1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other My Shattered Writings

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Sep 13, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Sesuai judulnya, trit ini berisi tulisan-tulisan gajes yang isinya lebih merupakan kepingan-kepingan cerita yang belum jadi. Ada kemungkinan suatu hari nanti laptopku shutdown permanen, jadi aku save disini aja. smart, ehh #plakk

    Oh, dan juga, siapapun boleh mengembangkan tulisan menggunakan ide yang aku pakai. just keep in mind that I might use these ideas again in the future :ngacir:
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    reserved for index :maaf:
     
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Semua ini takkan terjadi andai para petinggi pemerintah mau mendengar kami, dan menolak untuk menjadi pelayan bagi negeri asing.

    Aku amat mengerti bahwa masyarakat Pocca adalah masyarakat yang amat ramah pada orang luar, dan selalu beranggapan bahwa orang luar negeri pun akan ramah pada kami semua. Nyatanya, pemikiran kami salah. Sikap ramah tamah bangsa kami nyatanya malah membuat banyak negeri memanfaatkan kami untuk menjadi pelayan mereka.

    Negeri kami, Pocca, adalah negeri yang makmur, memiliki sumber daya alam yang melimpah dan penduduk yang ramah luar biasa. Saking ramahnya, ada anggapan bahwa menolak permintaan seseorang adalah hal yang cukup memalukan, dan sebisa mungkin haruslah dihindari.

    Kami tak menyangka bahwa sikap dan budaya kami ini membuat pihak-pihak asing merasa keasyikan. Mereka memanfaatkan keramah-tamahan kami untuk mengeruk sumber daya alam yang kami miliki. Bahkan pemerintah Pocca hanya bisa manggut-manggut tatkala beberapa delegasi dari negeri-negeri asing meminta lahan Uba yang memiliki potensi tambang emas dan minyak. Dan dengan bayaran teknologi terbaru, pemerintah Pocca sepakat untuk memberikan lahan Uba kepada pihak-pihak asing.

    Yang paling menderita dari hal ini tentunya adalah pekerja pribumi yang disewa untuk mengerjakan proyek penggalian emas dan minyak tersebut. Mereka dipaksa mengikuti aturan kerja sepihak dan dibayar dengan upah rendah, dan bahkan seringkali dilihat sebagai warga kelas dua yang hanya bisa melakukan pekerjaan kasar.

    Tentunya, tak semua penduduk Pocca bisa menerima hal ini. Akibat tekanan mental yang berkepanjangan, sekelompok pekerja di proyek pertambangan berontak. Mereka menawan para petinggi di proyek pertambangan tersebut. Sayangnya, pemberontakan ini tak bertahan lama. Negeri-negeri yang memiliki kepentingan di Pocca kemudian membentuk aliansi tentara yang terdiri dari prajurit-prajurit elite, dan menumpas pemberontakan lahan Uba hanya dalam kurun waktu empat jam.

    Tapi itu bukanlah hal buruk. Yang lebih buruk dari itu semua adalah bahwa aliansi negeri asing itu kemudian memaksa pemerintah kami agar mengizinkan ditempatkannya pasukan keamanan yang khusus ditugaskan melindungi asset mereka, dan bahwasanya mereka hanya percaya pada kekuatan tentara mereka sendiri. Pemerintah Pocca – yang sudah tak memiliki wibawa – tak berkutik. Permintaan aliansi negeri asing itu dikabulkan. Bahkan aliansi negeri asing bisa mendirikan basis pertahanan di wilayah Pocca. Karenanya, kini hampir setiap hari kami melihat orang-orang asing di Pocca.

    Dan tentu saja para tentara itu tak kemari dengan hanya sekedar membawa pakaian dan senapan mereka. Kini mabuk-mabukan, perkataan kasar, prostitusi, dan judi makin banyak terjadi di jalanan di sudut-sudut Pocca. Bahkan kasus pencabulan dan peganiayaan perlahan meningkat. Budaya Pocca hilang sama sekali. Kami yang masih memegang tradisi Pocca malah semakin dianggap aneh.

    Berbagai protes kami ajukan kepada pemerintah, namun tak ada satupun orang dari pemerintah yang mau mendengarkan apa aspirasi kami. Pada puncaknya, sekelompok mahasiswa melakukan demonstrasi di Zir, ibukota Pocca, meminta agar aliansi negeri asing bersikap selayaknya tamu di negeri Pocca.

    Aku ada dalam demonstrasi tersebut, memimpin orasi dari universitas tempatku menuntut ilmu.

    Apa yang kami dapat dari demonstrasi itu sungguh mengejutkan. Ada banyak sekali orang asing yang tinggal di Zir, kami tahu itu. Yang kami tidak tahu adalah bahwa orang-orang asing itu membalas demonstrasi kami dengan melakukan demonstrasi tandingan. Isinya berupa perkataan-perkataan sarkasme yang memuakkan. Mereka berteriak-teriak dan mengumpat, bilang bahwa penduduk Pocca hanyalah warga kelas dua yang tak bisa melakukan apapun andaikata mereka tak ada. Kami tak terima, tentu. Dan entah siapa yang memulai, semuanya berubah menjadi kekacauan. Lemparan batu dan kepalan tinju menjadi hal yang tidak terelakkan.

    Meski tak ada letupan senjata api, pada hari itu delapan orang mahasiswa dan satu orang asing tewas. Entah siapa yang membunuh delapan orang mahasiswa hari itu, namun aku tahu siapa yang membunuh orang asing di hari itu.

    Atau, lebih tepatnya, aku yang membunuh salah satu dari mereka.

    Dibalik jas hujan hitamnya, Yuffie berlari, terus berlari menaiki tangga menuju gedung yang boleh dibilang sudah hancur terkena serangan udara dua hari lalu. Ditangannya menempel sebuah senapan Dragunov AR-24, sebuah sniper yang cukup kuat untuk menembus helm baja. Yuffie amat menyukai senapan ini. Ia amat senang membunuh para orang asing itu dari kesunyian.

    Aku mengikuti dibelakang. Posisiku diapit oleh Yuffie, komandan kami, dan Sean, seorang pemarah yang hobi menggenggam senapan mesin berat. Kabarnya ia menjadi gila semenjak keluarganya diculik pasukan tentara asing. Tampang Sean cukup membuatku ngeri. Berjanggut, brewokan, plus rambut panjang tak terurus. Ah, ia amat mirip dengan Rambo.

    Berlari menaiki tangga dengan napas terengah-engah, betisku rasanya panas sekali. Beruntung hujan petir malam ini membuat cuaca cukup dingin. Ahli strategi kami benar-benar jenius – ia tahu bahwa malam ini akan turun hujan deras, dan bilang bahwa ini adalah momen paling tepat untuk menyerang iring-iringan International Defense Force of Pocca – kami biasa menyebut mereka IDF, sebuah aliansi internasional yang kini berlagak petantang-petenteng di jalan-jalan kota.

    “Sean, berhenti disini!” Yuffie memberi perintah, nada tegas terdengar dari balik suaranya. Ia menahan tubuh kami dengan telapak tangannya. Melihat sekeliling, ia kemudian menyuruh kami bersiap pada posisi tembak yang ada – sebuah celah di tepian jendela.

    Aku berani sumpah, komandan Yuffie benar-benar seorang monster. Ia tak tampak kelelahan setelah berlari menuju lantai lima genung ini. Yang kini kulihat di matanya hanyalah tatapan tajam ke arah jalan, ke tempat dimana terdengar suarau letupan pistol.

    “Seorang lagi yang mati. Sialan! Bedebah IDF itu lagi-lagi membunuh warga sipil yang melawan.”

    Ya, betul. Akhir-akhir ini para personel IDF seringkali merampok harta warga sipil, dan menghajar atau bahkan membunuh mereka yang menolak melayani nafsu para tentara IDF. Presiden kami tak mau bertindak sama sekali, merasa takut oleh ancaman aliansi negeri asing yang konon akan mengerahkan bala tentara untuk menyerang Pocca bila ia tak melakukan apa yang petinggi-petinggi aliansi itu inginkan. Kini yang tersisa hanya kami, kelompok serigala Pocca, yang masih memiliki nyali untuk melawan para begundal asing itu.

    “Dasar iblis, akan kubunuh mereka semua! Akan kuhancurkan jenazah mereka hingga tak ada satupun dari tulang-tulang mereka yang bisa dikenali lagi!” Umpat Sean. Segera ia menyiapkan senapan mesin yang digenggamnya, memasang amunisi, mengokang, dan membidik.

    “Tahan, Sean, belum saatnya!” Kata Yuffie lagi. “Lee, estimasi jumlah musuh!”

    Lee memimpin pasukan kedua yang akan menyerbu musuh dari rusuk pertahanan sebelah tenggara, menusuk langsung ke jantung unit musuh dari garis belakang. Tak sampai dua detik kemudian terdengar suara Len dari walkie talkie yang dibawa komandan Yuffie.

    “Delapan, ah, tidak. Sembilan belas. Sembilan belas orang plus satu kendaraan. Tiga ratus meter sebelum mereka berada dalam jangkauan tembak.”

    “Berada dalam jangkauan?” Tanya Yuffie keheranan. “Seberapa dekat kau dengan posisi musuh?”

    “Delapan ratus meter, sedang mendekat.”

    “Ugh, jauh sekali!” Komandan Yuffie menggerutu, terdengar kecewa. Meski ia tahu bahwa tim Lee akan terlambat, ia masih tampak kesal. “Cepatlah, orang-orang itu bisa habis dibunuh!”

    “Dimengerti! Out!”

    “Tsk!” Kembali komandan Yuffie menggerutu, namun tak lama ia kembali mengintip musuh melalui lensa senapannya, membidik dan menghitung keras-keras, “tujuh, delapan, sembilan belas, tepat!”

    Aku menelan ludah, menggenggam senapan serbu AK-105 dengan tangan gemetar. Tak ingin mengacau di hari pertamaku bersama para veteran ini, aku malah bertingkah sangat gugup.

    “Hei, bocah,”

    Terdengar suara komandan Yuffie memanggil. Aku menoleh, melongo, bingung.

    “Ya, kau, Sherlock!” Katanya lagi, masih menatap jauh melalui lensa snipernya. Disikutnya tubuhku perlahan, hingga aku tahu bahwa ia sedang bicara denganku.

    Tapi, Sherlock?

    Yang benar saja…

    “She, Sherlock?” Tanyaku keheranan. Komandan Yuffie hanya tersenyum mendengarnya.

    “Nama yang bagus, bukan? Kau lulusan universitas dan kelihatan pintar, Tak apa kan jika aku memanggilmu Sherlock?”

    Aku diam, tak menjawab dan malah mengokang senapan yang kugenggam, untuk kemudian ikut membidik. Kurasakan jantungku berdebar amat kencang saat moncong senapanku mengarah ke jalan raya dimana para tentara IDF itu berada.

    “Sherlock, sudah berapa kali kau membunuh orang?”

    Ah…

    Pertanyaan itu, pertanyaan itu kembali terlontar.

    Sial…

    …………

    “Satu…” jawabku perlahan, murung. “Dan aku tak pernah lulus universitas. Aku hanya seorang drop out.”

    “Hee, begitu? Sayang sekali ya, Sherlock. Dari tampangmu, kukira kau orang pandai.”

    “…tidak.”

    Sosok Yuffie tersenyum kecil. Setelahnya terdengar suara Len dari walkie talkie yang dibawa komandan.

    “Komandan, kami sudah siap di posisi! Ada tiga warga sipil yang diinterogasi. Satu dari mereka anak perempuan.”

    “Baiklah, bersiap untuk menyerang!”

    Yuffie berubah serius sekarang, tak tampak emosi apapun dari wajahnya, seolah yang ada di pikirannya kini hanyalah menjatuhkan para tentara asing di jalan raya. Berbeda dengannya, Sean tampak tersenyum penuh nafsu, seolah ia sudah menunggu saat ini tiba.

    “Bunuh, bunuh, ayo bunuh mereka, hahaha…”

    Sean benar-benar sudah gila!

    “Dengarkan aku, Sherlock.” Kata komandan Yuffie lagi. “Jatuhkan tiga orang yang menginterogasi terlebih dahulu. Sisanya terserah kau.”

    “Ba, baik!” Jawabku gugup, mengintip pada bidikan senapan. Beberapa saat setelahnya suasana menjadi sangat hening. Tak ada yang terdengar kecuali gemericik hujan yang turun deras dan petir yang menggema.

    Dan bersamaan dengan suara petir yang menyambar, Yuffie menarik pelatuk senapannya. Ia memanfaatkan suara petir untuk menyamarkan suara dentuman senapannya.

    Satu orang jatuh.
     
    Last edited: Sep 13, 2014
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Sebentar lagi, tepat tengah malam. 50-100 meteor per jam selama empat jam, ah, pemandangan ini hanya bisa dinikmati setahun sekali, kau tahu?”

    Yang ia maksud adalah Hujan Meteor Perseids, sebuah fenomena langit dimana bintang-bintang akan tampak seperti berjatuhan dari angkasa. Selama ini aku tak pernah tahu jika fenomena langit seperti itu sungguh ada – kukira fenomena tersebut hanya ada dalam mimpi.

    “Kalau kau tak kuat, kau boleh tidur saja.”

    “Mmn,” kataku menggeleng. “Aku juga ingin melihatnya, hujan meteor yang kau katakan itu.”

    Dia melihatnya setiap tahun. Wajar saja, rumahnya yang berada di tepi laut memungkinkannya untuk mendapati langit cerah tanpa polusi cahaya. Seperti apa yang kali ini tampak dimataku : ribuan bintang dengan cahaya yang memantul di lautan.

    “Hei, Irina,”

    “Hmn?”

    “Kata orang-orang, saat kita melihat bintang jatuh dan mengucapkan sebuah permohonan, maka permohonan kita akan terkabul.”

    “………”

    “Hei, kau dengar?”

    “…omong kosong. Hal seperti itu sepertinya tak mungkin terjadi.”

    “Kau tak percaya?”

    “Tidak.”

    Dia menoleh padaku, menghela napas dan tersenyum kecil. Aku hanya sedikit saja menoleh padanya, sebelum kembali memandangi langit luas.

    “Tapi, tak ada salahnya meminta sebuah permohonan, bukan? Apakah saat ini ada sesuatu yang benar-benar kau inginkan?”

    ………

    Sesuatu, ya?

    Ah, aku sendiri tak begitu mengerti apa yang kuinginkan saat ini, selain bahwa aku bisa terus bersamanya – kakak kelasku yang kukenal semenjak aku masuk SMA. Bertahun-tahun hidup tanpa orang tua, kini aku hanya berharap bahwa kami bisa terus bersama.

    Tapi rasanya, hal itu tidak mungkin terjadi. Betapapun inginnya aku terus bersamanya, suatu saat nanti kami pasti akan berpisah. Sebab, di dunia ini, tak ada sebuah pertemuan yang bertahan abadi tanpa adanya perpisahan. Aku sudah merasakannya sendiri, bagaimana harapanku akan kebahagiaan yang berlangsung abadi musnah dalam kobaran api delapan tahun lalu, merenggut ayah, ibu, dan kakak-kakakku. Dan setelah bertahun-tahun tinggal di panti asuhan dengan memori buruk akan masa lalu, baru kali ini aku bisa merasakan kehangatan itu lagi.

    Mmn, dia mungkin hanya seorang kakak kelas yang bodoh, namun bagiku dia adalah satu-satunya keluarga yang masih tersisa.

    Jadi, jika aku boleh meminta, aku hanya meminta agar semua kenangan ini terus hidup, dan agar cerita ini berakhir indah.

    “Irina!”

    “Ya, kak Alvin?”

    “Kau tidak menjawab pertanyaanku.”

    Mendengarnya, aku tersenyum kecil. “Aku sudah menjawabnya, kak. Dalam hati.” Kataku. “Takkan kuberitahu padamu apa jawabannya.”

    Langit berbintang di tepi laut ini tampak begitu indah. Cahayanya memantul melalui air laut yang tenang ibarat sebuah cermin raksasa. Konstelasi bima sakti, cahaya putihnya yang membentang ibarat aliran air susu, kini terlihat jelas didepan mata.

    Kak Alvin yang mengajakku kemari. Ayahnya yang seorang nelayan membuatnya tahu banyak tentang laut, langit, dan saat-saat dimana bintang-bintang dengan jelas terlihat di langit luas. Ia juga tahu banyak tentang fenomena Perseids yang hanya terjadi sekali dalam setahun. Dan selama tujuh belas tahun menjalani hidup, Ini adalah pertama kalinya aku akan melihat ratusan bintang jatuh yang bertebaran diangkasa.

    Jantungku sedikit berdebar. Rasanya sungguh menyenangkan.

    Menatap bintang-bintang jauh di angkasa, kak Alvin menggaruk kepalanya perlahan.

    “Anu, Irina…”

    “Hmn?”

    “Kau…mau tidak pacaran denganku?”

    Eh?

    Dia…

    Akh, apa aku tidak salah dengar? Dia memintaku menjadi kekasihnya? Ini…rasanya…

    “Aku ingin kita terus bersama, kau tahu? Aku ingin kita bisa terus seperti ini, satu, dua, atau mungkin sepuluh tahun lagi. Ah, tidak. Bila bisa, aku ingin kita terus bersama hingga tua dan meninggal nanti.”

    ………

    “Tapi…kau tak perlu menjawabnya sekarang, Irina, haha.” Mendadak, sosoknya yang tenang berubah menjadi kikuk tak karuan. “Kau pikirkan saja lebih dulu. Aku tak keberatan menunggu jawabanmu hingga esok atau beberapa hari kedepan. Haha.”

    Kak Alvin…dia…

    “Itu…” Jawabku perlahan. Menatap sosoknya, aku tersenyum senang. “Tak perlu.”

    Kak Alvin menoleh padaku lugu, dan tanpa ragu aku menempelkan kepalaku di pundaknya. Perlahan, tanganku menggaet lengannya.

    “Kau tak perlu menunggu, kak. Karena aku, aku juga ingin bisa terus bersama kak Alvin.”

    “Ah, be…begitu ya?”

    Aku mengangguk, makin membenamkan kepalaku di pundak kak Alvin. Tubuhnya yang semula kaku perlahan berubah makin rileks.

    Dan setelahnya, satu bintang jatuh terlihat diangkasa. Cahayanya yang terang membuat bintang tersebut ibarat sebuah garis yang melesat cepat.

    Diikuti setelahnya, dua, tiga, empat, lima bintang jatuh.

    “Kak Alvin. Terima kasih atas semuanya.” Kataku perlahan, menatap langit luas tempat bintang-bintang berjatuhan, membentuk garis-garis lurus yang bercahaya terang. Menghirup napas panjang, aku tersenyum. Ah, betapa aku amat bersyukur akan adanya hari ini.

    Perlahan, tangan kak Alvin mulai menyentuh kepalaku.

    “Mulai sekarang, panggil namaku saja.”

    Ah…

    Begitu ya? Alvin.

    Baiklah. Mungkin awalnya akan cukup sulit, tapi jika aku berusaha, pasti aku akan terbiasa memanggilnya tanpa embel-embel ‘kak’.

    “Irina? Kau mendengarku?”

    “Ya, Alvin.” Jawabku. “Aku bisa mendengarmu.”

    Alvin tertawa kecil. “Aku menyukaimu, Irina.”

    “Mmn,” kataku mengangguk, “Aku juga menyukaimu, Alvin.”

    Alvin menarik kepalaku hingga makin terbenam di pundaknya. Sambil merasakan hangat jemari-jemarinya, aku menutup mata perlahan.

    Malam ini rasanya begitu indah. Dengan bintang jatuh yang bertaburan diangkasa, dengan laut yang tenang, dengan Alvin yang ada disampingku, memelukku, menyayangiku, rasanya aku tak ingin momen seperti ini berlalu begitu saja.

    “Alvin…”

    “Ya?”

    Aku membuka mata, kembali melihat semua cahaya bintang yang berjatuhan di langit dan terpantul dengan sempurna di laut.

    “Suatu hari nanti, aku ingin kembali melihat pemandangan ini.”

    “Perseids?”

    “Ya,” Kataku mengangguk. Alvin hanya tertawa kecil, kembali memainkan jemarinya di rambutku.

    “Kita bisa melihatnya lagi tahun depan. Saat itu tiba, akan kubawa kembali kau kesini. Kelak kita akan kembali melihat Perseids bersama.”

    “Janji, Alvin?”

    “Tentu,” Alvin mengangguk. “Janji, Irina.”

    Aku pun membenamkan wajahku di dadanya. Dapat kurasakan kedua tangan Alvin menempel di punggungku.

    Dia seharusnya datang hari ini.

    Ah, tidak, bukan. Dia pasti datang hari ini.

    Jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul dua lewat dua puluh, dan hal itu membuatku khawatir. Memang, ada saat-saat tertentu dimana ia terlambat datang, namun tidak sampai empat jam begini.

    Alvin biasanya datang sekitar jam sepuluh, memberiku setangkai bunga yang ia simpan didalam vas di samping tempat tidurku, dan mengajakku mengobrol banyak hal. Kadang ia juga menangis, namun aku tak bisa melakukan banyak hal untuk menghiburnya.

    Yang bisa aku – atau tubuhku - lakukan kini hanyalah berbaring di ranjang yang selama lima tahun ini setia menemaniku. Aku tak bisa bicara, tak bisa melihat, tak bisa mendengar, dan bahkan tak bisa bergerak. Mataku terus terpejam semenjak kejadian di taman bermain itu, dan hingga kini aku masih belum bisa terbangun – terus terbaring kaku dengan mata terpejam layaknya orang mati. Meski demikian, jantungku masih berdetak.

    Anehnya lagi, kini aku bisa melihat wujudku sendiri yang terbaring diatas tempat tidur. Sosok gadis yang kini semakin lemah, terbaring kaku dengan infuse menempel di lengan.

    Lima tahun. Lima tahun aku terjebak diantara hidup dan mati. Terkadang hal itu membuatku kesal. Bagaimanapun, diam dan menunggu untuk kembali bangun selama itu tentulah bukan suatu pekerjaan yang menyenangkan.

    Tetapi Alvin masih setia menungguku. Ia selalu datang menemuiku dua kali seminggu, pada hari Sabtu dan Minggu saat libur sekolah - atau libur bekerja di saat sekarang. Minggu lalu usianya genap menginjak dua puluh tiga tahun, terpaut satu tahun denganku. Waktu benar-benar berlalu begitu cepat.

    Dua lewat dua puluh lima menit, fuhh, lima menit terasa bagai beberapa jam saja.

    Diluar, hujan turun begitu lebat. Petir ikut berpesta ria menyambar langit sejak pertama kali hujan ini turun. Aku kini semakin khawatir. Apakah mungkin Alvin tidak datang hari ini? Ataukah jangan-jangan, Alvin mengalami kecelakaan di jalan? Bagaimana jika ia berakhir sepertiku kini?

    Saat hujan turun, kekhawatiranku selalu naik dua kali lipat. Karena bagaimanapun, kejadian lima tahun lalu juga terjadi beberapa saat setelah hujan turun lebat.

    Berjalan perlahan kearah jendela kamar rumah sakit, menatap tetes air hujan yang berjatuhan dari balik jendela, pikiranku kembali melayang pada kejadian itu.

    ***

    “Ah, hujan.” Kataku perlahan saat mendapati tetes-tetes air yang berjatuhan dari angkasa, turun dan tumpah menjadi deretan garis tak terpisahkan.

    Rencanaku gagal total. Kami bermaksud main sepuasnya di taman bermain kota ini, dan semua ini sudah kami persiapkan selama sebulan penuh. Mendapati rencana kami yang berantakan membuatku sedih dan kesal tak karuan.

    Bergumam perlahan, aku menaikkan telapak tanganku, mencoba menyentuh tetesan air hujan yang terasa amat deras. “Hujan seperti ini mungkin akan bertahan lama,”

    Alvin berdiri dibelakangku, tersenyum polos. Hanya ada kami berdua yang berteduh dibawah atap wahana rumah boneka. Penjaga wahana ini pergi entah kemana, mungkin karena wahana yang menjadi tanggung jawabnya kekurangan pengunjung, sehingga ia bisa meluyur seenaknya. Ah, lagipula siapa yang mau masuk wahana rumah boneka di taman bermain? Orang-orang pasti kemari untuk sesuatu yang lebih menantang. Yah, paling tidak roller coaster atau semacamnya.

    “Hei, Alvin, kau kenapa diam saja?” Gerutuku, kesal. “Katakanlah sesuatu!”

    Alvin hanya tersenyum lugu. “Mengatakan apa? Mau mengumpat bagaimanapun juga, hujan ini kan takkan berhenti hanya dengan mengumpat.” Katanya lagi, dan meskipun kata-katanya benar, aku tetap jengkel dengan tingkahnya yang super santai.

    “Padahal aku sudah menunggu hari ini untuk datang, ah, menyebalkan sekali. Oh, dan, lihat ini,” Kataku sambil menunjukkan setelan jaket dan celana panjang yang kukenakan. “Seluruh bajuku basah kuyup.”

    “Salah sendiri.” Kata Alvin, singkat. “Kau ingin beli es krim dulu, jadinya kan tidak bisa bergerak cepat.”

    “…tidak ada hubungannya.”

    “Jelas ada, bodoh.” Jawabnya, tertawa kecil. “Karena kau lambat, jadinya kau terkena hujan. Coba kalau kau bergerak lebih cepat, pasti aman.”

    Ugh, dia ini…

    “Sudahlah, tak usah menggerutu. Sini, biar kukeringkan rambutmu.”

    Alvin segera melepas jaket kain miliknya dan mulai mengusap-usapkan jaket tersebut di kepalaku. Aku risih, tentu. Dia ini apa-apaan sih?

    Tapi, melihat senyumnya yang tulus disaat yang sama, aku merasa sangat senang.

    “Kira-kira kapan ya hujan ini selesai?”

    “Entah, ya. Aku bukan peramal cuaca.”

    “Dasar, menyebalkan sekali kamu, ya?” Kataku singkat. Alvin tak membalas, hanya terus tersenyum.

    “Hei, Irina,” Katanya kemudian. “Daripada diam dan menunggu hujan tak berhenti, kenapa kita tidak masuk ke wahana ini saja?” Alvin menunjuk ke arah pintu masuk wahana rumah boneka.

    “Ah, rumah boneka? Ogah.” Balasku. “Seperti perempuan saja.”

    “Oh, jadi kau pikir kau laki-laki?”

    “Bukan begitu! Uh…” Lagi-lagi aku menggerutu kesal. “Aku kan kemari karena ingin naik roller coaster.”

    “Kan hujan, say.”

    “Iya, hujan!” Umpatku. “Makanya, sudah, tak usah banyak bicara. Kesal aku!”

    Alvin tersenyum menggoda. “Ngambek nih?”

    Bodo amat! Aku tak mau menjawab! Jengkel aku dibuatnya!

    Tetapi, tanpa diduga, Alvin menepuk kepalaku dengan tangannya, dan kembali mengusap-usap rambutku.

    Dan yang kurasakan ini…perasaan hangatnya…

    “Ayo, kita kedalam. Tak ada artinya bila kita hanya menggerutu saja, bukan?”

    ………

    Entah kenapa aku bisa luluh oleh senyumnya yang tulus.

    Mmm. Benar juga. Tak ada artinya jika aku hanya terus menggerutu. Setidaknya dengan masuk rumah boneka ini, perjalanan kami ke taman bermain ini tidak sia-sia.

    Tersenyum perlahan, akupun mengangguk. Alvin tersenyum lebar sambil menyungginggkan gigi-giginya yang putih bersih. Ditariknya tanganku perlahan, memasuki pintu masuk yang dijaga oleh dua buah boneka beruang berukuran sekitar dua meter.

    Dan didalamnya ternyata tak seburuk apa yang aku pikirkan.

    Boneka-boneka yang ada didalam wahana ini, semuanya tampak begitu hidup. Ada boneka-boneka binatang yang begitu lucu, lengkap dengan miniatur dan interior yang didesain seperti sebuah hutan di negeri dongeng. Ada monyet, kelinci, kuda, gajah, kurcaci, peri, bulan, bintang, kunang-kunang…

    Ah, rasanya seperti berada di negeri mimpi. Menyenangkan sekali. Hanya aku dan Alvin, tak ada siapapun lagi.

    “Coba kau lihat disana,” Alvin berseru kencang, menunjuk sebuah batang pohon buatan dengan dedaunan yang terbuat dari plastik dengan lampu kelap kelip. “Iya, betul, yang itu!”

    “Monyet itu?”

    “Bukan!” Katanya. “Kembaranmu!”

    Sialan!

    “Alvin!” Aku berteriak, kesal, berusaha memukulnya. Alvin mengelak, tentu. Hingga kejar-kejaranpun terjadi di wahana kecil itu.

    Kami tertawa riang, ibarat dua anak kecil yang sedang bermain layang-layang.

    Begitu bebas dan lepas.

    Semuanya berlangsung untuk beberapa saat, ketika kemudian Alvin memutuskan untuk berhenti berlari. Kami sama-sama terengah-engah, kelelahan.

    “Oi,”

    “Apa?”

    “Kembaran monyet!”

    Dasar sialan!

    Aku memukul pundaknya, meski aku yakin ia takkan merasa kesakitan dengan pukulanku itu. Mmn, ia hanya terus tersenyum. Dan perlahan, ia kembali menyentuh kepalaku, lalu keningku.

    “Kau berkeringat.”

    “Kau juga,” Kataku, tersenyum. Alvin terus tersenyum, saat kemudian aku dibuat begitu kaget oleh apa yang ia lakukan setelahnya.

    Ia mengecup keningku dalam-dalam.

    Mataku terbelalak, kaget. Untuk beberapa saat ia terus mengecup keningku, sebelum kemudian melepaskannya dan menatapku penuh makna.

    “Aku menyayangimu, Irina.”

    ………

    Malu…senang…bahagia…

    Tanpa menunggu apapun lagi, aku segera terjun ke pelukannya. Dapat kurasakan perlahan air mata yang mengalir menuruni pipiku.

    Air mata bahagia. Ya, aku amat bahagia bisa bersamanya. Aku tak ingin semua ini berakhir begitu saja.

    ***

    Hujan baru berhenti pada sore hari, saat jam operasional wahana bermain ini selesai.

    Bergandengan tangan, aku dan Alvin berjalan perlahan, menyusuri jalan-jalan dan trotoar kota. Lalu lintas tampak begitu sepi, hanya ada satu, dua mobil yang sesekali melintas. Hingga saat kami tiba pada sebuah persimpangan, kami saling melepas genggaman tangan kami masing-masing. Aku harus menyeberang jalan dan melangkah sekitar lima puluh meter lagi untuk bisa sampai ke tempat tinggalku. Sementara Alvin, ia akan mengambil jalan kearah kiri untuk tiba di stasiun kereta api, mengambil kereta pukul tujuh malam, dan tiba di rumah setengah jam kemudian.

    “Anu, Alvin,”

    “Hmn?”

    “Untuk hari ini, terima kasih.” Kataku tersenyum, bahagia. Alvin hanya mengangguk dan membelai kepalaku. Jari jemarinya menyusuri rambutku yang terurai hingga punggung bagian atas.

    “Oh, dan,” Kataku lagi. Sambil merogoh tas yang kubawa, aku mengeluarkan sebuah jam tangan dengan tali berwarna coklat kehitam-hitaman. Kusodorkan jam tangan itu padanya.

    “Ambillah. Kau menginginkannya bukan?”

    Alvin tampak kaget, menatap jam tangan klasik yang kusodorkan padanya dengan mata terbelalak. Aku tahu ia amat menginginkannya semenjak kami makan malam bersama bulan lalu.

    “Irina, ini? Apa kau membelinya?”

    “Mmn,” Jawabku mengangguk. “Kau selalu menginginkannya, bukan?”

    “Bagaimana kau mendapatkannya?”

    “Kerja paruh waktu.” Jawabku tersenyum.

    Ya, kerja paruh waktu. Di waktu senggang, aku bekerja sebagai penjaga perpustakaan di instansi pemerintah. Uangnya cukup untuk menopang kehidupanku dan membiayai sekolah.

    “Irina, tapi,” Alvin tersenyum lugu layaknya orang bingung. “Kau tak harus melakukan ini, kau tahu?”

    “Tidak apa, Alvin.” Kataku lagi. “Kau selalu membuatku senang. Sekali-sekali aku juga harus membuatmu senang, bukan?”

    Alvin sebenarnya ingin membalas, namun aku memotong. Aku bilang bahwa aku akan amat tersinggung jika ia tak mau menerima hadiah dariku. Hingga pada akhirnya, Alvin mengambilnya perlahan. Tampak ekspresi bahagia yang memancar dari wajahnya saat ia mengencangkan tali jam tangan tersebut di pergelangan tangannya.

    “Kau suka?”

    “Tentu!” Jawabnya. “Jam tangan ini akan selalu kupakai. Terima kasih, Irina.”

    Aku hanya mengangguk, menatap senyum di wajahnya dalam-dalam dengan perasaan bahagia. Sangat, sangat bahagia.

    Dan seandainya hari ini masih panjang, aku masih ingin terus mentapnya.

    “Jadi, Alvin, sampai jumpa besok.”

    Alvin mengangguk, dan secara mengejutkan, ia memeluk tubuhku erat-erat. Hangat tubuhnya begitu terasa, memancar di sekujur tubuhku yang mungil. Selang beberapa saat, ia melepaskanku, tersenyum.

    “Ya, Irina. Sampai jumpa besok.”

    Aku mengangguk. Perlahan, sosoknya berbalik arah, bergerak menjauh. Aku masih memperhatikannya untuk beberapa saat, tersenyum bahagia.

    Dan itu…

    Itu adalah kali terakhir aku bisa melihat sosoknya – setidaknya dalam wujudku sebagai manusia.

    Karena kemudian, saat aku menyeberang jalan, sebuah mobil menghantam tubuhku dengan keras. Aku terlempar beberapa meter di jalan raya. Kepalaku membentur aspal beberapa kali.

    Aku tak pernah ingat apapun yang terjadi setelah itu, selain kenyataan bahwa aku sudah berada di rumah sakit, dan bisa terbaring menatap wujudku sendiri.

    Dan Alvin, ia selalu datang, menungguku untuk kembali terbangun. Meski aku sudah mencoba berbagai cara agar aku bisa kembali terjaga, aku tak bisa melakukannya.

    Karenanya, kini aku hanya bisa menunggunya, dan berharap, dan berdoa agar ia selalu ada.

    ***

    “Aku ada urusan, suster. Tolong, berilah aku kesempatan.”

    “Maaf, tuan. Tapi jam besuk sudah lewat semenjak dua jam lalu.”

    “Tapi…”

    Ah, Alvin.

    Suaranya yang terdengar di koridor rumah sakit ini membuatku beranjak, menoleh ke arah koridor. Tampak olehku ia mengeluarkan beberapa lembar uang.

    “Apakah ini bisa mengganti waktuku? Hanya beberapa saat saja. Tolonglah.”

    Sang suster – yang kutahu juga merangkap sebagai petugas resepsionis – tak menerima uang yang disodorkannya dan hanya diam melongo. Ia membiarkan Alvin menyelipkan uang itu ke tangannya sambil kemudian melangkah cepat ke arah kamarku.

    Ah, ia datang juga.

    Membuka pintu kamarku, ia mengibaskan rambutnya yang basah sesaat sebelum menyapaku. “Hai Irina, maaf aku terlambat.”

    Aku tersenyum.

    Berjalan perlahan, ia mengganti bunga krisan ungu yang ada di dalam vas putih diatas meja. Krisan ungu yang lama, yang tampak mulai layu, digantinya dengan bunga yang lebih segar. Tampak di tangannya sebuah jam tangan dengan tali berwarna hitam. Alvin tak pernah mengganti jam tangan yang dipakainya dengan jam jenis lain yang mungkin lebih bagus. Ia juga tak pernah mengganti jenis bunga yang ia bawa selain bunga krisan ungu. Ia ingin aku tetap hidup, dan krisan ungu adalah gambaran dari harapan untuk terus hidup.

    “Hujan meteor Perseids akan datang akhir bulan ini, Irina.” Katanya kemudian sembari mengambil sebuah kursi dan meletakannya disamping tempat tidur. Ia menarik napas panjang dan tersenyum saat menatap mataku yang masih terpejam.

    “Sudah lima tahun lebih, ya?”

    Perlahan, ia menyentuh telapak tanganku, menggenggamnya erat. Senyumnya perlahan tampak memudar saat ia kembali bercerita.

    Kali ini, Alvin bercerita tentang bagaimana bosnya yang puas dengan hasil kerjanya – sama seperti yang sering ia ceritakan, hingga aku cukup bosan dibuatnya. Lalu tentang bagaimana ia dan kawan-kawannya bermain, yang juga sama seperti yang sering ia ceritakan. Lalu tentang bagaimana kehidupan di kota yang perlahan mulai berubah menjadi ramai, atau bagaimana tetangganya yang selalu menyetel music keras-keras, ah, kurasa semuanya sudah pernah ia ceritakan. Meski demikian, aku tetap senang mendengar semua kisahnya.

    Tetapi, ada yang berbeda pada senyumnya untuk hari ini.

    “…jadi, begitulah, Irina.”

    Ah, ia sudah selesai.

    Menatap wajahku dalam-dalam, ia kemudian tersenyum. diusapnya rambutku perlahan, menuruni kepalaku hingga tiba di pipiku.

    “Cepatlah bangun.”

    ………

    “Aku…mulai tidak tahan dengan semua ini, Irina.”

    Eh?

    “Irina, aku ingin mengatakan satu hal padamu. Aku…”

    Mendengar suaranya yang mendadak berubah, entah bagaimana muncul perasaan shock sekaligus takut dalam diriku ini.

    “Aku tak tahu sampai kapan aku bisa terus menjengukmu. Rasanya, semua ini membuatku jenuh. Kau terus menjauh tanpa bisa kucegah, dan sejujurnya…”

    Kenapa? Alvin? Ini, apa aku tidak salah mendengar?

    Alvin memejamkan mata erat-erat. Tangisnya mulai meleleh.. Digenggamnya tanganku erat-erat sebelum kemudian ia kembali bicara lirih.

    “Perasaanku padamu, semua ini perlahan mulai menghilang. Irina, entah sampai kapan aku bisa menjengukmu, bisa menemuimu. Aku mulai putus asa.”

    ………

    “Tolong, cepatlah bangun…”

    Muncul perasaan sakit yang rasanya menusuk jantungku saat ia mengatakan semua hal itu. Perasaan yang terasa begitu pahit, namun aku tak tahu harus berkata apa padanya.

    Dan tak lama setelahnya kudengar telepon genggamnya berdering. Alvin kemudian menyeka air matanya dan mengangkat telepon itu.

    “Ah, Sherry? Ya, tentu. Malam ini di Grand Seafood. Pastikan kau bawa catatanmu, ya?”

    Sherry?

    Siapa dia? Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Alvin, ia tak pernah bercerita padaku tentangnya.

    Sambil menutup telepon genggamnya, ia kemudian kembali menoleh padaku, tersenyum. “Nah, Irina, sampai bertemu minggu depan.”

    Alvin mengecup keningku sebelum melangkah perlahan kearah pintu keluar, berbalik padaku, dan kembali tersenyum.

    Sebuah senyuman yang terasa bagai salam perpisahan.

    ………

    Perlahan, pintu kamar ini menutup rapat, meninggalkanku sendiri dengan segudang pertanyaan dan kekhawatiran.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.