1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

FanFic The Radiant Sun of Kuoh Academy

Discussion in 'Fiction' started by Galerians, Sep 26, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Galerians Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 5, 2011
    Messages:
    40
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +12 / -0
    The Radiant Sun of Kuoh Academy (A Naruto/Highschool DxD Crossover)

    Main Protagonist:

    1. Namikaze Naruto

    [​IMG]

    Konoha no Koganei Senkou (Konoha's Golden Flash)

    2. Kurama

    [​IMG]

    Kyuubi no Youko (Nine Tailed Demon Fox)
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Sep 27, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Galerians Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 5, 2011
    Messages:
    40
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +12 / -0
    Galerians, in.

    Kategori: Naruto/Highschool DxD Crossover

    Sinopsis: Mendekati akhir latihan intensif bersama Jiraiya, sang Gama Sennin mendaftarkan Naruto ke sekolah agar muridnya itu bisa bersosialisasi lagi karena ninja di jaman modern harus bisa membaur dengan masyarakat awam. Sial bagi Namikaze Naruto, itu sekolah gudangnya bangsa Iblis.

    Setting: Timeline Naruto terjadi di jaman modern, dan Elemental Countries dianggap sebagai benua tersendiri.

    Warning:
    Mungkin abal. Mungkin aneh. Mungkin jelek. Dan mungkin OOC.

    Disclaimer: This is purely a fanfiction, made only to bring about entertainment of whatever I decided to write for those who read!

    Selamat membaca!

    ~••~

    When The Sun Goes into A High School
    Part 1
    (I’m Enrolled?! Welcome to Kuoh Academy!)

    Naruto membaca dokumen yang terselip di antara ibu jari dan jari telunjuknya dengan mata menyipit. Pandangannya beralih ke arah Jiraiya yang nyengir lebar sambil berkacak pinggang, balik ke dokumen, balik lagi ke sang Shishou, lalu balik lagi ke kertas.

    “Kau mendaftarkanku di SMA?” ia bertanya dengan nada datar.

    “Yep!” Jiraiya mengangguk dengan antusias dan ibu jari teracung. “Bagaimana? Hadiah ulang tahun yang bagus kan?!”

    Naruto memandang sang guru dengan tatapan kosong, seakan masih berusaha mencerna informasi atau masih nggak ngeh kalau ini bukanlah sebuah mimpi. “Hadiah ulang tahun? Kau mendaftarkanku ke sekolahan tanpa bilang-bilang dan kau sebut ini hadiah ulang tahun?”

    “Yep!” Jiraiya mengangguk sekali lagi. “Aku juga sudah mengurus semuanya! Mulai dari iuran sekolah, seragam, buku pelajaran, bahkan sampai sewa rumah yang akan kau diami selama kau sekolah!” dia mendengus bangga.

    “Ho.” Naruto menyahut dengan keanggunan yang menyaingi pembuat puisi kelas atas. “Uang dari mana?”

    “Dari tabunganmu dong!”

    Hening.

    Naruto meletakkan kertas itu di atas meja sembari menutup mata, menarik napas panjang, dan berdiri dari futon-nya.

    Dengan tenang, anak muda yang baru berulang tahun kelima belas beberapa bulan lalu itu melangkah maju dan tanpa banyak babibu, ia menjotos wajah sang guru.

    Tanpa mengacuhkan pria berambut perak yang telentang di lantai sambil memegangi pipinya dan mengaduh-aduh ria, Naruto meraih gulungan besar yang selalu nangkring di punggung Jiraiya dari tempatnya bersandar di dinding, hanya untuk digunakan sebagai alat untuk menghajar pria pria paruh baya itu tanpa ampun.

    “Dasar Shishou brengsek!”

    ~•~​

    Setelah interogasi yang berlangsung singkat karena Naruto sudah mulai mengancam sang guru dengan kunai, Naruto akhirnya mengetahui alasan apa sebenarnya yang ada di balik keputusan Jiraiya untuk membuatnya kembali menjadi murid di institusi pendidikan. Usut punya usut, dalam komunikasi terakhir mereka Tsunade mengemukakan kekhawatiran, bahwa setelah hampir tiga tahun mengembara dunia atas nama latihan intensif, serta mengingat bahwa kaum shinobi di jaman modern sekarang harus bisa membaur dengan masyarakat awam, Naruto perlu diperkenalkan kembali ke dunia sosial yang sesuai dengan jangkauan umurnya sebagai anak SMA. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan level sosialisasinya yang mungkin sudah jongkok karena sudah terlalu lama hanya berinteraksi dengan Jiraiya yang, harus diakui, memiliki moral di bawah rata-rata.

    Tak hanya itu, Jiraiya juga mendapat tugas penting yang harus ia lakukan seorang diri karena misi itu berhubungan dengan informasi super sensitif yang tak bisa didengar oleh orang lain. Jadi daripada membiarkan Naruto keluyuran sendiri selama beberapa bulan, Jiraiya lebih memilih Naruto mengisi waktunya dengan lebih efektif.

    Hanya saja, alih-alih mendaftarkannya di sekolah normal, Jiraiya mendaftarkan Naruto ke sebuah institut pendidikan privat bernama Akademi Kuoh. Mengapa Naruto menganggap sekolah ini tidak berada di bawah atau dilalui garis normalitas? Karena Akademi Kuoh adalah bekas sekolah khusus putri yang hanya baru-baru ini saja berubah orientasi, sehingga populasi cewek dan cowok masih berada dalam ketidakseimbangan.

    Ketika dia mengemukakan kebingungan ini pada Jiraiya, si petapa tua itu hanya nyengir mesum sambil mengatakan bahwa dia berharap dengan begitu Naruto bisa lebih mengenal hubungan antara pria dan wanita... sekaligus mungkin mengakhiri statusnya sebagai seorang perjaka.

    Satu menit kemudian, Naruto menghambur keluar dari kamar apartemen tempat mereka menginap untuk malam itu, meninggalkan sang guru yang kini telungkup dengan belasan kunai mencuat di hampir seluruh bagian tubuh, dan benjol besar yang masih berasap di puncak kepalanya.

    ~•~
    Naruto mengurut pelipisnya untuk meredakan sakit kepalanya yang sudah ia derita dari pagi tadi karena kurang tidur. Ia harus mengakui bahwa walaupun rumah sewaannya adalah tempat yang enak ditinggali, dia tetap tak bisa tidur nyenyak sebagaimana yang sering ia alami kalau tidur di tempat asing. Biasanya, Naruto bisa memperbaiki masalah itu dengan latihan berat sehingga dia akan terlalu lelah untuk memikirkan di mana ia tidur, namun Jiraiya sudah menyuruhnya agar tidak mengundang perhatian, dan mengingat bagaimana latihannya sekarang sudah mencapai fase di mana area sekeliling terus menjadi korban... yah, bisa dibilang ia sudah tak bisa mengambil pilihan itu lagi.

    Naruto harus menahan diri untuk tidak menggeram ketika ia mendengar sang guru mulai memberi penjelasan dengan suara nyaring yang membuat tulang tengkoraknya terasa bergetar dan otaknya berdenyut. Dia tahu kalau dia sendiri sering dipanggil hiperaktif oleh orang-orang yang dekat dengannya, tapi dia tak bisa mengerti bagaimana seorang guru yang sudah mulai mencapai umur empat puluhan itu bisa masih semangat mengajar walaupun ia mendapat bagian jam pelajaran terakhir di mana efek lelah dan bosan biasanya sudah bersifat universal, baik bagi murid maupun tenaga pengajar.

    Jika Naruto harus memberi deskripsi untuk kehidupannya sebagai murid baru di Kuoh dengan jumlah kata sesedikit mungkin, maka Naruto bisa memberi jawaban yang sangat singkat, hanya dengan satu kata malah.

    Menyebalkan.

    Seringkali lagu-lagu jaman sekarang memberi pernyataan bahwa masa muda adalah masa terindah dalam kehidupan seorang manusia. Sungguh, Naruto ingin bertemu dan mengacungkan jari tengahnya di hadapan para pembuat lirik lagu itu. Jujur, kehidupan sebagai seorang shinobi pengembara bersama Jiraiya, walaupun dipenuhi dengan kesulitan dari latihan intensif atau bahaya karena misi-misi mematikan yang sering mereka ambil, masih jauh lebih menyenangkan daripada menghabiskan lebih dari lima jam duduk di atas kursi yang tidak empuk dan mendengarkan guru menjelaskan pelajaran yang sama sekali tidak ia pikir bisa berguna dalam jalur karirnya sebagai seorang shinobi.

    Terlebih lagi dia adalah seseorang yang pragmatis. Salah satu prinsip yang Jiraiya tekankan adalah ‘banyak jalan menuju Roma’. Peduli apa dia soal matematika atau fisika asalkan kunai dan shuriken yang ia lempar bisa mengenai sasaran? Peduli apa dia soal kimia, mengingat tubuhnya bisa sembuh dari luka maupun racun jenis apapun asalkan diberi waktu yang cukup? Peduli apa dia soal biologi kalau dalam pengembaraannya, dia sudah tahu cara menghadapi mulai dari manusia biasa, kaum Youkai, atau bahkan spesies monster macam bangsa naga?

    Singkatnya, Naruto tak punya hasrat untuk mempelajari sesuatu yang tidak membuatnya tertarik.

    Andai saja uang yang sudah Jiraiya keluarkan untuk membayar biaya sekolah ini tidak keluar dari kantong Naruto sendiri, mungkin dia sudah lama mengundurkan diri.

    Lamunan Naruto buyar ketika ia mendengar bel berbunyi, pertanda pelajaran hari itu sudah berakhir. Masih dengan mulut yang terkatup rapat, Naruto memasukkan semua bukunya ke dalam tas punggung yang ia bawa dan keluar dari kelas tanpa melihat kanan kiri.

    Dia sama sekali tidak terkejut atau heran ketika menyadari bahwa dari semua siswa di kelas, dia hanya perlu memberi salam balik pada satu orang ketika remaja berambut cokelat itu mengucapkan sampai jumpa padanya. Setelah satu bulan di Kuoh, para siswa lain telah menyadari bahwa siswa baru berambut pirang itu adalah seorang penyendiri dengan tingkah lakunya yang tidak mengikuti klub apapun dan selalu langsung pulang setiap kali bel akhir berbunyi, jadi mereka hanya mengangkat bahu dan berusaha untuk tidak mempedulikan Naruto. Bukan salah mereka kan kalau si anak baru tidak ingin punya teman?

    Dan walaupun Naruto merasa tidak enak, apalagi dia sebenarnya enggan bersikap demikian karena pada dasarnya Naruto adalah orang yang suka berteman, dan walaupun tujuannya mendaftar di sekolah itu adalah untuk mempelajari kembali kemampuan bersosialisasi, tapi dia juga harus mengingat bahwa dia hanya ‘singgah’ di Kuoh. Dia tidak tahu kapan Jiraiya akan menjemputnya kembali untuk melanjutkan pengembaraan mereka, jadi kalau bisa, dia ingin mencegah memiliki teman agar tidak ada orang yang merasa sedih dengan kepergiannya. Lagipula, mengingat statusnya sebagai seorang ninja yang harus dirahasiakan, Naruto merasa lebih baik tidak memiliki teman untuk menghindari pertanyaan selagi berdiam di kota ini karena dia sangat tidak suka berbohong.

    “Namikaze-kun.”

    Naruto berhenti berjalan tepat sepuluh langkah sebelum ia mencapai tangga, menengadahkan kepalanya hanya untuk melihat bahwa seseorang telah menunggunya di depan tangga. Dia menahan diri untuk tidak mengumpat, Berusaha untuk tidak menunjukkan rasa tidak senang dalam hatinya di wajah, Naruto memutar tubuhnya dan menyunggingkan senyum yang agak dipaksakan.

    Di depannya, berdiri seorang gadis muda dengan rambut hitam dan mata yang berwarna ungu, wajahnya yang kecil dihiasi oleh kacamata yang bertengger di hidungnya yang kecil namun mancung, membuatnya nampak pintar namun sekaligus dingin karena raut wajahnya cenderung tidak ditemani oleh senyum. Cewek remaja yang Naruto kenali sebagai Shitori Sona, ketua dari badan organisasi intrasekolah, yang wajahnya sudah hampir menjadi rutinitas dalam satu bulan kehidupan Naruto di Akademi Kuoh, serta sumber masalahnya yang kedua.

    Sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di perimeter Kuoh, rambut pirang Naruto telah menjadi salah satu hal yang membuatnya menarik perhatian, karena dalam dokumen pendaftarannya, Jiraiya memasukkan informasi bahwa Naruto adalah turunan orang Jepang tulen baik dari sisi ayah maupun ibu, dan itu membuat rambut pirangnya menjadi objek bisik-bisik dan asumsi bahwa dia adalah seorang anak nakal bahkan preman yang mencat rambutnya sendiri. Sial bagi Naruto, aktivitasnya selama dua minggu pertama malah semakin memperburuk situasi. Menolak masuk ke klub manapun atau ajakan nongkrong membuatnya dianggap sedikit anti sosial, sikapnya yang selalu menjawab pertanyaan dengan jawaban sesingkat-singkatnya mungkin masih bisa diterima karena itu hanya pertanda orang yang pendiam.

    Namun ketika di minggu kedua ada kabar bahwa ada tiga siswa yang harus masuk rumah sakit, dilanjutkan dengan Naruto yang masuk ke kelas dengan mata lebam, para siswa lain langsung membuat asumsi bahwa si remaja pirang terlibat dengan luka-luka yang diderita tiga siswa itu.

    Asumsi itu tidak keliru memang, namun agaknya mereka semua tidak memedulikan fakta bahwa tiga siswa itu adalah anak nakal yang suka memeras uang dari orang lain, terutama anak-anak SMP yang tidak bisa membela diri. Dan gara-gara kabar burung itu, Naruto akhirnya menjadi buruan sang ketua OSIS yang kelihatannya menganggap bahwa memperbaiki sikap anak nakal di Kuoh adalah tanggung jawabnya.

    Hampir dua minggu Naruto sudah berhasil menghindar dari konfrontasi, namun agaknya keberuntungan ninja itu berakhir hari ini. Entah dikarenakan Naruto yang tidak konsen karena sakit kepala atau karena Sona sekarang jadi lebih pintar setelah dua minggu gagal menangkap si shinobi pirang, hal itu tidak mengubah fakta bahwa Naruto sekarang sudah terkepung dan tak punya jalan untuk lari, karena ketika ia melirik ke belakang, ia bisa melihat bahwa Tsubaki, wakil ketua OSIS, berjalan mendekat dari belakangnya.

    Merasa bahwa nasibnya sudah terukir di atas batu, Naruto hanya bisa pasrah.

    “Ahaha, selamat siang, Shitori-san.” Ia balik menyapa sembari mengusap belakang kepalanya, sama sekali tidak sadar dengan perbuatan yang selalu menjadi pertanda bahwa ia sedang gugup itu.

    Gadis itu menyipitkan mata, sama sekali tidak percaya dengan sikap sopan maupun cengar-cengir cowok pirang di depannya. Ketika ia mendengar dengusan itu yang sama sekali tidak disembunyikan, Naruto harus menahan diri untuk tidak meringis. “Anu, ada yang bisa kubantu?”

    “Sebenarnya ada, Namikaze-kun,” Sona memperbaiki posisi kacamatanya, membuat kaca benda itu berkilap karena memantulkan cahaya yang datang dari jendela. “Ada alasan khusus mengapa kau menghindariku satu minggu terakhir ini?”

    Naruto kembali menahan diri untuk tidak meringis. Bagi orang biasa, mungkin tidak akan terlalu kentara, tapi walaupun Naruto sangat payah dalam mengetahui perasaan orang lain, setidaknya dia cukup perseptif untuk mendeteksi nada menuduh dan tidak senang yang terkandung di bawah nada profesional Sona.

    “Eh?” Naruto berusaha memasang ekspresi polos dan bingung, walaupun entah meyakinkan atau tidak dia juga tidak tahu. “Maaf, Shitori-san, tapi jujur aku tidak mengerti apa maksudmu.”

    “Tidak usah pura-pura, Namikaze-san,” gadis dengan warna rambut sama dengan Sona, namun lebih panjang, yang berdiri di belakang Naruto berkata sinis. “Kami sudah berusaha mengontakmu selama dua minggu terakhir, tapi kau selalu berhasil kabur.”

    “Em, apa maksudmu ‘kabur’, Shinra-san?” Naruto tetap mencoba untuk terdengar tak bersalah, walaupun nada sinis Tsubaki cukup membuatnya tersinggung. “Aku yakin itu cuma kebetulan. Mungkin kita cuma tidak sengaja nggak berpapasan?”

    “Kebetulan?” Tsubaki kembali mendengus, wajahnya mendongak sedikit seakan memandang rendah Naruto. “Kebetulan macam apa yang bisa membuat organisasi OSIS sekolah ini perlu waktu setengah bulan hanya untuk mengontak satu siswa saja?”

    Oke, Naruto tidak peduli walaupun cewek ini adalah wakil ketua OSIS. Seenaknya saja dia meremehkan Naruto seperti ini! Naruto mungkin tidak bisa memakai seluruh kemampuannya karena tidak ingin statusnya terbongkar, tapi itu tidak berarti dia tak punya harga diri sebagai seorang shinobi! Kalau dia mau, walaupun dia diburu satu sekolah pun, tak akan ada seorangpun yang bisa menemukannya!

    Naruto berbalik seratus delapan puluh derajat dan bersidekap, membalas tatapan Tsubaki wajah ke wajah. “Yah, mungkin memang bukan kebetulan, Shinra-san, tapi apa itu berarti anggota OSIS Kuoh sebegitu payah sampai-sampai perlu waktu selama ini hanya untuk satu orang?”

    Wajah Tsubaki berubah sangar. “Kau—!”

    “Tsubaki,” suara Sona menyela, nadanya autoritatif dan tegas. “Cukup.” Mulut sang wakil ketua OSIS mengatup dengan suara nyaring, namun ekspresi sangarnya tidak berkurang, malah semakin bertambah ketika gadis remaja itu melihat Naruto yang memasang senyum lebar. Dia menggeram.

    “Tsubaki.”

    Mendengar peringatan kedua Sona, Tsubaki menutup mata dan menarik napas. Tidak seberapa detik kemudian, posturnya kembali menegak dan dia kembali menjadi wakil ketua OSIS yang terhormat. “Baik, Kaichou.”

    “Namikaze-kun,” panggilan Sona membuat Naruto menoleh ke arahnya. “Tolong, kami hanya ingin menanyakan beberapa hal, bukannya membuat masalah.”

    Naruto mengangkat alisnya, ingin menyatakan bahwa bukan dia yang memulai semua ini namun sadar bahwa mengatakan itu hanya akan memperburuk situasi dan semakin memperlambatnya pulang ke rumah, yang juga berarti dia harus menderita sakit kepala lebih lama lagi.

    Jadi dia mengangkat bahu. “Menanyakan apa?”

    “Dua minggu lalu, ada tiga siswa dari SMA sebelah yang masuk rumah sakit—”

    Naruto memotong cepat. “Itu hanya misi.”

    Sona ternganga selama beberapa saat, tak terbiasa dirinya dipotong begitu saja sebelum selesai bicara. Naruto menikmati pemandangan yang jarang terjadi itu sebelum sang ketua OSIS kembali menguasai dirinya dan berdehem. “Misi?”

    Naruto tidak menjawab, dia hanya meraih ke dalam tasnya, mengambil sebuah selebaran, lalu menyodorkannya ke arah Sona yang menerimanya dengan ekspresi heran. Tsubaki yang penasaran bergerak ke sisi Sona untuk ikut membaca isi selebaran. Ketika ia mengalihkan pandangan ke arah Naruto lagi, matanya lebar dan wajahnya dipenuhi rasa tidak percaya. “...Ninja?”

    Naruto mengangguk. Sebagaimana tertulis di selebaran itu, “Namikaze Naruto, Ninja. Menerima pekerjaan apa saja, mulai dari menemukan barang hilang, pengawalan, atau bahkan sampai ke urusan berbau supernatural.” Naruto bahkan bisa memperbaiki peralatan rusak. Walaupun dia tak punya pendidikan sebagai teknisi, kemampuan membaca Aksara Semesta yang ia warisi dari klan Namikaze membuatnya bisa mengetahui persis kerusakan apa yang ada pada sebuah mesin, baik teknologi sehari-hari macam kulkas atau tv, atau bahkan kendaraan berbahan bakar bensin seperti motor atau mobil.

    Dan alasan dia melakukan semua ini? Karena walaupun Jiraiya sudah membayar iuran sekolah dan sewa rumah, namun sayangnya itu tidak termasuk tagihan listrik, air, maupun gas. Ditambah dengan biaya makan, ujung-ujungnya Naruto harus mencari penghasilan sampingan. Dan niat untuk bekerja sampingan itulah yang menjadi awal terbentuknya ide cemerlang ini.

    ...Yah, mengatakan bahwa ini adalah idenya sendiri mungkin sedikit berlebihan, karena sebenarnya Jiraiya-lah yang membuatnya mendapat ide ini.

    Pelajaran Jiraiya #26: ‘Sembunyi di tempat terbuka.’

    Pada hakikinya, ini berarti alih-alih merahasiakan, Naruto dengan terang-terangan mengekspos bahwa dirinya adalah seorang ninja, dengan harapan orang awam tidak akan memedulikannya, sehingga orang yang akan menyewa jasanya hanyalah orang yang tahu betul bahwa komunitas shinobi memang masih ada di dunia ini.

    Gilanya, rencana itu berhasil. Orang awam yang menerima selebarannya menganggap Naruto pasti memiliki ‘sindrom anak SMP’ yang lebih dikenal sebagai Chuunibyou, dan walaupun ada orang awam yang memberinya misi, dia juga sudah menyiapkan kontrak dengan Fuuinjutsu level tinggi yang memastikan kliennya tak bisa memberitahukan identitasnya pada siapapun, sehingga statusnya sebagai shinobi tetap menjadi sebuah rahasia.

    Yah, itu tidak berarti dia perlu melakukan banyak-banyak. Malahan, tiga misi yang ia laksanakan bulan ini sudah cukup untuk membayar semua tagihan bulan depan.

    “Ninja?” renungan Naruto buyar ketika ia mendengar Sona mengulang pertanyaan Tsubaki. “Kau menghajar tiga orang karena kau pikir kau adalah seorang ninja?”

    Naruto mengerutkan dahi dan mendongak, melihat Sona mendelik ke arahnya. Pemuda pirang itu mengambil satu langkah maju, dan membalas delikan Sona dengan tatapan. “Tiga orang yang kau sebutkan itu adalah preman yang suka merokok, minum alkohol, dan menindas anak-anak sekolahan. Mereka suka memeras uang dari orang lain, yang kalau tidak dikabulkan, maka akan berubah jadi kekerasan.” Tatapan Naruto berubah tajam. “Kau mungkin tidak tahu, atau tidak peduli, Shitori-san, tapi ketika aku menemukan mereka dua minggu yang lalu, tiga orang brengsek itu sedang menghajar seorang anak SMP sampai babak belur, dan itu masih belum termasuk hidung dan satu tangannya yang patah.”

    Sona dan Tsubaki nampak terkejut, namun Sona dengan cepat menguasai dirinya selagi Tsubaki bertanya, “Lalu? Kau merasa bahwa itu adalah alasan yang cukup untuk mengirim mereka ke rumah sakit?”

    Naruto mengalihkan matanya ke arah Tsubaki. “Ya,” dia menjawab singkat. “Ada masalah dengan itu?”

    Sona mengambil giliran untuk buka mulut. “Namikaze-kun, kau ini hanya seorang anak SMA. Kau bukan polisi, atau anggota badan penegak keadilan. Kau seharusnya menyerahkan urusan semacam ini pada pihak berwajib—”

    “Pihak berwajib?” Naruto mengulangi dengan nada tidak percaya. “Dimana pihak berwajib yang kau sebutkan itu? Kaukira aku tidak menyelidiki masalah ini dulu sebelum mengambil tindakan? Mereka sudah meneror anak-anak lain selama lebih dari satu tahun! Pihak berwajib? Dimana pihak berwajib ketika tiga anak pindah ke kota lain karena tak tahan ditindas?! Dimana pihak berwajib ketika dua anak SMP mendapat trauma hebat sampai-sampai mereka tidak pernah lagi masuk sekolah?!” Naruto menggertakkan giginya, suaranya merendah sampai menjadi sebuah desisan. “Dimana pihak berwajib ketika mereka mengepung anak SMP yang baru berumur tiga belas tahun, dan menghajarnya sampai tangannya patah?”

    Sebagai orang yang sudah ditindas oleh penduduk desanya sendiri selama bertahun-tahun, Naruto tahu bagaimana rasanya. Dan dia tak bisa menerima ada orang lain yang harus merasakan penderitaan yang sama seperti apa yang telah ia alami.

    Sona dan Tsubasa sudah mengambil satu langkah mundur sejak suara Naruto mulai meninggi. Wajah mereka yang semula tegas berubah ekspresi, dan kini hanya dipenuhi oleh ketidakpercayaan diri. Sona membenarkan kacamatanya lagi, walaupun kali ini gerakannya itu malah membuat dia terlihat gugup. “Kuakui bahwa pihak berwajib di kota ini mungkin... kurang kompeten. Tapi itu tidak berarti kau bisa seenaknya main hakim sendiri, Namikaze-kun. Seperti yang tadi kukatakan, kau hanya seorang anak SMA, dan sebagai pelajar kewajiban utamamu adalah menerima pendidikan. Kau bukan pahlawan.”

    “Pahlawan?” Naruto mendengus. “Kaukira aku melakukan semua itu karena semacam rasa keadilan?”

    Sona nampak bingung untuk sesaat, namun yang buka suara selanjutnya adalah Tsubaki. “Jadi kau melakukannya demi uang, begitu?” gadis berambut panjang itu kembali mendelik pada Naruto. “Itu kan yang kaumaksud dengan misi? Kau menghentikan mereka bukan karena ingin menolong orang, tapi karena kau diberi pekerjaan dan kau ingin mendapat bayaran?”

    Naruto bersidekap. “Kalau aku menjawab iya, lalu kenapa?”

    Tsubaki mendelik pada Naruto untuk beberapa saat sebelum ia akhirnya buang muka. “Aku sudah salah menilaimu, Namikaze-san.” Ia mendengus meremehkan. “Kau bukan orang yang terhormat. Kau cuma orang yang materialistis.”

    Walaupun tuduhan itu terasa menyakitkan, Naruto memaksa agar wajahnya tetap datar. “Aku tak pernah bilang aku butuh rasa hormat darimu, Shinra-san.” Naruto memutar tubuhnya dan kembali berjalan ke arah tangga. “Kurasa cukup sampai disini dulu untuk sekarang. Aku mau pulang.”

    Naruto sudah hampir mencapai tangga ketika suara Sona kembali menghampiri gendang telinganya. “Namikaze-kun...!”

    Murid sang Gama Sennin itu menarik napas panjang. “...Apa?”

    “Memastikan kenyamanan dan keamanan siswa di sekolah ini adalah tanggung jawabku sebagai ketua OSIS,” nadanya kembali menjadi tegas. “Secara teknis, tiga siswa yang kau hajar itu memang di luar jurisdiksiku karena mereka tidak berasal dari sekolah ini. Tapi aku ingin memperingatkanmu, Namikaze-kun, kalau kau membuat masalah di Kuoh, maka kau akan berurusan denganku.”

    Naruto diam selama beberapa saat sebelum kembali mengangkat bahu. “Bisa kucoba, Shitori-san,” dia kembali melangkah. “Tapi aku tidak bisa janji.”

    ~•~
    Naruto tiba di rumah sewaannya ketika matahari sudah terbenam. Ia melangkah perlahan ke ruang tengah sembari menyalakan lampu sepanjang jalan, berhenti sebentar di kulkas untuk mengambil sebotol air mineral, sebelum menghempaskan pantatnya di kursi meja makan. Ia membuka tutup botol lalu menenggak isinya sampai habis setengah.

    Naruto tiba-tiba merasakan sensasi seperti kait menarik perutnya, sensasi yang juga menjadi rutinitas lain bagi sang pemuda selama dua tahun terakhir, membuat pemuda itu mengerang. Dia bersandar ke punggung kursi sambil menarik kursi di sampingnya.

    Satu detik berikutnya, Naruto sudah tidak lagi sendirian di rumah itu ketika seseorang muncul di sampingnya, duduk di kursi yang tadi ia tarik sembari memandangnya dengan khawatir.

    “Goshujin-sama.” orang itu memanggilnya pelan, tangannya bergerak meraih bahu Naruto. Matanya yang berwarna merah delima dengan pupil seperti mata kucing di siang hari bersinar dengan rasa cemas. “Goshujin-sama tidak apa-apa?”

    Naruto hanya mengangguk.

    “Goshujin-sama bohong.” orang dengan rambut merah yang sangat panjang sampai mencapai lantai mendekat, tangannya bergerak ke pipi Naruto.

    Naruto menutup matanya dan tersenyum pasrah. Ia meraih tangan di pipinya lalu meremasnya pelan. “Kau selalu tahu, Kurama.”

    “Hmph,” gadis yang merupakan personifikasi makhluk mistis yang berdiam di balik segel di perut Naruto itu mengangkat wajahnya dengan sombong, walaupun dia gagal menyembunyikan nada senang yang tersimpan di dengusannya. “Tak ada orang lain di dunia ini yang mengenal Goshujin-sama lebih baik dari Kurama, Goshujin-sama.”

    Naruto terkekeh. “Klaim macam apa itu? Kau lupa kalau kita baru bertemu tiga tahun yang lalu?”

    Kurama merengut, tangannya berhenti mengusap wajah Naruto. “Berapa kali harus Kurama katakan kalau Goshujin-sama keliru?” ia mencubit pipi tuannya itu. “Goshujin-sama mungkin baru membuka pikiran Goshujin-sama pada Kurama ketika guru mesum Goshujin-sama itu melempar Goshujin-sama ke dalam jurang, tapi Kurama sudah tersegel di dalam Goshujin-sama sejak Goshujin-sama berusia lima tahun.”

    Senyum Naruto jadi agak masam, tidak peduli berapa lama dia sudah berinteraksi dengan Kurama, dia masih belum terbiasa dengan betapa sukanya gadis itu memanggilnya ‘Goshujin-sama’. “Kurama, apa kau benar-benar harus memanggilku dengan sebutan itu...?”

    “Tentu saja!” Kurama menepuk dadanya yang dibalut kimono merah dengan bangga. “Goshujin-sama adalah Goshujin-sama! Dan Goshujin-sama adalah satu-satunya orang di dunia ini yang Kurama akui sebagai majikan!”

    Naruto menutup wajahnya dengan telapak tangan dan mengerang panjang. Ia sadar bahwa dia tidak pernah dan mungkin takkan pernah memenangi argumen dengan Kurama jadi dia memilih untuk tidak buka mulut.

    “Goshujin-sama...” Naruto mengeyahkan tangannya dari wajah ketika ia merasakan Kurama meraih ujung lengan seragamnya. Ketika ia menoleh, Naruto kembali menemukan kekhawatiran kembali bersinar di mata merah Kurama. “Goshujin-sama benar-benar baik-baik saja...?”

    Naruto tersenyum tipis lalu menepuk kepala gadis itu. “Saat ini, mungkin tidak.” Ia mengaku.

    “Kenapa Goshujin-sama menerima saja cemoohan wanita tak tahu diri itu?” pada saat-saat seperti inilah Naruto kembali diingatkan bahwa Kurama sangat, bahkan bisa dibilang kelewat protektif pada majikannya. “Kenapa Goshujin-sama tidak mengatakan kalau dia keliru?”

    “Seperti yang sudah kukatakan, Kurama, aku tidak butuh rasa hormat darinya. Lagipula, siapa yang bilang dia keliru? Apa yang sudah kulakukan, memang kuanggap sebuah misi.”

    “Tapi Kurama tahu Goshujin-sama tetap akan melakukan itu walaupun tidak ada orang yang meminta,” Kurama bersikeras. “Kurama juga tahu uang yang Goshujin-sama dapat dari bayaran misi itu Goshujin-sama pakai untuk membayar biaya rumah sakit anak SMP yang mereka pukuli, bukannya untuk kepentingan Goshujin-sama sendiri.”

    “Kurama—”

    “Nggak!” Kurama berteriak, berdiri dengan begitu tiba-tiba sampai kursi yang ia duduki oleng dan jatuh ke lantai. “Wanita tidak tahu diri itu sudah berani menghina Goshujin-sama! Dia tak bisa dimaafkan! Kurama harus—”

    Naruto berdiri dengan cepat dan mengatupkan tangannya di mulut Kurama. “Kurama,” dia menyebut nama sang gadis, menambahkan sedikit nada tak senang dalam suaranya. “Ini bukan Konoha, ingat? Kali ini kita punya tetangga. Aku tidak mau ada orang lain tahu kalau aku tidak sendirian di rumah ini. Jadi jangan—”

    Naruto berhenti bicara saat ia menyadari bahwa Kurama tidak mendengarkan. Personifikasi sang Bijuu itu kini sedang sibuk menggosokkan pipinya ke tangan Naruto.

    “Kurama?” Kurama masih belum ngeh, dan terus menekankan wajahnya ke tangan Naruto sampai suara dengkuran halus terdengar dari dalam tenggorokannya. “Oi, Kurama?”

    “Hmm?” Kurama mendongak dengan kelopak mata yang mulai sayu. “Ah.” Dia tersadar. “M-maaf, Goshujin-sama. K-Kurama hanya...”

    Naruto melepaskan hembusan napas panjang. “Serius deh, kau ini rubah, bukannya kucing.”

    “A-anu... em...” Kurama terlihat malu, rona merah mulai mewarnai pipinya, namun kelihatannya dia tak punya niat untuk melepaskan tangan Naruto. “K-Kurama hanya...”

    Naruto mendesah sekali lagi, sebelum sebuah senyuman tipis menghiasi wajahnya. “Kesini kau.” Ia berucap singkat sebelum menggunakan kedua tangannya untuk menggaruk dagu dan belakang telinga Kurama yang lancip dan dipenuhi bulu merah, satu-satunya hal selain matanya yang menjadi pertanda bahwa Kurama bukanlah manusia.

    Suara dengkuran yang datang dari tenggorokan gadis itu menjadi semakin jelas terdengar.

    ~•~
    Naruto keluar dari kedai itu dengan dompet yang menipis, namun sekaligus kepuasan karena berhasil menemukan ramen yang enak. Walaupun masih tidak bisa menyaingi ramen di Ichiraku, itu tak menghalangi Naruto dari menghabiskan sampai sepuluh mangkuk dalam tempo setengah jam. Remaja pirang itu menepuk perutnya yang membuncit dengan senang, sebelum bersendawa nyaring.

    ‘Goshujin-sama.’ suara puas Kurama terdengar dari benaknya. ‘Makan malam kali ini jauh lebih baik dari yang kemarin.’

    Inilah salah satu aspek lain yang membuat Kurama sangat menyukai majikannya. Tidak seperti shinobi-shinobi lain yang menjadi tubuh inang baginya di masa lalu, Naruto adalah satu-satunya Jinchuuriki yang bersedia membiarkan Kurama berbagi panca indera dengannya. Naruto membiarkan Kurama ikut melihat dunia bersamanya, baik itu menyentuh air yang dingin, udara yang sejuk, sinar matahari yang hangat, ataupun tanah dan rumput yang lembut. Naruto membiarkan Kurama ikut merasakan enaknya berbagai makanan yang ia makan atau minuman yang ia minum, sampai nikmatnya berendam di air panas. Ia ikut merasakan penat setiap kali Naruto selesai latihan, sakit ketika ia terluka, dan rasa segar ketika ia bangun dari tidur.

    Sebagai seorang Bijuu, Kurama tidak diberkahi oleh perasaan yang sama dengan manusia. Dan Naruto-lah orang yang memperkenalkannya pada kenyang dan lapar, sakit dan segar, marah dan senang, atau bahkan sedih dan bahagia.

    Kurama tak pernah bertemu dengan orang lain yang begitu rela berbagi semua hal dengannya selain Naruto, dan karena alasan itulah, Kurama rela memberikan, pengetahuan, kekuatan, dan bahkan kesetiaan, hanya untuk Naruto seorang.

    ‘Yep...!’ Naruto menjawab dengan antusias. ‘Mulai sekarang, setiap kali kita mendapat pekerjaan, kita akan ke kedai ini untuk makan!’

    Sorakan Kurama terdengar, dan kegirangan yang terkandung oleh suara Kurama mau tidak mau menginfeksi Naruto dan membuatnya ikut nyengir lebar.

    Sengiran yang langsung hilang satu detik berikutnya.

    ‘Goshujin-sama!’

    ‘Ahh...’ Naruto mengangguk. Ekspresinya berubah keras. ‘Chakra...? Bukan...’ dahi Naruto berkerut selagi ia mulai berlari dengan kecepatan penuh. ‘Youki (Demonic Power)...?’

    ‘Masih kurang tepat, Goshujin-sama. Mirip dengan Youki, tapi bukan itu.’ Naruto bisa membayangkan Kurama mencubit dagunya, sebagaimana yang sering ia lakukan kalau menemukan sebuah masalah yang harus dipecahkan. ‘Energi ini adalah Tengeki (Divine Power)...’

    ‘Hah? Tapi yang punya kekuatan seperti itu kan cuma...?’

    ‘Malaikat atau orang suci.’ Kurama menyambung cepat. ‘Kurama tidak yakin, Goshujin-sama. Energi ini rasanya mirip seperti Tengeki, tapi ada yang tidak benar.’

    Naruto mungkin akan menyahut lagi, namun ketika ia akhirnya tiba di tempat yang menjadi sumber ledakan energi suci itu, apa yang ia lihat membuatnya tertegun.

    Di sana, terkapar di depan sebuah air mancur yang menjadi pusat taman, tergeletak tubuh seorang siswa SMA dengan sebuah lubang di perutnya. Darah mengucur dari lukanya yang menganga dan mulutnya yang terbuka, mengotori dagunya dengan cairan merah lekat yang mulai menggenang di bawah tubuhnya.

    “...Issei?” sebuah nama meluncur dari antara dua bibir Naruto, ketika ia akhirnya mengenal wajah satu-satunya teman sekelas yang tak pernah gagal mengucapkan selamat pagi dan sampai jumpa padanya setiap hari itu.

    ‘Goshujin-sama? Goshujin-sama?!’

    Naruto tidak mendengarkan panggilan Kurama, ia hanya terus menatap ke arah satu-satunya orang yang bisa ia panggil teman dari ratusan murid di Akademi Kuoh. Naruto melihat remaja berambut cokelat itu menoleh ke arahnya, melihat bagaimana Issei mengenali sosok Naruto bahkan ketika matanya mulai kehilangan sinar, dan bagaimana ia mengangkat tangan ke arah Naruto, seakan-akan berusaha untuk meminta tolong.

    Naruto masih tertegun ketika tangan itu jatuh tergeletak. Dada Issei berhenti bergerak, dan kedua matanya berubah kosong ketika arwah akhirnya pergi meninggalkan tubuh duniawi itu.

    “Ho?” mata Naruto yang melebar maksimum berpindah ketika ia melihat ke arah satu-satunya orang selain Issei. Ia tidak melihat dua sayap dengan bulu hitam di punggungnya. Ia tidak melihat pakaiannya yang seronok dan tidak senonoh. “Aku tidak tahu kalau ada orang lain di taman ini.”

    Mata Naruto hanya melihat tombak, terbuat dari cahaya bersinar merah, yang tergenggam di tangan wanita itu. Senjata yang ia tahu telah membunuh Issei.

    “Maaf, boya, tapi sayangnya aku tak bisa membiarkan ada saksi.”

    Amano Yuuma, atau lebih tepatnya, Raynare sang Datenshi (Fallen Angel), bersiap melemparkan senjata tombak merahnya, namun sebelum ia sempat berbuat lebih jauh, Raynare melihat Naruto telah lebih dulu mengangkat tangan kanannya dan mengucapkan dua kata.

    “Fuuton: Daitoppa.”

    Kedua mata Raynare melebar ketika hembusan angin sekuat topan terlepas dari telapak Naruto dan menghantam tubuhnya. Belum selesai rasa terkejutnya, Raynare merasakan kakinya terangkat dari tanah dan tubuhnya terlempar, sebelum terhempas dan menghancurkan puncak air mancur yang ada di belakangnya.

    Raynare bangkit dari air dan bersiap mengumpat, namun kata-kata apapun yang sudah siap meluncur dari bibirnya terhenti ketika ia melihat wajah pemuda pirang di depannya telah kehilangan semua ekspresi. Mata birunya berubah menjadi sedingin es, dan bibirnya membentuk garis horizontal lurus.

    Ketika Naruto buka mulut kali berikutnya, suara Naruto sama sekali tidak terdengar menyimpan emosi baik itu kemarahan ataupun rasa tidak senang. Namun entah mengapa, Raynare merasakan suara itu seakan mengirim vibrasi yang membuat tulang dan seluruh organ dalamnya serasa bergetar.

    “Kau membunuh Issei.”

    Ucapan Naruto tidak berupa pertanyaan maupun seruan, hanya sebuah pernyataan singkat yang menyimpan fakta dari apa yang telah Raynare lakukan. Hanya saja, nada kosong dan tanpa perasaan suara itu menyimpan efek yang lebih kuat. Sang Datenshi hanya bisa terdiam, sanubarinya dipenuhi oleh rasa tak percaya, ketika giginya mulai gemeretak dan tangannya mulai gemetaran.

    Setelah sekian ratus tahun, Raynare akhirnya kembali mengetahui seperti apa rasanya takut akan seorang manusia.

    To be Continued...


    Praise me, shun me, applause me, make fun of me. Whatever you want to do, it's your call. Whatever it shall be, I will accept all.

    Thanks a zillion for reading!

    Galerians, out.
     
    Last edited: Sep 27, 2014
  4. Galerians Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 5, 2011
    Messages:
    40
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +12 / -0
    Arc I - Chapter 2. Silakan.

    Galerians, in.

    A/N: Jika ada action, maka itu berarti ada BGM. Links are prepared for your convenience.

    1. Howling – Abingdon Boys School (https://www.youtube.com/watch?v=2A_TXkVo6Tw)

    2. Ludo – Sakura Drops Piano Cover (https://www.youtube.com/watch?v=g6B3VE1SQXU)

    Warning:

    Mungkin abal. Mungkin aneh. Mungkin jelek. Dan mungkin OOC.

    Disclaimer: This is purely a fanfiction, made only to bring about entertainment of whatever I decided to write for those who read!

    Selamat membaca!

    ~••~

    When The Sun Goes into A High School

    Chapter 2

    (You're a Devil?! Trouble is Brewing in Kuoh Academy!)

    (Play Darker Than Black OST - Howling) (https://www.youtube.com/watch?v=2A_TXkVo6Tw)

    Dari sekian banyak emosi yang berkecamuk di dalam hati Raynare, dua yang paling terdepan adalah rasa bingung dan takut.

    Dia adalah seorang Datenshi, malaikat pembangkang yang dicampakkan dari surga karena telah berani melawan keinginan sang Pencipta dan mengabaikan tugas mereka. Status sebagai malaikat buangan yang tidak akan diterima oleh surga lagi membuat mereka memberontak, dan kekuatan mereka yang bisa menyaingi baik kaum malaikat atau bangsa Iblis membuat mereka mendapat status sebagai salah satu dari Tiga Faksi dalam Perang Akbar di akhirat yang berlangsung beberapa millenium silam.

    Dan itulah yang membuatnya bingung. Sebagai seorang Datenshi yang memiliki cukup kekuatan untuk menyaingi malaikat dan Iblis, dia seharusnya tidak perlu merasa takut kalau hanya harus berhadapan dengan kaum manusia yang lemah dan rapuh.

    Namun walaupun dia adalah kaum buangan, Raynare tetaplah seorang malaikat. Kemampuan fisik, sihir, dan panca indera yang ia miliki jauh lebih besar dari makhluk hidup manapun yang lahir di Bumi. Dia bisa melihat melalui mata seorang manusia dan mengintip apa isi jiwanya.

    Dan ketika ia membalas pandangan dua bola mata biru itu, kebingungan Raynare berakhir, ketidaktahuan tentang alasan apa yang membuatnya merasa takut pada manusia yang berdiri di depannya langsung pupus seketika.

    Karena di balik biru beku yang sama sekali tidak menampakkan emosi macam apapun itu, Raynare melihat seorang monster. Bukan Iblis, bukan Malaikat, bukan Youkai, namun monster.

    Kekuatan yang bergejolak ganas seperti badai tak terbendung. Tekad yang berpusar macam tornado yang menyapu habis apapun yang dilaluinya. Dan nafsu membunuh yang bisa menghentikan langkah makhluk apapun yang harus ada di bawah pandangannya.

    Renungan Raynare yang tak berlangsung lebih dari beberapa detik itu buyar ketika tubuh sang remaja pirang akhirnya bergerak. Gemeletuk gigi Raynare menjadi semakin intens sampai suaranya terdengar di telinga.

    Napasnya berhenti seketika saat remaja dengan tanda lahir menyerupai kumis kucing itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depan air mancur dalam gerakan yang hampir saja tak bisa ditangkap bahkan oleh matanya yang jauh lebih jeli dari makhluk fana.

    Kedua kakinya hilang tenaga dan Datenshi itu hampir hilang keseimbangan ketika Naruto mengangkat tangan kanannya yang terkepal dan dilapisi aura biru langit.

    Dia sama sekali tak bisa bergerak menghindar ketika tinju itu menghajar wajahnya mentah-mentah.

    Saat itu adalah pertama kalinya seorang manusia berhasil membuat Raynare terlempar menyeberangi taman dengan begitu hebat sampai tubuhnya terhempas ke sebuah pohon yang langsung roboh ketika batang kayunya tak cukup kuat untuk menahan momentum yang tercipta oleh serangannya.

    Kalau saja dia bukan seorang Datenshi dengan tubuh yang takkan terluka ketika ditabrak mobil sekalipun, maka saat ini rahangnya pasti sudah lepas dan semua gigi geraham bagian kiri Raynare rontok habis.

    Namun rasa sakit yang ia terima menjadi faktor yang cukup untuk membuat Raynare akhirnya terbebas dari rasa takut yang sejak satu menit lalu telah membuat tubuhnya kaku seperti patung batu. Rasa sakit ia ubah menjadi kemarahan, dan dengan api yang menyala kembali di belakang mata ungu gelapnya, Raynare berdiri tegak dan melemparkan tatapan tertajam yang bisa ia berikan ke arah Naruto.

    Namun Naruto hanya mengedipkan mata satu kali. Bagi Naruto, yang sudah pernah berdiri berhadapan dengan makhluk mistis pengendali pasir semacam Ichibi no Shukaku atau Iblis kuno dari dunia lain seperti Mouryou, dan bahkan berhasil menang melawan mereka, nafsu membunuh yang dipancarkan oleh Datenshi di depannya terasa tak lebih dari sebatang jarum tumpul yang bahkan tak mampu menembus kulitnya.

    "Bocah keparat!" Raynare mengumpat keras, membuat Naruto bisa melihat bahwa semua giginya telah berubah menjadi taring. "Makhluk rendahan sepertimu berani memukul seorang Datenshi sepertiku?! Sekarang aku takkan puas hanya dengan membunuhmu! Tungkaimu akan kucabik-cabik, perlahan-lahan, satu demi satu, sampai kau memohon agar nyawamu diakhiri!"

    Alih-alih dengan suara, Naruto merespon ancaman itu dengan mengobarkan Chakra yang telah sebulan terakhir ia kekang dan sembunyikan.

    Untuk sepersekian detik, angin tiba-tiba berhenti berhembus. Dunia menjadi sunyi ketika serangga dan pohon dan daun berhenti bernyanyi. Detik berikutnya, energi Chakra meledak keluar dari tubuh Naruto dengan tekanan tinggi, menciptakan gelombang kejut yang menghajar area sekelilingnya tanpa ampun. Angin dibuat mengamuk. Pohon mengerang seakan kesakitan. Dedaunan berpisah dari tangkainya dan menghambur, beterbangan di udara seakan-akan mendapat hasrat tak tertahankan untuk menari di bawah kekuatan yang terpancar dari tubuh Namikaze Naruto, seorang shinobi dengan kapasitas Chakra terbesar di seluruh daratan Hi no Kuni.

    Mulut Raynare ternganga dan tanpa sadar perempuan itu mengambil satu langkah mundur. Wajahnya yang tadi berkeriut marah kini berjengit saat ia kembali melihat dua mata biru beku yang menatapnya dengan dingin, bersinar di dalam kegelapan, di antara dedaunan melayang.

    Rasa takut yang menyerangnya menjadi tak terperi, sehingga akal sehat Raynare mengalami disfungsi untuk sesaat dan membuat Datenshi itu akhirnya bertindak nekat. Didorong oleh rasa panik, Raynare kembali mengeluarkan tombak cahaya merahnya, senjata yang langsung ia luncurkan ke arah si remaja pirang yang sama sekali tidak terlihat membuat gerakan untuk menghindar.

    Alam semesta nampaknya benar-benar bertekad untuk menghukum Raynare atas pembunuhan yang telah ia lakukan. Di atas rasa takut yang sudah membuat jantungnya berdebar begitu kencang sampai dadanya terasa sakit, kali ini Raynare harus dirundung oleh rasa terkejut dengan level yang sama hebatnya ketika ia melihat serangannya telah gagal menjadi solusi. Tombak merah yang ia lesatkan berhenti beberapa inci tepat di depan dada sang pemuda, gerakannya diblokir oleh tangan kanan berlapis cahaya biru di mana tombak itu kini tergenggam.

    "K-kau..." Raynare terbata, seraya kakinya mengambil dua langkah mundur.

    Namun Naruto sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun, baik itu senang, bangga, atau sombong, setelah berhasil bertahan melawan serangan yang baru beberapa menit lalu telah merenggut nyawa manusia lain dengan sebegitu mudahnya. Naruto hanya menoleh singkat ke tombak di genggamannya sebelum mencengkeram senjata tersebut sekuat tenaga, begitu keras sehingga walaupun kulitnya telah dilapisi Chakra padat, sisi tajamnya tetap berhasil mengiris permukaan jari-jari Naruto sampai darahnya mulai mengalir dan jatuh menetes ke aspal.

    Kelopak mata Raynare melebar penuh dan pupilnya mengalami dilatasi total ketika beberapa detik kemudian tombak cahayanya remuk dan hancur seperti kaca yang pecah, kepingannya pudar dan lenyap tak bersisa bahkan sebelum mereka mencapai tanah.

    Raynare melihat Naruto mengangkat tangannya untuk mengamati luka yang ada di sana dengan ekspresi yang tidak berubah, seakan-akan dia sudah terlalu sering terluka dan hanya mempertimbangkan apakah luka di tangannya akan mengurangi profisiensi bertarung yang bisa ia kerahkan. Napas sang Datenshi kembali tercekat ketika dua mata biru yang bersinar itu kembali terarah padanya, dan kali ini, satu kesadaran yang sudah ada sejak awal pertarungan namun tidak ia akui akhirnya merangseknya dengan ganas sampai tak bisa ia sangkal lagi.

    Melawan remaja pirang ini, si manusia rendahan namun memiliki kekuatan untuk menyaingi seorang Datenshi ini, hanya akan berakhir dengan kematiannya.

    Ketika Naruto kembali mengambil langkah, tubuh Raynare beku total, berpikir bahwa membuat gerakan mendadak hanya akan membuat remaja di depannya memutuskan untuk mengakhiri nyawa Raynare lebih cepat. Namun walaupun tubuhnya tidak membuat mosi, mata Raynare terus berkelebat kesana kemari demi mencari cara untuk kabur dan bertahan hidup sampai hari esok. Seiring setiap langkah yang diambil Naruto, malaikat yang telah dibuang dari surga itu bisa merasakan persentasenya untuk bertahan hidup semakin mengecil dan mengecil.

    Kesempatan untuk kabur yang telah dicari-cari Raynare datang ketika letusan Youki kembali terasa di taman, berasal dari arah pancuran air, membuat perhatian Naruto buyar dan teralih untuk sepersekian detik. Untungnya, waktu itu sudah cukup bagi Raynare untuk menggunakan sihir transportasinya, sehingga ketika mata Naruto kembali berpaling padanya, sosok Raynare telah menghilang, hanya menyisakan lembaran-lembaran bulu hitam yang melayang sebelum lenyap di udara.

    Naruto yang telah kehilangan target menggertakkan rahangnya kuat-kuat sampai giginya beradu, namun dia tahu bahwa dia tak punya waktu untuk memarahi dirinya sendiri karena ada hal lain yang lebih butuh perhatiannya. Remaja pirang berusia lima belas tahun itu berbalik arah, dan melesat ke tempat di mana tubuh Issei yang sudah tak bernyawa masih terbaring.

    Namun secepat apapun Naruto memaksa kakinya berlari, dia tetap tidak berhasil sampai tepat waktu. Dia hanya sempat melihat rambut merah, dua sayap menyerupai kelelawar, dan lingkaran sihir yang bersinar. Detik berikutnya, sosok itu telah membawa tubuh Issei pergi, hilang dari pandangan dan hanya menyisakan darah segar yang masih menggenang.

    Naruto berhenti berlari, tangannya masih terulur seakan mencoba meraih orang yang telah gagal ia selamatkan. Ia jatuh berlutut, dengan bahu gemetar dan gigi gemeretak, sebelum tinjunya melayang dan meretakkan aspal.

    "...Sial!" dia meninju aspal lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. "Sial! Sial! Sial! Sial!"

    Naruto berusaha menahan cairan yang mulai menggenangi matanya. Dia tidak hanya gagal menyelamatkan nyawa seseorang, tak hanya gagal membalaskan dendam pada pembunuhnya, dia bahkan gagal mencegah tubuhnya diambil oleh seseorang. Jika menilik energi Youki yang ia rasakan, dan dari pengalamannya berurusan dengan kaum setan dalam pengembaraannya, maka implikasi peristiwa ini membuat perut Naruto serasa bergejolak dengan timah panas.

    Naruto meninju sekali lagi, dan kali ini aspal itu remuk di bawah timpaan pukulannya. "BRENGSEK!"

    '...ujin-sama!'

    Ketika ia mendengar suara itu, Naruto mendongak. "...eh?"

    (Play Sakura Drops Piano Cover by Ludo) (https://www.youtube.com/watch?v=2A_TXkVo6Tw)

    'GOSHUJIN-SAMA!'

    Sensasi seperti ditarik oleh sebuah kait kembali terasa dari area perut Naruto, walaupun reaksi kali ini jauh lebih kasar daripada yang biasanya sampai hampir terasa sakit. Saat sosok dengan kimono dan rambut yang sama-sama merah itu muncul di depannya, Naruto hanya bisa tertegun saat melihat ekspresi penuh kemarahan yang terpasang di wajah Kurama.

    Naruto belum sempat mengucapkan apa-apa ketika tangan Kurama mendadak melayang dan menampar pipinya.

    Naruto hanya bisa terpana oleh tindakan yang sama sekali tak disangka itu. Sakit menyengat yang terasa di pipinya sama sekali tidak ia hiraukan karena ketika ia kembali mengarahkan pandangan ke wajah Kurama, dia menemukan bahwa mata personifikasi Bijuu terkuat itu basah dan berkaca-kaca.

    "...Kurama?"

    "Goshujin-sama no baka!" Kurama berteriak tepat ke arah wajah Naruto dengan volume yang mau tak mau membuat sang Jinchuuriki berjengit. Gadis siluman itu mengangkat kedua tangannya dan mulai menampar pipi kanan dan kiri sang keturunan terakhir klan Namikaze secara bergantian. "Baka! Baka! Baka! Baka! Baka!"

    Sesi penamparan itu berlangsung beberapa lama. Naruto tidak yakin sudah berapa kali dia ditampar, dia sudah berhenti menghitung di hitungan dua puluh, namun yang pasti, saat Kurama akhirnya berhenti, kedua pipi Naruto sudah lebam dan bengkak, lengkap dengan bekas tanda cetak telapak tangan yang masih merah menyala.

    "A-anu..." dia mencoba bicara, namun mengucapkan satu kata saja membuat pipinya terasa sakit. "K-Kurama...?"

    Ketika Kurama menundukkan kepalanya dan mulai menangis, Naruto akhirnya sadar apa alasan yang membuat gadis itu berperilaku demikian.

    Dia lupa bahwa koneksi yang ada antara Naruto dan Kurama yang memungkinkan personifikasi makhluk mistis itu bisa berbagi semua panca indera Naruto bukanlah sesuatu yang sempurna. Koneksi yang masih bisa dibilang rapuh itu akan menghilang kalau Naruto membiarkan dirinya hilang kontrol, sesuatu yang sangat mudah terjadi kalau dia membiarkan dirinya dikuasai oleh perasaan atau emosi yang terlalu intens. Dan jika sampai koneksi itu putus, maka Kurama akan kehilangan semua kontak dengan dunia luar dan dia akan kembali mendapati dirinya di balik segel yang ada di dalam kungkungan jiwa Naruto.

    Naruto tersadar, bahwa dalam kemarahannya, dia telah membuat Kurama harus kembali ke penjara itu, terkurung sendirian di balik jeruji besi dalam dunia berbentuk gorong-gorong yang gelap, di mana ia hanya ditemani oleh sunyi dan sepi.

    Rasa bersalah yang bersarang di hatinya menjadi semakin membesar ketika ia memandang personifikasi Bijuu yang terisak sunyi di depannya. "Kurama..." Naruto berdiri perlahan-lahan, satu tangannya terangkat dan menghampiri bahu Kurama. "Maaf..." dia berbisik pelan. "Aku benar-benar minta maaf..."

    Kurama tidak menjawab, dia hanya menghambur ke depan, mengalungkan kedua tangannya erat-erat di sekeliling tubuh sang majikan, dan membenamkan wajahnya dalam-dalam ke dada Naruto. Lengan Naruto bergerak secara otomatis untuk mendekap bahu gadis yang masih gemetaran itu, melingkupinya dengan perlindungan dan kehangatan sebagai tebusan sebuah kesalahan.

    Naruto meletakkan dagunya di puncak rambut merah Kurama dan menutup matanya, seraya berbisik sekali lagi. "Maaf."

    "...baka..." Kurama berbisik balik. "Goshujin-sama no baka..."

    ~•~
    Ketika bel pertanda pelajaran berbunyi, tidak seperti biasanya, Naruto memasukkan buku-bukunya kembali ke dalam tas dengan gerakan yang yang lebih cepat. Sebenarnya Naruto tidak ingin pergi ke sekolah hari itu demi memburu Datenshi keparat yang telah membunuh Issei, namun ia berubah pikiran karena Kurama memperingatkannya bahwa dengan tidak pergi ke sekolah, dia akan kembali menarik perhatian organisasi OSIS dan itu hanya akan kembali menambah masalah. Jadi dia memaksa diri untuk duduk di kelas sepanjang hari, bertahan melalui pelajaran-pelajaran yang membosankan selama berjam-jam dengan mood buruk yang tidak ia sembunyikan, dan sukses membuat semua siswa lain, atau bahkan guru sekalipun, tak berani menarik perhatian apalagi mendekatinya.

    Naruto melangkah ke arah pintu kelas, tidak mengacuhkan bagaimana beberapa siswa perempuan yang memekik pelan dan menjauh agar tak menghalangi jalannya setelah melihat ekspresi keras yang terpasang di wajah teman sekelas mereka. Di kepalanya, Naruto sudah mulai menyusun strategi untuk menemukan targetnya, serta menyelesaikan pekerjaan yang kemarin terganggu setengah jalan.

    Saking konsentrasinya, Naruto hampir tidak sadar bahwa dia hampir saja menabrak seseorang saat keluar dari kelas. Dari jarak kurang dari satu jengkal dari orang tersebut, Naruto mengangkat pandangannya dari lantai dan bersiap untuk meminta maaf. Sayangnya, kalimat apapun yang akan ia katakan terhenti di tengah-tengah kerongkongan dan batal terlepas dari mulut ketika ia sadar siapa gerangan yang sedang berdiri di depannya.

    "Namikaze-kun."

    'Oh, sial...' Naruto mengumpat dalam hati. Salah satu hal yang ia ketahui setelah diburu oleh organisasi OSIS selama hampir dua minggu adalah siswa-siswa di Akademi Kuoh bisa bertemu dengan anggota OSIS hanya kalau mereka punya urusan penting, dan kalau anggota OSIS itu sendiri yang mencari siswa, itu biasanya berarti pelajar itu sedang terlibat atau malah seorang sumber masalah.

    Dan kalau yang memburumu adalah ketua dan wakil ketua organisasi itu sendiri, maka masalah yang dibicarakan di sini pasti memiliki tingkatan di atas rata-rata.

    "Shitori-san," Naruto mengangguk pada gadis muda di depannya, tak yakin apa lagi yang sudah ia lakukan kali ini untuk menarik perhatian sang ketua OSIS. "Kalau ada yang ingin kaubicarakan, bisakah kita lakukan di lain waktu? Maaf, tapi sebenarnya aku sedang terburu-buru—"

    "Ikut aku ke ruang OSIS," Sona menyela. Dia berbalik dan mulai melangkah, namun berhenti dan menoleh saat ia melihat Naruto masih diam di tempat. "Sekarang."

    Naruto menahan diri untuk tidak menggeram. Dia tak punya waktu saat ini! Dia mungkin tidak akan senang saat melakukannya, namun Naruto sebenarnya oke-oke saja meladeni keinginan sang Kaichou ini di waktu lain, asal tidak hari ini!

    'Goshujin-sama, Kurama rasa ada baiknya Goshujin-sama menuruti perempuan itu. Setidaknya, semakin cepat urusan ini selesai, semakin cepat Goshujin-sama dan Kurama bisa memburu Datenshi itu, kan?'

    Hembusan napas Naruto berikutnya terasa jauh lebih ringan. 'Kau benar, Kurama.'

    'Hmph,' Naruto mendengar Kurama mendengus. Dia bahkan bisa membayangkan gadis berambut merah itu membusungkan dadanya dengan bangga. 'Tentu saja Kurama selalu benar.'

    Naruto mulai melangkah seraya terkekeh dalam hati. Percayakan pada Kurama untuk selalu mampu menghiburnya.

    Bercakap-cakap dengan Kurama membuat perjalanan ke ruang OSIS hampir tidak terasa. Naruto bahkan hampir tidak sadar kalau Sona telah berhenti berjalan, dan kali ini, dia sukses menabrak cewek yang tubuhnya hanya setinggi dada Naruto itu.

    Naruto mengambil satu langkah mundur lalu mengusap belakang kepalanya dengan malu. "Ah, maaf, Shitori-san."

    "Jangan suka berjalan sambil melamun, Namikaze-kun. Nanti kau terlibat kecelakaan," Sona menasihatinya dengan halus, sembari membuka pintu geser di depannya. "Silakan masuk."

    Naruto mengangguk sebelum melangkah masuk, dan langsung merasakan sesuatu yang aneh. Tidak, yang membuatnya tidak nyaman bukanlah fakta bahwa hampir semua anggota organisasi intrasekolah Kuoh berjenis kelamin feminin, karena dia sudah mengantisipasi hal itu dari populasi total yang perbandingan gender antara laki-laki dan perempuannya memang berat sebelah. Hanya saja, ketika dia melangkahkan kaki melewati pintu itu, semua pasang mata yang ada dalam ruangan langsung tertuju padanya dengan tatapan yang tak berkedip.

    "P-permisi...?" Naruto mengusap belakang kepalanya lagi, merasa tidak nyaman karena sedang dipandangi dengan sebegitu tajamnya. "S-selamat siang...?" rasa tak nyaman dalam sukma Naruto makin bertambah ketika tidak ada jawaban. "Auh..."

    Perhatian seisi ruang OSIS teralih ketika Sona bertepuk tangan satu kali untuk menarik perhatian. "Semuanya," dia memulai. "Tolong hentikan tingkah kalian. Kalian membuat Namikaze-kuntidak nyaman."

    Sadar akan perbuatan mereka yang cenderung dianggap tidak sopan, bawahan sang ketua OSIS mengalihkan mata mereka, seraya gumaman-gumaman maaf terdengar di sana-sini. Anehnya, satu-satunya anggota lelaki di ruangan itu terus memandang Naruto, dan shinobi pirang itu bisa merasakan aura kesal yang terpancar dari remaja berambut cokelat muda itu.

    "Em," Naruto menggaruk pipinya sambil berusaha mengabaikan delikan cowok itu. "Jadi kenapa aku dipanggil ke sini, Shitori-san?"

    "Silakan duduk dulu," Sona menjawab singkat sambil berjalan ke mejanya yang ada di depan jendela. Walaupun masih merasa bingung, Naruto mematuhi suruhan itu dalam diam, mempercayakan pantatnya pada kursi yang telah dipersiapkan di depan meja kerja Sona.

    Sona menumpukkan tangannya di atas meja di atas satu sama lain lalu menatap Naruto lurus-lurus. "Rias sudah memberitahuku soal kejadian kemarin."

    Rasa curiga yang telah lama Sona rasakan terhadap Naruto terkonfirmasi sesegeranya kalimat itu lepas dari bibir sang cewek remaja. Postur Naruto yang semula santai, walaupun agak gugup, langsung menegang dalam satu kedipan mata. Dia tak menelengkan kepala, namun mata biru langitnya langsung berkelebat menyurvei sekelilingnya seakan-akan berusaha mendeteksi jebakan, menghitung jumlah orang dalam ruangan, mengkalkulasi kemungkinan bahaya, serta mempertimbangkan setiap jalan kabur yang ada.

    Apapun yang dilakukan Naruto selesai hanya dalam tempo tiga detik, dan ketika mata remaja pirang itu kembali mendarat padanya, Sona bisa melihat—tidak, dia bisa merasakan gelimang besi yang tersembunyi di baliknya, seperti sebuah senjata tajam yang siap ditebaskan kapan saja.

    Naruto memberi sebuah gestur dengan dagunya. "Lanjutkan."

    Tak hanya Sona, namun seluruh anggota OSIS ikut tersentak saat mendengar satu kata yang dicetuskan oleh sang pemuda. Nadanya memang datar, tak ada nada autoritatif, tegas, apalagi memaksa, namun mereka bisa merasakan sesuatu dalam suara remaja itu yang membuat mereka merasa seperti tak punya pilihan selain mematuhinya. Kalau saja Sona bukan seorang Iblis kalangan atas, dan terlebih lagi memiliki peran sebagai seorang Raja dalam Peerage-nya, maka mental Sona takkan cukup kuat untuk menahan diri dari impuls itu.

    Namun alih-alih ciut nyali, Sona malah menjadi semakin penasaran.

    "Pertama-tama, aku ingin menyampaikan terimakasih dari Rias karena kau sudah bertarung dengan gagah berani untuk melindungi salah satu murid dari sekolah ini."

    Ekpresi Naruto yang semula keras mendadak berubah menjadi getir. "Melindungi? Heh." Naruto mendengus. "Aku hanya bisa menyaksikan satu-satunya orang yang bisa kuanggap teman di sekolah ini terbunuh di depan mataku. Aku bahkan tidak bisa membalaskan dendamnya." Remaja itu menundukkan kepala. "Melindungi apanya? Yang ada aku gagal melindungi siapa-siapa."

    "Kau keliru, Namikaze-kun," sahut Sona. "Rias juga ingin agar aku menyampaikan padamu bahwa Hyoudou-kun sudah baikan."

    Kepala Naruto mendongak dengan sebegitu cepat sampai-sampai Sona jadi agak ngeri dibuatnya. Lelaki berusia lima belas tahun itu hanya menatap Sona selama beberapa saat sebelum matanya berubah tajam. "...Tolong jangan main-main denganku, Shitori-san. Aku melihat Issei meninggal dengan mata kepalaku sendiri." Ia mendesis. "Atau kau mau mengatakan bahwa siapapun Rias ini punya kemampuan untuk membangkitkan orang yang sudah mati?"

    Sona tersenyum tipis sebelum mengangguk. "Kaum Iblis memang memiliki kemampuan seperti itu." Ia menjelaskan, sembari mendapati bahwa bahasa tubuh Naruto mengeras lagi. "Rias Gremory adalah seorang Iblis, dan dia telah membangkitkan Hyoudou-kun dari alam kematian dengan menjadikannya salah satu anggota Peerage-nya."

    Sona melihat mata Naruto melebar sampai menjadi sebulat bola pingpong, pupilnya mengalami dilatasi dan napasnya pun ikut tercekat. Mata biru langit itu kembali berkelebat ke sekeliling, dan kali ini, Sona bisa merasakan aura siaga dari postur Naruto.

    "...Dan kalau, siapapun orang yang bernama Rias itu, memberimu informasi ini," Naruto memulai lambat-lambat. "Apakah aku bisa berasumsi bahwa kau memiliki keterlibatan dengan kaum Iblis?"

    "Benar, tapi kurasa 'terlibat' masih kurang tepat." Sahut Sona dengan tenang. "Karena aku juga seorang Iblis." Gadis itu menggunakan tangannya untuk membuat isyarat ke arah seisi ruangan. "Dan semua anggota OSIS sekolah Kuoh ini adalah anggota Peerage-ku."

    Tsubaki berdiri dan berjalan ke samping ketuanya, ia mengamati Naruto sesaat sebelum memberi komentar. "Kau tidak nampak terkejut, Namikaze-san."

    Naruto menoleh ke arah Tsubaki, kesiagaan yang terpancar tidak berkurang sedikitpun. "Kuakui, aku sudah lama curiga bahwa kalian berdua bukan sepenuhnya manusia," ia mengaku. "Hanya saja, aku tidak menyangka bahwa semua orang yang ada di ruangan ini adalah Iblis." Naruto mengembalikan arah pandangannya pada Sona. "...Aku tidak mengerti kenapa kau memberitahuku semua ini."

    "Aku akan jujur padamu, Namikaze-kun," Sona memautkan jari-jarinya lalu mengistirahatkan dagunya di puncak. "Rias memberitahuku tentang kepiawaianmu dalam melawan Datenshi yang membunuh Issei kemarin. Karena itu, aku ingin menawarkanmu posisi sebagai anggota Peerage-ku."

    Naruto berdiri dengan begitu mendadak sampai kursi yang ia duduki oleng dan jatuh ke belakang, mengejutkan seisi ruangan. Tatapannya berubah menjadi setajam mata pisau, delikannya begitu panas sampai Sona mau tak mau tersentak saat melihatnya.

    "Kau ingin aku menjadi budakmu?" Naruto mendesis, dan kali ini ini dia sama sekali tak menyembunyikan kemarahan dalam suaranya. "Dan kaukira aku akan setuju begitu saja, keparat?"

    "Hei!" satu-satunya anggota pria di organisasi itu berdiri dengan ekspresi marah. Matanya mendelik pada Naruto sebelum kakinya mulai melangkah mendekati Naruto dengan tinju terkepal yang mulai terangkat. "Beraninya kau bicara pada Kaichou seperti it—"

    Naruto mengangkat tangan kanannya dengan telapak terbuka, dan satu detik kemudian, sebuah bola energi murni telah tercipta di atasnya, berpusar dengan begitu ganas dan membuat suara seperti jet pesawat terbang memenuhi ruangan itu. Sebuah jurus yang menjanjikan kehancuran dan kematian.

    "Kecuali kau mau batok kepalamu hancur," Naruto memiringkan kepalanya untuk menunjukkan bahwa dia sedang bicara pada Saji. Remaja berambut cokelat muda itu ternganga dan mengambil satu langkah mundur saat melihat bahwa mata biru Naruto sudah bersinar bagaikan ada lampu yang dinyalakan di baliknya. "Kusarankan kau mundur, Iblis."

    Suasana di dalam ruangan itu menjadi tegang. Sona sendiri tidak mengerti kenapa hal ini terjadi, dan apa alasan yang membuat Naruto menjadi sangat antagonistik setelah ia mengungkapkan niat untuk menjadikan remaja pirang itu sebagai bagian Peerage-nya.

    "Dan kau," Sona harus mengendalikan diri untuk tidak berjengit ketika mata yang menyala itu kembali terarah padanya. "Melihat bagaimana anggota organisasi ini juga merupakan bagian Peerage-mu, apakah itu berarti kau ada di sekolah ini dengan tujuan untuk mencari siswa yang bisa kau jadikan budak?"

    Sona terdiam selama beberapa saat, tak yakin bagaimana ia harus menjawab.

    Naruto hilang kesabaran. "Jawab!"

    "A-asumsimu itu benar, Namikaze-kun, tapi tidak seluruhnya. Apa yang kita bicarakan ini, sistem yang disebut Evil Pieces, tidak ditujukan untuk mencari budak," ketenangan Sona mulai pupus, dan itu terbukti ketika ia terbata di awal kalimatnya. "Biar kujelaskan. Beribu tahun silam, sebuah Perang Akbar yang berlangsung di Akhirat membuat ketiga fraksi besar yang terlibat di dalamnya hampir saja punah sebelum mereka akhirnya setuju untuk melakukan gencatan senjata. Karena jumlah kaum Iblis jatuh drastis setelah berakhirnya perang, Ajuka Beelzebub, salah satu dari Yondai Mao (Four Great Satans), menciptakan sistem Evil Pieces yang memungkinkan para bangsawan dari kaum kami untuk membangkitkan kembali manusia sebagai Iblis untuk dijadikan pelayan. Daripada menambah jumlah pasukan Meikai (Underworld), sistem Evil Pieces lebih dimaksudkan untuk memastikan kelangsungan kaum Iblis sebagai spesies."

    "Hoo," Naruto mengangkat sebelah alisnya. Bola energi yang melayang di tangannya pudar. "Jadi, berdasar pada penjelasanmu tadi, manusia yang dibangkitkan kembali dengan Evil Pieces ini hanya berstatus pelayan, bukan budak? Yang berarti kau tidak mengendalikan mereka, dan mereka membantumu karena keinginan mereka sendiri?"

    Sona mengangguk sembari menahan keinginan untuk menghela napas lega setelah berhasil memperbaiki situasi. Sayangnya, jika Sona berpikir bahwa semuanya sudah menjadi baik-baik saja, maka dia telah keliru, karena ketika ia menatap ke Naruto lagi, dia tersadar bahwa kilatan tajam yang ada di mata Naruto masih belum berkurang walau barang sedikit.

    "Kau benar-benar berpikir bahwa aku akan percaya kata-kata seorang Iblis sepertimu begitu saja?"

    Dan dengan satu kalimat itu, suasana ruangan OSIS yang tadi sudah mulai meringan kini kembali menjadi tegang.

    Naruto terkekeh pelan, namun suaranya sama sekali tidak memberi kesan bahwa dia merasa ada sesuatu yang lucu. "Tolong koreksi aku kalau aku salah, tapi setahuku, Iblis adalah kaum yang mana pintu surga telah tertutup selamanya bagi mereka, dan mereka telah bersumpah untuk umat menggoda manusia untuk berbuat maksiat agar mereka juga ikut dijebloskan ke neraka, terus dan terus sampai saatnya kiamat tiba."

    Naruto mencubit dagunya seakan sedang berpikir keras. "Dan kau mengatakan bahwa manusia yang kau jadikan pelayan bertindak atas kehendak mereka sendiri. Tapi sebagai kaum yang setiap kata-katanya adalah dusta, dan tindakannya tak lain dari tipu daya, apakah itu berarti penjelasanmu tadi adalah kebenaran sebagaimana adanya?" Naruto melangkah maju dan meletakkan kedua tangannya di meja tanpa membuat suara. "Atau hanya kebohongan belaka?"

    "A-aku..." Sona kembali terbata, dan wajahnya mulai memucat.

    "Atau jangan-jangan, kau hanya tidak memberitahu mereka bahwa pada sesungguhnya, Evil Pieces yang kau gunakan untuk menjadikan mereka sebagai bangsa Iblis telah merenggut kemerdekaan mereka, dan dengan benda itu, kau membuat mereka berpikir bahwa apapun yang mereka lakukan untukmu, mereka lakukan atas kehendak mereka sendiri." Naruto mencondongkan tubuhnya ke depan sehingga jarak antara wajahnya dan wajah Sona hanya tinggal sejengkal. "Bahwa pada sesungguhnya, bagaimanapun kau menyebutnya, anggota Peerage ini tak lebih dari segerombolan budak." Mata Naruto menyipit berbahaya. "Dan kau ingin aku menjadi bagian dari sesuatu yang seperti itu? Apa kau benar-benar berpikir bahwa aku tak punya otak?"

    Sona harus mengerahkan setiap serat kekuatan mentalnya untuk tidak berjengit dan melangkah mundur dari konfrontasi. Sepahit apapun kesadaran yang ia alami, Sona harus mengakui bahwa ia tak pernah menyangka bahwa dirinya, seorang Iblis kalangan atas, bisa merasa begitu terintimidasi oleh seorang manusia. "...K-kau keliru, Namikaze-kun..."

    "Keliru?" Naruto mendesis. "Keliru?!" ia menghardik dan menggebrak meja, membuat Sona meringis, walaupun gadis remaja itu tetap memaksa dirinya untuk membalas tatapan Naruto. "Kau membuat sekolah ini menjadi semacam... semacam kebun atau peternakan! Tempat di mana kau bisa mencari bibit yang berbakat yang kemudian kau petik, lalu kau rebut kemanusiaannya, merampas kesempatan mereka untuk masuk surga selamanya! Dan kau masih berani mengatakan bahwa aku keliru?!"

    Naruto mengibaskan wajahnya, memandang berkeliling, dan tak ada satupun orang di ruangan itu yang mampu membalas tatapan Naruto. Bahkan Saji sendiripun sudah melangkah mundur begitu jauh dan kini sudah duduk kembali di kursi di mana Naruto pertama kali melihatnya ketika ia baru masuk ke ruangan, wajahnya tertunduk dan terbenam di kedua telapak tangannya.

    Naruto kembali memandang Sona, mendelik tajam seraya menegakkan tubuhnya kembali. "Kau merubah anak-anak sekolahan yang tak bersalah dan baru mencapai umur akil balig menjadi Iblis hanya karena kau bisa melakukannya," perkataan itu ia muntahkan dengan nada yang begitu pedas dan asam sampai karang sekalipun bisa meleleh. Kali ini, mental baja Sona akhirnya rubuh dan gadis berambut hitam itu mengalihkan pandangan, tak mampu lagi menatap mata yang penuh sorot kebencian padanya. "Kuharap kau senang, Shitori-san."

    Naruto berbalik, dan meninggalkan ruangan OSIS itu dengan rasa muak yang membuat rongga mulutnya terasa pahit, sepahit empedu.

    ~•~
    Dalam perjalanan pulang, Naruto melihat Issei, yang berjalan tanpa sedikitpun pertanda bahwa dia telah mengalami luka mematikan, dan seakan-akan nyawanya belum pernah hilang. Naruto ingin menyapanya, ingin memastikan bahwa remaja berambut cokelat tua itu baik-baik saja, bertanya mengapa dia tidak masuk sekolah atau bicara apalah, namun ketika dia ingat bahwa orang yang ada tak lebih dari seratus meter di depannya itu sudah tak lagi seorang manusia, Naruto kembali teringat kegagalannya sore kemarin. Anak SMA berambut pirang itu membatalkan niat, memutar arah, sebelum mengambil rute lain untuk mencapai tempat tinggalnya.

    Ketika dia sudah sampai rumah, mood Naruto sudah sebegitu buruk, terutama jika ditambah dengan sakit kepala yang membuatnya merasa seperti ada palu godam yang menghajar bagian dalam tengkoraknya. Setelah melepaskan sepatu, tangan Naruto bergerak otomatis ke arah tombol di dinding untuk menyalakan lampu. Kakinya melangkah lurus ke arah dapur di mana ia mengambil gelas terbesar yang ia miliki dan mengisinya dengan air dari keran, mengambil dua tablet aspirin dari kotak obat sebelum melangkah ke meja makan.

    Naruto melempar dua tablet itu ke mulutnya sebelum menenggak air di cangkir itu tanpa berhenti sampai habis. Mood yang buruk membuatnya menghempaskan gelas itu ke meja dengan terlalu kuat dan akhirnya menyebabkan gelas kaca itu pecah berantakan. Remaja itu mengerang panjang, dan merebahkan lehernya ke punggung kursi.

    Sebagaimana yang sudah menjadi rutinitas setiap kali ia pulang sekolah, Naruto menarik kursi di sampingnya ketika sensasi kait di perutnya kembali terasa. Namun anehnya, walaupun ia tahu Kurama telah muncul di sisinya, kali ini gadis itu sama sekali tak mengucapkan apa-apa dan terus diam sampai beberapa lama.

    Merasa ada yang salah, Naruto membuka mata dan menoleh ke samping. "Kurama?"

    Gadis dengan telinga lancip yang dilapisi bulu semerah delima itu terus diam, menggigit bibir dan memainkan jemarinya.

    "Kurama?" Naruto mencoba sekali lagi.

    Ia melihat Kurama menutup mata sebelum menarik napas panjang. Ketika matanya terbuka, Kurama menatap Naruto lurus-lurus dan akhirnya buka suara. "Goshujin-sama, Kurama rasa ada baiknya Kurama dan Goshujin-sama membicarakan apa yang terjadi siang ini..."

    Naruto kembali merebahkan lehernya ke punggung kursi sambil mengerang panjang. "Aku tahu..." ia menggumam. "Aku tahu kalau aku sudah berlebihan. Aku tak pernah bermaksud untuk mengatakan semua hal itu," ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. "...Kurasa apa yang terjadi kemarin benar-benar membuatku terguncang lebih dari apa yang kukira."

    Kurama meletakkan tangannya di pipi Naruto dan mulai mengusapnya, sebuah tindakan yang tak pernah gagal meringankan beban mental sang majikan. "Kurama tahu kalau bukan cuma peristiwa kemarin yang membuat Goshujin-sama mengatakan semua hal itu," dia berkata lembut, karena dia tahu jelas pengalaman-pengalaman Naruto yang sudah berurusan dengan kaum Iblis dalam pengembaraannya bersama Jiraiya. Pengalaman-pengalaman yang sama sekali tidak menyenangkan, dan membuat pandangan Naruto pada kaum Iblis menjadi sangat buruk. "Kurama benar kan, Goshujin-sama?"

    Naruto melepaskan hembusan napas panjang sembari tersenyum tipis. "Aku tahu kau mungkin sudah bosan mendengar ini, tapi kau selalu tahu aku, Kurama..." bagian awal perkataan Naruto tak terbukti kebenarannya, dan itu bisa dilihat dari wajah Kurama yang berubah jadi lebih cerah. "Entah kenapa, rasanya kau sudah seperti psikiater pribadiku saja."

    "Jangankan psikiater, selama Goshujin-sama yang meminta, maka Kurama siap mengisi peran apa saja untuk Goshujin-sama!" Kurama memiringkan kepalanya sedikit ke samping, wajahnya berubah ragu. "Tapi... Kurama rasa Kurama masih perlu latihan kalau Goshujin-sama ingin Kurama jadi koki..."

    Kalimat itu membuat mau tak mau Naruto teringat bagaimana Kurama selalu berhasil membuat kompor meledak setiap kali ia mencoba memasak. Naruto mendengus, lalu mulai terkekeh, sampai akhirnya ia tertawa. Intensitas tawanya terus bertambah hingga akhirnya Naruto terbahak-bahak lepas sambil memegangi perutnya.

    "Jangan tertawa dong, Goshujin-sama!" Kurama berteriak kesal. Dia sendiri tidak tahu kenapa kompor begitu benci padanya! Pernah satu kali, kompor itu sudah meledak ketika Kurama baru menyalakannya. "Mou, Goshujin-sama~!" Kepalan tangannya yang kecil memukuli punggung Naruto yang sudah terbungkuk-bungkuk karena tertawa. Merasa bahwa pukulannya sama sekali tak memberi hasil, Kurama akhirnya bersidekap dan buang muka ke samping dengan pipi menggembung. "Goshujin-sama no baka!"

    "Ahehe... sori..." Naruto terengah, namun tak tahan untuk tak tertawa kembali. Rasa kesal Kurama memuncak, membuat gadis itu berdiri dan menendang Naruto sampai majikannya itu jatuh dari kursi, sebelum mulai menginjak-injak sisi perut orang tersungkur yang hanya bisa berusaha menghindar dengan beringsut itu. "Ahahauw! Kurama! Aku kan sudah minta maaf! Ahahaha! Auw! Kurama~!"

    Ketika tawa Naruto akhirnya selesai, ia sudah bersandar di dinding, memegangi perut yang tidak hanya sakit karena terlalu banyak tertawa tapi juga karena sudah menderita apa yang ia kategorikan sebagai kekerasan rumah tangga. Kurama berdiri di depannya dengan pipi yang masih menggembung dan wajah merah, tubuhnya tegang seperti kucing yang siap menerkam.

    Naruto menarik napas beberapa kali sebelum ia membuka mata. Melihat Kurama yang masih nampak kesal, ia langsung tahu bahwa ia hanya punya dua pilihan. Membuat kompensasi dengan segera, atau pasrah menerima serangan berikutnya.

    "Kurama," Naruto bersila dan menepuk pahanya. "Sini."

    Gadis berambut merah di depannya menatap paha Naruto, kekesalan di parasnya pupus perlahan-lahan. Dengan wajah yang masih agak cemberut, personifikasi Kyuubi no Youko itu bergerak maju dan duduk di pangkuan Naruto, menggeliat-geliat sampai menemukan posisi paling nyaman, sebelum menghempaskan punggungnya ke dada sang tuan.

    Namun wajahnya masih berkeriut. Kurama menoleh ke kanan kiri, lalu meraih kedua lengan Naruto dan menggerakkannya ke depan, membuat shinobi pirang itu secara otomatis mendekap tubuh gadis di pangkuannya.

    Kurama menggeliat untuk kali terakhir sebelum ia akhirnya mendengus puas.

    Untuk beberapa menit, mereka diam dalam posisi itu tanpa mencetuskan suara, cukup puas dengan kesunyian dan kehangatan yang diberikan oleh satu sama lain. Naruto meletakkan dagunya di pundak Kurama, sementara sang gadis mengangkat satu tangan dan mulai mengelus kepala orang yang telah berhasil memperoleh kesetiaannya.

    "Kurama..."

    "Hmm?" Kurama mengumbang sambil terus mengusap dan menyisir rambut Naruto dengan jari-jarinya yang lentik.

    "Apa yang terjadi siang tadi... bisakah kau memberikan pendapatmu?"

    Kurama mengumbang sekali lagi. "Goshujin-sama, bisa angkat kepala Goshujin-sama sebentar?"

    Meskipun agak bingung dengan permintaan itu, Naruto tetap menurut tanpa protes.

    "Baik, Kurama rasa cukup segitu."

    Gadis berambut merah yang duduk di pangkuan Naruto itu mengulurkan tangan kanannya jauh-jauh ke samping, membuat Naruto mengikuti gerakan tungkai itu dengan satu alis terangkat.

    Plak!

    Naruto dibuat melongo ketika Kurama menamparnya untuk yang kesekian kali.

    "K-Kurama?"

    "Itu hukuman karena siang tadi, Goshujin-sama lagi-lagi membiarkan diri Goshujin-sama dikuasai emosi," kata Kurama sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. "Gara-gara itu, pertalian antara Kurama dan Goshujin-sama jadi tidak stabil. Walaupun semua panca indera Goshujin-sama masih terhubung dengan Kurama, tapi sayangnya, pautan benak Kurama dan Goshujin-sama jadi terputus." Kurama mendengus kesal. "Kurama tidak salah kan? Padahal Kurama sudah berteriak-teriak senyaring mungkin, tapi Goshujin-sama sama sekali tidak bisa mendengar suara Kurama."

    "Benar..." Naruto berbisik pelan sambil membenamkan wajahnya di pundak Kurama. "Kau benar, aku tidak sadar kalau selama aku ada di ruangan itu, aku sama sekali tidak mendengar suaramu."

    "Tentu saja! Kurama selalu benar!" sahut Kurama sambil menepuk dadanya. Gadis itu berbalik, lalu mencubit pipi Naruto, menjewernya lebar-lebar ke samping. "Dan gara-gara ulah Goshujin-sama, Kurama jadi tidak bisa memberitahu Goshujin-sama tentang informasi yang Kurama dapatkan saat itu."

    "Phinfhorphashi phapha?" tanya Naruto.

    "Hm?"

    Naruto menarik turun pergelangan Kurama agar personifikasi makhluk mistis itu melepaskan cubitannya. "Informasi apa?"

    "Baiklah, pertama-tama, Goshujin-sama ingat kan alasan yang membuat Kurama dan Goshujin-sama curiga bahwa ketua OSIS dan wakilnya itu bukan manusia?"

    Naruto mengangguk. "Karena mereka memiliki Youki."

    "Sekarang, Goshujin-sama tahu kan tentang kemampuan khusus Kurama?"

    "Em..." sebenarnya, dari sudut pandang Naruto yang hanya manusia, Kurama memiliki kemampuan khusus yang cukup banyak. Tapi kalau ia mencoba memakai perspektif Kurama, maka hanya ada satu kemampuan yang bisa akan gadis itu beri label 'khusus'. "Kau bisa mendeteksi emosi negatif."

    "Goshujin-sama benar!" sahut Kurama sambil menepuk-nepuk kepala Naruto sebagai pujian. "Nah, siang tadi, sepanjang waktu Kurama dan Goshujin-sama ada di ruangan OSIS itu, walau Kurama bisa merasakan Youki yang mereka miliki, Kurama sama sekali tak bisa merasakan emosi negatif yang berarti."

    Pernyataan itu membuat Naruto tertegun. Dia terus terdiam sampai beberapa lama, dan seiring waktu yang berdetak, wajahnya pun mulai berubah menjadi semakin pucat.

    Ekspresi Kurama berubah khawatir. "Goshujin-sama?" gadis itu menangkupkan telapak tangannya ke pipi Naruto. "Goshujin-sama tidak apa-apa?"

    "A-ah..." Naruto menelan ludah yang entah mengapa terasa sekeras gumpalan kertas. "K-Kurama..." ia menatap gadis yang duduk di pangkuannya. "Kau... kau serius?"

    "Tentu saja Kurama serius, Goshujin-sama. Kurama takkan pernah bohong pada Goshujin-sama."

    "J-jadi..." gumpalan di kerongkongan Naruto turun ke lambung, dan berubah menjadi rasa bersalah yang terasa seperti bara yang masih menyala. "Saat Shitori-san memberikan penjelasannya... kau tidak mendeteksi kelicikan atau kebohongan? Sedikitpun?"

    Kurama menggeleng dengan penuh kejujuran.

    Satu-satunya buah persatuan dari garis darah klan Namikaze dan Uzumaki itu kembali tertegun selama beberapa saat, sebelum ia mengayunkan kepalanya ke belakang dan menghantamkannya ke dinding sambil mengerang panjang. "Ya Tuhan..." ia memukul-mukul dinding dengan batok tengkoraknya berkali-kali sebelum menunduk dan membenamkan wajahnya dalam-dalam ke telapak tangannya. "Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan...?"

    Ketika ia mendeteksi rasa bersalah yang terus bertambah ukuran dalam sanubari Naruto, Kurama dengan segera bergerak untuk menenangkan majikannya. Ia meraih kepala Naruto, kemudian memeluknya erat-erat ke dadanya. Satu tangan ia gunakan untuk membelai kepala yang penuh rambut pirang itu, seraya tangan Naruto sendiri bergerak mengalungi tubuh Kyuubi dan membuat dekapan mereka semakin rapat.

    "Ya Tuhan..." Naruto berbisik dengan suara yang teredam karena wajahnya masih terbenam di dada sang Kyuubi no Youko. "Kurama, apa yang sudah kuperbuat...?"

    "Goshujin-sama hanyalah seorang manusia. Dan manusia adalah tempatnya khilaf." Kurama melepaskan wajah sang majikan dari dekapannya. Ia memegang kedua sisi wajah Naruto dengan tangannya, lalu menunduk sedikit untuk mempertemukan dahi mereka. "Goshujin-sama bukan makhluk sempurna."

    Naruto terkekeh masam. "Tapi bukannya umat manusia harus selalu berusaha mencapai kesempurnaan?"

    "Goshujin-sama nggak boleh jadi makhluk sempurna," Kurama merengut. "Karena kalau sampai itu terjadi, maka Goshujin-sama tidak akan membutuhkan Kurama lagi."

    Kurama dan majikannya saling pandang untuk sesaat sebelum mulai tertawa kecil, dan terus diam dalam posisi itu untuk beberapa lama.

    Naruto menegakkan tubuhnya sekali lagi, dan senyum di wajah Kurama semakin lebar saat ia merasakan bahwa rasa bersalah dalam hati Naruto kini telah sedikit berkurang. "Terima kasih, Kurama," shinobi itu berucap pelan. "Tanpa kau, mungkin aku takkan pernah tahu bahwa aku sudah menyakiti Shitori-san dan yang lainnya."

    Kurama menyentuhkan jari telunjuk ke bibirnya, sebelum memiringkan kepala sedikit dalam kebingungan. "Tapi Kurama tidak peduli apakah mereka merasa disakiti atau tidak," ia berkata, masih dengan nada sedikit bingung. "Kurama hanya ingin memberitahu Goshujin-sama bahwa Goshujin-sama sudah membuat asumsi yang keliru, dan juga memperingatkan Goshujin-sama agar Goshujin-sama berusaha mengendalikan emosinya dengan lebih baik esok-esok."

    Ah.

    Mungkin karena interaksi mereka yang sudah jadi sedemikian rupa semenjak awal mereka bertemu, Naruto jadi lupa bahwa semirip apapun Kurama yang sekarang dengan seorang manusia, dia tetaplah seorang Bijuu. Kurama sendiri yang mengakui padanya bahwa dari semua makhluk hidup yang ada di dunia ini, Kurama hanya pernah dan hanya akan peduli pada Naruto seorang.

    Hal itu mungkin akan terdengar aneh di telinga orang lain, namun bagi Naruto, dia sudah terbiasa. Dan saat ini, mendengar Kurama mengatakan itu dan mengetahui implikasinya justru membuat Naruto sangat senang.

    Naruto meraih tangan Kyuubi dan meremasnya. "Oh, Kurama..." dia melepaskan hembusan napas yang kali ini lebih ringan dari sebelumnya. "Aku tak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau tak bersamaku."

    "Hmph," Kurama kembali mendengus dengan nada campuran antara senang dan bangga. "Tentu saja, sudah sewajarnya Goshujin-sama merasa seperti itu. Goshujin-sama tak bisa hidup tanpa Kurama, sebagaimana Kurama juga tak mau hidup tanpa Goshujin-sama."

    "Tapi sebagai manusia yang bertanggung jawab, bukannya aku harus jadi mandiri?"

    "Nggak boleh," Kurama menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Goshujin-sama nggak boleh jadi mandiri. Goshujin-sama harus membutuhkan Kurama selamanya. Titik."

    Tuntutan itu terdengar sangat egois, namun Naruto sama sekali tidak merasa keberatan. Dia tertawa untuk yang kesekian kali.

    "Goshujin-sama," suara Kurama kembali membuat perhatian Naruto terpusat padanya. "Ada satu hal lagi yang perlu Goshujin-sama dengar."

    "Apa?"

    "Goshujin-sama ingat tidak, apa yang dikatakan ketua OSIS itu ketika dia menyebutkan nama dimensi tempat mereka berasal?"

    Dahi Naruto mengerut untuk sedetik, sebelum kesadaran membuncah dalam benaknya.

    "D-dia..." Naruto terbata. "Dia menyebut nama Meikai..."

    "Bukan Yomi (Underworld)," Kurama mengkonfirmasi. "Kurama tahu bahwa salah satu alasan Goshujin-sama sangat tidak menyukai bangsa Iblis adalah karena dari setiap bangsa Iblis yang pernah Goshujin-sama temui, tak ada satupun yang bisa mendekati kata 'baik'. Tapi di sinilah letak masalahnya, Goshujin-sama. Iblis-iblis yang pernah kita temui selama ini, mereka semua berasal dari Yomi, bukannya sebuah tempat bernama Meikai."

    "Ya Tuhan..." Naruto mendesah. "J-jadi... apa itu berarti...?"

    Kurama mengangguk. "Saat ini Kurama hanya bisa membuat asumsi, tapi Kurama rasa bangsa Iblis yang berasal dari Meikai, bukanlah bangsa Iblis yang sama dengan yang berasal dari Yomi. Deskripsi Goshujin-sama tentang Iblis memang benar kalau hanya merujuk pada penghuni Yomi, tapi hal itu belum tentu juga berlaku bagi kaum Iblis yang mendiami dimensi Meikai ini."

    Sadar bahwa apa yang baru ia ungkapkan bisa membuat majikannya kembali dirundung rasa bersalah, Kurama cepat-cepat menambahkan. "Tapi ini semua hanya asumsi, Goshujin-sama. Kurama masih belum tahu pasti apakah Yomi dan Meikai adalah dua dimensi yang berbeda, atau apakah Iblis yang berasal dari dua dimensi itu memang tidak sama. Karena itu, Kurama menyarankan agar ke depannya, Goshujin-sama menyelidiki dulu soal masalah ini sebelum membuat kesimpulan lebih lanjut."

    Naruto menarik napas panjang demi memperoleh walau secercah ketenangan jiwa. "Kau benar, Kurama. Aku tak mau apa yang terjadi siang tadi terulang lagi hanya karena dugaan tanpa fakta yang jelas."

    "Tentu saja Kurama benar," Kurama mendengus bangga sambil menepuk dadanya. "Kurama selalu benar."

    To be Continued...
    A/N: Kalau readers sekalian merasa bahwa reaksi Naruto pada Sona dan anggota OSIS-nya berlebihan, maka ingatlah bahwa di fic ini dia masih lima belas tahun. Ingatlah bahwa anak muda umur segitu biasanya sangat emosional, dan cenderung berbuat tanpa pikir panjang.

    Praise me, shun me, applause me, make fun of me. Whatever you want to do, it's your call. Whatever it shall be, I will accept all.

    Thanks a zillion for reading!

    Galerians, out.
     
  5. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    eee, lucu juga ngeliat naruto version cool kek gini :lol:

    jadi ini kek crossover highchool d x naruto kah? :bloon:
    aku nggak ngerti amat naruto, apalagi dxd. :swt: tapi dari segi penulisan udh cukup baik. dialognya juga pas.

    lanjutkan :lalala:



    panggil real fans naruto tah ryrienryrien;
     
    Last edited by a moderator: Apr 25, 2015
  6. Galerians Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 5, 2011
    Messages:
    40
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +12 / -0
    Silakan.

    Galerians, in.

    A/N: Akhirnya hal yang ditunggu-tunggu datang juga. Pertemuan dan interaksi antara Namikaze Naruto dan Rias Gremory, serta seluruh Peerage-nya!

    Warning:

    Mungkin abal. Mungkin aneh. Mungkin jelek. Dan mungkin OOC.​


    Disclaimer: This is purely a fanfiction, made only to bring about entertainment of whatever I decided to write for those who read!

    Selamat membaca!

    ~••~

    When The Sun Goes into A High School

    Chapter 3

    (Blonde Shinobi Meets Red-haired Akuma?! Naruto's Past Encounter with The Devilkind!)

    Dengan mata yang jeli, Rias Gremory mengamati pemuda yang duduk bersandar ke punggung sofa dengan tangan bersidekap dan mata tertutup, dikelilingi oleh anggota-anggota Peerage-nya yang turut mengamati remaja pirang itu bersama Rias.

    Namikaze Naruto.

    Ketua Occult Kenkyu-bu (Occult Research Club) itu melihat Pion terbarunya, Hyoudou Issei, yang duduk di seberang membuka mulut seakan mau bicara, hanya untuk mengatupnya kembali tanpa suara seperti tak yakin harus mengatakan apa, dan terus berkali-kali begitu sampai akhirnya ia menyerah dan terbungkuk ke depan dengan helaan napas panjang. Koneko duduk di sebelah Issei dengan postur tegak, tangan tertumpuk di atas paha, dan wajah lurus ke depan, namun matanya terus terpaku pada Naruto, atau lebih tepatnya, tangan kanan Naruto.

    Sedangkan Kiba dan Akeno hanya berdiri di dua sisi sofa tempat Issei dan Koneko duduk, bibir mereka tersenyum namun mulut mereka tak mengucapkan apa-apa seakan-akan puas hanya dengan mengamati situasi. Rias merasa ingin mendesah, sadar bahwa tak satupun anggota Peerage-nya yang berguna untuk memulai percakapan. Apa gunanya Rias membawa Naruto ke tempat ini dengan tujuan menginterogasinya, kalau tak ada yang mulai bicara?

    Rias menutup mata dan memijit pelipisnya sembari mengingat lagi rantaian peristiwa yang berakhir pada pemandangan di depannya ini.

    ~•~​

    Satu hari yang lalu, Rias telah melihat sendiri bagaimana remaja pirang yang memiliki tanda lahir (atau tato?) berbentuk kumis di wajahnya itu menghajar seorang Datenshi, makhluk yang jauh lebih kuat dari umat manusia dalam segala aspek, tanpa menunjukkan kesulitan sedikitpun. Awalnya, ia mengira bahwa Naruto juga merupakan seorang Iblis, mungkin dengan peranan sebagai Benteng atau bahkan Ratu jika melihat kekuatan pukulannya. Namun di tengah-tengah pertarungan, ia mendapat bukti pertama bahwa dugaannya itu keliru dalam bentuk energi yang meledak dari tubuh Naruto, karena apa yang ia rasakan saat itu sama sekali tak bisa dipanggil Youki. Bukti kedua, kalau Naruto memang seorang dari kaum Iblis, maka mustahil namanya masih tak dikenal di kalangan kaum pendiam Meikai kalau dia mempunyai kekuatan seperti itu. Bukti ketiga ia dapatkan saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Naruto menangkap sebuah tombak cahaya yang dilemparkan oleh musuhnya, sesuatu yang tak mungkin bisa dilakukan oleh kaum Iblis, kecuali kalangan elit, yang secara lumrah memiliki kelemahan khusus pada cahaya.

    Dan bukti terakhir Rias dapatkan ketika ia pergi menemui Sona untuk bertanya apa hasil pertemuannya dengan remaja pirang yang telah menarik perhatian mereka berdua. Awalnya Rias mengira bahwa ia akan menemukan Naruto di ruangan OSIS itu, dengan status baru sebagai kaum Iblis dan anggota teranyar Peerage Sona, namun apa yang ia temukan ternyata jauh dari bayangan. Ia menemukan Sona duduk sendirian dalam ruangan yang seharusnya penuh personel itu, posturnya yang biasanya tegak dan penuh wibawa entah mengapa terlihat sedikit membungkuk seakan sedang dirundu letih, matanya yang bersinar tegas kini nampak kehilangan cahayanya, dan wajahnya yang biasanya dingin dan penuh percaya diri sekarang nampak lesu.

    Sona mendongak dan melihat Rias, dan dengan sebuah senyum yang nampak tak bertenaga, Sona mempersilakan Rias duduk. Seperempat jam dan satu penjelasan kemudian, Rias meninggalkan ruangan OSIS itu sembari menyimpan sebuah amarah membara dalam hatinya, amarah yang tertuju pada seorang manusia yang telah berani melukai perasaan teman sekaligus rivalnya. Sona tak bersedia memberi detil penuh tentang apa yang sebenarnya telah diucapkan dalam ruangan itu beberapa jam sebelumnya, namun Rias adalah sahabat Sona, dan ia tak perlu menjadi seorang cenayan yang bisa membaca isi hati untuk tahu bahwa perubahan yang terlihat di penampilan sang ketua OSIS adalah bukti mati bahwa dia telah terpukul.

    Sebelum ia tidur malam itu, Rias membuat tekad untuk memburu si cowok pirang di sekolah keesokan harinya. Dia akan menangkapnya, membawanya ke depan Sona, lalu kemudian ia paksa untuk berlutut minta maaf di depan sahabatnya itu, dan Rias akan memastikan hal itu terjadi walaupun dia harus mengerahkan semua anggota Peerage-nya.

    Sial bagi Rias Gremory, saat ia mengutus Kiba dan Koneko ke kelas di mana Issei belajar, cowok pirang yang merupakan teman sekelas Pion terbarunya itu ternyata tak masuk sekolah.

    Walaupun rasa kesal dalam hatinya telah meningkat dari bara obor menjadi api unggun, Rias dapat tetap tenang ketika Kiba dan Koneko hanya membawa Issei ke dalam bangunan sekolah lama yang menjadi markas mereka. Kegagalan ini bukan berarti dia akan berhenti, karena masih ada hari esok. Lagipula, walaupun dia gagal menangkap Naruto, Rias bisa merasa puas karena Issei telah berhasil membangunkan Sacred Gear-nya, dan yang membuatnya makin senang, ternyata Issei memiliki Boosted Gear, satu dari tiga belas Longinus, sebuah senjata keramat yang dipercayai bahkan bisa membunuh Tuhan.

    Satu hari kembali berlalu, dan kali ini, Rias hampir saja membuat giginya beradu ketika Kiba dan Koneko kembali muncul di ruang klub hanya dengan membawa Issei. 'Tak mengapa,' Rias berkata dalam hati sembari menarik beberapa napas panjang untuk menenangkan diri. Dia masih punya kesempatan, dan kalau Naruto masih saja tidak masuk sekolah besok, dia bisa saja mencari alamat rumah pemuda itu dari staf sekolah. Rias takkan puas sebelum ia bisa menumpahkan kekesalan pada remaja pirang itu, dan kalau itu berarti Rias harus menyamperin ke rumahnya, maka dia tak keberatan!

    Renungan Rias terpotong ketika Akeno mendekatinya dan mengatakan bahwa telah ditemukan seorang Iblis Liar di kota mereka, membuat ketua klub itu mendapat ide untuk menunjukkan pada Issei seperti apa gerangan pertarungan bangsa Iblis, dan juga sekaligus memamerkan kemampuan anggota Peerage-nya yang lain.

    Keanehan langsung bisa terasa tepat setelah mereka muncul beberapa jauh dari bangunan terbengkalai yang menjadi sarang sang Iblis Liar. Youki yang terpancar dari dalam bangunan entah mengapa terasa begitu lemah, dan seiring setiap langkah Rias dan Peerage-nya yang bergegas, Youki itu semakin memudar sampai akhirnya pupus tanpa bekas tepat ketika mereka memasuki ruangan yang menjadi sumbernya.

    "...Ara."

    "Naruto-san?!"

    Tak seperti Kiba dan Koneko yang hanya bisa diam karena terkejut, Akeno dan Issei menyuarakan rasa shock mereka dengan cara khas mereka masing-masing. Di sana, tanpa diduga-duga, terlihat orang yang telah Rias buru selama dua hari terakhir ini. Sosoknya yang tinggi tegap dibalut jaket dan celana panjang yang nampak robek di beberapa bagian, berdiri membelakangi mereka di tengah-tengah ruangan yang hancur berantakan. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senjata, semacam pisau aneh karena bercabang tiga, sedangkan di tangan satunya lagi ada sebuah gulungan yang Rias tak tahu apa gunanya.

    Rias beserta seluruh Peerage-nya tersentak ketika remaja itu menyadari keberadaan mereka dan berbalik, tak mampu untuk tidak kaget ketika mereka ditatap oleh sepasang mata biru langit yang bersinar di kegelapan malam.

    Cowok pirang itu terus menatap mereka dengan sorotan mata yang tajam, wajahnya keras dan alisnya bertaut seakan mempertimbangkan sesuatu. Ekspresi tersebut melunak setelah beberapa saat, berubah dari keras menjadi datar, sembari mata birunya berhenti bersinar. Rias melihat ia memasukkan pisau dan gulungan di tangannya tersebut ke sebuah tas pinggang yang terikat di sabuk bagian kanan belakang.

    Orang yang Rias ketahui mengaku sebagai seorang ninja itu berbalik kembali, mengambil beberapa langkah sebelum membungkuk untuk memungut sesuatu yang ada di lantai, benda yang tak ia lihat tepatnya apa karena Naruto dengan cepat mengantonginya.

    Rias membuka mulut, siap meluncurkan pertanyaan untuk memuaskan rasa ingin tahunya tentang apa gerangan yang sudah terjadi sebelum mereka datang. Sayang, Issei telah mendahuluinya.

    "Naruto-san, apa yang sedang kau lakukan di sini?!"

    Rias menahan keinginan untuk cemberut karena kesempatannya untuk bertanya telah direnggut, namun berhasil menguasai dirinya untuk kembali mengkonsentrasikan tatapan ke arah teman sekelas Issei yang telah berbalik lagi untuk menghadap mereka.

    Sayangnya, Rias harus puas dengan jawaban yang hanya terdiri dari dua kata. "Membersihkan sampah."

    Akan tetapi, sependek apapun jawaban Naruto, ia tetap berhasil menarik perhatian mereka dengan cara ia menyampaikannya, karena ketika ia bicara, kata 'sampah' keluar dari mulutnya dengan begitu penuh kebencian, amarah, dan rasa jijik seakan-akan pencetusnya merasa muak hanya dengan membiarkan organ bicaranya mengucapkan kata itu. Dalam sepersekian detik kata dengan enam huruf itu dilontarkan, Rias melihat sekilas kemarahan murni mengisi ekspresi Naruto, membuat keturunan Klan Gremory itu berjengit ketika ia merasakan teror dalam hatinya.

    Ketika sadar bahwa apa yang baru ia lihat telah membuat detak jantungnya menjadi tak beraturan, Rias menjadi makin penasaran. Kehidupan macam apa yang sudah dijalani oleh remaja di depannya, jika dalam usianya yang masih cukup belia dia sudah bisa memasang wajah yang bisa menakuti kaum Iblis kalangan atas seperti Rias?

    "N-Naruto-san!"

    Suara nyaring Issei membuat Rias tersentak, agak malu saat mendapati bahwa ia telah melamun dan tak menyadari bahwa Naruto telah melangkah melewatinya dan kini sedang dalam proses berjalan keluar dari bangunan. Bahu Rias menjadi gemetar ketika rasa kesal yang sudah ia simpan untuk si cowok pirang kembali menyeruak keluar, dan dengan wajah memerah menahan marah, ia menghentakkan kakinya untuk menyusul remaja yang sudah berani tidak mengacuhkannya seperti itu.

    "Hei, kau!" dia berteriak memanggil. "Hei!" Rias harus menahan diri untuk tak tercengang ketika Naruto hanya mengabaikannya dan terus berjalan tanpa melambat sedikitpun.

    "HEI!"

    Teriakan yang bergema di halaman bangunan itu akhirnya sukses menghentikan langkah Naruto, yang menoleh kembali ke arah Rias dengan ekspresi sebal menghiasi di wajahnya.

    "Sekedar informasi, namaku bukan 'Hei'."

    Rias tersandung dan jatuh terjerembab ke tanah saat mendengar sahutan yang sama sekali tak disangka-sangka itu. Ia dengan cepat duduk, hanya untuk mendengar Akeno terkikik geli di sampingnya. Kiba juga buang muka, satu tangannya menutup mulut seakan-akan sedang berusaha menahan tawa, sementara Koneko kini nampak memasang sebuah senyum yang sangat tipis sampai Rias yakin pasti akan terlewat kalau ia tidak teliti. Issei... Issei sih cuma melongo dengan mulut terbuka dan rahang menggantung.

    Rias cepat-cepat berdiri, lalu menunjuk Naruto dengan emosi. "Kau...!"

    Naruto memiringkan kepalanya sedikit. "Aku?"

    "K-Kau!"

    "Ya?"

    ...Kutukupret, Rias lupa apa yang ingin ia katakan.

    Dengan wajah merah menahan malu, Rias kembali berteriak. "KAU!"

    "Oke, cukup," Naruto mengalihkan pandangannya ke arah Issei. "Oi, Issei."

    "He?" Issei masih tetep keukeuh dengan longoannya.

    "Bosmu ini cuma lagi konslet atau dia memang suka bertingkah macam kaset sendat seperti ini sih?"

    "Ehhh," Issei melirik ke arah majikan barunya yang hanya mangap-mangap dengan wajah merah padam. "Entahlah, aku juga nggak yakin ini sebenarnya ada apa."

    "Ara, ara," Akeno mendekat dan menepuk bahu Rias. "Buchou, apa kau begitu terpesona setelah bertemu Namikaze-kun sampai kau jadi tak bisa bicara normal?"

    "HAH?!" satu detik kemudian, Rias sadar bahwa dia tidak berteriak sendirian. Ia mengembalikan tatapannya ke arah Naruto, pemilik suara yang tadi teriakannya memiliki konteks yang sama dengan teriakan Rias.

    "'Terpesona'?!" mata biru langit itu mendelik ke Rias dengan tatapan campur aduk antara tak percaya, jijik, marah, sekaligus takut. "Kau juga mau menjadikanku budak?! Aku nggak bersedia!"

    "Kenapa topik terpesona tiba-tiba berubah menjadi budak?!" Rias menyemprot. "L-lagipula siapa juga yang sudi membuat cowok nggak sopan macam kau jadi budaknya, hah?!"

    "Apa kau bilang?! 'Nggak sopan'?!" Naruto menghardiknya balik. "Aku nggak mau dengar itu dari cewek yang nggak pake beha sepertimu!"

    "Ng-nggak pake beha..." Issei melecutkan tatapannya ke arah dada Rias dengan mata terbelalak, sebelum darah tiba-tiba muncrat dari kedua lubang hidungnya. "Uooh, terima kasih, Tuhan—AAH!"

    Rias mengabaikan Issei yang kini gegulingan di tanah sambil mencengkeram kepalanya. Sudah tahu sekarang dia sudah menjadi Iblis, siapa juga yang menyuruh dia menyebut nama Tuhan?

    Oh tidak, sebagai ahli waris Klan Gremory yang tak suka kalah, Rias tahu bahwa dia tak bisa mengalihkan konsentrasi, bahwa untuk menang, dia harus memfokuskan perhatian penuhnya pada perang verbal antara dia dan Naruto.

    "A-aku pakai beha kok!" ...Ah, sial. Kenapa dia memakai kalimat defensif seperti itu?

    "Nggak mungkin kau pakai beha kalau putingnya masih nongol seperti itu!" Naruto menyahut panas.

    "Apa kau bilang?!" Rias mencengkeram seragamnya dan membukanya dengan sekuat tenaga sampai kancing-kancingnya lepas dan berjatuhan ke tanah. "Lihat ini! Siapa yang bilang aku nggak pakai bra, hah?!"

    Rias sama sekali tidak mengacuhkan pancuran cairan merah yang kembali tercurah dari lubang hidung Issei yang masih terbaring terlentang di atas tanah.

    "K-kenapa kau malah buka baju di depanku sih?!" Cowok pirang di depannya sendiri memilih untuk menutup matanya sambil buang muka ke samping, pipinya begitu merah sampai hampir terlihat seperti menyala di kegelapan malam. "Dasar cewek nggak tahu malu! Mesum! Eksibisionis!"

    Kali ini, Rias benar-benar hilang kontrol. Akal sehatnya mengalami shutdown, wajahnya tercengang, dan mulutnya ternganga seperti moncong buaya yang sedang berjemur.

    Sementara otak Rias sedang melalui proses reboot, Kiba sudah membungkuk dengan wajah menghadap tanah, sambil menutup mulutnya sekuat tenaga dengan kedua tangan agar tak ada suara yang keluar. Akeno mengorbankan keanggunannya sebagai seorang wanita dengan status Yamato Nadeshiko dan tertawa terbahak-bahak dengan mata yang mulai berair. Senyum di wajah Koneko kini sudah mencapai kekuatan penuh, dan kalau dilihat baik-baik, ada getaran halus di bahunya yang kecil.

    Issei... Issei sudah lama hilang kesadaran karena mengalami defisit darah, sebuah senyum bego namun bahagia terpasang di wajahnya yang pucat selagi ia berbaring di genangan darahnya sendiri.

    Melihat itu, Naruto memutar badan seluruhnya dan berjalan ke arah Issei yang terlihat seperti orang yang sudah mencapai pencerahan, sambil berusaha sekuat tenaga untuk tidak melirik ke arah Rias yang masih beku dalam posisi membuka baju. Proses reboot otak Rias selesai tepat waktu untuk mendapati Naruto yang sudah berlutut di samping tubuh Pion terbarunya, dan ia kembali dirundung rasa penasaran ketika matanya menangkap pemandangan dua mata biru langit Naruto yang bersinar seperti beberapa menit yang lalu.

    Sang ahli waris Klan Gremory itu terus mengawasi dengan teliti sementara mata yang bersinar itu kembali meredup sebelum pemiliknya melepaskan napas lega. Naruto mengulurkan satu tangannya, yang kemudian ia gunakan untuk menepuk pipi Issei. "Oi, Issei," setelah beberapa tepukan yang tak memberi hasil, Naruto meraih kerah Issei, mengangkatnya, lalu menampar pipinya sambil menghardik dengan kencang. "Oi! Issei!"

    "Ah-auh, a-apa yang—?" Issei duduk dan mulai bicara terbata-bata, namun kelihatannya kehilangan banyak darah menjadikan remaja berambut cokelat tua itu masih berada dalam kondisi tak optimal dan membuatnya kembali oleng. Untungnya, sebelum ia rebah kembali ke tanah, Naruto sudah terlebih dahulu mengulurkan tangannya untuk menopang berat tubuh Issei. "N-Naruto-san...?"

    Sembari menghembuskan napas panjang, Naruto menggunakan tangannya yang bebas untuk merogoh tas pinggangnya, mengeluarkan sebuah pil kecil berwarna hitam yang ia sodorkan ke arah teman sekelasnya dengan sebuah perintah singkat. "Telan ini."

    Wajah Rias berkeriut curiga, namun Issei hanya mengamati pil itu untuk beberapa saat sebelum menelannya tanpa keraguan. Tanpa perlu menunggu lama, Rias mendapat bukti efek obat itu dalam bentuk wajah Issei yang semula agak pucat kini berwarna sehat lagi. Issei, dengan wajah yang terkagum-kagum, langsung melompat berdiri, menggerakkan tubuhnya seakan-akan sedang mengetes apakah obat itu benar-benar memiliki fungsi yang ia pikirkan. "Wow..." ia mendesah pelan, sebelum menghadap Naruto dengan mata berkelip. "Tubuhku jadi segar lagi!"

    Naruto ikut menegakkan tubuhnya sembari tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu."

    Issei mengangguk bersemangat. "Naruto-san, pil apa itu tadi?"

    "Zouketsugan (Blood Increasing Pill)," Naruto menjawab singkat. "Berguna untuk mempercepat fungsi sumsum dalam memproduksi darah sampai beberapa kali lipat." Ia mencubit dagunya. "Dan karena kau seorang Iblis, konstitusi tubuhnya juga lebih bagus dari manusia, sehingga Zouketsugan jadi bekerja lebih cepat dari biasanya."

    Tangan Naruto tiba-tiba berkelebat untuk menutup mata Issei, membuat teman sekelasnya itu berkaok kaget. "Dan kau." Tanpa menoleh, Naruto memakai tangannya yang lain untuk menunjuk ke arah Rias. "Aku sudah mengerti sekarang kalau kau adalah cewek yang tak tahu arti kesopanan, tapi bisa tidak tutupi tubuhmu sebelum kau membuat Issei mimisan dan pingsan lagi?"

    Pertama kalinya diperlakukan dan mendapat sebutan seperti itu, wajah Rias mulai merona sampai-sampai kulit lehernya ikut berwarna merah. "K-k-kau...!" ia terbata untuk yang kesekian kalinya.

    "Sudah, sudah, sudah," Akeno berjalan ke tengah-tengah dua remaja yang kelihatannya takkan puas bertengkar itu. "Namikaze-kun, tolong maafkan tingkah Buchou. Dan Buchou, kau bisa masuk angin dengan baju terbuka seperti itu."

    "Pengkhianat!" Rias berteriak kesal sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah wajah Akeno. "Akeno, kenapa kau malah membuat seakan-akan aku yang salah sih?!"

    "Sudah, sudah, sudah," Akeno kembali mengulangi sambil berusaha menahan tawa. Sesungguhnya, ia mengucapkan kalimat itu karena sudah sangat lama ia tidak pernah lagi melihat Rias hilang ketenangan, dan kesempatan untuk mengusik ketua klubnya itu adalah sebuah kesempatan emas dan langka yang tak boleh ia lewatkan.

    Wakil ketua Occult Kenkyu-bu itu menghadap orang yang mengisi peran Ksatria di Peerage Rias. "Kiba-kun, bisa tolong pinjam jasmu?" dengan cepat ia berbalik ke anggota klub laki-laki yang lain ketika ia melihatnya mulai buka mulut. "Ise-kun, sebelum kau protes, tolong ingat kalau kau tadi berbaring di genangan darah mimisanmu sendiri."

    "Ini, Akeno-san."

    "Terima kasih, Kiba-kun," Akeno menerima jaket itu dan membawanya ke Rias. Ketika ia melihat ketua klubnya itu mendelik dengan hidung yang kembang kempis, Akeno kembali terkikik geli. "Sudah, sudah. Kalau kau marah-marah terus nanti kau cepat keriput lho, Buchou."

    Setelah pemandangan dada Rajanya yang besar tertutup sempurna, Akeno berbalik dan melihat bahwa Naruto telah berhenti menutup pandangan Issei serta bagaimana remaja berambut cokelat itu melempar tatapan penuh nestapa ke arah temannya dengan mata berkaca-kaca, membuat Naruto menghela napas panjang sebelum menjentik dahi Issei dengan jari telunjuknya.

    Naruto mengedarkan pandangannya satu kali sebelum mengangguk. "Kalau begitu, sampai ketemu."

    "Ah, Namikaze-kun," Akeno memanggil remaja yang sudah berbalik dan sudah dalam proses melangkahkan kaki itu. "Sebenarnya, Buchou sudah mencari-carimu sejak kemarin, jadi bisakah kau menunggu sebentar lagi untuk mendengar apa yang dia inginkan?"

    Naruto membalas tatapan Akeno selama beberapa saat, lalu mengangkat bahunya dan kembali menghadap Rias. Ketika tak ada ucapan yang disuarakan walau waktu sudah berlalu beberapa saat sampai Naruto jadi tak sabar dan mulai mengetuk-ngetuk tanah dengan kakinya, Akeno menoleh ke arah ketua klubnya dengan dahi yang sedikit berkerut. "Buchou?"

    "Aku tahu!" Rias menjawab balik dengan suara yang agak terlalu nyaring. Gadis berambut hitam panjang yang dikuncir itu melihatnya menarik napas, sebelum berjalan ke depan Akeno. "Namikaze Naruto," ia mengangkat wajahnya sedikit dan mengacungkan telunjuknya ke arah Naruto. "Aku mau penjelasan."

    Mendengar tuntutan itu, mata Naruto menyipit seperti telah tersinggung. "Dan kau pikir kau itu siapa, berani menyuruh-nyuruhku seperti ini?"

    "A-anu, Naruto-san," Issei menarik perhatian teman sekelasnya itu, tangannya mengusap belakang kepalanya. "Kau tidak tahu siapa Buchou?"

    "Aku tahu kalau namanya Rias Gremory, dan dia seorang Iblis." Alis Naruto bertaut. "Memangnya ada hal lain yang harus kutahu selain itu?"

    "Naruto-san," Issei meraih bahu Naruto, wajahnya serius bukan buatan. "Kau lihat dua gadis muda di depanmu?" ia mengibaskan tangannya yang bebas ke arah Rias dan Akeno. "Persembahkan, Rias Gremory dan Himejima Akeno~! Dua gadis paling cantik dan terkenal di seantero Akademi Kuoh!"

    "...Lalu?"

    "Ck, ck, ck. Kau masih belum mengerti, Naruto-san," Issei berdecak dan menggoyang-goyangkan jari telunjuknya sebelum merangkul bahu Naruto. "Lihatlah paras mereka yang menawan, tak ubahnya bidadari yang turun dari khayangan. Lihatlah rambut mereka yang lurus dan halus, seperti sutera kualitas tertinggi yang selalu menjadi dambaan. Lihatlah kulit mereka yang mulus, putih bagaikan susu dan membuat air liur menetes bagi siapapun yang memandang!"

    "Dan yang paling penting, lihatlah dada mereka yang besar dan kencang, begitu anggun dan lembut! Teramat menawan! Sungguh menakjubkan!" binar mata Issei seakan-akan membuatnya seperti bercahaya. "Berteriaklah denganku, Naruto-san! Nyanyikan pujian untuk dua gadis yang menjadi berkah bagi semua kaum Adam!" Ia mengacungkan tinjunya ke langit. "Hidup Oppai!"

    Namun selama apapun ia menunggu, yang menjawab Issei hanyalah hening. Manusia yang dibangkitkan kembali sebagai bangsa Iblis itu menoleh, dan melihat bahwa Naruto hanya memandanginya dengan aneh.

    "...Sekali lagi, Naruto-san. Ikuti ucapanku!" Issei meninju langit lagi. "Hidup Oppai!"

    Sunyi.

    Issei tak mau menyerah. "Hidup Oppai!"

    Sepi.

    "HIDUP OPPAI—Guoh!"

    Issei terjungkal ke belakang ketika Naruto tiba-tiba menyundul dahinya. Ia merintih kesakitan sebelum tubuhnya kembali tertarik ke depan, kerahnya dicekal oleh Naruto.

    "Kau ini bego ya?!" Naruto berteriak tepat ke wajahnya. "Memangnya apa peduliku kalau mereka punya dada besar, hah?!"

    "T-tapi...! Tapi...!" Issei terbata, lalu mengucapkan satu-satunya kata yang muncul ke kepala. "Oppai!"

    "Makanya tadi kutanya, KAU INI BEGO YA?!" hardik Naruto sambil mengguncang-guncang tubuh Issei.

    "Oppai!"

    "Jawab pertanyaanku!"

    "Oppai!"

    "Kenapa kau juga malah ikut jadi kaset sendat seperti bosmu sih?!" Naruto berteriak kesal sekali lagi, melepaskan kerah Issei dan membiarkannya jatuh terduduk di tanah, sebelum memijit batang hidungnya. "...Ya Tuhan, kenapa semua orang yang kuanggap teman otaknya nggak pernah ada yang beres? Salahku apa, Ya Tuhan~?"

    Naruto menarik napas panjang beberapa kali sebelum ia berjongkok di depan Issei. "Issei, dengarkan aku sebentar, oke?" Ia menampangkan telapak tangannya ke depan wajah Issei. "Pertama, lihat tangan ini." Dia lalu menunjuk ke arah Rias dan Akeno. "Kedua, perhatikan ukuran dada mereka." Issei mengangguk, matanya terfokus pada dada Rias dan Akeno secara bergantian. "Terakhir, aku ini orangnya tidak suka hal-hal yang berlebihan." Issei kembali memandang Naruto. "Nah, Issei, kaukira dada ukuran jumbo seperti itu bisa muat untuk tanganku yang cuma sebesar ini?"

    "..." Issei diam. "...Oppai!"

    "Brengsek!" Naruto kalap dan mencekik leher Issei. "Kau dengar aku ngomong atau nggak sih?!"

    Sementara itu, orang-orang yang mengamati interaksi dua teman sekelas itu memiliki reaksi yang bermacam-macam. Rias menggantikan peran Issei sebagai anggota yang hanya bisa cengok seperti orang dongo. Kiba yang tadi sempat sembuh sekarang sudah jatuh bersujud dengan dahi menyentuh bumi, satu tangan digunakan untuk menutup mulut dan satunya lagi memukul-mukul tanah. Koneko mengepalkan tangannya kuat-kuat sambil buang muka, gemetaran bahunya kini terpampang jelas.

    "Ara, ara," dari keempat pengamat itu, hanya Akeno yang berhasil mempertahankan ketenangannya. "Namikaze-kun, biarpun sekarang Issei sudah jadi Iblis, dia tetap bisa mati kalau kau terus mencekiknya seperti itu lho."

    "Oh," Naruto melepaskan Issei yang mulutnya mulai berbusa dan wajahnya sudah membiru, membiarkan cowok berambut cokelat itu terkapar di tanah untuk yang kedua kalinya malam itu. "Maaf."

    "Uhuhuhu, tidak masalah," tepis Akeno dengan ringan. "Akan tetapi, mendiskusikan soal dada perempuan di depan orang yang dibicarakan? Tak disangka, ternyata Namikaze-kun juga punya sisi mesum."

    "Ya aku kan juga cowok remaja! Wajar kan kalau aku juga jadi korban hormon!" cetus Naruto dengan defensif. Namun pemuda itu berhasil mengontrol dirinya dengan menutup mata dan menghela napas untuk kesekian kalinya. Desahannya terdengar lelah. "...Tapi kau benar, dan aku minta maaf kalau aku sudah membuatmu tersinggung. Aku hanya belum tidur dua hari ini."

    "Dua hari belum tidur, katamu?" Informasi baru itu membuat Rias berhasil sembuh dari penyakit bengong. "Memangnya apa yang sudah kaulakukan dua hari ini?"

    "Yah..." Naruto menggaruk belakang kepalanya sambil buang muka ke samping. "...Ini dan itu."

    "Kau ini..." Rias menggeram.

    "Oke, oke, aku mengerti," Naruto mengangkat tangannya dengan pasrah. "Tapi sebelum itu, dan aku minta maaf dulu, aku sebenarnya sudah capek banget nih. Jadi kalau kita mau bicara, bisa nggak kita lakukan di tempat lain? Paling tidak tempat yang ada kursinya supaya aku bisa duduk dan santai sedikit."

    "Hmm. Ide bagus," Akeno mengusap dagunya. "Buchou, bagaimana kalau kita pulang ke ruang klub dulu sebelum melanjutkan?"

    "Tapi sihir transportasi kita tak bisa membawa manusia seperti dia," sahut Rias. "Masa kita harus jalan kaki sampai ke sekolah sih?"

    "Oh, jadi tujuan kita Akademi Kuoh ya?" tanya Naruto. "Aku punya solusi kalau begitu."

    "So-solusi?" Issei berdiri sambil mengurut lehernya.

    Naruto mengangguk. "Jadi tolong ngumpul di sini dulu," Naruto menunggu Rias dan Peerage-nya tiba di sisinya sebelum memegang bahu Issei. "Lalu pegangan seperti ini," Issei menurut dan meniru Naruto dengan memegang bahu Rias, Rias ke Akeno, Akeno ke Koneko, dan terakhir Koneko ke Kiba. Naruto tersenyum tipis. "Karena ini pengalaman pertama kalian, akan lebih baik kalau kalian tahan napas."

    Mereka melihat Naruto mengangkat tangannya dalam posisi seperti apa yang sering mereka lihat di film-film ninja, telunjuk dan jari tengah teracung sementara jari yang lain terkepal. "Hiraishin!"

    Pandangan mereka dipenuhi oleh cahaya keemasan untuk sesaat, dan detik berikutnya, Akademi Kuoh sudah ada di depan mata.

    "...Eh?" Rias dan Akeno berucap bersamaan.

    Issei nampak limbung, dan ia mungkin sudah jatuh kalau Naruto tidak memeganginya. "Uooh..." ia mengerang. "Aku mual..."

    "Oh, sori, memang sering terjadi untuk orang yang baru pertama kali kubawa dengan jurus ini," Naruto merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah permen mint. "Nih makan. Pasti langsung baikan."

    Naruto memperhatikan Rias dan sisa Peerage-nya sebelum berjalan ke arah Koneko, satu-satunya orang selain Issei yang kelihatannya menderita efek samping Hiraishin. Shinobi pirang itu mengeluarkan satu permen lagi dan menyodorkannya ke arah cewek bertubuh pendek itu. "Ini."

    Koneko mengambil permen itu dan memasukkan isinya ke dalam mulut, membuat wajahnya yang tadi sudah agak menghijau dengan cepat kembali sehat, mulutnya mengemut jajanan manis itu dengan sebuah senyum tipis.

    Tanpa disadari oleh pemiliknya, tangan kanan Naruto tiba-tiba terangkat dan ia mulai menggaruk bawah dagu Koneko. Tubuh gadis itu mengeras untuk sesaat, sebelum mulai menggeliat-geliat dan ekspresinya pun mulai melunak. Tak sampai lima detik, mata Koneko telah tertutup, bibirnya membentuk sebuah senyum simpul, dan tubuhnya sedikit condong ke depan untuk mempermudah akses bagi Naruto yang masih tak terlihat sadar dengan perbuatannya. Setelah kurang lebih seperempat menit berlalu, suara dengkuran halus terdengar dari dalam tenggorokannya.

    "Namikaze-san?"

    "Hmm?" Naruto mengumbang sembari menatap Kiba, orang yang memanggilnya. "Oh, kau... Kiba Yuuto kan? Ada apa, Kiba-san?"

    Kiba mengangguk. "Anu," Ia melirik ke arah Koneko yang masih memejamkan mata dan sudah mulai berjinjit-jinjit. "Kau sedang apa?"

    "Hm?" Naruto mengikuti arah tatapan Kiba dan memandang ke depannya. "Ah." Dia tersadar, sebelum menarik tangannya cepat-cepat. Ia tak melihat ekspresi kecewa di wajah Koneko karena Naruto sudah lebih dulu membungkukkan badannya sampai paralel dengan tanah. "Maaf! Aku benar-benar minta maaf! Aku tak tahu kenapa tanganku bergerak sendiri seperti itu!"

    Atau jangan-jangan itu cuma reaksi otomatis yang terbentuk karena dia sudah terlalu sering memanjakan Bijuu yang tersegel di perutnya dengan cara yang sama? Yah, memang besar kemungkinan kalau itulah alasannya, tapi Naruto tak mungkin bisa mengatakan itu tanpa membongkar rahasia tentang eksistensi Kurama.

    Mata Koneko tak pernah meninggalkan tangan kanan Naruto, tangan yang tadi sudah memanjakannya. "...Tidak apa-apa."

    "Hei, kau," Rias yang sudah tak lagi terpana mendekat dari samping. "Yang kau lakukan tadi, sihir apa itu?"

    "Sihir?" Naruto terkekeh. "Bukan sihir. Ninjutsu. Dan seperti yang kau dengar, namanya Hiraishin."

    "Ninjutsu?" dahi Rias berkerut. Jadi cowok pirang di depannya ini benar-benar seorang ninja? Tapi bukannya ninja itu cuma legenda? "Beritahu aku cara kerjanya."

    "Oi, oi. Kau pikir kita sedang ada di dalam manga?" Naruto menyeringai. "Mana mungkin aku mau mengungkap mekanisme jurusku hanya karena ada yang meminta."

    Tuntutannya yang ditolak seperti itu membuat Rias menggeram, giginya beradu dan hidungnya kembang kempis. "Kau ini..."

    "Sudah, sudah, sudah," Akeno kembali menengahi dua remaja yang entah mengapa seperti selalu siap untuk bertengkar itu. "Lebih baik kita pergi ke ruang klub dulu. Namikaze-kun, kau capek kan?" setelah melihat orang bertubuh sedikit lebih tinggi daripada lima orang lainnya itu mengangguk, ia berpaling ke Rias. "Buchou, kau tidak berniat meminjam jas Kiba-kun semalaman kan?"

    Sang ketua klub itu nampak enggan, seperti tak puas karena sesi adu mulutnya sudah disela begitu saja, namun akhirnya ia mengangguk.

    Akeno menepukkan tangannya dan tersenyum lebar. "Baiklah, apa lagi yang kita tunggu?"

    ~•~​

    Dan di sinilah mereka sekarang, di ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya lilin-lilin yang temaram. Di bawah penerangan remang-remang, bayangan yang tercipta dari lekukan-lekukan wajah Naruto semakin menekankan fakta bahwa ia memang benar-benar kelelahan. Mungkin itulah yang membuat Issei sering buka mulut tapi tidak buka-buka suara juga, karena ia tak tega mengganggu teman sekelasnya yang terlihat begitu letih dan kehabisan tenaga.

    Masalah itu berakhir ketika Naruto membuka mata, namun tatapannya masih terarah ke bawah, tidak memandang siapa-siapa. "Jadi, apa yang mau kalian tanyakan?"

    Setelah melewati lima menit hanya dalam diam, kesempatan untuk memecah kesunyian adalah sesuatu yang takkan Rias lewatkan. "Baiklah," ia bersandar ke tepi meja. "Pertama-tama, aku mau bertanya tentang apa yang terjadi tiga hari lalu di ruang OSIS."

    Naruto akhirnya mengangkat kepalanya untuk menoleh ke arah Rias. "Shitori-san bukanlah Iblis pertama yang kutemui." Ia menurunkan pandangannya lagi sembari mendesah pelan. "Sepanjang kehidupanku sebagai shinobi, setidaknya sudah ada tiga kali aku berselisih dengan bangsa Iblis, dan tak pernah satu kalipun aku bertemu dengan Iblis yang memiliki niat baik pada kaum manusia." Leher Naruto tertekuk seraya ia menunduk kian dalam, tangannya yang tadi bersidekap kini berganti menjadi mencengkeram lutut dengan begitu kuat sampai buku tangannya mulai memutih. "...Dan dari tiga kesempatan itu, hanya satu yang berakhir dengan happy ending."

    Seluruh ruangan terdiam, tak menyangka jawaban yang seperti itu. Rias sendiri harus menahan diri untuk tak terperangah. Tanpa sadar, dia telah bersikap naif. Jujur, awalnya ia hanya mengira bahwa Naruto berlaku seperti itu pada Sona dan anggota Peerage-nya karena asumsi yang didasarkan pada pengetahuan dari kitab-kitab religius. Rias tak pernah menyangka bahwa Naruto telah bertemu, bahkan berurusan langsung dengan kaum Iblis. Terlebih lagi, jika melihat bagaimana Naruto mencengkeram lututnya sampai seperti itu, entah mengapa Rias sama sekali tidak ragu bahwa apa yang dialami Naruto memang benar-benar sesuatu yang tak menyenangkan.

    Serta jika menilik perkataan Naruto bahwa Iblis yang ia temui tak memiliki niat baik pada kaum manusia, serta bagaimana ia menyampaikan bahwa dua dari tiga kesempatan itu berakhir buruk, Rias mengerti bahwa di sana ada implikasi bahwa telah ada korban yang jatuh.

    Merasa makin penasaran, Rias berusaha menggali lebih jauh. "Pengalaman seperti apa yang kaubicarakan?"

    Tubuh Naruto mengeras sesaat. "...Bisakah kita lewati saja topik ini?"

    "Oh, ayolah, Namikaze-san," Kiba mencoba membujuk. "Aku yakin apapun yang kau alami pasti tidak seburuk itu."

    Kepala Naruto terangkat dan berputar ke arah Kiba dengan begitu cepat, dan sorotan matanya yang setajam belati membuat nyali sang Ksatria ciut sesaat, kakinya tanpa sadar mengambil satu langkah mundur.

    "...Tiga ratus lebih," Naruto mendesis. "Tiga ratus lebih manusia dibantai habis dalam waktu dua hari dua malam." Sorotan matanya menjadi kian tajam, dan sinar kemarahan yang tersimpan di dalamnya tak dapat diabaikan. "Oh ya, memang tidak seburuk itu. Malah, mungkin di mata seorang Iblis sepertimu, itu tidak buruk sama sekali." Ia mengakhiri dengan sinis.

    Kiba mengalihkan matanya, tak mampu lagi membalas tatapan Naruto yang jujur membuat ia ingin kabur dari ruangan itu. "...A-aku minta maaf, Namikaze-san."

    Naruto menghempaskan punggungnya ke bantalan sofa yang empuk sambil mendesah panjang. "Tidak, aku yang seharusnya minta maaf," ia mulai memijit pelipisnya. "Kau tidak tahu seperti apa kejadiannya, jadi wajar kalau kau mengira bahwa aku hanya melebih-lebihkan."

    Kiba mengangguk, kini merasa sedikit lega. "Tidak apa-apa, Namikaze-san. Aku juga salah."

    "A-anu, Naruto-san," Issei menarik perhatian Naruto. Wajahnya jelas menunjukkan rasa takut, tapi kelihatannya rasa penasaran masih menang. "Bisa kau jelaskan apa yang terjadi?"

    "...Sekelompok anak muda yang terlalu menyukai hal-hal gaib mencoba melakukan ritual untuk memanggil setan dari alam lain. Ritual yang memerlukan tumbal." suara Naruto kini telah menjadi begitu rendah sampai hampir bisa dibilang hanya tinggal geraman. "Kalian mau tahu apa tumbal yang mereka pakai?" Tangan Naruto kini terkepal sampai buku jarinya berderak. "Janin."

    Mereka semua tersentak, tak ada satupun wajah mereka yang tidak memucat.

    "Kalian tahu apa yang lebih menjijikkan lagi? Para anak muda yang mungkin sudah tak waras itu berpikir bahwa akan lebih baik kalau mereka memakai tumbal segar. Dengan kata lain, janin hidup." Bahkan di bawah cahaya remang-remang sekalipun, bisa terlihat bahwa paras Rias dan semua anggota Peerage-nya sudah hampir kehilangan rona sehat. "Dan kalau itu masih belum cukup, kalian tahu metode mengerikan apa yang mereka pakai untuk memastikan bahwa janin itu masih segar? Mereka mengambilnya secara langsung dari ibu hamil yang sama sekali tidak dibius."

    Issei mengeluarkan suara tersedak. Remaja berambut cokelat itu melesat ke kamar mandi, di mana sedetik kemudian, terdengar suara muntah yang bergema di ruangan klub yang kini sunyi.

    Seakan tak peduli, Naruto meneruskan, "Gilanya, ide mereka membuahkan hasil. Ritual yang mereka laksanakan memang sukses." Ia berhenti sebentar. "...Terlalu sukses, malah."

    Rias menelan ludah yang terasa sangat kental, dan bertanya dengan suara kecil. "...A-apa yang terjadi selanjutnya?"

    "Seperti yang kukatakan di awal tadi, tiga ratus nyawa manusia melayang. Penduduk seluruh desa habis dalam waktu dua hari dua malam." Naruto menutup matanya seraya menarik napas panjang seakan-akan mengumpulkan kekuatan. "...Sayangnya, Iblis itu tak hanya berhenti sampai di situ, karena ketika aku dan Shishou-ku tiba di sana, kami menemukan fakta lain."

    "...Fakta apa?" kali ini, Akeno yang bertanya.

    "Iblis itu punya kemampuan untuk mengendalikan mayat yang ia bunuh," suara Naruto sekarang hanya sedikit lebih nyaring dari bisikan. "Tiga ratus lebih penduduk desa dia ubah, hanya saja, tidak seperti kalian, dia membangkitkan mereka sebagai mayat hidup dan bukannya bangsa Iblis. Tak ubahnya boneka-boneka wayang yang dikendalikan oleh seorang dalang." Tarikan napas Naruto yang selanjutnya terdengar lebih dalam dan tajam. "Lebih buruknya lagi, walaupun tubuh inang Iblis itu dihancurkan, dia bisa dengan mudah melompat ke tubuh lain yang ada di bawah kontrolnya. Jadi untuk menghabisi Iblis itu, kami juga harus membasmi habis semua mayat hidup yang ada di sana."

    Jeda sejenak kembali tercipta. Baik itu Rias, Akeno, Kiba, apalagi Koneko, tak ada yang berani membuat suara.

    "...Dari jumlah tiga ratus lebih mayat hidup yang kusebutkan, seratus sebelas di antaranya adalah anak-anak," Rias dan Peerage-nya kembali berjengit, tak hanya dari informasi yang mereka dapatkan, tapi juga nada sarat kesedihan yang tersimpan dalam suara Naruto. "Dari seratus sebelas anak-anak, empat puluh tujuhnya adalah balita," Rias dan Akeno mengeluarkan suara terisak secara bersamaan, mata Koneko telah melebar sempurna, dan Kiba buang muka ke samping sembari menggertakkan gigi dan mengepalkan tangannya kuat-kuat.

    "Dan dari empat puluh tujuh balita, dua puluh dua di antaranya adalah bayi. Bayi yang usianya tak mungkin lebih dari tiga tahun. Bayi, yang juga harus kuhabisi." Ketika ia bicara kembali, suara Naruto seperti orang yang sedang menahan tangis. "Itulah pengalaman pertama, sekaligus pengalaman terburukku dalam berurusan dengan kaum Iblis. Misi yang awalnya hanya untuk menyelidiki kenapa pemerintah setempat kehilangan kontak dengan sebuah desa, akhirnya berubah jadi malapetaka." Ia diam sesaat, dan menambahkan dengan suara sangat kecil yang tak lebih dari sebuah bisikan. "...Saat itu terjadi, aku baru berusia tiga belas tahun."

    Dan mereka kembali terguncang, mata mereka bergerak ke arah pemuda yang kini duduk tertunduk dalam-dalam sampai wajahnya tak lagi terkena cahaya. Rias akhirnya mengerti kenapa pandangan Naruto pada kaum Iblis bisa jadi seburuk itu. Dia tak bisa lagi menyalahkan Naruto yang telah bereaksi dengan begitu kasar ketika Sona mengungkapkan bahwa dia adalah seorang Iblis. Dia bahkan bisa mengatakan bahwa reaksi Naruto masih bisa dibilang cukup enteng, karena dengan pengalaman semengerikan itu, Rias merasa Sona masih beruntung karena Naruto hanya mendampratnya secara verbal, dan bukannya dengan kekerasan fisik.

    Naruto mendongak sebelum mengalihkan tatapan ke arah Rias, dan sang ketua klub mau tak mau harus meringis karena mata biru langit itu sekarang seakan-akan sudah kehilangan sinar hidupnya. "Kau sekarang mengerti kan, kenapa aku mengatakan apa yang kukatakan pada Shitori-san?"

    Rias hanya mengangguk, tak tahu lagi apa yang bisa ia katakan.

    ~•~​

    Setelah penjelasan itu, Akeno cepat-cepat mengusulkan agar mereka istirahat sesaat. Namun Rias melihat bahwa ketika Akeno berbalik dengan alasan untuk membuat teh, setetes cairan mengalir dari sudut mata sahabat yang sekaligus mengisi peran sebagai Ratu dalam Peerage-nya itu. Koneko berdiri dari tempat duduknya di sofa dan mengambil tempat di samping Naruto, seakan-akan gadis muda bertubuh kecil yang menjadi maskot Akademi Kuoh itu berusaha menghibur si remaja pirang dengan kehadirannya.

    Kiba mengambil alih tempat duduk Koneko, menyandarkan punggungnya ke sofa sembari menutup mata dan mulutnya rapat-rapat. Issei keluar dari kamar mandi dan duduk di tempatnya semula tanpa suara maupun komentar, berusaha bersikap seakan-akan dia tidak apa-apa. Namun Rias tahu, bahwa dia juga mendengar sisa penjelasan Naruto, tidak hanya karena sebagai seorang Iblis, pendengaran Issei jauh lebih baik dari manusia, tapi juga dari bagaimana Pion itu terus mencuri pandang ke arah teman sekelasnya yang telah kembali tertunduk dengan tatapan berisi campuran khawatir dan kasihan.

    Tanpa perlu menunggu lama, Akeno kembali ke meja itu dengan sebuah talam perak dan enam cangkir berisi teh hijau panas. Mereka semua mengambil cangkir masing-masing, kecuali Naruto dan Kiba.

    "Kiba-kun, Namikaze-kun," Akeno memanggil mereka dengan suara halus. "Aku sudah membuatkan teh. Ayo diminum sebelum dingin."

    Kiba adalah yang pertama menuruti saran Akeno, namun mereka melihat bahwa pemuda itu sudah tidak lagi tersenyum sebagaimana biasanya. Mereka terus menunggu gerakan dari si pirang yang satunya lagi, tapi Naruto terus diam tanpa menjawab, seakan-akan ia sedang tenggelam dalam dunianya sendiri dan kehilangan kontak dengan dunia luar.

    "Namikaze-kun," Akeno meraih bahu Naruto. Dan baru setelah kontak fisik itulah, Naruto tersentak dan kembali sadar dengan dunia sekeliling. "Aku sudah membuatkan teh."

    "A-ahh," Naruto mengangguk. Tak ada satupun orang di ruangan itu yang berkomentar ketika mereka melihat matanya yang merah dan sedikit basah. "Terima kasih, Himejima-san."

    "Kau bisa memanggilku Akeno, Namikaze-kun."

    Naruto berhenti bergerak ketika cangkir di tangannya baru setengah jalan menuju bibirnya. "...Mungkin nanti, Himejima-san." Sahutnya pelan. "Mungkin nanti."

    Akeno hanya mengangguk, sadar bahwa mendorong lebih lanjut malah bisa memperburuk situasi.

    "...Kuakui kalian berbeda," saat teh mereka sudah habis setengah, Naruto tiba-tiba mulai bicara, dan kembali menarik perhatian Rias dan Peerage-nya. "Kalian berkata bahwa kalian adalah kaum Iblis, tapi dari apa yang kalian katakan dan lakukan, serta apa yang kurasakan dari kalian, aku tak bisa menemukan kesamaan dengan Iblis-Iblis lain yang sudah kutemui kecuali fakta bahwa kalian juga memakai Youki."

    Rias meletakkan cangkirnya di atas meja dan menyela. "Kau bisa merasakan Youki?"

    Naruto mengangguk. "Sedikit. Perlu pancaran Youki yang kuat, seperti kalau kalian memakai sihir, bagiku untuk merasakannya dari jauh, dan jarak itupun tidak seberapa. Kalau kalian tidak menggunakan kekuatan khusus atau sihir, seperti saat ini," kata Naruto sambil mengisyaratkan ke sekeliling dengan tangannya yang bebas. "Maka aku perlu berada dalam jarak sedekat ini sebelum bisa merasakan Youki kalian."

    Naruto diam sesaat sebelum meneruskan penjelasannya. "Iblis yang kutahu, selalu tak jujur dalam setiap ucapannya, dan meskipun kadang ada kebenaran yang mungkin keluar dari mulut mereka, pasti itu adalah sesuatu yang mereka katakan demi kepentingan mereka sendiri. Iblis yang kutahu, selalu memiliki niat jahat di balik setiap perbuatannya, dan walau kadang manusia bisa menyalah artikan tindakan mereka sebagai bantuan atau kebaikan, pasti selalu ada akal bulus yang melatarbelakanginya," Naruto mengedarkan pandangan. "Tapi aku tak bisa menemukan sedikitpun kelicikan atau kejahatan dari diri kalian. Dan itu membuatku bingung. Bingung dan ragu."

    "Aku ingin tahu. Aku ingin memastikan apakah semua yang kuketahui tentang kaum Iblis bisa diaplikasikan juga pada kalian atau tidak. Aku ingin tahu apakah Shitori-san telah berdusta padaku, atau dia telah berkata sebagaimana adanya dan aku telah keliru dalam semua perkataan yang kuucapkan padanya." Naruto menenggak habis teh di cangkir sebelum meletakkannya ke meja. "Itulah kenapa dua hari ini aku tak masuk sekolah. Dan aku belum tidur selama dua hari, juga karena alasan itu."

    "Jadi..." Issei memulai. "Kau sedang... melakukan penyelidikan, begitu?"

    Naruto mengangguk lagi. "Seperti yang kuberitahu tadi, walau terbatas, aku bisa merasakan Youki," Naruto meneruskan. "Jadi selama dua hari ini, aku berkeliling kota, mencari dan menemui orang-orang yang memiliki bekas Youki, orang-orang yang kemudian kuketahui telah membuat kontrak dengan bangsa kalian. Namun tak satupun orang yang kutemui mengalami perubahan berarti. Mereka tetaplah manusia, masih dengan pribadi dan perilaku yang sama. Mereka bahkan mengatakan bahwa bangsa Iblis telah sangat membantu dengan mengabulkan permintaan yang mereka buat."

    "Info yang berguna, memang, tapi sayangnya belum cukup bagiku untuk merubah anggapan yang sudah begitu lama tertanam. Aku masih tidak yakin apakah mereka mengatakan semua itu berdasar dari pikiran mereka sendiri, ataukah perspektif dan jalan pikiran mereka yang sekarang hanya sesuatu yang difabrikasi."

    Rias mengangguk. Dia sendiri merasa tak percaya bahwa dia bisa merubah anggapan yang lahir dari pengalaman sebegitu mengerikan hanya karena informasi dari beberapa orang. Ia kemudian mengumpulkan tekad untuk bertanya. "Lalu, apa penyelidikan itu juga yang membuatmu berurusan dengan seorang Iblis Liar?"

    Naruto tampak bingung. "Iblis Liar?"

    "Iblis yang kau kalahkan di bangunan terbengkalai itu adalah apa yang kami sebut Iblis Liar. Mereka mengkhianati majikan mereka, dan berbuat seenaknya di dunia manusia." Kiba menjelaskan. "Itulah kenapa kami pergi ke tempat itu, karena kami ingin membasminya."

    Rias mencondongkan tubuhnya ke depan. "Sekarang, jawab pertanyaanku."

    "Ah," ucap Naruto singkat. "Kalau Iblis Liar itu... sebenarnya kutemukan tanpa sengaja." Leher Naruto tertekuk lagi. "Siang tadi, aku didekati oleh seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun yang ingin meminta bantuan setelah melihat selebaran yang kupasang di sebuah tiang listrik—"

    "Tunggu dulu, selebaran?" tanya Rias. "Selebaran apa?"

    "Selebaran yang kupakai untuk mencari kerja," sahut Naruto sambil merogoh tas pinggangnya, mengeluarkan sebuah kertas terlipat yang ia sodorkan ke sang ahli waris Klan Gremory.

    Rias membaca selebaran itu sementara Akeno mengambil giliran untuk bertanya. "Kau mencari informasi sambil mengedarkan selebaran?"

    "Untuk menemukan orang-orang itu, aku juga harus keliling kota, jadi kupikir sekalian saja." Naruto mengangkat bahu. "Lagipula, salah satu pelajaran yang diberikan oleh Shishou-ku adalah shinobi harus bisa membuat setiap tindakan atau kegiatannya seefektif dan seefisien mungkin. Dengan kata lain, multi-tasking."

    Rias meletakkan selebaran itu di atas meja kerjanya dan kembali memberi isyarat pada Naruto agar melanjutkan penjelasannya.

    "Anak itu memberitahuku bahwa adiknya yang baru kelas empat SD tidak pernah pulang ke rumah sejak kemarin. Orangtuanya sudah lapor polisi, tapi saat melihat selebaranku, anak itu memutuskan untuk meminta bantuan."

    "Pasti dia berpikir bahwa ninja lebih hebat daripada polisi dalam soal mencari orang hilang." Kata Issei dengan bersemangat.

    Sementara itu, Rias dan Akeno bertukar pandang, merasa sedikit curiga dan mulai sadar ke mana arah pembicaraan ini.

    "Mungkin," sahut Naruto dengan wajah datar. Ia kembali merogoh tas pinggangnya, dan mengeluarkan sebelah sepatu berukuran kecil. "Sepatu kanan ini ditemukan di depan salah satu taman yang ada beberapa blok dari SD tempat anak itu sekolah. Aku mencurinya dari kantor polisi."

    Issei terperangah. "Wow, Naruto-san, kau bisa dengan santainya mengakui kalau kau sudah mencuri dari polisi."

    Naruto mengangkat bahu lagi. "Aku punya cara untuk melacak ke mana gadis kecil itu pergi dengan mengamati jenis, ukuran, dan bentuk sol sepatu yang terakhir kali ia pakai." Kata Naruto sambil meletakkan sepatu itu di meja. "Lagipula, selama ini metodeku terbukti lebih efektif daripada usaha apapun yang dipakai oleh badan kepolisian. Jadi asal aku tidak ketahuan, tak ada salahnya kan?"

    Kemampuan khusus yang ia warisi dari Klan Namikaze, keahlian membaca Aksara Semesta, di mana Naruto bisa mengekstrak [Data] langsung dari Bumi melalui segala benda yang ada di atasnya, walaupun hanya sekedar jalan aspal. Akan tetapi, karena jalan itu pasti sudah ditapaki oleh ratusan orang lain, dia harus tahu jelas apa yang ia cari. Untung bagi Naruto, dengan bantuan informasi spesifik dari sepatu yang ia curi dari kepolisian, sangat mirip dengan memakai keyword di sebuah search engine, dari ribuan data yang ia [Baca] Naruto berhasil mendapatkan jejak yang benar dan mengikutinya.

    "Jejak yang kuikuti membawaku ke bangunan terbengkalai itu."

    Ekspresi bersemangat di wajah Issei langsung lenyap dalam sesaat. Koneko, Rias, dan Akeno tersentak sambil menarik napas yang tajam. Kiba menutup mata dan ekspresinya mengeras. Namun mereka semua mengalami satu reaksi yang sama, yaitu wajah yang memucat.

    "Anak lelaki yang menyewa jasaku memberiku ini agar aku bisa mengenali wajah adiknya dengan lebih baik," Naruto, yang kini ekspresinya sudah gelap, merogoh kantong kiri jaketnya dan mengeluarkan sebuah foto. Di sana ada seorang anak perempuan dengan rambut hitam legam yang dikuncir samping, lengannya memeluk seekor anjing berbulu putih. Dari senyumnya yang lebar, bisa terlihat satu gigi yang sudah tanggal. "Namanya adalah Makoto Mori, sepuluh tahun, kelas empat SD. Dia suka makan es krim dengan rasa vanilla. Hobinya membaca buku dongeng, serta memakai baju-baju berwarna cerah sambil berpura-pura bahwa dia adalah seorang putri raja. Dua hari lagi, orangtuanya telah berniat membawa Mori dan kakaknya ke Disneyland untuk merayakan ulang tahun Mori."

    Naruto merogoh tas pinggangnya dengan tangan kanan, dan kantong jaketnya dengan tangan kiri. Ia mengulurkan kedua tangan itu ke depan dan membukanya. Di tangan kanan, adalah sebuah sepatu bagian kiri yang hanya tinggal setengah. Di tangan kiri, sebuah kalung dengan liontin yang berbentuk hati.

    Dua benda itu berlumuran darah yang telah mengering.

    "Dua benda ini," kata Naruto dengan suara yang getir. "Adalah satu-satunya benda yang tersisa dari seorang anak bernama Makoto Mori."

    Di dua sisi Naruto, anggota wanita Occult Kenkyu-bu telah mulai mengalirkan air mata. Di depannya, Issei merosot ke belakang, punggungnya beradu dengan bantalan sofa, dan matanya melebar shock. Kiba kembali buang muka, tak mampu melihat dua benda di tangan Naruto, sambil menggertakkan giginya dan mencengkeram kelek sofa kuat-kuat sampai bantalannya melesak dan kayu yang menjadi fondasinya mengeluarkan suara berderak.

    "Oh, tidak..." Rias terisak, matanya yang basah terus menatap bergantian ke arah gadis kecil yang ada di foto dan dua benda berdarah yang menjadi bukti bahwa anak itu sudah tak ada lagi di dunia, kehilangan nyawa karena menjadi santapan anggota kaumnya yang memberontak. "Oh, tidak..."

    Akeno menggelosoh ke lantai, membiarkan air mata mengalir di pipi dan jatuh menetes dari dagu tanpa mampu bersuara. Dia mungkin masih bisa mengendalikan diri kalau yang menjadi korban adalah orang dewasa, tapi anak kecil? Anak kecil?

    Koneko menyembunyikan wajahnya di lutut yang sekarang ia peluk, matanya yang terus merembeskan cairan kini tertutup rapat-rapat, dengan tubuh yang gemetaran.

    Naruto mengumpulkan tiga benda yang ia keluarkan itu dan menyimpannya kembali, tas pinggang untuk sepatu dan kantong jaket untuk kalung. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan ke tengah ruangan sebelum berbalik hingga kini ia sudah menghadap ke semua anggota klub. "Aku tahu bahwa sebagai manusia, aku tak punya hak untuk menuntut apa-apa dari kalian. Tapi kuakui, keterbatasan kemampuanku untuk merasakan Youki juga merupakan penyebab ketidaktahuanku tentang Iblis Liar yang, jika melihat jumlah korban yang sudah ia santap, sudah berhari-hari ada di kota ini," semua pasang mata terarah pada sang pemuda pirang yang kini membungkuk dalam-dalam. "Kalian semua adalah bangsa Iblis, dan itu berarti kalian pasti lebih ahli dalam merasakan Youki daripada seorang manusia sepertiku. Karena itu, kumohon, kumohon, jika kalian menemukan Iblis Liar lain yang muncul di kota ini, atau apapun yang bisa mengancam keselamatan orang tak bersalah, tolong kabari aku. Aku akan berusaha melakukan apa yang kubisa untuk membantu."

    "Aku akan sangat berterimakasih kalau kalian mengabulkan permohonanku." Naruto menegakkan diri dan mengucapkan satu kalimat lagi sebelum berbalik. "Selamat malam." Dan dengan itu, ia mulai melangkah ke arah pintu.

    "T-tunggu, Naruto-san!" Issei berseru ketika Naruto meraih kenop pintu dan membukanya. "Kau... apa yang akan kau lakukan setelah ini...?"

    Naruto tidak berbalik, namun entah kenapa, ketika sosoknya dimandikan oleh cahaya bulan yang menembus kaca jendela di lorong, aura letih dan lelah bisa terlihat dari bahunya yang merosot dan kepalanya yang sedikit tertunduk, perasaan yang semakin diperkuat oleh senyum sedih yang mereka tahu kini pasti sedang terpampang di wajahnya.

    "Pekerjaanku masih belum selesai, Issei," shinobi pirang itu berkata dengan suara yang pelan dan letih. "Aku masih harus mengabari keluarga Makoto tentang apa yang telah terjadi pada Mori."

    Seraya pintu berayun tertutup, mereka mendengar Naruto berbisik pada dirinya sendiri, dengan suara yang begitu kecil dan halus sampai-sampai telinga Iblis mereka yang sangat jeli saja takkan bisa menangkapnya kalau mereka tidak mendengarkan baik-baik.

    "...serta menghadapi kenyataan bahwa aku gagal menyelamatkan satu orang lagi..."

    ~•~​

    Tepat setelah ia melewati gerbang Akademi Kuoh, sebuah suara yang familier kembali muncul dalam benak Naruto.

    'Goshujin-sama baik-baik saja?'

    'Mmm...' Naruto menjawab tanpa gairah, tak yakin apakah ia harus memberi respon positif atau negatif. 'Aku baru saja memberitahu mereka salah satu episode terburuk dalam hidupku, Kurama. Salah satu memori yang seharusnya tetap menjadi rahasia. Apa kau pikir aku baik-baik saja?'

    'Tentu saja tidak,' Naruto tahu jawaban itu pasti disertai dengan gelengan kepala. 'Tapi Kurama juga tahu bahwa Goshujin-sama seharusnya tidak menyimpan beban sendiri.'

    '...Bukannya Ero-sennin, serta kau, Kurama, sudah tahu tentang hal itu?'

    'Kurama tahu, Goshujin-sama. Tapi Kurama juga tahu kalau akan lebih baik jika Goshujin-sama berbagi beban ini dengan orang selain guru mesum Goshujin-sama dan Kurama.'

    'Kurama, kau tahu kenapa aku tidak suka curhat! Kau bisa melihat reaksi mereka tadi lewat mataku kan?! Kau lihat sendiri, gara-gara ceritaku, mereka jadi ikut sedih!' Naruto berteriak dalam hati. 'Kau tahu aku tak suka membuat orang lain ikut merasakan sakit yang kurasakan, Kurama! Aku benci dikasihani!'

    Tapi Kurama juga tahu bahwa Naruto telah keliru mendeskripsikan perasaannya sendiri. Yang Naruto benci bukanlah dikasihani, dia hanya benci membuat orang lain khawatir. Dan mungkin hal itulah yang benar-benar paling Kurama khawatirkan tentang majikannya. Kurama tahu betapa Naruto sangat suka membantu orang lain. Naruto selalu dengan senang hati ikut memikul beban siapapun yang membutuhkan pertolongan. Akan tetapi, Naruto juga tak pernah rela membagi bebannya sendiri dengan orang lain.

    Tidak, Kurama tak merasa ada yang salah dengan sifat tak butuh pamrih semacam itu. Hanya saja, jika menyangkut majikannya, tidaklah cukup mengatakan bahwa Naruto cenderung tidak mementingkan diri sendiri, karena apa yang majikannya miliki adalah sesuatu yang jauh lebih ekstrim.

    Bukan 'cenderung', tapi 'terlalu sering'.

    Bukan 'tidak mementingkan diri sendiri', tapi 'menganggap dirinya tidak penting'.

    Naruto siap membiarkan dirinya ditusuk, dibacok, atau bahkan dicincang kalau itu demi melindungi orang lain, tapi dia tak rela orang lain terluka demi melindunginya. Naruto bersedia ikut memikul beban orang lain, tapi dia selalu menyimpan masalahnya sendiri dan tak pernah berbagi pedih yang tersimpan dalam jiwanya.

    Dia bisa dengan mudah menepis segala pedih dan derita yang ia rasakan asalkan hal itu ia lakukan demi menolong atau hasil dari menolong orang lain, tapi ia sama sekali tidak bisa terima kalau ada orang lain yang tersakiti karena dirinya.

    Kurama bahkan punya bukti untuk klaim itu, dan salah satunya adalah koneksi panca indera dan pautan mental yang ia miliki dengan Kurama. Walaupun hubungan tersebut sebenarnya sama sekali tidak menguntungkan Naruto, majikannya itu tetap dengan senang hati melakukannya demi Kurama. Untuk menjaga agar dua koneksi berbeda yang sangat sulit dilakukan itu tetap aktif, Naruto tidak boleh sampai lepas kontrol atas perasaannya. Karena sedikit saja salah satu emosinya melewati batas, tidak peduli itu senang, sedih, ataupun marah, maka salah satu koneksinya, baik itu hubungan panca indera atau pautan mental, yang sebenarnya berstatus sangat rapuh itu akan mengalami gangguan dan bisa putus seketika. Naruto tak cuma harus menjaga perasaannya, dia juga harus terus berkonsentrasi penuh sepanjang hari, menyebabkan Naruto jadi sangat sering sakit kepala dan seringkali harus minum aspirin untuk meredakannya tiap kali dia pulang ke rumah.

    Sifat Naruto ini membuat Kurama terpaksa harus menghadapi sebuah kontradiksi. Di satu sisi, sifatnya yang terlalu mementingkan orang lain alih-alih dirinya sendiri membuat Kurama sangat khawatir, bahkan takut, andai suatu hari Naruto mendapati sesuatu yang tak mampu ia hadapi, dan menjadi terluka atau bahkan mati karenanya. Tapi di sisi lain, pengorbanan tanpa protes dan tanpa mengharap terimakasih ataupun balasan inilah yang membuat sang Bijuu terkuat itu menjadi sangat, sangat, sangat menyayangi Naruto.

    Itulah kenapa, walau Kurama tak rela berbagi Naruto dengan siapapun, meski Kurama tak ingin agar Naruto dekat dengan orang lain selain dirinya, sekalipun Kurama ingin agar Naruto hanya menjadi miliknya seorang, kalau membuat Naruto bisa memiliki teman yang bisa menjadi tempat berbagi duka serta semua beban yang dipikul oleh jiwa majikannya, maka Kurama bisa memaksa diri untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tak ingin ia lakukan... sesuatu seperti menurunkan inhibisi Naruto yang membuat majikannya itu mau menceritakan salah satu pengalamannya yang paling mengerikan dengan si Iblis berambut merah dan Peerage-nya.

    Sang Jinchuuriki mungkin tak tahu bahwa Kurama bisa melakukan sesuatu seperti mengubah perasaan Naruto melalui pautan mental mereka, dan walau sebenarnya Kurama berhasil melakukan hal tersebut hanya karena mental Naruto sedang sangat kelelahan, personifikasi Kyuubi no Youko itu tak berniat untuk memberitahu sang majikan bahwa ia bisa melakukannya. Hanya dengan memikirkan bahwa Naruto mungkin bisa marah padanya kalau sampai rahasia ini ketahuan (hanya marah, karena biar bagaimanapun, Kurama tahu Naruto takkan pernah membencinya) sudah bisa membuat hati Kurama terasa seperti diiris sembilu, namun gadis perwujudan makhluk mistis itu tetap memaksa diri untuk meneruskan niatnya. Asalkan Kurama bisa membuat beban majikannya sedikit lebih ringan dan membuat senyumnya lebih sering terpampang, Kurama siap menerima hukuman apapun yang mungkin diberikan Tuhan.

    Sebagaimana Naruto yang dengan senang hati mengorbankan pikiran bahkan kesehatannya bagi membuat Kurama bahagia, Kurama siap mengorbankan harga diri dan keegoisannya asal itu bisa membantu majikannya. Sebagaimana Naruto yang selalu siap mati demi Kurama, Kurama juga siap membuang nyawa asal itu demi majikannya.

    "Kurama...? Oi, Kurama...?!"

    Suara Naruto membuat renungan Kurama buyar. Suara majikannya itu terdengar panik, dia bahkan tidak lagi menggunakan pautan mental mereka dan memilih memakai suaranya sendiri.

    "Kurama, aku tak bermaksud berteriak seperti itu...! Maafkan aku...!" Panik dalam suara Naruto mulai meninggi, dan sebelum Kurama sempat menjawab, emosi Naruto yang memuncak telah terlebih dahulu mendistorsi dan memutus pautan mental mereka. "Kurama, tolong katakan sesuatu...! Jawab aku...! Kumohon... jangan diam saja!"

    Dari hubungan panca indera yang masih bekerja, Kurama melihat bahwa majikannya itu tengah berada di sebuah jalan terbuka. Dan walaupun hari telah larut malam dan sama sekali tak ada orang, jalan itu masih mungkin dilewati oleh manusia lain, suatu hal yang mungkin bisa membahayakan kerahasiaan yang harusnya ia jaga.

    Namun Kurama tak peduli.

    Ia memisahkan dirinya dari Youki yang tersegel di jiwa Naruto, satu-satunya loophole yang bisa ia pakai untuk membebaskan wujud aslinya dari Shiki Fuujin dan pergi ke dunia luar, secepat dan sesegera yang dia bisa. Pandangannya yang semula meminjam mata Naruto kini digantikan oleh pandangan dari matanya sendiri, dan dengannya, ia melihat bahwa sang Jinchuuriki Konoha itu telah berlutut di atas aspal dengan rasa takut memenuhi wajahnya yang sudah pucat pasi.

    "Kurama—!"

    Kurama tak membiarkan Naruto menyelesaikan apa yang ingin ia katakan, dia telah lebih dulu melangkah maju dan meraup kepala sang majikan ke pelukannya, membiarkan pemuda itu mengalungkan tangan ke sekeliling tubuhnya dan membenamkan wajah dalam-dalam ke perut Kurama.

    Tidak tidur selama dua hari, bekerja tanpa henti, serta menggunakan kombinasi dua puluh Kagebunshin yang dilengkapi Henge untuk membantunya, adalah tiga hal yang tak mudah dilakukan bahkan oleh shinobi berkemampuan tinggi. Dan jika itu belum cukup, ketika persediaan Chakra yang menjadi fondasi eksistensi para Kagebunshin itu habis di akhir hari kedua, semua ingatan dan pengalaman selama dua hari berturut-turut dalam kepala mereka merangsek masuk ke otak Naruto.

    Bahkan setelah semua itupun, hanya dengan tekad api dan baja, Naruto masih mampu mendorong dirinya untuk mengalahkan seorang Iblis Liar, bahkan memaksa dirinya untuk meladeni tingkah sekelompok Iblis remaja ketika dia sudah hampir pingsan karena lelah dari pertarungan. Kalau saja beban seperti itu terjadi pada orang lain, pasti mereka sudah lama kolaps, kalau tidak jatuh koma karena kelelahan fisik dan mental yang kelewat berat.

    Inilah kontradiksi kedua yang harus dihadapi oleh seorang Kurama. Tekad sekuat karang yang takkan goyah walaupun didebur oleh ombak ataupun badai, tekad yang tak pernah gagal membuat Naruto selalu berhasil melalui setiap cobaan maupun pertarungan yang akan ia akhiri dengan kemenangan, adalah salah satu kualitas Naruto yang membuat Kurama khawatir, tapi sekaligus semakin sayang pada majikannya.

    "Kurama, aku... aku tak bermaksud... aku tak tahu apa yang—"

    "Ssshh..." ia mengeratkan pelukannya dengan satu tangan sementara tangan yang lain ia pakai untuk membelai kepala Naruto. "Kurama tahu Goshujin-sama tak bermaksud mengatakan semua itu. Kurama selalu tahu."

    Air mata menetes dari mata Kurama selagi ia terus mendekap Naruto, merasakan bahu majikannya yang lebar gemetaran serta napasnya yang cepat dan tajam. Kurama tahu bahwa separah apapun kondisi fisik maupun mental remaja pirang di pelukannya, dia takkan pernah terisak atau menangis, karena air mata Naruto yang sekarang hanya bisa menetes untuk rasa sakit orang lain, namun tidak untuk derita yang datang dari jiwanya sendiri.

    Naruto telah lama lupa cara menangis demi dirinya sendiri, karena itu, biarlah Kurama yang menangis untuk mereka berdua.

    Naruto telah lama lupa cara untuk peduli pada dirinya sendiri. Karena itu, biarlah Kurama yang mengurusnya. Menjaganya. Menyayanginya.

    Karena Kurama tahu, sebagaimana Kurama yang tak mau hidup tanpa Naruto, Naruto juga tak bisa hidup tanpa Kurama.

    To be Continued...​


    Praise me, shun me, applause me, make fun of me. Whatever you want to do, it's your call. Whatever it shall be, I will accept all.

    Thanks a zillion for reading!

    Galerians, out.
     
    Last edited: Sep 28, 2014
  7. Galerians Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 5, 2011
    Messages:
    40
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +12 / -0
    Satu lagi.

    Galerians, in.

    A/N: Chapter kali ini adalah Omake, dimaksudkan untuk mengungkap sedikit latar belakang dan masa lalu Naruto di universe fic The Radiant Sun of Kuoh Academy.

    Warning:

    Mungkin abal. Mungkin aneh. Mungkin jelek. Dan mungkin OOC.



    Disclaimer: This is purely a fanfiction, made only to bring about entertainment of whatever I decided to write for those who read!

    Selamat membaca!

    ~••~

    When The Sun Meets Girl

    Omake 1

    (You're Female?! Kyuubi the Demon Fox Finally Knows Taste!)



    "Oi, Kyuubi, kapan kau mau bicara padaku sih?"

    Yang menjawab Naruto hanya hening.

    "Oi, Kyuubi!"

    Dia kembali tak dihiraukan. Shinobi berusia dua belas tahun itu memberengut sebelum berjalan ke penjara besi berwarna merah di depannya. "Oi! Kyuubi!" dia memukul-mukul jeruji besi itu, menciptakan kakoponi berisik dari suara dentangan yang terdengar berulang-ulang. Ketika masih tak ada respon, Naruto menarik napas dalam-dalam. "OI~! KYUUBI~!"

    "BERISIK!"

    Cakar raksasa dari makhluk mistis yang dikatakan bisa menghancurkan gunung hanya dengan satu kibasan ekornya itu menghantam bagian dalam jeruji besi penjara, menimbulkan suara dengan volume yang pasti sudah menghancurkan gendang telinga andai dia sedang tidak berada dalam perwujudan jiwanya, dan tekanan angin yang melempar bocah itu terbang menyeberangi ruangan tempatnya berada sekarang.

    "Ah ha!" suara jebur nyaring terdengar ketika Naruto berdiri dan menunjuk ke arah personifikasi segel yang ada di perutnya. "Akhirnya kau muncul juga, rubah sialan!"

    "Siapa yang kau panggil rubah sialan, bocah semprul?!" suara menggema yang datang dari balik penjara itu membuat organ dalam Naruto terasa bergetar dan air yang menggenang dunia berbentuk gorong-gorong itu beriak-riak.

    "Woy, siapa yang kau panggil bocah semprul, dasar rubah sialan?!" Naruto berseru balik dengan panas sambil menghentakkan kakinya untuk kembali mendekat.

    "Bocah semprul!"

    "Rubah sialan!"

    "Anak ingusan!"

    "Hidung pesek!"

    "Tukang ngompol!"

    "Kucing gundul!"

    Saat ini Naruto sudah kembali berdiri di depan penjara dengan sebuah seringai terpasang di wajahnya. Akan tetapi, sepertinya makhluk yang ada di balik penjara itu benar-benar tak terima dipanggil gundul, karena hinaannya yang selanjutnya dilontarkan dengan jauh lebih kejam.

    "Pelormu kecil!"

    Naruto tiba-tiba tersungkur ke belakang ketika hinaan itu seakan berubah menjadi panah yang menusuk dadanya begitu dalam sampai ke sukma.

    Tapi dia bisa bilang apa?! Umurnya masih dua belas tahun! Ya jelaslah pelornya masih kecil! Mimpi basah juga baru-baru aja kejadiannya!

    Naruto melompat berdiri lagi dengan wajah yang menampangkan ekspresi ganas. Ia menarik napas kencang-kencang sampai punggungnya melengkung ke belakang, sebelum berteriak sekuat tenaga.

    "BULUMU KUTUAN!"

    Suara tersungkur yang jauh lebih nyaring terdengar dari balik penjara, namun kali ini, dilanjutkan dengan suara berguling-guling, koprol beberapa kali di udara, sebelum terhempas lagi ke lantai dengan suara kecipak keras. Naruto yang tahu bahwa dirinya sudah menjadi pemenang ronde saling hina kali ini mendengus bangga, walaupun mungkin dengan pengorbanan besar karena harga dirinya sebagai kaum Adam sudah ternoda!

    Naruto tiba-tiba mendengar suara geraman dari balik segel Shiki Fuujin yang memenjarakan Bijuu terkuat di seantero dunia. Suara geraman itu kemudian jadi semakin dan semakin nyaring seraya suara ceburan-ceburan pertanda makhluk rubah raksasa berekor sembilan yang ada di sana kini sedang berlari ke arahnya.

    Kening Naruto tiba-tiba berkerut heran.

    Padahal geramannya masih terus bertambah nyaring, tapi kenapa suara-suara ceburan itu sekarang jadi kecipak-kecipak?

    "BOCAH SIALAN!"

    "Geboh!"

    Naruto kembali tersungkur ke belakang, walau kali ini alasannya bukan disebabkan oleh tekanan angin, tapi karena ada yang menyeruduk perutnya macam kambing—eh salah, kerbau matador yang lagi melawan seorang torero!

    "Bocah sialan!" Naruto mendadak harus mempertahankan diri dengan kedua lengannya ketika seseorang, yang ia mulai curiga siapa, mulai mencakar-cakarnya dengan penuh nafsu. "Akan kubunuh kau! Kurobek-robek! Kucabik...ca...bik..."

    Suara yang entah mengapa terdengar feminin di telinga Naruto itu dan membuat telinganya berdenging di awal itu menjadi kian pelan dan kian pelan sampai akhirnya menghilang. Naruto mengintip dari balik lengannya, dan mendapati seorang cewek—

    Tunggu dulu.

    Cewek? Cewek?! Kenapa bisa ada seorang cewek di dalam jiwanya?! Apakah ini berarti dia memiliki sisi feminin yang disembunyikan?! Oh tidak, apakah ini berarti aspirasi Naruto yang sesungguhnya bukanlah menjadi seorang ninja, tapi crossdresser yang bekerja di salon waria?!

    "Uoooh! Tidaaak!" Naruto berguling, melepaskannya dari cewek berambut merah yang masih kebingungan, dan hanya bisa melongo ke arah Naruto yang sudah berdiri dan sekarang tengah berlari muter-muter sambil menarik-narik rambutnya. "Aku nggak punya sisi feminin! Aku nggak mau jadi waria! Aku nggak mau kerja di salooon!"

    Naruto tiba-tiba berlutut sembari mengacungkan kedua kepalan tangannya tinggi-tinggi ke arah langit. "Tuhan!" dia berseru dengan air mata bercucuran membasahi pipinya. "Kalau itu rencanaMu untukku, MAKA BUNUH SAJA AKU SEKARANG! BUNUH!"

    "Oi."

    "Aaaggh! Tidaaakk! Sisi femininku bicara lagiii! Tuhan, bebaskan aku dari siksaan ini! Cabut nyawaku sekarang!"

    "Oi, bocah semprul."

    Reaksi otomatis dari berhari-hari pertandingan saling ejek yang sudah ia jalani membuat Naruto langsung berdiri dan memberi respon tanpa sadar. "Siapa yang kau panggil bocah semprul, dasar rubah siala—!"

    Naruto berhenti berteriak dengan mulut yang masih terbuka, mata sang Jinchuuriki bergerak untuk mengamati gadis di depannya. Rambut berwarna merah darah yang sangat panjang sampai melewati lutut. Mata yang irisnya berwarna merah delima dan pupilnya berbentuk irisan vertikal. Telinga berujung lancip yang dilapisi bulu-bulu sewarna dengan rambutnya. Kesadaran perlahan-lahan mewarnai shinobi berambut pirang yang berusia dua belas tahun itu. Ia tertegun, menunjuk ke si cewek, lalu ke penjara raksasa di belakangnya, lalu balik lagi ke cewek, balik lagi ke penjara.

    Saat jari telunjuknya kembali mengarah ke gadis berambut merah itu, paras Naruto sudah benar-benar pucat pasi.

    "Hehe, hehe—Ahahahaha!" sosok yang figurnya dibalut kimono merah itu mulai tertawa, tangannya berkacak pinggang dan wajahnya terdongak menghadap langit-langit. "Mwahahahahaha!"

    "A-anu..." yep, otak Naruto masih belum mampu mencerna kenyataan.

    "Aku bebas! Aku bebas!" ujung rambut merahnya yang sangat panjang kini tenggelam di air yang menggenangi lantai. "Kau dengar itu, Yondaime, Shinigami?! AKU BEBAS!"

    "A-anu..." Naruto berucap bego.

    "Akhirnya, setelah sekian lama terkurung, lalu bebas sebentar, lalu terkurung lagi, akhirnya aku bebas!"

    "A-anu..." mari kita sepakati saja bahwa di usia dua belas tahun, Naruto memang tak terlalu cerdas dalam urusan mengendalikan situasi.

    "Oi, bocah semprul—"

    "Siapa yang kau panggil bocah semprul, dasar rubah sialan!"

    Dan dari semua hal yang sebenarnya butuh respon dari Naruto, ia malah hanya menjawab ketika dirinya mendapat ejekan.

    Orang yang dipanggil Naruto sebagai 'rubah sialan' itu hanya tergelak. "Kaukira aku mau melanjutkan permainan kekanak-kanakan itu lagi?! Aku, Kyuubi no Youko, akhirnya sudah bebas! Sekarang adalah saatnya aku membalas dendam! Dunia akan kembali tahu seperti apa teror yang dibawa oleh seorang Kyuub—"

    "DIAM!"

    Teriakan Naruto bergema di ruangan itu, membuat Kyuubi menatapnya dengan mulut yang masih terbuka karena sudah diganggu sebelum ia selesai bicara.

    "Oke, aku perlu berpikir," kata Naruto sambil mencubit dagunya dan mulai berjalan bolak-balik. "Dia keluar dari penjara itu, jadi dia bukan sisi femininku. Itu artinya aku tidak ditakdirkan jadi waria—TERIMA KASIH, TUHAN!—dan aku juga tak perlu kerja di salon lagi. Masalah itu sudah selesai. Titik. Wassalam."

    "Oi—"

    "KUBILANG DIAM!" hardik Naruto sekali lagi sambil mengacungkan jari telunjuknya dengan penuh emosi ke arah Kyuubi. Dia mondar-mandir lagi. "Oke, masalah kedua. Penjaranya ada di sana, tapi ada cewek di sini. Tapi makhluk yang ada di balik penjara itu harusnya seekor rubah berekor sembilan yang ukurannya gede dan napasnya bau—"

    "Napasku tidak bau, bocah semprul!"

    "DIAM!"

    "AKU NGGAK SUDI DISURUH OLEHMU LAGI!"

    "KUBILANG DIAM!"

    "NGGAK SUDI!"

    "DIAM!"

    "GAK SUDI!"

    "DIAM!"

    "GAK SUDI!"

    Sesi saling hardik itu berlangsung hampir semenit lebih sampai suara mereka berdua menjadi serak dan napas mereka terkuras.

    "Oi... Kyuubi..." Naruto terengah sambil mengangkat kedua lengannya. "Coba lihat ini..."

    "Hm—Hmph," dengusan Kyuubi terdengar kurang paten karena harus disela tarikan napas. "Kenapa juga aku mau melihat tungkai kurus seperti itu, hah?"

    Urat-urat bermunculan di pelipis Naruto, namun shinobi yang masih berstatus Genin itu hanya menggertakkan giginya dan lalu kembali bicara dengan suara tenang yang dipaksakan. "Kau tahu nggak kenapa di tanganku nggak ada luka sama sekali?"

    Kyuubi tertegun, kali ini matanya yang berwarna merah dengan pupil menyipit vertikal itu terfokus ke arah lengan yang seharusnya sudah ia cakar mati-matian beberapa menit lalu. Naruto mengawasi bagaimana gadis berjalan dengan langkah lambat sampai ia tiba di depan sang Jinchuuriki.

    "Oi, apa yang kau—"

    Kyuubi tiba-tiba mencakar wajah Naruto.

    "AAAAHH—Aa, aah...?" Naruto berteriak, berhenti, lalu menyuarakan kebingungannya. "Kok nggak sakit...?"

    Kyuubi menatap Naruto dengan mata terbelalak sebelum mencakar wajahnya sekali lagi.

    "Aaahh—Nggak sakit."

    Kyuubi mengepalkan tangannya dan meninju pipi Naruto.

    "Serius, nggak sakit."

    Kyuubi kalap dan langsung menghajar Naruto tanpa ampun, namun cowok yang ada di depannya hanya menerima semua serangan itu dalam diam dengan wajah yang masih menampakkan ekspresi bingung bukan kepalang. Ia terus mengawasi Kyuubi yang mengamuk sampai tenaganya habis lagi dan jatuh berlutut.

    "...Ada sengatan dikit sih pas kau nendang selangkanganku tadi."

    Kyuubi hanya melolong panjang.

    ~•~​

    Naruto mengamati Kyuubi yang hanya duduk sambil memeluk lutut di seberang meja, dirundu rasa putus asa setelah mengetahui bahwa walaupun dia bisa melepaskan diri dari Shiki Fuujin, tapi Youki-nya, sumber kekuatan yang membuat Kyuubi sangat ditakuti, tetap tertinggal di belakang penjara. Tak hanya itu, ketika Naruto terbangun pagi harinya, Kyuubi yang ternyata bisa mematerialisasikan dirinya di dunia luar langsung mencoba kabur, dan kembali harus disiksa oleh kejamnya kenyataan karena jika dia memisahkan dirinya terlalu jauh dari Naruto, dia seakan-akan menjadi robot yang kehilangan baterainya dan hanya bisa jatuh tersungkur ke lantai karena tubuh yang total tidak bertenaga.

    Mau tak mau, Naruto jadi merasa kasihan dengan cewek yang nampak begitu sedih sampai ada awan kelabu di atas kepalanya itu.

    "Oi, Kyuubi."

    Ada jeda sejenak sebelum Kyuubi menyahut. "...Apa?"

    Naruto memandang cup ramen yang masih belum matang di depannya sebelum menatap Kyuubi lagi. "Aku masih punya satu cup ramen lagi. Kalau kau mau, kau bisa makan yang satu ini."

    "Bijuu nggak perlu makan," Kyuubi mendesis sambil mengangkat kepalanya untuk mendelik ke arah Naruto. "Tidak seperti manusia rendahan seperti kalian, Bijuu tak pernah lapar."

    Naruto mengangkat bahu, sadar bahwa Kyuubi yang sudah tak bisa memakai Youki-nya yang dahsyat luar biasa hanya bisa memakai kata-kata untuk mengungkapkan rasa tak senang dalam hatinya. Kyuubi yang sekarang bahkan lebih lemah dari manusia biasa, jika menilik bagaimana serangannya yang terlihat ganas namun tak sedikitpun bisa melukai Naruto, jadi sang Jinchuuriki itu merasa setidaknya ia bisa membiarkan Kyuubi meledek atau menghinanya asalkan itu bisa membuat perasaan sang personifikasi makhluk mistis jadi sedikit baikan.

    Naruto meraih dan mengangkat cup ramen di depannya, melirik ke arah Kyuubi yang masih mendelik, lalu memutuskan untuk pasrah.

    Kalau memang Kyuubi tidak mau makan, itu keputusan Kyuubi. Tapi kalau boleh jujur, Naruto sebenarnya ingin Kyuubi juga bisa menyantap makanan yang bisa memanjakan bahkan kaum dewa ini—

    "...Mmh?!"

    Naruto baru saja menelan satu suapan ketika ia mendengar Kyuubi sudah membuat suara aneh. Naruto mendongak hanya untuk mendapati Kyuubi yang masih memandanginya, namun alih-alih pelototan berisi benci atau marah, yang kini bersinar di mata Kyuubi adalah rasa bingung dan penasaran.

    "Kyuubi?"

    "Kau..." Kyuubi berkata lambat-lambat sambil menjilat bibirnya. "Ngapain kau tadi?"

    "Hah?" Naruto memiringkan kepalanya sedikit, melirik cup ramen di tangannya sebelum menatap Kyuubi lagi. "Apa yang kau—"

    Kyuubi tiba-tiba berdiri dan menghampiri Naruto sebelum merebut makanan di tangannya. Ia mencium cup ramen itu dengan dengusan-dengusan cepat, menjepit beberapa lembar mi yang kemudian dia makan, sebelum sebuah kerutan kembali muncul di dahinya.

    "Oi, Kyuubi! Kalau mau makan bilang saja dong! Kenapa ngambil ramenku sih?!"

    Tapi Kyuubi hanya meletakkan cup ramen itu sebelum bergerak untuk menyeret kursinya ke samping Naruto. Ia duduk menghadap sang Jinchuuriki yang masih menatapnya dengan terbelalak, tangannya terangkat dan menunjuk ke arah cup ramen yang tadi ia tinggalkan di atas meja.

    "Makan." Perintahnya singkat.

    "Kau ini kenapa si—"

    "Ma. Kan." Sela Kyuubi dengan sorot mata tajam yang membuat Naruto bergidik.

    Sang keturunan klan Namikaze dan Uzumaki meraih cup ramennya dengan gerakan ragu, menjepit beberapa lembaran mi sambil melirik wajah Kyuubi yang bersinar dengan antisipasi, lalu memasukkannya ke mulut.

    "...Mmn."

    Naruto baru mengunyah satu kali ketika ia mendengar rintihan Kyuubi, membuatnya menoleh lagi dengan heran.

    "Te-teruskan..." ucap Kyuubi yang menunduk sembari bernapas tajam.

    Naruto merasa ada yang sangat aneh dengan situasi ini, namun perut yang masih lapar membuatnya hanya mengangkat bahu sambil meneruskan kunyahan, pandangannya yang kembali fokus ke makanan tak melihat Kyuubi yang tengah menggeliat-geliat di atas kursinya dengan mata dipejamkan.

    "...Mnnaah!"

    Sisa kuah yang sudah dalam perjalanan masuk di setengah kerongkongannya hampir saja keluar lewat hidung Naruto ketika ia mendengar erangan nyaring dari sampingnya. Saat dia menoleh untuk kesekian kalinya pagi itu, Naruto melihat Kyuubi yang sudah tersandar pingsan di kursinya dengan wajah merah padam.

    Naruto hanya bisa ternganga sambil menatap wadah mi instan yang sudah kosong di tangannya. Apakah dia sudah membeli sejenis cup ramen ajaib yang bisa membuat orang lain yang menyaksikan prosesnya dimakan bisa sampai pingsan begini?

    "Wow..." ucapnya takjub.

    To be Continued...

    A/N: Seperti itulah kalau makhluk mistis yang tak pernah tahu seperti apa sensasi yang bisa diberikan oleh panca indera lidah manusia, tiba-tiba langsung dibuat merasakan enaknya makan mi instan.

    Satu-satunya alasan mengapa tidak Omake ini memakai nama 'Kurama' adalah karena Naruto masih belum tahu nama asli Kyuubi.

    Praise me, shun me, applause me, make fun of me. Whatever you want to do, it's your call. Whatever it shall be, I will accept all.

    Thanks a zillion for reading!

    Galerians, out.
     
  8. Galerians Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 5, 2011
    Messages:
    40
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +12 / -0
    Yang terakhir untuk hari ini.

    Galerians, in.

    Kembali ada BGM!

    1. (Bad ∞ End ∞ Night [Wotamin, Pokota, Nobunaga, amu, 96Neko, Yamai, Cocolu & Purikuma])

    2. (Black Lagoon OST – Red Fraction)

    Warning:

    Mungkin abal. Mungkin aneh. Mungkin jelek. Dan mungkin OOC.​


    Disclaimer: This is purely a fanfiction, made only to bring about entertainment of whatever I decided to write for those who read!

    Selamat membaca!

    ~••~​

    When The Sun Goes into A High School

    Chapter 4

    (A Shinobi's Vow of Loyalty?! This is The Power of A Devil and His Red Dragon Emperor!)​


    Naruto berdiri di atap sebuah bangunan, rumah di mana sehari sebelumnya telah terjadi pembunuhan.

    'Kurama?'

    'Tak salah lagi, Goshujin-sama. Kurama bisa merasakan sisa-sisa Youki dan Tengeki dari dalam rumah ini.' personifikasi Kyuubi no Youko yang tersegel dalam jiwanya itu menjawab dengan cepat, selalu siap memenuhi keinginan majikannya.

    Naruto melompat turun ke halaman dan mengintip lewat salah satu jendela, matanya kini bersinar di tengah kegelapan.

    'Ngh,' Naruto mengernyit sedikit sementara influks [Data] yang jumlahnya hampir ratusan merangsek masuk ke dalam otaknya. Ia memejamkan matanya dan berkonsentrasi untuk mengkatalog [Data] yang ia anggap relevan, dan tidak butuh lima detik sebelum Naruto menemukan info yang ia cari. 'Oke, waktu kematian malam kemarin, jam delapan lewat dua puluh dua menit, tujuh belas detik.' Naruto berpaling dari jendela. 'Kurama?'

    'Berdasar dari jenis dan signatur energi, Kurama bisa mengatakan bahwa setidaknya ada lima pengguna Youki, yang kelima-limanya adalah kaum Iblis, serta tiga pengguna Tengeki, dan satu dari tiga orang ini adalah Datenshi. Satu lagi, jika menilik tingkat pemudaran energi yang masih membekas ini, Kurama bisa dengan pasti mengatakan bahwa yang paling pertama tiba di rumah ini adalah dua dari pengguna Tengeki itu, tapi bukan si Datenshi.' Kurama berhenti sebentar. 'Waktu spesifik dia tiba di rumah ini adalah dua puluh empat jam, empat belas menit yang lalu.'

    Naruto mengeluarkan sebuah telepon seluler dari kantong celananya dan melirik jam digital yang tersedia di layarnya. Pukul delapan malam lewat tiga puluh tiga menit. '...Yang artinya siapapun pengguna Tengeki itu, dia tiba dua menit sebelum tempat ini menjadi TKP. Bagaimana dengan pengguna Youki yang tiba paling pertama?'

    'Hampir sepuluh menit setelah pembunuhan terjadi, Goshujin-sama.'

    'Dan sekarang kita sudah mengkonfirmasi siapa pelaku pembunuhan.' Naruto mengerang panjang. 'Ada apa sih sebenarnya dengan kota ini? Tidak hanya kaum Iblis yang 'baik', tapi sekarang kita juga menemukan pemakai tenaga suci yang membunuh manusia?'

    'Memang susah dipercaya, tapi bukan berarti ini hal yang mustahil, Goshujin-sama. Goshujin-sama tahu sendiri kalau di dunia ini ada banyak organisasi ekstremis yang mengatasnamakan agama demi berbuat tindakan-tindakan terorisme dan tidak manusiawi. Ini bukan pertama kalinya Kurama dan Goshujin-sama menemui grup radikal yang dengan mudahnya membunuh orang tak bersalah hanya karena sesuatu yang belum terbukti.'

    Mendengar itu membuat Naruto teringat salah satu cerita Kurama saat sang Bijuu itu dulu masih bebas dan bisa fokus pada tugasnya untuk mendeteksi tempat yang menjadi sarang hal-hal negatif dan membasminya. Salah satunya adalah sebuah desa di mana ada seorang pendeta yang malah mendorong penduduknya untuk membakar siapapun yang dicurigai telah berurusan dengan sihir atau ilmu hitam, tak peduli apakah tuduhan itu memiliki dasar atau tidak.

    ...Atau serangan 11 September yang terjadi lebih dari sepuluh tahun silam. Serangan bunuh diri dengan menabrakkan pesawat terbang ke gedung di mana jatuh korban yang jumlahnya ribuan. Naruto tak tahu jelas apa jalan pikiran mereka sampai bisa dengan bodohnya berpikir bahwa membunuh orang-orang tak bersalah adalah sesuatu yang layak dilakukan hanya karena mereka berpikir bahwa apa yang mereka lakukan bisa disebut sebagai tindak keadilan.

    Tindakan mereka seperti tak ada bedanya dengan membakar habis seluruh hutan hanya karena mengincar seekor ular berbisa.

    Naruto merenungkan masukan Kurama untuk beberapa saat sebelum mengangguk setuju. 'Kau benar, Kurama.'

    Naruto yang telah berkeliling kota selama tiga hari terakhir demi penyelidikannya kini tahu bahwa ada cukup banyak orang di kota ini yang membuat kontrak dengan kaum Iblis. Walau demikian, hampir semuanya cenderung tidak berbahaya, bahkan mayoritasnya hanya berupa hal-hal tidak serius atau malah konyol. Dia mungkin tidak mengetahui seperti apa kontrak Iblis di tempat lain, tapi dari semua orang yang melakukannya di kota ini, Naruto telah memastikan sendiri bahwa kontrak-kontrak itu tak pernah berisi sesuatu yang dimaksudkan untuk menyakiti orang tak bersalah.

    Akan tetapi, Naruto juga tahu bahwa di mata orang yang religius, tindakan mengontrak Iblis tersebut tetaplah merupakan sesuatu yang sangat tidak terpuji bahkan dianggap sebagai dosa yang harus mendapat hukuman berat. Tapi haruskah mereka dibunuh hanya karena hal seperti ini? Setidaknya biarkan mereka mendapat kesempatan untuk bertobat!

    'Hmph, tentu saja. Kurama selalu benar.' Gadis siluman yang mengakui Naruto sebagai majikannya itu kembali menggunakan salah satu jawaban favoritnya yang selalu disertai dengusan bangga.

    'Aahh...' Naruto mengerang dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal. 'Aku jadi benar-benar rindu mengembara dengan Ero-sennin. Paling tidak, dulu semuanya masih simpel. Jelas siapa yang harus dibasmi dan siapa yang harus ditolong.'

    Kurama terkikik saat mendengar protes majikannya. 'Mou, Goshujin-sama. Goshujin-sama sepertinya lupa bahwa tidak semua yang kita temui di dunia ini bisa diklasifikasikan sebagai hal yang sederhana. Apa Goshujin-sama sudah lupa dengan peristiwa menyangkut Batu Gelel?'

    Ingin Naruto mendengus, bagaimana bisa dia lupa dengan Shogun dari daratan seberang yang awalnya mengaku bahwa dia ingin membuat sebuah surga dunia di mana tak ada perang dan kekerasan itu? Ujung-ujungnya, ternyata dia cuma seorang psikopat yang haus kekuatan dan berniat membuat orang-orang lemah yang tak bisa melawan menjadi budak. Orang yang berkata bahwa perbuatannya didasari oleh keadilan, tapi pada kenyataannya, dia cuma orang egois yang mendambakan kekuasaan.

    Wajah Naruto berubah cemberut selagi ia melompat ke atas atap rumah itu. 'Kenapa kau tidak pernah salah sih, Kurama?'

    'Hmph,' Kurama mendengus lagi, dan kali ini Naruto bisa membayangkan personifikasi makhluk mistis itu turut menepuk dadanya. 'Kurama tak pernah salah karena Kurama tahu segalanya, Goshujin-sama.'

    Naruto tiba-tiba tersenyum. 'Ho? Kalau itu memang benar, bisa kasih tahu nggak kenapa kompor gasku selalu meledak setiap kali kau sentuh?'

    Ada jeda sejenak yang tercipta, dan seiring setiap detik yang berdetak, sengiran Naruto menjadi semakin lebar.

    '...Goshujin-sama no baka.'

    Naruto mungkin sudah akan tergelak, kalau saja telepon seluler yang masih ada di tangannya tidak berdering.

    "Halo," tak kurang dari tiga hitungan kemudian, keningnya berkerut. "...Hah?"

    ~•~
    Issei yang bersandar pada dinding di samping gerbang Akademi Kuoh menegakkan tubuh ketika matanya menangkap kilatan sinar keemasan beberapa langkah di depan gerbang. Tak sampai dua detik kemudian, sosok dengan wajahnya dihiasi tanda lahir menyerupai kumis kucing itu telah muncul di depannya dengan ekspresi keras.

    Issei sudah siap membuka mulut ketika Naruto mengangkat tangannya. "Stop. Kau sedang panik." Tangan itu meraih bahu Issei. "Tarik napas dalam-dalam sampai kau tenang. Lalu jelaskan semuanya dari awal."

    Issei memejamkan mata dan menuruti perintah Naruto tanpa protes, cengkeraman kencang namun tidak sampai sakit di bahunya entah kenapa terasa seperti jangkar yang menghalanginya jatuh lebih jauh ke dalam kepanikan. Saat matanya terbuka lagi, Issei menceritakan segalanya. Pertemuannya dengan seorang biarawati dari seberang lautan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Asia, perselisihannya dengan seorang pendeta haus darah kemarin malam, kencannya dengan Asia yang juga membuatnya tahu masa lalu sang gadis yang dibuang oleh Gereja itu hanya karena menolong seorang Iblis, pertemuannya kembali dengan Raynare dan pengorbanan Asia agar Datenshi itu tidak membunuh Issei, dan yang paling akhir, pertengkarannya dengan Rias saat Issei menyampaikan keinginan untuk menyelamatkan Asia.

    Walau wajahnya tetap datar sepanjang penjelasan Issei, roda-roda dan gigi di kepala Naruto sudah berputar dengan kecepatan tinggi selagi ia memikirkan apa implikasi semua hal itu. Kalau benar malaikat buangan yang membunuh Issei beberapa hari lalu itu bekerja dengan orang lain, maka besar kemungkinan dia bertindak atas perintah dari seorang atasan, seseorang yang mungkin adalah salah satu tetinggi di kubu Datenshi. Dan kalau asumsinya itu benar, maka membiarkan Issei pergi sendirian sama saja dengan mengirim teman sekelasnya itu untuk bunuh diri.

    "Yang aku tidak mengerti adalah kenapa Buchou tidak mengizinkanku menyelamatkan Asia! Dia hanya mengatakan bahwa aku sekarang sudah menjadi bagian Klan Gremory, dan itu berarti aku tak boleh menolong Asia hanya karena hubungannya dengan seorang Datenshi! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dipikirkan Buchou!"

    "Itu hanya karena kau tidak memandang masalah ini dengan pandangan yang lebih luas, Issei."

    Issei terperangah. "Naruto-san?" Wajahnya yang bingung kini berubah marah. "Apa kau juga berpikir bahwa aku tidak boleh menolong Asia?"

    "Aku tidak mengatakan itu. Aku hanya mengatakan bahwa aku mengerti kenapa bosmu tidak mengizinkan kau pergi." Naruto bersidekap. "Issei, apa kau tahu bahwa saat ini ada gencatan senjata antara kubu Iblis, Malaikat, dan Datenshi?"

    Ekspresi Issei yang kembali menjadi bingung telah cukup sebagai jawaban bagi Naruto. "Buchou-mu itu memiliki Peerage, yang berarti dia juga memiliki Evil Pieces. Jika apa yang kuketahui sampai saat ini benar, maka Evil Pieces hanya diberikan pada kaum Iblis yang memiliki derajat tinggi di kalangan pendiam Meikai. Hal itu berarti setiap tindakan bosmu itu akan diawasi oleh pihak lain, yang juga berarti ia tak bisa berbuat seenaknya tanpa memikirkan konsekuensi."

    "Tapi apa hubungannya status Buchou sebagai Iblis kalangan atas dengan gencatan senjata yang tadi kau sebutkan?"

    "Jika penjelasanmu tadi benar, maka kita berasumsi bahwa siapapun Datenshi yang membawa pergi Asia itu—"

    "Raynare."

    "...Hah?"

    "Namanya Raynare," ulang Issei sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Dia memperkenalkan dirinya sebagai Amano Yuuma padaku, tapi nama aslinya adalah Raynare."

    "Oh, oke," sahut Naruto, sama sekali tidak merasa tersinggung walau sudah disela begitu. "Baiklah, jika Raynare memang benar bekerjasama dengan seorang pendeta, itu artinya dia memiliki bekingan dari tetinggi dari kubu Datenshi. Karena itulah bosmu tidak bisa bertindak terang-terangan dengan statusnya sebagai kalangan elit kaum Iblis."

    "...Aku masih tidak mengerti."

    "Kurasa penjelasanku akan bisa lebih mudah dimengerti kalau kita memikirkan apa yang bisa terjadi. Andai saja malam ini bosmu itu bersedia membantumu, dan kalian berhasil menolong Asia. Lalu atasan Raynare merasa marah karena ada kaum Iblis yang berani mencampuri urusannya, dan dia menuntut balas. Dan kalau Gremory terbunuh—"

    "Itu tak mungkin terjadi!" seru Issei sambil melototkan matanya tajam-tajam ke arah Naruto.

    Shinobi pirang itu sama sekali tidak terintimidasi. "Makanya di awal tadi kubilang 'andai'. Sekarang, biarkan aku menyelesaikan penjelasan." Naruto menutup matanya. "Kalau Gremory sampai terbunuh dalam konflik ini, maka secara logis keluarganya juga akan membalas dendam. Hal yang sama akan terjadi berulang-ulang. Jika pihak di kubu yang satu menang, maka pihak lain di kubu satunya lagi yang tidak terima akan melancarkan serangan balik. Dendam akan menumpuk, darah akan tertumpah. Dan mungkin, mungkin, reaksi berantai ini akan terjadi terus dan terus sampai akhirnya gencatan senjata berakhir dan api peperangan kembali dikobarkan. Perang yang di masa lalu sudah membuat ketiga fraksi itu hampir punah, dan entah berapa jumlah manusia yang turut jadi korban." Naruto berhenti sesaat untuk membuka matanya dan menatap dalam-dalam ke arah Issei yang kini wajahnya sudah sepucat mayat. "Dan semua itu bisa berawal lagi hanya karena kau ingin menolong Asia."

    Issei jatuh berlutut dan terpuruk. "T-tapi... tapi..." Ia meninju aspal yang retak di bawah pukulannya. Naruto melihat ada cairan bening menetes jatuh di bawah wajahnya yang tertunduk. "Asia tidak bersalah apa-apa! Dia dikucilkan dan dibuang hanya karena dia menyembuhkan seseorang yang saat itu ia tidak tahu adalah seorang Iblis! Bahkan setelah ditelantarkan, dia ditemukan oleh orang-orang yang hanya ingin memanfaatkan kekuatannya, orang-orang yang sudah menyakitinya dan sama sekali tidak peduli akan keselamatannya!" Issei terisak. "Asia—Asia tidak pantas mendapat perlakuan seburuk ini! Dia tidak pantas mendapat kehidupan sekejam ini! Dia tidak pantas dikucilkan, dibuang, dan tidak diperhatikan, hanya karena dia orang yang terlalu baik hati dan tak bisa melihat orang lain dalam penderitaan!"

    Wajah Naruto masih keras ketika ia kembali buka suara. "Apa kau masih ingin menyelamatkannya?" ia bertanya singkat. "Walau kau tahu bahwa perbuatanmu ini mungkin bisa menyebabkan peperangan kembali terjadi, apa kau masih ingin menyelamatkannya? Apa kau berani menghadapi semua konsekuensi, membahayakan keselamatan atau bahkan membuang nyawamu, hanya demi seorang gadis yang baru kau kenal satu hari yang lalu?"

    Issei mendongak, dan walau wajahnya bersimbah air mata, ia menjawab tanpa keraguan. "Ya."

    Ekspresi keras Naruto menghilang. "Kau telah menunjukkan tekadmu, Hyoudou Issei, dan aku memutuskan bahwa kau adalah orang yang pantas dibantu." Shinobi pirang itu mengeluarkan sebuah hitai-ate dari kantong jaketnya, berbentuk plat besi yang terpasang ke kain hitam, dengan sebuah ukiran simbol daun yang menjadi lambang desa Konoha, lalu mengikatkannya ke kepala. "Namaku adalah Namikaze Naruto, Konoha no Koganei Senkou (Konoha's Golden Flash). Dan aku bersumpah untuk membantu dan mendukung seperti apapun keputusanmu."

    Issei hanya bisa ternganga, belum sadar bahwa dia baru saja memperoleh sumpah setia dari seorang shinobi.

    Naruto mengulurkan tangannya sembari tersenyum. "Jadi kenapa kau masih berlutut di situ, Issei?"

    ~•~​

    Suara tawa kejam kembali terdengar dari atas kepala Naruto yang terus melompat ke belakang lebih jauh ke dalam lebatnya pepohonan.

    "Larilah! Melompatlah! MENARILAH UNTUKKU!"

    Ketika ia melihat kelebatan sinar merah muda, Naruto harus melompat jumpalitan ke belakang agar kepalanya terhindar dari nasib ditusuk seperti sate. Mata Naruto yang baru saja mendarat ke tanah kembali melebar ketika instingnya menyalakan alarm bahwa akan ada bahaya yang datang dari arah belakang.

    "Kena kau!"

    Tanpa menoleh, Naruto koprol ke samping dan kembali berhasil menghindari kematian. Tapi saat ia kembali memperbaiki posisi, Naruto sadar bahwa dia telah dibuat bergerak ke tengah-tengah tanah kosong yang ada di hutan itu, berdiri dikelilingi oleh sosok-sosok bersayap hitam yang mengepungnya dari tiga arah.

    Suara tawa yang lebih pantas dibilang menyebalkan daripada kejam kembali terdengar dari seorang Datenshi perempuan dengan rambut pirang dan pakaian ala gotik yang terbang tepat di depannya.

    "Dan sekarang kau tak bisa lari lagi."

    Naruto tak perlu menoleh untuk tahu bahwa suara yang menyimpan nada meremehkan itu datang dari Datenshi dengan pakaian tak senonoh yang kelihatannya terlalu kecil untuk tubuhnya bombastis dan rok yang terlalu pendek untuk kakinya yang panjang. Yah, walau dia memang tidak berharap bahwa malaikat yang jatuh dari surga punya cukup otak untuk memilih baju yang pas ukurannya, setidaknya pemandangan ini enak di mata.

    Naruto mengernyit dan kebingungan ketika suara teriakan marah dan cemburu bergema di dalam benaknya.

    "Tunggu, jangan bunuh dia dulu," suara yang kali ini terdengar maskulin menyapa gendang telinga sang shinobi remaja. "Aku mau bertanya sesuatu, bocah bodoh."

    "Hoo," Naruto menegakkan tubuhnya sambil melirik ke arah satu-satunya musuh yang bergender pria, tubuhnya dibalut jas panjang yang kepalanya ditutupi topi fedora, orang yang di awal pertarungan memperkenalkan dirinya sebagai Dohnaseek. "Aku tidak menyangka seorang malaikat yang sudah dibuang dari surga masih bisa punya rasa sopan santun." Ucapnya sinis.

    Di masa lalu, mungkin sekarang dia sudah akan berteriak-teriak sambil mengacungkan jari telunjuk dan menghentak-hentakkan kakinya, tapi setelah begitu sering bertarung bersama Jiraiya, Naruto mulai meniru gaya sang Shishou yang selalu kalem dan tenang setiap kali melawan musuh-musuhnya.

    Dan bagaimana Shishou-nya menyebut taktik ini? Men-trollmusuh untuk membuat mereka kalap dan jadi tak tenang saat bertarung? Yap, kurang lebih seperti itu.

    "Setidaknya ukuran otakku masih lebih besar daripada manusia rendahan sepertimu yang menyerang wilayah kami sendirian, bocah bodoh." Datenshi lelaki itu menggunakan tangannya yang bersarung untuk mengusap-usap dagunya. "Jadi beritahu aku, bocah, kemampuan macam apa yang kau miliki sampai kau berpikir kau bisa menang melawan Datenshi seperti kami?"

    "Siapa juga yang bilang aku berniat menang?" tanya Naruto, mengalihkan topik pertanyaan dengan sebegitu mudah sambil membalas seringai Dohnaseek dengan sengirannya sendiri. "Aku hanya perlu mengalihkan perhatian kalian sebentar~ saja, agar temanku Issei bisa masuk ke gereja itu tanpa halangan dan menyelamatkan Asia."

    "Ha~? Maksudmu bocah mesum dan goblok yang sudah ditipu Raynare-neesama dengan begitu mudahnya itu?" si baju gotik bertanya sinis sembari terkikik geli. "Ha! Kaupikir—"

    "Diam kau, pendek. Aku tidak sedang bicara padamu," Naruto menukas cepat tanpa mengalihkan matanya dari Dohnaseek.

    "P-p-pendek...?" Datenshi berwujud gadis kecil dengan rambut dikuncir dengan pita hitam berenda itu terbata, wajahnya yang tadi tersenyum mengejek kini cengok seperti orang keterbelakangan mental. "S-siapa yang kau panggil pendek, monyet kurap?!"

    "Dia ada benarnya, Mittelt," Naruto mengangkat sebelah alisnya ketika mendengar komentar dari si bimbo berdada gede. "Biar umurmu sudah ratusan tahun seperti kami, tubuhmu masih saja terlihat seperti anak kecil."

    Mulut Mittelt mangap-mangap, tak menyangka bahwa dirinya mendapat hinaan yang disetujui oleh rekannya sendiri. Malaikat buangan itu menggertakkan giginya dan menggeram marah, tapi sebelum ia sempat membalas, Naruto telah mendahuluinya.

    "Oi, kau tak punya hak mengejek temanmu seperti itu," mata sang Datenshi yang bernama Kalawarner melebar ketika mendengar kalimat yang diucapkan dengan nada seperti seorang guru yang sedang menasihati muridnya itu. "Bercerminlah sedikit. Kau sendiri umurnya sudah ratusan tahun, tapi kenapa kau masih juga memakai baju yang kekecilan seperti itu? Apa kau kena tipu saat membeli baju?" Naruto memasang wajah kasihan sambil mengeluarkan dompet. "Kalau kau mau, aku bisa meminjamkan uang agar kau bisa beli baju baru dan tampil sedikit sopan. Bagaimana?"

    "K-k-kau..."

    Naruto mengacuhkan Kalawarner yang masih mencoba mencerna bahwa dia baru saja dihina oleh seorang manusia, dan kembali menghadap satu-satunya cowok di antara ketiga Datenshi itu. "Dan kau," Ia mengacungkan jari telunjuk ke arah Dohnaseek yang turut ternganga atas perlakuan yang diterima oleh kedua rekannya. "Penampilan macam apa itu, hah? Kaukira kau sedang ada di film bergenre crime gitu? Atau kau cuma sedang pura-pura menjadi seorang detektif?" Naruto mendongakkan kepalanya dengan mata terpejam, dan mulai bicara dengan nada yang dramatis dan dibuat-buat. "'Ahh, aku adalah penjelajah malam, dinaungi langit kelam, yang menyusuri jalanan sunyi senyap demi mencari secercah keadilan.' Semacam itu?"

    Diejek sampai sebegitunya, bahu Dohnaseek mulai gemetaran karena murka. Ketika ia bicara, suaranya telah berubah menjadi geraman. "Kau... setelah mengatai kami seperti ini, kaukira kami akan melepaskanmu begitu saja?"

    Naruto mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. "Kalian ini tidak hanya bego, tapi juga budek ya? Bukannya tadi sudah kubilang kalau aku tidak berniat menang? Asalkan aku bisa memberi Issei jalan masuk, itu sudah cukup bagiku."

    Suara kikikan Mittelt yang menyebalkan kembali bergema, membuat Naruto mulai mempertimbangkan apakah dia harus merontokkan semua gigi Datenshi itu untuk mendiamkannya. "Bahkan walau kau sudah berhasil mengalihkan perhatian kami, dia masih harus menghadapi segerombolan pemburu setan dan Raynare-neesama sebelum dia bisa menyelamatkan biarawati buangan itu!" kikikannya berubah menjadi gelak tawa. "Setelah kau tahu ini, apa kau pikir bocah bego itu masih bisa menang?!"

    "Tentu saja."

    Jawaban Naruto yang diutarakan tanpa jeda membuat senyuman ketiga Datenshi itu menjadi sedikit goyah.

    "Seperti yang kalian bilang, Issei memang baru-baru saja dibangkitkan sebagai Iblis dan kekuatannya masih rendah. Tapi yang kalian lupa adalah sebelum dia jadi Iblis, dia adalah seorang manusia. Manusia yang bego," Dohnaseek, Kalawarner, dan Mittelt memandang cowok yang berdiri di tanah itu dengan tatapan seperti sedang melihat orang gila. "Satu fakta yang harus ketahui tentang manusia bego adalah sekali mereka memfokuskan diri untuk satu tujuan," senyuman di wajah Naruto menjadi semakin lebar. "Maka walau mereka harus terjun ke jurang terdalam, mendaki tebing tercuram, menembus awan ataupun membelah lautan, mereka pasti akan mencapai tujuan itu."

    Dan entah kenapa, mereka percaya. Padahal kata-kata itu diucapkan oleh seorang manusia rendahan yang seharusnya tak bernilai di mata mereka, tapi ketika Dohnaseek, Kalawarner, dan Mittelt mendengar kalimat yang diucapkan tanpa sedikitpun keraguan itu, mereka harus mengakui bahwa mereka percaya.

    Namun itu justru membuat mereka kalap. Karena mereka sudah dibuat merasakan hal itu bukan oleh Iblis atau Malaikat, Youkai ataupun dewa, tapi hanya oleh seorang manusia biasa.

    "Manusia sialan!" Mittelt berteriak.

    "Riwayatmu tamat hari ini!" Kalawarner membentak.

    Dohnaseek mengeluarkan tombak cahaya bernuansa biru yang menjadi ciri khasnya, sebuah tindakan yang diikuti oleh kedua rekannya, sebelum meraungkan perintah dengan suaranya yang berat. "Bunuh dia!"

    Mereka melontarkan senjata bersama-sama, ke arah sang remaja pirang yang hanya tersenyum tipis tanpa membuat gerakan untuk menghindari serangan yang tidak berapa detik kemudian bersarang, menembus tubuhnya dan menciptakan luka fatal yang memuncratkan darah ke tanah.

    (Play – Bad ∞ End ∞ Night [Wotamin, Pokota, Nobunaga, amu, 96Neko, Yamai, Cocolu & Purikuma])

    Dohnaseek, Mittelt, dan Kalawarner tertegun.

    Mereka mendarat di bumi dalam diam, tak menyangka bahwa setelah semua yang ia ucapkan, manusia itu seperti tak membuat usaha untuk melawan dan seakan-akan menerima kematiannya dengan tangan terbuka. Mereka memandangi mayat yang kini sudah terkapar di tanah itu dengan mata terbuka lebar, terus dan terus begitu sampai akhirnya tawa Mittelt memecah keheningan di antara mereka bertiga.

    "D-dia...!" wajah Mittelt terdongak, dengan tangan memegangi perutnya karena tak bisa berhenti tertawa. "Dia mati...! Setelah semua sikap sombong itu, dia mati begitu saja!"

    "Hoo..." tawa Mittelt serta merta berhenti ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang, dan suara yang seharusnya sudah tidak ada itu kembali terdengar tepat dari samping telinga kanannya. "Jadi aku sudah 'mati' ya...?"

    Ketiga Datenshi itu memutar tubuh mereka secara bersamaan, namun siapapun yang tadi bicara pasti sudah menghilang karena mereka tak melihat siapa-siapa. Tapi saat Dohnaseek dan Kalawarner melihat wajah Mittelt yang memucat, mereka sadar bahwa tepukan di bahunya tadi pasti adalah sesuatu yang nyata. Kedua Datenshi yang lebih tua itu mengembalikan pandangan mereka ke tengah-tengah tanah kosong, dan setengah yakin bahwa mereka akan mendapati bahwa mayat itu seharusnya masih terbaring di sana.

    Tapi mereka hanya melihat tiga tombak cahaya. Tak ada darah, tubuh, apalagi mayat siapa-siapa.

    Tubuh mereka kembali mengeras dan wajah mereka makin memucat ketika mereka mendengar suara terkekeh yang tidak hanya datang dari satu arah. Suara itu mengelilingi mereka, mengepung mereka.

    Memerangkap mereka.

    "Jadi..." kata itu dicetuskan lambat-lambat, pengucapannya berisi nada datar yang tak menyimpan kemarahan, kebencian, apalagi niat jahat. "Apa ini pertama kalinya kalian melawan seorang shinobi...?"

    "Keluar kau!" Dohnaseek meraung. Ia tak mau mengakui, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa wajahnya telah pucat pasi dan telapaknya yang ditutupi sarung tangan terasa basah oleh keringat dingin. "Keluar kau, manusia jahanam! Pengecut!"

    Suara yang terdengar dari mana-mana itu terkekeh lagi. "Pengecut? Kalian, tiga Datenshi dengan kekuatan jauh di atas umat manusia, mengeroyok seorang remaja yang hanya sendirian dan kalian memanggilku pengecut?" ketika orang itu, siapapun dia, bicara lagi, suaranya menyimpan gelimang besi. "Karena hinaan itu, kau akan menjadi mangsaku yang pertama."

    Mittelt dan Kalawarner baru sempat berbalik ketika mata mereka menangkap Dohnaseek yang diseret ke dalam hutan, dan tak sampai satu detik berikutnya, yang ada di tanah kosong itu hanya mereka berdua.

    "Aaaahk!"

    Suasana sunyi di tanah kosong yang sudah menjadi cukup seram itu berubah kian menakutkan ketika Mittelt dan Kalawarner mendengar jeritan Dohnaseek yang entah datang dari arah mana. Mittelt hanya bisa berdiri membisu dengan postur keras bagaikan batu tanpa mampu membuat suara, sementara kaki Kalawarner sudah berguncang hebat sampai-sampai wanita berdada besar itu hampir tak bisa mempertahankan keseimbangannya.

    "Agh...!" wajah Mittelt hampir tak bisa memutar ketika ia mendengar suara cekikan tertahan yang datang dari arah Kalawarner, dan melihat bahwa Datenshi seksi itu kini berdiri dengan kawat yang bergelimang melilit leher, kedua tangan, perut, serta kakinya. Kalawarner membalas tatapan Mittelt dengan mata yang bersinar penuh ketakutan, satu tangannya terulur ke Datenshi berambut pirang itu seakan sedang meminta pertolongan. "Mitte—!"

    Mata Mittelt melebar sempurna ketika ia menyaksikan Kalawarner tiba-tiba ditarik ke belakang dengan begitu cepat sampai-sampai ia tak sempat menyelesaikan panggilannya. Tidak seperti Dohnaseek, Kalawarner yang lenyap ditelan kegelapan di antara pepohonan sama sekali tidak mengeluarkan jeritan maupun pekik kesakitan. Datenshi berambut pirang itu hanya mendengar suara grasak-grusuk yang berlangsung beberapa saat sebelum semuanya kembali menjadi sunyi senyap.

    "Kenapa diam...?" suara yang lebih mirip dengan desahan itu kembali terdengar tepat di samping telinga kanan Mittelt, tapi ketika ia berbalik, Datenshi termuda di antara kelompoknya itu kembali tak menemukan sosok yang menjadi pemilik suara.

    "Kenapa kau tidak tersenyum lagi...?"

    Mittelt mencoba menutup telinganya untuk meredam bisikan yang seakan bergema di dalam batok kepalanya itu, namun entah karena alasan apa, dia tetap bisa mendengarnya.

    "Kenapa kau tidak terkikik lagi...?"

    Dia harus kabur. Dia harus kabur. Dia harus kabur. Dia harus kaburkaburkaburkabur dan lari dan tidak menoleh ke belakang lagi.

    Namun kakinya yang sudah bergetar seperti diguncang gempa bumi itu hilang kekuatan dan memaksanya jatuh bersungkur sampai kulit kedua lututnya yang bertemu tanah terkikis karena bertemu batu kerikil yang tajam.

    Ketika ia mendongak, Mittelt hanya melihat dua mata biru langit yang bersinar di kegelapan, tidak sampai setengah jengkal di depan wajahnya sendiri, dan seringai yang begitu lebar dan keji dan kejam dan mengungkapkan kegilaan dan menjanjikan siksaan—

    "Kenapa kau tidak tertawa lagi...?"

    Nyali Mittelt punah. Bola matanya berputar ke belakang, mulutnya berbusa, dan seluruh tubuhnya kehilangan tenaga sebelum pandangannya dipenuhi kegelapan.

    Ada hening sejenak di tanah kosong itu sebelum seseorang dengan rambut yang sangat panjang dan telinga berujung lancip yang dipenuhi bulu merah muncul seakan tercipta dari udara kosong. Sosok yang mengenakan kimono merah tua itu berjongkok, dan menggunakan jari telunjuknya untuk menyodok-nyodok pipi Datenshi pirang yang kini terbaring pingsan.

    Ia menoleh ke arah shinobi yang juga berjongkok di sampingnya dan tersenyum lebar. "Pertunjukan yang sangat menakjubkan, Goshujin-sama."

    "Bah," Naruto menepis pujian Kurama dengan santai sembari berdiri, walaupun sengiran yang menghiasi wajahnya mengatakan hal sebaliknya. "Ini sih gara-gara memang mereka yang cemen. Ngakunya umur ratusan tahun, tapi segitu aja sudah tepar."

    Kurama ikut berdiri, menutup mulutnya sembari terkikik kecil, sisa-sisa dari gelak tawa terbahak-bahak yang ia keluarkan ketika ikut menyaksikan reaksi ketiga Datenshi itu melalui mata majikannya. "Tapi tetap saja Goshujin-sama hebat, bisa melakukan semua ini hanya dengan beberapa Kagebunshin dan satu Fuuin."

    Mata Kurama menyusuri leher Naruto, dan di pangkalnya, ia menemukan sebuah simbol Aksara Semesta. Fuuin: Meimei Mensou (Invisible Countenance). Segel paling pertama yang diciptakan oleh Klan Namikaze puluhan tahun lalu, yang gunanya untuk menyegel [Konsep] pantulan cahaya pada objek dan membuat pemakainya tak bisa dilihat karena sebuah benda harus memantulkan cahaya sebelum bisa masuk pandangan makhluk hidup.

    Kurama tertawa kecil lagi. "Harus Kurama akui, Goshujin-sama, Kurama sudah lama sekali tidak tertawa seperti ini."

    "Hmph!" Naruto meniru Kurama dengan mendengus sambil menepuk dadanya penuh rasa bangga. "Aku adalah Tukang Jahil Nomor Satu di seantero Konoha! Tentu saja aku hebat!"

    Kurama tertawa geli. "Goshujin-sama, bukan begitu caranya. Lihat contoh Kurama." Gadis personifikasi makhluk mistis itu mengambil posisi di samping Naruto sebelum menepuk dadanya. "Hmph."

    "Lalu? Memang ada bedanya ya antara "Hmph!" dengan "Hmph."?"

    "Kalau Goshujin-sama pakai tanda seru, yang ada malah kedengarannya jadi kekanak-kanakan. Dengan menggunakan "Hmph." alih-alih "Hmph!", kita bisa mengungkapkan rasa bangga namun tetap terdengar elegan. Sama seperti cewek kalau malu, mereka lebih sering mengucapkan "Kyah!" padahal seharusnya mereka memakai "Kyah...!"."

    "Tidak, tidak, tidak. Aku nggak setuju," Naruto menggeleng-geleng, lalu menghadap Kyuubi sambil bersidekap. "Kalau lagi malu, harusnya cewek memakai "Iyan~"—"

    "Oi, dua sejoli yang lagi sibuk diskusi hal gak penting di situ," Naruto dan Kurama sama-sama menoleh ke arah kembaran Naruto yang baru keluar dari hutan, tangannya mencengkeram pergelangan kaki Dohnaseek dan menyeret Datenshi laki-laki yang juga tak sadarkan diri itu sembari berjalan ke arah Naruto yang asli. "Bisa berhenti ngebanyol sebentar? Kita harus mutusin ini makhluk harus diapain, soalnya."

    "Bos!" Naruto baru saja membuka mulutnya ketika satu suara lagi, kali ini nadanya penuh semangat, terdengar dari arah yang lain. Dua Naruto dan satu Kurama melirik ke kanan, di mana kini satu orang Naruto lagi membawa sosok Kalawarner yang pingsan... dengan menggendong Datenshi berwujud perempuan dewasa itu sedemikian rupa sampai kepalanya nangkring di antara dua payudara bohai milik sang wanita. "Bos, yang satu ini dadanya gede! Lembut! Harum lagi! Pasti enak kalo dijadiin bantal guling nih!"

    Kalau saja dia sedang di dalam sebuah anime, Naruto pasti sudah jatuh tersungkur dengan begitu hebat sampai wajahnya terkubur beberapa senti di dalam tanah karena melihat tingkah Kagebunshin yang pasti mendapat bagian personalitas mesumnya. Tapi karena ini kenyataan, Naruto hanya bisa membenamkan wajah dalam-dalam di telapak tangannya.

    "Sudah, sudah," Kurama mengelus kepala majikannya yang mengerang penuh derita. "Bukan salah Goshujin-sama kalau Kagebunshin Goshujin-sama cenderung bego semua."

    Tentu saja kembaran Naruto yang satu lagi tidak terima. "HEI!"

    ~•~​

    Setengah jam yang lalu...

    Issei memperhatikan ketiga Datenshi yang bertugas menjaga pintu depan gereja itu terbang mengikuti Naruto yang sudah mulai melompat menjauh dari tempat itu. Ia menggigit bibir, khawatir dengan teman sekelasnya, namun kata-kata Naruto kembali muncul dalam ingatan sang pemuda.

    ...

    "Prioritasmu adalah keselamatan Asia, bukan keselamatanmu sendiri, apalagi keselamatanku."

    ...

    Issei memaksa dirinya untuk berhenti, menjejalkan rasa cemas itu jauh-jauh di lemari benaknya yang terdalam. Naruto benar, dia datang ke sini dengan niat menyelamatkan Asia, dan untuk sekarang, tak ada hal yang lebih penting dari mencapai tujuan itu.

    Sesegeranya setelah sosok Naruto dan tiga Datenshi itu menghilang dari pandangan, Issei keluar dari persembunyiannya dan melangkah ke pintu gereja yang bisa ia buka dengan begitu mudahnya. Mungkin karena mengira bahwa ketiga Datenshi rekan Raynare itu sudah cukup sebagai asuransi keamanan, mereka bahkan tidak mengunci jalan masuk ke gereja itu.

    Hal yang sangat bodoh bahkan bisa dibilang ceroboh, namun Issei hanya peduli dengan fakta bahwa keteledoran kelompok Raynare telah memudahkan jalannya.

    Langkah yang ia ambil cepat, tangannya terkepal di dua sisi tubuh dan matanya memperhatikan keseluruhan isi ruangan seteliti mungkin tanpa sedikitpun mengorbankan kecepatannya berjalan, bergegas namun selalu siap mengantisipasi usaha pertahanan maupun serangan yang bisa muncul mengancamnya kapan saja.

    Dugaannya benar. Belum sampai ia di altar yang membelakangi salib yang sudah hancur setengah itu, suara tepukan tangan menyertai munculnya lawan pertama yang menjadi penghalang jalannya.

    "Hei, hei, hei...!" suara memuakkan milik pendeta psikopat yang terlalu haus darah untuk bisa dibilang seorang pemakai tenaga suci itu kembali terdengar di telinganya, membuat gigi Issei bergertak dan kepalan tangannya semakin erat. "Kita ketemu lagi! Ahh~, ini membuatku sangat tersentu—"

    "Dimana Asia?"

    Freed merasa kesal karena sudah disela, tapi kalau toh Iblis di depannya ini akan segera mati di tangannya, Freed rasa bukanlah hal yang terlalu berat untuk menjawab pertanyaan itu.

    Freed mulai bicara dengan nada suara yang ditinggi-tinggikan sembari menoleh ke altar tempat jalan rahasia tersembunyi. "Dia ada di aula ritual di dasar tangga rahasia itu. Tapi itu tidak penting karena—"

    "Promotion: Queen," Issei menggunakan salah satu keahlian spesialnya sebagai Iblis yang memegang peranan Pion, dan seperti saran Naruto, ia harus memakai kemampuan spesial ini untuk mendapatkan kekuatan setinggi mungkin. Saking fokusnya, Issei sama sekali tak mengacuhkan ekspresi terkejut Freed yang tak menyangka monolognya akan kembali dipotong begitu saja. "Sacred Gear."

    ...

    "Ketika kau sudah di dalam, jangan pernah berhenti untuk apapun atau siapapun. Tak peduli kau terkejut atau takut, enyahkan semua perasaan yang mungkin akan menghalangimu mencapai tujuan. Jika ada musuh, kalahkan. Jika ada halangan, hancurkan! Kalau kau perlu mencari informasi dari musuh, maka lakukan, tapi kuulangi lagi, prioritasmu adalah keselamatan Asia! Dan setiap detik yang kau habiskan untuk ngobrol atau mendengarkan monolog tidak penting dari lawan adalah satu detik yang mungkin mereka pakai untuk membahayakan Asia!"

    ...

    "Boost!"

    "Kau—"

    Freed bahkan baru sempat mencetuskan satu kata ketika Issei tiba-tiba saja sudah berlari melesat ke arahnya. Pendeta yang dikucilkan dari Vatikan karena selain dia memang pada dasarnya tak pernah beriman, tapi juga karena sifatnya yang terlalu vulgar dan suka membunuh tanpa pandang bulu itu tersenyum lebar sembari mengantisipasi pertarungan menyenangkan. Senyum itu mulai hilang hampir sepersekian detik kemudian ketika Issei terus berlari tanpa jeda, mementalkan semua tembakan yang senjata Freed muntahkan dengan kecepatan dan kekuatan yang ia dapatkan dari Promotion: Queen dan dilipatgandakan dengan Sacred Gear.

    Sengiran Freed lenyap seluruhnya ketika Issei tiba dan kepalan tangannya menghampiri wajah sang pemburu setan liar, mementalkannya ke belakang dengan momentum tinggi sampai bertemu dengan podium yang langsung hancur ketika ia jatuhi.

    "K-kau...!" Freed berdiri lagi sambil memegangi hidungnya yang patah dan mengucurkan darah, matanya melebar saat menyadari bahwa Issei sama sekali tidak berniat membiarkan ada jeda dalam pertarungan dan sudah kembali berlari untuk memburunya. "G-gh, aku tidak rela dibunuh Iblis di tempat seperti ini! Ciao!"

    Cahaya luar biasa terang dan menyilaukan membuat gerakan Issei terhenti sesaat, memakai tangan kanan untuk menutup mata serta menyiapkan tangan kiri di mana Sacred Gear-nya terpasang untuk bertahan kalau-kalau ada serbuan mendadak. Saat cahaya itu mati, ia mendapati bahwa Freed telah lari. Issei sama sekali tidak memberi perhatian berlebih pada fakta bahwa musuhnya berhasil kabur, matanya telah tertuju ke lubang tempat tangga rahasia terletak dan kakinya sudah mulai kembali membawa tubuhnya berkelebat maju.

    Ia menuruni tangga rahasia itu hanya dengan dua kali lompatan panjang, menemukan sebuah lorong tunggal di dasarnya dan mendapati bahwa di ujung lorong pintu yang terbuka dengan cahaya di baliknya. Issei kembali berlari, seluruh otak dan benaknya hanya terisi dengan gadis biarawati yang telah mengorbankan diri demi menyelamatkan dirinya yang lemah, dan ia kembali mengucapkan sumpah bahwa apapun yang terjadi, Asia akan selamat malam ini.

    Issei mendapati dirinya tiba di sebuah ruangan dengan luas setidaknya seratus meter persegi, ruang ritual yang diterangi cahaya temaram lilin dan obor, dipenuhi oleh segerombolan orang dengan jas hitam panjang dan topi fedora yang semuanya hampir terlihat sama. Di seberang sana, ada sebuah tangga, dan di puncak tangga itu, Issei melihat Datenshi yang telah membunuhnya hampir seminggu lalu serta satu-satunya gadis berambut pirang yang kini memenuhi setiap seluk beluk sukmanya.

    "ASIA!"

    Remaja yang terpasung di salib yang menjadi media pelaksanaan ritual itu mengangkat kepalanya, matanya yang semula tertutup sekarang terbuka. Ketika ia melihat bahwa orang yang merupakan teman terbarunya itu telah tiba, mata hijaunya menjadi basah dan berkaca-kaca. "...Issei-san..."

    Raynare serta rombongannya berbalik dalam satu gerakan bersamaan, dan wajah sang Datenshi menampakkan ekspresi seakan tak percaya bahwa seseorang yang baru saja dilahirkan kembali menjadi seorang Iblis bisa dengan begitu cepatnya mengalahkan penjaga-penjaga yang telah ia pasang di jalan masuk ke ruang ritual. Tapi Raynare dengan cepat mengendalikan emosi, mulutnya terbuka dan menggeram pada bawahannya.

    "Tahan dia! Jangan sampai dia kemari sebelum ritualnya selesai!"

    Akan tetapi, sebelum mereka sempat bergerak, bahkan sebelum Raynare sempat menyelesaikan perintahnya, Issei telah mengeluarkan sesuatu dari dalam kantongnya. Sebuah kotak kaca berbentuk persegi panjang yang terbagi menjadi tiga kompartemen, masing-masing bagian berisi pil sebesar kelereng dengan warna hijau, kuning, dan merah. Naruto telah memberikan ketiga pil ini, yang ia katakan adalah hadiah dari sahabatnya di kampung halaman sebelum dia pergi mengembara bersama Shishou-nya, demi menambah persentase keberhasilan Issei dalam misinya menyelamatkan Asia.

    Ia membuka kompartemen pertama, lalu memasukkan pil yang hijau ke dalam mulutnya.

    ...

    "Namanya adalah Sanshoku no Gan'yaku (Three Coloured Pills). Tapi ingat, pil ini hanya kuberikan dengan kondisi kau menemukan situasi luar biasa yang tak bisa kau atasi dengan Promotion dan Sacred Gear-mu. Kutekankan, hanya situasi luar biasa, dan dengan itupun, kau hanya kuperbolehkan menelan pil hijau."

    "Jangan pandang aku seakan aku ini pelit, kau bisa menelan semua pil ini sekali jalan kalau kau mau, tapi yang harus kau tahu, tiga pil ini adalah pedang bermata dua. Walau memang berguna untuk meningkatkan kekuatanmu berkali-kali lipat, tapi pil ini juga akan meracuni dan merusak tubuhmu."

    "...Aaaghh, aku mengerti! Baiklah, karena kau bilang kau siap membuang nyawa demi Asia, kau juga kuberi izin menelan pil kuning kalau, dan hanya kalau dengan pil hijau kau masih tak bisa menyelesaikan pertarungan! Tapi jangan, jangan sampai kau menelan pil merah. Aku tak peduli kalaupun tubuh dan kondisi jasmani bangsa Iblis jauh lebih baik dari manusia, kau pasti mati kalau kau sampai menelan pil yang itu! Jangan biarkan situasi jadi terlalu buruk sampai kau perlu minum pil itu, oke?!"


    ...

    (Play Black Lagoon OST – Red Fraction)

    "Haaa~!"

    Baru dua detik pil itu ia telan dan mencapai lambungnya, energi Youki meledak dari tubuh Issei dengan gelombang kejut yang menimbulkan angin sekuat topan, mengibarkan jas, menerbangkan fedora, serta mendorong jatuh beberapa pendeta kafir di ruangan, serta menciptakan tekanan hebat yang meretakkan bata lantai di bawah kakinya. Aura hijau yang di masa depan akan menjadi ciri khas tiap kali Issei mengobarkan Youki-nya terlihat menyelimuti sekujur tubuh remaja berusia tujuh belas tahun itu, menekankan fakta bahwa Raynare dan rombongannya tidak sedang menghadapi seseorang yang baru menjadi Iblis... tapi seorang Iblis yang sedang marah.

    "Kembalikan Asia...!" Issei mendesis sambil mengabaikan rasa sakit di tubuh yang disebabkan oleh Youki yang meluap-luap seperti badai di tengah lautan. Ketika ia mengangkat wajahnya, bahkan Raynare sendiri terpaksa mengambil satu langkah mundur karena tak mampu bertahan ketika dipandang oleh mata Issei yang bersinar dengan tekad murni yang membara seperti api Neraka. "KEMBALIKAN ASIA!"

    "Boost!"

    Entah karena terlalu dikuasai rasa takut, atau karena dia memang nekat, salah satu pemburu setan bertopeng yang berkumpul di dasar tangga tiba-tiba berlari maju dengan teriakan panjang dan pedang yang siap ditebaskan. Issei sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari puncak tangga di mana Asia terpasung, dan ketika pemburu setan itu sudah dalam jarak serang, sang Iblis mengayunkan tangan berlapis Sacred Gear-nya yang berkelebat begitu cepat sampai menjadi tak terlihat.

    Tubuh sang pendeta terbang, kakinya meninggalkan lantai dan tubuhnya terlipat hingga membentuk sudut tiga puluh derajat, sebelum menghantam dan terbenam di dinding kiri ruangan bawah tanah tersebut. Ketika kepulan debu yang menyelimutinya pupus, tubuh pendeta pengkhianat yang telah mengasosiasikan dirinya dengan seorang Datenshi itu sama sekali tidak bergerak, dan tak ada napas yang nampak menggerakkan dadanya.

    ...

    "Ada satu hal lagi yang harus kuberitahukan padamu, Issei. Aku tak bisa berkata pasti, tapi demi menyelamatkan Asia, ada kemungkinan besar di akhir malam ini tanganmu akan berlumur darah. Tidak, aku tidak mengatakan ini untuk membuatmu berubah pikiran, aku hanya ingin kau tahu bahwa terkadang, demi menyelamatkan seseorang, kau harus menyiapkan dirimu untuk memikul beban yang berasal dari melenyapkan nyawa orang lain."

    "Tapi dengarkan aku, kau tidak boleh memikirkan itu selama pertarungan masih berlangsung. Seperti yang sudah kutekankan berkali-kali, misimu malam ini hanya dan hanya menyelamatkan Asia, apapun caranya. Kalau kau harus merobek kulit musuhmu, maka robeklah. Kalau kau harus mematahkan tulang musuhmu, maka patahkanlah. Kalau kau harus membunuh musuhmu, maka bunuhlah. Tapi kau tidak boleh memikirkannya, fokuskan seluruh otak dan kehidupanmu untuk menyelamatkan Asia. Nanti, setelah Asia aman, kau akan punya waktu untuk merenungkan apa yang akan terjadi malam ini. Tapi hanya setelah Asia aman."

    "Yah, tapi setidaknya aku bisa meringankan bebanmu sedikit. Kau tahu bahwa mereka bekerja dengan seorang Malaikat yang dibuang dari Surga kan? Orang yang baik takkan mungkin bekerjasama dengan makhluk seperti itu tanpa terpaksa atau karena sudah ditipu, dan setelah mendengar ceritamu, aku tahu bahwa orang dengan deskripsi itu hanyalah Asia seorang. Dan jika menilik pembunuhan yang terjadi kemarin malam, aku yakin bahwa tangan orang-orang yang mungkin akan kau temukan di sana juga pasti berlumur darah orang tak bersalah."

    "Karena itulah, Hyoudou Issei, gertakkan gigimu rapat-rapat dan kepalkan tanganmu kuat-kuat. Kalau kau mau melakukan ini, maka bersiaplah, karena setelah malam ini berakhir, tanganmu akan berlumuran darah dan kau akan memikul beban yang berat."


    ...

    Issei memaksa diri untuk tidak menggubris korban pertamanya itu dan berkelebat maju, tangannya mencengkeram wajah dua pemburu setan yang kemudian ia hempaskan ke lantai. Ia merendahkan tubuhnya dan mencengkeram pergelangan kaki salah satu orang, yang kemudian ia gunakan seperti pemukul baseball untuk menghajar lima lelaki bertopeng yang lain.

    "Boost!"

    Issei terus melesat, tangan dan kakinya melayang dalam serbuan dengan hasil yang sangat mudah diperkirakan. Promotion: Queen yang ditambah dengan Boost membuat kekuatannya, yang kembali ditingkatkan dengan pil hijau dari Naruto sampai hampir sepuluh kali lipat dari level semula, terus dan terus berganda sampai Issei hanya membutuhkan satu pukulan atau tendangan untuk melumpuhkan satu orang, membuat Raynare seakan sedang menyaksikan sebuah buldoser berkecepatan tinggi yang mampu melibas habis apapun yang menghalangi jalannya.

    Raynare merasakan napasnya tercekat ketika sadar bahwa Issei sudah berhasil melewati bawahannya dan sekarang sudah setengah jalan menaiki tangga.

    "Brengsek!"

    Raynare seakan-akan kembali ke sore hampir satu minggu silam, ketika dia dipaksa tunduk dan dibuat tak berdaya oleh orang yang awalnya sama sekali tak ia anggap sebagai faktor yang berbahaya ketika ia menyaksikan Issei menepis tombak cahaya sang Datenshi dengan Sacred Gear-nya tanpa kesulitan apa-apa.

    "Boost!"

    Kekuatan dan kecepatan Issei kembali bertambah dua kali lipat, membuat wajah Raynare pucat pasi saat mendapati bahwa bocah yang ia bunuh sendiri di sore hari setelah kencan palsu mereka itu mencapai posisinya hanya dengan sekali lompat. Raynare tak sempat menghindar, tak sempat bergerak, dan dia bahkan tak sempat mengumpat ketika tinju yang dilapisi Sacred Gear berwarna merah itu menghampiri wajahnya, menciptakan rasa sakit dan mematahkan batang hidung sang malaikat buangan sebagaimana Issei meremukkan hidung Freed beberapa menit lalu.

    "Issei-san..."

    Raynare yang sekarang terpental ke samping hanya sempat melihat Issei yang membabat dan merobek-robek rantai pengekang Asia seakan-akan benda itu hanya terbuat dari kertas dan bukannya besi, sebelum ia terhempas dan terbenam ke dinding seperti nasib beberapa bawahannya.

    "Boost!"

    Issei merentangkan tangannya dan meraup tubuh Asia yang terjatuh ke depan setelah terbebas dari rantai yang memasungnya ke salib, dan dengan kekuatannya yang kembali berlipat ganda, Issei menjejakkan kakinya sampai lantai menjadi remuk di bawah pijakannya, meloncat begitu tinggi dan jauh sehingga dia terlihat seakan-akan terbang ke seberang ruangan.

    Tepat setelah mendarat, dengan gerakan yang sangat hati-hati Issei mendudukkan Asia yang masih menatapnya dengan mata berkaca-kaca, masih tak bisa percaya bahwa dia telah diselamatkan oleh orang yang telah membuat apa yang Asia kira akan menjadi hari terakhirnya di dunia begitu spesial dan menyenangkan.

    "Asia..."

    Mendengar suara itu membuat sang biarawati mendongak, dan ketika Asia menatap mata cokelat yang bersinar khawatir itu, kekhawatiran dan perhatian yang ditujukan untuknya dan hanya untuknya itu, mata Asia terasa semakin panas dan tangisannya berubah tak tertahankan. Ia mengalungkan tangannya ke leher Issei, memeluk remaja berambut cokelat itu kuat-kuat seakan-akan takut bahwa semua ini akan berubah menjadi mimpi kalau dia melepaskannya, menangis dan terisak dengan air mata bercucuran, tidak dari kesedihan, namun kebahagiaan tak tertahankan.

    Didekap sekuat tenaga seperti itu, Issei sama sekali tak protes, karena rasa cemas, khawatir, dan takut yang sudah terus merongrong hatinya sekarang telah pudar tak bersisa, digantikan oleh rasa lega dan gembira yang membuat paru-paru dan rongga dadanya terasa menggelembung seperti balon yang dipompa udara sampai siap pecah. Ia turut menggerakkan lengannya dan membuat pelukan mereka kian rapat, dan untuk sesaat, ruang bawah tanah yang gelap dan suram di sekelilingnya seakan lenyap dan mengecil menjadi alam terang benderang yang diperuntukkan hanya bagi mereka berdua.

    "Boost!"

    Saat ia mendengar deklarasi penggandaan kekuatan dari Sacred Gear yang dia miliki, Issei tahu bahwa momen menyenangkan itu takkan berlangsung selamanya.

    "Asia..." Issei melonggarkan pelukannya, tindakan yang diikuti oleh Asia, dan kelihatannya gadis itu sama-sama diserang rasa enggan karena tangannya masih bersarang di tengkuk Issei. "Asia, pekerjaanku masih belum selesai, jadi bisakah kau tunggu sebentar lagi?"

    Asia sebenarnya ingin menggeleng, tapi tahu bahwa sekarang bukanlah saatnya bersikap egois. Ia melepaskan Issei, lalu mengambil satu langkah mundur dengan wajah tertunduk.

    Issei mengangkat tangannya dan mengelus puncak kepala Asia. "Asia, tutup mata dan telingamu rapat-rapat, oke?"

    Asia hanya mengangguk, dan hampir saja mengerang protes saat merasakan tangan Issei meninggalkan kepalanya.

    "IBLIS JAHANAM!"

    Teriakan itu menjadi pemicu yang kembali membakar amarah Issei. Setelah memastikan Asia menuruti perintahnya, remaja berusia tujuh belas tahun yang baru saja dibangkitkan sebagai Pion Rias Gremory itu berbalik dan berjalan maju, wajahnya yang lembut ketika menatap Asia sekarang sudah berubah ekspresi menjadi keras lagi.

    Di sana, berdiri Raynare dan bawahannya yang masih tersisa. Melihat ekspresi ganas seperti hewan buas sekarang terpasang di wajah sang Datenshi, matanya yang bersinar merah dengan kebencian, serta giginya yang entah mengapa sekarang semua tajam, Issei benar-benar tak mengerti bagaimana dia bisa bersandiwara dengan begitu hebatnya sampai-sampai Issei harus mengakui bahwa ia sempat jatuh cinta walau hanya untuk sementara.

    Tapi ketika Issei ingat seperti apa kondisi Asia saat ia pertama kali tiba di ruangan bawah tanah itu, rasa suka yang ia simpan untuk gadis yang semula ia kenal sebagai Amano Yuuma itu habis terbakar oleh api amarahnya yang membara.

    Issei meraih kotak kaca yang ada di kantong celananya untuk mengambil dan menelan pil berwarna kuning.

    Raynare sudah siap memimpin serangan ketika energi Youki kembali membuncah dari tubuh bocah Iblis di depannya, dan kali ini, gelombang kejut yang diciptakan ledakan energi itu cukup kuat untuk membuat seisi ruang bawah tanah itu seperti sedang diguncang gempa. Lantai di bawah kaki Issei retak seperti baru saja dijatuhi batu karang, dan Youki yang semakin meluap-luap membuat serpihan-serpihan bata meninggalkan lantai dan mulai mengambang naik di udara dengan tekanan auranya yang begitu kuat sampai mendistorsi hukum fisika. Energi Iblis berwarna hijau jamrud membanjiri ruangan tertutup itu dengan intensitas yang tak ada bedanya dengan air bah, membuat para pengguna Tengeki itu seakan sedang dilahap oleh murka seluruh penghuni Neraka, menghentikan napas mereka di tenggorokan, telinga berdenging, dan pandangan menjadi buram.

    Issei merasa tak ubahnya orang yang dibakar hidup-hidup. Semua syaraf dari telapak kaki sampai ke kulit kepalanya terasa seperti disambar kilat, paru-parunya seakan diisi oleh timah panas yang membuat setiap tarikan napasnya pendek, cepat, dan menyakitkan. Matanya seakan menjadi bara yang siap menyala kapan saja, darahnya bergolak seperti lahar yang membuat semua uratnya menderita. Kulitnya seperti dipanggang, dan setiap serat ototnya serasa seperti diterjunkan ke minyak panas yang membuatnya ingin menjerit kesakitan.

    "Boost!"

    Ketika kekuatan yang sudah hampir tak tertahankan itu kembali berlipat ganda, Issei merasa bahwa seluruh tubuhnya seakan-akan baru saja dijejalkan ke sebuah lubang berisi api Neraka. Tapi Issei hanya menggertakkan giginya sekuat tenaga, karena ia telah bersumpah, bahwa demi melindungi Asia, Issei siap menerima derita apapun walau itu membuat rongga dadanya serasa mau jebol dan batok kepalanya seperti bom yang siap meledak.

    Sebisa mungkin, Issei memaksa tubuhnya yang sudah begitu kesakitan untuk mematuhi perintahnya, untuk membuat wajahnya mendongak dan menatap lawannya. Ekspresi penuh kebencian yang tidak berapa detik lalu ia lihat di wajah Raynare telah memberitahunya bahwa malaikat buangan itu siap melakukan apa saja untuk memperoleh Asia kembali, membuatnya sadar bahwa selama sang Datenshi dan bawahannya hidup, keselamatan Asia akan terus terancam dan takkan pernah menjadi sesuatu yang pasti. Namun bagi seorang Hyoudou Issei yang telah melihat ekspresi bahagia di wajah Asia, dia sadar bahwa dia takkan tahan, takkan bisa menerima, dan takkan bisa hidup kalau sampai gadis berambut pirang itu kembali dirampas dari sisinya.

    Dia telah bersumpah untuk menyelamatkan Asia, sekarang dan untuk selamanya, dan agar tujuan itu tercapai, Issei menyadari bahwa Raynare tak bisa lagi dibiarkan hidup di dunia.

    Tinju Issei terkepal dengan begitu kuat sampai semua tulang di buku tangannya berderak. "Kalian yang berani memanfaatkan Asia...!"

    "Boost!"

    Issei hampir saja hilang keseimbangan dan kesadaran ketika tenaga, sekaligus rasa sakit di tubuhnya lagi-lagi berlipat ganda. "Kalian yang berani menyakiti Asia!"

    "Boost!"

    Issei mengernyit dan giginya beradu keras ketika organ-organ dalamnya hampir gagal bekerja dan otot-ototnya hampir robek semua ketika dipaksa mengkontain energi Youki yang kembali berlipat ganda di tubuhnya. Tapi Issei berhasil mengendalikan dan menundukkan semua energi yang seharusnya sudah membuat tubuhnya hancur dan terurai menjadi serpihan-serpihan kecil itu hanya dengan tekad api dan baja.

    "KALIAN YANG BERANI MEMBUAT ASIA MENANGIS!"

    Issei mengangkat Sacred Gear-nya dan mengarahkan senjata itu ke depan, tak menyadari atau tak peduli bahwa satu dari tiga belas Longinus itu telah berubah bentuk menjadi sarung tangan besi yang menutupi seluruh permukaan tangannya. Sebentuk bola energi merah yang terbuat dari Youki murni tercipta, mengambang di depan Sacred Gear-nya, awalnya hanya sebesar kerikil, namun terus dan terus dan terus membesar.

    Issei meraung dengan segala murka dan kemarahan yang membara seperti api Neraka di hatinya.

    "KALIAN TAK AKAN KUMAAFKAN!"

    "Explosion!"

    Kalau ia ditanya apa yang membuat ia mengucapkan dua kata yang tercetus dari mulutnya satu detik kemudian, Issei hanya bisa menjawab bahwa dua kata itu muncul begitu saja di kepalanya seakan-akan memang sudah ada di dalam sana sejak ia pertama dilahirkan, atau karena ada sesuatu yang membisikinya.

    "DRAGON SHOT!"

    Dan jika di masa depan ia diminta untuk mendeskripsikan apa yang mampu ia lakukan dengan jurus itu, Issei akan menjawab bahwa dengannya, dia hanya bisa melakukan satu hal.

    ...Bahwa dengannya, Issei hanya bisa [Memusnahkan Segalanya.]

    ~•~​

    Di pintu gereja yang sekarang terbuka lebar, Naruto berdiri sendirian, tangan di kantong jaket, dan wajahnya menghadap ke depan.

    Dia tak perlu menunggu lama, karena di kesunyian yang meliputi tempat gelap itu, ia bisa mendengar langkah-langkah yang semula hampir tak bisa didengar telinga namun terus dan terus menjadi lebih keras dari sebelumnya.

    Hal pertama yang masuk ke pandangan Naruto adalah kepala penuh rambut cokelat tua, muncul dari lubang di depan salib yang setengah utuh, sampai akhirnya remaja yang hampir dua tahun lebih tua darinya itu muncul sepenuhnya dari apa yang Naruto ketahui sebagai tangga rahasia.

    Hyoudou Issei, Iblis, teman sekelas, sekaligus teman dengan siapa Naruto telah memberikan sumpah setia sebagai seorang ninja.

    Langkah yang diambil Issei dilakukan dengan lambat-lambat, sedikit kaku namun tetap pelan, seakan tak ingin membangunkan gadis berambut pirang yang sekarang terbaring di buaiannya. Wajah dan sekujur tubuh remaja itu kotor dengan percikan darah dan debu, namun Naruto harus mengakui bahwa ekspresinya terlihat begitu damai, seakan-akan tak akan tak ada hal lain yang lebih penting baginya daripada terus mengawasi gadis yang tertidur di gendongannya.

    Mereka hanya terpisah dengan jarak paling banyak lima langkah ketika akhirnya Issei mendongak, dan ekspresi damai di wajahnya semakin dicerahkan oleh rasa lega ketika ia melihat bahwa teman sekelas yang telah membantunya menyelamatkan Asia ternyata berhasil memenangi pertarungannya sendiri dan tetap dalam kondisi baik-baik saja.

    Bibir Naruto yang semula membentuk garis datar kini melengkung ke atas. "Kau juga minum pil yang kuning?"

    Kalau saja lengan Issei tidak sedang digunakan untuk menggendong Asia dalam sebuah buaian, Iblis remaja itu pasti sudah mengusap kepalanya dengan malu.

    Naruto menghela napas tanpa membuang senyuman. "Tidak usah pasang muka bersalah seperti itu. Seperti yang sudah kubilang, aku sama sekali tidak keberatan kau memakai pil itu selama kau bisa memenuhi tujuanmu." Shinobi pirang itu melirik gadis yang tertidur di pelukan Issei. "Dia bagaimana? Baik-baik saja?"

    "Cuma kelelahan," paras Issei yang bersimbah keringat dan nampak begitu kehabisan tenaga itu kembali melembut saat matanya teralih ke wajah Asia. "Tapi setelah apa yang ia alami hari ini, aku tidak heran."

    Naruto mengamati Issei selama beberapa saat sambil mengusap-usap dagunya. "Kau sendiri? Dari apa yang kulihat, kau bahkan seperti tidak kuat untuk hanya sekedar berdiri."

    "Memang sakit sedikit," melihat ekspresi sangsi Naruto yang mengangkat sebelah alisnya, Issei kembali tersipu. "Oke, sangat sakit. Malah saking sakitnya, rasanya aku bisa pingsan kapan saja." Ia menoleh ke arah Asia lagi. "Tapi Asia sudah aman. Asal bisa memastikan itu, kurasa menghancurkan tubuhku adalah harga yang sepadan."

    Naruto tertawa kecil. "Begitu dong. Jadi cowok harus tahan banting."

    Issei ikut terkekeh. "Yah, daripada 'tahan banting', kurasa lebih tepat kalau kukatakan aku yang sekarang ini 'tahan bakar'."

    Mereka bertukar sengiran. Tapi sebelum kedua remaja itu sempat tertawa lagi, mereka telah terlebih dahulu disela suara yang familier di telinga.

    "ISSEI!"

    Naruto menoleh dan Issei mendongak, hanya untuk mendapati bahwa, di halaman gereja terbengkalai itu, telah berdiri Iblis yang membangkitkan Issei kembali dari kematian sebagai Pion dan didampingi oleh semua anggota Peerage-nya.

    "Buchou?" tanya Issei pelan, dan di sana ia juga menemukan sosok ketua OSIS yang berdiri satu langkah di belakang Rias, diapit oleh Saji dan Tsubaki. Mereka semua memiliki ekspresi yang sama, khawatir, penasaran, bingung, takut, dan marah dicampur jadi satu.

    Issei menoleh ketika mendengar Naruto tertawa masam. "Naruto-san?"

    "Ahh, Issei. Kurasa aku harus memberitahumu sesuatu," sahut Naruto yang sekarang mengusap tengkuknya dengan malu-malu, seakan-akan pandangan semua kaum Iblis yang berdiri di halaman membuatnya merasa seperti seorang anak yang tertangkap basah mencuri kue dari dapur. "Setelah kau meminum pil kuning itu, ledakan Youki yang kau keluarkan bisa terasa sampai lokasiku di tengah-tengah hutan."

    Wajah Issei masih berkerut bingung, tak yakin apanya yang salah dengan hal itu.

    "Tapi kalau aku yang manusia biasa saja sampai bisa merasakannya dari jarak sejauh itu," mata Issei mulai melebar oleh kesadaran. "Artinya ledakan energimu tadi cukup kuat untuk dirasakan semua Iblis yang ada di kota ini."

    "Seluruh kota?" kedua remaja itu mendengar Kiba berkata, dan bagaimana Iblis berambut pirang lurus itu menatap Issei dengan mata yang bersinar tak percaya membuat Naruto merasa bahwa hipotesisnya telah keliru. "Seluruh kota? Youki yang datang dari tempat ini bisa dirasakan oleh seluruh pulau!"

    "Tidak hanya itu," Rias menyambung dengan wajah berkeriut seakan bingung dia harus merasa marah atau bangga. "Tidak kepalang tanggung, energi Youki-mu bisa terasa bahkan oleh kaum Iblis di Meikai, yang adanya di dimensi lain!"

    Naruto menepuk dahinya keras-keras dan melenguh panjang.

    Issei hanya bisa melongo dan bertanya dengan nada tak mengerti. "...A-anu, memangnya itu buruk ya?"

    Naruto mengangkat tangan dan menampar belakang kepala sobatnya.

    To be Continued...​


    A/N: Bagaimana? Apa pendapat readers sekalian menyangkut pertunjukan Naruto dan penampilan Issei? Kalau anda menyukai chapter ini, atau benci atau marah atau apalah, tolong kasih komentarnya!

    Praise me, shun me, applause me, make fun of me. Whatever you want to do, it's your call. Whatever it shall be, I will accept all.

    Thanks a zillion for reading!

    Galerians, out.
     
  9. Galerians Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 5, 2011
    Messages:
    40
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +12 / -0
    Edit: Posting dobel
     
    Last edited: Sep 28, 2014
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.