1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic UJIAN (Mini Series)

Discussion in 'Fiction' started by toomuchidea, Jan 5, 2015.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. toomuchidea Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 13, 2014
    Messages:
    27
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +6 / -0
    UJIAN
    Status: ONGOING - Slightly delayed
    Rating: Mature (Kata umpatan, violence, gore)
    Genre: Thriller, Action, Drama, Tragedy

    Semua orang tidak henti-hentinya mengeluh bagaimana Ujian Nasional adalah sesuatu yang "mematikan" dan "membunuh". Bagaimana jadinya jika Ujian Nasional benar-benar mematikan dan membunuh?
    Cerita seperti ini biasanya hanya terjadi film dan buku komik, siapa yang tahu hal seperti ini akan benar-benar terjadi?
    Membunuh atau dibunuh.
    Ada orang yang menangis, ada orang yang berdoa, ada orang yang mengumpat, kemudian ada aku. Seseorang yang akan bermain sesuai dengan peraturan, seseorang yang akan mengikuti petunjuk dan memainkan permainan hidup mati yang gila ini.
    Kau boleh memanggilku jahat, kau boleh memanggilku monster.
    Membunuh atau dibunuh, bukan?
    Aku bersedia melakukan apapun untuk selamat, untuk bertahan hidup.

    Hari ini seharusnya tidak lebih dari sebuah hari biasa lainnya untukku.

    Aku ingat dengan jelas apa saja pelajaran hari ini. Ada matematika di jam pertama, kemudian sosiologi, selanjutnya geografi, dan ditutup dengan bahasa inggris. Hari ini ada ulangan matematika, dan tugas geografi yang harus dikumpulkan.

    Sekali lagi, itu yang seharusnya terjadi hari ini.

    Yang aku lihat bukanlah guru matematika yang berdiri membawa soal dan siap membagikannya ke kami, ke murid-muridnya. Yang aku lihat adalah seorang asing, mengenakan pakaian cokelat khas pekerja negeri. Lelaki itu lebih pendek dariku, kumisnya dicukur rapi dan sedang memperbaiki kacamatanya. Ia menebar senyum ke arah kami yang bingung. Di belakangnya, berdiri empat orang polisi bertubuh tinggi kekar yang berdiri dalam posisi siap membawa senapan.

    “Halo anak-anak kelas... Kelas apa ini? ... Ah iya, iya! IPS 2! Selamat siang, apa kabar? Baik-baik saja, tidak ada yang absen kan?!” Lelaki itu bertanya, menjawab sendiri, dan bertanya lagi. Aku membuka mulut, menarik nafas pendek-pendek sambil mengenggam sisi tubuhku untuk menengangkan diriku yang bergetar hebat. Aku tidak suka ini, kenapa ada polisi bersenjata disini? Lelaki itu hanya mengangguk-angguk sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan kelas, lalu beranjak menarik sebuah meja ke depan mendekat ke arahnya. Ia meletakkan sebuah tas kecil berwarna hitam dengan berbagai macam logo yang aku kenali di atas meja tersebut. Ada bendera negara, lambang militer, lambang pendidikan, dan simbol kota. “Baik semuanya. Nama saya Bagus, salah satu pengawas ujian kalian! Kalian pastinya bingung ujian apa ini, bukan? Kau! Kau pasti bingung bukan?”

    Pak Bagus menunjuk ke salah satu teman, sang ketua kelas. Ia melonjat kaget melihatnya ditunjuk, dan hanya menjawab dengan aggukan cepat.

    “Sesuai perintah yang diberikan pada saya, saya akan menjelaskan apa ujian ini sebenarnya.” Pak Bagus meraih dan menarik keluar selembar kertas dari dalam tas hitamnya, sebuah kertas yang nampak resmi lengkap dengan tanda tangan entah siapa orang pentingnya dan materai. “Perintah ini baru saja keluar tadi subuh, sebuah Dekrit Presiden. Isinya? Pemerintah mencari orang-orang yang pantas memimpin negara ini. Kita selalu mencari orang yang pantas, bukan? Tapi sayangnya, pilihan kita terkadang tidak sesuai harapan. Ada mereka yang tidak berani mengambil keputusan, mereka yang tidak berani berkorban demi negara. Mereka yang hanya mengejar kepuasan pribadi! Karena itu, Presiden akhrinya memutuskan untuk mencari calon-calon pemimpin dari kalian! Anak-anak yang masih berada di perbatasan antara remaja dan orang dewasa, mereka yang ada di tahun terakhir SMA!”

    Pak Bagus meletakkan suratnya itu di atas meja, lalu membuka tas hitamnya lebih lebar lagi dan meraih sesuatu di dalamnya sebelum menariknya keluar dan mengangkatnya cukup tinggi untuk dilihat kita semua. Jeritan ketakutan, tangis, dan suara derit dari mereka yang saking terkejutnya melompat berdiri. Sebuah pistol, sebuah revolver. Pak Bagus meletakkannnya di meja, lalu mengambil lagi satu. Lalu lagi, lagi. Lima buah revolver, empat yang sudah di letakkan di meja dan satu yang masih Pak Bagus pegang. Senyumnya nampak lebih lebar, seolah menikmati wajah-wajah ketakutan yang kami berikan. “Seperti yang kalian lihat disini, lima buah pistol revolver. Meskipun mereka memiliki kapasitas enam peluru, pistol-pistol ini hanya berisi lima peluru... Yak, anak-anak, perhatikan baik-baik peraturan Ujian Nasional hari pertama kalian ini!”

    “Jumlah kelas ini adalah 25 anak. Lima pistol untuk lima anak, dan dua puluh peluru tajam untuk masing-masing dari kalian.” Aku tahu aku tidak akan suka apa yang akan Pak Bagus ucapkan selanjutnya, setelah mendengar penjelasannya itu. “Ya! Hanya lima dari kalian yang akan lulus dari pelajaran pertama ini! Dan untuk lulus, kalian di wajibkan untuk menembak mati lima teman sekelas kalian sendiri!”

    “Waktu ujiannya lima menit. Jika dalam lima menit itu semua peluru ini belum habis, maka kalian yang masih berada di kelas semuanya gagal! Dan kalian tentunya tahu apa yang kumaksud dengan... ‘gagal’, bukan?” Teman-temanku menjerit, berteriak dan mengumpat-umpat. Beberapa memukul-mukul meja dengan marah. Empat polisi itu mengangkat senjata mereka dan mengarahkannya ke atas, lalu menekan pelatuknya. Suara rentetan senapan membuat teriakan teman-teman menjadi teriakan takut dan kaget. Pak Bagus terbatuk-batuk, debu yang mengepul turun dari lubang-lubang peluru di langit-langit menjatuhinya. Ia berdehem, melepas kacamatanya yang kotor dan mengelapnya dengan bajunya sebelum bertanya, “Baik, siapa yang berani mengambil keputusan dan siap berkorban?”

    Aku menoleh ke kiri kanan, memandang teman-temanku yang memandang balik dengan wajah pucat dan mata melotot takut. Aku menarik nafas panjang. Aku masih ingin melihat kedua orang tuaku, masih ingin bermain bersama adikku, masih ingin menikmati hidup. Aku menghembuskan nafas yang ku ambil itu sambil menggeser mejaku ke depan dan melangkah maju.

    Pak Bagus tersenyum ketika aku berhenti di depannya, teman-temanku mengumpat dan berteriak-teriak kepadaku dari belakang. Aku mengambil salah satu pistol yang disediakan di meja, yang karena beratnya harus aku angkat dengan kedua tangan. Aku menarik dan menghembuskan nafas, berusaha menenangkan diriku yang bergetar semakin hebat.

    “Pengamannya sudah kulepas.” Pak Bagus berbisik. “Dan jangan mencoba-coba menembak kami, Peserta nomor 87.”

    Aku memutar tubuhku sembari membuka mata. Aku melirik ke arah teman-temanku. Tentu saja aku tidak akan menembak mereka, melainkan membantu mereka sebisaku. Aku mengayunkan kedua tanganku ke atas, mengangkat pistol revolver itu ke arah sudut kelas pojok kanan. Orang-orang itu dikenal sebagai orang-orang yang gaul, mengenakan barang-barang bermerk ke sekolah dan tidak henti-hentinnya menggosip dan mencontek.

    Jika aku tidak maju dan menembak mereka, maka merekalah yang akan menembak aku dan teman-temanku.

    Aku menempelkan jari tengah dan telunjuk kemudian menekan pelatuk keras itu. Aku berhenti setiap tanganku tersentak, berhenti sejenak setiap jantungku terasa berdetak terlalu kencang sampai rasanya ia akan meledak. Tapi aku tidak berhenti. Suara letusan peluru menggema masuk ke dalam telingaku, bau terbakar yang nampaknya berasal dari bubuk peluru menyengat, dan tanganku nampak merah tidak kuat menahan beban pistol.

    Setelah peluru yang terakhir kutembakkan, pistol itu menjadi terasa lebih ringan. Terasa lebih kosong juga. Teman-teman menjerit, memanggil-manggil lima anak yang baru saja kutembak. Beberapa lagi mengumpat-umpat marah sambil menangis ke arahku. Entah bagaimana, aku berhasil mengabaikan itu semua.
    “Itu saja?” Tanyaku, mencoba terdengar tenang sambil meletakkan pistol di meja. Pak Bagus tersenyum, dan aku melihat salah seorang petugas polisi membukakan pintu kelas untukku.

    “Itu saja. Sekarang keluarlah dan beristirahat di lorong, masih ada pelajaran selanjutnya untuk ujian hari ini.” Apakah itu artinya Ujian Nasional sialan ini akan berlangsung selama tiga atau empat hari? Dengan ujian-ujian gila seperti ini? Aku akan tahu sebentar lagi, nampaknya. Aku menoleh ke arah teman-temanku, memandangku dengan wajah takut yang sama tapi matanya berkilat penuh tekad. Aku mengangguk ke arah mereka, sebelum beranjak keluar. Pintu kelas ditutup begitu aku melangkah keluar dari kelas dan berdiri di lorong.

    Dari lima temanku itu, hanya empat yang akan hidup jika mereka semua memutuskan untuk memberanikan diri. Mengambil keputusan sepertiku. Menjadi pembunuh sepertiku.

    Dengan lemas aku jatuh ke lorong, tanganku menutupi kedua telingaku. Dalam diam aku menangis, menarik nafas pendek dan panjang sementara rentetan senjata dan letusan pistol tidak henti-hentinnya mengema di lorong.

    Aku seorang pembunuh sekarang.

    Aku mengusap air mata, lalu mengelap punggung tangan yang basah ke rok ku.

    Dan aku tidak perduli seberapa banyak orang yang harus kubunuh untuk selamat.
     
    Last edited: Jan 5, 2015
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. toomuchidea Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 13, 2014
    Messages:
    27
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +6 / -0
    Hari 1 - Pelajaran 1 "Pistol dan Peluru"

    Hari ini seharusnya tidak lebih dari sebuah hari biasa lainnya untukku.

    Aku ingat dengan jelas apa saja pelajaran hari ini. Ada matematika di jam pertama, kemudian sosiologi, selanjutnya geografi, dan ditutup dengan bahasa inggris. Hari ini ada ulangan matematika, dan tugas geografi yang harus dikumpulkan.

    Sekali lagi, itu yang seharusnya terjadi hari ini.

    Yang aku lihat bukanlah guru matematika yang berdiri membawa soal dan siap membagikannya ke kami, ke murid-muridnya. Yang aku lihat adalah seorang asing, mengenakan pakaian cokelat khas pekerja negeri. Lelaki itu lebih pendek dariku, kumisnya dicukur rapi dan sedang memperbaiki kacamatanya. Ia menebar senyum ke arah kami yang bingung. Di belakangnya, berdiri empat orang polisi bertubuh tinggi kekar yang berdiri dalam posisi siap membawa senapan.

    “Halo anak-anak kelas... Kelas apa ini? ... Ah iya, iya! IPS 2! Selamat siang, apa kabar? Baik-baik saja, tidak ada yang absen kan?!” Lelaki itu bertanya, menjawab sendiri, dan bertanya lagi. Aku membuka mulut, menarik nafas pendek-pendek sambil mengenggam sisi tubuhku untuk menengangkan diriku yang bergetar hebat. Aku tidak suka ini, kenapa ada polisi bersenjata disini? Lelaki itu hanya mengangguk-angguk sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan kelas, lalu beranjak menarik sebuah meja ke depan mendekat ke arahnya. Ia meletakkan sebuah tas kecil berwarna hitam dengan berbagai macam logo yang aku kenali di atas meja tersebut. Ada bendera negara, lambang militer, lambang pendidikan, dan simbol kota. “Baik semuanya. Nama saya Bagus, salah satu pengawas ujian kalian! Kalian pastinya bingung ujian apa ini, bukan? Kau! Kau pasti bingung bukan?”

    Pak Bagus menunjuk ke salah satu teman, sang ketua kelas. Ia melonjat kaget melihatnya ditunjuk, dan hanya menjawab dengan aggukan cepat.

    “Sesuai perintah yang diberikan pada saya, saya akan menjelaskan apa ujian ini sebenarnya.” Pak Bagus meraih dan menarik keluar selembar kertas dari dalam tas hitamnya, sebuah kertas yang nampak resmi lengkap dengan tanda tangan entah siapa orang pentingnya dan materai. “Perintah ini baru saja keluar tadi subuh, sebuah Dekrit Presiden. Isinya? Pemerintah mencari orang-orang yang pantas memimpin negara ini. Kita selalu mencari orang yang pantas, bukan? Tapi sayangnya, pilihan kita terkadang tidak sesuai harapan. Ada mereka yang tidak berani mengambil keputusan, mereka yang tidak berani berkorban demi negara. Mereka yang hanya mengejar kepuasan pribadi! Karena itu, Presiden akhrinya memutuskan untuk mencari calon-calon pemimpin dari kalian! Anak-anak yang masih berada di perbatasan antara remaja dan orang dewasa, mereka yang ada di tahun terakhir SMA!”

    Pak Bagus meletakkan suratnya itu di atas meja, lalu membuka tas hitamnya lebih lebar lagi dan meraih sesuatu di dalamnya sebelum menariknya keluar dan mengangkatnya cukup tinggi untuk dilihat kita semua. Jeritan ketakutan, tangis, dan suara derit dari mereka yang saking terkejutnya melompat berdiri. Sebuah pistol, sebuah revolver. Pak Bagus meletakkannnya di meja, lalu mengambil lagi satu. Lalu lagi, lagi. Lima buah revolver, empat yang sudah di letakkan di meja dan satu yang masih Pak Bagus pegang. Senyumnya nampak lebih lebar, seolah menikmati wajah-wajah ketakutan yang kami berikan. “Seperti yang kalian lihat disini, lima buah pistol revolver. Meskipun mereka memiliki kapasitas enam peluru, pistol-pistol ini hanya berisi lima peluru... Yak, anak-anak, perhatikan baik-baik peraturan Ujian Nasional hari pertama kalian ini!”

    “Jumlah kelas ini adalah 25 anak. Lima pistol untuk lima anak, dan dua puluh peluru tajam untuk masing-masing dari kalian.” Aku tahu aku tidak akan suka apa yang akan Pak Bagus ucapkan selanjutnya, setelah mendengar penjelasannya itu. “Ya! Hanya lima dari kalian yang akan lulus dari pelajaran pertama ini! Dan untuk lulus, kalian di wajibkan untuk menembak mati lima teman sekelas kalian sendiri!”

    “Waktu ujiannya lima menit. Jika dalam lima menit itu semua peluru ini belum habis, maka kalian yang masih berada di kelas semuanya gagal! Dan kalian tentunya tahu apa yang kumaksud dengan... ‘gagal’, bukan?” Teman-temanku menjerit, berteriak dan mengumpat-umpat. Beberapa memukul-mukul meja dengan marah. Empat polisi itu mengangkat senjata mereka dan mengarahkannya ke atas, lalu menekan pelatuknya. Suara rentetan senapan membuat teriakan teman-teman menjadi teriakan takut dan kaget. Pak Bagus terbatuk-batuk, debu yang mengepul turun dari lubang-lubang peluru di langit-langit menjatuhinya. Ia berdehem, melepas kacamatanya yang kotor dan mengelapnya dengan bajunya sebelum bertanya, “Baik, siapa yang berani mengambil keputusan dan siap berkorban?”

    Aku menoleh ke kiri kanan, memandang teman-temanku yang memandang balik dengan wajah pucat dan mata melotot takut. Aku menarik nafas panjang. Aku masih ingin melihat kedua orang tuaku, masih ingin bermain bersama adikku, masih ingin menikmati hidup. Aku menghembuskan nafas yang ku ambil itu sambil menggeser mejaku ke depan dan melangkah maju.

    Pak Bagus tersenyum ketika aku berhenti di depannya, teman-temanku mengumpat dan berteriak-teriak kepadaku dari belakang. Aku mengambil salah satu pistol yang disediakan di meja, yang karena beratnya harus aku angkat dengan kedua tangan. Aku menarik dan menghembuskan nafas, berusaha menenangkan diriku yang bergetar semakin hebat.

    “Pengamannya sudah kulepas.” Pak Bagus berbisik. “Dan jangan mencoba-coba menembak kami, Peserta nomor 87.”

    Aku memutar tubuhku sembari membuka mata. Aku melirik ke arah teman-temanku. Tentu saja aku tidak akan menembak mereka, melainkan membantu mereka sebisaku. Aku mengayunkan kedua tanganku ke atas, mengangkat pistol revolver itu ke arah sudut kelas pojok kanan. Orang-orang itu dikenal sebagai orang-orang yang gaul, mengenakan barang-barang bermerk ke sekolah dan tidak henti-hentinnya menggosip dan mencontek.

    Jika aku tidak maju dan menembak mereka, maka merekalah yang akan menembak aku dan teman-temanku.

    Aku menempelkan jari tengah dan telunjuk kemudian menekan pelatuk keras itu. Aku berhenti setiap tanganku tersentak, berhenti sejenak setiap jantungku terasa berdetak terlalu kencang sampai rasanya ia akan meledak. Tapi aku tidak berhenti. Suara letusan peluru menggema masuk ke dalam telingaku, bau terbakar yang nampaknya berasal dari bubuk peluru menyengat, dan tanganku nampak merah tidak kuat menahan beban pistol.

    Setelah peluru yang terakhir kutembakkan, pistol itu menjadi terasa lebih ringan. Terasa lebih kosong juga. Teman-teman menjerit, memanggil-manggil lima anak yang baru saja kutembak. Beberapa lagi mengumpat-umpat marah sambil menangis ke arahku. Entah bagaimana, aku berhasil mengabaikan itu semua.
    “Itu saja?” Tanyaku, mencoba terdengar tenang sambil meletakkan pistol di meja. Pak Bagus tersenyum, dan aku melihat salah seorang petugas polisi membukakan pintu kelas untukku.

    “Itu saja. Sekarang keluarlah dan beristirahat di lorong, masih ada pelajaran selanjutnya untuk ujian hari ini.” Apakah itu artinya Ujian Nasional sialan ini akan berlangsung selama tiga atau empat hari? Dengan ujian-ujian gila seperti ini? Aku akan tahu sebentar lagi, nampaknya. Aku menoleh ke arah teman-temanku, memandangku dengan wajah takut yang sama tapi matanya berkilat penuh tekad. Aku mengangguk ke arah mereka, sebelum beranjak keluar. Pintu kelas ditutup begitu aku melangkah keluar dari kelas dan berdiri di lorong.

    Dari lima temanku itu, hanya empat yang akan hidup jika mereka semua memutuskan untuk memberanikan diri. Mengambil keputusan sepertiku. Menjadi pembunuh sepertiku.

    Dengan lemas aku jatuh ke lorong, tanganku menutupi kedua telingaku. Dalam diam aku menangis, menarik nafas pendek dan panjang sementara rentetan senjata dan letusan pistol tidak henti-hentinnya mengema di lorong.

    Aku seorang pembunuh sekarang.

    Aku mengusap air mata, lalu mengelap punggung tangan yang basah ke rok ku.

    Dan aku tidak perduli seberapa banyak orang yang harus kubunuh untuk selamat.
     
  4. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    :lol: pelajarannya.

    baru bab 1 ini kah? :iii:
     
  5. toomuchidea Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 13, 2014
    Messages:
    27
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +6 / -0
    Sudah jadi beberapa chapter. Mungkin besok saya langsung post 2/3
     
  6. toomuchidea Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 13, 2014
    Messages:
    27
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +6 / -0
    Air mataku sudah mengering ketika bel tanda ujian selesai, dan mereka yang “lulus” pelajaran pertama sudah berkumpul di lorong depean. Ada yang memuntahkan makan paginya di satu sudut, ada juga yang menangis dan menjerit- tidak kalah kencang dengan hal yang sama yang terdengar dari dalam ruang-ruang kelas, ada yang diam saja dengan wajah pucat dan badan bergetar, ada juga yang mencoba menelpon keluar dengan handphone untuk mencari bantuan. Percuma saja, sebab aku sudah mencoba hal yang sama seperti mereka. Nampaknya pemerintah telah mematikan nomor kami, sehingga kami kehilangan akses internet dan juga telepon.

    Bel berdering, menandakan bahwa 5 menit yang diberikan telah usai. Jerit dan tangis mereka yang masih ada di dalam terdengar dari luar disusul rentetan tembakan yang tak berhenti untuk sesaat. Kemudian lima pintu ruang kelas terbuka nyaris bersaman, Pak Bagus dan empat pengawas ujian yang lain melangkah keluar dengan para polisi bersenjata lengkap berbaris rapi dibelakang mereka.

    Pak Bagus memposisikan diri di depan kami, ia menatap kami satu persatu dan tangannya terangkat naik seolah menghitung.

    “Hanya 20 anak?” Tanyanya bingung. Pak Bagus menghitung sekali lagi untuk memastikan. Aku yang penasaran juga ikut menghitung. Benar ada dua puluh anak, dan aku baru sadar bahwa hanya ada dua anak lainnya selainku yang mengambil keputusan untuk maju. “Lima slot tidak diambil? Aih, rupanya murid-murid yang ada disini tidak memenuhi ekspetasi...”

    Pak Bagus mengeluarkan secarik kertas dari dalam kantung bajunya, berikut pulpennya. Ia menuliskan sesuatu sebelum melihat ke arah jam dan mengangguk ke arah empat pengawas yang lain. “Baiklah. Beri mereka waktu istirahat sepuluh menit, kemudian kita langsung melanjutkan ke ujian selanjutnya. Dengan begini, kita bisa selesai lebih cepat.”

    Keempat pengawas yang lain, dua lelaki dan dua wanita, mengangguk dan ikut-ikut saja. Pak Bagus berbalik dan mulai berjalan ke arah aula yang letaknya berada di lantai dua sama seperti tempat ruang kelas dua belas berada. Aku menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan Ryan dan Afie. Mereka berdua teman dekatku, mereka berdua teman sekelas. Kita semua duduk bersebelahan, kita semua sudah bersama semenjak SMP. Aku ingat bagaimana aku membantu Ryan waktu dia menyatakan cinta pada Afie, dan ikut bahagia ketika akhirnya mereka berpacaran. Mereka, dua sejoli yang sedang dimabuk cinta ini, mengambil keputusan. Siapa saja yang mereka tembak?

    “Yang lain?” Aku duduk disebelah mereka. Ryan menggeleng. Tidak perlu berhitung untuk tahu hanya kami bertiga yang lulus. Yang lain? Gagal, tentu saja.

    Beberapa orang petugas negeri datang membawa beberapa kotak kardus berisikan botol air dan roti isi. “Silahkan diambil.”

    Tentu saja tidak ada yang mengambil. Bagaimana caranya seseorang dapat makan, dapat terasa lapar, setelah melihat dan mendengar hal-hal yang seperti itu? Mengingat tubuh kelima orang yang kutembak, aku terasa mual.
    Tidak ada banyak yang terjadi dalam sepuluh menit waktu istirahat. Aku hanya mendengar saura bisik-bisik, suara tangis, doa-doa. Kepalaku terasa pening dan tubuhku terasa capek, berpikir bahwa semua ini tidak lebih dari sekedar mimpi aku menutup mataku....
    Dan terbangun mendengar suara peluit yang begitu kencang, yang datang dengan tiba-tiba entah dari mana. Aku tersentak dengan kaget, kebanyakan dari kami juga begitu. Pak Bagus muncul, tersenyum. Keempat penguji yang lain berdiri di belakangnya.

    “Baik. Waktu istirahat sudah selesai!” Umum Pak Bagus. “Ayo kita lanjutkan ujiannya!”

    Sesaat kemudian aku berjalan di tengah kerumunan anak yang dikawal oleh polisi-polisi. Suasananya terlalu hening, dan ruang kepala sekolah yang berkaca itu kosong. Nampaknya tidak ada yang bercanda. Dekrit Presiden itu sungguh-sungguh, dan seluruh sekolah melaksakan perintahnya. Aku penasaran. Jika begini caranya, bukankah artinya mereka meliburkan adik-adik kelas kita? Apakah guru-guruku menolak, atau ikut-ikut saja? Bagaimana dengan keluarga kami, bagaimana dengan publik? Pemerintah tentunya tidak bisa menyembunyikan hal ini dari semua orang.

    Aku mulai memikirkan apa yang dapat terjadi jika dunia internasional tahu mengenai hal ini ketika Pak Bagus membuka pintu aula dengan begitu kencang. Aula nampak seperti biasa, jendela-jendelanya terbuka dan angin hangat musim kemarau berhembus dengan panas dan membuat udara lembab kering masuk ke dalam ruangan. Aku mulai berkeringat sebelum aku tahu. Seorang polisi melangkah masuk membawa sebuah tas hitam yang nampak berat, dan suara logam berdenting terdengar dari dalamnya. Pintu aula ditutup dari luar, polisi-polisi berdiri menjaga di sekeliling ruangan dengan siaga. Kelima pengawas ujian berdiri di hadapan kami, hanya dipisahkan oleh sebuah tas hitam yang di letakkan di antara kami.
    “Baik! Kalian semua masih siap, bukan?” Pak Bagus menepukkan tangannya keras-keras untuk menarik perhatian mereka. Ia tersenyum-senyum memandang mereka, sambil memperbaiki posisi kacamatanya, kemudian melirik jam tangannya untuk melihat waktu. “Baik, kita mulai saja ujian yang kedua supaya kita bisa pulang lebih cepat!”

    “Sekali lagi, waktu ujian kalian adalah lima menit. Tema ujian ini masih sama dengan tema ujian kalian sebelumnya. Kalian lihat itu?” Pak Bagus menunjuk tas hitam yang diletakkan di lantai tersebut. “Di dalam tas hitam itu, ada dua puluh lima parang yang tajam. Dalam kurun waktu ujian, aku ingin kalian saling membunuh hingga hanya ada lima orang yang selamat.... Baiklah, itu saja dari saya!... Ujian dimulai... Dari sekarang!”

    Sebelum yang aku tahu, aku sudah berlari maju. Tidak sendiri seperti di ujian sebelumnya, kali ini bersama empat atau lima orang lainnya sekaligus. Aku bukan yang sampai pertama. Seorang anak lelaki berlutut dan dengan cepat membuka tas hitam itu, ia meraih sebuah parang dan mengayunkannya ke belakang dengan cepat. Seorang perempuan yang berlari di belakangnya disayat dadanya, si penyerang pertama itu menendangnya ke samping sebelum berlari menerjang ke arah mereka yang berlari dengan panik.

    Aku akhirnya menyadari bahwa aku adalah salah seorang dari mereka yang terlambat sampai ketika aku melihat seorang lelaki yang bertubuh cukup gendut mengayunkan sebilah parang ke arahku. Aku mengenalinya, pagi ini aku bercakap-cakap seru dengannya mengenai sebuah film yang akan segera tayang di bioskop, aku bahkan maju dan menembak mati lima orang untuk menolongnya tadi.

    “Ryan, jangan bercanda.” Aku berhenti berlari, berdiri dalam posisi siaga dan mundur selangkah dengan siap. Tanganku diangkat ke atas, kepalaku sesekali menoleh ke kiri atau ke kanan memperhatikan sekeliling, takut akan serangan mendadak. Ryan tidak membalas dengan kata-kata melainkan dengan sebuah ruangan yang terdengar buas, dengan wajah yang bengis. Aku melompat ke belakang, menghindari ayunan parangnya dan berlari menjauh. Nafasku terdengar pendek dan tidak teratur, pandanganku terasa kabur dan semua suara terdengar dua kali lebih keras. “Ryan?!”

    “Maaf maaf maaf!!!” Ryan menyeringai, sebuah seringai yang gila. Ia melotot ke arahku. “MAAF!”

    Aku berlari ke sudut ruangan dengan sengaja, dalam usaha untuk melawan balik. Ryan Pramulya, aku mengingatnya sebagai anak yang pendiam tapi riang. Kacamatanya basah terkena keringatnya sendiri, ia memegang parang di tangan kanannya dengan erat. Ia bukanlah orang yang bisa bergerak dengan cepat, terutama dengan bentuk tubuhnya, tapi kakinya sungguh gesit. Aku masih punya kesempatan.

    Ryan tersenyum, sebuah senyum yang nampak gila. Ia berteriak memanggil namaku, sembari mengayunkan parangnya maju ke depan dari kiri ke kanan. Dengan reflek aku melangkah ke belakang untuk menghindar, dan aku menambahkan sebuah serangan balik dengan mengayunkan tangan kiriku ke arah kanan. Sesuai harapanku, tanganku yang panjang meraih lengan Ryan yang memegang pisau dan menghantamkannya ke dinding. Tangan kananku bergerak dengan cepat, merebut parang dari tangan kanan Ryan lalu mengayunkannya ke depan dan membuka sebuah luka yang terlihat lebar di tangan kanan Ryan yang kemudian kulepaskan itu. Ryan berteriak dan menangis kesakitan, sementara aku memperhatikan dan mempererat genggamanku pada parang yang baru saja kurebut itu. Ryan memandangku dengan wajah memelas. Mulutnya terbuka, “Maaf! Maaf! Ki-Kita teman, bukan?! Maaf!”

    “Aku tidak bermaksud melukaimu seperti itu. Aku tidak pernah ingin kita berhadapan selama ini.” Aku menarik nafas panjang untuk mengatur kembali nafasmu. “Tapi maafkan aku Ryan, pertemanan kita berakhir ketika kau mengarahkan senjata ini ke arahku.”

    Ryan menjerit ketika aku menusukkan parang itu ke perutnya. Tidak banyak yang berbeda dari menusuk daging makanan biasa selain dari gumpalan daging yang ini masih hidup dan menangis. Aku mengangkat pisau itu ke arah atas, merobek daging dan otot sembari mengabaikan darah yang sudah menodai seragamku sepenuhnya. Ryan terjatuh ke tanah, suaranya tersenggal-senggal seperti hewan terluka. Tangannya yang gempal bergerak meutupi lukanya, dalam usaha sia-sia untuk menghentikan pendarahan dan mengembalikan ususnya kembali ke tempatnya. Aku mengangkat parang lagi, hendak menyayat lehernya ketika seorang polisi yang berdiri paling dekat dengan kami menyarangkan sebutir peluru ke kepala Ryan.

    “Jangan buang waktu.” Kata si polisi, sebelum menunjuk ke arah pertarungan yang masih terjadi di tengah aula dengan moncong senjatanya. Aku menjawab dengan anggukan kecil, lalu berlari ke arah area pertarungan. Aku menginjak mayat-mayat secara tidak sengaja, lalu menggunakan kepala seseorang sebagai tumpuan untukku melompat dan memeluk seorang lelaki tinggi dari belakang dan menusukkan parang yang kubawa di lehernya. Darah terciprat ke wajahku, rasanya asin. Ia terbatuk-batuk, memuntahkan darah sembari terjatuh ke lantai. Ia menjatuhkan parangnya yang bersimbah darah juga, kedua tangannya memegang luka di lehernya sebelum terdiam lemas.

    Seorang anak perempuan yang tadi melawan si lelaki tinggi mengangkat parangnya yang berlumuran darah, tubuhnya bergetar dan matanya melotot. Aku mengangkat tanganku sebagai tanda supaya ia berhenti, supaya Afie berhenti.

    “Dimana Ryan?!” Jeritnya, ia memutar tuuhnya ke segala arah mencarinya tapi nampak seperti orang mabuk.

    “Sudah lima? Cepat juga, masih ada sisa waktu satu menit.” Pak Bagus mengeluarkan sebuah peluit berwarna merah, lalu meniupnya keras-keras. Suara peluit itu seperti bergema ke seluruh sekolah, mengumumkan bahwa ujian yang kedua telah usai. Pak Bagus dengan cepat menyelipkan peluit itu kembali ke kantongnya. “Baik, kerja bagus—”

    Kalimat Pak Bagus dipotong oleh suara jeritan yang begitu memekkikkan telinga, aku memutar tubuhku untuk melihat sumber suara yang terdengar familiar tapi dihantam duluan oleh Afie. Aku terjatuh, kepalaku menghantam lantai dengan keras. Afie menduduki tubuhku, parangnya tinggi-tinggi, darah dari parang itu menetes jatuh ke wajahku bersama dengan air matanya.

    “Tunggu!” Aku menjerit, mengangkat tanganku dengan reflek untuk melindungi kepalaku. Suara rentetan peluru, dan tubuh Afie terjatuh ke samping. Aku terengah-engah, terdiam sejenak sebelum menemukan kekuatan untuk terduduk.
    “Sayang sekali.” Gumam Pak Bagus, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

    Aku melihat sekeliling. Selain aku, ada lelaki yang masih berdiri di hadapanku dengan badan gemetar, seorang lelaki yang badannya cukup kekar hasil berolahraga di pusat kesehatan- si penyerang pertama, dan seorang perempuan lainnya.

    “ Dengan demikian, Ujian hari pertama telah usai! Tepuk tangan!” Pak Bagus bertepuk tangan, diikuti oleh keempar pengawas ujian yang lain. Mereka berlima tertawa dan tersenyum, puas sekali. Kami berlima dan polisi-polisi yang berjaga hanya menonton dalam diam. Bagiku, diam adalah satu-satunya cara aku dapat mengontrol diri sendiri dan menahannya supaya tidak menerjang maju. Pak Bagus berhenti, dan segala macam perayaan berhenti juga. “Setelah ini, kalian diwajibkan untuk mengikuti tes kesehatan. Kemudian setelah dinyatakan lulus, kalian mendapatkan bonus satu jam, tiga puluh menit lebih banyak, untuk bertemu dengan keluarga kalian yang sudah menunggu sedari tadi. Kemudian, kalian akan diantar oleh mobil baja militer ke sebuah tempat persinggahan tempat kalian akan beristirahat untuk keesokan hari. Hari ujian yang kedua! Wah, tidakkah kau penasaran akan apa yang akan kau hadapi?”

    Polisi mengawal kami keluar, aku melemparkan pandangan lurus ke depan untuk menghindari melihat mayat Ryan atau Afie. Sekeluarnya kami di lorong, aku melihat puluhan kantong mayat berwarna hitam dengan label-label nama diletakkan dengan cukup rapi. Selain yang sudah dijajarkan dengan rapi di lorong untuk membuat jalan, masih ada banyak lagi yang sesekali dibawa keluar dari ruang-ruang kelas. Aku melirik ke kiri dan kanan.

    Aku mengenali nama-nama itu, wajah-wajah mereka terlintas di benakku. Sekolahku bukanlah sebuah sekolah yang besar sehingga semua orang setidaknya tahu nama dan wajah. Kami berlajar bersama selama 3 tahun ini, untuk beberapa orang aku sudah mengenal mereka selama 6 tahun atau lebih. Sekarang mereka terbujur kaku di kantung mayat, bagaimana dengan mimpi-mimpi mereka dan keluarga mereka? Bagaimana dengan rencana jalan-jalan, pergi bersama ke bioskop yang mereka sudah buat?
    Polisi-polisi itu membawa kami menuju ke beberapa tenda kecil yang sudah didirikan di halaman sekolah. Dokter dan suster menyambut kami. Aku menyadari bahwa hanya ada lima ranjang untuk pemeriksaan, sesuai dengan jumlah kami. Aku menyimpulkan bahwa nampaknya Pemerintah memang hanya mengiginkan lima orang yang lulus untuk setiap sekolah.

    Sang Dokter memeriksaku, dibantu oleh sang suster. Tidak ada banyak yang bisa aku lakukan selain mengikuti kata mereka. Sang dokter mengangguk ke arah polisi ketika kami selesai, lalu memberiku isyarat untuk berdiri bangun. Mereka membawaku keluar dari tenda-tenda kecil menuju ke gedung milik sekolah yang digunakan untuk mengurus segala macam administrasi. Aku mendengar namaku dipanggil, dan tidak bisa menghentikan diriku dari menoleh ke arah gerbang sekolah.

    Ratusan pasang mata melihat ke arahku, mata milik orang-orang tua yang semuanya nampak cemas dan pucat. Aku mengenali pemanggilku, ibu dari Ryan. Dia berteriak lagi memanggil namaku, meneriakkan sesuatu yang aku duga adalah dimana Ryan berada. Aku menarik nafas beberapa kali, memejamkan mata sembari mengenggeleng dan menujuk ke atas sebagai jawaban. Aku mendengarnya melolong, menjerit-jerit dengan sedih bahkan setelah aku melangkah masuk ke dalam gedung.

    Dua orang polisi membawaku menuju sebuah ruangan dan membukakan pintunya untukku. Aku mendengar namaku dipanggil oleh suara ibuku, yang terdengar serak habis menangis. Mendengarnya aku tidak bisa air mata yang sudah sedari tadi aku tahan.
    “Satu jam.” Tegas salah satu polisi yang mengawalku, sebelum mendorongku masuk dengan kasar. “Tidak lebih.”
     
  7. ryrien MODERATOR

    Offline

    The Dark Lady

    Joined:
    Oct 4, 2011
    Messages:
    6,529
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +3,171 / -58
    Hmm, menarik sih sebenarnya :iii:

    Tapi, karena udh banyak baca cerita mode survival kyk gini jd terkesan biasa aja buat saya. Yah, emang lagi musim sih.

    Klo cerita kyk gini mau survive, sbnarnya terletak di game nya itu sendiri (dalam orific ini disebut ujian). Jadi ujiannya itu emang sesuatu yg khas, unik, menarik.

    Saran saya sih, krn situ ngambil setting di Indonesia, lebih baik game/ujiannya itu sesuatu permainan yg biasa khas indonesia yang tiba-tiba menjadi sesuatu yg mengerikan. Kyk misal main layang-layang, atau main kelereng atau apalah yang khas indonesia yg biasa menjadi survival dengan rule yg sedikit dimodif.

    Kalau kyk main tembak sama main bacok pake parang gitu kan apa ya, nggak berkesan sama sekali. Nggak seru dan menarik. Lebih bagus lagi kalau situ sampai bisa membuat permainan khas indonesia yg sesuai dengan pelajaran yang diujiankan. Misal ujian kimia, gamenya berbau kimia tapi tetap khas indonesia, pasti menarik banget itu :blink: :blink:

    Tapi, ya apa daya klo kk masih level segini dan tetap mau di level segini. Oke, segitu aja. Makasih kk :bye:
     
  8. toomuchidea Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 13, 2014
    Messages:
    27
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +6 / -0
    Alasannya saya nggak pakai permainan tradisional adalah karena itu Kamisama no Iutoori banget.

    Sebagai gantinya, saya coba buat Ujian itu alasannya dibuat twisted banget.

    Misal, di ujian hari 1 itu murid-murid itu semuanya di test apakah mereka berani menghabisi teman mereka sendiri untuk menyelamatkan diri mereka.
    Kalau mereka tidak berani berkorban untuk menyelamatkan diri mereka sendiri, maka mereka tidak akan bisa melakukan hal yang sama untuk menyelamatkan negaranya. Selain itu, hal ini juga dilihat dari kemampuan mereka mengambil keputusan.
     
  9. orange_doughnut M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 28, 2013
    Messages:
    1,738
    Trophy Points:
    57
    Ratings:
    +427 / -0
    well, udh mulai panjang.

    komen yg serius ini yah.

    sama seperti ririn bilang. letak kelemahan dari cerita ini klo yg jadi patokannya genre survival game itu adlaah gamenya terlalu raw brutal gajes.

    penonton emang pengen liat darah, pengen liat pengkhianatan, pengen liat mereka menderita :lol: jujur aja aku suka itu. tapi, klo dibuat kek terlalu sederhana contohnya ada pistol terus si itu nembak bam bam bam dan selesai apa ya, klimaks nya nggak nyampe. seakan2 mudah gitu nembak temennya sendiri.

    terus maen parang2an juga maen psikologi dan tingkat intelektualistas yang mau diuji juga nggak keukur disini.

    jadi mikir ini ujian asa cuman pengen ngetes pisik doang. nggak maen otak.

    dan kalimat ini....

    :lol: sampah yg dengan mudah nembak temen itu malah yg biasanya mudah berkhianat ama negara kan :lol: mungkin beda perspektif.

    ==

    dari kamisama no iutoori kah? :iii:
    blum nntn movienya. keknya seru. ada a-chan :cinta: meskipun cuman suaranya doang.


    mgkin game selanjutnya bisa lbh thrilling lagi.
     
    Last edited: Jan 17, 2015
  10. toomuchidea Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 13, 2014
    Messages:
    27
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +6 / -0
    Phew untung di Hari 2 nanti tipe Ujiannya ujian intelek. Semoga bisa memuaskan

    Bukan, ini inspirasinya dari mimpi saya hohoho (Iya agak twisted memang mimpinya)

    Belum rilis kalau nggak salah, Summer tahun ini?
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.