnya. Cepat-cepat ia merapatkan celah pintu yang terbuka sedikit itu.

    "Temani saya makan mbok."

    Sebenarnya nada suara Max biasa saja, tetapi ada sesuatu yang bisa ditangkap dan dirasakan oleh Mbok Asih yaitu kekecewaan dan luka yang mendalam. Mbok Asih merasakan hal tersebut, hingga ia pun bangkit dan keluar dari kamarnya yang gelap menuju ruang makan yang pencahayaannya sudah diset dengan remang yang hangat. Perlahan, Mbok Asih berjalan menuju kursi yang seharusnya ditempati oleh Raine. Ia duduk di situ.

    "Maaf, mungkin hidangannya sudah agak dingin. Mari kita makan." Max berkata tanpa ekspresi dan memulai seluruh prosesi makan malam tersebut. Mbok Asih mengikutinya.

    Seraya makan, Mbok Asih meneteskan air mata.

    —//—

    Malam hari yang sama, pukul 10 malam. Raine sedang sibuk mengganti saluran televisi puluhan channel di apartemen Fiona. Suara televisi itu ia setel mute. Ia hanya mengenakan piyama dan berbaring di atas sofa depan televisi. Asap rokok mengepul di ruangan tersebut. Beberapa kaleng coca-cola, wadah es batu serta kotak Ayam Goreng KFC berserakan di meja depan televisi.

    Fiona sendiri sudah sejak tadi terkapar di kasur yang ia bentangkan di depan televisi tersebut. Suara headphonenya yang memutar musik dari iPod sedemikian kencangnya, hingga terdengar alunannya oleh Raine.

    Raine mematikan rokoknya di asbak dengan sedikit tekanan dan putaran. Menenggak tetes tetes terakhir dari kaleng minuman ringan berwarna merah. Ia mendekat dan memperbaiki selimut yang dikenakan Fiona. Ia mengambil iPod yang tergeletak dan melihat judul lagu yang sedang diputar di layar kecil,

    : IF - EMI FUJITA

    Ia melepaskan headphone dari telinga Fiona secara hati-hati dan mendengarkan lagu tersebut selama beberapa detik. Lagu yang sangat mengalun tersebut sanggup menyentuh hati Raine. Tiba-tiba ia merasakan kesedihan entah darimana. Ia pun mematikan iPod tersebut dan meletakkan headphone beserta gadgetnya di atas meja.

    Melangkah ke arah wastafel. Menyikat gigi. Mouthwash. Membasahi muka. Dan sekarang ia siap untuk tidur, setelah hari yang melelahkan. Lampu meja remang di dekat sofa pun ia padamkan. Tangan kiri yang memegang remote televisi menekan tombol power off. Raine membaringkan dirinya di sebelah Fiona.

    —//—​
     
  5. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Masih malam yang sama. Pukul sebelas malam. Ayako sudah pergi tidur sejak jam 9 tadi. Hanya Lowry dan ayahnya duduk mematung di depan televisi tanpa ada saling tegur sapa. Sudah satu jam keadaannya seperti itu. Lowry malas untuk memulai percakapan. Ia tahu ayahnya biasanya akan mencerewetinya dalam banyak hal.

    "Bagaimana, apa kau ada niat untuk ikut ayah ke Jepang?" ayahnya tiba-tiba saja memecah kesunyian.

    Lowry tidak menjawab apapun.

    "Kau tahu, kau bisa melihat banyak hal baru seandainya kau memperluas pandanganmu."

    "Aku tidak tahu aku punya adik tiri hingga hari ini. Apa ada rahasia lain yang perlu engkau ceritakan hari ini, Ayah?" Lowry Junior menggeram kesal.

    "Kau akan berulang tahun yang ke 26 bulan Oktober yang akan datang, benar?"

    "Ya,"Lowry tak tahu alasan ayahnya menanyakan hal tersebut.

    "Kau tahu berapa umurku?" tanya ayah Lowry balik.

    "Kau ... kau berusia 55 tahun bukan?"

    Ayahnya hanya tersenyum kecil. "Seperti yang kuduga, kau bahkan tak yakin kau tahu umurku. Nampaknya, aku benar-benar dalam masalah."

    "Apa .. mengapa kau mengatakan .. masalah apa maksudmu?" Lowry Junior tambah bingung dibuat oleh ucapan ayahnya yang tak sedikitpun ia mengerti.

    "Malam ini, malam terakhir ayah akan mengganggumu. Ayah hanya meminta agar kita dapat berkomunikasi dengan baik malam ini. Maukah kau memberikanku satu kesempatan ini?"

    "Ya ... tentu saja .. mengapa tidak .. mari bicara."

    "Aku dan ibumu berpisah saat kau baru berusia delapan tahun. Kau masih sangat kecil waktu itu. Aku pun masih bergelut dengan berbagai macam ketidak pastian dalam menjalani pekerjaanku. Saat itu, ... satu-satunya yang ada dalam pikiranku adalah pekerjaanku. Jadi, dengan sangat terpaksa aku membiarkan kau diasuh oleh ibumu."

    "Kau ... lebih memilih pekerjaanmu daripada aku?"

    "Tidak. Bukan seperti itu. Aku tahu aku tidak pandai dalam bergaul dengan orang. Saat itu adalah masa-masa yang sangat sulit dalam hidupku. Aku sendiri tidak yakin aku bisa melewatinya. Kau hanya akan menjadi anak yang kurang pendidikan bila ikut denganku. Untungnya, ibumu masih memiliki keluarga yang sangat baik. Meskipun ia sibuk berkarir, aku yakin kau tidak akan terlantar begitu saja."

    "Wah, kau sangat perhatian, terimakasih." Lowry masih tetap sinis.

    "Aku ingin tahu, apa pendapatmu tentang diriku selama ini. Ayolah, kau bisa mengatakan yang sejujurnya. Aku ingin mendengarkannya."

    "Pendapatku tentang Ayah. Kau benar-benar ingin tahu? Ayah meninggalkan ibu. Ayah bersikap seenaknya sendiri dan mementingkan masa depannya sendiri. Ayah ingin lepas dari semua beban dan tanggung jawab. Ayah menginginkan wanita yang lebih dari ibu. Ayah adalah seorang yang egois. Seorang yang berfikir bahwa dengan uang maka engkau bisa memiliki seluruh isi dunia. Dan oleh sebab itu semua, aku tak ingin menjadi orang seperti Ayah!" Lowry memuntahkan seluruh perasaannya yang terpendam selama ini. Tangannya bahkan sedikit mengepal kencang.

    "Bagus. Sekarang Ayah ingin tahu, bagaimana caranya agar Ayah bisa terlihat baik di matamu?"

    "Cara? Tidak akan ada cara. Semua kepahitan yang telah terjadi di masa lalu tidak akan menghilang begitu saja dengan beberapa perbuatan baik di saat ini dan masa depan. Kau seharusnya tahu itu. Kau seharusnya berfikir lebih jauh dan lebih panjang ke depan sebelum meninggalkan aku dan ibu."

    "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana menurutmu semuanya akan terjadi saat ini seandainya dulu aku membawa engkau bersamaku ketika aku berpisah dengan ibumu? Ibumu akan hancur hatinya karena kehilanganmu,dan dia akan jatuh sakit-sakitan. Aku tidak akan sanggup untuk membiayaimu, dan kau mungkin tidak akan menyelesaikan sekolah dasar. Aku mungkin tidak akan punya kebebasan dan keberanian untuk pergi mengadu nasib di negara orang. Dan saat itu semua terjadi, kau akan menyalahkanku atas apa yang terjadi dengan ibumu dan dirimu."

    "Kau membela diri? Bisanya kau." Lowry masih kesal.

    "Aku tidak membela apapun. Tapi kau tidak melihat semua ini dengan sudut pandang yang benar."

    "Sudut pandang apa yang benar?! Mengapa Ayah dan Ibu harus berpisah? Mengapa kalian tidak bisa menyatukan perbedaan dalam hidup kalian? Mengapa kalian begitu egois?"

    "Ada kalanya segala sesuatu memang mesti terjadi. Ada kalanya gelas akan pecah dan yang terbaik yang bisa dilakukan adalah mencari gelas yang baru. Ada kalanya hal-hal tidak bekerja seperti apa yang kita mau, dan yang terbaik yang bisa dilakukan adalah menghadapinya dengan keberanian, meskipun pahit, meskipun sedih, meskipun kelam. Itulah yang namanya hidup! Kau 26 tapi pengalaman hidupmu belum ada apa-apanya! Kalau kau sudah merasakan luka yang mematikan hatimu, dan kau sanggup bangkit lagi, menghadapi dan menjalani hidup dengan luka itu, baru kau bisa bicara. Apa kau pikir kau bisa melakukannya lebih baik dariku?!"

    "Aku bisa melakukannya semuanya lebih baik darimu, Ayah! Aku tidak akan meninggalkan seorang wanita yang kucintai, karena itu akan menyiksa hidupnya bila aku tak ada disisinya. Aku tidak akan seperti kau!"

    "Bagaimana bila adanya dirimu itulah yang menyiksa wanita yang kaucintai? Kau tetap tak akan meninggalkannya?"

    Lowry Junior tertegun sesaat.

    "Apakah kau sedang mencoba mengatakan bahwa Ibu tidak setia padamu? Ibu menyayangi kita semua. Seharusnya kau tahu itu!"

    "Ibumu menyayangi aku tetapi ia tidak mencintai aku. Dan itu sama sekali tidak salah. Kau benar, ia menyayangi kita berdua."

    "Lalu mengapa kau masih meninggalkan kami?"

    "Jika aku masih bersama kalian, kita akan hancur sebagai keluarga. Saat itu aku tidak punya pekerjaan dan penghasilan, Saat kau berusia lima tahun aku dipecat dari pekerjaanku sebagai pelayan, dan selama hampir tiga tahun, aku kesulitan menafkahi keluarga kecilku. Kami, aku dan ibumu, sangat bergantung pada kebaikan hati orang tua ibumu. Di saat yang bersamaan, kau mulai masuk sekolah. Di tempat tinggal kami yang lama, jauh dari rumah orang tua ibumu, sedangkan kantor ibumu ada di dekat rumah kakek nenekmu.Aku bisa merasakan bahwa aku menjadi penghalang bagi banyak hal. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan kau dan ibumu, sebelum nilaiku sebagai laki-laki benar-benar hilang dimatanya. Aku memutuskan untuk meninggalkannya selagi masih ada sedikit cinta tersisa untuk diriku."

    "Kau tahu, kepergianmu itu membuat ibu menangis, dan membencimu, tapi kau tetap melakukannya?"

    "Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Aku lebih bisa hidup dengan kebencian dari ibumu daripada harus hidup dengan kenyataan bahwa akulah yang membuat kalian berdua tidak memiliki masa depan. Dan saat ini, aku percaya bahwa keputusanku waktu itu adalah keputusan yang tepat."

    "Entahlah, Ayah. Aku tak tahu harus berkata apa."

    "Setidaknya, terima kasih karena telah memberiku kesempatan. Masalah tawaranku untuk kerja di Jepang, kau boleh pertimbangkan kapan saja."
     
  6. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    EPISODE 2 - FAKE PLASTIC TREE (28 SEPTEMBER 2009)

    Pagi. Lima pagi. Sierra beranjak melangkah ke luar dari ruangan tempat dimana Kikan dirawat. Pria itu baru saja terbangun. Kikan jadi terjaga mendengar langkah Sierra menjauh dan membuka pintu.

    "Kemana kak?" tanya gadis itu.

    "Aku mau cari musholla dulu, shalat subuh. Kutinggal sebentar gak papa ya?" Kikan mengangguk pelan.

    "Tolong nyalakan saja lampunya kak."

    Sierra pun menyalakan lampu ruangan tersebut dan lalu menutup pintunya. Kebetulan ruangan tempat Kikan persis di depan loket perawat jaga. Sierra melihat ada seorang suster yang sedang berdiri membelakangi loket.

    "Maaf suster, musholla di sini ke sebelah mana ya?"

    Perawat itu membalikkan badan dan melihat ke arah pria yang baru saja bertanya. Ia mengamatinya dengan penuh kekaguman. Sierra memang memiliki kemampuan daya tarik seperti itu terhadap lawan jenisnya. Tubuh yang atletis, dada yang bidang, kulit coklat gelap serta rambut yang tipis namun indah serta alis mata yang tegas membuatnya terlihat bagaikan pahatan patung pahlawan. Sungguh mempesona.

    "Mbak?" tegur Sierra lagi.

    "Oh iya .. iya .. kalau mau ke musholla silakan turun saja nanti dari pintu yang sebelah kiri sekitar beberapa meter di depannya ada musholla," suster tersebut menjelaskan dengan sedikit terbata-bata,

    "Oke. Terima kasih banyak ya." ucap Sierra seraya mengatupkan kedua tangannya dan merapatkannya ke dada. Suatu gestur terima kasih khas Sierra, membuat siapapun lawan bicaranya merasa dihormati.

    "Sama-sama mas."

    Lalu Sierra pun menyusuri selasar rumah sakit, berjalan beberapa meter ke arah tangga turun. Dan akhirnya, ia menemukan juga musholla sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh suster tadi.

    Sierra menggulung lengan kemeja panjang kotak-kotaknya yang kancingnya memang selalu dibiarkan terbuka. Ia juga menggulung celana jeansnya hingga beberapa sentimeter di atas kaki, agar tidak basah terkena air saat wudlu. Jam tangan tali kulitnya ia lepaskan dan masukkan ke saku depan celana jeansnya.

    Sierra pun berwudlu. Betapa percikan-percikan air itu sangat menyegarkan dan mampu menenangkan jiwanya yang gundah. Prosesi bersuci dilakukan dengan sempurna. Setelah itu ia berbalik dan melangkah dengan menjinjit. Ia menengadahkan kedua tangannya dan membacakan doa seusai berwudlu, lalu dengan kaki kanan melangkah masuk ke masjid itu.

    Sierra berdoa. Beribadah. Menunaikan kewajibannya. Berharap agar kesedihan yang selama ini dirasakannya dapat hilang seluruhnya.

    Usai gerakan salam, ia membaca doa dengan khusuk dan tak terasa air matanya menetes.

    —//—​


    Pagi hari yang sama. Fiona sedang memasak sarapan untuk Raine. Raine masih berkutat dengan kosmetik di wajahnya. Fiona berteriak dari dapur. "Raine, apa rencanamu hari ini?"

    "Maksudmu?" Raine menjawab dari dalam kamar.

    "Ya.. maksudku, kamu mau kemana hari ini say?"

    "Enggaklah.. enggak kemana-mana kok."

    "Loh .. enggak kemana-mana kok dandan?"

    Tidak terdengar suara beberapa saat. Fiona masih sibuk membolak-balik omeletnya di wajan. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan tepukan Raine di bahunya.

    "Cantik selalu, selalu cantik... masih inget motto tim cheers kita say? Cheers - Cheers - Cheers Cantiiikkk!"

    Seraya mengulangi kalimat tersebut Raine melakukan gerakan yang selayaknya dilakukan oleh cheerleader. Melihat Raine jejingkrakan, Fiona hanya bisa terkekeh, "Aduh, Jeng, mbok ya inget umur. Ini bukan tujuh tahun yang lalu."

    "S-A-R-A-P-A-N ... SA RA PAN ... YEEEEYY"

    Raine terus tersenyum, jejingkrakan, dan berteriak-teriak seolah dirinya seorang anggota cheers.

    Fiona diam saja. Sebagai sahabat lamanya, ia kenal persis watak dan pembawaan Raine. Bila Raine tersenyum berlebihan seperti ini, ini adalah caranya membunuh kesedihan dan kemurungan yang ia rasakan. Raine selalu seperti itu, menyembunyikan tangisnya dalam tawa. Fiona sadar betul, kemunculan Raine saat ini sangat tiba-tiba, seolah ia sedang melarikan diri dari sesuatu. Kemarin malam, Raine sahabatnya itu masih terus terlihat murung. Dan ia belum menceritakan alasan kedatangannya ke Jakarta. Fiona tidak ingin memulai mengorek kesedihan sahabatnya. Ia menunggu, menunggu Raine membuka perasaan dan menceritakan semuanya.

    "Hey, nona Cheers. Sarapannya sudah siap!"

    "YEEEEEEYYY ... Itadakimaaasu!" Lalu Raine menyantap makanannya dengan lahap.

    Fiona memperhatikan sahabatnya dengan sudut matanya.

    -//-​


    Lowry terbangun pagi itu, masih dalam kantuknya, ia menjangkau telpon genggam yang ia letakkan di balik bantal. Enam pagi. Ia langsung membuat pesan pendek kepada sahabatnya.
    :Sierra, gimana keadaan Kikan, udah baek? Ada yang perlu dibawain lagi dari rumah? Nanti aku minta Mang Udan antar ke rumah sakit kaya kemarin. Bantal/selimut mungkin?

    Ia sudah nyaris terlelap, ketika beberapa menit kemudian sms balasan dari Sierra masuk.
    :Lumayan. Jari kakinya retak. Boleh deh, tolong mang Udan bawain buah sama roti. Thanks you're the best. Btw, bokap lo bikin masalah ga?

    Lowry terhenyak sejenak membaca pesan tersebut. Akhirnya ia membalas.
    :Enggak. Bokap fine-fine aja. Gw mau tidur lagi.

    Dan mengirim sms lain untuk Mang Udan, sopir sekaligus orang kepercayaan Lowry dan Sierra.
    : Mang, nanti tolong beliin buah dan roti. Bawa ke rumah sakit. Sekalian tanya Sierra, baju kotornya cewek itu ada yang mau dilaundry enggak. Ke rumah sakitnya jam 8 an biar nanti siang bisa antar saya ke bandara.

    Mang Udan membalas dengan singkat.
    : Siap laksanakan den Lowry.

    -//-​
     
  7. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Max masih duduk di depan televisi. Mbok Asih baru saja selesai memasak lauk pauk untuk makan siang. Ia sedang mengeringkan piring-piring yang baru selesai dicuci dengan sebuah serbet. Pukul sepuluh di pagi yang sama.

    “Jangan melamun saja pak, enggak bagus.”

    “Saya enggak sedang melamun mbok,” Max mencoba mengelak.

    “Bapak masih memikirkan nona Raine ya?”

    Yang ditanya diam sesaat dan memperhatikan pembantunya yang sedang mencuci piring.

    “Bisa tahu gitu gimana caranya mbok?” Max berucap sedikit tersenyum.

    “Ya iyalah Pak, namanya orang lagi kasmaran ya yang di pikirkan pasti hanya kekasihnya.”

    “Hahaha, si mbok bisa saja. Mana mungkin saya sedang kasmaran. Ini saya sedang patah hati.”

    “Hoalaa, patah hati kok ya nonton televisi, orang tuh kalo patah hati kerja Pak.”

    Kening Max berkerut bingung, merasakan si Mbok agak enggak nyambung.
    “Kok malah kerja mbok?” tanya Max.

    “Ya pak, dulu waktu suami saya masih hidup, pernah satu harian penuh itu kerjaannya nyangkul saja di sawah. Saya dikasih tahu sama keluarga saya.”

    “Lho memang si mbok kemana?”

    “Saya waktu itu ya lagi di Jakarta, mau berangkat jadi TKW di Malaysia. Katanya sih suami saya patah hati karena mau saya tinggal.”

    “Ooh, iya ya, pasti suami mbok enggak mau ditinggal.”

    Max lalu melihat-lihat tumpukan CD yang ada di rak CD dekat televisi. Melihat koleksi kesayangannya.

    “Eh tapi sudah saya enggak jadi ke Malaysia, bulan berikutnya malah suami saya meninggal. Dia itu curang. Gak mau ditinggal, tapi malah ninggalin saya.”

    Nada suara Mbok Asih sedikit terisak tertahan. Max melihat ke arah pembantu tua nya itu. Merasa iba. Mbok Asih berhenti sesaat dari mengeringkan wajan dan piring - piring. Mengerjapkan kedua matanya dan berusaha menghapus tetes air matanya dengan serbet yang tadi digunakan untuk melap piring.

    “Lho Mbok Asih kok malah nangis?” ucap Max bingung

    “Enggak ah, siapa yang nangis, saya cuma keingetan saja Pak. Jengkel saya kalau inget itu jadinya.”

    Max yang tak tahu harus berkata apa mengalihkan pandangannya kembali pada tumpukan CD. Mbok Asih pun akhirnya berhasil mengendalikan semburat emosinya dan kembali bekerja dengan tenang.

    —//—

    ““Kamu lahap banget ya makannya biar badan kecil gitu.’ Sierra mengomentari nafsu makan Kikan yang sedang ia suapi nasi dan lauk pauk dari rumah sakit. Kikan sedang sibuk mengunyah nasi yang baru saja masuk mulutnya. Menenggak setengah gelas air putih, sebelum ia mulai merespon ledekan dari pacarnya itu.

    “Dimana-mana yang namanya kalau lagi sakit itu makannya harus banyak kak.”

    “Apa hubungannya yang sakit kan jari kaki? Kamu makan udah kaya supir truk juga.” Sierra terbahak.

    “Supir truk? Gapapa, aku supir truk yang paling cantik di dunia, sampai-sampai kak Sierra naksir sama supir truknya. Iya kan? Iya kan?” Kikan mengucapkannya sembari mengedipkan matanya beberapa kali.

    “Idih .. apaan tuh? Mata kamu kenapa? Mau aku panggilin suster ya?” Sierra meletakkan sendok dan piring nasi yang ia pegang ke meja kecil, lalu berpura-pura akan menekan tombol pemanggil suster.

    “Iiih nyebelin deh, ini kalo orang cantik itu matanya kaya gini,” ucap Kikan masih mengedipkan matanya sambil menarik dan mengayunkan telapak tangan kiri Sierra yang ada di genggamannya.

    Sierra pun duduk kembali. “Tau nggak, itu bahasa gaulnya apa kalo orang matanya kayak gitu?”

    “Tau dong, orang cantik tau semua,” ucap Kikan seraya mengangkat dagunya seolah-olah ia sombong.

    “Boleh, silakan apa coba kalo memang beneran tau?” Sierra menantang.

    “Yang bandnya Mike Shinoda itu kan?” ucap Kikan masih mengerlingkan kedua matanya.

    “Loh, kok jadi bandnya Mike Shinoda? Ngaco nih pasti jawabannya.” Sierra mulai tak percaya.

    “Itu.. Blinking Park.” Kikan pasang tampang polos.

    “Jiaaaaaahh.. Capeeek deeh. Blinking Park.. hahaha, plesetan yaaa? Mau lucu yaa? Lucuu?”

    “Lho iya, sekarang kan bahasa pergaulan bahasa Inggris, ngedip itu bahasa Inggrisnya Blinking, bukan begitu?” Kikan tak mau kalah.

    “Yang aku maksud tadi itu keliyepan. Itu.”

    “Kok keliyepan sih? Darimana munculnya itu kata? Kikan baru denger.”

    “Dari kelilipan.”

    Kontan Kikan terkikik mendengar kata ‘kelilipan.’

    “Bahasa planet mana itu kelilipan,’ ejeknya masih sambil tertawa.

    Sierra yang sebal ditertawakan mulai mengelitiki samping perut Kikan, membuat Kikan tertawa makin kencang. Siang yang indah di sebuah rumah sakit. Ketika Cupid menembakkan panah asmaranya, apakah akan ada yang dapat menghindar?
     
  8. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Masih siang yang sama. Lowry sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. Ia duduk di belakang sedangkan Mang Udan menjadi supir. Honda Jazz merah milik Lowry melaju dengan tenang. Lagu dan iklan dengan volume suara kecil silih berganti dari radio yang sedang diputar.

    “Mang Udan, nanti mampir ke kantor ibu sebentar ya?”

    “Loh, kok ke kantor den, bukannya ini hari Minggu? Memangnya ada yang kerja den?”

    “Oh iya ya. Ya sudah enggak usah. Biar Lowry telpon saja.”

    Lalu Lowry pun mengeluarkan telpon genggam dari saku celananya. Tapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya untuk menelpon ibunya. Ia berpikir bahwa masalah Ayako ini terlalu penting untuk dibicarakan melalui telepon. Setelah percakapan dengan ayahnya kemarin, entah mengapa Lowry sedikit merasa ada yang berubah dari perasaannya terhadap ayahnya.

    Selama ini ia selalu merasa bahwa ibunya adalah perempuan muda, yang rapuh dan sangat tersakiti ketika perceraian itu terjadi. Selama ini ia selalu mengira bahwa ayahnya adalah penjahat kelas tengik yang bisanya hanya mencampakkan wanita. Lowry selalu berpikir bahwa dirinya adalah ksatria yang memiliki tugas suci untuk menjaga hati ibunya dari tangan pria-pria lain yang hanya akan menyakiti. Tak pernah ia sedikitpun terbersit bahwa mungkin ibunya memiliki keinginan untuk membangun rumah tangga baru dengan lelaki lain. Tak pernah ia memikirkan kemungkinan bahwa sebenarnya keputusan ibunya untuk tidak menikah lagi adalah keputusan yang diambil karena memikirkan perasaan Lowry. Tak pernah ia berpikir bahwa ia adalah penghalang kebahagiaan ibunya, secara tidak langsung. Hingga kemarin malam.

    Sekarang Lowry tersadar, betapa naif dirinya selama ini. Bukankah setiap wanita menginginkan sentuhan belaian kasih sayang dari pria yang tulus mengasihinya. Bukankah selama ini tak terhitung jumlahnya pria-pria yang mencoba untuk mendekati ibunya? Dan pria-pria tersebut bukanlah pria sembarangan. ia tahu betul hal itu karena ibunya adalah seorang eksekutif yang sangat tinggi kelas pergaulannya. Ah, tiba-tiba saja sejuta rasa penyesalan membendung tak terbuncah di dalam hati dan pikiran Lowry. Jiwanya menjadi gelisah.

    Apakah selama ini, aku telah membuat kesalahan yang fatal?
    Apakah selama ini, akulah yang bersikap egois?
    Apakah selama ini, akulah yang sebenarnya butuh untuk dilindungi?

    Dan pertanyaan-pertanyaan itu terus menyudutkannya selama perjalanan pulang.

    -//-​


    Masih di siang hari yang sama. Raine tengah asyik menjilati mangkok es krimnya. Ia sedang menghabiskan es krim tiga rasa berukuran 1 liter yang baru saja dibelinya tadi pagi. Duduk sambil mengangkat kaki di sofa menghadap ke televisi seolah itu adalah rumahnya sendiri. Ya, hubungan antara Raine dan Fiona memang benar-benar dekat. Mereka sudah serupa saudara kandung karena sejak kecil keduanya selalu dibesarkan bersama-sama. Mereka bersahabat sejak SD kelas satu hingga akhirnya keduanya sama-sama lulus dari fakultas komunikasi sebuah universitas negeri di kota Bandung.

    Jauh di lubuk hatinya Raine tengah bingung dan gelisah karena ia merasa hidupnya bagai terombang-ambing tak tentu arah. Memasuki usianya yang ke 25, pertanyaan-pertanyaan serius tentang masa depan yang selama ini selalu diabaikannya, sekarang pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu mengusik tidurnya. Hatinya sering berucap, bertanya, “Dimana belahan jiwaku, Raine?” Dan Raine tak tahu harus menjawab apa. Kadang, ditengah kepanikannya atas serangan pertanyaan tersebut, ia menggumam dalam tidurnya, “Aku bahkan tak tahu harus mencari siapa. Ia yang pernah memilikimu telah lama menghilang...Dan aku tak tahu harus mencari kemana.”

    Ya, Raine yang selama ini selalu terlihat sebagai wanita yang cerdas dan selalu mendapatkan apa yang ia mau, ternyata memiliki satu lubang besar di dalam hatinya. Lubang yang telah lama menganga. Ada cerita tentang seorang pria disana. Dan Fiona tahu semua tentang pria tersebut. Mungkin, itulah sebabnya saat ini ia melarikan diri dan bersarang di kediaman sahabatnya itu. Selain sahabat terdekatnya, Fiona jugalah satu-satunya orang yang tahu akan kisah yang ada di dalam hatinya. Namun saat ini, Fiona tidak sekalipun pernah menanyakan apa yang membuatnya gundah. Ya, Fiona diam seolah-olah ia tahu apa yang sebenarnya memenuhi benak Raine dan enggan membicarakannya. Raine pun sedikit memendam curiga terhadap sahabatnya itu.

    Ada apa Fio?

    Saat angan-angannya melayang jauh seperti itu, sendok es krim ditangannya sudah menyentuh dasar kotak, dan tidak ada lagi yang bisa disentuh. Raine melirik ke dalam kotak itu. Memastikan dengan sebal. Lalu melemparkan kotak itu ke kotak sampah. Masuk sempurna. Raine berbaring di sofa, dan menjilati sendok yang masih ada di genggaman tangan kanannya.

    —//—​
     
  9. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Max Alfar tengah duduk di kursi di teras depan. Di sebelahnya ada meja, dan kursi pasangannya diisi oleh Mbok Asih. Pemandangan yang tak lazim dimana seorang pembantu dan seorang majikan duduk berdua berdekatan bersamaan. Mbok Asih duduk menyandar dengan punggung menempel di badan kursi, sedangkan Max duduk dengan agak membungkuk, kedua kakinya agak terbuka, dan tangan kanannya memegang sebatang rokok yang tengah dihisapnya. Cuaca saat itu siang hari yang mendung, sepertinya beberapa saat lagi akan turun hujan deras. Mata keduanya lancang menatap ke kejauhan yang entah apa yang sedang mereka lihat dan fikirkan. Seperti orang yang tengah kena hipnotis saja laku mereka berdua siang itu.

    Max yang sedang benar-benar dalam kebingungan. Seperti orang gila ia dibuat oleh besar rasa cintanya kepada Raine. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak, rokok pun tak lagi membawa kenikmatan, hanya asap yang menghembus tanpa makna.

    Di sebelahnya, Mbok Asih diam merenungkan kisah masa lalunya yang penuh dengan kisah bahagia bersama suaminya yang telah meninggal dunia. Pernikahannya tidak pernah dikaruniai buah hati oleh sang pencipta. Mbok Asih orang yang sabar, sekalipun ia tak pernah mengeluhkan akan hal tersebut, hanya saja hari-hari ini, melihat Max majikannya yang tengah gundah dimabuk cinta, Mbok Asih kembali teringat akan masa mudanya.

    Perempuan paruh baya itu membayangkan apakah hidupnya akan berbeda seandainya suaminya tercinta masih berlanjut usia. Apakah hidupnya akan berbeda apabila ia dikaruniai seorang putri atau putra. Mungkin putrinya sudah tumbuh dewasa dan akan menjadi putri yang pintar dan membanggakan. Mungkin putranya sudah menjadi seorang atlet bulutangkis yang bermain keliling dunia. Tetapi, Mbok Asih sekarang hanya sendiri, tanpa anak dan tanpa suami. Apakah ini yang namanya sepi? Saat itu Mbok Asih terpikir, dan merasa, sepi yang tiba-tiba saja tanpa ampun mengetuk lubuk hatinya. Rasa itu, rasa yang kejam itu, membuat Mbok Asih hanya menggigil dan mematung dengan mata menyalang jauh tak tentu kelananya. Sebersit terpintas pikirannya untuk pulang ke desa. Bersimpuh lusuh di bawah pohon kemboja, menyapa kembali pasangan jiwa yang berkalang tanah, di senja yang tertutup rindangnya bambu. Di kubur itu biasanya, ia bisa jadi lega, saat malam menyaput seluruh tangisan hati tanpa jeda berpuluh tahun lamanya.

    “Mbok, apa saya ini harus pergi mbok?” Max Alfar bersuara namun baik badan maupun mukanya sama sekali tak menoleh.

    “Pergilah Tuan. Sudahkan semuanya biar sudah.” Perempuan tua itu menyahuti. Juga tidak menatap lawan bicaranya.

    Mengambil jaket dan kunci mobil di dalam rumah, Max lalu membuka gerbang. Menghidupkan mobilnya. Dan menderu pergi. Mengikuti kata hati yang tak mau luluh. Hati yang tak ingin hanya duduk bermenung. Hati para pemberani.
     
  10. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    --//--​


    Malam hari. Pukul 7.20 Di sebuah area makan dan lapangan parkir yang luas di depan gedung Bank Mega/Trans TV. Max Alfar menunggu Raine dengan penuh cemas. Max duduk di salah satu tempat makan yang sepi di pusat jajanan tersebut. Hanya ditemani teh botol di atas meja dan sebatang rokok ditangan. Sesekali ia melihat ke telpon genggamnya. Membuka kembali sent message, memastikan bahwa pesannya tadi sudah terkirim.
    :Aku ke Jakarta. Akan tiba di depan bank Mega jam 7. Tempat waktu itu. Kita harus bicara, Raine.

    Dan balasan dari Raine sama sekali tidak membuatnya tenang.
    : Akan datang. Tunggu saja.

    Sekarang sudah lebih dari dua puluh menit dari waktu yang ditentukan tapi orang yang ditunggu tidak juga kunjung terlihat keberadaannya. Ya. Perasaan semacam ini yang benar-benar mencekam secara perlahan. Waktu seakan berputar sangat lambat. Dan setiap detiknya sangatlah menyebalkan.

    --//--​

    7.05. Malam hari. Di lapangan parkir dekat area makan tempat janji bertemu dengan Max. Raine dan Fiona sedang duduk memperhatikan Max dari kejauhan dari dalam mobil Avanza milik Fiona. Mereka baru saja tiba di situ.

    ‘Kau yakin, yang itu orangnya?’ ucap Fiona

    ‘Iya. Tak mungkin salah. Itu pacarku.’ Raine menjawab datar.

    ‘Lalu, apa yang kau tunggu? Temuilah dia dan bicara baik-baik. Dia sepertinya seorang yang menyenangkan.’

    ‘Entahlah.’

    ‘Apa yang salah dengannya?’ kejar Fio.

    ‘Nothing. Aku hanya tak suka. Dia terlalu sempurna untukku,’ masih dengan nada acuh tak acuhnya Raine menjawab.

    ‘Ok. Seorang pria. Baik. Punya pekerjaan. Mapan. Menyayangi kamu apa adanya. What more can you really ask from a man?’ Fio mulai terdengar kesal.

    ‘Damn it, Fio. Stop judging me! Kamu membuat aku terdengar egois! Dan yang lebih buruk lagi, kamu pikir kamu tahu segalanya. Ini hubungan tanpa rasa, tidak ada apapun untukku di dalamnya. Nil. Nothing. Jadi sebelum kau memaksa sahabatmu untuk membunuh mati perasaannya dalam hubungan tanpa arti, pikir lagi. Semua tidak seperti yang terlihat. You can’t just be with someone who likes you!’

    ‘Kalau memang tidak ada rasa. Katakan dari awal! Kenapa sudah beberapa saat jalan baru berubah pikiran? Kalau kamu tidak bisa menimbang perasaan orang lain, itu bisa dikategorikan sebagai egois. Dan karena aku sahabatmu, aku selalu punya hak untuk menilai kamu kapanpun aku mau. Kapanpun aku pikir kamu mulai melakukan sesuatu yang tidak fair terhadap orang lain.’

    ‘Apanya yang tidak adil? Aku memberinya kesempatan untuk memberiku ‘kesan’, justru yang tidak adil itu kalau aku tolak dia mentah-mentah sejak awal, tanpa memberinya kesempatan sama sekali.’

    ‘Baiklah. Kalau pola pikirmu memang seperti itu! Sekarang, yang tersisa tinggallah satu hal saja. Lakukan apa yang harus kau lakukan. Buka pintu, pergi keluar, temui dia, katakan tidak sampai disini, dan hentikan semuanya, dan tidak juga berteman. Kau tahu, itu hanya akan membunuhnya.’

    ‘Tidakkah ia terlihat sedikit uring-uringan? Aku khawatir ia tidak menerimanya dengan baik.’

    ‘Ya, mungkin kau harus tunggu beberapa menit lagi,’ Fio menyetujui.

    Dan Raine pun akhirnya memutuskan untuk menunggu beberapa menit lagi. Dari dalam mobil itu mereka mengamati Max.
    Mereka semua sedang menunggu.

    --//--​


    7.22. Raine keluar dari dalam mobil dan melangkah menuju meja dimana Max sedang menantinya. Setiap langkah ia mendekat dirasakan oleh Max seperti palu godam yang menghantam di dalam dadanya. Bagaimana mungkin seorang wanita yang begitu diagungkannya tetapi sekaligus pada saat bersamaan membakar dan mengiris rasa di dalam hatinya. Menatap Raine malam itu, bagaikan salju dan api yang berkecamuk dalam diri Max. Ia ingin mengamuk, melampiaskan amarah sebagaimana haknya karena menjadi pasangan yang tak dianggap. Namun di satu sisi lain dalam hatinya, Max selalu sadar dan mengerti bahwa ia menghamba dan bertekuk lutut di hadapan Raine, ratu penguasa hatinya. Kepadanyalah ia akan menuruti segala perintah dan keinginan. Meski harus memetik bintang atau menghunus pedang. Wanita ini, telah membuat ia tak berdaya dari tatapan pertama. Dan malam ini, setelah berjumpa seperti ini, sedekat ini, dengan kehadiran bidadari itu hanya beberapa meter dari sisinya, melangkah ke arahnya, debar jantung Max kian cepat, lidahnya menjadi kelu, seakan tak ada kata yang ingin ia ucapkan, selain maaf. Dan itulah kata pertama yang keluar dari bibirnya saat Raine duduk persis di hadapannya.

    ‘Maafkan aku, Raine.’
    ’
    --//--​
     
  11. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    “Katakan apa yang menjadi niatmu,”

    Raine mencoba untuk tetap tenang dan menatap tajam ke dalam mata pria yang duduk di hadapannya. Max diam sejenak, menatap tak percaya ke arah gadis yang telah ia berikan seluruh hatinya itu. Lalu dia menunduk menatap meja, tersenyum, dan mengetukkan kotak rokoknya secara perlahan.

    “Nampaknya, .. apapun yang akan kukatakan tidak akan membuat banyak perbedaan ya.” Max membuka percakapan.

    “Kau bahkan tak perlu susah payah datang kemari,” ucap Raine lagi.

    “Boleh aku tau mengapa?”

    “Untuk apa?”

    “Aku hanya ingin tahu, apa yang membuat kau tiba-tiba menarik kesempatan yang awalnya kau berikan padaku.”

    “Kau sungguh ingin tahu jawabannya, Max?”

    “Itu akan menyenangkan.”

    “Baiklah. No offense. Aku ingin mencintai. Aku tak ingin belajar mencintai. Denganmu, rasanya seperti memungut anak kucing di jalan. Awalnya kau mengasihinya, lama kelamaan membosankan.”

    Sesuatu mengencang di dalam dada Max. Retak. Berkeping-keping.

    “Sungguhkah? Kau tidak hanya sedang bingung? Karena aku bisa memberimu jarak jika itu yang sebenarnya kau butuhkan.”

    “Ayolah. Yang benar saja. Who are you? My dad? You don’t have to care about what I need. You can’t even give me what I want.”

    Hati pria itu kian remuk. Serpihannya berhamburan. Dan matanya mulai berkaca.

    “Itu benar. Aku bahkan tak tahu apa yang kau mau. Ini terlalu singkat. Seharusnya kau memberi waktu lebih, bukan begitu?” Max masih berusaha dalam kegetirannya, mencoba tersenyum.

    “Aku tak lagi berpikir ada yang perlu dibicarakan. Lebih baik kita usaikan percakapan ini. Bye Max.”

    Raine berdiri dan membalikkan badannya hendak melangkah menuju mobil, tetapi Max cepat menahan dengan memegang pergelangan tangannya.
    Raine menoleh kepada pria yang tengah menggenggam tangannya itu. Dan ketika itu Max melihat dengan jelas betapa wajah Raine, yang selalu membayang di dalam setiap angannya itu, basah berlinang air mata. Harapannya sedikit membubung lagi melihat itu.
    Hening beberapa detik tanpa kata.

    “Setidaknya beri aku satu kesempatan lagi Raine, please.”

    Max sungguh berharap ada sedikit keajaiban di sisinya malam ini. Ia butuh sedikit saja keajaiban. Dalam hati ia berharap. Namun reaksi Raine sungguh di luar dugaan. Raine menyentakkan tangannya.

    “Lepaskan! …. Dan kau berdiri sekarang, aku tak ada lagi keinginan untuk berada disini membicarakan semua omong kosong mu atau apapun itu. Aku tak tertarik!”

    Max berdiri. Ia bisa merasakan tubuhnya memanas dan seluruh tubuhnya seperti mengeras. Ia mencoba menahan emosinya yang tiba-tiba membubung.

    ‘What?!’ hanya itu kata tertahan yang bisa keluar dari bibir pria malang itu.

    “Kamu pria bagus. Kamu pria sempurna Max. Cari wanita lain. Karena aku, aku adalah barang rusak! Aku mencintai seseorang dari masa laluku. Aku tidak ada di saat ini. Aku tidak bernafas dan merasakan atau melihat dunia seperti yang orang lain rasakan. Aku stuck di masa lalu! Dan itu juga sebabnya mengapa, di mataku kau sangat biasa. Meskipun kau bisa memindahkan letak bulan dan matahari pun aku takkan kagum. Aku takkan pernah punya alasan atau keinginan untuk bersamamu. Jadi berhenti bersikap naif. You’re pathetic! Bicara kesempatan. Kesempatan apa?! Aku tak pernah punya niat untuk menjadi dewi penyelamat bagi kehidupanmu yang so common. Di mata kamu aku hanyalah pelengkap puzzle. Agar sesuai dengan segala sesuatu yang biasa lainnya di dalam hidupmu. Mengapa kau berpikir aku ingin menjadi bagian dari sesuatu yang biasa?! Picik!” Raine menarik nafas sejenak… mengusap air mata di wajahnya.

    ‘What?!” Max masih tak percaya. Dunianya terjungkir balik.

    “Jadi. Kalau kau ingin mencintai dengan sepenuh hati, menikah, berkeluarga dan segenap angan-angan muluk lainnya, demi Tuhan!, berikan semua itu pada gadis lain, yang menginginkan apa yang kau inginkan. Atau jauh lebih baik lagi. Bangun dari semua mimpimu. Hiduplah! Dan berhenti menjadi seseorang yang sangat biasa! Kau hidup hanya satu sekali. Mengapa mengambil jalan yang ditempuh semua orang? Bila kau terus menjadi ‘pengecut’, aku khawatir kau bahkan tidak akan pernah tahu bahagia itu apa. Kau pernah dan selalu bilang aku 'spesial' untukmu. Tapi kau juga selalu bicara tentang cinta, kesempatan, keluarga dan hal-hal biasa lainnya. Sungguh tidak konsisten. Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Kau selalu ingin kebenaran. Inilah kebenaran yang kau inginkan. Bye Max. Have a nice life.”

    Raine membalik badan dan benar-benar berjalan meninggalkannya. Max hanya bisa mengamati wanita itu kian menjauh. Mobil yang dikemudikan Fiona dan yang juga dinaiki Raine meninggalkan area tersebut.

    Max masih berdiri.
    Masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
     
  12. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    --//--​


    8 malam. Masih di hari yang sama. Lowry sedang berjalan menapaki anak tangga rumah sakit dengan membawa sebuah tas kosong. Mang Udan menunggunya di mobil. Ia terus berjalan melewati beberapa ruangan bangsal, hingga akhirnya tiba di depan pintu kamar tempat Kikan dirawat. Dan mengetuk pelan pintu tersebut.

    Di dalam Sierra sedang membaca majalah dengan asyiknya. Ia tidak mendengar bunyi ketukan tersebut.

    ‘Kak, ada yang ketuk pintu tuh, pasti Kak Lowry sudah datang.’ Kikan memberitahu Sierra.

    ‘Oh ya? Biar kulihat sebentar.’

    Sierra beranjak dari duduknya menuju pintu. Dan tersenyum lebar ketika melihat bahwa ternyata memang benar Lowry yang datang. Lowry tidak langsung masuk, ia masih berdiri dan tersenyum penuh makna pada sahabatnya itu.

    ‘Gimana? Apa tuan putrimu sudah bisa pulang?’ tanyanya kemudian.

    ‘Hm? Ya.. ya, dokter sudah membolehkannya pulang tadi, dan seluruh biaya rumah sakit juga sudah kubayar. Kami memang sedang menunggumu.’

    ‘Ini tasnya yang kau minta untuk aku bawa,’ sambil menyerahkan tas yang ia bawa.

    Dan mereka berdua pun melangkah masuk ke kamar, hingga Kikan bisa melihat mereka berdua.

    ‘Kak Lowry!’ ucap Kikan senang.

    ‘Halo Sinderela yang jatuh dari sepeda, apa kabar tuan puteri?’ Lowry menyindir dengan senyum merekah dan tangan terbentang. Mereka pun saling berangkulan sesaat. Sierra sudah sibuk memasukkan beberapa potong pakaian dan piring, gelas, serta roti dan buah ke dalam tas, bersiap-siap untuk pulang dan tidak meninggalkan suatu apapun di rumah sakit. Lalu melangkah ke kamar mandi untuk mengambil sikat gigi.

    ‘Baik dong! Kata dokter Kikan sudah boleh pulang, berarti sudah oke kan?’

    ‘Apanya yang oke? Kaki masih kelilit perban kaya gitu dibilang oke. Sierra pulang. Kikan disini aja sendirian, gimana?’

    Dan Kikan pun tidak menjawab. Hanya memonyongkan bibirnya dan memasang tampang gusar yang membuat Lowry tertawa pelan.
    Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Sierra memberikan tas itu kepada Lowry.

    ‘Aku mau kasih tahu perawatnya sebentar, sekalian mau pinjam kursi roda.’

    Lowry pun menerima tas tersebut, tapi karena dirasa berat, ia letakkan tas tersebut di atas kursi. Sedangkan Kikan yang tadi masih dalam posisi terbaring, sekarang sudah duduk di bibir ranjang, bagian kakinya yang sedikit retak masih dalam balutan perban. Ranjang itu agak tinggi, jadi ia duduk dengan agak menggantung. Di luar, Sierra bercakap-cakap dengan beberapa orang perawat. Menunggu sebentar, seorang perawat membawakannya kursi roda lipat. Sierra pun kembali ke kamar dengan kursi roda tersebut, dan perawat tadi mengikutinya.

    ‘Nona Kikan sudah mau pulang ya?’ tanya si perawat ramah.

    ‘Iya suster.’

    Sierra menjajarkan kursi roda di pinggir kasur dan menahan beban tubuh Kikan di bawah kedua lengannya saat Kikan berpindah dari kasur ke kursi roda.

    ‘Selamat jalan, Nona Kikan. Kami doakan segera pulih ya.’

    ‘Terimakasih.’

    Sierra pun menjabat tangan si perawat, ‘Terimakasih banyak atas bantuannya suster.’

    ‘Sama-sama Pak.’

    Dan mereka pun bersiap meninggalkan rumah sakit tersebut. Sierra mendorong Kikan yang duduk di kursi roda, sementara Lowry berjalan seirama dengan membawa tas penuh isi. Bila tadi Lowry naik lewat tangga seorang diri, sekarang, karena menggunakan kursi roda, mereka turun dengan menggunakan lift. Tak berapa lama, mereka pun sampai di pintu mobil. Seorang perawat pria baru saja meninggalkan mereka setelah mengambil kembali kursi roda yang tadi digunakan Kikan. Kikan dan Sierra duduk di belakang, sedangkan Lowry duduk di depan. Mang Udan menutup bagasi setelah memasukkan tas bawaan mereka, dan di bagasi tersebut juga terdapat sebuah crutches untuk membantu Kikan berjalan yang tadi dibeli Lowry di sebuah toko alat kesehatan.
    Mobil pun melaju pelan membawa mereka. Mang Udan mengemudi dengan sangat hati-hati, karena ia tidak ingin ada gerak kejut yang tak diinginkan.

    ‘Yeeyy, akhirnya pulang juga…’ Kikan nampak riang membuka suara.

    ‘Lowry mengamati Kikan dan Sierra dari kaca tengah, lalu menjawab, ‘Ah, senang bukan karena pulang, tapi karena bakal serumah dengan gw kan?’

    Mendengar itu, wajah Kikan tersipu malu.

    ‘Kok tau sih?’ katanya lugu.

    Sekarang gantian Sierra yang mesam-mesem enggak jelas.

    ‘Udah Kikan, si Lowry mah jangan diladenin. Tambah jadi, nanti dia.’ Sierra enggan dijadikan bahan lelucon, menghentikan percakapan Lowry dan Kikan sebelum terlanjur jauh.

    ‘Haha, gw pasang lagu aja deh ya, biar nggak sepi-sepi amat gitu.’

    Setelah berkata demikian, Lowry pun menyentuh tombol radio di mobilnya. Setelah chit-chat tak jelas, di ruangan kabin mobil itu pun terdengar denting gitar akustik, disusul vokal Thom Yorke yang mengalun dengan sangat jernih, menyanyikan Fake Plastic Tree. Perjalanan mereka menjadi tambah indah, meskipun bagi Sierra, ia merasa Thom sedang mengingatkannya untuk tidak terus tenggelam dalam rasa cinta yang palsu.

    She looks like the real thing.
    She tastes like the real thing,
    My fake plastic love.


    --//--​

    Dan, begitu pun di antara deru jalanan yang kencang terdengar, karena kaca jendela dibuka, Max pun mendengarkan lagu tersebut dari radionya. Ia tengah dalam perjalanan pulang ke Bandung. Meninggalkan Jakarta. Dalam malam terpahit yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya. Thom Yorke menemani dan membius. Ia tak pernah merasa semalang ini sebelumnya.

    But I can't help the feeling.
    I could blow through the ceiling.
    If I just turn and run.


    --//--​


    Di tempat lain, di kabin mobil Fiona, ia dan Raine pun mendengarkan lagu yang sama. Raine tak menyadari Fiona yang sesekali menatapnya. Hatinya masih dipenuhi emosi. Sedangkan hati Fiona, teriris, mencuri pandang ke arah Raine saat lagu itu berdendang. Tak ada yang tahu tentang apa. Fiona turut bersenandung bersama Thom dalam hatinya.

    If I could be who you wanted
    If I could be who you wanted ... all the time..
     
  13. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Mobil yang sedang dikendarai oleh Mang Udan memasuki area kompleks mereka. Petugas keamanan setempat menghentikan dan memeriksa dengan sedikit melirik kaca jendela yang dibuka Mang Udan.

    “Wah, si Eneng.. Udah sembuh Neng?”

    Yang dipanggil sama pak Satpam kaget dan bangun dari tidur rebahnya di dada Sierra.

    “Wah udah Pak. Makasih udah nanyain.” Lalu nyengir selebar - lebarnya.

    Pak Satpam senang idola kompleksnya sudah pulang. Ia pun turut tersenyum.

    “Pak, sepeda saya gimana pak, aman?” Sierra giliran buka suara.

    “Aman, Bos.” Pak Satpam menunjuk ke arah pos, ada dua sepeda yang diikatkan ke besi persis di sebelah pos tersebut.

    Lalu Mang Udan pun mengangkat tangannya tanda permisi dengan Satpam tersebut, dan kembali menginjak gas, rumah Lowry dan Sierra sudah tak berapa jauh lagi.

    Dan beberapa menit kemudian, sampailah mereka di rumah tak berpagar itu. Rombongan tersebut mulai turun satu persatu dari mobil. Dan terdengar suara pintu-pintu yang dibanting menutup.

    Kikan menggunakan crutchesnya berjalan dengan hati-hati sambil mengangkat sebelah kakinya. Untuk beberapa saat ia akan menetap di rumah Lowry dan Sierra. Kikan memilih seperti itu karena ia dirumah hanya tinggal sendiri, dan orang tuanya entah kapan akan pulang dari luar negeri. Mang Udan masuk paling belakangan dan mengunci pintu.

    Beberapa saat lamanya, mereka mengurus diri mereka masing-masing. Mang Udan disuruh oleh Lowry untuk menggoreng nugget, serta sosis dan daging burger. Lowry mengganti baju dengan yang lebih nyaman dan enak dipakai bersantai di rumah. Sierra pun demikian, dan ia bahkan menyempatkan menunaikan shalat isyanya. Kikan bersih-bersih dengan cuci muka agar segar, sikat gigi, dan kumur-kumur mouthwash, tak lupa berganti baju dengan piyama.

    Setelah itu mereka semua berkumpul di ruang tengah, di depan televisi. Itu adalah ruang tengah yang biasa. TV ukuran 42 inch tidak dihidupkan, karpet bulu nyaman yang luas membentang persis di depannya untuk menonton tv sambil tidur-tiduran atau bermain Playstation seperti yang biasa dilakukan oleh Lowry dan Sierra. Masih di area ruang tengah tersebut, terdapat sofa empuk bulat-bulat dan meja kaca panjang yang di bawahnya berserakan berbagai majalah dan koran-koran.

    Mang Udan juga sudah selesai memasak, dan makanan cemil-cemilan itu sudah dihidangkan di atas meja kaca tadi, dan tak lupa 2 botol coca cola dingin dikeluarkan dari kulkas.

    “Ngumpull,” ucap Sierra senang

    Mang Udan hanya tersenyum. Kikan duduk di atas sofa dengan memeluk bantal besar. Yang lain duduk di bawah.

    “Nah terus kita ngapain nih sekarang? Ohya mang, nanti kalo mau ngerokok, di teras belakang aja ya, ga enak nih kita lagi ada tamu,” ucap Lowry mengingatkan.

    Mang Udan mengangguk.

    “Nyanyi aja Low, mumpung ada si Kikan, biar dia jadi backing vocal,” usul Sierra.

    “Wah bener tuh bener, ide brilian. Kan, loe nyanyi ya ntar? Awas lo kalo nggak mau nyanyi, gw timpuk pake ulekan cabe tuh kaki,” Lowry menyindir kondisi kaki Kikan.

    “Mau gw nyanyi, tapi ada micnya engga? Suara gw merdu nih, bisa lah kalo cuma buat nyaingin Siti Nurhaliza mah..”balas Kikan.

    Mendengar nama Siti Nurhaliza yang disebut Sierra dan Lowry langsung pasang tampang ekspresi gubrak. Ekspresi gubrak si Sierra kaya orang kena Skeliosis atau penyakit punggung apa lah itu yang punggungnya melentur membentuk C terbalik, lehernya menjungak sehingga rambutnya terurai ke bawah dan kedua tangannya mencekik leher sendiri, sambil akting kelojotan layaknya ikan mas ga dikasih aer.

    Lowry lebih santai ekspresi gubraknya, tangan menempel ke dahi seperti orang sedang mengukur panas kening, dan berkata “cabe deh, udang deh, bakwan deh, tahu deh... Siti Nurhaliza.. wah Sierra, gw baru tau, ternyata elo pacaran sama Kak Ros..”

    Mang Udan cengar-cengir saja melihatnya, dan beranjak ke belakang, paling juga mau bikin kopi, dan telponan sama istrinya. Kikan yang parah, dia tertawa ngakak sambil pukul-pukul bantal.

    “Kalo gw Kak Ros, elo berdua upin ipinnya...” celoteh Kikan di sela derai tawanya.

    Begitu cantik Kikan yang sedang tertawa, membuat Sierra dan Lowry sampai melongo berpandangan. Lowry lalu masuk kamar.

    Tak berapa lama, Lowry keluar dari kamar dengan membawa dua gitar akustik, sebuah voice recorder yang ia berikan ke Kikan, dan beberapa majalah lagu lama.

    “Nyanyi lagu apa nih?” tanya Kikan.

    Sierra dan Lowry berpandangan, mereka masing-masing sudah bersiap dengan gitarnya.

    “Lagu wajib!” kata Sierra

    “Apa tuh?” tanya Kikan

    Lowry membalik-balik salah satu majalah dan meletakkannya di hadapan Kikan. Kikan mengeja judul lagunya “Ko-Song, Pure Saturday?”

    “Yuk, mulai ya” kata Sierra.

    “Curang, aku kan belum tau lagunya?” keluh Kikan.

    “Dengerin aja dulu, nanti baru ikutan.” kata Lowry.

    Dan gitar pun mulai dimainkan, Sierra dan Lowry menyanyi bersama. Kikan memperhatikan dan lama-lama mulai ikutan ... Dan malam pun naik perlahan ... Dan itulah indahnya kebersamaan.


    --//--


    KOSONG - PURE SATURDAY


    Coba untuk ulangi apa yang terjadi
    Harap “kan datang lagi
    Semua yang pernah terlalui
    Bersama alam menempuh malam
    Walau tak pernah ada kesempatan
    Terjebak dalam jerat mengikat
    Namun tekad nyatakan bebas

    Temukan diri di dalam dunia
    Tak terkira...
    Semua mati dan menghilang
    Terlalu pagi temukan arti

    Jalan panjang semakin lapang
    Hanya dahan kering yang terpanggang
    Tak ada teman telah terpencar
    Namun waktu terus berputar
    Peduli apa terjadi
    Terus berlari tak terhenti
    Untuk raih harapan
    Di dalam tangis atau tawa

    Temukan diri di dalam dunia tak terkira
    Tak berarti tak akan pasti
    Terlalu gelap...pergilah pulang​
     
  14. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    EPISODE 3: INSIDE OF LOVE (29 SEPTEMBER 2009)

    Beberapa menit lewat tengah malam, Max Alfar menutup pagar rumahnya. Mencari kunci pintu depan, menemukannya dan memasukkannya ke lubang kunci. Menutup kembali pintu dengan perlahan karena tak ingin membangunkan mbok Asih yang ia kira pasti sudah tidur sejak tadi. Lunglai ia berjalan dan membuka pintu kulkas, menenggak air dingin langsung dari botolnya.

    Setelah itu ia kembali ke depan, dan membaringkan dirinya di sofa panjang ruang tamu, masih dengan mengenakan sepatunya. Ia mencoba berpikir tentang Raine, saat ia masih tersenyum padanya. Lalu kejadian beberapa jam yang lalu kembali membersit di ingatannya. Kata-kata Raine.

    “Aku ingin mencintai. Aku tak ingin belajar mencintai.”
    “Aku tak pernah punya niat untuk menjadi dewi penyelamat bagi kehidupanmu yang so common.”
    “Bangun dari semua mimpimu. Hiduplah! Dan berhenti menjadi seseorang yang sangat biasa!”

    Belum pernah ada orang yang berkata seperti itu padanya. Dan saat memang ada orang yang berkata seperti itu ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia memikirkan kembali, dan ada rasa dimana sepertinya semua yang dikatakan Raine itu benar.

    Hidupku terlalu biasa, keluh Max. Kuliah, kerja, menikah, kerapihan, kebersihan, keteraturan. Aku tidak punya dunia yang menarik untuk kutawarkan pada Raine. Wajar bila ia melihatku seperti itu. Ia seorang bidadari. Tapi Raine, aku tidak tahu caranya untuk tidak menjadi biasa.

    Perlahan badannya gemetar. Lalu, di tengah deras guncangan emosi yang ia rasakan, tangisnya pun berderai tanpa mampu ditahan-tahan lagi. Tak mampu ia membendung senyuman dan cacian Raine yang terus berkelebat silih berganti di benaknya. Ini adalah pria yang merasa telah membangun sebuah menara yang begitu megah dan indah, dan kata tidak dari seorang gadis, membuat menara yang ia bangun hanyalah menjadi onggokan besi tanpa arti. Dan ia terus menangis hingga akhirnya ia jatuh terlelap.

    --//--​

    Di Bandung, Max tengah bergelut dengan perasaannya hingga ia jatuh tertidur. Di Jakarta, dua sahabat, Raine dan Fiona duduk di balkon apartemen, memandang gemerlap cahaya lalu lintas kota yang menciptakan keindahan tersendiri. Angin malam menghembus dengan perlahan, sesekali kencang namun lalu pelan kembali. Raine menyibukkan dirinya dengan Nintendo DS, dan malas-malasan meladeni obrolan Fiona. Fiona sendiri, setelah beberapa kaleng Heineken, mulai terlihat menyipit pandangannya, tetapi ia masih bisa mengendalikan diri sepenuhnya.

    “So, what now?” tanya Fiona pada Raine.

    ‘Apanya yang what now?’ Raine masih acuh dan sibuk dengan permainannya, GTA Chinatown Wars.

    ‘Iya, aku mau ngucapin selamat, anda baru saja dengan sukses memusnahkan satu lagi peluang pria yang mendekati anda.’

    ‘Oh? Max? Ya, itu sih sudah game over ya,’ tanpa ekspresi.

    Fiona bangun dari duduknya, mendekat ke pinggiran balkon, dan menenggak habis isi kaleng bir ke empatnya, lalu menyalakan sebatang rokok. Upayanya beberapa kali gagal, karena api zipponya tertiup angin.

    Melihat itu, Raine bangkit, dan masuk ke dalam ruangan apartemen mereka.
    ‘Masuk, ayo kita bicara, disini terlalu berangin.’

    Raine meletakkan DSnya diatas meja makan, mengambil sepotong sayap ayam dari chicken bucket yang ada di meja. Tak butuh waktu lama, ia melemparkan kembali serpihan tulang-tulang yang sudah bersih. Dan lalu menghapus minyak-minyak di bibirnya dengan tisu, melegakan tenggorokannya dengan segelas air mineral dingin.

    Lalu ia berbalik, dan menatap pada Fiona yang ternyata sudah mematikan rokoknya, dan sekarang tertidur dengan posisi tertelungkup di kasur yang digelar di depan televisi.

    ‘Aku tahu pasti ada sesuatu yang ga beres dengan kamu, Fio. Iya kan? Aku yang lagi ribet sama cowok, kenapa malah jadi kamu yang mellow?’

    ‘Iya, aku yang mellow, untuk sekarang aku akui itu benar. Aku begini, karena aku ga tau lagi harus gimana untuk melihat persahabatan kita.’

    ‘Maksud lo?

    ‘Ya.. aku ga tau lah. Pikir aja sendiri.’

    ‘Saat ini, gw lagi ga butuh cowok, Fio. Max, hmm.. jangan – jangan lo naksir sama Max ya?’

    Fiona tak menjawab tapi ia bangkit dari tidurnya dan berdiri dan menggulung rambutnya ke atas sehingga lehernya terbuka.

    ‘What if I love you, Raine? What will you do?’

    Dan suasana diantara mereka pun menjadi hening. Yang ditanya tak menjawab, malah ke kamar dan mengambil sebuah guling besar dari kamar. Ia tersenyum.

    ‘Ada sesuatu yang salah dengan perkataanku? Apa kau menganggapnya lucu?’ Fiona bingung.

    Raine masih tak menjawab. Perlahan ia letakkan guling yang ia pegang tersebut ke sofa. Lalu berjalan mendekati Fiona. Sekarang ia berdiri persis di hadapan sahabatnya itu. Dengan tenang, kedua tangannya menggenggam kedua tangan sahabatnya. Lalu ia mulai mendekatkan bibirnya, sehingga keduanya bertemu dan memberikan sensasi yang menggetarkan. Fiona merinding. Ia sama sekali tak menduga Raine akan merespon dengan seperti ini. Dan keduanya terus terbuai untuk beberapa detik lamanya. Saling memagut, saling mencari, seolah ada sesuatu dahaga yang hendak dituntaskan.

    Lalu setelah beberapa saat Fiona melepaskannya. Kedua tangan mereka masih saling berpaut.

    ‘You’re really a great kisser, Raine.’

    ‘Thanks.’

    ‘So?’ Fiona menanti penuh harap.

    ‘What?’ Raine bingung.

    ‘Kau masih belum menjawab pertanyaanku,’ ujar Fiona.

    ‘Kau tanya apa yang akan kulakukan? If you love me, I will kiss you. Dan aku sudah melakukannya. Apa lagi?’

    ‘Can we be … a couple?’ Fio masih terus mengejar.

    ‘What for? We are already a couple. We are friends, aren’t we?’

    ‘You don’t love me?’

    ‘Ah, Fio, semua yang kita lakukan selama ini, bukankah itu lebih dari sekedar cinta? Our friendship is beautiful. Don't you think?’

    ‘You don’t love me.’ Sekarang itu adalah sebuah statement. Bukan lagi sebuah pertanyaan. Dan ia mulai membuang wajahnya yang kusut.

    ‘Come on! Kok malah pasang tampang bete gitu sih? Aku suka pria, Fio. Dan aku yakin kamu juga sama.’

    ‘Tidak. Kamu tidak suka pria. Tindakanmu malam ini memperlihatkan bahwa kamu tak terlalu suka dengan pria. Apa yang kurang dari Max coba?’

    ‘Jangan sebut nama pria malang itu. Ia bahkan tak tahu apa yang ia mau. Kalo kamu suka aku, silakan aku tak akan melarang. You can admire me as much as you want. Aku masih menunggu ‘dia’. Dan kau tahu persis, siapa ‘dia’ yang kumaksud.’

    ‘It’s not fair. Kamu beri dia seluruh hidup kamu. Kamu tunggu dia dengan seluruh hidup kamu. Tetapi untukku, kau bahkan tak memberiku kesempatan.’

    Raine menangkap sedikit nada bersalah diantara rangkaian kata yang ia tangkap sebagai suatu kecemburuan. Pikirannya kembali bergerak, dan ia menyadari sesuatu. Raine pun langsung bergerak ke arah Fio, dan memegang bahu Fio dengan kedua tangannya.

    ‘Berhenti bermain-main denganku Fio, kau pasti tahu sesuatu kan? Kau melihat ‘dia’? Kau tahu dimana ‘dia’? Beri tahu aku sekarang juga.’ Wajah Raine mendadak berubah serius.

    ‘Aku melihatnya sekali. Di parkiran kantorku, tapi aku tak yakin itu ‘dia’ atau bukan.’

    ‘Jangan beri aku harapan Fio, itu ‘dia’ atau bukan?’

    ‘Ya. Sangat mungkin pria yang kulihat waktu itu adalah Sierra-mu.’

    ‘Dia seharusnya menjadi milikku’ ucap Raine menerawang.

    ’12 tahun sudah berlalu dan kau masih terobsesi dengan Sierra? Kau ini benar-benar gila! Kau bahkan tak ingat wajahnya seperti apa?’

    ‘Aku akan ingat bila aku melihatnya. Seperti kau ingat saat kau melihatnya.’

    ‘Ya, dia memang benar-benar tampan. What if I like him, Raine?’ tanya Fiona

    ‘Ah sudah, sudah.. cukup dengan semua if if untuk hari ini, you make us kiss again. Dasar genit.’

    ‘No. Maybe I really like you,’ keluh Fiona.

    ‘Yeah, whatever, yang seperti tadi itu cukup setahun sekali saja. Bisa-bisa kita jadi gila kalau nurutin mabukmu. Ayo tidur besok temani aku mencari ‘dia.’

    Raine mematikan lampu meninggalkan Fiona tanpa pilihan selain ikut tidur di sampingnya.
     
  15. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    '‘Lo biarin dia tidur sendirian?’' ucap Lowry gemas pada Sierra, yang baru saja keluar dari kamarnya.

    Sierra menatap Lowry dengan tatapan jengkel.

    ‘'Oh, yeah right. Lo perlakuin dia seolah dia cowok,'’ ucap Lowry sinis.

    ‘'Apa sih, bawel banget lo ini.'’

    Lowry mematikan televisi dengan remotenya. Menatap tajam pada Sierra yang duduk di sebelahnya.
    '‘Save the best for the last, jadi itu motto nya seorang Sierra?'’

    '‘Kenapa tivinya dimatiin sih? Gue mau nonton ah, males ngobrol sama nenek-nenek gendut.’'

    Lowry, sudah terbiasa dengan gaya bahasa Sierra, tetap lanjut dengan komentar-komentarnya.
    ‘'Udah berapa tahun? 2 tahun lebih kan ya sama si Kikan?’'

    ‘'Dua bulan lagi dua tahun.’'

    ‘'Sedaaap,’' sambil cengengesan Lowry menuang coca colanya dan meminum satu gelas besar, dalam sekali tenggak saja.

    '‘Lo serius kan sama dia?'’ tanya Lowry lagi.

    '‘Keliatannya?'’ Sierra balik bertanya.

    ‘'Menurut lo gue kenal lo engga? Kita udah sama-sama berapa tahun?'’ Lowry kejar lagi dengan dua pertanyaan.

    ‘'Cupu lah .. apa hubungannya ama kita udah kenal berapa tahun?’'

    '‘Ya pokonya udah dari jaman Jepang lah ya anggap aja. Kalo menurut gue nih Sierra ya, loe kayak orang bingung. Apa sih yang sebenarnya lo bingungin?’'

    ‘'Udah ah .. berisik lo … gitaran aja yuk di ruang kedap, lo ngedrum, entar gue jawab pertanyaan lo’'

    Sierra pun mengambil gitar bolong dan melangkah ke belakang. Di seberang kolam renang di bagian belakang rumah Lowry, ada studio musik mini. Sierra menyebutnya ruang kedap, karena memang apapun yang mereka lakukan di ruangan itu tidak akan terdengar karena kedap suara. Sierra duduk dengan santai di kursi kafe – kursi yang bisa diatur ketinggiannya berbentuk lingkaran tanpa penghalang punggung. Lowry lebih memilih duduk di bangku drummer yang sudah dipindahkannya tadi.

    ‘'Maen lagu apa nih?’'

    '‘Ini jawaban gw atas pertanyaan lo tadi, NADA SURF – Inside of Love, lo tau kok lagunya, sering gue puter di mobil, ntar ikutin aja ya.’'

    Dan Sierra pun mulai memainkan intro dari lagu tersebut, dan bernyanyi dengan penuh penghayatan.

    Setelah usai memainkan satu lagu tersebut, Lowry bertanya, memastikan apa yang ia tangkap dari makna lagu tersebut.

    '‘Maksud lo, lo ga yakin sama hubungan kalian?’'

    '‘Yup. That’s what I meant',’ ucap Sierra pelan.

    ‘'Memangnya si Kikan kurang apa? Dia cantik, baik, bodi oke, terus orang tuanya oke aja dia sama lo. Mungkin lo kali yang kurang, kurang waras.’' Lowry geram.

    '‘Gw ga tau … entah kenapa belakangan ini gw sering ngerasa sedih,’' Sierra menggumam.

    '‘Sedih gimana?’'

    '‘Kaya yang lo bilang, dia ga ada kekurangan. Kikan tuh ga ada kekurangan. Itu benar. Cuma gw ke dia tuh sama sekali ga ada rasa Low, gw tuh fake sama dia.’'

    ‘'Hah? Fake? Maksud lo apaan? Lo bukan gay kan?’' Tampang Lowry mendadak kecut.

    ‘'Bukan .. gw bukan gay, lo jangan khawatir gitu gendut,’' Sierra tersenyum tipis.

    '‘Lo fake? Lo bisa FAKE sama Kikan? Ga punya otak kali lo ya? Lo fake dua tahun?’'

    '‘Sumpah. Gua ga ada rasa.’'

    Mendengar itu Lowry langsung melemparkan stik drum yang dipegangnya. Benda itu melayang dengan secepat kilat nyaris mengenai kepala Sierra yang dengan cepat menunduk menghindar.

    ‘'Dua tahun lebih lo maenin dia, lo tipu semua orang, lo tipu diri lo sendiri, bahkan gue karib lo, lo tipu juga. Baru sekarang lo bilang. Mau lo apa? Lo mau bilang juga ke dia? Hei bung, dulu gw juga naksir Kikan, dan lo tau itu, tapi gw tau dia lebih suka ama lo, dan waktu itu juga lo respon? Inget nggak?’'

    ‘'Gw juga nggak maksud gitu, gendut. Kan dia yang nembak duluan.’'

    '‘Iya, yang udah lewat engga usah dibahas lah. Apa karena yang nembak lo cewek cantik, seksi, lantas lo mikir ah udah terima aja dulu, jalanin aja dulu, entar kalo putus dari gw juga dia gampang dapet yang laen. Apa karna itu, makanya lo ga pernah ‘sentuh’ dia? Pantes!’'

    '‘Eh hati-hati kalo ngomong, Low. Lo maki-maki gw itu ga mecahin masalah gw.’'

    ‘'Masalah lo? Lo pikir ini masalah lo dan bukan masalahnya Kikan gitu? Lo pikir hanya dengan lo nemu cara ‘break up’ yang ga terlalu kejam, maka dia akan dengan mudah ngelupain lo? Salah. Pikiran lo tu salah. Cewek itu halus Sierra, ga boleh dilukain. Jangan sekali-kali lo ngelukain perasaan cewek. Bahkan untuk mikir ngelukain perasaan cewek pun jangan. Kualat lo ntar!’'

    'Yang dimarahi meringis, ‘Gw tau lo bakalan bereaksi kaya gini, makanya gw seret ke ruang kedap. Lo emang suka overacting.’'

    '‘Sierra, sekarang lo ga ada rasa sama Kikan. Meskipun gw sulit terima omongan lo itu, tapi gini aja deh solusi dari gw, lo dengerin baek-baek omongan gw ini. Lo tetep jalan sama dia, usahain tumbuhin rasa yang lo cari.'

    Sierra memotong ucapan Lowry, '‘Sampe kapan? Gw udah usahain dua tahun. Cuma sayang doang, cintanya mah ga ada.’'

    ‘'Cinta itu overrated. Sayang juga cukup. Pokoknya apapun yang terjadi, jangan sampe lo putusin dia. Jangan sampe lo buat dia luka. Sampe lo bikin dia nangis, urusan lo sama gw.'’ Lowry berkata dengan tegas.

    '‘Terus gw gimana?'’ Sierra bingung.

    Lowry bangkit dan keluar dari ruang kedap meninggalkan Lowry yang masih duduk di tempatnya semula. Sebelum keluar ia berkata, ‘'Kita ini cowok. Jangan selfish lah. Di depan cewek, kita ini ga ada apa-apanya. Kita ini ga penting.’'

    Dan Sierra pun tinggal seorang diri di ruangan itu, Memikirkan ucapan-ucapan Lowry.

    --//--​


    Malam kian larut, menjelang pagi. Ketiga orang lainnya di rumah itu masih pulas terlelap.Sierra bangkit dari tidurnya di sofa ruang tamu, alarm jam tangannya berbunyi. Ia pun bangkit sejenak menunaikan sholat tahajud di depan tivi. Kembali berdoa, memohonkan yang terbaik terjadi dalam hidupnya, memohon agar gelisah di hatinya dihilangkan. Sudah cukup lama, Sierra menjalin hubungan dengan Kikan, tapi belakangan ini hasrat untuk mengusaikan cerita itu kian kuat, dan Sierra kian merasa tanpa daya. Usai shalat, lelap kembali menjemputnya. Terkulai di sajadah, kedua lutut didekapkannya ke dada menahan dingin malam.

    --//--​


    Detik-detik yang persis sama dengan saat Sierra menunaikan ibadah malamnya, kita lihat sejenak suatu tempat yang terpisah jauh. Raine terjaga, ia tak bisa tidur. Fiona terlelap. Raine pun mengambil iPodnya dari atas meja, mencari sebuah lagu, dan memutarnya. Lagu khusus yang menggambarkan perasaannya terhadap Sierra. Lagu yang selalu ia dengarkan setiap kali rasa itu tak mampu ia tahankan.

    Raine pindah dari kasur dan naik ke sofa, lalu meringkuk dengan kedua lutut didekapkan ke dada. Angannya jauh melayang, mengingat saat-saat itu, saat dua belas tahun yang lalu . Akankah terulang? Akankah aku bisa bertemu kembali dengannya? Fiona benar, aku bahkan tak ingat wajahnya.

    --//--​
     
  16. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Kikan tak pernah terlelap malam itu. Dia terjaga. Tak terbayangkan rasa kecewa di hatinya karena Sierra tak menemaninya tidur malam itu. Ia merasa rendah. Seorang wanita yang tidur di rumah pria, tak mungkin mengharapkannya untuk terlelap begitu saja. Ada perasaan mendebarkan yang Kikan rasakan malam itu. Ia mendengar semua percakapan Sierra dan Lowry dengan jelas dari dalam kamar.

    Lalu, ketika mereka beralih ke Studio mini, Kikan keluar dari kamarnya. Dan, entah beruntung atau tidak, tak seorang pun antara Lowry dan Sierra yang menyadari bahwa mereka tidak menutup rapat pintu ruang kedap tersebut. Dan, mereka juga tidak melihat Kikan yang menguping pembicaraan mereka di luar.

    Saat Lowry akan keluar dari ruangan kedap tersebut, Kikan bersembunyi di antara kursi-kursi teras belakang. Lowry pun tak pernah menoleh ke belakang dan langsung masuk kamar. Adapun Sierra, ia masih tetap diam di ruangan itu beberapa saat lamanya, dan saat inilah Kikan masuk kembali ke kamarnya.

    Dengan pemahaman akan perasaan Sierra padanya. Ia duduk tanpa di temani cahaya di kasur di kamar Sierra. Dengan selimut ia tutupkan ke tubuhnya, karena ruangan itu cukup sejuk karena AC telah menyala cukup lama, perlahan air matanya berderai. Semua yang baru saja didengarnya membuatnya yakin apa yang telah ia rasakan janggal selama ini. Sierra terlalu baik untuknya. Kehadiran Sierra dalam hidupnya, yang sangat ia banggakan, sejak orang tuanya memutuskan untuk pergi ke luar negeri, meninggalkan Kikan seorang diri di Jakarta, di kompleks perumahan tersebut.

    Tak sulit bagi Kikan untuk terus mengingat perjumpaan pertamanya dengan duo Sierra dan Lowry. Dan malam itu, di sela derai air matanya, ia kembali mengingat hari itu. Hari dimana, Sierra dan Lowry membagikan penganan kecil pertanda baru pindah rumah. Sesuatu hal yang sudah banyak dilupakan orang saat ini. Ya, Sierra dan Lowry saat itu baru menempati rumah mereka di kompleks tersebut. Dan mereka pun membagi-bagikan kue kue kering kepada beberapa orang tetangga, sebagai basa-basi penanda sopan santun bertetangga. Dan ketika Kikan membuka pintu, ia tak pernah lupa betapa kikuknya Lowry hari itu, sedangkan Sierra dengan gaya coolnya bahkan tak berkata sepatah kata pun.

    “Anu ... maaf, ini .. ehmm .. kami mengganggu. Saya .. Saya Lowry dan ini sahabat saya Sierra ..” seraya memberikan sebuah plastik berisikan dua toples kue kering. “Kami baru pindah ke blok E nomer 9.”

    “Oh yang di belakang ya..” ujar Kikan ramah.

    “Iya .. di Cendrawasih, di belakang, boleh main kapan-kapan, ehm mbak namanya siapa, kalo boleh tau?”

    “Aku Kikan, makasih yaa kuenya, nanti aku main-main deh kapan-kapan.”

    Lowry tersenyum dengan senang dan memohon diri. Tapi yang Kikan perhatikan justru pria pendiam yang hanya berdiri membelakangi mereka. Sierra sama sekali berbeda dengan Lowry. Itu kesan pertama yang Kikan rasakan. Sierra terkesan misterius, cool dan sulit untuk ditebak.

    Kikan sekarang merasa dirinya di tengah dilema. Ia tahu apa yang semestinya ia tidak tahu. Sungguh tak mudah menanggung beban itu. Dan ia tak punya tempat berbagi beban itu. Selama ini Sierra lah tempatnya berbagi suka dan duka, tapi sekarang ia tak mungkin menceritakan semua ini kepada orang yang memiliki rahasia tersebut.

    Sierra tak pernah mencintainya. Sierra cuma sayang padanya. Bila aku tak mendengarnya mungkin aku takkan terluka, pikir Kikan setengah menyesali perbuatannya sendiri, mencuri dengar percakapan orang.

    ‘Sumpah. Gua ga ada rasa.’ Lagi, kalimat yang Sierra ucapkan itu mengiang kembali dan menusuk hati Kikan.

    ‘Sumpah. Gua ga ada rasa.’ Kikan pun menjambak rambutnya sendiri, dengan susah payah menahan agar suara isak tangisnya tidak sampai terdengar keluar. Menggigit bibirnya sekuat tenaga. Tangannya mengepal memukul-mukul bantal tebal, karena geram, kecewa, dan sedih yang berkecamuk di hatinya.

    Ia menangis hingga akhirnya jatuh tertidur.
     
  17. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Satu persatu mereka yang terlelap bangun saat itu. Mang Udan sudah terlebih dahulu pulang subuh hari. Sierra dan Lowry seperti biasa, tak banyak bicara dalam pagi mereka. Namun pagi ini tak seperti pagi biasanya. Setelah percakapan mereka malam tadi, ada hening yang memberat di antara kedua pemuda tersebut. Seakan memberikan tanda bahwa pikiran mereka sedang henyak oleh masalah yang tidak begitu jelas. Lowry membolak-balik sosis untuk roti sandwichnya di atas wajan dengan gelisah. Sierra hanya memilih diam berteman surat kabar dan sebuah mug putih berisikan teh panas.

    Dan Kikan pun muncul juga akhirnya di ruangan tersebut, masih dengan menggunakan crutches-nya, matanya sembab, dan rambutnya awut-awutan. Sierra dan Lowry berpandangan, menyadari ada sesuatu yang tak beres. Lowry pun mengambil inisiatif.

    "“Loe kenapa? Kayak habis nangis?"”

    Kikan meletakkan crutches-nya di atas kursi yang tidak dipakai, sedang ia menarik satu kursi untuk ia duduki perlahan. Kedua tangannya memegang kepala, dengan telapak yang nyaris menutup kedua telinganya, kepalanya tertunduk ke meja dan matanya menatap dengan liar. Tetapi sekejap kemudian, ia agak terlihat bagai menjambak rambutnya dan menghirup nafas dalam-dalam.

    "“Don’t worry about me. I’m just fine",” ucapnya.

    “"Obviously, it doesn’t seem so".” kata Sierra pelan.

    Ditanggapi seperti itu, pandang Kikan menyorot tajam ke arah Sierra. Tidak ada secercah senyuman yang biasa tersulam di bibirnya. Hanya mata yang tak mampu menutupi hati.

    Lowry pun cepat menyambar, "“Kamu bisa cerita koq kalo ada yang bikin kamu kesal atau sedih.”"

    “"Ntar kali ya, sekarang Kikan lapar nih, itu kayanya enak tuh. Can I have some of that?"

    "“Sure, sure.."”Lowry pun dengan cepat menawarkan satu porsi roti sosis yang sudah lebih dulu siap saji.

    Dan Kikan pun menyantapnya dengan lahap.

    Sierra nampak tak peduli dan kembali berkonsentrasi dengan surat kabarnya. Lowry menyelesaikan pekerjaannya dengan kompor dan wajan, dan mulai menikmati porsi dari sarapannya tersebut. Tak lama, Kikan mulai angkat bicara lagi.

    "“Kikan punya sebuah pertanyaan yang sudah cukup lama Kikan pendam, tapi Kikan nggak juga bisa dapat jawaban yang memuaskan. Mungkin diantara Kak Sierra dan Lowry, ada yang bisa membantu menjelaskan, itu akan sangat baik."”

    Sierra dan Lowry kembali berpandangan. Lalu mereka berdua mengangguk kecil, tanda mereka siap dengan pertanyaan dari gadis belia tersebut.

    “"Apa yang harus kita lakukan saat kita berada di persimpangan jalan? Arah yang mana yang harus kita ambil? Apakah arah yang sudah kita ambil itu merupakan suatu ketentuan yang sudah tetap bahkan sebelum kita mencapai persimpangan tersebut? Ataukah memang kita benar membuat suatu keputusan baru tatkala kita berada di persimpangan tersebut? Apakah kita memang benar mengubah takdir kita?"”

    Lowry hanya melongo dan satu kata saja yang terucap dari lisannya. “"****."”

    Sierra menggulung korannya menjadi sebuah pentungan kertas dan memukulkannya ke kepala Lowry dengan pelan. "“That’s your answer?"”

    Yang dikeplak, si tubuh gempal, hanya mengangkat bahu. “"I don’t know what to say.”"

    "“Kalo kak Sierra, gimana? Do you have an answer for that question?"”

    Yang ditanya bukan anak kemarin sore. Sierra tahu benar, ada sesuatu dari pertanyaan ini, dan ia harus menjawabnya dengan hati-hati. Harus, karena pandang Kikan berubah bagai harimau yang paling liar yang siap memangsa dirinya.
     
  18. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Sierra menghela napas dalam-dalam sebelum mulai menjawab pertanyaan Kikan.

    “"Ada tiga hal yang berbeda dalam setiap keputusan yang diambil, dan ada dua tipe kepribadian orang yang memberi makna bagi tiap keputusan. Keputusan yang diambil dengan mementingkan diri sendiri. Keputusan yang diambil dengan mementingkan orang lain. Keputusan yang diambil dengan memikirkan kepentingan diri sendiri dan orang lain. Dua tipe kepribadian adalah, orang yang percaya akan adanya kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Dan, orang yang percaya bahwa tidak ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri."”

    Lowry hanya termangu dengar semua penjelasan falsafah dari Sierra itu. Kikan di lain pihak, sedang berupaya keras agar tidak terpesona dengan kedewasaan Sierra, yang tak bisa ia pungkiri, itulah yang membuat ia sulit untuk menjauh dari Sierra.

    “"So?”" kata Kikan.

    "“Persimpangan",” kata Sierra melanjutkan, "“adalah istilah yang orang pakai manakala ada keputusan yang penting yang harus diambil. Tentu, setiap keputusan adalah penting dengan sendirinya, tetapi ada keputusan-keputusan yang hanya dibuat sekali dalam hidup, dan ini lebih penting’ dibandingkan dengan keputusan yang harus diambil setiap hari dalam hidup."”

    Sierra berhenti sejenak meneguk tehnya.

    “"Adapun hidup, hidup adalah suatu perjalanan kolektif dari jutaan keputusan yang bergulir setiap detiknya. Maka, secara skala, keputusan yang diambil tiap orang hanyalah keputusan ‘kecil’, tetapi, secara hakikat, setiap keputusan adalah keputusan ‘besar’. Dengan cara inilah, semua kita manusia, dan seluruh mahluk hidup, terikat oleh takdir yang tak lain dan tak bukan adalah perwujudan nyata benturan antara keputusan kita dan jutaan keputusan lainnya. Kita menentukan arah hidup kita, hingga sejauh itu saja. Itulah yang dinamakan ‘kenyataan’, ada orang yang menerimanya, dan ada pula yang tidak."”

    Suasana di ruangan itu menjadi hening untuk beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan jalan pikirannya sendiri. Mencoba mencerna arus liar ombak pemikiran yang dihantamkan dari papar Sierra.

    “"Jadi, apa yang sedang hendak kau putuskan?”" ucap Sierra pelan.

    Saat itu, samar-samar di benak Kikan, terlintas semua saat-saat indah yang telah dilaluinya dengan Sierra dan Lowry. Kenangan-kenangan yang sukar untuk ia benamkan begitu saja menyeruak kembali dengan cepat silih berganti satu persatu, dan arus pikiran inilah, yang kebermaknaannya diterakan oleh Coldplay dalam syair “A Rush of Blood to The Head”, yang menimbulkan seulas senyum di wajah Kikan. Senyum yang seketika disusul dengan menetesnya air mata di pipinya. Kikan yang belia, tak lagi mampu melepas pandang ke arah kedua wajah ‘kakak-kakaknya’ itu. Ia hanya merunduk menatapi permukaan meja makan, dengan kedua tangannya saling memainkan jari-jemari karena gugup.

    “"Kita.”"

    Pelan suara Kikan, nyaris tak terdengar. Namun, itu sudah cukup untuk membuat Lowry hendak beranjak dari tempat duduknya, dengan kegelisahan yang memuncak.

    “"Tetap di tempatmu,"” sergah Sierra kepada Lowry tanpa menatapnya. “"Kau pun bagian dari ini."” Lowry dengan wajah kesal, akhirnya duduk kembali.

    "“Kita. Aku dan ketergantunganku padamu. Kadang Kikan pikir, sejak adanya kak Sierra dan kak Lowry dalam hidup Kikan, Kikan tak lagi memikirkan tentang diri Kikan sendiri. Aku ga lagi merasa perlu menjalani hidup dengan sungguh-sungguh, karena bersama kamu aku bahagia, bersama Lowry aku terlindungi. Aku tak lagi mencari arti, karena hidup jauh lebih mudah bersama kamu, dan kukira itu akan selamanya…’."

    Gadis itu diam sejenak, dan lalu ia melanjutkan.

    ‘"Tapi, sekarang Kikan takut, Kikan gemetar, Kikan enggan, harus kembali mengarungi dunia mencari bahagia yang Kikan engga tau apa Kikan bakal dapat atau nggak. Aku takut, rasa itu ga akan sama. Bagi aku yang sekarang, bagi Kikan yang sekarang, hidup itu kamu.’"

    "‘Sayang sekali, bagi kamu aku cuma plastik. Bye Kak Sierra, bye, kak Lowry,’" ucapnya seraya menatap Sierra sayu. "‘l love you no more.’"

    Dan, Kikan pun beranjak dengan tergopoh-gopoh, menggunakan crutches-nya, meninggalkan ruangan tersebut. Lowry dan Sierra hanya diam di tempatnya masing-masing. Wajah mereka nampak masygul. Pandangan kosong terlempar ke hampa ruang. Perlahan terdengar bunyi pintu depan dibuka dan ditutup kembali.

    Hari itu, tiga anak manusia saling berpisah jalan. Mungkin sementara, mungkin selamanya, dan tak ada satupun yang tahu. Walau satu keputusan telah diambil, hidup akan terus berputar dengan misteri dan harapannya sendiri.
     
  19. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    Sierra diam menutup diri di kamarnya. Bingung. Intinya merasa bersalah dan tak tahu harus berbuat apa. Ada rasa lega dalam hati. Setidaknya sekarang ia sudah terbebas dari belenggu yang lumayan. 22 bulan yang membingungkan berakhir sudah hari ini.

    Tapi ia tak ingin caranya seperti ini. Ia sama sekali tak menduga bahwa ada hari dimana ia akan kembali ‘sendiri’. Saat pertama kali Kikan bilang sayang padanya, itu ia sama sekali tak menyangka. Kikan waktu itu baru berusia 15 tahun, dan dia 24 tahun. Dengan beda usia delapan tahun lebih di antara mereka, tentu ia yang lebih banyak mengarahkan Kikan pada hal-hal positif. Ia tak terlalu menganggap lebih pada hubungan itu, tak ubahnya kakak yang punya adik yang sangat disayangi. Tapi mungkin Kikan beranggapan lain.

    Bunyi ketukan di pintu.

    “Ya, Low?” ucapnya.

    Pintu terbuka setengah, Lowry berdiri tangan kanannya masih di gagang pintu.

    “Lo baek aja kan?” Lowry bilang.

    “Yaelah .. pake nanya lagi .. lo mau gw bilang apa?” Sierra malas meladeninya.

    “Ya, lo juga sih, kan gw udah bilang, lo bikin dia nangis, lo urusan sama gw.” Lowry terus mencecar.

    “Emang gw ngapain Low? Gw belum ambil keputusan apa-apa. Dia nguping, shit happens.” Sierra coba bela diri.

    “Tapi lo seneng kan bisa akhirnya lepas dari dia?” Entah apa yang ingin dicapai Lowry dengan semua ini.

    “Woy Low, lo ama gw sekarang kita ini dua enam tahun – Ada angka dua di depan, ada angka enam di belakang .. Dia sekarang tujuh belas tahun – ada angka satu di depan, ada angka tujuh di belakang.”

    “Trus?” Lowry menunggu lanjutannya.

    “Dia itu masih kelas 3 SMA, lo sama gw udah kelar S2. Singkat kata kita ini umur. Dia itu baru mau gede. Gw sayang sama dia Low, sayang banget malah. Tapi sayangnya kakak lah ga bisa jadi sayangnya pacar..”

    Lowry diam saja.

    Sierra pun melanjutkan, “Ya gw pun ngertilah dia cantik, pinter, pendidikannya bagus, anak orang kaya, anaknya baek. Mungkin lo juga naksir sama dia, suka sama dia. Ya itu wajar. Masalah dia nembak gw, dan bukan nembak lo, itu juga wajar.” Sierra mulai senyum.

    “Ah kampret lah lo .. Dasar anak gym .. belagu mampus ..” Lowry ngeloyor menyambangi pintu kulkas, membuka freezer. Cari-cari sisa es krim disana. Trus balik lagi ke depan pintu kamar Sierra.

    “Ya terus itu anak mau diapain? Kakinya lagi sakit. Dia udah putus ama lo. Inget ya. Putus sama lo, bukan sama gw. Nah, enggak mungkin dong lo yang kesana kan? Pasti awkward banget kan. Nah, secara cuma gw nih yang bisa diandalkan, berarti boleh dong sekarang gw kesana sendirian, nemenin dia?” Lowry minta izin ke sang mantan sambil cengar-cengir engga jelas.

    “Wah, parah lo Low. Lo mau cari cari kesempatan kalo kata gw mending jangan. Kecuali kalo lo mau kesana cuma jadi tempat nangisnya dia ya silakan aja. Siapin tapi psikologis lo. Ntar dicuekin jangan ngambek,” ledek Sierra pada karibnya itu.

    Lowry menutup pintu kamar Sierra. “Ok intinya boleh ya. Nyesel lo. Udahan maen kakak-kakakannya. Kakak palsu lo. Makan tuh bola basket,” omelan Lowry perlahan makin mengecil karena yang punya suara sudah masuk ke kamarnya sendiri.

    Tinggal Sierra termenung.

    “Aku belum pernah punya pacar. Aku pernah punya ‘adik’,” ucapnya lirih sambil memejamkan mata.
     
  20. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    “Ting tong! Ting tong!”

    Pukul tujuh malam. Bel di rumah Kikan berbunyi dua kali. Dengan malasnya gadis itu beranjak dari depan televisi, menyanggahkan berat badannya pada crutches dan menuju pintu, menyibakkan tirai jendela untuk melihat siapa yang datang. Lalu membuka pintu.

    “Masuk kak Low,” ucapnya pelan.

    “Lagi ngapain Kan?”

    “Nonton tv aja.”

    “Udah makan belum?”

    “Udah tu, Pop Mie.”

    “Yaaaa Kikan? Koq makannya Pop Mie sih? Gimana mau cepet sembuh? Pesen Pizza Hut ya?”

    “Kak Low, ini jari cuma retak dikit, masa mau diobatin pake Pizza? Ya kalo cara Kak Low ngobatinnya gitu sih, ga heran kalo tambah bulet.” Kikan tersenyum simpul.

    Yang diledek juga malah senyum. Lalu masuk dan duduk di sofa tamu, jauh dari Kikan yang duduk di sofa keluarga depan TV. Lowry mulai pilah pilih majalah lama yang ada di bawah meja tamu.

    “Seriusan tuh mau baca disitu? Kan yang disitu itu mah semua udah dari kapan tau Kak Low?”

    “Ya … ini mah acting aja. Maunya juga duduk di sebelah situ. Tapi kan belum disuruh .. ya nggak enak.” Lowry mesem-mesem.

    “Ya ampun. Kaya sama siapa aja sih. Sini dong temenin Kikan nonton.”

    Lowry pun beranjak bangkit menuju sofa dimana Kikan duduk sambil membawa majalah CHIP lama yang ada di meja tadi. Untuk kali pertama, dia dan Kikan bisa duduk sedekat itu, dengan status Kikan yang baru saja ‘single’ lagi. Tak urung, Lowry merasa agak berdebar juga. Berdebar karena memang Kikan cantik seperti biasanya. Dan lebih lagi karena ada sesuatu yang beda kali ini, dari sebelum-sebelumnya dimana ia hanya memainkan peranan pelengkap penderita.

    “Film apaan, Kan?”

    “Die Hard ini .. Udah berapa kali sih liatnya juga, tapi nggak bosen-bosen.”

    “Oooo.”
    Berhubung memang pada dasarnya Lowry tukang makan, dan sejak dari tadi sore dia belum makan karena deg-degan mau mengunjungi Kikan malam ini, lapar yang sangat pun rela ia tahankan. Demi.

    Tapi tak butuh waktu lama, kesenyapan di antara mereka berdua yang hanya diselang percakapan di televisi, pecah oleh bunyi perut Lowry yang bersenandung kriuk-kriuk.

    “Eh?” Lowry menahan malu sendiri karena perutnya mengeluarkan pekikan para cacing.

    Kikan menatap tak percaya, lalu tertawa terkekeh geli sambil berupaya menutupi mulutnya.

    “Tuh kak Low, sudah ada teriakan tanda minta diisi.”

    “Haha .. iya .. ini lapar melulu. Ada bayinya kali ya?” Lowry coba mengelak.

    “Tapi enggak ada apa-apa nih. Pop Mie masih ada sih satu lagi. Mau? Itu di plastik di atas meja makan.” Kikan menawarkan.

    “Ah enggak deh, ntar aja Kan, tunggu bang Samsul lewat.” Lowry menyebut nama penjaja nasi goreng keliling di komplek itu.

    “Eh, bang Samsul malem lo lewatnya.. Yakin sanggup nahan lapernya Kak Low? Ganjel aja dulu pake Pop Mie”

    “Ganjel? Udah kaya pintu aja nih perut gw ya?”

    Kikan tertawa-tawa lagi.

    Lowry senang bukan main. Walaupun ia tahu, peluangnya tipis, tapi ia senang sekali bisa berada dengan Kikan sedekat ini. Masalahnya adalah, dan ia juga tahu ini adalah masalah. Lowry sadar betul. Semua orang selalu ingin lebih dari apa yang sudah dimilikinya saat ini. Lihatlah keadaan ini. Tak lebih jauh dari 3 meter dengan Kikan. Bicara menghabiskan waktu dengan akrab. Tawa dan senyum Kikan yang mengobati semua angan dan mimpinya selama ini begitu indah. Tapi manusia selalu ingin lebih. Ia pun menimbang resikonya. Kalau ia ditolak, maka tamatlah riwayatnya. Kesempatan yang sudah dimilikinya selama ini pun akan menghilang. Kalau ia diterima, sempurnalah bagian terpenting hidupnya, begitu pikirnya. Ia selama ini tidak pernah ditolak, hanya saja yaa .. tidak begitu dianggap. Karena dibandingkan Sierra yang menyerupai sosok hero, mungkin Batman, Lowry lebih menyerupai sidekick-nya Sierra, ia mainkan peran sebagai Robinnya Sierra. Tetapi apakah ketika Batman tiada, Gotham bisa bergantung pada Robin?

    “Kak Low,” sapa Kikan pelan menyadarkan Lowry dari lamunannya.

    “Eh? Iya?”

    “Maaf ya tadi pagi.”

    “Kenapa Kan?”

    “Iya. Kak Sierra jahat ya.” Kikan bicara pelan sambil matanya nanar menatap televisi yang tak benar-benar ditontonnya.

    “Oh.” Hanya itu yang keluar dari Lowry.

    “Ya. Maksud Kikan sih dia baik sih, orangnya. Baik banget malah.”

    Jleb. Jleb. Jleb. Lowry tewas. Again? Di posisi ini. Hmm.. Sudah familiar dengan ini. Sabar. Lowry berupaya menahan senyum meringisnya.

    “Kak Low, makasih ya,” ucap Kikan lagi pelan.

    “Kenapa Kan?”

    “Kata-kata Kak Low semalem. Belain Kikan. Kikan denger semua. Kikan tau koq Kak Low sayang Kikan. Mungkin lebih malah daripada Kak Sierra sayang ke Kikan.”

    Jleb. Jleb. Jleb. Lowry tewas. Lagi. Di posisi ini. Hmm.. Dia tak pernah merasakan sebahagia ini. Sabar. Kali ini Lowry setengah mati menahan jumawanya.

    “Tapi ..” Kali ini pelan sekali suara Kikan.

    Lowry pun menahan napas.

    “Kikan mesti gimana ya Kak sekarang? Kikan bingung.”

    Lowry sedikit lega. Tadinya ia khawatir yang keluar adalah, “Tapi .. Kikan gak bisa jadi pacar Kak Lowry. Kikan udah anggap Kak Lowry kakak Kikan yang paling baik.”

    Untung bukan itu yang keluar, jadi Lowry agak lega. Tapi posisinya memang belum terlalu banyak berubah. Kini ia harus mengucapkan sesuatu yang benar. Bukan sesuatu yang ia inginkan.

    Setelah berpikir sebentar, Lowry akhirnya memilih ..

    “Ya enggak gimana-gimana. Kamu bawa enaknya aja. Sekolah kan sudah mau ujian. Nanti sudah itu liburan kan keluarga kamu pulang kesini. Dibawa bagusnya aja gimana.”

    daripada alternatif sindiran halusnya yang sebenarnya juga masuk akal,

    “Cinta emang kaya gitu. Suka nyakitin. Kalau perasaan kita ga sampe ke orang yang kita suka. Rasanya sakit banget.”

    “Duh. Iya sih Kak. Tapi ini nih sekarang semua tuh nggak enak banget rasanya. Kayak pengen jerit. Pengen nangis kenceng-kenceng. Pengen potong rambut pendeeeekk banget. Pengen makan banyaaaak banget,” Kikan meneruskan galaunya.

    Lowry tersenyum karena ia dapat kesempatan lagi. Kali ini ia memilih untuk ambil posisi serang.

    “Ya. Alternatifnya kita timbang ya. Nggak enak banget rasanya? Pengen jerit? Boleh asal di tempat karaoke. Nanti kalo dirumah ntar tetangga telpon polisi disangka ada apa-apa. Pengen nangis kenceng-kenceng? Boleh aja .. asal ngga capek. Nangis tuh capek banget tau. Kak Lowry sering nangis juga. Capek banget. Potong pendek? Janganlah nanti kalau Demi Moore potong lagi, ngetren lagi, bolehlah. Kalau sekarang nanti dikira mau masuk Polwan lho. Nah dari semua pilihan, yang terakhir boleh banget tuh. Makan banyak banyak, apalagi kalo Kak Lowry diajak dan ditraktir.”

    “Ih dia mah gitu .. orang serius juga,” Kikan cemberut.

    “Ya gimana dong. Kan cuma pendapat? Bener semua kan?” Lowry membela diri.

    “Kak Lowry sering nangis kenapa?” Kikan serius bertanya.

    “Ya .. nangis .. kalo tiap liat jarum timbangan ..” Lowry menjawab polos.

    Tak pelak tawa Kikan pun berderai lagi. Kali ini tak bisa ia kendalikan sampai batuk ia terpingkal-pingkal.

    Yes! Gol lagi. Pikir Lowry dalam hati.

    “Ih parah. Serius. Itu seneng banget kayanya ketawanya ya? Dasar anak kecil.” Lowry pura-pura pasang tampang bete.

    “Ahah .. Ahaha ..Kak Lowry becanda melulu ih. Sebel.” Kikan kesulitan menahan tawanya.

    “Yang bercanda siapa? Emang kenyataan begitu. Wew.”

    “Kak Low, Kak Low, Kikan boleh nanya enggak?”

    “Ya, silakan. Asal jangan soal atau pe-er sekolah aja ya.”

    “Kak Low, koq ga pernah keliatan bawa pacar? Kak Low, punya seseorang yang Kak Low suka?” Kikan bertanya pelan, sambil menunduk, tapi ujung tatapannya mengarah ke Lowry.

    Seperti rokade pada permainan catur, buah Raja terlindungi, dan buah Benteng balik mengancam posisi lawan. Lowry harus menebak dengan benar sekarang, apakah ini adalah pertanyaan, ataukah ini adalah sebuah perangkap. Kesempatankah? Kikan memang bukan gadis biasa. Dia punya personanya sendiri, dan nampaknya Lowry akan benar-benar terperangkap selamanya disini. Tapi ia kesini bukan untuk kalah begitu saja. Yang ditanya menatap yang bertanya dalam-dalam. Lalu ia tersenyum.
     
  21. lrk M V U

    Offline

    IELTS teacher

    Joined:
    May 18, 2011
    Messages:
    218
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +263 / -0
    “Pacar? Kak Lowry kan sibuk kerja di kantor mama, manalah sempat cari pacar,” Lowry coba untuk tetap tenang.

    “Kalo .. yang disuka?” Kikan terus mengejar, tapi juga berlagak cuek dengan tidak menatap langsung mata lawan bicaranya.

    Lowry terdiam. Skak mat. Satu sisi ia tahu Kikan mendengar semua percakapannya dengan Sierra malam kemarin. Di sisi lain ia sama sekali tidak tahu mengapa Kikan justru menyudutkannya dengan pertanyaan ini. Saat akan datang kemari, Lowry mengira ia harus memainkan upaya terbaiknya untuk bisa memenangkan hati Kikan. Tapi sekarang, sang pemburu malah menjadi yang bergetar saat buruannya balik menyerang.

    “Aku suka .. sama mantan pacar sobat karibku,” Lowry menyerah pada akhirnya.

    Mendengar jawaban itu, Kikan diam. Perlahan kepalanya yang menunduk terangkat dan kini matanya memandang Lowry dalam-dalam.

    “A… sama aku?” Kikan bertanya lagi.

    Lowry tak menjawab sepatah kata pun. Hanya mengangguk pelan.

    Kikan menghela napas, dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Tertunduk beberapa detik lamanya. Lalu dengan kedua tangan yang tertangkup ia menyeka butir air mata yang tak kuasa ia bendung. Pipinya yang putih kini bersemburat merah muda. Dan suaranya pun sedikit lebih serak.

    “Masya Allah kak, dari kapan?”

    Melihat reaksi Kikan yang seperti itu, tanpa sadar Lowry pun ikut menitikkan air mata.

    “Dari pertama …”

    Suasana di ruang keluarga yang hangat dan romantis itu tiba-tiba berubah menjadi haru. Kedua anak manusia tersebut tampak sulit untuk menahan emosi yang membuncah begitu tiba-tiba.

    Hening beberapa saat di antara mereka.

    “Maafin Kikan ya kak, Kikan jahat banget ya selama ini ga pernah bisa baca perasaan Kakak.”

    Di tengah perbincangan serius nan haru tersebut tiba-tiba saja dari luar terdengar pekikan yang khas, “Na- Sik!” “Na-Sik!”

    Mereka berdua pun saling pandang … dan tersenyum kembali …

    “Gih sana, kan tadi kak Lowry udah setia nungguin bang Samsul,” ucap Kikan seraya bangkit dengan crutchnya. “Pake piring Kikan aja ya.”

    “Tapi kita kan lagi ngobrol? Bang Samsul mah bisa nunggu entar kali Kan?” Lowry enggan kehilangan momen.

    “Nanti kita ngobrol lagi, kalau Kak Low dah makan. Lagian, Kikan juga laper nih,” ucapnya seraya menyerahkan 2 buah piring pada Lowry.

    “Bang Samsul! Nasik 2!” Pekik Lowry seraya menghambur ke teras depan. Semangatnya kembali utuh mendengar ucapan Kikan tadi.

    “Kak Low! Punya Kikan jangan pedes yaa!”
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.