1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen FACELESS (horror)

Discussion in 'Fiction' started by duniafiksi, Sep 18, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. duniafiksi Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Sep 18, 2014
    Messages:
    11
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +6 / -0
    [​IMG]


    Sahabatku dari Jepang, Hatsu, pernah mengatakan kepadaku tentang masyarakat tidak terlihat, mereka yang sewaktu-waktu bisa mengejutkanmu dan menjadikanmu bagian dari mereka.


    Ini kali pertama aku kembali setelah tiga tahun berada di Jerman. Kerinduan pada kedua orang tua memaksaku pulang lebih cepat dari seharusnya. Dukuh Kecapi nama kampung halamanku. Tentu saja ada banyak pohon kecapi di sana bahkan hampir-hampir menyerupai hutan. Letaknya di sebelah selatan Slamen. Rumahku berdinding batu bata dengan pohon kecapi besar di depannya. Ayahku bilang pohon itu adalah salah satu pohoh kecapi terbaik; buahnya besar dengan sedikit rasa asam. Dari foto terakhir yang dikirim adikku, pohon itu masih ada.

    Pukul 20.15. Aku tiba di jembatan batas desa ketika gerimis turun. Bulan Juli seharusnya masuk musim panas, tapi gerimis ini akan memberikan kesejukan. Gemuruh air mengingatkanku pada masa-masa kecil bermain-main di sungai bersama teman-teman. Jika aku berdiri di sini pada siang hari, maka besar kemungkinan aku akan berlama-lama di tempat ini untuk mengenang masa lalu. Tapi aku harus tiba di rumah sebelum jam sepuluh, atau setidaknya bisa memberi kejutan sebelum kedua orang tuaku tidur.

    Di seberang jembatan tampak cahaya lampu bergerak ke arahku, asalnya bisa dari tukang ronde atau tukang makanan lain. Tapi keadaan tampak ganjil ketika kusadari tidak ada goyangan lain di jembatan kecuali dari langkahku. Hal ini membuatku bertanya-tanya, Apakah ada orang di depanku? Aku merapat ke sisi jembatan berdiri mematung untuk memastikan. Selama tiga menit aku tidak bergerak sama sekali. Pertanyaanku terjawab ketika cahaya itu lewat di hadapanku, dia mengambang tanpa ada seorang pun yang membawanya.

    Kau mungkin mengira itu hanya halusinasiku atau menganggapku bercanda. Hmm, kurasa tidak. Yang jelas aku sama sekali tidak bercanda, meski di sisi lain harus kuakui bahwa rasa lelah membuat pikiranku agak kacau.

    Kini aku menapaki jalan tanah di batas wilayah antara Dukuh Wetan dan Dukuh Kecapi. Jam hape-ku tidak menunjukkan perubahan dan berhenti di angka 20.15. Sialnya dia bermasalah ketika kubutuhkan: tidak ada sinyal dan lampu senter pun tidak bisa digunakan.

    Aku baru akan memeriksa hape-ku ketika tiba-tiba muncul seorang anak kecil dari balik pohon sedang berlari cepat ke arahku. Dia terlihat gembira dan sepertinya sedang bermain bersama kawan-kawannya. Aku berusaha menghindarinya, tapi dia malah menabrak tubuhku dan menembusnya. Belum reda rasa kagetku, terdengar suara tawa anak-anak lain dari arah belakang. Jumlahnya mungkin lebih dari tiga orang dan kemungkinan sedang mengejar anak tadi. Aku menyingkir ke pinggir jalan, membiarkan mereka lewat di hadapanku. Tapi aku sama sekali tidak melihat wujud mereka kecuali merasakan angin dan daun-daun yang berterbangan.

    Jangan kaupikir keanehan ini membuatku takut. Adrenalinku sudah teranjur berlari, kesendirianku menjadi sebuah awal petualangan sebelum melewati kengerian lain. Aku mencoba menenangkan jantungku dengan menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Entah jam berapa saat ini, bulan yang mengikutiku timbul-tenggelam di balik awan hitam. Aaku berpapasan dengan seorang pria muda, tapi tidak ada sapaan khas keramahan Dukuh Kecapi darinya. Tidak apa, mungkin dia penduduk dari desa lain. Kemudian aku bertemu salah seorang tetua yang tidak menjawab salamku. Tidak masalah. Mungkin waktu telah membuat wajahku berubah dan tidak lagi dikenali.

    Perasaanku lega setelah menemukan beberapa penjual makanan pinggir jalan. Dagangan mereka sepi dan tampak tidak antusias. Mereka meringkuk di bawah sarung sambil menunggu waktu tengah malam. Tapi bau sate berhasil menarik perhatian perutku. Penjualnya seorang wanita tua dengan sedikit semangat mengipas-ipas satenya. Aku berjongkok di hadapannya dan langsung mengambil satu tusuk sate seperti kebiasaanku makan sate sewaktu remaja.

    “Berapa?” tanyaku mengeluarkan sepuluh ribu dari kantong celanaku.

    Tapi wanita itu tidak mengambil uang yang kuberikan. Dia bahkan tidak melihatku, wajahnya terus menunduk sambil tetap mengipas-ipas sate. Kuletakkan uangnya di atas sebuah mangkuk kosong dan setelah itu bangkit berdiri. Aku melangkah dengan ragu. Kupikir ada sesuatu yang aneh dengan penjual sate tadi. Setelah cukup jauh melangkah, kupalingkan wajahku ke arah wanita tadi. Tampak dua ekor anjing sedang memakan sate dagangannya. Namun alih-alih mengusir anjing-anjing itu, dia malah membiarkannya sambil terus melakukan kegiatannya mengipas-ipas sate. Tiba-tiba aku ingin muntah. Kumasukkan jari telunjukku kedalam kerongkongan dan aku berhasil terbatuk-batuk. Tapi sayangnya sate itu sudah terlanjur lolos kedalam perut. Aku mengambil botol minuman dari dalam ransel, minum beberapa teguk hingga tenggorokanku terasa bersih. Aku meludah beberapa kali dan terus meludah sepanjang jalan. Kejadian itu masih terbayang di kepala dan susah mengalihkan pikiranku ke hal lain.

    Aku senang ketika memasuki daerah perumahan. Keadaannya masih seperti dulu, masing-masing rumah diterangi obor di pagar halaman. Seorang laki-laki sedang duduk di bale sambil mengisap rokoknya. Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya yang terhalang bayangan atap rumah, tapi aku berusaha mengingat rumah nomor 46 ini. Jika dia tidak pindah, maka pria di hadapanku pastinya bernama Pak Kartono.

    “Pak Kartono?” sapaku.

    Tidak ada jawaban darinya. Mungkin dia tidak mendengar. Menurut hitunganku, usia Pak Kartono menginjak 64 tahun ini. Aku tersenyum sendiri karena angka 46 nomor rumahnya dan 64 tahun usia pemiliknya. Tapi candaan itu berhenti ketika kusadari pria di hadapanku bukanlah Pak Kartono. Tidak ada wajah pada orang itu!

    Selanjutnya aku hanya mendengar bunyi nafasku sendiri dan degup jantung yang semakin cepat dan tak beraturan. Entah sudah berapa lama aku berlari. Namun semakin jauh kedalam semakin asing tempat yang kusinggahi. Sial! Aku bahkan tidak mengenali kampung halaman sendiri!

    Setelah beberapa lama aku merasa sedikit lebih tenang meski sebenarnya ketenangan di tempat itu membawaku kepada situasi yang lebih mengerikan.

    Kini aku berada di tengah-tengah pekuburan. Seingatku, tidak ada kuburan sebanyak ini di Dukuh Kecapi. Kupikir sesuatu yang buruk sedang terjadi di sini, atau, hanya terjadi pada diriku. Aku melangkah tanpa tahu kemana tujuanku. Tiba-tiba keadaan berubah menjadi mengerikan; pohon-pohon bergoyang memainkan daun-daunnya, kelelawar berputar-putar di atas sebuah bangunan kecil di tengah-tengah kuburan, dan setelah itu disusul lolongan serigala bersahutan di kejauhan. Angin berembus kencang di wajahku seiring samar-samar kulihat orang-orang berdatangan dari segala penjuru. Mereka berjalan mendatangiku, masing-masing membawa obor. Namun tampaknya obor yang digunakan lebih untuk menerangi wajah mereka ketimbang penerang jalan sehingga bisa terlihat jelas mereka sama sekali tidak memiliki wajah!

    Aku tidak bisa kabur dari tempat itu, kakiku seolah terpaku kedalam bumi. Mulutku terlalu kaku, kecuali hanya mengerang kecil. Semakin lama pandanganku memburam dan setelah itu perlahan-lahan semuanya menjadi gelap.

    Aku tertidur seperti bayi. Akan tetapi, jika kukatakan semua kejadian yang menimpaku malam itu adalah mimpi, maka kau akan kecewa. Sangat kecewa. Tapi aku benar-benar ingin bangun dan menceritakan akhir kisahnya padamu. Kecuali kau membangunkanku, aku hanya bisa mengatakan padamu keadaanku saat ini yang tidak bisa merasakan waktu berjalan maupun kehangatan matahari. Hanya perasaan sama yang dingin meskipun ketakutan itu perlahan-lahan menghilang dan berubah menjadi sesuatu yang lain. Baiklah, kalau kau tidak ingin membangunkanku, biarlah kutunggu orang lainya yang datang padaku. Toh telingaku masih bisa mendengar, bahkan pendengaranku jauh lebih tajam, seperti saat ini ketika aku mendengar jelas jejak langkah terburu-buru dari seorang pemuda berbobot 65 kg. Aku senang dia datang padaku.

    Ya, bangunkan aku, Sobat! Bangunkan aku!

    Aku bisa merasakan nafasnya jatuh di leherku penuh ketakutan. Dia memanggilku dengan “Pak” lalu memintaku untuk membantunya menunjukkan jalan keluar dari tempat ini. Kemudian setelah itu dia menceritakan kejadian yang sama seperti yang pernah kualami: seseorang tanpa wajah sedang mengejarnya! Oh, aku menjadi kasihan padanya. Aku pun mengangguk sebagai tanda akan membantunya. Dan tidak berapa lama setelah itu aku tidak merasakan nafasnya lagi. Tidak juga ketakutannya. Kemudian kupalingkan wajahku padanya dengan senyum yang tidak bisa dilihatnya.

    “Apakah wajahnya seperti ini?”


    * * *​
     
    Last edited: Oct 17, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. ryrien MODERATOR

    Offline

    The Dark Lady

    Joined:
    Oct 4, 2011
    Messages:
    6,529
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +3,170 / -58
    Hee~ untuk title yg mencantumkan horror dengan pedenya, saya nggak merasa ini cerita horror sama sekali :swt: Entahlah, mungkin karena saya bacanya pagi-pagi gini, tapi sepertinya dibaca malam jumat pun nggak ada bedanya :swt:

    Well, belajar lagi deh buat cerita horror :lalala:
     
    Last edited: Sep 20, 2014
  4. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    Hmm hmm hmm

    3 taon kembali k kampung...mendadak di ending kerasa malah ga memperdulikan latar belakNg awal cerita

    Ga jelas juga kenapa dia jalan2 di awal crita

    Horror tpi ditegaskan dia tidak takut(awal crita) jdi kurang kesan horror e

    Dan gw bingung kenapa dia mesti muntahin sate e hanya karena ada anjing yg makan sate yg lain:???:

    Endingnya jdi inget horror si tanpa wajah khas jepang
     
  5. duniafiksi Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Sep 18, 2014
    Messages:
    11
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +6 / -0
    haiii, makasih masukannya. ane newbie nih, hehe. ini cerpen baru kelar jadi editingnya blom sempurna. :)
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.