1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen A Little Case with Docter Molks Moore

Discussion in 'Fiction' started by Karin99, Dec 17, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Karin99 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 23, 2014
    Messages:
    29
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +6 / -0
    Degup jantung Opsir Flitz berdebar keras ketika ia mendongakkan leher untuk melihat aspal berjarak seratus meter di bawahnya.

    Ia berada di gedung tingkat sepuluh. Dinding bata dan jendela vertikal terlihat bagaikan tepi jurang yang menakutkan.

    Pandangan matanya serasa melimbung berputar hingga ia harus memegang kuat pinggir gedung agar tidak jatuh. Seakan-akan ada seseorang yang akan mendorong pantatnya jatuh ke bawah jika ia tidak berpegangan.

    Tampak ratusan manusia di bawahnya berkumpul di sisi gedung, mendongak melihat atas sambil berceloteh bersama temannya.

    Bola matanya bergetar melihat samping. Tidak jauh darinya, ia melihat jatuhnya air mata dari pinggir pipi seorang anak muda. Anak muda itu berada di ujung kehidupan, meringkih di pinggir gedung siap meloncat merangkuh kematian.

    “Paling tidak beritahu namamu. Tidak bisakah kita berbicara sedikit?” Suara opsir Flitz bergetar seraya meratap. Ia berharap dapat mencegah anak muda itu mengakhiri hidupnya.

    “Hei, jangan!” Opsir tua menahan pundak opsir Flitz agar tidak semakin mendekat.

    “Maju selangkah lagi dan ia akan loncat.” Opsir Tua memperingatinya.

    Kaki anak muda itu hanya berjarak beberapa mili lagi dari pinggir gedung. Jelas sudah anak muda itu tidak takut mati.

    Untuk saat ini, tidak ada yang dapat Flitz lakukan. Jarak anak muda itu terlalu jauh. Kalaupun Flitz berlari dan meloncat, ia tidak akan sanggup menangkap dan menyelamatkan anak itu tepat waktu.

    “Apa yang kau inginkan?” kata opsir Flitz. “Sebutkan apapun.. dan kami akan mencoba mengabulkannya. Kau masih muda, banyak hal indah yang belum kau rasakan di hidup ini.. jangan kau sia-si-”

    “Diam kau! Aku ingin mati!” Anak muda itu berteriak seakan-akan tidak peduli Lagi dengan pita suaranya. Melengking dan suaranya menggema sepanjang blok.

    Ini kali pertama anak muda itu menjawab pertanyaan setelah sejam lamanya opsir Flitz berusaha membuat anak muda itu turun dari pinggir atap gedung. Tetapi sayangnya, isi jawabannya malah putus asa meminta mati.

    “Tidak ada cara lain.. panggil dokter Mor!” ujar opsir tua di sebelah opsir Flitz.

    ***​

    “Doctor Mor, Where are you?”

    Opsir tua memasuki kamar apartemen dokter Molks Moore.
    Apartemen itu adalah apartemen tua, terletak di jalan St clarise tempat banyak bangunan bersejarah. Nuansa apartemen terasa nyaman, dengan dinding dari kayu dan lantai mebel khas italia.

    “Aku tidak mengerti. Mengapa kita membutuhkan dokter Mor? Dia seorang dokter. Apa hubungannya dengan kasus ini?” tanya opsir Flitz.

    “Dia dokter jiwa hebat! Kita memanggilnya untuk menyelesaikan kasus yang tidak bisa kita tangani. Oh, sudahlah.” Opsir tua hampir saja lupa kalau rekannya yang baru ini adalah pindahan dari Finix dan belum mengerti dengan benar budaya kota Edinsburgh.

    “Kau belum mengenalnya. Diam dan pelajari, anak baru.”

    Mereka berdua menyusuri isi kamar apartemen dan tidak menemukan siapapun.

    “Dan sekarang ia tidak ada di tempat, hebat!” kata Flitz.

    Tiba-tiba, terdengar suara lembut dari arah kamar mandi, “Ada apa opsir Heim? Ada yang bisa kubantu?”

    Kedua opsir perlahan berjalan mendekat ke pintu kamar mandi yang beberapa saat kemudian terbuka memperlihatkan seseorang di dalamnya.

    Dokter Mor keluar dari dalam kamar mandi sambil membawa handuk di tangannya. Ia baru saja mencuci wajah dan tangannya. Tidak ada bekas darah yang menakutkan seperti yang diharapkan ketika melihat tangan seorang dokter. Flitz lalu melihat riak wajar dokter Mor. Ia tampak seperti pria tua biasa.
    Dokter Mor berkacamata, berjanggut dan berkumis tipis, wajahnya tampak ramah. Memang apa hebatnya dia? Hingga opsir Heim harus mencarinya jauh-jauh ke apartemen yang berjarak tiga blok? Tentu saja Flitz tidak bisa menjawab pertanyaan itu saat ini.

    “Kami membutuhkanmu, Dokter. Ada kasus suicidal tiga blok dari sini. Anak muda yang ingin mengakhiri hidupnya karena masalah sepele.”

    “Tidak ada masalah yang sepele opsir Heim, tidak ada.” gumam dokter Mor sambil menggelengkan kepalanya. “Bagi anak muda itu, pastilah masalah besar.”

    Walau berkata seperti itu, dokter Mor tampak santai. Ia mengambil topi dan jaket dari gantungan di sebelah pintu, dan berjalan perlahan bersama kedua opsir keluar ruang apartemennya.

    “Tidak bisakah kita lebih cepat, Dokter,” opsir Flitz sudah geregetan dengan gerakan dokter mor yang sangat lamban. Padahal anak muda tiga blok dari sini sudah hampir di ujung tanduk ingin loncat dari atap gedung.

    “Hm.. opsir Flitz. Saya memiliki cedera. Kau mau arthritisku kambuh?” gumam dokter Mor sambil tersenyum.

    Flitz tertegun. Ia tidak mengerti bagaimana dokter Mor tahu namanya.

    ***​

    Oh, God. Thank you. You are here, docter Mor.” Dua opsir di tangga tampak lega melihat wajah ramah dokter Mor muncul di tangga bawah mereka.

    “Selamat sore opsir Gregory, selamat sore opsir Grim. Sore yang tenang dan indah tampaknya, melihat kalian berdua sore ini bisa akur.”

    “Tidak bagi anak muda itu dokter. Dia bisa loncat kapan saja.”

    “Ayo dokter.” Flitz menggiring dokter Mor naik tangga ke atap bangunan secepatnya. Tentu saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan sore hari yang indah, atau sinar mentari yang nyaman.

    Sesampai di pintu atap, dokter Mor melihat seorang anak muda, tipikal umur delapan belas tahun sedang berdiri di pinggir pagar bangunan sebelah cerobong asap, siap meloncat bebas.

    “Semuanya milikmu, dokter Mor. Hati-hatilah, dia lebih pintar dariku,” kata opsir Flitz di belakangnya.

    “Okay.” Dokter Mor tersenyum pada Flitz dengan senyuman yang sangat nyaman hingga tampaknya Flitz sedang santai di bawah pohon di pinggir pantai.

    Flitz tidak menyukainya, tidak di saat-saat genting seperti ini dimana seorang anak muda akan loncat setiap saat dan mencoreng hari pertamanya masuk kepolisian kota Edinsburg dengan kematian.

    “Aku serius dokter. Anak muda ini bahkan mengancam akan meloncat jika kami berani mendekatinya. Tidak hanya itu, ia tidak bisa diajak bicara, bisu dan introvert sekali. Aku sudah berjam-jam menghabiskan waktu hanya agar ia mau menatapku.”

    Dokter Mor mengangguk, “Kalau begitu, saya mohon diri untuk mendekati anak muda itu.”

    Flitz terdiam. Rasa takut di dadanya semakin menjadi-jadi ketika melihat dokter Mor berjalan semakin dekat ke anak itu.

    “Aku tidak yakin dokter Mor mampu menanganinya. Ayo kita cepat siapkan trampolin di lantai bawah. Anak itu dapat loncat kapan saja, Mr. Heim.”

    “Hei Flitz, santai. Percaya saja padanya. Dokter Mor tahu apa yang mesti dilakukan olehnya.”

    “Kuharap kau benar, Mr. Heim.”

    Tapi ternyata, dokter Mor tidak berjalan mendekati anak muda itu. Dia hanya berjalan ke pinggir gedung dan menonton mentari yang terbenam di ufuk barat dengan wajah tenang.

    Mata anak muda itu melotot melihat dokter Mor berdiri tidak jauh darinya. Pokoknya, ia akan meloncat jika dokter itu berani mendekatinya. Tetapi dokter itu tidak melakukan apapun. Melihatnya sedikit saja tidak. Dia hanya menatap mentari di ufuk barat dan tidak mengindahkan anak muda itu sama sekali.

    “Hei kau! Apa yang kau lakukan di sini!” bentak anak muda itu karena geregetan melihat dokter Mor tidak bersuara dan bahkan tidak bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri.

    “Aku sedang melihat mentari,” kata Dokter Mor. Ia menjawabnya dengan nada suara begitu tulus dan wajah tersenyum hingga hati anak muda itu serasa meleleh dengan keramahannya.

    Setelah jawaban itu, dokter Mor kembali tidak bicara. Ia terdiam dalam sunyi. Anak muda itu akhirnya tahu kalau dokter itu hanya orang bodoh yang datang ke pinggir gedung hanya untuk melihat mentari terbenam.

    Sesekali anak muda itu kembali melihat bawah, bersiap-siap untuk meloncat, tetapi dirinya masih takut. Kalau saja dokter Mor berjalan mendekat, tentu ia lebih berani loncat dari tempatnya berdiri.

    Beberapa saat kemudian, tangan dokter Mor kembali bergerak. Anak muda itu kembali takut dan melotot melihatnya. Apa yang akan di lakukannya? Dokter itu akan meloncat dan menangkapnya?

    Tetapi dokter Mor hanya mengambil kotak rokok dari sakunya, dan menyalakannya dengan santai. Ia kemudian mengisapnya dengan pelan, lalu menghembuskannya membentuk asap berbentuk nol sempurna.
    Melihat hal tersebut, tatapan mata anak muda yang melotot itu perlahan-lahan melembut.

    “Kau merokok?” Dokter Mor memajukan tangan dan menjulurkan kotak rokok padanya.

    “...” anak muda itu hanya terdiam. Jarak mereka berdua masih terlalu jauh sehingga ia tidak ada keinginan untuk mengambilnya.

    “Kau tidak mau rokok? Mm.. Gil?” kata dokter Mor melihat tulisan yang ada di jaket anak muda. Ia kemudian memperhatikan semua karakteristik anak itu. Pundak anak itu kecil, dengan wajah yang cantik untuk seorang lelaki. Di lehernya ada kalung salib menandakan ia beragama christ dengan baik.

    “Tidak. Kau gila? aku mau meloncat dan kau menawarkanku rokok?”

    “Aku memang gila, tidakkah kau tahu akan hal itu?”

    “Ah, ya. Kau dokter Mor, si dokter gila yang kerjaannya diam di rumah sakit jiwa. Kau terkenal, karena tidak ada orang waras yang mau bekerja begitu menyedihkan bersamamu. Jadi jangan kau ganggu aku, dan merokoklah sendirian di ujung sana.”

    “Ya. Benar sekali,” kata dokter Mor tersenyum.
    Ia kemudian sekali lagi memasukkan tangannya ke dalam jaket dan mengeluarkan sebungkus permen karet.

    “Ini,” kata dokter Mor, ia melempar permen karet itu ke bawah kakinya Gil.

    Gil melihatnya dan mengangkat permen itu. Memangnya apa gerangan yang dipikirkan dokter itu hingga ia ingin memakan permen di ujung hidupnya? Dokter ini memang benar-benar gila.

    “Yah, kau tahu. Menggigit permen karet dengan keras itu, sangat enak untuk menghilangkan stres. Tidak ada salahnya kan kau coba, sebelum kau..” kata dokter Mor, dan ia memeragakan tangannya seakan-akan ia juga akan ikut meloncat.

    Gil memperhatikan permen karet itu, dan benar saja, besar rasanya ingin melahap seluruh pemen karet itu untuk digigit keras-keras. Tanpa diminta, ia membuka bungkus permen karet satu persatu dan melahapnya.

    “Pelan-pelan Gil, dan jangan kau telan. Kalau masuk kerongkongan dan nyangkut, rasa sakitnya bukan main.”

    “Apa?” Gil melihat dokter Mor dengan kaget.

    “Ya, tentu. Tetapi memang lebih sakit kalau loncat dari gedung tingkat delapan. Terutama saat tulang belakang menghantam aspal, kau tahu? Yah, semua pusat saraf ada disana. Rasa sakitnya pasti bukan main. Apalagi kalau sampai kepala nyampai duluan. Pasti..” Dokter Mor terdiam. Mukanya tampak tersadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara.

    “Maaf aku lebih baik, tidak..” kata dokter Mor.

    “Kau gila!”

    “Yah, sekarang sudah dua kali aku mendengarnya.” Dokter Mor naik ke pinggir bangunan dan duduk disana sambil menghela nafas.

    “Begitulah, kalau terlalu lama kerja di rumah sakit,” gumam dokter dengan mata sayu kembali melihat mentari yang terbenam di ufuk barat.
    Dokter Mor melihat mentari itu dengan sungguh-sungguh. Hingga satu menit kemudian, ia tidak berkata apapun lagi.

    “Kenapa kau melihat mentari itu?” tanya Gil penasaran. Gil kemudian ikut duduk mengikuti pose dokter Mor di pinggir gedung. Dia sudah capek berdiri dan memutuskan untuk menunda tindakannya.

    Dokter Mor melihat Gil, wajahnya tampak marah seakan-akan Gil telah menanyakan hal yang bersifat sangat pribadi padanya. Ia kemudian balas bertanya, “Kenapa kau ingin meloncat?”

    Mendengar hal tersebut, Gil serasa akan tersedak.

    “Urus urusanmu sendiri, anak muda.” Dokter Mor kembali memalingkan mukanya melihat mentari seakan hatinya terluka.

    Dokter Mor kembali terdiam. Beberapa saat kemudian ia kembali menghela nafas dan kemudian menjawab dengan nada berat “Aku sering bersama istriku ke sini, melihat mentari di tempat ini, dan saat-saat itu terasa sangat indah.”

    “Tapi aku tidak pernah menyadarinya kalau saat-saat itu akan berakhir.”
    Dokter Mor mengusap wajahnya, menyampirkan rambutnya yang hitam,
    “Yang selalu kuingat hanyalah kecupannya saat itu di sini. Bersamanya, di bawah sinar mentari.”

    “Jadi istrimu..?”
    “Ya. Dia telah pergi.”

    “...” Gil ikut terdiam, ikut merasakan peluh hati dokter Mor.

    “Yang ingin kulakukan sekarang, hanya melihat mentari sore dengan tenang. Karena tidak setiap hari mentari dapat dilihat dari atas gedung ini. Hanya saat posisi musim semi.”

    “...” mereka berdua terdiam.

    “Jadi bukan polisi itu yang membuatmu datang kemari?”

    “Haha, mereka tidak sengaja bertepatan menginginkanku untuk berada di sini.” “Dasar..”

    Dokter Mor kembali meremang melihat mentari yang sekarang hampir hilang di ufuk barat. Itu artinya kebersamaan mereka untuk beberapa saat lagi akan berakhir.

    “Aku punya pacar.”

    “Maaf?” tanya dokter Mor.

    “Namanya Kevin. Seperti yang kau lihat di jaket ini. Gil & Kevin.”

    “Kau mencintainya?”

    “Ya..” gumam Gil, ia memegang jaketnya. Matanya terasa ingin berlinang.

    “Tidak hanya mencintainya, kami berdua telah membuat janji. Untuk selalu hidup bersama, apapun hal yang terjadi.”

    “Dia sekolah di St ceres, mengejar gelar doktornya dan berkata akan menikah denganku di sini, setelah ia selesai nanti.”

    “Rencananya, kami berdua akan membeli rumah di pinggiran pantai sana,” kata Gil, sambil menunjuk pantai White coarse di ujung cakrawala yang tampak begitu indah dengan kerlap kerlip air laut yang bersinar.

    “Terdengar bagus,” ujar Dokter Mor.

    “Ya. Dia ingin menamakan anak kami James. Tapi aku tidak mau, aku ingin namanya Beety”

    “Sepertinya bagusan Beety,” gumam dokter Mor ikut tersenyum bersama Gil.

    “Menurutmu.. seperti itu?”

    Dokter Mor mengangguk. “Lalu kenapa, saat ini kau tidak bersamanya?”

    “Kemarin, ketika aku semestinya menerima surat mingguan darinya, keluarganya datang kepadaku.”

    “Dan dia.. sudah tiada?” terka dokter Mor.

    Gil mengangguk, air matanya perlahan kembali jatuh menetes di tangannya. Ia pun mengusapnya kembali.

    “Dia sakit hemofilia. Selama ini dia berada di rumah sakit negara. Kukira ia sekolah tapi..”

    Mereka berdua terdiam. Gil tampak sibuk menyeka air matanya sendiri.

    “Tak kusangka ia harus direnggut seperti itu.”

    “Dan sekarang kau ingin menepati janji?” tanya dokter Mor.

    “Ya. Kita berjanji selalu hidup bersama. Kalau tidak bisa di dunia ini, ya di sana.. selamanya”

    Mata dokter Mor menatap Gil dengan pandangan mata mendalam. Tenang dan nyaman. Sedangkan Gil sebaliknya, ia menatap dokter Mor dengan pandangan mata gemetar.

    “Kalau begitu tepati janjimu.” Ujar dokter Mor dengan nada rendah dan matanya yang ramah kembali meremang melihat mentari di ufuk barat.

    “Eh-?” tanya Gil.

    “Jangan seperti aku, sampai saat ini masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang tidak pasti. Kau pasti menyesal.”

    Sewajarnya, jika dokter Mor memang waras, ia akan berusaha mencegah Gil untuk tidak meloncat.

    “Pfft.. Kau benar-benar Gila,” kata Gil, ia kembali bisa tersenyum sambil menahan tawa.

    “Dan kau pintar, aku serius.” Dokter Mor melihat Gil kembali.

    “Kalau istriku tidak galak, aku sudah loncat dari dulu dari pinggir gedung ini,” ucap dokter Mor dengan sombongnya.

    “Maksudnya?” tanya Gil bingung. Tapi perlahan-lahan ia mengerti dengan maksud dokter Mor.
    Orang di alam sana, tentu tidak akan suka ia menyia-nyiakan hidupnya.

    Mulut Gil menciut, “Dasar, sudah kutahu. Kau pasti dikirim oleh para polisi itu.”
    “..untuk menghiburku, agar aku tidak jadi meloncat. Kau kira Aku goblok, dokter Mor?”
    “Ini strategimu kan? Mendekatiku dengan perkataan halusmu. Kau pasti sudah memakai cara yang sama ini ke pasien-pasienmu agar tidak bunuh diri. Pakai cara kalau istrimu galak. Kau kira aku tidak tahu?”

    Wajah dokter Mor langsung tampak marah mendengar hal tersebut. Ia ngamuk mendengar Gil memanggil Istrinya dengan pernyataan seperti itu.

    “Aku menyuruhmu untuk loncat!” kata dokter Mor tajam.

    Gil langsung tersentak kaget mendengar perkataan dokter Mor.

    “Kenapa sampai sekarang kau belum loncat? Kau takut? Jatuh dari ketinggian segini, ketika kepalamu sampai bawah, otakmu akan jadi bubur pengisi jalanan? Atau seluruh tulangmu patah hingga yang bisa kau rasakan hanyalah rasa sakit?"

    Gil langsung bergetar ketakutan mendengar perkataan Mor. Kali ini tatapan mata dokter mor yang nyaman telah hilang. Dokter Mor menatap matanya dengan pandangan mata sangat licik. Sudut bibir dokter Mor tajam mengejeknya.

    “Memangnya hanya kau yang memiliki masalah di dunia ini. Beribu-ribu orang kehilangan orang yang mereka cintai setiap harinya dan kau merasa dirimu sangat penting hingga aku harus menghiburmu? Dasar anak belagu. Kau menghabiskan waktuku saja.”
    Dokter Mor membalikkan badannya, ingin kembali masuk ke pintu tangga dan turun dari gedung.

    “Loncat saja sana.. dasar anak bodoh. Loncat dan kau masuk neraka. Biar pacarmu menyesal terpisah selamanya darimu di surga,” ujar dokter Mor tanpa melihatnya.

    "Memangnya apa yang kau tahu tentang aku, Dokter MOR!" teriak Gil. Matanya penuh dengan air mata.
    "Aku tidak sanggup hidup tanpa dirinya!"

    "Aku tahu kau. Kau hanya seorang pengecut. Kau tidak berani loncat karena takut sakit, dan kau tidak berani hidup karena takut sakit hati lebih lama lagi. Ini semua tidak ada hubungannya dengan pacarmu. Kau hanya egois memutuskan sepihak. Dasar pecundang."

    "Kau bilang aku pecundang??"

    "Kalau kau pemberani, buktikan! Loncat sekarang, atau hadapi hidupmu dan temui pacarmu di surga. Pilih salah satu!" bentak dokter Mor.

    Bibir gil gemetar keras mendengar perkataan dokter Mor. Sedangkan dokter Mor, ia tidak urus. Ia hanya memalingkan wajahnya,

    Dokter Mor menghilang masuk ke dalam pintu tangga menuju bawah. Ia tidak lagi melihat belakang karena mentari memang sudah masuk ke dalam cakrawala.

    Sedangkan Gil, ia hanya menangis sekeras-kerasnya. Di pinggir gedung. Ia tidak tahu lagi apa yang diinginkannya.
    Ia seakan-akan terbius dengan suara dokter Mor.

    ***​

    Dokter Mor menuruni tangga, ia melihat opsir-opsir sudah menunggunya.

    "Bagaimana cara kau mendekatinya dokter Mor. Aku sudah mencoba dengan rokok, sama seperti itu. Tapi ia tetap tidak bergeming." Opsir Heim penasaran melihat anak itu tidak hanya bisa di dekati dokter Mor, tapi juga mau berbincang-bincang dengannya.

    "Kau tidak mendekati wanita dengan sepuntung rokok."

    "Dia wanita? bukan laki-laki?" gumam opsir Heim kaget.

    "Tidak ada laki-laki yang mau mati demi pasangannya." Dokter Mor melempar senyum ramah padanya.

    “Tetapi, benarkah ia sudah mau turun?” tanya opsir Flitz gelagapan tidak begitu yakin dengan metode dokter Mor.

    “Sudah. Tapi saat ini, ia masih menangis.”

    "Oh. Bagus."

    "Kalau tidak ada apa-apa lagi. Saya mohon diri dulu, opsir."

    "Satu pertanyaan lagi. Maaf Dokter Mor. Kau tidak punya istri kan?"

    “Tidak.. Opsir. Tentu tidak.” Dokter Mor tersenyum dengan ramah. Ia kemudian menunduk, meminta undur diri, sambil memakai topinya dengan sopan dan turun menuruni tangga.

    “Dokter Mor tidak pernah punya istri.” Opsir Heim menepuk pundak opsir Flitz.
     
    Last edited: Jul 12, 2015
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Hmm aku punya tiga pesan buatmu :hmm:

    1 : Diksi yang bagus, yay.
    2 : Tanda baca yang buruk, yay.
    3 : Penempatan bahasa Inggris dan Indonesia yang terlalu memaksa.
    4 : Latar belakang dokter mor tidak begitu jelas, tapi tidak jadi masalah. yang bikin kurang nyaman disini (selain tanda baca yang buruk), adalah tokoh Gil sendiri yang tiba2 adalah seorang...cewek? what the... rasanya pas diketahui kalo Gil itu cewek, semua konflik dan plot yang udah susah payah dibangun jadi jatoh gak karuan.

    eh, empat yah? welp, sorry :ngacir: and welcome :hmm:
     
  4. cunguker123 Members

    Offline

    Joined:
    Mar 30, 2012
    Messages:
    3
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +0 / -0
    Interesting and almost good, mind tricknya bagus, cuma iya itu bahasa inggrisnya dipaksa masuk.
    ditunggu updatenya!!!!! :ogmarah:
     
  5. Karin99 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 23, 2014
    Messages:
    29
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +6 / -0
    “Siapa sebenarnya dokter Mor?” Opsir Flitz terkesima melihat aksi dokter Mor menyelamatkan Gily.

    “Hem.. rahasia,” ucap opsir Heim sambil tertawa. Tetapi begitu melihat raut wajah opsir Flitz yang serius dan tidak tertawa, opsir Heim pun menjawab, “..akan kuceritakan.”

    Senyum merekah di wajah opsir Flitz.

    “Mungkin akan kuceritakan saat aku pertama kali bertemu dengannya. Saat dia masih muda dan anak yang ingin bunuh diri ini masih gadis kecil di desa.”

    “Kau mengenal Gily sebelum kejadian ini?”

    Opsir Heim mengiyakannya dengan senyuman.


    ***​

    Di pagi hari yang buta, Gily turun menuruni lereng bukit dengan langkah cepat. Bersandal jepit jerami, kaki kecil dan gerakan yang lincah, ia berlari dengan girang dan hati ringan. Pipinya merona merah tersapu angin pagi.

    Dia terpeleset di tengah padang. Tubuhnya terbaring di hamparan rumput bukit. Matanya terpaku melihat langit hitam di angkasa yang penuh dengan kerlap-kerlip bintang.

    Dia tidak berkata untuk sesaat. Dia merasa takjub. Awan di atasnya terbelah dan memperlihatkan sungai cahaya yang luar biasa indah. Gily baru pertama kali melihat milky way. Sudah tiga tahun awan menutupi desanya. Sekarang hatinya terhenyak dan matanya bergetar bahagia.

    Awan yang mengambang perlahan menurunkan kristal-kristal kecil. Kristal yang berwarna merah terterpa sinar rambu kereta api, tertiup angin dan mendarat di hidung kecil Gily.

    Gily meniup tangannya yang kedinginan supaya hangat. Tubuhnya sedikit menggigil. Dia memutuskan untuk kembali berdiri dan berlari menuruni bukit.

    Sinar mentari mulai terbit. Cahaya masuk di sela-sela awan menjelajahi seluruh lereng bukit. Kristal kecil bernama salju mulai berubah menjadi rintik hujan. Kabut pagi mulai menghilang. Rumput mulai berwarna hijau, bergoyang tertiup angin pagi, dan burung camar mulai hinggap di atas atap rumah.

    Gily sampai di rumahnya yang kecil sederhana. Rumahnya walau sekecil gubuk tetapi hangat dan nyaman. Dia membuka pintu dengan pelan, tetapi pintu kayu tua itu berderik menyadarkan ibu yang memasak teh di dapur.

    “Gily!” Ibu berkacak pinggang. Celemek masak telah teruntai di badannya. “Kau pasti menginap di rumah nenek lagi!”

    “Mama,” Gily mengalihkan perhatian mamanya, “Mama lihat diluar ada apa?”

    Ibu tidak begitu mengindahkannya karena ketel teh mulai bersuara seperti peluit. Ibu pun buru-buru mengangkat ketel.

    “Gily lihat langit penuh bintang.”

    Ibu menarik nafas, tertegun seakan kakinya tertusuk duri. Dia perlahan melihat anaknya.

    “Gily! Kan mama sudah bilang.”

    Wajah Gily merengut.

    Ibu memastikannya dengan membuka jendela dan melihat langit. Sama seperti sebelum-sebelumnya, langit penuh dengan awan-awan abu-abu. Itu berarti Gily berbohong.

    “Hujan adalah anugrah Gily. Hormati Mr Anderson. Kita sudah sepakat untuk tidak bercanda akan hal itu.”

    Gily tahu hujan adalah anugrah. Tapi jika hujan tidak pernah berhenti, siapapun tentu akan kesal. Itulah mengapa ia suka bermain ke rumah nenek di atas bukit. Kadang-kadang di sana langitnya cerah dan pemandangannya menyejukkan mata.

    Gily kemudian menyuruput tehnya. Terasa hangat dan nyaman.
    Gily pun tersenyum manis pada ibunya dan berkata “Iya mama, aku tidak akan mengulanginya.”

    Ibu tidak tersenyum. Sebaliknya, ibu malah murung mendengar perkataan Gily.

    Gily mengikuti ibu ke dapur dan berteriak riang gembira.
    “Mama-mama.. lihat apa yang Gily temukan,” Sisa daun teh di cangkirnya tampak lucu.

    Rambut hitam menutupi wajah ibu. Titik-titik air jatuh di pinggir wajah ibu bagai tetesan air hujan.

    Mata Gily melebar. Dia tidak berkata.
    Gily melihat secangkir teh cantik tergeletak di kaki ibu. Isi teh yang hangat jatuh membasahi lantai kayu.

    Gily tidak mengerti mengapa ibunya menangis.
    Tetapi ia mengerti mengapa ada cangkir teh yang terjatuh.

    Itu cangkir teh yang biasa dipakai ayah.

    Karena hujan, ayah Gily pergi dari desa dan tidak pernah kembali.
    Ibu tidak bisa menyalahkan hujan. Dahulu saat Gily belum lahir, desa mereka sangat gersang. Tanaman apapun tidak dapat ditanam di ladang. Kehidupan mereka bergantung pada perairan sawah dari sungai. Sayangnya tuan tanah saat itu sangat kikir. Gerbang bendungan tidak pernah dibuka. Air menjadi barang mahal. Semua orang berebut segentong air di sumur, bahkan hingga berkelahi dan merusak sesama.

    Tapi sejak Henry menari, semua menjadi berubah. Seluruh petani menangis bahagia ketika atap rumah mereka basah. Mereka mengangkat ember mereka tinggi-tinggi ke udara, berteriak, bersorak bagai menang perang. Mereka membawa gentong-gentong sumur ke tengah-tengah lapangan untuk menampung air hujan. Bendungan dibuka karena tidak mampu menahan air yang sangat melimpah. Seluruh desa terairi air.

    Bagi mereka tiga tahun yang lalu, hujan adalah kebahagiaan.

    Tapi semakin lama waktu bergulir, kebahagiaan semakin sirna.

    Sudah tiga tahun lamanya, tidak pernah sedikit pun awan terbelah. Tanah kering berubah menjadi rawa
    dan yang tersisa hanyalah kesedihan.

    Hingga saat ini, ibu selalu berkata untuk mensyukuri hujan. Karena dahulu, ia pernah merasakan bagaimana sengsaranya hidup tanpa air. Tapi tetes air mata yang dilihat Gily sekarang, membuat semuanya menjadi kabur tidak bermakna.

    Hujan seperti pedang bermata dua. Kekurangan membawa bencana, berlebihan membawa petaka.

    Gily berjalan di sepanjang jalan desa. Dia mencoba untuk melupakan ayahnya. Tubuhnya basah terkena air hujan. Dia tidak ingin berada di rumah dan menonton ibunya menangis sendirian.

    “Hai.” Sapa seseorang di sebelah Gily.

    Gily lalu melihat orang yang menyapanya. Tampak pria muda berwajah ramah, tak berkumis, berjaket wol cokelat kehitaman. Pria itu memegang jam saku di tangan kanannya.

    “Maaf Sir, tetapi orang tua saya melarang untuk berbicara dengan orang yang tidak dikenal.”

    “Ah maaf adik kecil. Saya dokter Mor dari kota Edinsburgh.” Pria itu sangat sopan melepaskan topi beludrunya hanya untuk anak kecil. Hal itu membuat Gily tersanjung dan tidak berjalan menjauh.

    “Kalau boleh saya tahu? Mungkin adik kecil mengerti mengapa desa ini selalu dirundung hujan?”

    “Karena Henry, Sir.” Gily teringat dengan perkataan ibunya.

    “Mr Henry Anderson?”

    “Ya. Dia penari pemanggil hujan.”

    “Oh, di sini ada penari?”

    Gily mengangguk.

    “Kalau begitu semuanya menjadi jelas. Terima kasih adik kecil.” Dokter Mor membungkuk berterima kasih pada Gily, kemudian berjalan menjauh.

    Gily berpikir sambil memandang punggung dokter Mor, “Paman yang aneh.”

    “Ah lagi satu Gily,” suara dokter Mor yang berat memanggil Gily ketika ia sudah membalikkan punggungnya.

    “Ya, Sir?”

    “Bisakah memberi bunga ini pada ibu adik?”

    Gily menerima sekuntum bunga mawar cantik.

    “Mamaku? Mengapa, Sir?”

    “Paman percaya bunga ini akan sedikit merubah perasaan hati Miss Ammons.”

    Dokter Mor pergi setelah memberikan bunga, meninggalkan pertanyaan besar di benak Gily. Bagaimana dokter itu tahu nama keluarganya?

    ***​

    “Opsir Heim!” Kepala desa memanggil ceria opsir Heim yang memasuki balai desa. Balai desa itu kecil. Hanya bisa menampung sekitar dua puluh orang.
    Sayangnya, ruangan itu hanya terisi lima orang.

    “Sedikit sekali pegawai di kantor ini. Ini kantor balai desa kan?”

    “Banyak yang tidak tahan dengan hujan ini.”

    Tampang mereka sendu ketika melihat opsir Heim. Opsir Heim pun tidak banyak basi-basi, “Kalau begitu, mari ceritakan masalahnya.”

    Opsir Heim pun semakin bingung setelah dijelaskan dan diberikan berbagai statistik oleh kepala desa. Dia belum pernah mendapat kasus desa kehujanan selama tiga tahun berturut-turut.

    “Jika dilihat dari geografis, desa ini semestinya tidak mendapatkan curah hujan sama sekali.” Opsir Heim membolak-balik peta keheranan.

    “Benarkan? Kami juga bingung.”

    “Tampaknya untuk kasus ini.. aku tidak bisa membantu.”

    Mereka semua terdiam. Tampang mereka sedih. Kalau opsir Heim yang melegenda saja tidak bisa, lalu siapa yang bisa?

    “Kenapa anda secepat ini menyerah? Kalau anda saja tidak bisa menyelesaikannya apalagi kami?” kepala desa menghela nafas.

    “Kalau begitu, mengapa kalian tidak menceritakan semua kecurigaan kalian padaku. Aku merasa ada yang aneh. Sepertinya.. kalian menyembunyikan sesuatu dariku.”

    Mereka saling pandang. Setelah meningbang-nimbang, akhirnya mereka memberanikan diri untuk menceritakan sejarah terjadinya hujan ini.
    Kepala desa menceritakan dahulu desa mereka sangat kekurangan air. Itulah mengapa kepala desa sebelumnya berpikir keras hingga memutuskan tindakan extrim di luar nalar dan logika. Mereka memutuskan untuk mempersembahkan manusia untuk para dewa. Seorang wanita tercantik di desa dipilih, dan pilihan jatuh pada Miss Mikita anderson.

    “Saya menolak putusan tersebut. Terutama karena merahasiakannya dari masyarakat desa,” gumam kepala desa begitu ditatap tajam oleh opsir Heim. “Saya bukan kepala desa yang dahulu. Bukan.. begitu juga dengan aparat desa sekarang. Aparat dahulu yang membuat hal itu terjadi. Sekarang mereka telah pergi karena hujan berkepanjangan ini. Mereka takut akan terkena kutukan disambar petir atau semacamnya.”

    Kepala desa lalu melanjutkan ceritanya. “Saat itu suaminya, Mr Anderson juga tidak setuju. Tapi putusan kepala desa mutlak. Mereka memasukkannya pada tandu dan di bawa ke gunung. Suaminya melihat langsung bagaimana istrinya dijatuhkan dari jurang.”

    Opsir Heim menepuk dahinya begitu mendengar kejadian sebodoh itu.

    “Tentu saja, tidak ada yang terjadi setelah pengorbanan percuma itu. Tapi di hari pemakaman, Mr Anderson mulai menari mewakili kesedihannya dan hujan turun di seluruh desa.”

    “Hujan turun?”

    “Ya, saat itu semua orang merayakannya. Tapi kami berlima yang tahu rahasia ini, tidak ada yang berani merayakannya. Kami tahu hujan itu bukanlah anugrah, tapi adalah rasa kesedihan dan kepedihan Mr Anderson akan kehilangan istrinya.”

    “Kenapa kalian tadi tidak menceritakannya padaku tadi?”

    “Anda tidak bertanya opsir Heim. Siapa yang suka menceritakan sejarah kelam desa. Lagipula kami sudah berusaha membujuk Mr Anderson untuk berhenti menari. Tapi hasilnya nihil. Kami bahkan sudah menyewa seorang Jaksa dari kota sebelum anda kemari. Hasilnya, justru jaksa itu ketakutan begitu melihat Mr Anderson menari.”

    Opsir Heim terdiam. Hujan turun karena kesedihan seseorang? Dia baru pertama kali dengar. Ilmuan kota menjelaskan bahwa hujan adalah kristal es yang jatuh di ketinggian dan mencair menjadi hujan. Tetapi ia juga tidak mengerti apa artinya itu.

    Opsir Heim kemudian berdiri dari tempat duduknya.

    “Anda mau kemana opsir Heim?”

    “Aku ingin menemui Mr Henry Anderson sebentar.”

    ***​

    Gerak tubuh yang mempesona, menyambar bagai pedang, mengalun lembut bagai sutra. Selendang yang dipakainya meliuk-liuk hidup bagai burung yang menyambar ular. Langkah kaki membentuk lingkaran bagai putaran roda penuh kesempurnaan. Lembaian tarian pengundang hujan tampil cantik bagai bidadari.

    Ketika Henry menghentikan tariannya, suara hujan terdengar semakin keras.

    Henry membuka matanya. Pandangannya jatuh pada rintik hujan di luar jendela. Untuk sesaat, ia terdiam seakan menunggu seseorang muncul dari balik jendela.

    Dia kemudian membuka pintu, memberikan angin pagi memasuki sanggar tari miliknya yang luas. Walau pintu depan sudah terbuka lebar, tapi sama sekali tidak ada murid yang memasuki sanggar tarinya. Dia tahu desa ini sudah ditinggalkan orang-orang. Dia selalu sendiri di sana. Tidak pernah ada seorang pun yang berani berbicara dengannya. Ironinya, yang datang hanya orang yang ingin mengusirnya dari desa.

    “Halo, selamat pagi,” bisik Henry pada dirinya sendiri. Sanggar tari yang sunyi tidak menjawab salamnya. Hanya suara hujan yang terdengar.

    “Selamat pagi,” tiba-tiba terdengar suara seseorang dari balik bayangan dinding.

    Henry tersentak kaget hingga jatuh karena menginjak pakaian tarinya sendiri. Dia tidak mengira ada orang lain dalam sanggar tarinya.

    Henry memandang tajam orang yang sembarangan masuk ke sanggar tarinya. Dia melihat seorang pria muda dengan muka yang sangat ramah. Terlihat nyata ia bukan penduduk desa ini dari jas wol tebal yang dipakainya. Di tangan kanannya terdapat kartu bertuliskan nama “Docter Molks Moore”. Tampaknya, ia orang baru yang dikirim kepala desa untuk mengusirnya.

    “Maaf, tapi menurutku kau lancang. Kau tidak boleh masuk ke tanah pribadiku.”

    Pardon me,” Dokter Mor membungkuk.
    “Tapi bukankah lebih lancang mereka yang ingin mengusir anda dari desa ini, Sir?”

    Henry tersentak kaget. Sesaat keberadaan dokter Mor yang bagai sampah di matanya menjadi berubah.
    “Maksudmu? Bukankah kau datang kemari untuk membujukku pergi dari desa ini?”

    “Perkenalkan, nama saya Dokter Mor. Saya adalah seorang jaksa penuntut dari kota Edinburgh.” Dokter itu memberikan kartu namanya.

    “Jaksa penuntut? Heh, jaksa lagi?”

    “Tepatnya saya seorang inspektur kerajaan.”

    Pikiran Henry berputar seratus delapan puluh derajat begitu mendengar kata, “Inspektur kerajaan”.
    Inspektur kerajaan adalah pemegang hukum kerajaan tertinggi yang ditugaskan untuk menjaga perdamaian publik. Kabarnya, inspektur kerajaan adalah orang-orang yang kuat. Veteran perang. Diizinkan membunuh untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikan.

    “Anda datang kemari untuk menangkap saya?” tanya Henry gelagapan.

    “Seperti yang kukatakan tadi, aku datang untuk menolongmu.”

    Seorang inspektur kerajaan datang untuk menolongnya? Henry merasa aneh. Pertama, tampang dokter Mor terlalu muda untuk seorang inspektur kerajaan. Kedua, wajahnya terlalu ramah. Ketiga, pakaian yang dipakai hanyalah jaket wol. Tidak ada seramnya sama sekali.

    Henry menarik nafas. Tampaknya ia berhadapan dengan seorang penipu.

    “Okay,” Henry menyilangkan tangannya dan melemparkan senyum sinis. “Tapi aku tidak mengerti mengapa kau ingin membantuku.”

    “Seseorang dari desa ini ingin membantu anda. Dia datang jauh-jauh mencariku ke kota. Katanya anda memiliki masalah.”

    “Utusan kepala desa?” Hidung Henry menjengit.

    “Tentu saja bukan. Hanya salah seorang rakyat desa yang merantau,”

    Henry terdiam. Tampaknya pria ini tidak berbohong.

    “Mr Vernon, Mr Durche, Mr Calis, Miss Tiana, Mr Bial dan Mr Thank,” ucap Dokter Mor sambil mengangkat jarinya satu persatu.

    “Kenapa kau menyebutkan nama kepala desa dan ajudan yang dulu?”

    “Mereka yang menyebabkan pengorbanan Miss Anderson. Tetapi sayangnya, mereka tidak lagi ada di desa ini.”

    “Tidak ada? Tanya Henry heran.

    “Beberapa telah meninggal dan yang lainnya keluar kota. Tetapi hujan masih turun. Kurasa kau benci seluruh rakyat desa. Besok pagi, aku ingin kau tetap menari. Aku akan menghancurkan dinding bendungan untukmu.”

    “MAKSUDMU APA?” Henry kaget dengan perkataannya.

    “Bukankah hujanmu untuk balas dendam?”

    Henry tersentak kaget. “Aku menari bukan untuk balas dendam. Itu hanya percerminan rasa kesedihanku akan..”

    “Selama tiga tahun?” Dokter Mor memotong perkataannya.

    Henry terdiam seakan tak berkutik.

    “Jadi rakyat desa bukan sasaranmu?” Dokter Mor seakan kebingungan, dia menggaruk-garuk belakang kepalanya.

    “Kenapa kau ingin membantuku inspektur?” Henry heran ada inspektur kerajaan yang baik padanya.

    Dokter Mor menghela nafas.
    “Ketika seseorang membalas dendam, ia selalu lupa sasarannya siapa dan kapan waktu untuk berhenti.”
    “Aku tidak ingin meringkus orang baik sepertimu suatu hari nanti.”

    Henry terdiam mendengar penjelasan Dokter Mor.

    Terdengar derap langkah kaki, tampak seorang wanita memasuki sanggar tari. Miss Ammons tampak kelelahan. Nafasnya terengah-engah seakan telah berlari keliling desa. Di tangannya terdapat setangkai bunga mawar kering. Wajahnya seperti sedang mencari seseorang.

    “Anda dokter Mor?” tanya Miss Ammons.

    “Ya.”

    “Anda yang memberi bunga ini pada anakku?”

    “Benar.”

    “Darimana anda mendapatkannya?”

    “Dari suami anda.”

    Seketika Miss Ammons tidak dapat menahan rasa tangis yang meluap dari dalam dadanya.
    Sesenggukan, ia berkata, “Terima kasih telah memberikannya padaku.”

    Dokter Mor tersenyumn dengan hangat. Miss Ammons pun menunduk dan melihat bunga kering yang dipegang erat olehnya. Ternyata suaminya masih ingat padanya.

    “Aku tahu anda dipanggil kemari oleh suamiku karena Mr Anderson.”

    Pandangan Miss Ammons pada dokter Mor kemudian berpindah pada Henry.

    “Bukan aku menyalahkanmu, Mr Anderson, sebaliknya maafkan aku..”

    “Maksud anda Miss Ammons?” tanya Henry bingung.

    “Karena aku tidak menyuarakan suaraku di rapat desa istrimu sampai..”

    “Jadi anda juga salah satu dari mereka?” tanya Henry keheranan.

    “Aku sudah sebisa mungkin menahan mereka, Mr Anderson” Mulut miss Ammons semakin gemetar.
    “Saat itu, aku merasa bahwa pengorbanan memang diperlukan. Tapi setelah melihat siapa yang harus dikorbankan, aku.. aku..”

    Miss Ammons kembali menangis.

    “Anda datang di waktu yang tepat Miss Ammons. Tidak usah minta maaf,” Dokter Mor mengeluarkan pistol kecil caliber 6 mm dari balik jasnya.

    Henry yang baru pertama kali melihat pistol, mengira dokter Mor akan membunuhnya.
    Tapi Apa yang dokter Mor lakukan adalah memberikan pistol itu pada Henry dan berkata,
    “Silahkan. Orang seperti dia kan.. yang kau ingin balas dendam? Kenapa anda mundur, Mr Anderson?”

    “Mr Anderson?” Tangis Miss Ammons terhenti. Miss Ammons memandang Henry seakan ia melihat monster. "Jadi, selama ini anda menyimpan dendam pada kami?"

    “Menjadi manusia atau monster,” ucap Dokter Mor. “Itu pilihanmu.”

    Pikiran Henry melayang.
    Tiga tahun yang lalu, ia berdiri di sini. Sendirian di sanggar tari. Setelah setan-setan desa itu mengorbankan istrinya yang tercinta, mereka malah berteriak sorak sorai. Bahagia, makmur, sentosa dan kesetanan menyambut hujan.

    Mereka menampung hujan dalam gentong-gentong, mandi di atasnya, lalu berfoya-foya. Tetapi dalam benak Henry, semua air itu tampak bagai darah. Darah pengorbanan cintanya.

    Jadi ia diam di sanggar ini. Dia akan berikan hujan sebanyak apapun orang desa mau. Demi hujan, mereka tertawa atas penderitaan orang lain. Mereka bahkan tidak memandang dan melihat sama sekali diri Henry.

    Henry marah. Di sela-sela tariannya ia memaki dan dari sanalah datang petir, badai dan banjir yang melanda desa selama tiga tahun. Dia ingin mereka mati, termakan hujan, termakan air yang mereka damba-dambakan, termakan akan keserakahan mereka sendiri yang mengatas namakan kesejahteraan di atas pembunuhan cinta yang tidak berdosa.

    Beginilah Henry hidup. Henry dendam kesumat akan siapapun. Dia tidak akan menghentikan tariannya. Biar kepala desa yang baru memintanya, biar jaksa kota datang dan mengancamnya, pendiriannya tidak akan luntur. Sampai seluruh desa tenggelam dengan air tercintanya.

    Tapi melihat sebuah pistol yang mestinya diacungkan pada Miss Ammons di tangannya, pandangan Henry di sekitarnya terasa gelap. Pistol itu meluruhkan seluruh dendamnya.

    Tangannya hilang tenaga dan pistol itu jatuh ke atas tanah.

    Apa yang dia telah lakukan hingga sekarang?

    Jika dendamnya harus membunuh semua orang termasuk miss Ammons. Apakah itu dendam?

    Mulut Henry bergetar, nuraninya berseteru.

    Melihat keringat dingin Henry, Dokter Mor pun tersenyum.

    Kedua kali Henry melihat Dokter Mor, ia sudah tidak disana.
    Dokter Mor telah berjalan keluar dari sanggar tari miliknya seakan ia tahu Henry tidak akan menari lagi.

    Sore harinya, Kepala desa yang sedang meminum kopi kaget dan menjatuhkan kopi di kemejanya begitu melihat titik hujan berhenti.
    Semua orang desa keluar dari rumah mereka. Mereka menangis melihat sinar mentari yang indah masuk dari sela-sela awan menerangi seluruh padang rumput yang hijau. Mereka tidak percaya melihat pelangi megah muncul di balik bukit.

    Gily berlari riang gembira menyambut ayah yang baru pulang merantau. Ayah berdiri di ujung jalan. Dia memeluk ibu dan meminta maaf tidak menjelaskan alasannya pergi.

    Di akhir siluet cahaya mentari, Henry melihat bayangan istrinya muncul kembali di jendela.
    Dia tersenyum manis padanya. Sinar mentari di belakangnya tampak begitu indah, dan ia berjalan menuju ke sana.
    Lehernya seakan tercekat. Henry menangis sekeras-kerasnya.
    Dahulu saat hujan pertama kali. Dia melihat bayangan istrinya muncul di jendela, sedih dan tidak bernyawa.
    Sejak saat itu, ia selalu melihat jendela tiap pagi, berharap sekali saja bisa melihat bayangan istrinya muncul kembali .

    Tapi Istrinya tidak pernah muncul. Seakan ia melakukan kesalahan.
    Henry mengira istrinya datang menginginkan pembalasan dendam.
    Henry tidak tahu istrinya datang untuk melihatnya bahagia.

    ***​

    "Jadi kau berada dimana saat itu opsir Heim?"

    "Aku? Aku berdiri di pintu sanggar menguping, opsir Flitz."

    "Aku tidak tahu kalau dulu dokter Mor seorang inspektur kerajaan."

    "Dokter mor tidak pernah menjadi seorang inspektur kerajaan."

    "Hah?"

    "Bahkan dia yang menyuruh Mr Ammons untuk membuatkan sebuah bunga padanya."
     
    Last edited: Jun 26, 2015
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.