1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen The Clock is Going Back Round And Round

Discussion in 'Fiction' started by bagong016, Dec 30, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. bagong016 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Apr 26, 2012
    Messages:
    1,251
    Trophy Points:
    112
    Ratings:
    +3,558 / -0
    001

    Sering kita dengar orang menyebutkan 'penyesalan akan selalu datang di saat terakhir'. Itu mungkin menyatakan bahwa manusia akan selalu mati dengan penuh penyesalan. Penuh sendiri karena hidup manusia itu memang penuh dengan berbagai macam kejadian yang menimpa masing-masing orang.

    Aku sendiri masih muda, dan tentunya tidak banyak yang terjadi dalam hidupku. Kebanyakan hanyalah bermain dan bermain. Dan jika kita dengar kata 'masa muda' mungkin yang kita pikirkan adalah tentang cinta. Tapi jujur, aku belum pernah merasakan hal seperti 'cinta' atau ketertarikan pada lawan jenis. Tidak berarti aku tidak menyukai lawan jenis atau malah seorang Homo, tapi aku hanya belum merasa tertarik pada individu lain- pada orang lain.

    Tapi alasan utamanya, adalah karena aku tidak ingin memiliki penyesalan. Aku tidak ingin memenuhi hidupku dengan penyesalan, ataupun mati dengan menyisakan penyesalan. Apalagi aku dengar arwah orang yang punya penyesalan di dunia ini sering berkeliaran. Mana mau aku menjadi hantu gentayangan!

    Karena itulah aku tidak melibatkan diriku- hidupku ini pada hal yang namanya cinta. Aku tidak perlu takut kehilangan orang yang aku cinta, karena itu hanya akan meninggalkan rasa penyesalan. Aku selalu belajar seperti biasa, dan terkadang malas-malasan, sehingga nanti kalau pun aku mendapatkan nilai jelek, itu wajar, dan aku tidak akan menyesalinya karena aku selalu melakukan sebisaku disetiap kesempatan.

    Aku tidak pernah ingin mengambil pilihan yang memiliki resiko, supaya aku tidak akan menyesal jika salah memilihnya. Karena itu aku tidak ingin terlibat dalam apapun. Aku tidak ingin menyesali apapun. Dulu, sekarang, dan sampai aku mati.

    002

    Bangun tidur, mandi, sarapan, lalu berangkat sekolah. Mungkin semua anak SMP di Indonesia selalu mengawali hari-harinya seperti itu. Mungkin. Aku tidak ingin mengatakan segala hal dengan kepastian. Karena aku tahu tidak ada yang pasti sebelum ada bukti. Itu hanyalah sekedar pagi yang kualami saja, sedangkan banyak berita di TV yang selalu menceritakan tentang banyaknya anak-anak yang harus menempuh medan jauh berkilo-kilo meter hanya untuk mengenyam bangku sekolahan. Aku harus bersyukur. Aku tahu itu dengan pasti.

    Setelah selesai sarapan pagi dengan nasi goreng buatan pembantu keluargaku, aku segera pergi ke pintu depan sambil memakai sepatu, dan aku siap berangkat ke sekolah. Kukeluarkan sepeda dari garasi, lalu mengayuhnya dengan santai. Sekarang masih jam 06.15 pagi, jadi aku bisa santai.

    Diperjalanan ke sekolah, aku melihat ada seseorang yang sudah kukenal cukup lama. Tubuh yang 'agak' lebih pendek dariku, dan selalu memakai kerudung meski sebenarnya tidak diwajibkan memakai kerudung oleh SMP kami.

    “Hei, Wati!!” Aku berteriak memanggil namanya dan segera mengayuh sepedaku untuk mengejarnya.

    Setelah sampai di sisinya, aku langsung turun dari sepedaku dan menuntunnya saja. Kami pun berjalan berdampingan.

    “Tidak biasanya kamu kesiangan.” Ucapnya memulai perbincangan kami.

    “Kesiangan? Jam segini masa udah disebut siang sih? Kamu tuh yang selalu bangun kepagian, makanya jam segini udah disebut siang.” Balasku dengan riang.

    “Aku kesiangan tahu. Aku bangun jam 6 kurang 15 menit, jadinya aku tidak sempat sholat subuh.”

    “Udahlah, cuma sekali gak sholat subuh kan gak masalah.” Balasku menyepelekan omongannya.

    “Jangan begitu! Tidak sholat satu kali itu dosanya besar tahu. Coba saja aku tidak begadang semalaman untuk mengerjakan tugas... Nyesel deh!”

    Nyesel... Menyesal... Penyesalan. Aku sering mendengar orang-orang mengatakannya. Kenapa mereka harus selalu menyesali sesuatu yang sudah berlalu?

    “Emang tugas apaan yang kamu kerjain sampai si jenius ini perlu begadang semalaman?”

    “Yah, guru matematika aku kan mau pergi ke luar kota, jadinya aku disuruh ngebikin materi buat teman-teman di kelas. Padahal aku belum ngerti betul sama pelajaran bab selanjutnya...” Ucapnya dengan nada lemas.

    “Ugh, aku sih pasti udah nolak duluan. Kamu emang anak baik yah, nanti om kasih permen deh~!” Aku mengolok-oloknya sedikit.

    “Jangan mempermainkan aku deh! Cuma gara-gara badanku ‘agak’ kecil jadinya sering dianggap anak SD nyasar mulu tahu! Lihat saja, nanti pas aku masuk SMA aku bakalan jadi seorang wanita yang cantik, tinggi dan juga alim!” Ucapnya dengan yakin. Kata-katanya yang memang terdengar kekanak-kanakan itu memang membuat dia semakin terlihat seperti anak kecil.

    Tapi, meski fisiknya memang ‘agak’ kurang, tapi kepintarannya tidak perlu diragukan lagi. Dia berhasil jadi juara lomba cerdas cermat tingkat provinsi, jadi wajar saja aku menyebutnya jenius.

    “Ahahahaha, iya deh. Aku berdo’a supaya keinginanmu itu terkabul.”

    “Amin!!” Dia mengatakan ‘amin’ dengan suara lantang. Benar-benar seperti anak kecil.
    “Oh ya, nanti istirahat kamu datang ke kantin yah.” Wati ingin menemuiku di kantin?

    “Oke aja sih, tapi buat apa?” Tanyaku penasaran.

    “Sudahlah, kamu tidak akan menyesalinya kok.” Ucapnya sambil tersenyum riang.

    Menyesalinya......
    Memang aku pernah memberitahu dia kalau aku tidak mau menyesali apapun, jadi rasanya wajar kalau dia ingin meyakinkanku dengan berkata ‘tidak akan menyesalinya’.

    “Yah, gimana nanti aja deh.” Jawabku agak malas.

    “Janji dong!” Paksa Wati.

    “Kan udah kubilang gimana nanti. Takutnya kan aku tiba-tiba sakit atau ada tugas mendadak dari guru.” Aku tidak ingin berjanji. Aku takut menyesalinya.

    “Jangan bicara hal-hal yang buruk seperti itu. Kata-katamu adalah do’a-mu sendiri loh.” Sepertinya Wati coba menakut-nakutiku. Tapi anak kecil- maksudku, cewek kecil seperti dia tidak akan bisa membuatku takut.

    “Aku duluan yah.” Tanpa menjanjikan apapun, aku segera naik ke atas sepeda dan mengayuhnya sekuat mungkin.

    “Jangan lupa yah nanti istirahat!” Teriak Wati saat aku sudah semakin menjauh dari tempatnya berdiri.

    Aku hanya membalasnya dengan lambaian tangan. Itu tidak berarti apapun. Aku tidak ingin melanggar janji. Aku takut menyesalinya jika melanggarnya. Dan aku mungkin tidak akan menemui Wati di kantin, karena aku tidak ingin merubah kebiasaanku yang selalu tidur saat istirahat. Perubahan bisa membawa penyesalan, begitulah pikirku. Aku tidak akan menemuinya. Aku takut akan menyesalinya.

    003

    “Baiklah anak-anak, jangan lupa untuk mengerjakan tugasnya untuk dikumpulkan minggu depan. Assalamualaikum.” Pak guru yang sudah memberesi semua peralatannya segera pergi meninggalkan kelas.

    “Waalaikumsalam, paaakk!!” Semua kelas serentak membalas salam sang guru, yang memang sudah menjadi kebiasaan.

    Istirahat pun datang. Banyak anak-anak kelas yang langsung keluar kelas dan pergi mencari jajan. Ada pula yang membuka kotak bekalnya yang sudah mereka bawa dari rumah. Lalu aku? Aku hanya akan tidur di kelas seperti biasa. Aku jarang makan siang karena aku bukan orang yang terlalu doyan makan. Jadi aku lebih sering menghabiskan waktuku dengan tidur di kelas. Aku memang tidak punya banyak teman, dan jikapun ada, temanku itu lebih sering bersama temannya yang lain. Mungkin karena aku bukan orang yang asik untuk diajak main. Mungkin. Karena aku sendiri jarang bergaul.

    Aku segera melipat tanganku di atas meja lalu meletakkan kepalaku di atasnya. Aku menutup mata, dan akhirnya terlelap. Siang di musim panas memang rasanya paling nyaman untuk tidur. Karena itu aku melakukannya. Aku tidak akan menyesalinya.

    Dalam tidurku aku merasa melihat mimpi. Orang-orang nampak panik sambil mengerumuni sesuatu. Dan saat aku mengalihkan pandanganku ke luar kelas, Wati sedang berdiri di ambang pintu sambil menundukan kepalanya. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku bisa melihat mulutnya seperti mengatakan sesuatu.

    Aku tidak bisa mendengarnya, sehingga aku secara refleks berjalan mendekatinya. Tapi, entah kenapa, aku tidak bisa menggerakan tubuhku. Dan seketika juga, cahaya putih langsung terpancar di depanku, dan mimpiku terasa semakin memudar.

    Saat aku terbangun, aku sedang terduduk sambil menyandarkan punggungku di kursi. Aneh. Rasanya tadi aku tertidur dengan kepalaku di atas meja, bukan seperti ini.
    Aku melirik jam tanganku, tertampil angka 11.55, 5 menit sebelum istirahat. Aneh. Mungkin jam tangan ini rusak.

    “Baiklah anak-anak, jangan lupa untuk mengerjakan tugasnya untuk dikumpulkan minggu depan. Assalamualaikum.” Pak guru yang masih berada di dalam kelas, segera pergi meninggalkan kelas sambil menggandeng tasnya yang sudah berisi.

    “Waalaikumsalam, paaakk!!” Seisi kelas serentak membalas salam sang guru, yang rasanya sudah pernah aku alami.

    Ada apa ini? Apa aku ini masih bermimpi? Tapi rasanya ini semua adalah kenyataan. Mungkin saja mimpiku itu menampilkan apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Mimpi yang bisa meramal masa depan. Sepertinya aku memiliki kemampuan yang luar biasa!

    Begitulah harapku, tapi itu pasti hanya kebetulan. Jam isitirahat sudah tiba, dan anak-anak kelas mulai pergi meninggalkan kelas untuk membeli makan dan beberapa ada yang membuka kotak bekal mereka masing-masing.

    Aku melakukan kembali apa yang sebelumnya aku lakukan, menyilangkan tanganku di atas meja lalu meletakkan kepalaku di atasnya, dan akhirnya menutup mata.

    Aku membuka mataku. Aku melihat apa yang sudah pernah kulihat. Aku mengalami kembali apa yang sudah aku alami. Jam yang menunjukan pukul 11.55, guru yang sudah siap untuk meninggalkan kelas, dan para murid yang membalas salam guru dengan sangat lantang. Semuanya sudah pernah aku alami. Lagi. Aku mengalaminya lagi.

    Kenapa? Sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi!? Aku bingung. Aku tidak tahu harus melakukan apa.
    Aku takut. Takut tidak akan bisa keluar dari waktu ini. Waktu yang entah kenapa terus terulang.

    Apa yang harus aku lakukan? Kenapa ini terjadi padaku? Apa orang lain tidak merasakannya? Kenapa--

    "Sepertinya kamu mengalaminya juga, yah?" Ada suara di sampingku.

    Saat aku melirik, aku melihat seseorang duduk di sebelahku. Dia mengenakan seragam putih, sama seperti yang aku pakai. Kalau tidak salah namanya itu...

    "Aku Putra. Salam kenal." orang itu mengulurkan tangannya, mengajakku untuk bersalaman

    "Sa-salam kenal..." Aku menjabat tangannya. Aneh, kenapa dia memperkenalkan dirinya?

    "Kamu pasti bingung, kan?"

    "Maksudmu...?"

    "Waktu terus kembali ke saat ini tanpa ada alasan yang jelas. Kamu mungkin berpikir ini adalah mimpi, tapi ini adalah dunia nyata."

    "Ja-Jadi kau juga...!" Orang ini juga mengalami hal yang sama sepertiku!?

    "Iya. Sepertinya kita terperangkap dalam putaran waktu."

    "Putaran waktu?"

    "Iya. Kita terus kembali ke suatu waktu yang sudah ditentukan di saat yang juga sudah ditentukan. Berputar-putar tanpa henti dari satu titik ke titik yang sama lagi, itulah putaran waktu." Dia menjelaskannya dengan rinci, meski aku sendiri tidak terlalu mengerti apa yang dia katakan.

    "Lalu, bagaimana caranya supaya aku bisa berhenti mengalami Putaran Waktu ini?"

    "Jangan tidak sabaran begitu. Semua hal pasti ada penyebabnya. Asap tanda adanya api, sekecil apapun api itu, pasti ada asapnya. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan kita berada dalam situasi ini."

    "Tapi apa? Selain itu, aku sama sekali tidak mengerti kenapa aku mengalami hal ini."

    "Memangnya kamu mengalami hal ini saat sedang melakukan apa?"

    "Aku cuma sedang tiduran di kelas sih... Tunggu! Mungkin itu!"

    "Eh?"

    "Mungkin saja penyebabnya karena aku tidur di kelas--"

    Saat aku berkedip, aku melihat guru yang sudah bersiap meninggalkan ruang kelas. Dan saat aku melirik jam, angkanya menunjukan pukul 11.55. Waktu masih berputar di tempat yang sama.

    004

    "Sepertinya penyebabnya bukan karena kamu tertidur di kelas." Putra yang duduk di sampingku mengatakannya dengan sedikit kecewa.

    "Lalu apa? Aku tidak melakukan apapun selain tidur. Uhh... bagaimana nih? Kalau terus begini lama-lama aku bisa gila! Apa sih salahku sampai-sampai hidupku jadi aneh begini!?"

    "Salah......" Putra mengatakan sesuatu. Dia kelihatannya sedang berpikir karena posenya yang sedang memegang dagu dan raut mukanya yang nampak serius.

    "Hei, apa kamu pernah merasa ingin mengulangi sesuatu kembali, supaya kamu tidak melakukan kesalahan?"

    "Eh? Apa maksudmu?"

    "Misalnya, kamu lupa menulis namamu di lembar ujian, tentunya kamu ingin bisa mengulang kembali saat kamu ujian dan menuliskan namamu, kan?"

    "Iya sih, tapi hal yang sudah terjadi yah biarkan saja berlalu. Kesalahan kecil seperti itu tidak akan terlalu membuatku sampai ingin kembali ke masa lalu."

    "Tapi, jika kamu melakukan kesalahan, tentunya kamu akan--" Aku merasa aku tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya. Tapi aku tidak bisa mendengarnya lagi. Karena sekejap setelah aku mengedipkan mataku, aku sudah melihat pemandangan yang lain.

    Langit sore hari yang berwarna jingga. Jalanan yang sepi. Dan di depanku, kulihat seseorang yang sedang berjalan dengan linglung. Orang itu sangat kukenal. Hanya melihatnya dari belakang saja, aku sudah tahu siapa dia.

    Wati berjalan dengan linglung. Dia kelihatannya sedang melamun.

    ".....!!" Aku coba memanggil namanya, tapi aku tidak bisa. Suaraku tidak mau keluar. Kenapa ini? Rasanya aku pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya.

    Wati terus berjalan. Berjalan menuju jalan raya yang sepi. Dia mau menyeberang. Dan entah kenapa, aku merasa aku harus menghentikannya.

    "...!! .....!!" Suaraku tetap tidak mau keluar. Kenapa? Sebenarnya tempat apa ini!? Apa yang sebenarnya terjadi!?

    ".....Wa....!! ....I...!!" Keluar!! Aku mohon keluarlah suaraku!!

    Wati menyeberangi jalan. Tapi anehnya, dia berhenti di tengah jalan. Apa yang dia lakukan? Aku benar-benar takut. Tapi kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa!? Kenapa!? KENAPA!?

    ".....A...!! .....Ti!!" Wati melirik ke samping. Dan dari arah samping itu, ada cahaya yang datang. Pikiranku kacau. Aku tahu apa yang akan terjadi. Aku tahu. Tapi aku tidak mau menyadarinya. Aku masih berharap bahwa bukan hal itu yang terjadi. Aku masih berharap...

    Cahaya itu berasal dari suatu benda. Dan benda itu seperti semakin mendekati Wati. Wati hanya diam di tengah jalan. Apa yang kau lakukan Wati!? Cepat lari dari sana!! Wati!! Dengar aku Wati!! Cepat lari!! CEPAT!!

    *TIIIIIIIIITTT* suara klakson mobil
    "WAATIII!!!" dan teriakanku saling beradu. Ditambah dengan...

    *BRUGHHKK* suara tubrukan.

    Darah mengalir di tengah jalan. Sebuah tumpukan daging tergeletak. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku saat itu. Aku rasa aku menangis. Tapi aku tidak merasakan air mataku menetes. Apa yang sebenarnya terjadi...? Apa yang....

    005

    Aku kedipkan mataku. Dan pemandangannya kembali menjadi saat aku ada di kelas. Jam menunjukan pukul 11.55. Guru sudah keluar dari kelas. Sementara aku masih ingat, apa yang barusan aku lihat. Apa yang barusan aku alami. Tragedi yang mengenaskan itu...

    "Bagaimana?" Sebuah suara datang dari sampingku. Aku segera melirik ke arahnya.

    "Apa sekarang kamu sudah mengerti?" Putra mengatakannya dengan wajah tersenyum santai. Dia... Orang ini...

    *greb* aku segera mencengkram kerah seragamnya

    "Kau... Kau tahu sesuatu, kan!? Jawab aku!!" Dia pasti tahu sesuatu!! Dia tiba-tiba saja muncul dan membantuku mengerti semua ini, tapi itu justru membuatku semakin frustrasi! Pasti orang ini yang...

    "Aku tanya, apa kamu sudah mengerti?"

    "Mengerti apa!? Semua yang aku lihat itu... Semua itu..."

    "Apa kamu menyesalinya?"

    Menyesalinya?

    "Apa kamu menyesal sudah melihat semua itu?"

    "Aku... Tidak..." Apa aku benar-benar tidak menyesalinya?

    "Orang melakukan keselahan, lalu mereka menyesalinya. Kamu tidak pernah merubah cara hidupmu sehari-hari, dan sekarang kamu bertindak tidak seperti biasanya- atau lebih tepatnya, kehidupanmu menjadi tidak biasa. Itu adalah kesalahanmu yang pertama."

    "Apa maksudmu? Kesalahanku? Memangnya hidupku jadi begini adalah salahku? Aku tahu... pasti kau yang membuat hidupku jadi begini, kan!?"

    "Saat kita memiliki ikatan dengan orang lain, contohnya saja seorang teman, maka hidup kita juga terikat olehnya. Meski kamu tetap melakukan semuanya seperti biasa, tapi jika orang yang memiliki ikatan denganmu melakukan sesuatu yang berbeda dari biasanya, maka jalan hidupmu juga akan berubah. Itu adalah kesalahanmu yang kedua."

    Dia mengabaikan perkataanku dan terus saja mengoceh. Apa yang sebenarnya dia inginkan!? Selain itu, memangnya kenapa kalau aku berteman? Kalau aku hidup hanya sendirian saja, aku pasti akan menyesalinya!

    "Pertanyaaan kedua. Menurutmu mana yang lebih menyedihkan, hidup sendirian tanpa perlu memperdulikan orang lain, atau hidup bersama dengan orang lain tapi terikat dengan orang lain itu?"

    "Tentu saja lebih menyedihkan hidup sendiri." aku menjawabnya. Tidak mungkin hidup sendirian bisa membawakan kebahagiaan. Itu hal yang wajar.

    "Kenapa?"

    "Kenapa...? Tentu saja karena... karena..." Karena aku tidak mau sendirian. Egoku membuatku tidak bisa mengatakannya.

    "Kalau begitu apa kamu tahu, kalau kamu hidup sendiri, maka kamu tidak perlu takut akan menyesali apapun?"

    "Apa... Apa maksudmu itu? Hidup sendirian tidak akan membuat kita menyesal? Itu tidak mungkin!!"

    "Bukannya sudah kubilang? Hidup dengan mempunyai ikatan dengan orang lain, membuat hidup kita menjadi terikat dengan orang lain itu. Artinya, penyesalan dan kesalahan orang lain itu juga akan menjadi penyesalan dan kesalahan kita."

    "Itu..." Itu... benar?

    "Seorang guru punya ikatan dengan para muridnya. Kalau muridnya itu mendapat nilai jelek saat ulangan, tentunya gurunya yang akan disalahkan, sehingga dia akan menyesalinya. Bukannya itu berarti akan lebih baik, kalau kita hidup sendiri saja?"

    Dia mengatakannya. Dia mengatakannya sambil tersenyum. Senyum lebar yang benar-benar membuatku muak.

    "Itu..." Kata-katanya itu...

    "Semua itu sama sekali tidak benar!!" Benar-benar membuatku muak!!
    "Hidup sendirian supaya kita tidak menyesal? Apa yang kau bicarakan!? Justru kita akan menyesal kalau kita hanya hidup sendirian saja!"

    "Makanya aku tanya, kenapa?"

    "Kuh...!" Aku kesal! Aku tidak peduli lagi dengan orang ini! Aku akan mengatakan apa yang aku pikirkan. Aku tidak peduli dengan alasan penuh kata-kata mutiara atau semacamnya! Aku tidak peduli lagi!

    "Karena aku berpikir begitu!! Aku tidak peduli dengan pendapat orang lain! Ini pendapatku dan ini hidupku sendiri! Kalau aku mau berteman dengan orang lain, kenapa kau melarangnya? Memangnya kau ini siapa!?" Amarahku meledak. Rasanya sesuatu yang mengganjal dalam hatiku sedikit terangkat. Mungkin kemarahan bisa membuat kita merasa lebih tenang.

    "Hu... Huhuhu..."

    Ada apa? Kenapa dia tiba-tiba tertawa?

    *grep* Putra memegang kepalaku, lalu dia

    *BLETAK* menghantamkan jidatnya ke jidatku

    "Adaaaww...!!" aku langsung memegangi jidatku, membuat cengkramanku lepas dari kerah seragamnya.

    Saat aku membuka mataku, rasa sakit di jidatku sudah hilang. Dan pak guru kembali ada di depan kelas. Waktu kembali terulang.

    "Baiklah, sekarang adalah pertanyaan tambahan!" Suara dengan nada bersemangat itu datang dari sampingku. Dan aku tahu siapa yang mengatakannya.

    Segera aku melirik ke samping, dan Putra langsung menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya.

    "Apakah kamu punya teman? Jawab saja dengan iya, atau tidak."

    Pertanyaannya simpel.

    "Iya."

    "Apa kamu senang memiliki teman?"

    "Iya."

    "Kalau begitu, apa kamu merasa pernah melakukan salah pada temanmu itu?"

    Salah? Rasanya....

    "Wati...!" Pagi itu. Wati kesiangan, itu adalah hal yang berbeda. Wati ingin bertemu denganku di kantin. Itu hal yang berbeda. Dan yang paling buruk...

    Aku... Jadi selama ini...

    "Terkadang, saat ada sesuatu yang tidak beres, kita mencoba menimpahkan kesalahannya pada orang lain. Kita mencoba mencari berbagai macam alasan supaya kita tidak menjadi orang yang disalahkan. Meskipun alasan-alasan itu wajar, tapi pada akhirnya, di dalam hati kita, kita tahu bahwa yang bersalah itu diri kita sendiri."

    Aku mengerti. Semua orang seperti itu. Semua orang memang seperti itu. Dan sekarang aku tahu. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tahu apa yang harus aku rubah.

    "Masalahnya adalah, apakah kita mau mengakui kesalahan kita, dan mau memperbaiki kesalahan kita itu. Meski kita tahu, tapi jika kita hanya diam saja tanpa mau merubah apapun, kita akan menyesalinya nanti. Yah, nanti. Penyesalan itu selalu datang di saat terakhir, iya 'kan?" Putra mengatakannya sambil tersenyum melirik ke arahku

    "Iya, itu benar. Semua itu benar." Aku akhirnya mengakuinya.
    "Aku mungkin menyesal sudah mengalami semua hal ini, tapi itu tidak apa-apa. Aku akan mengubah penyesalan ini, menjadi sebuah harapan, supaya kalau aku mengalami hal seperti ini lagi, aku tahu apa yang harus aku lakukan."

    "Baguslah kalau begitu."

    "Kalau begitu, aku akan pergi. Ada sesuatu yang harus aku lakukan." Aku segera bangkit dari kursiku, lalu berlari keluar kelas.

    "Kamu tidak akan menyesalinya kok, hehe. Setidaknya, ucapkan terima kasih, dasar anak tidak sabaran." Putra hanya tersenyum melihatku berlari keluar kelas dengan tergesa-gesa

    Saat aku sudah agak jauh dari kelas, tiba-tiba saja aku mendengar
    *PRAANNGG* suara kaca pecah yang sangat keras sekali

    Tapi aku tidak memperdulikannya. Aku terus berlari. Berlari ke arah kantin.

    006

    Saat tiba di kantin, aku segera mencari ke sekeliling kantin. Kantin ini cukup luas, atau lebih tepatnya, panjang. Karena 9 warung berjejer dari kiri sampai kanan, dari utara sampai selatan. Membuat kita kalau mau adu maraton juga bisa melakukannya dengan mengelilingi kantin ini.

    Setelah melirik kesana-kemari, akhirnya aku menemukan Wati. Dia sedang duduk di sebuah kursi panjang. Aku segera berlari lalu menghampirinya.

    Aku menepuk pundaknya lalu berkata, "Hai, Wati. Maaf yah membuatmu menunggu--"
    "HUWAAAAA!!" Wati langsung berteriak histeris. Apa dia perlu sekaget itu?

    Wati langsung berdiri dari kursinya. Dia melirik ke arah belakang, dan saat dia langsung melihatku, dia segera menyembunyikan tangannya ke belakang.

    "O-Oh, kamu rupanya."

    "Iya, memangnya kamu kira hantu di siang bolong?"

    "Y-Yah, soalnya kamu lama banget sih! Aku udah nungguin dari tadi tahu! Bosen!!" Amarahnya meledak. Tapi sama sekali tidak kelihatan menyeramkan. Justru lucu. Membuatku ingin tertawa, karena daritadi hidupku kacau balau.

    "Puh... ahahahahahah!!" Maaf, Wati. Tapi aku tidak bisa menahan tawaku. Hidupku yang tadinya hancur dan aneh, setelah melihat tingkah Wati, rasanya semua itu hanyalah mimpi belaka.

    "Kenapa kamu malah ketawa begitu!? Aku lagi kesal tahu!"

    "Iya. Maaf, maaf. Jadi, kamu mau apa menyuruhku menemuimu ke sini?"

    "Eh? So-Soal itu..." Tiba-tiba saja Wati menjadi gugup. Kenapa dia? Dia menjadi tidak seperti biasa--

    "Wa-Wati! Kalau kau mau sesuatu, katakan saja, nanti om traktir kok!!" Kalau Wati bertindak tidak seperti biasa lagi, bisa-bisa hidupku kacau balau lagi!!

    "Kamu ngomong apa sih!? Berhenti memperlakukanku kayak anak kecil deh!!" Sepertinya aku malah membuatnya makin marah. Tapi inilah Wati yang seperti biasa, dan aku senang melihatnya marah-marah begini. Tunggu dulu, apa itu membuatku tidak normal?

    "Yasudah, aku benar-benar minta maaf! Bener deh! Suer!!" ucapku sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahku membentuk huruf V

    "Bagus deh kalau begitu." kelihatannya Wati masih marah.

    "Kalau begitu cepet kasih tahu kenapa kamu menyuruhku kesini? Bentar lagi istirahat selesai nih."

    "I-Itu........ INI!!" Wati mengulurkan tangannya yang dari tadi dia sembunyikan di balik badannya.

    Dalam genggamannya adalah sebuah plastik, dengan ikatan pita yang cantik dan berisi beberapa kue coklat.

    "Tadi pas pelajaran memasak aku membuat ini dan tau-taunya aku membuat kebanyakan. Kalau kamu mau, ini buat kamu saja." Wati mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Meski kelihatannya dia masih gugup.

    "Wati... mungkinkah ini..."

    "EH!? Mu-mungkin apa....!?"

    "Kamu gak usah ngasih om coklat sebagai imbalan soalnya om nraktir kamu mulu loh." ucapku sambil mengusap-usap kepalanya.

    "AARRGGHH!! Sudah kubilang, berhenti memperlakukanku seperti anak kecil!! Aku gak jadi ngasih kue coklat ini ke kamu deh!!"

    "Ahahaha maaf, maaf. Aku mau makan kue itu kok! Mau banget malah!" aku benar-benar tidak bisa berhenti mempermainkan Wati.

    "Beneran kamu minta maaf?"

    "Iya, bener." enggak sih :P

    "Yasudah nih." dia menyerahkan bingkisan itu padaku. Dan aku pun menerimanya dengan senang hati. Aku pun memakannya satu buah.

    "Bagaimana rasanya?"

    "Hmmm... Manis. Coba kalau aku boleh menjilat wajahmu, kira-kira mana yang lebih manis yah?"

    "KAMU NGOMONG APA SIH!!??" Wati memukul-mukul badanku, tapi tentunya bagiku itu tidak menyakitkan sama sekali. Balasanku hanyalah tawa.

    Tawa karena lucunya Wati. Tawa karena aku merasa kehidupanku akhirnya kembali seperti semula lagi.

    "Yasudah. Makasih yah buat kuenya. Aku mau balik ke kelas." saat aku mau pergi, Wati segera memanggilku kembali

    "Tunggu dulu!" teriaknya. Aku segera berhenti dan berbalik memandang Wati

    "Ada apa lagi?"

    "Itu... Ada sesuatu yang mau aku katakan..." Wati menunduk tanpa memandangku. Kenapa dia bersikap semakin aneh?
    "Aku....... Se....... Se........" suaranya kecil sekali, aku hampir tidak bisa mendengarnya

    "SEPULANG SEKOLAH AKU MAU NGEBONCENG SEPEDA BERSAMAMU!!" teriakan Wati keras sekali, sampai-sampai gendang telingaku mau pecah.

    "O-ok..." kenapa dia harus teriak begitu?

    "Ya-yasudah, sampai nanti!" Wati pun langsung lari tunggang-langgang menuju kelasnya.

    Aduh, hari ini benar-benar penuh dengan berbagai macam kejadian aneh. Terperangkap dalam waktu, Wati bersikap aneh, dan kuenya ini rasanya benar-benar asin. Yah, aku tidak mengatakannya dengan jujur karena bisa-bisa aku harus menjadi babysitter dadakan. (Wati pasti akan menangis kalau tahu kue buatannya gagal)

    Setelah itu, aku pun pulang sambil membonceng Wati. Dia duduk pada dudukan yang ada di roda belakang. Sementara aku terus mempermainkannya selama kami pulang.

    Aku tidak mengulang apapun lagi. Aku tidak menyadari seberapa menyesalnya aku saat siang tadi. Aku sadar hari ini sangat menyenangkan. Dan aku sadar, memiliki sahabat dekat itu adalah sesuatu yang sangat berharga.

    Seingatku tidak ada banyak hal yang terjadi saat kami pulang. Kami hanya mengobrol berdua saja. Selain itu, tidak banyak yang terjadi.

    ???

    Aku memakan sarapanku sambil menonton berita di TV. Entahlah. Aku tidak tahu kenapa aku lebih suka menonton berita daripada menonton acara lain. Padahal biasanya anak seumuranku masih suka nonton kartun atau berita olahraga, atau bahkan sudah jarang nonton tv saat pagi hari.

    Disalah satu beritanya, ada berita tentang seorang anak SD yang meninggal karena tenggelam saat bermain di sungai. Meninggal yah? Apa anak itu menyesal saat dia meninggal? Sedang bermain dengan senangnya, tapi maut menjemputnya secara tiba-tiba. Aku pasti akan sangat menyesalinya. Pasti.

    "Den!" (panggilan yang biasa dikatakan pembokat kepada anak tuannya. Bukan nama asli tokoh)

    Suara ibu-ibu parubaya terdengar dari arah dapur. Itu suara pembantuku.

    "Tadi ada telepon dari orang tuanya Wati, katanya-"

    "Oh, aku sudah tahu kok, bi. Soalnya kemaren malam aku sudah menemuinya."

    "Baguslah kalau gitu Den."

    "Aku juga mau pulang agak malam yah, kasih tahu mama sama papa."

    "Baik Den."

    Aku segera melangkah keluar, berjalan menuju sekolah. Hari sudah agak siang. Aku berjalan sendirian karena mungkin tidak ada murid yang berangkat se-siang ini. Tapi aku tahu aku tidak akan kesiangan, karena aku sudah biasa berangkat jam segini. Dan Wati juga tahu akan hal itu. Sama seperti saat dia sering kesiangan karena alasannya sibuk mengerjakan PR, padahal sebenarnya dia mau membuat bekal tapi selalu saja gagal.

    Sesaat setelah tiba di sekolah, bel tanda masuk langsung berbunyi. Aku belajar dengan biasa, tidak terlalu serius tapi juga tidak malas-malasan. Hingga akhirnya bel tanda istirahat tiba. Seperti biasa, aku melipat kedua tanganku di atas meja, lalu menaruh jidatku di atasnya, dan menutup mataku.

    Rasanya nyaman sekali. Tidur bermandikan cahaya matahari siang yang tentunya tidak terlalu panas karena ada di dalam ruangan. Dan juga aku senang, karena aku selalu duduk sendirian. Entah kenapa tidak ada yang mau duduk di kursi sebelahku, tapi tidak apa-apa. Aku bersyukur akan hal itu. Aku....
    Sungguh bersyukur...

    ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

    Sepulang sekolah, aku segera mencari angkutan umum. Tentunya aku tidak akan pulang terlebih dahulu. Ada tempat yang harus kudatangi, dan orang yang harus aku temui.

    Setelah naik angkutan umum, aku segera duduk dan menunggu sampai tiba di sana. Dan akhirnya, aku pun tiba di sini. Sebuah gedung putih besar, dengan simbol "+" yang ada di atasnya. Mungkin gedung ini selalu ada di mana-mana. Di setiap kota pasti ada. Tapi kalau begitu, kenapa masih banyak orang yang meninggal?

    Aku segera masuk ke dalam, dan mendekati seorang wanita untuk meminta izin menemuinya. Setelah diberi izin aku segera pergi ke kamarnya. Kubuka pintu dan yang terlihat di sana...

    Cahaya mentari sore segera menyambutku sesaat setelah aku membuka pintu. Jendela kamar ini menghadap ke arah barat, sehingga kita bisa melihat pemandangan matahari terbenam yang indah, yang dihiasi langit jingga yang begitu menawan. Di sana, dia memandang langit sore itu. Sambil terduduk di atas kasur.

    Aku tidak bisa melihat wajahnya karena menghadap ke arah jendela, tapi aku tahu siapa dia. Rambutnya yang lurus panjang, tidak biasa kulihat karena biasanya dia memakai kerudung. Juga postur tubuhnya yang masih kecil.

    Aku segera mendekatinya. Kuambil sebuah kursi lalu aku duduk di samping tempat tidurnya.

    " Hai, Wati." Kupanggil namanya, tapi dia tidak menyahut.

    Perban yang melingkar di kepalanya itu membuatku teringat dengan kejadian sore itu. Tidak banyak yang terjadi. Tapi aku berharap, tidak ada yang terjadi sama sekali.

    "Gimana kabarmu? Udah agak enakan?" Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Baru kali ini aku menjenguk seseorang, dan aku sama sekali tidak membawa apapun untuk diberikan kepadanya. Aku benar-benar gagal sebagai teman.

    "Mau makan apel gak? Aku kupasin yah." Aku lihat di atas meja di samping tempat tidurnya ada semangkuk buah-buahan. Entah itu pemberian siapa, tapi sepertinya belum ada yang menyentuhnya.

    Tapi saat aku mau mengupasnya, aku baru sadar kalau tidak ada pisau di sini. Ahh, apa yang harus aku lakukan kalau begini!?

    "*aamm *nyamm *nyamm apelnya enak banget nih. Manis banget!" Bodoh. Bodoh bodoh bodoh bodoh!! Apa yang aku lakukan disaat seperti ini!? Aku seharusnya tidak melakukan ini... Aku harus bisa mengatakannya, karena aku tahu...... siapa yang bersalah.......

    Aku menelan ludahku. Kucoba kumpulkan semua keberanianku untuk mengatakannya. Hanya satu kata saja. Kata yang kadang dianggap enteng tapi sebenarnya punya arti yang sangat dalam. Aku coba paksakan kata-kata itu supaya keluar dari kerongkanganku dan bisa kumuntahkan dengan mulutku. Ayo..... KELUARLAH!!

    "Maaf........" Aku mengatakannya dengan pelan. Pelan. Tidak seperti kata-kataku yang biasanya penuh semangat. Aku benar-benar tidak memiliki tenaga untuk mengatakannya dengan lantang. Kata yang seharusnya aku katakan dengan benar, justru kuhancurkan begitu saja.

    Aku menundukan kepalaku. Wati masih memandang ke arah jendela, membuatku tidak bisa melihat wajahnya. Tapi aku takut. Aku takut melihat seperti apa ekspresinya jika aku mengatakan apa yang terjadi... Aku takut.......

    "Aku... benar-benar menyesalinya... Aku tahu mungkin bukan aku yang... salah..." aku ragu mengatakannya. Siapa yang salah dan siapa yang tidak bersalah sebenarnya tidaklah penting. Tapi aku bisa selamat tanpa terluka, sedangkan Wati...

    "Dan gara-gara itu... ingatanmu..." perban di kepalanya itu... luka di kepalanya itulah yang membuat semua ini menjadi semakin buruk. Andai saja... andai saja hal itu tidak pernah terjadi...

    "Kalau saja itu tidak pernah terjadi... pasti tidak akan seperti ini jadinya..." Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Aku tidak bisa menahan rasa bersalah ini. Mataku mungkin sudah berlinang air mata tanpa bisa aku sadari.

    "Tapi...... aku akan mengganti semua itu......" Aku sudah memutuskan apa yang akan aku lakukan. Demi dia. Dan demi diriku sendiri.

    "Setelah kamu keluar rumah sakit, kita jalan-jalan bersama! Kamu selalu ingin pergi ke ancol kan? Ayo kita ke sana! Kita akan naiki semua permainan yang ada di sana!! Dan kamu pernah bilang kamu ingin mencoba kamping kan? Kita juga akan melakukannya!! Makan masakan paris! Naik mobil mewah! Pergi melihat aquarium! Semua yang kamu mau akan aku lakukan! Semua itu...... supaya kamu bisa membuat lebih banyak kenangan.... semua kenangan yang dulu kita lakukan mungkin hilang.... Tapi...."
    "Tapi, kenangan yang akan kita buat mulai dari sekarang, akan jauh lebih banyak! Lebih berarti! Dan lebih indah dari semua kenangan yang pernah kita alami sebelumnya!!" Aku meneriakan semua itu. Semua yang ingin kulakukan demi menebus kesalahanku. Semua yang ingin Wati lakukan demi membuatnya bahagia. Dan saat aku mengangkat kepalaku...

    *hug*

    Wati memelukku. Pelukan yang hangat, dan penuh kejutan. Otakku mungkin sempat berhenti bekerja saat itu. Karena saat dia memelukku, dia langsung mengelus-elus kepalaku tanpa sebab.

    "Jangan terus-menerus menyesalinya." Itu adalah kata yang dia ucapkan. Suaranya yang sudah lama tidak kudengar. Suara yang sangat kunantikan untuk bisa masuk ke dalam telingaku...

    "Menyesal itu tidak apa-apa, karena itu bisa memberikan kita pelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Penyesalan pasti akan hilang seiring berjalannya waktu. Kita bisa saja melupakannya begitu saja karena esoknya ada kebahagiaan yang menanti. Karena itu..." dia berhenti mengelus-elus kepalaku, lalu menatap wajahku
    "Janganlah menangis yah!" Wajahnya menampakkan senyuman. Senyuman yang begitu lebar, yang menampakkan giginya yang rapi dan putih. Senyum yang begitu manis. Senyum yang polos.

    "Wati... Aku.... O.... Om sangat bangga sama kamu, nanti... hiks... om beliin permen lagi yah. Atau... hiks... kamu maunya silver king? Boleh aja kok, selama... huff... duit om masih ada!" Aku mengatakannya meski diiringi dengan tangisan. Aku tahu aku seharusnya tidak mengatakan hal seperti ini, tapi... aku benar-benar tidak tahan untuk mengatakannya setelah melihat senyumnya itu!!

    "JANGAN MEMPERLAKUKANKU SEPERTI ANAK KECIL!! HUWAAAAAA!!" Eh, kenapa dia tiba-tiba nangis!?

    "Ja-Jangan nangis dong!!" Aku panik. Situasinya tiba-tiba jadi aneh seperti ini!!

    "Kalau gitu... mana apel yang tadi katanya mau dikupasin..."

    "A... Ahh... soal itu..." di sini gak ada pisau, jadi bagaimana caranya aku....

    Saat aku melirik, ke arah maja, ada sebuah pisang di sana. Dan tentunya...

    "Gi-Gimana kalau makan pisang aja..." pisang gak perlu pisau buat dikupas

    "Aku maunya disuapin!" Nih anak maunya apaan sih!?

    Sudahlah, aku kupas pisang itu lalu segera menyodorkannya ke arah Wati.

    "Nih."

    "*aaammm *nyam *nyam *nyam" gaya makannya benar-benar seperti anak kecil. Menguyah dengan pipi yang bener-bener tembem sambil memberi efek suara "nyam nyam" dengan lantang. Benar-benar seperti anak kecil.

    "Enak tidak?"

    "ENAK!!" ucapnya dengan ceria sambil tersenyum. Rasanya, beban di pundakku sudah terangkat semua. Aku merasa ringan dan bebas. Mungkin karena aku bisa mengatakan apa yang ingin aku katakan. Dan mungkin... karena aku bisa melihat kembali senyumnya itu.

    "Oh iya. Nama kamu itu siapa yah?" Tanyanya dengan nada polos

    "Ahh, kalau begitu ingat namaku baik-baik yah. Karena mulai sekarang, kita akan membuat banyak kenangan bersama."

    "OK!" Wati benar-benar penuh semangat. Rasanya dia semakin kekanak-kanakan saja.

    "Namaku itu........."

    ~And so
    The story end here~
     
    • Thanks Thanks x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.