1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic DR [dot] M

Discussion in 'Fiction' started by kakampreto, Jul 22, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0

    Judul : DR [dot] M
    Genre : Supranatural, Action, Sci-fi
    Status : On going


    Seorang pemuda bernama Bayu Seta yang baru memasuki akademi kepolisian ditantang untuk menjalani profesi yang tidak masuk akal. Yaitu profesi sebagai anggota organisasi militer DRM (Detasemen Rahasia Metafisika) yang berfungsi sebagai penjaga keamanan dunia manusia dari ancaman yang mungkin datang dari alam ghaib.

    Hehe belum ada gambarnya gan. Ane nggak bisa bikin gambar sih. Kalo ada agan2 yg jago bikin gambar, ane dengan senang hati menerima sumbangan karyanya. :D

    "Apakah kau percaya hantu benar-benar ada di dunia ini?"

    Aku menggelengkan kepala.

    "Apa kau pernah berpikir, kenapa tuyul tidak mencuri uang di Bank saja biar lebih banyak dapat uangnya?" lalu orang tua berambut cepak itu memilin-milin kumisnya yang lebat dengan tangan kanannya sambil terus menatapku.

    Tak kutanggapi pertanyaan itu. Aku membuang pandanganku ke arah jendela yang berada di sebelah kiriku. Kulihat beberapa orang sedang berlatih bela diri di bawah sana.

    "Apakah kau juga pernah berpikir, kenapa kepala negara kita bisa aman dari ancaman santet, leak, atau ilmu hitam sejenisnya yang mungkin dikirim oleh lawan politiknya? Ah, beberapa tahun lalu, saat Bush masih menjabat sebagai presiden Amerika beredar rumor bahwa Bush akan di santet saat berkunjung ke Indonesia apakah kau masih ingat itu? Saat itu memang banyak santet yang ditujukan padanya, tetapi apa pernah kau berpikir kenapa Bush bisa selamat? Atau kau berpikir bahwa rencana beberapa dukun untuk menyantet Bush hanyalah omong kosong?"

    Aku kembali menoleh padanya. Setelah menatap matanya sejenak, aku menggelengkan kepalaku sebagai isyarat bahwa aku tidak tahu. Lebih tepatnya tidak tau apa tujuannya membicarakan hal ini kepadaku.

    Aku memang percaya bahwa di dunia ini juga ada mahluk ghaib, tetapi -hei kita sekarang berada di akademi kepolisian, kenapa harus membahas masalah ini? Kalau orang tua berkumis tebal ini membahas tentang teroris sebagai topik perbincangan, itu masih masuk akal. Tetapi dia terus menerus mengoceh tentang hal-hal yang tak masuk akal. Sinting. Aku baru tahu, ternyata ada orang sinting di kepolisian ini.

    Ia kemudian tersenyum setelah aku menggelengkan kepala. Sepertinya ia akan melanjutkan ocehannya lagi.

    "Kau pasti berpikir bahwa aku ini hanya orang tua sinting bukan?"

    "Tidak pak. Saya tidak berani berpikir demikian." Jawabku spontan.

    Apakah orang tua ini bisa membaca pikiranku?

    "Tenang saja, aku memanggilmu kemari bukan bertujuan untuk menghasutmu supaya ikut aliran sesat atau hanya sekedar memaksamu mendengarkan omong kosong saja. Tetapi kau kupanggil untuk mendapatkan sebuah pekerjaan baru."

    "Pekerjaan baru? Maaf, bapak ini sebenarnya siapa? Dari pertama saya datang, bapak belum memperkenalkan diri."

    Benar, dari pertama aku masuk ke ruangan ini, dia belum memperkenalkan dirinya dan langsung mengoceh tentang hal-hal yang tak masuk akal.

    Dia berdeham lalu mengambil sesuatu yang dikalungkan dibalik bajunya dan menyodorkannya padaku, dan ternyata itu adalah tanda pengenalnya.

    Namanya Hendro Mulyono. Jabatannya adalah kapten divisi buru sergap DRM. Apa itu DRM? Aku tidak pernah mendengarnya.

    Setelah melihat tanda pengenalnya, aku mengerutkan dahi.

    "Ada yang aneh?" Dia berkata padaku.

    "Maaf pak, apa itu DRM?"

    Ia kembali mengalungkan tanda pengenalnya.

    "DRM adalah singkatan dari Detasemen Rahasia Metafisika. DRM adalah detasemen bagian dari tubuh POLRI yang menangani segala tindak kejahatan yang berhubungan dengan hal-hal metafisika atau ghaib." Ia menjawab dengan mantap sambil memilin kumisnya lagi.

    Detasemen rahasia? Mahluk ghaib? Omong kosong macam apa lagi ini?

    Tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku memang terkejut, tapi bukan omongannya tentang detasemen rahasia itu yang mengejutkanku, melainkan terkejut karena orang tua ini ternyata benar-benar sinting.

    "Baiklah, mungkin perlu sedikit demonstrasi supaya kau tidak menganggapku sebagai orang tua yang sinting."

    Oh, ternyata dia menyadari bahwa dirinya sinting. Itu bagus.

    Orang tua yang bernama Hendro itu kemudian mengulurkan tangan kanannya ke arahku. Pada jari tengah dan jari manisnya terpasang dua cincin bermata batu akik yang besar. Cincin yang terpasang di jari manisnya berwarna merah, sedangkan yang di jari tengahnya berwarna hitam.

    "Kedua mata cincin itu berfungsi sebagai tombol. Pencetlah!"

    Aku terdiam. Sebenarnya aku ragu untuk menuruti perintah orang tua ini. Aku khawatir jika ternyata ini hanyalah sebuah jebakan untuk lucu-lucuan belaka.

    Setelah aku menoleh kiri dan kanan untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengamati kami berdua, dengan ragu-ragu kugerakkan tanganku untuk mengikuti perintahnya.

    Klik. Dua mata cincin itu kutekan secara bersamaan.

    Aku terhenyak. Hampir saja aku melompat dari kursiku karena melihat kemunculan dua mahluk aneh yang tiba-tiba sudah berdiri mengapit kapten Hendro setelah kilatan cahaya berwarna merah dan hitam yang berasal dari kedua cincinnya.

    "Ternyata laporannya benar. Kamu memiliki indera pengelihatan yang sensitif terhadap mahluk astral. Itulah alasan kenapa aku mengundangmu kemari." kapten Hendro tersenyum lebar membuat kumis tebalnya terangkat hingga menyentuh ujung hidungnya yang besar.

    "Apa maksudnya ini pak?" aku masih setengah kaget karena kedua mahluk yang sepertinya bertugas sebagai body guard kapten, salah satunya memiliki rupa yang begitu menyeramkan.

    "Kau bisa melihatnya kan? Di sebelah kiriku bernama Pati." kemudian ia menunjuk mahluk bertubuh besar dengan bulu disekujur tubuhnya dengan kedua taring yang mencuat dari rahang bawahnya.

    Mahluk yang bernama Pati ini hanya memiliki satu buah mata saja yang terletak ditengah-tengah dahinya. Kain bermotif kotak-kotak berwarna hitam putih seperti papan catur menutupi tubuhnya dari bagian pinggang hingga sebatas lutut. Sedangkan bagian tubuh lainnya dihiasi oleh bulu-bulu hitam lebat yang menyeramkan.

    "Sedangkan yang berada di sebelah kananku bernama Sena."

    Berbeda dengan mahluk yang bernama Pati, Sena memiliki sosok layaknya seorang manusia biasa namun memiliki tiga buah mata dikepalanya. Parasnya tampan, rambut panjangnya digelung rapi seperti pendekar jaman dahulu. Satu-satunya hal yang sama dengan mahluk bernama Pati adalah, ia mengenakan kain dengan motif dan warna yang sama dibagian tubuh bawahnya.

    "Mereka berdua adalah A.D. milikku," imbuhnya.

    Jujur saja, saat ini aku tak bisa berkata apa-apa. Terlalu banyak hal-hal yang tidak masuk akal memenuhi isi kepalaku saat ini. Mulai dari ocehan sang kapten tentang mahluk ghaib hingga kemunculan dua mahluk aneh ini.

    Dua mahluk itu menatapku dalam diam. Benarkah dua mahluk ini benar-benar nyata? Maksudku, bukan hanya sebuah trik sulap atau hal konyol lainnya?

    "Dari wajahmu yang mendadak jadi pucat itu, aku beranggapan bahwa kau masih setengah percaya dengan kehadiran dua A.D. ini."

    Pucat? Benarkah wajahku menjadi pucat?

    "T-Tolong jelaskan kepada saya mahluk apa sebenarnya mereka berdua ini pak!" aku tergagap.

    "Mereka berdua adalah Artificial Demon -sebenarnya aku lebih suka menggunakan istilah Artificial Dhemit. Biasa disingkat dengan A.D. Mahluk-mahluk ini adalah iblis yang diciptakan menggunakan teknologi manusia."

    "Iblis buatan?"

    "Benar. Teknologi ini pertama kali diciptakan oleh Jepang, namun hampir seluruh negara di dunia kini telah memiliki teknologi itu."

    "Jadi, organisasi militer seperti DRM bukan hanya ada di Indonesia?"

    "Tepat. Seluruh negara mempunyai organisasi militer yang sama dengan DRM namun dengan sebutan yang berbeda-beda. Dan pertanyaan tentang kenapa Bush bisa selamat dari santet adalah karena mereka punya tim pengamanan khusus yang menangani segala aktivitas ghaib yang mengancam keselamatan presidennya." Kapten Hendro lagi-lagi memainkan kumis lebatnya saat berbicara.

    Lalu dia menambahkan, "Mungkin kau bertanya-tanya kenapa organisasi militer seperti DRM harus dirahasiakan keberadaannya?! Jawabannya adalah karena tidak semua manusia dianugerahi dengan kemampuan untuk dapat melihat mahluk halus. Dan jika DRM dipublikasikan kepada khalayak, mereka pasti hanya akan menganggap ini sebagai sebuah lelucon. Kau sendiri tadi berpikir bahwa aku ini sinting saat membicarakan hal-hal tentang alam ghaib."

    Dia bisa tau isi pikiranku? Oke, sekarang aku sedikit bisa menerima jika dia memang benar-benar bisa membaca pikiranku.

    "Kenapa harus menciptakan teknologi Iblis buatan?"

    "Pertanyaan bagus. Karena kekuatan murni dari manusia saja tidak cukup untuk mengamankan kehidupan manusia dari ancaman kekuatan ghaib. Sifat alami iblis tidak mau diperintah oleh manusia, namun tidak halnya dengan iblis buatan. Mereka diciptakan dengan kesetiaan yang setara dengan seekor anjing. Itulah sebabnya kita -manusia menciptakan iblis buatan."

    Dia kembali mengulurkan tangan kanannya padaku.

    "Dan dua cincin ini adalah Summoning Device, yaitu alat untuk memanggil A.D. milik kita. S.D. tidak hanya berwujud sebuah cincin, namun bisa berupa apa saja, tergantung selera pemakainya," jelasnya.

    Kami berdua terdiam.

    "Jadi, siapkah kau menerima tugasmu yang baru?"
     
    Last edited: Jul 22, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Indeks Cerita

    Prolog
    Chapter 1 : Keputusan
     
  4. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Chapter 1 : Keputusan

    Aku keluar dari ruangan kecil itu dengan langkah gontai. Sebelum meninggalkan ruangan itu, aku meminta waktu kepada kapten Hendro untuk memikirkan keputusanku selanjutnya. Apakah aku akan menerima tugas baru yang tak masuk akal itu, atau apakah aku harus menolaknya.

    Saat aku memutuskan untuk mendaftar di akademi kepolisian, aku sudah mempersiapkan segala resiko yang mungkin akan aku alami saat bertugas sebagai seorang polisi, bahkan jika aku harus kehilangan nyawa saat bertugas pun aku siap. Namun, menjadi seorang polisi yang mengamankan masyarakat dari tindak kriminal yang berhubungan dengan alam ghaib tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya.

    Kapten Hendro mengatakan bahwa jika aku memilih untuk bergabung dengan DRM, maka karirku akan naik dengan cepat. Karena menurutnya aku memiliki potensi yang luar biasa untuk urusan itu. Walaupun aku sendiri meragukan pendapatnya.

    'Saat kalian melakukan pelatihan bertahan hidup di gunung Merapi, salah seorang anggota DRM yang ditugaskan untuk mengawasi dan mengamankan kegiatan itu dari mahluk ghaib melaporkan bahwa tiga orang dapat melihat A.D miliknya. Dan salah satu dari tiga orang itu adalah kau,' begitu kata Kapten Hendro saat aku menanyakan darimana DRM mendapatkan informasi bahwa aku dapat melihat mahluk halus.

    Saat pelatihan itu, aku memang melihat sesuatu yang aneh terbang melintasi kami saat sedang melakukan pendakian. Dan memang, aku melaporkan apa yang aku lihat itu kepada pembinaku. Namun aku tak menyangka bahwa sesuatu yang terbang di atas kami itu adalah mahluk halus atau yang mereka sebut dengan A.D. Jangan-jangan, pembinaku itu anggota DRM yang dimaksud oleh Kapten?

    Lalu, siapakah dua orang lainnya itu? Apakah mereka juga dipanggil untuk menghadap Kapten Hendro seperti aku?

    Saat aku melangkah menuju pintu keluar gedung, pundakku ditepuk oleh seseorang dari belakang. Orang itu ternyata adalah salah satu pembinaku, pak Waringin.

    "Bayu, ada apa tadi? Kenapa kamu dipanggil oleh Kapten Hendro?"

    "Eh, tidak ada apa-apa pak. Hanya diberi sedikit pengarahan saja dari Kapten Hendro," jawabku singkat.

    Aku terpaksa berbohong kepada pembinaku sendiri karena Kapten Hendro memerintahkanku untuk merahasiakan percakapan tadi. Sebenarnya aku pun tak mau membicarakan kejadian itu kepada orang lain, aku tak mau dianggap sebagai orang sinting karena membicarakan tentang mahluk ghaib ataupun DRM.

    "Ooh... Kirain ada apa-apa. Karena orang selevel kapten Hendro jarang sekali mau repot-repot berkunjung ke kamp pelatihan ini. Ya sudah, kembali latihan sana!"

    "Siap pak."

    Lalu pak Waringin meninggalkanku dan berjalan menuju pintu lift. Sedangkan aku melangkahkan kaki menuju lapangan tempat dimana aku berlatih bela diri bersama rekan lainnya tadi sebelum dipanggil oleh Kapten Hendro.

    Tiba-tiba terbersit pikiranku untuk bertanya kepada pak Waringin, apakah dia anggota DRM atau bukan.

    "Pak Waringin, tunggu sebentar pak!" Aku membalikkan badanku dan berlari kecil menuju pak Waringin yang sudah masuk ke dalam lift.

    Pak Waringin lalu menghentikan pintu lift yang hampir tertutup menggunakan tangannya.

    "Apa bapak mengetahui perihal DRM?" aku langsung bertanya sambil berdiri di depan pintu lift yang kini sudah terbuka lebar.

    Pak Waringin terlihat kebingungan setelah mendengar pertanyaanku. Lalu ia berkata, "DRM? Aku tak tahu apa yang kamu tanyakan itu."

    "Oh, begitu rupanya. Maaf pak, sudah mengganggu." aku menundukan kepalaku.

    Pintu lift pun tertutup dan mulai bergerak naik ke atas.

    Ternyata pak Waringin bukan anggota DRM.

    ###​

    Setelah sampai di asrama pun aku masih memikirkan tentang tawaran untuk bergabung dengan DRM.

    Kupejamkan mata dan kurebahkan tubuhku di atas kasur sambil berpikir.

    Apa keuntungan yang aku dapatkan jika bergabung dengan DRM? Sebenarnya, setengah hatiku setuju saja untuk bergabung dengan DRM. Namun entah kenapa masih ada keraguan yang mengganjal dihatiku.

    Ah, mungkin ada baiknya jika aku meminta pendapat dari Ibunda.

    Lalu kuraih ponselku dari dalam saku celana. Kutekan layarnya dan melakukan panggilan telepon kepada Ibunda.

    Bunyi tut panjang terdengar dari ponselku. Setelah beberapa saat, terdengar suara perempuan yang mengatakan bahwa nomor yang anda tuju sedang sibuk.

    Mungkin beliau sedang sibuk. Ya sudahlah, aku istitahat sejenak saja kalau begitu.

    Saat aku hendak meletakkan ponselku ke atas meja kecil yang berada di samping tempat tidurku, tiba-tiba ponselku bergetar dan diiringi oleh nada dering favoritku. Begitu kulihat identitas pemanggil, ternyata telepon itu dari Ibunda.

    "Halo. Assalamualaikum."

    "Walaikum salam nak," suara lembut Ibunda terdengar dari speaker ponselku.

    "Ibunda apa kabar? Sehat kan?!"

    "Alhamdulillah sehat nak. Ada apa, kok tumben sore-sore nelpon bunda? Biasanya kan telponnya malam? Anak bunda yang paling ganteng ini baik-baik saja kan?"

    Aku tersenyum mendengar reaksi dari Bunda yang masih beranggapan bahwa aku ini masih anak kecil. Mungkin memang beginilah nasib anak terakhir. Selalu dimanja dan diperhatikan oleh orang tuanya.

    "Tidak ada apa-apa Bunda. Bayu di sini baik-baik saja. Bayu kangen suara Ibunda, makanya Bayu telepon."

    "Sukurlah kalau begitu. Biasanya kalau kangen sama Bunda, pasti anakku yang ganteng ini lagi ada pikiran kan? Hayo ngaku!" kata Bunda dengan nada meledek.

    Seorang Ibu, pasti memiliki naluri yang tajam yang dapat mengetahui apa yang sedang terjadi dengan anaknya. Dan Ibundaku ini adalah contohnya.

    "Bunda tau saja. Sepertinya Ibunda punya bakat jadi seorang peramal," aku meledeknya balik.

    "Lho, yang pinter meramal kan kamu nak. Dulu waktu kamu masih kecil, kamu sering meramalkan sesuatu nak, dan ramalanmu selalu benar."

    Benarkah? Kenapa aku tidak mengingatnya?

    "Masa?! Kapan Bayu pernah meramal seperti itu Bunda?"

    "Dulu banget waktu kamu masih berumur lima tahun. Kamu sudah lupa ya nak? Yang paling Bunda ingat itu saat kamu bilang bahwa kakakmu akan memenangkan undian berhadiah kulkas itu lho. Dan ternyata benar-benar terjadi. Kata Eyang juga kamu ini -apa itu namanya- kalau Bunda tidak salah ingat kata Eyang kamu ini anak indigo. Karena kamu juga dapat melihat mahluk ghaib."

    Tunggu sebentar. Benarkah dari kecil aku sudah dapat melihat mahluk halus? Kenapa aku sama sekali tidak dapat mengingatnya?

    "Benarkah itu bunda? Kenapa Bayu tidak dapat mengingatnya?" tanyaku penasaran.

    "Beneran nak. Dulu kamu itu sering berbicara sendiri loh saat umur lima tahun. Dan kamu bilang ada empat anak lainnya yang mirip denganmu dan selalu menemanimu bermain, padahal tidak ada siapa-siapa. Dulu kami semua menganggap bahwa yang kamu bilang itu adalah teman imajinasimu saja. Tetapi kata eyang, kamu memang mempunyai bakat untuk dapat melihat sesuatu yang orang lain tidak dapat melihatnya."

    Aku terdiam. Sekuat tenaga aku mencoba untuk mencari ingatanku saat masih kecil. Namun tak berhasil.

    "Bekas jahitan di atas telinga sebelah kirimu masih ada kan?"

    "Masih ada. Kenapa Bunda?"

    "Sepertinya kamu benar-benar tidak dapat mengingatnya ya. Dulu kamu pernah mengalami kecelakaan saat bermain sepeda hingga kepalamu terbentur dan mengeluarkan banyak darah sehingga harus dijahit. Sejak saat itu juga kamu tidak lagi berbicara sendiri atau mengatakan bahwa ada mahluk aneh yang kamu lihat nak."

    "Jadi Bayu pernah mengalami amnesia? Benarkah itu bunda?"

    "Tidak juga. Ibu juga heran kenapa kamu tidak dapat mengingat masa-masa kecilmu dulu. Soalnya, dokter yang menjahit kepalamu itu juga mengatakan bahwa kamu baik-baik saja, hanya kulit kepalamu saja yang sobek pada waktu itu."

    Lalu bunda melanjutkan, "Ah, sudah adzan maghrib nak. Sudahi dulu teleponnya ya nak. Besok atau nanti disambung lagi teleponnya. Jangan lupa sholatnya ya nak. Assalamualaikum."

    "Iya bunda, waalaikumsalam."

    ###​

    Siang itu aku kembali menghadap Kapten Hendro di ruang yang sama dengan ruang pertama kali kami bertemu. Kali ini aku akan mengatakan keputusanku atas tawaran dari kapten Hendro.

    "Jadi, bagaimana keputusanmu?" kapten Hendro bertanya padaku sambil -kau pasti tau kebiasaannya saat berbicara- memilin kumisnya yang lebat itu.

    "Setelah saya menimbang-nimbang tawaran yang bapak ajukan kepada saya, tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat saya kepada bapak, saya harus menolak tawaran tersebut."

    "Lho? Alasannya kenapa?"

    Sepertinya ia terkejut dengan jawabanku. Itu terbukti dari sikapnya yang tiba-tiba berhenti memainkan kumisnya.

    "Iya, memang benar aku terkejut dengan keputusanmu itu," kapten Hendro melanjutkan.

    Sial, sepertinya orang ini memang benar-benar dapat membaca isi pikiranku.

    "Iya, kau benar. Aku memang bisa membaca pikiran orang," kapten Hendro kini mencondongkan tubuhnya dan menatapku tajam.

    "Dengan segala hormat pak, saya merasa bahwa saya belum siap dengan tanggung jawab seperti itu. Tetapi saya berjanji, jika suatu saat nanti saya merasa sudah siap untuk mengemban tanggung jawab sebagai anggota DRM, jika bapak masih mengijinkannya, saya dengan senang hati akan bergabung dengan DRM."

    "Jadi begitu alasanmu."

    Kapten Hendro kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Dia menghirup nafas panjang dan lalu menghembuskannya perlahan. Karena jarak kami yang dekat, aku dapat melihat kumisnya sedikit bergoyang saat diterpa hembusan angin yang berasal dari lubang hidungnya.

    "Ya sudah, tidak apa-apa. Kau boleh kembali melakukan kegiatanmu yang sempat tertunda tadi."

    "Terima kasih pak."

    Lalu aku melangkah pergi dari ruangan itu dan meninggalkan seorang kapten berkumis lebat yang memiliki kemampuan untuk dapat membaca pikiran orang lain sendirian.
     
    Last edited: Jul 22, 2014
  5. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Chapter 2 : Mereka berdua...

    Kulitku terbakar oleh sengatan dari sinar matahari. Tenggorokanku terasa sangat kering dan menyakitkan. Kami semua sudah berdiri sambil menahan dua kantung kecil pasir yang lumayan berat yang di letakkan di atas pundak kami selama lebih dari satu jam di tengah-tengah lapangan yang berada di halaman depan gedung akademi kepolisian ini.

    Untuk melatih daya tahan. Begitulah yang mereka katakan kepada kami semua.

    Tak ada satupun dari kami yang berbicara ataupun bersuara. Aku yakin, sebenarnya mereka sedang berteriak kesakitan di dalam hati mereka masing-masing. Namun demi menjaga citra diri bahwa mereka adalah laki-laki kuat, setengah mati mereka berusaha untuk tetap tegar. Aku pun melakukan hal yang sama.

    Baim, temanku yang berdiri tepat di depanku, tubuhnya terlihat mulai bergetar. Dia yang pembawaannya selalu ceria dan agak sedikit cerewet, kini bagaikan patung kusam yang berdiri membisu dan hampir roboh.

    Kemudian, dari kejauhan terlihat seseorang yang sedang berjalan menuju tempat kami semua berdiri. Setelah jaraknya semakin dekat, ternyata orang itu adalah pak Waringin.

    Aku pikir dia akan mengistirahatkan kami begitu sampai di depan kami. Ternyata ia hanya berdiri dan tersenyum. Seolah ia merasakan suatu kepuasan saat melihat kondisi kami yang sedang menahan kesakitan ini.

    "Bagaimana anak-anak? Masih sanggup berdiri untuk satu jam lagi?" teriaknya.

    "Siap pak!" kami semua menjawab serempak.

    Dalam batin aku tertawa. Ternyata 40 orang yang berdiri di sini adalah orang-orang yang sok kuat. Aku pun terpaksa saja menjawab siap untuk berdiri satu jam lagi di sini. Namun kalau boleh jujur, aku lebih baik berlari ke kantin dan segera meneguk minuman dingin rasa jeruk yang menyegarkan daripada harus berlama-lama berdiri di sini.

    Benar saja, tak sampai lima menit setelah kedatangan pak Waringin, akhirnya Baim tumbang juga. Pingsan dia.

    Pak Waringin melangkah dengan santai ke arah Baim yang kini terkulai di atas rerumputan. Sedangkan kami semua terpaksa tetap berdiri walaupun ada teman kami yang tumbang.

    "Ayo, jangan sampai kalian jadi tidak fokus hanya karena ada satu kecoa yang terkapar!" pak Waringin kembali berteriak kepada kami saat ia sudah berada di depan tubuh Baim.

    Lalu jari telunjuk tangan kanan pak Waringin menyentuh jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kirinya.

    Terdengar pelan suara klik dari jam tangannya. Lalu seberkas cahaya berwarna biru terpancar dari jam tangannya. Kemudian diikuti oleh kemunculan seekor ular panjang -tubuh ular itu kira-kira memiliki panjang sekitar 5 meter- berwarna biru gelap dengan sisiknya yang berbentuk lancip seperti kulit buah salak dan sebuah tanduk hitam yang runcing menghiasi kepala ular A.D itu.

    "A.D!!" mataku terbelalak dan aku menjerit dalam hati.

    Pak Waringin melirik dan tersenyum simpul kepadaku.

    Kemudian aku teringat bahwa diantara 40 orang ini ada 3 orang termasuk aku yang dapat melihat A.D juga sepertiku. Kupandangi beberapa teman yang berada satu baris denganku. Namun tak ada satupun yang terlihat terkejut. Kemungkinan besar di barisanku ini tidak ada yang memiliki kemampuan untuk melihat mahluk ghaib.

    Tunggu dulu, bukankah kemarin pak Waringin bilang bahwa dia tidak tahu perihal DRM? Kenapa dia memiliki A.D? Sial, sepertinya aku kena tipu.

    Orang yang tidak dapat melihat mahluk halus, pasti terheran-heran dan beranggapan bahwa pak Waringin kuat karena melihat ia dapat dengan mudah mengangkat tubuh Baim hanya dengan satu tangannya dan memanggulnya semudah memanggul sebuah bantal kapuk. Namun bagi orang sepertiku yang bisa melihat sesuatu yang ghaib, dapat dengan jelas melihat bahwa ia melakukannya dengan bantuan A.D miliknya.

    "Ada apa Bayu? Apa kamu mau pingsan juga hah?!"

    "Siap pak. Saya masih kuat pak." aku menjawab dengan tegas walaupun sebenarnya aku menangis tersedu-sedu dalam hati.

    Pak Waringin ini, jangan-jangan dia bisa membaca pikiran seperti halnya Kapten Hendro? Sebaiknya aku harus lebih berhati-hati dalam berpikir mulai sekarang.

    Baim pun akhirnya dibawa ke klinik oleh pak Waringin. Sekarang, kami harus menambah panjang durasi penderitaan kami.

    Sial. Mataku mulai berkunang-kunang. Tidak, aku tidak boleh terlihat lemah. Aku harus kuat. Aku pasti bisa menyelesaikan siksaan ini.

    ###​

    "Bay, aku tidak kuat lagi." Baim yang masih terbaring di ranjang klinik merintih padaku.

    "Kenapa Im?"

    "Aku sudah memutuskan untuk keluar dari akademi ini Bay."

    "Kenapa tiba-tiba begitu? Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Pikirkanlah dulu matang-matang. Ingat, perjuanganmu masuk ke dalam akademi ini tidaklah mudah," aku mencoba untuk menasehatinya.

    "Aku sudah memikirkannya Bay, dan tadi pun aku sudah berbicara kepada Pak Waringin tentang keputusanku ini."

    "Lalu?"

    "Pak Waringin menyetujuinya, dan besok semua prosedur pemberhentianku akan diurus olehnya."

    Aku menghela nafas dalam-dalam. Sebenarnya pun aku merasa tak kuat menghadapi pelatihan-pelatihan yang keras ini, namun jika aku harus berhenti sampai di sini saja, terlalu banyak kerugian materi dan kerugian lainnya yang harus aku tanggung.

    "Apakah kamu sudah memberitahu orang tuamu tentang ini Im?" tanya Adrian yang datang ke klinik bersamaku.

    "Sudah, tadi malam aku sudah memberitahu mereka, dan mereka pun menyetujui keputusanku ini."

    "Jadi kamu ingin berhenti bukan karena kejadian kamu pingsan tadi itu saja?" aku menyela.

    "Bukan, dari kemarin aku sudah memutuskannya Bay."

    Pintu kamar klinik diketuk dari luar. Lalu seseorang muncul dari balik pintu. Orang itu adalah Joseph Situmorang. Dia adalah teman satu angkatan kami di akademi ini.

    "Ibrahim Al Amin, aku ingin berbicara empat mata denganmu sekarang." Seperti biasa, dia tidak pernah berbasa-basi dalam segala hal. Tepat langsung pada tujuannya. Kami semua menjulukinya manusia besi karena sikapnya yang kaku dan sama sekali tidak fleksibel.

    Joseph Situmorang, atau biasa kami panggil Jo. Dia adalah satu-satunya teman kami yang sikapnya benar-benar sedingin es. Tak pernah aku melihatnya tersenyum sekalipun. Menurutku, orang seperti Jo ini adalah tipe orang yang bercinta tanpa melakukan pemanasan terlebih dahulu. Iya, mungkin dia akan langsung memasukan itunya kepada istrinya tanpa basa-basi. Mungkin.

    "Baiklah, nanti kami akan menjengukmu lagi jika urusan kalian berdua sudah selesai," lalu aku dan Adrian berdiri dan pamit kepada mereka berdua.

    ###​

    Sebagian besar dari kami terkejut atas pengunduran diri Baim. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah bukan hanya Baim yang mengundurkan diri, tetapi manusia besi juga mengikuti jejak Baim. Iya, manusia besi mengundurkan diri dari akademi pada waktu yang bersamaan dengan Baim.

    Alasan Baim sudah jelas dan dapat langsung dipahami olehku dan mungkin oleh yang lain juga. Benar, Baim mengundurkan dirinya karena fisiknya yang tidak cukup kuat. Lalu apa yang membuat manusia besi ini mengundurkan diri juga? Aku sendiri tidak dapat menebaknya.

    Menurut rumor yang beredar, alasan si manusia besi keluar dari akademi adalah karena setelah diselidiki berkas-berkas latar belakangnya, ia diketahui pernah melakukan sebuah kejahatan dan pernah dijebloskan ke penjara anak-anak saat ia masih duduk di bangku SMP. Maka dari itu dia dikeluarkan dari akademi. Mengenai kejahatan apa yang pernah ia lakukan, tidak ada rumor yang menjelaskan detailnya. Namun itu hanyalah rumor. Sedangkan alasan sebenarnya, tiada seorangpun yang tahu karena si manusia besi ini memilih untuk bungkam saat ditanya.

    Dan kepergian mereka berdua pun seakan terburu-buru. Belum sempat kami mengadakan pesta perpisahan untuk mereka berdua atau sekedar melakukan pelukan perpisahan, mereka sudah pergi meninggalkan asrama sejak pagi-pagi buta.

    Setelah selesai melakukan apel pagi, aku mendekati Pak Waringin yang masih berbincang-bincang dengan Pak Budi yang juga merupakan pembina kami.

    "Ada apa Bay? Sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?" kata Pak Waringin yang sepertinya sudah mengetahui tujuanku.

    "Kenapa kamu hanya diam berdiri dan menelototi aku? Kamu sakit?" ia terheran-heran.

    "Maaf pak, apa bapak tidak membaca isi pikiran saya tadi? Dalam pikiran saya tadi, saya bertanya kenapa bapak memiliki A.D padahal kemarin bapak bilang tidak tau tentang DRM."

    Pak Waringin buru-buru berpamitan kepada Pak Budi, kemudiam ia menyeretku menjauh dari keramaian dengan wajah kesal.

    "Kamu itu tau arti dari rahasia atau tidak hah?!" kata Pak Waringin setengah membentak ketika kami sudah berada di tempat dimana tak ada orang lain selain kami berdua yang dapat mendengarkan percakapan kami.

    "Aku peringatkan sama kamu, jangan sekali-kali membahas suatu hal yang berhubungan dengan DRM di depan umum! Kau tau kenapa? Karena itu rahasia!! R-A-H-A-S-I-A!!" lanjutnya dengan nada yang bertambah tinggi.

    "Maaf pak. Saya salah pak."

    Aku terkejut dengan sikap pembinaku yang satu ini. Baru kali ini aku melihat beliau marah. Padahal, beliau ini adalah pembina yang sikapnya paling baik diantara pembina-pembina lainnya.

    "Aku beritahu juga sama kamu, tidak semua orang memiliki kemampuan seperti Kapten Hendro! Kemampuan untuk membaca pikiran orang lain seperti milik beliau itu adalah kemampuan yang langka. Selain itu, Pak Budi itu bukan anggota DRM. Untung saja tadi kamu menggunakan singkatan, sehingga Pak Budi mungkin tidak terlalu bertanya-tanya tentang maksud omonganmu. Lagipula ada urusan apa kamu bertanya-tanya tentang DRM? Bukankah kamu sudah menolak tawaran dari Kapten Hendro?"

    Mati aku. Aku tidak menyangka bahwa beliau bakal semarah ini karena pertanyaanku tadi. Untung saja beliau tidak memiliki kemampuan untuk membaca pikiran, jadi aku sedikit lebih aman karena beliau tidak tau apa yang sedang kupikirkan saat ini. Langkah aman uang bisa kulakukan saat ini hanyalah dengan cara diam dan mendengarkan kalimat-kalimat amarah dari Pak Waringin.

    "Apa kamu ingin bertanya kenapa kemarin aku tidak mengakui bahwa aku ini juga anggota DRM? iya?! Karena kamu bertanya tentang DRM di tempat umum. Kupikir kamu sudah paham masalah itu saat kamu berbohong juga kepadaku tentang isi pembicaraan dengan Kapten Hendro. Ternyata aku salah menilaimu."

    Aku masih menundukan kepalaku dan terdiam.

    "Sayangnya kami belum menemukan alat untuk menghapus ingatan seseorang. Jika ada alat seperti itu, ingatanmu tentang DRM pasti sudah dihapus karena berpotensi membocorkan informasi tentang DRM."

    Pak Waringin menarik nafas panjang.

    "Lalu apa yang ingin kamu tanyakan lagi?" sekarang nada bicara beliau sudah menurun. Hal itu membuatku sedikit lega.

    "Maaf pak tanpa mengurangi rasa hormat, kalau boleh tau, kenapa manu- maksud saya kenapa Joseph dikeluarkan dari akademi?"

    "Bukankah Kapten Hendro sudah memberitahukan padamu bahwa selain dirimu masih ada dua orang lainnya yang memiliki kemampuan untuk melihat mahluk ghaib? Joseph dan Ibrahim adalah orang itu, dan mereka berdua menyetujui untuk bergabung dengan DRM. Itulah jawaban dari pertanyaanmu."

    "..."

    "Sebenarnya aku sendiri juga terkejut kenapa kamu menolak tawaran untuk bergabung dengan DRM. Padahal ayahmu sendiri sangat bersemangat ketika kami berdua ditawari untuk bergabung dengan DRM pada waktu itu," lanjutnya.

    Ayahku? Beliau juga seorang anggota DRM?

    "Ayah saya anggota DRM? Benarkah itu pak?"

    "Iya benar. Ayahmu itu teman satu angkatanku di DRM. Sayangnya ia harus tewas saat sedang melakukan tugasnya. Maafkan kami yang terpaksa memalsukan keterangan kematiannya kepadamu dan keluargamu."

    Aku terperangah setelah mendengar cerita beliau barusan. Selama ini aku hanya mengetahui bahwa ayahku meninggal dalam sebuah kecelakaan saat hendak pulang dari bertugas. Tetapi, apakah yang dikatakan oleh Pak Waringin ini kenyataan, atau hanya omong kosong dengan maksud yang tersembunyi?

    "B-Bapak tidak sedang bercanda bukan?"

    "Kamu pikir hal seperti ini pantas dijadikan sebuah lelucon? Tentu saja aku mengatakam yang sebenarnya. Dan kenapa kamu tidak mengetahui kebenarannya adalah karena segala hal yang berhubungan dengan DRM sifatnya adalah rahasia."

    "..."

    "Kalau saja kamu ini bukan anak dari sahabat baikku, pasti sudah dari tadi kutempeleng kepalamu itu karena hampir saja membocorkan rahasia tentang DRM." Kemudian Pak Waringin meninggalkanku yang masih terkejut dengan keterangan-keterangan yang baru aku ketahui.

    Ada apa dengan kehidupanku ini? Kenapa segalanya terjadi begitu tiba-tiba? Kemarin aku dikejutkan oleh keberadaan sebuah organisasi militer yang berhubungan dengan alam ghaib, lalu dikejutkan lagi oleh kemunculan beberapa mahluk ghaib. Sekarang, aku dikejutkan oleh kenyataan bahwa ayahku dulu adalah seorang anggota DRM juga.

    Jadi, apakah keputusanku untuk menolak bergabung dengan DRM adalah keputusan yang tepat?
     
    Last edited: Jul 23, 2014
  6. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Ayah. Beliau meninggalkan kami saat aku masih dalam kandungan.

    Tak ada satupun memori tentangnya yang tersimpan dikepalaku. Wajahnya pun aku mengetahuinya dari foto-foto lama saat beliau masih hidup saja. Jika tidak ada foto-foto itu, mungkin aku takkan pernah bisa mengetahui seperti apa rupa beliau.

    Ayahku memang seorang Polisi. Namun siapa sangka bahwa ternyata beliau juga anggota DRM.

    Apakah Ibunda mengetahui pekerjaan ayah yang sesungguhnya? Atau ayah tetap merahasiakannya meskipun kepada Ibunda?

    Sebenarnya aku ingin menanyakan itu kepada Ibunda. Namun, sepertinya itu bukan hal yang mendesak. Toh aku sudah menolak tawaran untuk bergabung dengan DRM. Jadi, mungkin suatu saat nanti baru aku tanyakan itu kepada Ibunda.

    Pikiranku sekarang tertuju kepada dua sahabatku yang telah bergabung dengan DRM. Kira-kira pendidikan seperti apa yang mereka dapatkan di sana. Apakah mereka dilatih untuk merapal mantera ditengah kepulan asap kemenyan? Bersemedi di sebuah goa yang gelap dan lembab? Atau mereka sedang berendam dalam bak mandi yang dipenuhi dengan taburan bunga setaman?

    Sejujurnya aku tak menyangka bahwa Baim memiliki kemampuan supranatural. Baim yang penakut dan tak pernah berani sendirian di tempat yang gelap, justru memilih untuk bergabung dengan DRM. Sedangkan aku, malah memilih untuk menolaknya.

    Sudahlah, mungkin menjadi anggota DRM bukan jalan takdirku. Sekarang aku harus kembali fokus menyelesaikan pendidikanku ini. Aku percaya Tuhan pasti akan menunjukan jalan hidup yang terbaik untukku.

    Jalan panjang yang telah kulalui hingga aku menjadi seorang Taruna di Akpol ini tidaklah mudah. Itulah sebabnya aku tak mau semua usahaku ini menjadi sia-sia hanya karena aku salah membuat keputusan. Semua ingatan-ingatan ketika aku pertama kali menginjakkan kakiku di Akpol terbayang dikepalaku.

    Setelah sebulan penuh aku melaksanakan rangkaian tes di Akpol yang menurutku telah kulaksanakan dengan maksimal, akhirnya aku dinyatakan lulus dan diterima menjadi Taruna Akpol.

    Dengan mengucap penuh syukur, aku menangis dan memberitahukan hal tersebut lewat telepon kepada Ibunda yang tidak bisa hadir pada waktu pengumuman di Semarang. Sebuah hasil dari perjuangan yang penuh kerja keras dan doa yang melahirkan harapan baru dari cita-cita luhur.

    Dalam pengumuman terakhir tersebut hanya 250 Orang yang dapat diterima menjadi Taruna Akpol Semarang, dengan berat hati kamipun melepaskan beberapa teman kami untuk dipulangkan kembali ke rumah masing-masing karena dinyatakan tidak lulus.

    Setelah dinyatakan lulus menjadi Taruna melalui pengumuman akhir, aku segera melaksanakan DIKDASBHARA, yaitu Pendidikan Dasar Bhayangkara yang dilaksanakan di AKPOL. Sebuah pendidikan dasar yang dilaksanakan untuk mengubah mindset dari masyarakat sipil menjadi Taruna. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama 3 bulan penuh, dengan materi latihan-latihan dasar kebhayangkaraan.

    Kami mendapatkan pangkat CABHATAR (Calon Bhayangkara Taruna) saat latihan tersebut berlangsung. Dalam waktu 3 bulan tersebut kekuatan fisik dan mental mutlak diperlukan, karena materi latihan yang sangat padat dan sangat menguras energi.

    Kegiatan dimulai dari jam 04.30 WIB dan berakhir sekitar jam 21.00 WIB, sebuah kegiatan yang benar-benar baru bagi kami, dengan jiwa kursa dan semangat yang tinggi kami dapat melewati setiap kegiatan dengan baik.

    Beberapa materi latihan antara lain Rapelling, Mountainering, Jumping Truck, Lintas Medan, Renang, Beladiri Judo, Halang Rintang Menembak, Peta dan Kompas, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hasil yang dicapai dari latihan ini adalah penanaman disiplin yang sangat kuat dan tentunya penambahan kemampuan fisik yang signifikan, akibatnya cukup mantap, berat badanku turun hampir 15 kg selama kegiatan tersebut berlangsung dan perubahan warna kulit tentunya.

    Pada akhir pendidikan yakni saat pelantikan menjadi Taruna, Ibunda hadir bersama Eyang Kakung dan kakakku. Ada hal lucu yang terjadi saat acara pelantikan tersebut, Eyang Kakung tidak dapat mengenaliku karena perubahan fisikku yang drastis, tetapi tidak demikian dengan Ibunda. Saat prosesi, Ibunda segera mengenaliku dan memelukku sambil terheran-heran mengamati perubahan fisik diriku yang jelas menjadi lebih kurus, botak, dan sangat lebih hitam dari saat aku berangkat ke Semarang untuk mengikuti tes pusat.

    Waktu berlalu, setelah pelantikan CABHATAR, aku dinyatakan sebagai Taruna Tingkat I, yakni BHATAR, Bhayangkara Taruna. Sebuah pangkat Taruna yang sering dikatakan sebagai Benteng Akademi, kuat bagai Benteng. Batalyon kami bernama Rinaksa Sakalamandala.

    Jenis kegiatan yang kami laksanakan selain pembinaan fisik, dan latihan lapangan, juga melaksanakan kuliah.

    Menembak adalah latihan lapangan yang paling kugemari pada waktu Bhatar. Penanaman disiplin dari senior adalah hal baru yang kami rasakan pada saat Taruna Tingkat I yang sebelumnya tidak kami dapatkan saat DIKDASBHARA.

    Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya aku menjadi Taruna Tingkat II yang dikenal dengan sebutan Macan Akademi.

    Macan Akademi adalah tingkatan Taruna Akpol yang berpangkat Sersan Taruna.

    Mengapa disebut sebagai Macan Akademi? Hal tersebut dikarenakan pada tahap ini, selain kuat di sisi fisik, Sersan Taruna harus bisa menjadi penuntun yang tegas bagi adik-adiknya yakni Bhayangkara Taruna, dan harus bisa menjadi jembatan segala perintah dan instruksi dari Taruna Tingkat III.

    Macan, dianalogikan sebagai binatang yang kuat, buas, dan menjadi simbol ketegasan, disiplin dan wibawa dalam bertindak. Sehingga Sersan Taruna harus bisa memberikan contoh yang positif bagi junior-juniornya.

    Kegiatan pada saat menjadi Sersan Taruna semakin padat, yakni diikuti peningkatan kegiatan lapangan, berupa latihan SAR (Search And Rescue) darat dan air, serta latihan renang laut dan nyelam. Semua latihan tersebut kami laksanakan diluar kampus.

    Aku sangat menikmati latihan ini, karena aku memang menyukai alam, terutama hutan dan gunung. Apalagi pemandangan di tempat latihan sangat dingin dan sangat indah, serta gunung tempat kami latihan SAR terdapat banyak sekali tumbuh bunga Eldeweis yang sering juga disebut sebagai bunga abadi.

    Kegiatan-kegiatan SAR kami laksanakan di Lembah Ngesong, sedangkan kegiatan SAR laut dan menyelam kami laksanakan di pantai Jepara. Capek memang, tapi sangat berkesan bagiku, karena selain pengetahuanku mengenal alam bertambah, aku juga dapat mengenal serta mendorong untuk semakin cinta akan kelestarian alam.

    Selain kegiatan latihan lapangan kami juga tetap disibukkan dengan kegiatan kuliah sehari-hari di kampus.

    Kegiatan pembinaan juga kami ikuti baik dari senior maupun dari pembina Batalyon kami.

    Semua pembinaan yang kami terima pada dasarnya adalah untuk membentuk mental agar kuat menghadapi halangan dan rintangan yang terjadi di daerah tugas nantinya.

    Suatu yang sangat berkesan pada Tingkat II adalah ketika aku mengikuti kegiatan Drum Band AKPOL, hal itu merupakan kebanggaan tertinggi kami sebagai Taruna. Aku memilih alat Drum Band terompet.

    Alat tersebut kudapatkan dari senior Tingkat III. Berbagai event telah kami laksanakan salah satunya adalah melaksanakan deputasi Drum Band dalam acara HUT Ibukota Semarang, dan puncaknya kami memainkan Drum Band didepan Kapolri dan perwakilan negara-negara tetangga pada acara 1 Juli yakni pada peringatan HUT BHAYANGKARA, yang dilaksanakan di Akademi Kepolisian Semarang.

    Sebentar lagi aku akan menjadi seorang Taruna Tingkat III atau MAYOR TARUNA yang mempunyai julukan Si Raja Kampus.

    Sesuai dengan namanya, Taruna Tingkat III adalah Taruna paling senior di kampus Akpol. Sehingga dengan hal tersebut maka Taruna Tingkat III dinamai dengan Sersan Mayor Taruna (SERMATAR) atau Si Raja Kampus. Cukup beralasan karena Taruna Tingkat III adalah merupakan Taruna yang sebentar lagi akan lulus dan akan ditempatkan di daerah tugas.

    Segala perilaku Taruna Tingkat III diarahkan lebih kepada kesiapan menjadi seorang Perwira Polisi, sehingga kedewasaan dan pendalaman pengetahuan kepolisian sangat ditekankan di tingkat ini.

    Ya, perjalananku tinggal selangkah lagi untuk menyelesaikan pendidikan ini. Jadi, untuk apa aku memusingkan sesuatu yang mungkin malah bisa menggagalkan semua usahaku selama ini. Aku anggap segala sesuatu tentang DRM sebagai angin lalu saja agar ku tak goyah pada tujuanku yang sesungguhnya.

    ##DR[dot]M##

    Hari ini kami melakukan pelatihan di alam bebas lagi. Kali ini pelatihan dilaksanakan di Gunung Merapi. Pelatihan yang akan diselenggarakan selama dua hari tiga malam ini diikuti oleh 248 Taruna tingkat II dan didampingi oleh 20 pembina.

    Kegiatan yang akan kami lakukan antara lain adalah pendakian pada malam hari. Ini adalah pelatihan yang paling kusuka.

    Pukul 15:00 WIB., kami sampai di kaki gunung merapi dan mulai mendirikan tenda sebagai base camp pelatihan. Setelah semua tenda telah didirikan, kami melakukan apel sore sebelum melakukan kegiatan utama.

    Kami mulai melakukan pendakian sekitar pukul 19:00 WIB. Masing-masing Taruna hanya dibekali sebilah pisau belati, sebuah lampu senter sebagai alat penerangan, satu botol air mineral dengan volume 1,5 liter, dan sekotak ransum yang berupa roti kering yang rasanya mengerikan.

    Para pembina -termasuk Pak Waringin- berada di barisan belakang dan ada beberapa pembina yang berada di depan barisan. Selain para pembina yang biasa kami jumpai di akademi, ada beberapa wajah yang asing bagiku. Selain itu, orang-orang yang baru kali ini kulihat itu masing-masing menyematkan sebuah pin dikerah baju sebelah kanan mereka yang berbentuk seperti seekor burung berwarna hitam.

    Pendakian pada malam hari membutuhkan koordinasi dan konsentrasi yang prima dari setiap Taruna dan para pembina. Karena jika sampai salah jalur, kemungkinan terburuknya adalah satu atau beberapa orang bisa terperosok kedalam jurang dan resikonya adalah kehilangan nyawa. Dan kejadian itu pernah terjadi, dulu.

    Beberapa hal yang dapat mengendurkan konsentrasi adalah kelelahan dan kejenuhan. Untuk masalah fisik, aku yakin para Taruna mempunyai fisik yang kuat hasil dari tempaan selama berada di Akpol. Sedangkan untuk menyiasati kejenuhan, maka selama perjalanan kami semua meneriakkan yel-yel penyemangat.

    Setelah beberapa jam perjalanan, rombongan kami berhenti untuk beristirahat di pos 3. Untuk orang yang belum pernah melakukan pendakian, pasti berpikir bahwa sebuah pos yang terdapat di gunung itu berupa sebuah bangunan layaknya pos ronda atau pos jaga atau minimal seperti sebuah gubuk. Namun kenyataannya sebuah pos hanyalah sebuah dataran sempit yang terdapat plang bertuliskan nama pos tersebut.

    Kami diberi waktu 15 menit untuk beristirahat di pos ini. Pos ketiga ini berada di dekat jurang yang dalam dan pada malam hari seperti ini terlihat begitu mengerikan. Beberapa Taruna terlihat memijit-mijit kaki mereka yang kelelahan setelah menempuh jarak yang cukup jauh dan terjal ini.

    Kuambil botol minumku dari dalam tas. Aku harus pintar-pintar mengatur konsumsi airku selama perjalanan ini karena tidak ada jatah tambahan air minum yang diberikan oleh pembina.

    Cukup sekali teguk saja sudah dapat mengobati dahagaku. Adrian yang berada disebelahku juga sedang meneguk air minumnya. Kemudian dia ambruk dan jatuh ke tanah.

    Ternyata bukan hanya Adrian, tetapi semua orang disekelilingku juga tiba-tiba ambruk ke tanah.

    "Sirep, ini ajian Sirep!! Kita mendapat serangan!!” seseorang berteriak dengan keras dari belakang sana.

    Buru-buru kunyalakan lampu senter dan kuarahkan kesekitarku untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bulu tengkukku meremang. Keringat dingin mengalir dari pori-pori kulitku. Melihat banyaknya orang yang tiba-tiba ambruk disekelilingku, membuatku semakin panik.

    "Hei, ada Taruna yang masih sadarkan diri. Lindungi dia!!" seseorang berteriak lagi, membuat suasana menjadi semakin mencekam.

    "Luncurkan tanda bahaya sekarang!!"

    Lalu sebuah cahaya berwarna merah yang begitu menyilaukan meluncur menuju ke angkasa. Berkat kilatan cahaya itu, aku dapat melihat beberapa orang sedang bergerombol dan seseorang sedang menuju kearahku.

    Hanya dalam sekejap mata, orang itu sudah berada didepan wajahku. Kuarahkan senter ke wajah orang itu.

    Ternyata orang itu memakai sebuah topeng berwarna putih bergambar sebuah burung hitam ditengahnya. Tak ada lubang untuk melihat atau bernafas yang terdapat di topeng itu.

    "Oh, Bayu rupanya! Jangan bergerak dan pakailah topeng ini!" suara ini seperti familiar ditelingaku.

    "Pak Waringin, apa yang sebenarnya terjadi pak? Kenapa semua orang tiba-tiba tak sadarkan diri?" aku bertanya kepada Pak Waringin yang menyodorkan topeng yang sama seperti yanv sedang ia kenakan padaku.

    "Simpan pertanyaanmu itu dulu. Cepat kenakan topeng ini!" perintahnya.

    Dengan cepat kukenakan topeng itu. Dan setelah aku memakainya, dengan jelas dapat kulihat keadaan disekitarku. Pengelihatan yang kulihat dari balik topeng ini seperti pengelihatan pada waktu siang hari. Entah teknologi apa yang diterapkan pada topeng ini, namun jelas jauh lebih baik daripada pengelihatan yang berteknologi infra merah. Kulihag lebih dari sepuluh orang mengelilingi para Taruna dan pembina yang tak sadarkan diri.

    Aku berdiri dibelakang Pak Waringin. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Ini tidak seperti latihan mengatasi huru-hara yang disebabkan oleh demonstran, peristiwa ini lebih menegangkan daripada itu. Dan yang jelas, situasi sekarang ini bukanlah latihan atau simulasi.

    "Waringin, kenapa Taruna yang satu ini tidak terpengaruh dengan Ajian Sirep?!" tanya seseorang yang berdiri di sebelah Pak Waringin yang memakai topeng yang sama seperti yang kupakai.

    "Dia memiliki kemampuan supranatural," jawab Pak Waringin singkat.

    "Bukankah Taruna yang terpilih sudah dibawa untuk diberi pelatihan di markas?"

    "Taruna yang satu ini menolak tawaran untuk bergabung dengan kita,"

    "Maaf pak, bolehkah saya bertanya apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini? Saya perlu mengetahui situasi supaya saya dapat melakukan hal yang tepat bagi keselamatan diri saya sendiri dan para Taruna yang lain," aku menyela pembicaraan mereka berdua.

    "Kita diserang dengan Ajian Sirep. Itu adalah ilmu yang dapat membuat seseorang tertidur dalam waktu yang singkat. Namun untuk orang yang memiliki kekuatan supranatural seperti kita ini, Ajian Sirep tidak dapat mempengaruhi kita. Dengan banyaknya korban seperti ini, aku yakin pelakunya bukan hanya satu orang saja. Dan kita sedang menunggu kemunculan para pelaku Ajian Sirep ini," orang yang berada di sebelah Pak Waringin menjelaskannya padaku.

    Tak terdengar satupun suara selain suara binatang malam penghuni gunung ini. Semua orang yang berdiri mengelilingi para Taruna dan pembina yang tak sadarkan diri ini berdiri dalam keadaan siap untuk bertempur. Orang-orang ini sepertinya adalah anggota DRM yang bertugas untuk mengamankan pelatihan kami.

    "Dari atas!!" seseorang berteriak lagi.

    Teriakan itu membuatku mendongakkan kepalaku ke atas dan mencari tahu apa yang datang dari atas sana.

    Bayangan-bayangan hitam terjun dari atas pepohonan. Dan pertarungan pun mulai terjadi.

    Kilatan-kilatan cahaya terpancar dari berbagai arah. Didepanku, Pak Waringin telah memanggil A.D miliknya yang berwujud ular bertanduk. Sedangkan orang yang disebelahnya memanggil A.D miliknya yang berwujud anjing berukuran sebesar seekor sapi dengan banyak mata yang terdapat disekujur tubuhnya.

    Aku yang tak tahu apa yang harus kulakukan hanya berdiri dan memasang kuda-kuda untuk bertarung.

    Para penyerang juga mengelurakan A.D mereka yang wujudnya sama anehnya dengan A.D milik anggota DRM.

    Percikan-percikan cahaya hasil dari pertarungan antara dua kubu ini terlihat begitu indah, namun juga mengerikan.

    Beberapa kali aku merasakan seperti hembusan angin yang kuat menerpa tubuhku. Jika saja aku tidak dalam kondisi siap, pasti aku sudah jatuh tersungkur karenanya.

    Teriakan-teriakan dan lolongan hewan buas terdengar dalam pertarungan ini. Tidak seperti perang-perang yang kulihat di berita-berita dimana suara senapan dan suara ledakan mortir, pertarungan ini menghasilkan suara yang mampu membuat orang yang mendengarnya menjadi merinding.

    Dari samping, tiba-tiba seekor harimau berwarna hitam menerjangku. Dengan sedikit keajaiban, aku dapat menghindar dari serangan itu. Tak berhenti disitu, harimau itu kembali berusaha menyerangku, namun berhasil dihalau oleh seekor A.D yang berwujud anjing bermata banyak milik salah seorang anggota DRM. Kini dua hewan mengerikan itu bergumul dan saling gigit didepanku.

    Tiba-tiba sesuatu menjeratku dari belakang yang membuat tubuhku tak dapat menggerakkan kaki dan tanganku. Kemudian seseorang mendekapku dari belakang dan ia berkata, "Target telah didapatkan, aku akan membawanya pergi. Lindungi aku!"

    ##DR[dot]M##

    Aku berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan. Namun orang yang berhasil menangkapku ini dapat dengan cepat membawaku terbang menjauh dari lokasi pertempuran.

    Sayangnya aku tak dapat melihat wajah orang yang menculikku dan juga tidak tau bagaimana caranya ia dapat terbang. Dari suara kepakan sayap yang kudengar dari balik badanku, aku menerka bahwa orang ini terbang dengan bantuan A.D miliknya.

    "Lapor, target sudah berhasil dibawa menjauh dari rombongan melalui jalur udara."

    "Tetap waspada. Jangan sampai target lepas," sahut suara yang berasal dari sebuah perangkat radio telekomunikasi yang dipakai oleh penculikku.

    Target? Kenapa aku dijadikan target oleh mereka? Dan siapa sebenarnya mereka ini?

    "Lepaskan aku! Kenapa kalian berusaha untuk menculikku hah?!"

    "..."

    Tak ada jawaban dari si penculik. Bahkan ia mengencangkan dekapan tangannya dileherku.

    Sebuah suara berdenging keras menuju ke arah kami. Setelah itu terdengar sebuah ledakan yang membuat terbang kami menjadi oleng dan lalu disusul oleh ledakan lainnya yang membuat kami benar-benar jatuh. Sepertinya seseorang menyerang kami dari bawah. Kami berdua pun mulai merosot dengan cepat dari ketinggian.

    "Target terlepas!" teriak si penculik saat kami terpisah dalam kondisi terjun bebas ini.

    Badanku yang masih dalam kondisi terjerat membuatku tak bisa berbuat apa-apa selain menerima hukum gravitasi yang sedang terjadi.

    Aku tau bahwa berteriak tidak dapat menyelamatkanku saat ini. Jadi aku lebih memilih untuk diam dan berdoa dalam hati supaya diberi pertolongan oleh-Nya.

    Sementara itu aku masih dapat melihat pancaran cahaya warna-warni dari tempatku sebelumnya saat ku terjatuh. Hingga akhirnya kini badanku menghantam dahan dan ranting-ranting pohon dan terhempas ke tanah.

    Walaupun sekujur tubuhku terasa remuk, namun aku bersukur masih hidup setelah jatuh dari ketinggian dan berhasil mendarat di tepi jurang yang terlihat sangat dalam. Beruntung topeng yang diberikan oleh Pak Waringin masih menempel di wajahku, sehingga aku dapat melihat dengan jelas sekitarku walaupun kondisi sebenarnya masih sangatlah gelap.

    Aku mencoba menggoyangkan tubuhku dan berusaha untuk dapat lepas dari jeratan ini. Tetapi.

    "TIDAKKK!!!!”

    Tubuhku terjatuh dan meluncur ke dalam jurang dengan cepat. Kalau saja tanganku terbebas, pasti aku dapat dengan mudah menggapai sesuatu yang dapat menahan laju tubuhku ini.

    Kepalaku menjadi pusing karena berguling-guling dengan cepat. Kurasakan beberapa kali kepalaku terbentur benda keras yang sepertinya adalah batang kayu ataupun batu cadas.

    Kini sepertinya aku sudah berada di dasar jurang. Tubuhku mati rasa. Lalu aku mencoba menggerakan tubuhku lagi, tetapi begitu kugerakkan tubuhku, sakit yang teramat sangat kurasakan dari dadaku. Setelah kulihat, aku tersadar sebuah kayu berujung runcing menembus dadaku dari balik punggungku. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Segelap malam seperti yang seharusnya.

    ##DR[dot]M##
     
  7. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Chapter 4 : Persimpangan Takdir

    Tubuhku bergetar hebat seakan-akan petir baru saja menyambarku. Kepalaku terasa sangat pening. Jika kau pernah ikut tawuran dan kepalamu dihantam berkali-kali menggunakan kepalan tangan oleh lawanmu, seperti itulah yang kurasakan pada kepalaku saat ini.

    "Ya sudah, tidak apa-apa. Kau boleh kembali melakukan kegiatanmu yang sempat tertunda tadi."

    Aku memegang erat lengan kursi karena rasa-rasanya tubuhku mau ambruk. Begitu aku dapat menguasai diriku, kucoba memfokuskan pengelihatanku kepada orang yang barusan berbicara kepadaku.

    Apa yang kulihat ternyata menambah pusing dikepalaku. Dihadapanku sekarang adalah orang berkumis lebat yang sedang duduk bersandar pada kursinya dan di dalam ruangan yang sama seperti yang kemarin ku datangi.

    Tu-tunggu dulu, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku kembali ke ruangan ini? Bukankah tadi aku terjatuh ke jurang dan kemudian...

    Kapten Hendro menatapku dengan curiga.

    Lalu ia mencondongkan tubuhnya dan menyodorkan tangan kanannya kehadapanku. Sepertinya ia menyadari keanehan yang terjadi pada diriku.

    "Sini tanganmu!"

    Dengan ragu-ragu kuulurkan tanganku sesuai permintaannya. Dengan kasar ia menyambarnya lalu digenggamnya tanganku erat-erat. Dan pandangan mata kami saling beradu.

    Kampret! Sumpah, ini homo banget!

    "Diam dan berkonsentrasilah!" perintahnya.

    Setelah itu kami berdua terdiam dan bertatap mata dalam waktu yang cukup lama seperti sepasang kekasih yang kehabisan topik pembicaraan saat sedang berkencan.

    Kumisnya yang lebat membuatku mengalami kesusahan dalam berkonsentrasi. Rambut-rambut panjang yang tumbuh dibawah hidungnya itu seolah berteriak minta tolong padaku agar segera dicabut dari pemiliknya.

    Lima belas menit kami lalui tanpa kata-kata dan tanganku masih digenggamnya erat. Aku berdoa, semoga tak ada orang lain yang menyaksikan adegan ini. Karena reputasi yang susah payah kubangun bakal langsung hancur dalam sekejap jika ada orang yang melihat dan salah paham.

    Kemudian, air muka Kapten Hendro berubah menjadi tegang. Tiba-tiba ia berdiri dari tempat duduknya dan wajahnya berubah menjadi pucat pasi. "Ba-bagaimana bisa?!"

    "Bapak melihat isi pikiranku?"

    "Tunggu dulu. Apa yang sebenarnya kulihat barusan?" akhirnya ia melepaskan tanganku juga. Lalu ia kembali duduk di kursinya dan berusaha menenangkan dirinya yang seperti baru saja melihat sesuatu yang mengerikan.

    "Saya sendiri kurang tahu Pak. Saya sendiri terkejut kenapa saya bisa berada di sini lagi, padahal saya kira tadi saya berada di dasar jurang setelah terjadi penyerangan."

    Kapten Hendro kini malah membisu. Butiran keringat terlihat mengalir dari dahinya. Kumisnya yang tadi masih berjajar rapi, kini menjadi tegang seperti serbuk besi yang ditarik oleh daya magnet.

    "A-Apa sebenarnya itu? Kenapa dikepalamu terdapat gambaran seperti itu?" Kapten Hendro yang biasanya terlihat tegar, kini justru menjadi terbata-bata dan terlihat panik.

    "Maaf Pak, saya ingin bertanya. Benarkah Pak Waringin adalah anggota DRM? Benarkah ayah saya dulu adalah anggota DRM juga? Dan benarkah Ibrahim Al Amin dan Joseph Situmorang adalah dua orang yang direkrut oleh DRM?" aku memberondong ia dengan berbagai pertanyaan sekaligus untuk memastikan kebenaran tentang kejadian yang baru saja kualami memang sesuai dengan kenyataan.

    "Itu semua benar. Tetapi kenapa kejadian yang kulihat dari pikiranmu terasa begitu nyata, seolah-olah kau benar-benar telah mengalaminya."

    "Apa ini bukan sihir yang dilakukan oleh bapak supaya aku mau bergabung dengan DRM?" tanyaku dengan nada sinis.

    "Apa maksudmu menuduhku seperti itu? Untuk apa aku melakukan itu? Lagipula sihir macam apa yang kau maksud? Halusinasi?"

    "Maaf pak, bukan maksud saya untuk bersikap lancang kepada bapak, saat ini saya hanya masih terkejut dan bingung, karena beberapa saat lalu saya berada di dalam jurang."

    "Tunggu, mungkinkah itu sebuah ramalan?"

    "Maksud bapak?"

    "Iya, jangan-jangan itu adalah kemungkinan sebuah kejadian di masa depan. Apa kau punya bakat meramal?"

    Meramal? Kemarin Ibunda mengatakan bahwa dulu waktu aku masih kecil sering meramalkan sesuatu. Namun sayangnya aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apakah dulu aku benar-benar bisa meramal? Tetapi jika memang begitu, kenapa setelah aku dewasa baru kali ini aku mengalaminya lagi?

    "Tepat. Seperti apa yang kamu pikirkan. Jangan-jangan itu memang kemampuan khususmu." Kapten tiba-tiba berbicara.

    "Tetapi kenapa aku diburu oleh penyerang -maaf pak, apakah bapak tahu kira-kira siapa para penyerang saya itu?"

    "A-Aku sendiri tidak tahu siapa dan apa tujuan mereka mengincarmu. Lagipula, sejak didirikannya DRM, belum pernah ada satupun kelompok atau organisasi penjahat yang menggunakan sihir dalam melakukan tindak kejahatan secara terorganisir, apalagi berani dengan terang-terangan menyerang pihak Kepolisian." Kapten Hendro masih terlihat panik.

    "Dan kalau kejadian yang ada dikepalamu benar-benar terjadi, berarti ini masalah serius karena sekelompok orang yang menyalahgunakan sihir berani melakukan serangan secara frontal dan terencana." lanjutnya.

    "Dan jika kejadian itu benar-benar terjadi, berarti saya bisa kehilangan nyawa pak?!" kini giliranku yang menjadi panik.

    "Tenang, jangan panik!"

    "Bagaimana saya tidak panik, melihat bapak panik juga."

    "Oke, panggilkan Waringin kesini!"

    Setelah aku kembali dan membawa Pak Waringin bersamaku, Kapten Hendro sudah terlihat lebih tenang sekarang.

    "Siap Pak! Ada yang bisa saya bantu?" Pak Waringin berkata dengan tegas begitu bertatap muka dengan Kapten Hendro.

    Kami berdua dipersilahkan duduk oleh Kapten. Kini ia kembali pada kebiasaannya, membelai-belai kumis kebanggaannya.

    "Waringin, apa kau memberi tahu pada Taruna ini bahwa kau adalah anggota DRM?"

    "Siap Pak. Tidak Pak."

    "Apakah kau memberi tahu siapa Taruna-Taruna yang kita rekrut sebagai anggota baru selain dia ini kepadanya?"

    "Tidak Pak. Anda bisa membaca pikiran saya langsung sebagai bukti bahwa saya mengatakan hal yang sebenarnya."

    Kapten Hendro mendesah. Lalu menggunakan kedua tangannya sebagai penyangga kepalanya di atas meja dan memejamkan mata.

    "Bayu, sekarang aku yakin bahwa kau memiliki kemampuan khusus untuk melihat kejadian yang akan terjadi di masa datang. Dari pengelihatan yang aku dapatkan dari kepalamu, mungkin ini adalah sebuah peringatan untuk DRM bahwa ada sekelompok kriminal yang memulai pergerakan mereka."

    Pak Waringin terlihat kebingungan dengan perkataan yang baru saja Kapten ucapkan.

    Kemudian Kapten Hendro menceritakan secara urut kejadian yang ia lihat dari pikiranku kepada Pak Waringin. Sama halnya sang Kapten, Pak Waringin pun terkejut setelah mendengar cerita itu.

    "Ba-bagaimana mungkin itu bisa terjadi pak?" kini giliran Pak Waringin yang menjadi gagap.

    "Aku sendiri belum tahu dengan pasti," ia menjawab sambil menyenderkan kembali punggungnya.

    "Maaf Pak saya menyela."

    Dua orang itu lalu menatapku.

    "Jika gambaran itu adalah kejadian yang terjadi karena saya menolak tawaran untuk bergabung dengan DRM, mungkin ada baiknya saya mengubah keputusan saya yang sebelumnya."

    "Benar pak, saya setuju dengan perkataan Bayu." Pak Waringin mendukungku.

    Tetapi Kapten Hendro tidak langsung menjawabnya. Ia kembali mengelus-elus kumisnya sambil berpikir. Padahal aku kira Kapten bakal langsung menyetujui perubahan keputusanku ini, ternyata ia harus memikirkannya terlebih dahulu.

    "Baiklah, kami juga menyambut dengan gembira keinginanmu untuk bergabung dengan DRM, namun aku terbayang sebuah rencana. Dan rencana itu membutuhkan partisipasimu. Apakah kau siap untuk langsung menerima misi perdanamu sebagai anggota DRM, Bayu Seta?"

    ##DR[dot]M##

    Kapten Hendro telah meninggalkan ruangan ini beberapa menit lalu. Kini hanya tinggal aku dan Pak Waringin di dalamnya. Saat ini ia akan memberikan briefing singkat tentang DRM kepadaku.

    "Apa kamu siap?" tanya Pak Waringin.

    "Siap Pak."

    "Aku akan memberikan pengetahuan singkat seputar DRM dan beberapa hal yang berkaitan dengannya. Untuk lebih lengkapnya, nanti kamu akan diberi pendidikan dasar mengenai DRM dan segala hal-hal supranatural di markas utama."

    Ia berdeham untuk membersihkan kerongkongannya. Lalu ia melanjutkan, "Dalam penjelasan yang akan aku sampaikan, silahkan langsung bertanya jika ada sesuatu yang masih belum kamu pahami!"

    "Siap Pak."

    "Dari jaman purbakala, leluhur kita sudah mengenal dan mempraktekkan sihir dalam keseharian mereka. Mulai dari sihir yang membantu kegiatan yang produktif hingga sihir yang digunakan untuk merugikan bahkan mencelakakan orang lain. Hal itu terus dilakukan hingga sekarang, walaupun untuk zaman moderen seperti ini aktivitas sihir tak lagi dilakukan secara terang-terangan seperti dahulu.

    Di Dunia ini terdapat dua golongan manusia, yaitu golongan manusia yang mempunyai kekuatan magis dan manusia yang tidak memiliki kekuatan magis. Manusia yang memiliki kekuatan magis adalah orang-orang yang dapat melakukan sihir atau melihat mahluk halus. Pada zaman dahulu orang-orang yang tidak memiliki kekuatan magis disebut dengan orang buta, sedangkan orang-orang yang memiliki kekuatan magis disebut dengan orang bermata tajam. Sebenarnya istilah itu tidak boleh dipakai lagi karena dianggap terlalu kasar dan dapat memicu terjadinya konflik antar dua golongan seperti yang pernah terjadi di luar negeri pada waktu silam. Namun beberapa orang tidak mempedulikannya dan masih menggunakan istilah itu. Aku termasuk yang tidak peduli."

    Ia melanjutkan kembali, "Di Indonesia, peraturan tentang larangan terhadap penggunaan sihir yang dapat merugikan dan atau mencelakakan orang lain resmi diberlakukan dan dicantumkan sebagai undang-undang pada tahun 1945 pada saat merdekanya Negara kita ini. Namun tentu saja undang-undang tersebut tidak ditulis pada buku undang-undang dasar. Kenapa? Karena populasi orang buta jauh lebih banyak daripada mata tajam, sehingga demi menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu, maka undang-undang khusus untuk hal-hal yang berkaitan dengan sihir dan hal ghaib dibuat terpisah. DRM sendiri dibentuk oleh Presiden pertama RI pada tahun 1947, pada waktu itu masih menggunakan nama PAKU PALAGA, yaitu Pasukan Khusus Pengamanan Alam Ghaib."

    "Jadi Presiden Soekarno yang mendirikan DRM?"

    "Benar. Presiden pertama kita juga seorang bermata tajam dan beliau paham bahwa PAKU PALAGA perlu dibentuk. Saat itu PAKU PALAGA merupakan kesatuan yang terpisah dari TNI. Bukan hanya Soekarno, tetapi semua yang pernah menjabat sebagai Presiden RI mengetahui dan juga merupakan puncak komando tertinggi DRM. Selain itu, hingga saat ini semua Presiden yang terpilih merupakan orang bermata tajam."

    "Maaf Pak, selama ini adakah organisasi dukun atau penganut ilmu hitam yang pernah mengancam keamanan NKRI?"

    "Hingga saat ini belum pernah diketahui adanya organisasi seperti itu. Para kriminal yang menggunakan sihir biasanya melakukan aksinya secara sporadis, dan belum pernah ada sekelompok orang yamg melakukan kejahatan supranatural secara terorganisir."

    "Lalu tentang A.D Pak. Apakah A.D itu Pokemon?"

    Pak Waringin tersenyum kepadaku, seolah-olah pertanyaanku tadi seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh anak kecil tentang apakah ciuman bisa menyebabkan hamil.

    "Jadi karena A.D itu muncul dalam sekali pencet makanya kamu berpikir itu Pokemon?"

    "Err.. Tidak juga sebenarnya Pak," aku tersipu malu menjawabnya.

    "Aku akan menjelaskan padamu tentang apa itu A.D, bagaimana mereka tercipta, dan kenapa tidak memakai Iblis yang asli."

    "Pasti kamu pernah mendengar kisah tentang penyebab diusirnya Iblis oleh Tuhan dan akhirnya menjadi penghuni Neraka dan musuh umat Manusia bukan?

    Saat Manusia pertama diciptakan oleh Tuhan -yaitu Adam- diantara semua mahluk ciptaan-Nya hanya Iblis lah yang menolak untuk bersujud kepada Adam. Iblis yang diciptakan dari api merasa dirinya mahluk yang lebih hebat dibanding Manusia yang tercipta dari tanah. Karena Iblis menolak perintah-Nya, maka Iblis dihukum sebagai penghuni abadi di Neraka. Sejak saat itulah Iblis bersumpah untuk menjerumuskan keturunan Adam supaya ikut menjadi penghuni Neraka bersamanya. Kebencian itulah yang membuat Iblis tak mau diperintah oleh Manusia. Mereka hanya mau membantu Manusia untuk melakukan hal-hal buruk saja, tidak untuk kebaikan. Selain Iblis, mahluk ciptaan-Nya yang lain adalah Jin dan Malaikat. Sebagaimana kita ketahui, Malaikat adalah mahluk yang Ia ciptakan dengan tingkat kepatuhan yang luar biasa. Namun hanya Manusia terpilihlah yang mendapatkan bantuan dari Malaikat, Manusia terpilih itu adalah Nabi. Sedangkan Jin, mereka cenderung sama seperti manusia. Ada Jin yang baik, juga ada yang jahat. Walaupun begitu, Manusia tidak mudah untuk mendapatkan bantuan dari kaum Jin. Walaupun seorang Manusia mempunyai kekuatan magis yang hebat sekalipun."

    "Sebenarnya, nenek moyang kita dulu sudah mengetahui cara untuk memanggil Iblis atau Jin untuk membantu atau memperlancar tujuan atau pekerjaan mereka. Namun proses pemanggilan yang dilakukan oleh nenek moyang kita dulu masih menggunakan cara tradisional yang sangat rumit. Kenapa rumit? Karena proses pemanggilan menggunakan ritual yang ribet dan harus mengucapkan mantera yang rumit. Selain itu, sering kali mahluk yang mereka panggil justru mencelakai mereka sendiri. Dan pastinya, mahluk yang mereka panggil meminta imbalan yang beraneka macam; mulai dari sesaji biasa hingga meminta tumbal hewan atau bahkan tumbal nyawa Manusia."

    Pak Waringin mengambil nafas dan hendak meneruskan penjelasannya. Sementara itu aku mendengarkannya secara seksama setiap perkataan yang terucap dari pembinaku ini.

    "Seiring perkembangan jaman, teknologi terus berkembang. Dan akhirnya teknologi dapat digabungkan dengan hal-hal ghaib. Perkembangan teknologi yang terjadi membuat segala kerumitan dalam pemanggilan mahluk ghaib dapat di-eliminir."

    "Adalah Dr. John S. Snailgroove seorang ilmuwan dari Inggris yang menekuni bidang metafisika berhasil menciptakan alat yang disebut Summoning Device untuk pertama kali. Bermula dari penelitiannya tentang cara kerja mantera. Dalam penelitiannya, ia akhirnya mengetahui bahwa sebenarnya mantera-mantera yang diucapkan oleh penyihir menciptakan sebuah gelombang telekomunikasi yang dapat mencapai dunia lain dan memanggil mahluk penghuninya. Setelah melakukan percobaan dan mengalami kegagalan hingga ratusan kali, akhirnya Dr. John berhasil menciptakan alat yang dapat mengirimkan gelombang yang sama seperti cara kerja sebuah mantera yang dirapal oleh para penyihir. Alat yang pertama kali ia ciptakan itu masih berupa sebuah mesin yang besar dan tidak bisa dibawa kemana-mana seperti alat pemanggil moderen yang ada sekarang ini. Dan alat itu masih ada hingga sekarang. Masyarakat umum mengenal alat itu dengan nama Big Ben."

    "Bi-Big Ben? Jam raksasa itu?"

    "Benar. Itulah alat pemanggil mahluk dunia lain yang pertama kali diciptakan oleh Manusia."

    "Seiring berjalannya waktu, ilmuwan-ilmuwan sihir lainnya berhasil menciptakan S.D menggunakan teknologi yang ditemukan oleh Dr. John dengan bentuk yang dapat dibawa kemana-mana atau portabel oleh penggunanya. Dan pada akhirnya teknologi berhasil meng-eliminir kerumitan dalam ritual pemanggilan mahluk dunia lain."

    "Namun tak hanya sampai di situ, walaupun pemanggilan Jin atau Iblis sudah jauh lebih mudah dari sebelumnya, resiko yang ditimbulkan oleh mahluk yang dipanggil masih tetap ada. Bagi penyihir yang memiliki kekuatan magis yang lemah, mereka beresiko diserang oleh mahluk yang dipanggil. Tak sedikit dari mereka yang meninggal karenanya."

    "Me-Meninggal?" aku menelan ludahku sendiri karena merasa ngeri, ternyata resiko pemanggilan Jin atau Iblis adalah kehilangan nyawa.

    "Beberapa puluh tahun kemudian, seorang ilmuwan sihir dari jepang yang bernama Prof. Ryuji Sakamoto menemukan cara yang lebih efektif dan lebih aman daripada harus memanggil Jin atau Iblis yang asli. Caranya adalah dengan menciptakan A.D. Walaupun yang pertama kali menciptakannya adalah orang Jepang, A.D BUKANLAH POKEMON!"

    Aku nyengir saja saat Pak Waringin melakukan penekanan nadanya saat menyebut bahwa A.D bukanlah Pokemon.

    "Pada dasarnya, dalam diri setiap Manusia terdapat sebuah benih Iblis yang ada sejak Manusia terlahir -ini adalah teori yang dicetuskan oleh ilmuwan sihir dari Jerman yang aku lupa namanya siapa. Contohnya, seorang psikopat yang telah membunuh banyak korbannya, sebenarnya benih Iblis dalam dirinya telah tumbuh dengan subur dan menguasai jiwanya."

    "Berangkat dari teori itulah Prof. Ryuji mencari cara untuk mengambil dan memanfaatkan kekuatan benih Iblis itu dari tubuh Manusia. Kemudian ia teringat dengan kebiasaan-kebiasaan leluhurnya. Bertapa. Ia meneliti tujuan dan fungsi bertapa. Satu persatu biksu-biksu yang berada di berbagai kuil ia datangi dan diwawancarai. Ia mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Tujuan seseorang bertapa adalah untuk mendekatkan diri dengan sang pencipta. Tuhan, Dewa, Alloh, Kristus, Budha, Sang Hyang Widi, dan apapun sebutannya, pada intinya adalah sama, yaitu Dzat yang menciptakan alam semesta."

    "Dengan mendekatkan diri kepada sang pencipta, seorang pertapa dapat memusatkan kekuatan magisnya yang kemudian dipakai untuk menyucikan jiwanya. Supaya jiwa mereka dapat menjadi suci, maka benih Iblis dari dalam diri mereka harus dibuang. Kemudian Prof. Ryuji Sakamoto mencoba melakukan pertapaan selama 3 bulan tanpa makan dan minum di sebuah goa keramat."

    "Tiga bulan tanpa makan dan minum dan masih hidup? Apakah itu mungkin pak?" aku agak menyangsikan cerita Pak Waringin.

    "Bayu, pernahkah kamu mendengar ayat yang berbunyi 'Manusia tidak hanya hidup dari roti dan air, namun firman Tuhan menghidupkan'".

    "Itu... Kalau tidak salah teman SMA-ku dulu yang Nasrani pernah berkata demikian Pak." Lalu aku bersiap mendengarkan lanjutan cerita Pak Waringin.

    "Hasil dari bertapa selama tiga bulan itu, Prof. Ryuji berhasil mengambil benih Iblis dari dalam dirinya dan memindahkan benih tersebut ke dalam sebuah wadah baru. Setelah itu ia melakukan penggabungan teknologi antara Summoning Device dan wadah baru dari benih Iblis. Dan teknologi itulah yang akhirnya disebut dengan Artificial Demon atau A.D. Perlu juga kamu ketahui, proses seseorang menciptakan A.D-nya sendiri tidaklah mudah. Ada yang memerlukan waktu sampai berbulan-bulan, ada yang hanya butuh waktu sehari saja, bahkan ada juga yang tidak dapat mengeluarkan benih Iblisnya untuk dijadikan A.D, itu semua karena kekuatan magis seseorang berbeda-beda."

    Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Ternyata A.D bukanlah Pokemon.

    "Adakah pertanyaan lain, Bayu?" tanya Pak Waringin sambil melihat jam tangannya.

    "Kenapa proses perekrutan anggota DRM biasa-biasa saja pak?"

    "Biasa-biasa saja? Maksudmu?"

    "Maksud saya, Kapten Hendro hanya menemui calon dan lalu menanyainya saja, mau atau tidak bergabung dengan DRM. Menurut saya itu terlalu 'biasa' pak."

    Pak Waringin tersenyum mengejek lagi kepadaku.

    "Jadi, perekrutan yang seperti apa yang kamu harapkan supaya menjadi sebuah perekrutan yang tidak 'biasa-biasa saja'?"

    Lalu ia melanjutkan, "Bukankah sudah cukup untuk mengetahui bahwa orang itu bukan orang buta?! DRM kan hanya membutuhkan orang yang bermata tajam bukan? Untuk masalah fisik, siapa sih yang meragukan Taruna Akpol? Yah... Kecuali orang-orang dungu yang sok pintar yang tidak tahu seperti apa test ataupun pelatihan-pelatihan yang didapat di Akpol kan?!"

    "Selain itu Pak, kenapa seolah-olah kerahasiaan DRM ini kesannya jor-joran dan tidak seperti BIN?"

    "Bayu, bukankah aku sudah mengatakannya tadi, populasi orang buta lebih banyak daripada mata tajam. Sebenarnya walaupun kamu membicarakan ini di depan orang buta, mereka hanya akan mentertawakanmu saja. Kau hanya akan dianggap orang aneh. Bukankah dengan demikian kerahasiaan DRM tertutupi oleh ketololan orang buta sendiri?"

    "Tetapi kenapa bapak memarahi saya saat saya hampir keceplosan di depan Pak Budi?"

    Pak Waringin terlihat bingung. Dahinya berkerut membuat alisnya menyatu dan membentuk seperti mata panah dengan sudut lancipnya menghadap ke atas.

    "Benarkah? Kapan aku pernah memarahimu?"

    "Oh, maaf pak. Saya lupa, kejadian bapak memarahi aku itu adalah kejadian yang menurut Kapten Hendro adalah sebuah ramalan." untuk kesekian kalinya aku nyengir dan tertunduk malu.

    "Tapi ya wajar kalau aku memarahimu karena kamu hampir keceplosan di depan Pak Budi. Soalnya dia itu walaupun orang buta, tetapi dia sangat ingin tahu tentang hal-hal ghaib. Aku sendiri selalu waspada supaya tidak kelepasan bicara saat bersamanya."

    "Ada satu pertanyaan lagi Pak. Lalu Kuntilanak, Pocong, Genderuwo, Kolor Ijo, Babi ngepet, dan Tuyul itu sebenarnya mahluk apa? Jin atau Iblis Pak?"

    "Untuk Kolor Ijo dan Babi ngepet, mereka adalah Manusia yang melakukan kejahatan dengan cara meminjam kekuatan Jin untuk merubah wujud manusianya. Sedangkan Kuntilanak, Genderuwo, Wewe gombel, Pocong, Tuyul, mereka hanyalah Jin dengan kekuatan paling lemah diantara Jin lainnya."

    "Jadi begitu..."

    "Masih ada pertanyaan?"

    "Siap pak. Tidak Pak."

    "Kalau begitu, selamat bergabung dengan DRM dan bersiaplah untuk melakukan misi pertamamu."

    Kemudian Pak Waringin menjabat tanganku.

    ##DR[dot]M##
     
    Last edited: Aug 13, 2014
  8. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Besok adalah hari dimana aku akan melaksanakan misi pertamaku sebagai anggota DRM. Walaupun kini aku telah bergabung dengan DRM, namun aku masih beraktivitas sebagai seorang Taruna seperti biasanya.

    Semua kejadian seperti terulang kembali. Baim yang pingsan saat latihan dan lalu memberitahuku bahwa ia ingin keluar dari Akpol, dan juga pengunduran diri Joseph terjadi persis seperti sebelumnya -aku belum memberitahu dua orang itu bahwa aku juga telah bergabung dengan DRM. Selain itu, mereka juga tetap pergi sebelum kami sempat memberikan salam perpisahan kepada mereka.

    Beberapa kejadian yang berbeda adalah tidak adanya situasi dimana aku dimarahi oleh Pak Waringin karena hampir keceplosan, dan kejadian yang berbeda lainnya adalah saat aku diperkenalkan oleh Pak Waringin kepada anggota-anggota DRM lainnya yang bertugas di Akpol ini.

    Akhirnya aku mengetahui nama anggota DRM yang mempunyai A.D berwujud anjing raksasa yang tubuhnya dipenuhi oleh ratusan bola mata -bisakah kalian membayangkan bentuk dari mahluk itu? Percayalah, wujudnya sangat menjijikan.

    Anggota itu bernama Pak Endang Suratmadja. Pria berusia 32 tahun berdarah Sunda yang ternyata sok gaul itu sangat tertarik dengan cerita yang disampaikan oleh Pak Waringin tentang kemampuanku yang dapat melihat masa depan.

    Mengetahui kemampuan spesialku itu, ia memaksaku untuk melihat siapakah yang akan menjadi jodohnya di masa depan. Namun dengan berat hati aku menolak permintaannya itu karena aku sendiri belum dapat menggunakan kekuatan meramalku itu sesuka hati. Iya, Pak Endang adalah seorang bujang tua, dia masih setia dengan status jomblonya.

    Selebihnya, hampir semua kejadian seperti terulang kembali.

    Selama beberapa hari terakhir, aku sedikit mendapat pelatihan dasar tentang cara menggunakan kekuatan magisku oleh Pak Waringin dan Pak Endang. Hal ini diperlukan agar aku dapat menjaga keselamatanku sendiri saat melakukan misi nanti.

    Dalam melakukan aksi kejahatannya, biasanya orang-orang yang memiliki kekuatan magis melapisi tubuh mereka dengan lapisan pelindung ghaib yang berfungsi untuk menihilkan efek serangan dari senjata fisik seperti pistol atau pedang. Orang-orang awam pada umumnya menyebut kemampuan itu sebagai ilmu kebal. Ilmu kebal ini juga biasa digunakan oleh para magician dalam pertunjukan mereka. Kau tahu Limbad? Dia adalah salah satu contohnya.

    Cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan senjata yang menggunakan kekuatan magis. Seorang anggota DRM, dituntut untuk tidak hanya mengandalkan A.D saja dalam melaksanakan tugasnya. Namun mereka diwajibkan untuk dapat menggunakan senjata-senjata magis. Salah satunya adalah pistol magis.

    Salah satu jenis pistol magis yang biasa digunakan oleh anggota DRM adalah jenis FN 57-M.

    Pada tahun 2004, selain mengeluarkan pistol dengan varian FN 57 USG yang diperuntukan bagi warga sipil, perusahaan FN yang berasal dari Belgia ini juga memproduksi varian FN 57-M yang dibuat khusus sebagai senjata yang dipakai oleh kalangan militer yang berurusan dengan hal-hal magis.

    Bentuk fisik dari pistol itu sendiri tak berbeda dengan pistol FN 57 standar yang biasa digunakan oleh Polisi pada umumnya. Letak perbedaannya adalah jika pistol FN 57 standar menggunakan peluru fisik dengan kaliber 5,7 mm, pistol FN 57-M tidak menggunakan peluru fisik sama sekali. Amunisi yang digunakan adalah kekuatan magis si pengguna itu sendiri.

    Hal itu merupakan hasil dari penerapan teknologi spesial pada pistol tersebut. Sebuah sirkuit dan komponen-komponen khusus ditanamkan didalamnya supaya pengguna dapat dengan mudah memfokuskan dan melipat-gandakan kekuatan magisnya untuk kemudian dikonversi menjadi sebuah energi yang memiliki daya rusak setara dengan sebuah peluru biasa. Keuntungan dalam menggunakan senjata ini adalah penjahat yang menggunakan ilmu kebal pun tak dapat menangkis serangan yang diakibatkan oleh senjata magis ini.

    FN bukanlah satu-satunya perusahaan yang memproduksi senjata magis di dunia. Masih banyak perusahaan pembuat senjata magis lainnya yang mempunyai produk-produk unggulan mereka masing-masing.

    Kami -para Taruna- telah mendapatkan pelatihan tembak menembak, sehingga aku tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam hal membidik sebuah sasaran. Kesulitan yang kualami adalah menghimpun dan mengkonsentrasikan kekuatan magisku dan kemudian mengkonversikannya menjadi energi yang dapat kutembakan.

    "Santai saja, tidak usah tegang begitu Bro," ucap Pak Endang yang hari ini mendapat giliran untuk melatihku.

    Dua tanganku memegang pistol itu dengan erat dan mengarahkannya ke sasaran latihan tembak.

    "Atur nafasmu. Fokuskan aliran tenagamu pada pistol itu Bro," ia kembali memberi pengarahan padaku.

    Aku menyerah. Kuturunkan kedua tanganku.

    "Pak, apa tidak sebaiknya saya berlatih sesuatu yang sederhana terlebih dahulu? Misalnya mempelajari prinsip-prinsip dasar pengkonversian kekuatan magis menjadi tenaga penghancur atau cara menggerakkan benda menggunakan kekuatan magis saya atau latihan dasar lainnya? Sepertinya ini terlalu susah pak."

    Dia malah terkikik, "Aduh..aduh... Bro ini ternyata gampang menyerah. Mana darah mudamu yang berapi-api?"

    "Maaf Pak, tapi bukankah biasanya di cerita-cerita fiksi itu pemula seperti saya ini latihannya adalah bertapa di bawah air terjun atau apa gitu pak. Kok malah saya langsung diajari cara menggunakan pistol magis seperti ini?" aku menggelengkan kepala dan menaikan bahu kiri dan kananku.

    "Lho, itu kan cerita fiksi, sedangkan ini dunia nyata. Bro ini gimana sih?! Terkadang, apa yang sebenarnya terjadi di dunia nyata itu jauh lebih sederhana daripada yang ditulis dalam novel Bro. Itu kenyataannya."

    Kemudian ia berjalan mendekat dan merangkul pundakku.

    "Aku jelaskan Bro, kenapa Bro langsung kulatih menggunakan senjata seperti ini tanpa harus menjalani latihan-latihan dasar seperti yang ada di novel-novel fiksi. Bro tau kenapa?"

    "Tidak Pak." jawabku.

    "Senjata ini telah dibekali oleh teknologi yang mempermudah si pengguna. Seorang amatir sekalipun, seharusnya langsung dapat menggunakannya. Kan' yang namanya teknologi itu mempermudah segalanya, bener atau tidak Bro?"

    "Tapi nyatanya saya tetap tidak bisa menggunakan pistol itu Pak."

    "Itu karena Bro sendiri belum membuka gerbang keyakinan bahwa kekuatan magis itu benar-benar ada dan kita bisa menggunakan kekuatan itu dengan ijin dari-Nya."

    Aku menatap bingung Pak Endang. Penjelasannya masih belum dapat kucerna.

    "Jadi bagaimana caranya membuka gerbang itu Pak?"

    "Bro ini muslim?"

    "Benar Pak."

    "Begini, pikirkan dalam hati dan yakinkan pada diri sendiri bahwa dengan seijin-Nya Bro dapat menggunakan kekuatan magis demi kebaikan. Lebih baik sambil berdoa Bro, terserah doa apa saja yang Agan hafal, ayat Kursi juga bagus. Tapi sepertinya terlalu panjang sih kalau pakai ayat Kursi."

    Pak Endang lalu merebut pistol yang tadi masih kugenggam. Lalu ia membidik sasarannya.

    "Allahu Akbar!" ia berteriak dengan kencang lalu dibarengi dengan sebuah bola cahaya yang melesat cepat menuju sasaran yang ia bidik, dan targetnya kini menjadi berlubang setelah bola cahaya itu menembusnya.

    Aku hanya melongo melihat kejadian itu. Sedangkan Pak Endang, senyuman bangga tergambar di wajahnya.

    "Dulu waktu awal-awal aku dilatih, aku dikasih trik seperti itu oleh pelatihku. Dan sepertinya Bro juga harus mencobanya."

    "Apa harus mengucapkan takbir Pak? Lalu bagaimana dengan penganut Agama yang lain?"

    "Ooh, itu mah tergantung kepercayaan masing-masing Bro. Kan tadi aku bilang bahwa kita harus membuka gerbang keyakinan bahwa kekuatan magis itu benar-benar ada agar kita bisa menggunakan kekuatan itu dengan ijin dari-Nya. Jadi, seorang Kristen, Katholik, Budha, Hindu, atau yang lainnya ya harus meyakini bahwa mereka dapat melakukannya atas ijin dari apa yang mereka percayai sebagai dzat yang menciptakan mereka. Itu disebut menggunakan kekuatan magis melalui jalur putih, sedangkan jalur hitam... nanti saja dibahasnya di markas DRM ya Bro."

    "Lagipula nanti kalau sudah mahir juga tidak perlu berteriak atau mengucapkan kata-kata untuk menembakkan kekuatan magis menggunakan pistol ini Bro. Itu kan hanya untuk mempermudah pada proses awalnya saja," ia menambahkan.

    Lalu aku kembali berlatih menggunakan senjata magis itu.

    ##DR[dot]M##

    Pukul 15:00 WIB., kami sampai di kaki gunung Merapi dan mulai mendirikan tenda sebagai base camp pelatihan. Setelah semua tenda telah didirikan, kami melakukan apel sore sebelum melakukan kegiatan utama.

    Pelatihan yang dilakukan di alam bebas ini diikuti oleh 248 Taruna tingkat II dan 20 pembina. Cuacanya, pesertanya, langitnya, persis seperti apa yang pernah kualami sebelumnya. Berarti tinggal menunggu, apakah nanti saat masih melakukan pendakian kami benar-benar diserang, atau justru penerawanganku salah.

    'Jika kita memiliki anggota yang mempunyai kemampuan untuk dapat melihat masa depan, itu adalah sebuah keuntungan besar bagi kita, karena dengan kemampuan itu kita dapat mencegah terjadinya sebuah kejahatan atau musibah sebelum jatuhnya korban. Namun sayangnya kamu sendiri belum dapat memaksimalkan kemampuan itu.' begitu kata Pak Waringin padaku kemarin.

    Aku pun masih bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana bisa kemampuan itu tiba-tiba dapat kugunakan lagi setelah sekian lama aku melupakannya. Lalu bagaimana caranya agar aku dapat mengontrol kekuatan itu?

    Nanti saja lah aku pikirkan itu lagi. Sekarang ada hal penting yang harus aku lakukan. Memastikan bahwa para penyerang itu benar-benar datang dan jangan sampai terulang kembali kejadian seperti yang sebelumnya.

    Kuperiksa kelengkapanku sebelum berangkat. Sebilah pisau belati, lampu senter, botol air, sekotak roti kering, sepucuk FN 57-M, dan sebuah topeng berwarna putih dengan gambar burung gagak di tengahnya.

    Iya, sekarang aku dibekali dengan pistol dan topeng yang diberikan oleh Pak Waringin untuk berjaga-jaga. Dan aku pun baru tahu ternyata burung hitam yang tergambar di topeng dan pin yang tersemat di kerah baju setiap anggota DRM adalah burung gagak -burung yang menjadi simbol DRM.

    Sesuai jadwal, pada pukul 19:00 WIB kami mulai melakukan pendakian. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini aku menjadi semakin waspada dalam pendakian malam ini.

    Dari 20 orang pembina yang mendampingi kami, 9 orang diantaranya adalah anggota DRM. Pak Endang dan Pak Markus adalah dua orang yang ditugaskan untuk menjamin keselamatanku.

    Pak Markus ini orangnya pendiam. Perawakannya yang tinggi besar membuatnya terlihat seperti seorang algojo yang biasanya memenggal kepala penjahat yang mendapat hukuman pancung pada jaman dahulu.

    Semakin dekat dengan pos 3 -dimana berdasarkan penerawanganku di pos itulah para penyerang memulai aksinya- jantungku semakin berdegup kencang. Pandanganku menelisik sekitar berharap dapat melihat pergerakan para penyerang. Namun tak satupun sesuatu yang mencurigakan yang kulihat.

    Akhirnya kami sampai di pos 3. Aku masih dapat mengingat dengan jelas kejadian-kejadian yang aku alami dalam penerawanganku. Beberapa Taruna sedang memijit-mijit kaki mereka yang kelelahan, dan lain sebagainya.

    Sekarang aku menunggu dengan perasaan was-was saat Adrian mengambil air minumnya. Karena pada saat itulah para penyerang memulai aksinya.

    Para pembina yang juga anggota DRM kini dalam kondisi siaga. Suasana tegang ini seperti film-film Hollywood yang biasanya kutonton.

    Pak Markus merapatkan tubuhnya padaku. Matanya yang tajam mengawasi kondisi sekitar.

    Akhirnya terjadi. Orang-orang selain anggota DRM mulai berjatuhan ke tanah.

    "Gunakan topengmu!" perintah Pak Markus.

    Setelah aku berhasil mengenakan topeng, Pak Markus memegang tangan kiriku.

    Kuambil pistol yang kusembunyikan di balik bajuku menggunakan tangan kananku yang masih bebas untuk berjaga-jaga.

    "Mereka datang!" sebuah pemberitahuan yang sepertinya berasal dari Pak Waringin terdengar dari jarak lima meter dari tempatku berdiri.

    Kilatan cahaya warna-warni bermunculan dimana-mana saat semua anggota DRM mulai memanggil A.D mereka.

    Tetapi tidak dengan Pak Markus. Ia tidak memanggil A.D miliknya. Tangannya masih memegang tangan kiriku. Bahkan ia semakin mengencangkan genggamannya.

    Para penyerang yang memakai pakaian serba hitam, melesat cepat dari atas bagaikan seekor elang yang menukik dengan kecepatan tinggi saat menyerang mangsanya.

    "Markus, lakukan sekarang!" Pak Endang yang berdiri di samping kananku memberi perintah kepada Pak Markus.

    "Baiklah. Bertahanlah hingga kami datang," kata Pak Markus yang kemudian bibirnya sibuk mengkomat-kamitkan sesuatu.

    Sebuah lingkaran yang mengeluarkan cahaya putih menyilaukan dengan cepat muncul dan mengelilingi tempatku dan Pak Markus berdiri.

    "Pejamkan matamu Nak. Kau tak akan suka melihat pemandangan saat kita mulai perjalanan kita nanti."

    "Siap pak!"

    Seperti apa yang diperintahkan oleh Pak Markus, aku memejamkan mata.

    "Kita sudah sampai Nak. Buka matamu!"

    Hehh? Secepat inikah?

    Aku yang baru saja berhasil menutup mataku kini sudah diberi perintah lagi untuk membuka mata.

    Begitu mataku terbuka, didepanku sudah berdiri orang tua berkumis tebal dan berdiri dibelakangnya sekitar 20 orang yang merupakan anggota DRM juga.

    Sesuai rencana, kini aku sudah aman berada di markas besar DRM.

    "Kerja bagus Markus. Sekarang bawa yang lainnya ke lokasi penyerangan." Kapten Hendro dengan nada yang berwibawa memberikan perintah kepada Pak Markus.

    Pak Markus bersama kedua puluh orang itu lalu bergandengan tangan membentuk formasi seperti obat nyamuk bakar dengan Pak Markus berdiri sebagai ujung bagian dalamnya. Dalam sekejap mereka menghilang ditelan oleh cahaya putih yang menyilaukan meninggalkan aku dan Kapten Hendro di ruangan itu.

    ##DR[dot]M##

    Aku berdiri di dalam ruangan yang bersebelahan dengan ruang interogasi. Sebuah cermin dua arah berukuran besar terpampang pada dinding yang membatasi antara dua ruangan ini.

    Kapten Hendro yang didampingi oleh salah satu anggota DRM sedang berhadapan dan mengorek keterangan dari pelaku penyerangan. Dalam misi itu, dua dari sebelas orang pelaku penyerangan berhasil ditangkap.

    Misi yang kami laksanakan tadi malam berjalan dengan mulus berkat kemampuan khusus Pak Markus yang dapat berteleportasi dan juga kerja keras anggota DRM lainnya.

    Beberapa anggota DRM mengalami luka-luka ringan dalam misi tersebut, akan tetapi seluruh Taruna dan pembina berhasil selamat tanpa tergores sedikitpun dari serangan itu.

    Setelah mereka semua tersadar, mereka melanjutkan kegiatan pendakian kembali seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Kepergianku disembunyikan oleh Pak Waringin dan anggota lainnya dengan alasan jatuh sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit secepatnya. Awalnya beberapa pembina dan teman-teman Taruna seangkatanku masih tetap tidak mempercayainya, namun setelah diyakinkan oleh Pak Waringin akhirnya mereka tidak bertanya-tanya lagi.

    Proses interogasi berjalan dengan mudah berkat kehadiran Kapten Hendro. Keterangan demi keterangan berhasil dihimpun dari pengakuan kedua tersangka. Mereka tak sedikitpun mendapat peluang untuk berbohong didepan Kapten Hendro yang memiliki kemampuan khusus untuk dapat membaca dan melihat pikiran orang lain.

    Setelah interogasi selesai, Kapten Hendro meninggalkan tersangka dan menuju ke dalam ruangan tempat aku dan Bu Widya berdiri dan mengamati jalannya proses interogasi itu tadi.

    Sementara itu kedua tersangka dimasukan kedalam sel tahanan sementara menunggu keputusan sidang yang akan segera dilaksanakan. Jika vonis sudah dijatuhkan kepada para tersangka, maka selanjutnya mereka akan dikirim menuju ke penjara Nusa Kambangan dan resmi menjadi penghuninya.

    Penjara Nusa Kambangan adalah satu-satunya penjara di Indonesia yang menampung para tahanan pelaku tindak kejahatan yang berkaitan dengan hal-hal supranatural. Lokasinya yang berada di sebuah pulau kecil yang tersendiri membuatnya menjadi sebuah penjara dengan proteksi ekstra terhadap segala ancaman santet, teluh, dan ilmu hitam yang mungkin dikirim dari luar. Kenapa begitu? Karena santet, teluh ataupun ilmu hitam tidak dapat melintasi laut.

    Bagaimana bisa santet atau teluh tidak dapat melintasi laut?

    Aku sendiri belum bisa mengetahui alasannya dengan pasti. Namun menurut keterangan yang aku dapatkan barusan dari Bu Widya, laut memiliki kemampuan untuk menetralkan segala bentuk ilmu hitam. Apakah kalian pernah melihat seseorang menaburkan garam di sekeliling rumahnya dengan alasan untuk menolak bala? Alasan itu sedikit masuk akal karena garam berasal dari laut.

    "Bayu, aku ingin membicarakan sesuatu. Ikut aku!"

    Kemudian aku berjalan dibelakang Kapten Hendro dan mengikutinya menuju ruang kerjanya.

    Markas DRM tak ubahnya markas militer pada umumnya. Berbeda dengan pemikiranku sebelumnya yang membayangkan bahwa di markas DRM bakal terdapat ornamen-ornamen sihir dan bahkan aku sempat membayangkan ada tengkorak dan tulang belulang manusia berserakan di markas DRM. Ternyata aku salah.

    Sejak tadi malam hingga sekarang, aku belum tidur sama sekali.

    Dari dimulainya penyerangan hingga saat misi dinyatakan selesai aku terus bersama Kapten Hendro. Aku juga belum sempat bertemu dengan Baim dan juga manusia besi yang sudah berada disini terlebih dahulu.

    Lalu Kapten Hendro mempersilahkan aku duduk saat ia menutup pintu ruang kerjanya. Kemudian ia duduk dan merapikan kumis kebanggaannya sebelum mulai berbicara.

    "Apa kau mengantuk?"

    "Siap Pak. Tidak Pak!"

    "Baguslah kalau begitu. Karena aku ingin menyampaikan informasi tentang siapa sebenarnya kelompok penyerang itu dan apa tujuan mereka menculik kau."

    Ia mengubah posisi duduknya dan mencari posisi duduk yang lebih nyaman.

    "Dari pengakuan mereka, ternyata mereka adalah orang-orang bayaran yang mendapat perintah untuk menculikmu dari seseorang yang menamai dirinya sebagai Dasamuka."

    "Dasamuka?!" aku menyebut nama itu dengan ekspresi wajah yang sengaja kubuat kaget agar terlihat keren dan dramatis seperti adegan yang biasanya muncul di sinetron-sinetron sebelum muncul tulisan 'bersambung'.

    ##DR[dot]M##
     
  9. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Ada sebab pasti ada akibat, begitu pula sebaliknya. Tetapi aku masih belum dapat memahami apa kira-kira yang menyebabkan orang yang bernama Dasamuka ingin menculikku.

    Jika aku ini anak orang kaya, masih masuk akal bila mereka ingin menculikku demi uang. Namun sayangnya aku hanyalah orang yang berasal dari keluarga pas-pasan. Kemudian aku berpikir bahwa mungkin ada dendam lama. Setelah berulang kali aku mencoba mengingat apa saja yang terjadi di masa laluku, kemungkinannya sangat kecil jika aku pernah membuat seseorang menjadi begitu dendam padaku sehingga ia rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk menyewa sebelas orang untuk menculikku.

    Ah, jangan-jangan ini berkaitan dengan masa lalu Ayahku?

    "Bisa jadi," katanya, "Karena Ayahmu tewas saat sedang menyelidiki kasus pembunuhan salah seorang anggota dewan yang dibunuh menggunakan santet kelas A." Aku baru mengetahui bahwa santet ternyata memiliki tingkatan tersendiri.

    "Menurut penyelidikan yang dilakukan oleh Ayahmu," ia melanjutkan, "terdapat sebuah konspirasi dibalik kasus itu -aku sendiri setuju dengan pendapatnya itu." Kapten Hendro yang sedari tadi hanya duduk sambil berpangku tangan dan memandangku, kini ia berusaha menjangkau cangkir kopinya dan mengarahkan ke bibirnya.

    Suara berisik timbul saat ia menyesap kopinya yang sudah dingin. Suara desahan penuh kenikmatan keluar dari mulutnya setelah cairan hitam itu telah sepenuhnya mengalir masuk kedalam tenggorokannya. Ujung kumis tebalnya yang berada di tengah-tengah bibir atasnya kini sedikit basah karena sempat tercelup kedalam cangkir minumannya. Setelah suara desahan yang memuakkan itu berhenti, kini suara tabrakan dua benda yang sama-sama terbuat dari keramik terdengar pelan saat ia meletakan kembali cangkir kopi ke atas tatakannya.

    Kemudian ia mengelap sisa minuman yang menempel di kumisnya dengan selembar sapu tangan biru bermotif kotak-kotak yang ia ambil dari dalam saku sebelah kanan baju seragamnya.

    "Sayangnya, Ayahmu itu hanya berhasil menangkap dukun pelaku penyantetan anggota dewan dan ia sendiri tewas sebelum berhasil mengungkap motif si pelaku penyantetan itu," ia melanjutkan sambil menyimpan kembali sapu tangannya ke dalam saku.

    Aku mengernyitkan dahi dan menegakan posisi dudukku. "Bukankah Bapak dapat dengan mudah mengetahui isi kepala dukun santet itu seperti apa yang telah Bapak lakukan tadi kepada dua tersangka itu?"

    Ia tak langsung menjawab pertanyaanku. Sekarang ia sibuk meraih sesuatu dari dalam kantong belakang celananya. Setelah susah payah berusaha mengambil benda yang ia simpan di saku celananya itu, senyuman aneh terkembang di wajahnya. Lalu ia menunjukan sebuah benda kecil yang terbungkus kain putih kepadaku.

    Apa itu? Apakah itu jimat atau barang bukti yang berasal dari penyelidikan yang pernah dilakukan oleh Ayahku?

    "Ini?" Ia menggoyang-goyangkan bungkusan kecil berwarna putih itu di depan wajahnya. "Bukan. Benda ini memang jimat milikku, tetapi tidak ada hubungannya dengan kasus itu maupun Ayahmu." Kemudian dengan sangat hati-hati ia membuka bungkusan kain putih itu.

    Betapa terkejutnya aku setelah mengetahui benda yang terbungkus kain putih itu ternyata adalah... sebuah sisir kecil berwarna hitam.

    Krikk...

    Dan Kapten kita yang sinting ini mulai menyisir dengan sangat hati-hati kumis kebanggaannya.

    Apakah kalian pernah melihat iklan shampo di televisi dimana bintang iklannya terlihat begitu bahagia saat sedang berkeramas? Ekspresi wajah yang sama ditunjukan oleh Kapten sinting ini saat menyisir kumis lebat kebanggaannya menggunakan sisir kecil tadi.

    Aku baru menyadari ternyata Kapten sinting ini benar-benar terobsesi dengan kumis lebatnya itu.

    "Berani juga kau yah, berkata aku ini sinting dalam hati walaupun kau tahu aku ini dapat membaca pikiranmu?!" Suaranya memang terdengar marah, namun ekspresi wajahnya seperti seekor kucing yang begitu senang saat bulu-bulunya dibelai.

    "Maaf Pak. Saya keceplosan." Dengan nada yang kubuat seolah penuh penyesalan aku berkata lagi, "saya tidak akan mengulanginya lagi."

    Yeah, 'keceplosan' Pak.

    Seolah tak peduli dengan apa yang baru saja kukatakan dalam hati ia melanjutkan perkataannya, "yang kami dapatkan hanyalah seorang dukun yang telah kehilangan kewarasannya," katanya sambil menyisir kumisnya pelan, "dia menjadi gila karena kutukan yang dilakukan oleh Iblis tingkat tinggi -karena jika Jin yang melakukannya, efek dari kutukan itu tidak separah yang dialami oleh si dukun. Tak sedikitpun memori si dukun yang bisa diselamatkan dari kutukan gila itu, sehingga penyelidikan pun dihentikan karenanya."

    Kemudian ia melanjutkan lagi. "Dari situlah kecurigaanku atas adanya dugaan sebuah konspirasi dibalik kasus itu semakin menguat. Karena seseorang yang dapat memerintahkan Iblis dengan level tinggi bukanlah orang sembarangan."

    "Mengirim santet kepada seorang pejabat pemerintahan tidaklah mudah," matanya menatapku tajam, "walaupun pejabat itu adalah orang yang sama sekali tidak mengetahui atau tidak mempedulikan hal-hal ghaib, mereka dilindungi oleh proteksi-proteksi anti sihir yang benar-benar kuat pada tempat tinggal mereka, sehingga jejak sihir pengiriman santet itu pasti dapat dilacak." Dia berhenti sejenak, "selain itu mereka juga difasilitasi dengan tenaga keamanan yang terlatih dan mumpuni dalam segala bidang -termasuk bidang supranatural. Jika hanya orang dengan kemampuan sihir biasa-biasa saja, rasanya mustahil untuk dapat menembus pertahanan itu. Itulah sebabnya aku setuju dengan pendapat Ayahmu bahwa kasus tersebut berbau politis."

    Sehebat itukah perlindungan yang disediakan bagi para pejabat Negara? Kalau begitu, perlindungan bagi Presiden pasti lebih mengerikan lagi.

    "Coba kau pikirkan," ia mengacungkan jari telunjuk tangan kirinya padaku, sementara tangan kanannya masih sibuk dengan urusan kumisnya. "Untuk apa seseorang mengirimkan santet kepada orang yang jelas-jelas dilindungi oleh perlindungan sihir seperti itu jika bukan karena adanya suatu kepentingan yang mendesak?" Ia berhenti bicara, seolah membiarkanku memikirkan alasannya. "Jika hanya dilatar-belakangi oleh dendam," ia melanjutkan, "berarti pelakunya dendam kesumat kepada si korban. Atau kemungkinan lainnya adalah si pelaku tidak tahu sama sekali bahwa targetnya memiliki perlindungan yang kokoh. Namun kurasa tak ada orang bodoh yang mengirim santet tanpa mengetahui latar belakang korbannya terlebih dahulu. Aku percaya bahwa dukun itu mengirimkan santet kepada anggota dewan atas perintah seseorang yang kemudian membuatnya jadi gila setelah santet berhasil dikirimkan."

    Aku mengangguk setuju. Memang benar, sepertinya sesuatu yang kompleks tersembunyi dibalik kasus itu.

    "Lalu, jika Dasamuka ini masih ada kaitannya dengan kasus tersebut, kenapa dia mengincar saya Pak? Padahal kasus tersebut telah dihentikan penyelidikannya?!"

    "Itu yang menjadi pekerjaan rumah kita." Ia berbicara lagi, "pertanyaan lainnya adalah, apakah si Dasamuka ini masih tetap berusaha untuk menculikmu, atau berhenti hanya disitu saja."

    Akhirnya ia selesai dengan ritual merapikan kumisnya dan dengan sangat hati-hati ia membungkus sisir kecilnya itu kembali.

    Sekarang ia sibuk mengambil sesuatu lagi. Tapi kali ini ia mengambilnya dari laci meja kerjanya. Benda yang diambil dari laci itu adalah cermin kecil berbentuk persegi.

    Ya Tuhan!

    Ia memandangi kumisnya dari cermin itu dengan mata yang berbinar-binar.

    Seandainya bisa, sesungguhnya aku ingin mempelajari kemampuan untuk membaca pikiran orang lain supaya aku tahu apa yang sedang Kapten pikirkan saat ini.

    "Sayang sekali kau tak akan pernah bisa. Kemampuan untuk dapat membaca dan melihat pikiran seseorang adalah sebuah kemampuan khusus. Dinamakan kemampuan khusus karena tidak semua orang memilikinya atau dapat mempelajarinya. Dari satu juta orang yang memiliki kekuatan magis, hanya dua orang yang memiliki kemampuan khusus yang sama. Jadi, kau jangan bermimpi untuk dapat membaca pikiranku!" Ia tertawa kecil dengan seringai yang jahat.

    "Jadi menurut Bapak," aku bertanya lagi, "Dasamuka ini mengincar saya karena ada sesuatu pada diri saya yang berkaitan dengan kasus lama itu Pak?"

    Aku sedikit menggeser posisi dudukku karena cahaya matahari mulai masuk ke ruang kerja Kapten melalui celah-celah tirai lipat yang menutupi jendela kaca yang membuat mataku silau.

    "Itukan hanya sebuah hipotesa," katanya, "bisa jadi si Dasamuka ini memiliki motif yang lain. Lagipula kita belum ada informasi sama sekali tentang siapa si Dasamuka ini. Dari keterangan para tersangka, mereka berhubungan dengan Dasamuka hanya melalui telepon dan email saja dan kata mereka tak ada satupun komplotannya yang pernah bertemu langsung dengan Dasamuka."

    "Yang mengejutkan," dia berhenti sejenak untuk menggosok hidungnya sambil memperhatikannya di cermin, "ternyata orang-orang itu tidak saling mengenal dengan anggota komplotannya dan baru direkrut dan diberi perintah dua hari sebelum hari penyerangan oleh Dasamuka."

    "Maka dari itu sulit untuk melacak para penyerang yang berhasil kabur itu. Aku berpikir," ia menatap wajahku setelah memasukan cerminnya kedalam laci, "kenapa si Dasamuka ini seperti terlalu buru-buru dalam bertindak. Bukankah akan lebih sempurna jika jauh-jauh hari sebelumnya ia mengumpulkan orang bayarannya dan menyusun strategi yang lebih bagus untuk menculikmu?" Kedua alisnya terangkat bersamaan. "Bisa jadi Dasamuka ini hanya orang bodoh yang memiliki uang yang banyak saja," katanya, "namun karena kita belum ada bukti-bukti atau keterangan mengenainya, tidak ada salahnya kita mengkaitkannya dengan kasus lama Ayahmu itu. Lagipula, biasanya instingku selalu benar."

    "Tapi, bagaimana bisa Pak ia mendapatkan orang sebanyak itu dalam waktu singkat? Lalu, kenapa tidak dilacak saja nomor telepon atau email Dasamuka itu?"

    "Para penganut ilmu hitam memang biasanya bekerja secara individual," katanya.

    "Walaupun begitu," ia melanjutkan, "mereka memiliki sebuah jaringan bawah tanah -maksudku, jaringan rahasia- yang menghubungkan mereka. Jadi sepertinya Dasamuka ini memiliki akses yang luas pada jaringan itu sehingga ia dapat dengan mudah mengumpulkan orang-orang bayaran sebanyak itu dalam waktu yang singkat."

    "Melacak telepon dan email? Untuk masalah ini sepertinya dia lebih berhati-hati untuk menghilangkan jejaknya. Seperti yang di duga, nomor telepon yang ia pakai tidak dapat dilacak, sedangkan alamat IP emailnya telah di enkripsi sehingga tidak dapat ditelusuri lokasinya." Kemudian mulutnya terbuka lebar dan menguap.

    "Sepertinya cukup sampai di sini dulu diskusi kita tentang Dasamuka ini," katanya, "nanti akan kukabari kau lagi jika ada informasi baru mengenai Dasamuka. Kau boleh pergi dan beristirahat."

    "Siap Pak." Aku bangkit dari tempat dudukku dan setelah melakukan penghormatan, aku membalikan badanku dan melangkah keluar menuju asrama baruku.

    ##DR[dot]M##

    Imajinasiku yang paling liar sekalipun tak pernah membayangkan bahwa aku akan menjadi seorang aparat keamanan yang berurusan dengan hal-hal mistis. Tapi sekarang hal yang tak pernah kubayangkan itu telah menjadi tanggung jawab baru yang harus kuemban.

    Waktu pertama kali aku muncul di Asrama DRM, yang terlihat begitu kaget adalah Baim. Ia tak menyangka bisa bersamaku lagi. Sebelumnya ia memang sudah mengetahui bahwa aku juga direkrut oleh DRM setelah ia bertanya pada Pak Waringin. Namun karena ternyata aku tidak berangkat bersama mereka berdua ke Asrama DRM -maksudku, bersama Baim dan si Manusia besi- ia mengira bahwa aku telah menolak tawaran bergabung dengan DRM.

    Sedangkan si Manusia besi tak menunjukan ekspresi apapun saat melihat kedatanganku. Malah sejak kedatanganku hari itu, tingkahnya menjadi aneh, berbeda dengan Manusia besi yang kukenal sebelumnya. Entah apa alasannya, ia selalu menatap curiga ketika aku dan Baim sedang berdua saja.

    Anehnya lagi, kemanapun aku dan Baim pergi, ia selalu memaksa untuk ikut dengan kami.

    Jujur saja, aku dan Baim mulai risih dengan perilaku Manusia besi. Kami berpikir, jangan-jangan Manusia besi ini homo, dan ia jatuh cinta kepada Baim. Makanya ia selalu menatap curiga karena cemburu jika dia melihat kami sedang berduaan -err.. maksudku, berduaan itu bukan mesra-mesraan loh, tetapi sekedar ngobrol atau bengong bersama.

    Percayalah! Ini bukan cinta segitiga menjijikan seperti yang kalian kira. Aku masih normal Kampret!!

    Oh iya, ternyata yang direkrut oleh DRM bukan dari Akpol saja, tetapi beberapa Taruna Akmil dari angkatan darat, laut, dan udara juga. Jadi, jumlah anggota baru yang direkrut oleh DRM berjumlah 14 orang termasuk kami bertiga. Rekrut paling banyak adalah dari angkatan darat, sedangkan yang paling sedikit -cuma satu orang saja- berasal dari angkatan udara.

    Hari ini, setelah melakukan apel pagi, aku dan teman-teman lainnya menuju ke sebuah ruang kelas untuk mendapatkan kuliah pertama kami di akademi DRM ini.

    Mata kuliah yang akan kami pelajari hari ini adalah 'Pengetahuan dasar sihir dan ilmu hitam'.

    Setelah beberapa menit kami menunggu, akhirnya Pak Dosen masuk ke dalam kelas.

    Tubuhnya yang pendek -mungkin tingginya hanya sekitar 155 cm, tak sampai 160- kurus, ceking, keriput yang menghiasi wajahnya, rambut yang sudah memutih dan tinggal beberapa helai saja yang masih bertahan dikepalanya, membuatku langsung teringat sosok Golum yang ada di novel The Lord of The Ring. Bedanya dengan Golum, Pak Dosen ini memakai kacamata berbingkai persegi yang menggantung di ujung hidungnya.

    Selain itu, yang unik dari penampilan sang Dosen adalah seekor burung -aku tak tahu burung jenis apa itu, kalau tidak salah mungkin itu burung gereja- bertengger di pundak sebelah kanannya.

    Aku berpikir, jangan-jangan jika burung yang ada dipundaknya itu diambil oleh seseorang, ia akan langsung menyerang membabi buta sambil berteriak 'my precious' dan merebut kembali burung itu.

    "Selamat siang," ia menyapa dengan suara serak yang aneh, "hari ini saudara sekalian akan belajar tentang pengetahuan dasar sihir dan ilmu hitam. Silahkan buka buku panduan yang telah dibagikan pada halaman satu dan kita akan membahas tentang sejarah sihir dan ilmu hitam yang..."

    Seseorang mengangkat tangannya ke udara, "Maaf Pak," ia berkata, "Bapak belum memperkenalkan diri."

    "Siapa nama anda?" Pak Golum berkata dengan tatapan dingin seperti saat Golum mencurigai seseorang yang berniat mencuri cincinnya.

    "Siap Pak! Nama saya Hendi Pak!"

    "Saudara Hendi," ia berhenti sejenak dan masih menatapnya dingin, "jika anda mau sedikit bersabar, anda tidak perlu menyela penjelasan saya untuk dapat mengetahui nama saya. Karena cepat atau lambat saudara-saudara sekalian pasti akan mengetahui nama saya seiring berjalannya waktu."

    Mendapat jawaban seperti itu, Hendi langsung tertunduk diam.

    Selama jam pelajaran yang berlangsung dengan sangat khidmat dan tanpa interupsi sama sekali, kami mempelajari sejarah-sejarah terciptanya sihir dan ilmu hitam. Aku pun akhirnya mengetahui bahwa sihir dan ilmu hitam itu ternyata berbeda, walaupun konsepnya sama.

    Sihir adalah sebuah aktivitas magis yang dilakukan oleh Manusia dengan menggunakan kekuatan magisnya sendiri atau menggunakan kekuatan yang berasal dari Jin. Namun pada perkembangannya, seiring pesatnya kemajuan teknologi, menggunakan kekuatan yang berasal dari Jin sudah sangat jarang dipraktekkan. Hal tersebut dikarenakan bekerja sama dengan mahluk halus seperti Jin sangatlah beresiko, meskipun Jin yang dimintai tolong adalah Jin baik.

    Sedangkan ilmu hitam adalah sebuah aktivitas magis yang kekuatannya berasal dari Iblis. Ilmu hitam biasanya digunakan oleh para penjahat-penjahat yang membutuhkan kekuatan besar untuk membunuh atau mencelakai orang lain. Contohnya adalah santet, voodoo, leak, dan sebagainya.

    Prinsip dasar santet adalah mentransfer benda atau mahluk hidup. Santet konvensional biasanya memindahkan paku, jarum, silet, kelabang, belatung, atau benda-benda lainnya kedalam tubuh sasarannya. Proses pentransferan benda itu dilakukan dengan bantuan kekuatan Iblis.

    Semakin tinggi tingkat kekuatan magis sang Iblis, semakin besar prosentase keberhasilan pentransferan benda itu. Maka dari itu santet memiliki tingkatan dari tingkat E yang merupakan tingkatan paling rendah hingga santet tingkat A yang paling tinggi.

    Selain santet, jenis ilmu hitam lainnya yang sering dipraktekkan adalah Voodoo. Ilmu hitam yang pertama kali diciptakan oleh seorang Shaman dari Benua Afrika ini cara kerjanya adalah men-sinkron-kan tubuh Manusia dengan sebuah boneka. Sehingga jika boneka yang dimiliki oleh Shaman ditusuk dadanya, maka orang yang tubuhnya telah disinkronkan dengan boneka itu akan mendapatkan efek yang sama.

    Berikutnya adalah Necromancy. Ilmu hitam yang satu ini berbeda dengan santet maupun Voodoo karena Necromancy tidak secara langsung mencelakai korbannya. Necromancy adalah ilmu hitam dimana seorang penyihir, dukun, atau Shaman menggerakan jasad orang yang sudah mati menggunakan kekuatan Iblis. Sejarah mengatakan bahwa ilmu hitam ini sudah dipraktekkan pada peradaban China kuno.

    Dan masih banyak jenis ilmu hitam yang ada di dunia yang aku sendiri tidak dapat menghapal semuanya.

    Sore harinya, kami mendapat pelatihan untuk mengeluarkan, mengolah, dan menggunakan kekuatan magis kami.

    Instrukturnya adalah seorang Bapak yang perutnya seperti seorang wanita yang sedang hamil tua. Namanya Pak Holmes Dongoran. Orangnya ramah, humoris, dan enak untuk diajak ngobrol.

    Dia pun dengan penuh kesabaran mengajari dan memberikan tips atau trik mengolah kekuatan magis kami.

    "Janganlah kau menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah," Pak Holmes berbicara dengan logat Bataknya yang kental, "jika kau tidak mengetahui siapa yang disembah, akhirnya kau hanya menyembah ketiadaan. Suatu sembahan yang sia-sia. Itu kata-kata favorit yang aku kutip dari ucapan Syekh Siti Jenar."

    "Jadi kalau kau seorang Kristen dan kau tidak meyakini Kristus sebagai sumber utama kekuatanmu, maka kau tidak akan pernah bisa menggunakan kekuatan magismu dengan jalur putih. Begitu juga dengan penganut kepercayaan yang lain. Intinya, kalian harus percaya bahwa Tuhan yang kalian sembah adalah sumber utama kekuatan magismu!" Dengan susah payah ia berteriak supaya nasehatnya terdengar oleh semua murid.

    ##DR[dot]M##
     
  10. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Jam dinding yang terpasang di atas pintu asrama kami menunjukan pukul satu dini hari.

    Rasa haus memaksaku untuk terbangun dari tidurku dan beranjak menuju dapur untuk mengambil air minum.

    Setelah meneguk hampir setengah botol air mineral berukuran besar, aku kembali menuju kamar tidur.

    Kamar tidur yang kumaksud adalah sebuah ruangan kecil yang berisi 7 buah tempat tidur bertingkat yang disusun sejajar dengan rapi dan lemari kecil berbahan alumunium yang jumlahnya sama dengan jumlah penghuni kamar ini.

    Selain itu terdapat sebuah kipas angin tua yang tergantung di langit-langit kamar. Kipas angin tua yang merupakan satu-satunya alat pendingin udara yang kami miliki itu terkadang mengeluarkan bunyi berisik ketika pertama kali dihidupkan.

    Ketika aku berjalan kembali menuju ranjangku, kulihat Baim -yang tempat tidurnya berada di atas ranjangku- ternyata masih terjaga. Ia duduk di atas kasurnya dengan wajah murung.

    "Kok belum tidur?" tanyaku.

    "Hemm..." jawab Baim singkat.

    "Sedang ada masalah?" Tanyaku yang kini duduk di tepian ranjang.

    Tak ada jawaban darinya. Kemudian terdengar suara berdecit dari ranjang ketika Baim menuruni tangga yang terpasang di sampingnya.

    Kemudian ia duduk di sebelahku.

    "Kita terpenjara," katanya.

    "Maksudmu?" aku berkata sambil menolehkan kepalaku kepadanya.

    "Apa kamu tidak sadar dimana posisi kita sekarang?"

    Berbeda dengan Akpol yang berlokasi di Semarang, lokasi markas DRM masih dirahasiakan kepada kami. Aku sampai di tempat ini setelah di teleport oleh Pak Markus kala itu. Sedangkan yang lainnya, mereka bilang saat mereka menuju ke sini, mereka dalam kondisi mata yang ditutup.

    Siapapun yang bertanya tentang dimana tepatnya kami sekarang, para anggota DRM mengatakan bahwa kami sekarang berada di sebuah hutan, di sawah, rumah sakit jiwa, bahkan Kapten Hendro berkata bahwa markas DRM berlokasi di sebuah Warteg.

    "Kata Kapten Hendro posisi kita sekarang berada di Warteg Bu Sri," kemudian aku tertawa pelan.

    Bukannya tertawa sepertiku, ia malah terlihat semakin murung.

    "Sudahlah," kataku, "bukankah kita sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini? Toh kondisi seperti ini bakal berakhir juga setelah pendidikan kita selesai nanti," aku mencoba menasehatinya.

    "Kubah magis raksasa mengelilingi tempat ini," tiba-tiba ia berbicara, "akses keluar masuk dari tempat ini belum dapat kuketahui. Jika hanya satu orang saja, walaupun kekuatan magisnya tinggi sekalipun tidak akan dapat menjebolnya. Butuh beberapa orang untuk meruntuhkannya. Jika menggunakan bantuan jin pun harus dengan jin dari tingkat atas."

    Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak merasa gatal. Aku tak tahu kenapa Baim tiba-tiba mengatakan hal itu padaku.

    "Bukankah bagus, supaya aman dari serangan musuh dari luar?" kataku.

    Seiring berjalannya waktu, kami ber-empat belas yang berasal dari kesatuan yang berbeda-beda akhirnya menjadi akrab -walaupun tidak semuanya. Misalnya; manusia besi. Selain itu, aku pun akhirnya sedikit banyak mengetahui karakter dan kemampuan mereka.

    Beberapa dari kami ternyata sudah dibekali dengan pengetahuan tentang hal-hal mistis dari keluarga mereka. Contohnya Baim. Dalam pelajaran tentang dasar-dasar sihir dan ilmu hitam, pengetahuannya jauh di atas pengetahuan teman sekelas lainnya. Hal ini membuatnya menjadi murid kesayangan Pak Golum -nama aslinya adalah Pak Zulfikar, namun aku lebih suka memanggilnya begitu.

    Selain itu, Hendi -yang ternyata orangnya gemar mencari-cari perhatian- juga memiliki kemampuan di atas kami mengenai mengolah kekuatan magis. Ia selalu memamerkan kemampuannya walaupun di luar jam pelajaran. Pernah suatu waktu ia mendapat hukuman push up sebanyak 200 kali dan dilanjutkan dengan lari keliling lapangan 30 putaran pada saat matahari sedang terik-teriknya karena ia kedapatan menggunakan kekuatan magisnya untuk memelorotkan celana salah satu teman kami.

    Sedangkan aku? Aku bukan orang yang memiliki intelejensi tinggi yang dapat mempelajari sesuatu dalam waktu singkat. Sehingga prestasiku tak dapat kubanggakan untuk saat ini.

    "Iya sih..." jawabnya datar.

    "Apa kamu ingin kabur dari tempat ini?"

    Matanya menerawang. Entah kemana pikiran Baim saat ini. Mungkin ia rindu dengan keluarganya, pacarnya, atau sedang ada masalah.

    Aku tersadar, ternyata ada sepasang mata yang sedang mengawasi kami berdua sambil tiduran dari ranjang sebelahku. Orang yang posisi ranjangnya berada di sebelahku adalah manusia besi.

    "Baim, besok saja kita melanjutkan pembicaraan. Sepertinya ada seseorang yang terbangun dan menguping percakapan kita ini."

    ##DR[dot]M##

    Pagi ini kami semua sudah berkumpul di ruang kelas seperti biasa. Kami bersiap untuk mempelajari cara pemanggilan jin secara manual.

    "Kita dituntut untuk tidak selalu bergantung kepada teknologi," instruktur kami kali ini adalah Bu Linda. Meskipun sudah cukup berumur, namun guratan-guratan kecantikannya masih dapat terlihat pada paras Bu Linda.

    "Dalam situasi tertentu," ia melanjutkan, "dimana kita terpaksa tidak dapat menggunakan teknologi, kita harus melakukannya secara manual."

    Ia berjalan pelan bolak-balik dihadapan murid-muridnya dengan kedua tangan yang saling berkaitan di belakang pinggangnya.

    "Misalnya, ketika kita sedang menjalankan tugas di sebuah hutan belantara dan kita membutuhkan bantuan A.D saat S.D kita mengalami kerusakan." Ia berhenti berjalan dan membalikan badannya untuk menatap wajah kami, "maka kita dapat memanggil A.D atau jin dengan cara manual. Saya di sini tidak akan mengajarkan kalian untuk memanggil jin sesat atau demon dan iblis, kalian tentu sudah tahu alasannya."

    "Namun perlu kalian ingat," ia menegaskan, "jika kita akan memanggil makhluk selain A.D, kita harus mengetahui terlebih dahulu informasi tentang makhluk yang akan kita panggil. Jika tidak, sebuah kesalahan kecil saja dapat menghilangkan nyawa kalian."

    Kemudian ia berjalan pelan menuju sebuah meja kecil yang terletak di pojok depan ruangan. Dari dalam lacinya, ia meraih sebuah buku tebal berwarna putih dan membawanya kehadapan kami.

    Buku yang tebalnya kira-kira hampir sama dengan tebal tiga novel yang menceritakan petualangan penyihir cilik -yang mempunyai bekas luka seperti logo PLN di dahinya- yang ditumpuk, memiliki sampul berwarna putih dan bertuliskan 'Almanak' dengan hurufnya yang dicetak besar menggunakan tinta berwarna emas.

    Ia menjunjung tinggi buku itu agar kami semua dapat melihatnya. "Di dalam buku ini," ia berkata, "terdapat informasi-informasi penting tentang nama, tingkat kekuatan, dan segala informasi tentang jin yang telah berhasil didata dari jaman dahulu hingga sekarang. Informasi tersebut dapat kalian pergunakan sebagai referensi untuk mengetahui jin mana yang kiranya masih dalam batas kemampuan kalian sehingga relatif aman untuk kalian panggil."

    "Mengetahui dan mempelajari terlebih dahulu tentang kekuatan makhluk yang akan kalian panggil adalah hal yang sangat vital sebelum melakukan pemanggilan." Ia berhenti sejenak untuk mengambil nafas lalu melanjutkan penjelasannya lagi, "berbeda dengan pemanggilan A.D yang jelas-jelas bebas resiko, pemanggilan makhluk selain A.D mengandung resiko yang selalu berpotensi merugikan atau mencelakai si pemanggil."

    Kemudian satu per satu kami diberikan kesempatan untuk melihat sekilas isi Almanak.

    "Kalian dapat meminjam Almanak tersebut dari perpustakaan kalau kalian berminat." Kata Bu Linda sambil membetulkan letak kacamatanya.

    Akhirnya tiba giliranku untuk membaca sekilas Almanak itu. Sama seperti kamus, nama-nama jin diurutkan secara alphabet dari A hingga Z.

    Beberapa hari sebelumnya, aku diberitahu oleh temanku tentang sebuah novel yang menceritakan petualangan penyihir dan jin yang berjudul 'Bartimaeus'. Karena penasaran, aku langsung mencari nama itu dalam Almanak. Namun setelah kubolak-balik halaman nama-nama jin yang mempunyai nama berawalan huruf B, nama Bartimaeus tidak ada.

    Oh iya. Itu kan hanya cerita fiksi.

    "Selain mengetahui nama dan kekuatan dari makhluk yang akan kita panggil," ia berseru untuk mendapatkan perhatian murid-muridnya yang sedang bergerombol mengelilingi Almanak, "kalian juga harus mengetahui asal-usul dan sejarah makhluk tersebut."

    "Kalian perlu mengetahui hal itu agar kalian paham sifat dan tabiat mereka," ia melanjutkan.

    Seseorang yang berjarak dua kursi dari samping kiriku mengangkat tangannya untuk mencari perhatian -err.. maksudku untuk bertanya. Siapa lagi kalau bukan si pencari muka yang terkadang menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah ia ketahui. Yah.. sekedar ingin dianggap sebagai murid yang aktif saja sepertinya.

    "Silahkan menyebut nama anda sebelum bertanya," kata Bu Linda.

    "Nama saya Hendi Bu," si pencari muka memperkenalkan diri, "apakah wujud jin selalu menyeramkan Bu?"

    "Menurut ajaran Islam, jin dapat melihat manusia. Namun sebaliknya, manusia tidak dapat melihat mereka dalam wujud aslinya sebagaimana yang tertulis dalam surat Al-A'raf 7:27, 'Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka'. Jikalau ada manusia yang dapat melihat jin, maka jin yang dilihatnya itu adalah jin yang sedang menjelma dalam wujud makhluk yang dapat dilihat mata manusia biasa." Bu Linda menjelaskan dengan tenang.

    "Jin memiliki kemampuan untuk menjelma menjadi bentuk apapun yang mereka inginkan," ia berkata, "jadi, tidak selalu memiliki wujud yang menyeramkan, tak jarang juga mereka merubah wujud mereka menjadi sesuatu yang sangat menggoda; dalam hal ini biasanya jin berubah menjadi seorang perempuan yang cantik jelita. Namun wujud fisik yang ia pakai saat pemanggilan selalu konsisten. Jika saat pertama kali ia dipanggil ke dunia manusia menggunakan wujud kucing, maka untuk proses pemanggilan selanjutnya ia akan menggunakan wujud kucing. Ia hanya akan merubah wujud fisiknya saat mengerjakan tugasnya saja."

    "Adakah pertanyaan lainnya?" ia mengambil jeda dan memberi kesempatan pada yang lainnya untuk bertanya, "jika tidak, kita langsung menuju ke aula untuk mendemonstrasikan ritual pemanggilan A.D dan jin secara manual kepada kalian."

    Kami semua berjalan mengekor Bu Linda menuju sebuah aula yang berada di lantai paling atas gedung utama markas DRM. Sebuah aula dengan langit-langitnya yang tinggi dan ruangannya yang luas itu hanya diisi oleh sebuah lemari yang terbuat dari kayu jati dengan kaca yang dipasang pada pintunya sehingga menampakan isi dari lemari tersebut, sebuah meja kecil yang diatasnya terdapat mesin proyektor terletak di sudut ruangan, dan sebuah kursi lipat yang terbuat dari besi. Selebihnya, kosong.

    Begitu kami sampai, Bu Linda menyalakan proyektor dan setelah itu muncul slide pada dinding yang menggambarkan diagram alir proses pemanggilan.

    "Pada slide ini," Bu Linda menunjuk dinding putih yang digunakan untuk menampilkan citra yang dihasilkan oleh proyektor, "kalian dapat melihat SOP (Standard Operating Procedure) pemanggilan makhluk ghaib secara manual yang dilakukan di dalam sebuah ruangan."

    Beberapa dari kami bergumam lirih mendiskusikan tentang SOP tersebut.

    "Perlu kalian ingat," ia berkata lagi, "SOP pemanggilan makhluk ghaib secara manual terbagi menjadi dua. Yaitu: pemanggilan yang dilakukan di dalam ruangan dan pemanggilan yang dilakukan di luar ruangan."

    Si pencari muka mengangkat tangannya -lagi.

    "Maaf Bu, kenapa harus dibedakan antara SOP pemanggilan yang dilakukan di dalam dan di luar ruangan?"

    "Demi keamanan dan keselamatan si pemanggil dan orang-orang yang mungkin sedang berada di sekitarnya, tentu saja. Misalnya, kita harus memastikan wujud makhluk yang kita panggil tidak melebihi kapasitas gedung yang kita gunakan." Tegas Bu Linda.

    "Kita akan membahas tentang SOP pemanggilan yang dilakukan di dalam ruangan terlebih dahulu. Pertama, si pemanggil harus sudah memiliki lisensi yang menyatakan bahwa pemanggil telah lolos uji kualifikasi pemanggilan makhluk ghaib secara manual -uji kualifikasi akan diberikan kepada kalian diakhir pendidikan sebelum kalian resmi dilantik sebagai anggota DRM."

    Kemudian ia mengambil dompetnya dan menunjukan kepada kami kartu lisensi yang bentuknya menyerupai SIM dan KTP.

    Ia menambahkan, "prosedur kedua yang harus kalian lakukan adalah melaporkan informasi kepada atasan kalian tentang nama, kekuatan, dan dimensi fisik (berat dan tinggi badan -yang tercantum dalam Almanak), makhluk yang akan kalian panggil dan selanjutnya menunggu permohonan pemanggilan kalian disetujui."

    "Setelah laporan kalian diterima," ia berkata, "kalian tinggal menunggu permohonan kalian disetujui oleh atasan."

    Si pencari muka bertanya lagi, "maaf Bu, tetapi apakah tidak terlalu memakan waktu jika harus menunggu ijin dari atasan? Dalam kondisi darurat, dimana kita harus memanggil makhluk secara manual sesegera mungkin, apakah justru prosedur tersebut dapat membahayakan si pemanggil? Misalnya; ketika sedang menunggu turunnya ijin pemanggilan, musuh bisa saja menyerang si pemanggil saat itu juga."

    "Benar," Bu Linda berkata sambil membetulkan letak kacamatanya yang agak turun, "maka dari itu, coba kalian lihat diagram alir yang ada pada slide!"

    "Coba kalian lihat kotak aktivitas pada diagram alir yang menunjukan aktivitas permohonan perijinan, terdapat dua cabang yang mengarahkan pada aktivitas selanjutnya. Cabang tersebut masing-masing menanyakan situasi pemanggilan, dilakukan pada saat darurat, atau tidak. Jika darurat, maka pemanggil diperbolehkan langsung melakukan ritual pemanggilan tanpa harus memohon perijinan kepada atasan," Bu Linda menjelaskan.

    "Setelah itu, si pemanggil harus menyiapkan portal sebagai pintu masuk makhluk tersebut. Banyak jenis-jenis portal yang dapat digunakan, seperti segel yin yang, pentacle, dan masih banyak lainnya. Namun yang sering dipakai adalah pentacle. Karena pentacle lebih mudah dibuat." Kata Bu Linda sambil menunjuk beberapa gambar portal yang biasanya digunakan pada slide yang ada di dinding.

    "Sebuah portal dapat digambar pada media yang tersedia; bisa berupa tanah, papan kayu, lantai beton, dan sebagainya. Untuk menggambarnya pun tidak diharuskan untuk menggunakan alat tulis khusus. Pemanggil dapat menggambar portal menggunakan darah, kapur, arang, batu bata, atau alat gambar lainnya. Ukuran gambar portal pun tidak ditentukan, namun lebih besar lebih baik. Dan ingat, satu portal hanya bisa digunakan untuk memanggil satu makhluk dalam waktu yang sama. Jadi jika kalian ingin memanggil dua makhluk dalam waktu bersamaan, kalian harus memiliki dua portal," jelasnya.

    "Beberapa dari kalian mungkin membayangkan bahwa menggambar pentacle adalah hal yang sulit. Sebagaimana yang pernah kalian lihat di filem-filem horor." Ia berhenti lagi untuk mengambil nafas dan kemudian melanjutkan penjelasannya kembali, "kenyataannya, pentacle hanyalah gambar sebuah lingkaran yang ditengahnya terdapat bintang dengan lima ujung saja. Tak ada huruf-huruf atau simbol-simbol aneh pada pentacle tersebut."

    "Kenapa begitu?" ia memandang murid-muridnya sebelum melanjutkan penjelasannya, "karena pada dasarnya, pentacle hanya berfungsi sebagai pintu gerbang saja. Sedangkan informasi tentang makhluk yang akan dipanggil dan koordinat titik lokasi si pemanggil, sudah tersedia dalam mantra yang dirapal oleh si pemanggil. Jadi di dalam pentacle tidak perlu dituliskan informasi lainnya."

    "Dan setelah pentacle selesai digambar," katanya, "proses selanjutnya adalah perapalan mantera."

    "Hal terpenting dalam pemanggilan adalah perapalan mantera. Ada yang tahu alasannya?" Bu Linda memberi kesempatan kepada kami untuk menjawab.

    Namun tak ada seorangpun dari kami yang menjawab. Si pencari muka pun terdiam.

    "Siapa nama anda?" Bu Linda menunjuk Baim.

    "Siap Bu. Nama saya Ibrahim." Jawab Baim setelah bangkit dari duduknya.

    "Coba jawab pertanyaan saya tadi!"

    "Siap Bu. Perapalan mantera menjadi hal yang penting dalam proses pemanggilan karena jika dalam pelaksanaannya si pemanggil melakukan kesalahan dalam pengucapan sedikit saja, maka informasi yang terkandung dalam mantera bisa berubah. Seperti informasi tentang koordinat lokasi pemanggilan maupun informasi tentang makhluk yang dipanggil."

    "Tepat sekali." Bu Linda memberi tepuk tangan yang kemudian disusul oleh tepukan tangan oleh murid lainnya.

    "Seperti yang saudara Ibrahim katakan, kesalahan dalam perapalan mantera -walaupun hanya salah satu huruf saja dalam pengucapannya- dapat mengakibatkan kesalahan dalam pemanggilan. Misalnya, salah merapal mantera sehingga koordinat titik lokasi pemanggilan menjadi berubah. Makhluk yang kalian panggil bisa saja tidak muncul karena salah alamat. Dan yang gawat, kesalahan mantera bisa memanggil makhluk lain yang mungkin memiliki kekuatan yang jauh diatas kalian karena kalian salah menyebutkan nama makhluk tersebut," jelasnya.

    "Ya," Bu Linda menunjuk si pencari muka yang sedang mengangkat tangannya, "silahkan!"

    "Dalam pemanggilan," si pencari muka berkata, "apakah tidak diperlukan adanya sesaji, dupa, kemenyan, dan benda-benda lain seperti yang ada di filem-filem horor Bu?"

    "Pertanyaan bagus." Bu Linda mengacungkan jempolnya kepada si pencari muka. "Sesaji hanya diperlukan untuk memanggil demon atau jin sesat dan iblis. Menurut surat Al Jiin 72:14 mengatakan bahwa, '...dan sesungguhnya di antara kami ada jin-jin yang taat dan ada jin-jin yang menyimpang.' jin yang taat biasa kita sebut dengan jin baik, sedangkan jin yang menyimpang itu biasa kita sebut dengan setan, syaitan, satan, atau demon."

    "Dalam Almanak yang sebelumnya kalian lihat," ia menjelaskan, "di situ terdapat informasi mengenai jin-jin baik yang pernah dimintai bantuan oleh manusia. Selain Almanak putih, ada satu Almanak lagi yang memiliki sampul berwarna hitam yang berisikan informasi mengenai demon. Tetapi saya ingatkan sekali lagi, kalian di sini tidak akan mempelajari cara memanggil demon selain A.D."

    "Selain jin dan setan, apakah manusia dapat memanggil iblis atau malaikat?" Si pencari muka kembali bertanya.

    Bu Linda menjawab pertanyaannya, "manusia bisa memanggil dan meminta bantuan kepada iblis, namun konsekuensinya adalah si pemanggil iblis mendapat murka dan kutukan Tuhan atas dirinya karena telah bersekutu dengan iblis yang terkutuk."

    "Menurut ajaran Islam," ia berkata lagi, "dijelaskan bahwa Allah menciptakan tiga jenis makhluk berakal budi yaitu malaikat yang diciptakan dari cahaya (nuur), iblis dari api (naar), dan manusia dari tanah (turaab). Iblis adalah julukan nenek moyang bangsa jin yang memiliki nama asli Azazil, ia makhluk pertama yang membangkang perintah Allah untuk bersujud didepan Adam. Allah berfirman: 'Maka yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Ku-katakan'. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka kesemuanya." (Shaad 38:71-85)

    "Sedangkan menurut Kristen, iblis adalah malaikat yang memberontak kepada Allah, sehingga dibuang dari sorga dan kemudian menghasut manusia untuk berdosa. Dalam bahasa Yunani, nama iblis ini disebut sebagai 'Lucifer'. Di bagian Perjanjian Baru, iblis disebutkan berusaha membawa manusia jauh dari Allah, malahan mencobai Yesus Kristus meskipun gagal dan diusir pergi oleh Yesus. Karenanya iblis disebut sebagai musuh atau lawan bagi orang-orang Kristen."

    "Sedangkan malaikat, hanya manusia terpilih lah yang mendapatkan pertolongan atas ijin dari-Nya. Manusia terpilih itu adalah Nabi."

    "Ada pertanyaan lain?" Bu Linda memandangi satu per satu muridnya. Sepertinya tidak ada yang ingin bertanya lagi.

    "Baiklah kalau tidak ada pertanyaan," katanya, "kita menunggu Pak Zulfikar datang untuk mengawasi pemanggilan yang akan kita coba praktekkan sebentar lagi."

    ##DR[dot]M##

    Pak Golum berdiri dan mengawasi dari belakang saat Bu Linda sedang menggambar pentacle pada permukaan lantai menggunakan spidol hitam.

    Tatapan dingin Pak Golum sesekali diarahkan kepada beberapa murid yang mengeluarkan suara berbisik yang cukup berisik. Burung kecil kesayangannya bertengger dengan tenang, seolah kakinya yang mungil sudah terpatri pada pundak pemiliknya.

    Aku curiga bahwa burung kecil itu bukan burung sungguhan. Maksudku, bisa jadi burung itu adalah A.D atau bahkan jin yang berada di bawah kekuasaannya. Hal itu karena si burung tidak pernah mengeluarkan kicauannya sebagaimana burung-burung pada umumnya. Selain itu, tak setitik pun noda kotoran burung yang kulihat pada bagian belakang atau depan baju Pak Golum.

    "Baiklah," Bu Linda berkata, "pentacle sudah dibuat. Sekarang kita lanjut pada proses berikutnya."

    Kemudian Bu Linda membalikan badannya dan menghadap Pak Golum lalu melakukan penghormatan.

    "Lapor Pak! Memohon ijin untuk melakukan panggilan jin secara manual di dalam ruangan ini dengan tujuan memberikan contoh pemanggilan kepada murid-murid. Nama jin yang akan saya panggil adalah Bakhul, kelas E, fisik setinggi 157 cm, berat 46 kg," Bu Linda melapor.

    "Pemanggilan diijinkan!" Jawab Pak Golum singkat.

    Setelah melakukan penghormatan kembali, Bu Linda membalikan badannya lagi dan berdiri di depan pentacle yang ia buat.

    "Selanjutnya saya akan merapalkan mantra panggilan," ia berkata dengan suara yang sedikit kencang supaya semuanya dapat mendengar.

    Ia merapalkan mantra dengan jelas dan tegas sambil menutup matanya. Dalam prosedur pemanggilan, tidak disebutkan bahwa si pemanggil harus menutup matanya. Jadi, aku menyimpulkan bahwa Bu Linda memejamkan matanya untuk membuat dirinya lebih fokus saja dalam merapal mantra.

    Setelah mantra selesai diucapkan, tak lama kemudian sebuah titik api muncul mengambang di atas pentacle yang ia gambar.

    Titik api itu kemudian membesar dengan cepat dan menciptakan lidah-lidah api kemerahan yang menari-nari liar di udara. Putaran api semakin membesar seperti sebuah tornado kecil berwarna merah.

    Setelah itu tornado api menyusut dengan cepat dan memunculkan sesosok makhluk dengan wujud seorang kakek-kakek botak berjenggot panjang tanpa busana yang kedua tangannya bertumpu pada sebuah tongkat kayu yang ujungnya melengkung.

    Semua murid -termasuk aku- melongo ketika makhluk itu muncul dihadapan kami.

    "Bakhul putra dari Bahadhur," teriak Bu Linda.

    "Ya... Itu aku," jawab jin itu singkat.

    "Penampilanmu terlalu vulgar untuk bangsa kami. Aku harap kau bersedia merubahnya sekarang!"

    "Kenapa aku harus menuruti perintahmu? Aku lebih nyaman dengan penampilan seperti ini," kata jin tua itu dengan ketus.

    Tiba-tiba burung Pak Golum terbang dari pundaknya dan berubah menjadi seekor burung berbadan manusia yang tingginya sekitar hampir tiga meter. Sepasang sayap lebarnya direntangkan seperti orang yang meregangkan tubuhnya ketika bangun tidur. Untungnya praktek pemanggilan ini dilakukan di aula yang cukup luas. Jika tidak, pasti atapnya sudah jebol karena kemunculan A.D milik Pak Golum. Dan Pak Golum pasti sudah memperhitungkan kejadian ini sebelumnya dilihat dari begitu cepat reaksinya saat melepas A.D miliknya.

    "Segera turuti perintah yang diberikan oleh pemanggilmu! Atau mungkin kau lebih memilih cakarku yang indah ini mencabik-cabik rukhmu yang menyedihkan itu?" Kata burung Pak Golum yang kini telah menjelma menjadi raksasa berkepala elang itu sambil memamerkan cakar-cakarnya yang besar dan mengerikan.

    Decak kagum keluar dari mulut para murid saat melihat kehebatan wujud asli peliharaan Pak Golu- maksudku Pak Zulfikar.

    "Cih... Baiklah... Dasar budak manusia... " jin itu menggerutu pelan dan melaksanakan perintah pemanggilnya dengan malas.

    Setelah jin itu menjentikan jarinya, penampilannya langsung berubah total dalam sekejap.

    Kini ia terbalut dengan busana yang lebih moderen. Ia memakai jas hitam yang elegan dan kacamata yang berwarna sama dengan setelannya.

    "Bagaimana? Sudah cukup?" jin itu bertanya pada Bu Linda.

    "Pakai juga celananya woy!!" teriak Bu Linda yang wajahnya kini memerah. Entah karena tersipu malu atau karena kesal kepada jin yang mencoba mengikis kesabarannya.

    ##DR[dot]M##
     
  11. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Setelah semua kehebohan yang terjadi saat Bu Linda mempraktekan pemanggilan jin secara manual, akhirnya kami berkesempatan untuk istirahat dan makan siang untuk selanjutnya melakukan praktek olah kekuatan magis bersama Pak Holmes.

    Saat kami sedang bersantap siang di kantin, Baim yang duduk disebelahku masih saja terlihat murung.

    "Kamu kenapa Im," kataku, "kalau sedang ada masalah, katakan saja padaku, siapa tahu aku bisa membantu menyelesaikannya."

    Sejak pertama kali kami berada di markas DRM, Baim selalu terlihat murung. Padahal saat masih di Akpol, dia adalah orang yang selalu tertawa dengan keras dibandingkan Taruna yang lainnya. Perubahannya itu lama-lama memancing rasa penasaranku.

    "Aku ingin pergi sebentar dari sini Bay," ia berbicara lemah sambil mengaduk-aduk makan siangnya.

    "Dari kemarin kamu selalu bilang ingin pergi," aku menoleh kepadanya, "ada apa sebenarnya Im?"

    "Ibuku sakit Bay..." Ia terisak, "aku ingin sekali menjenguknya di rumah sakit."

    Hatiku mencelos melihat air mata mulai meleleh dari sudut-sudut mata Baim. Sekarang aku paham kenapa ia menjadi murung selama beberapa hari ini.

    "Bukankah kamu bisa meminta ijin kepada Kapten untuk menjenguk Ibumu?"

    "Mereka..." suaranya bergetar menahan tangis yang sebenarnya ingin ia luapkan, "mereka sama sekali tak mengijinkan aku untuk membesuk Ibuku walaupun hanya sedetik."

    "Benarkah begitu?"

    "Iya, maka dari itu aku ingin kabur sebentar saja dari sini."

    "Apakah kamu sudah mengatakannya baik-baik kepada Kapten Hendro?"

    "Sudah Bay, namun tetap saja mereka melarang murid-muridnya untuk keluar dari akademi ini selama masa pelatihan."

    Aku menghela nafasku.

    "Bukankah tadi malam kamu bilang pertahanan markas DRM ini begitu kokoh?"

    "Benar," ia berkata, "tapi aku sudah memikirkan sebuah cara. Hanya saja aku memerlukan bantuan orang lain untuk melakukannya Bay."

    Aku berpikir sejenak dan menimbang-nimbang masalah ini. Walaupun Baim tidak secara terang-terangan meminta bantuanku, namun aku dapat menangkap maksud dari perkataannya itu.

    "Bagaimana caranya?" Aku berkata.

    "Apa kamu mau membantuku Bay?"

    "Tentu saja, siapa lagi yang akan membantumu? Lagipula kau kan sahabat baikku." Aku tersenyum dan menepuk perlahan pundaknya.

    "Tunggu," kataku, "sepertinya pacarmu itu berusaha menguping pembicaraan kita lagi Im." Mataku kini menatap tajam manusia besi yang sedang memperhatikan kami dari meja seberang.

    ##DR[dot]M##

    "Kalian tahu Limbad bukan?" Seru Pak Holmes di hadapan kami yang kini sudah berkumpul dan membentuk lingkaran di pinggiran lapangan.

    "Dia adalah contoh pemakai ajian brajamusti. Ajian tersebut membuat si pemakainya kebal dari segala bentuk serangan fisik. Sehingga walaupun tubuhnya dihempas batu yang besar, dibacok dengan parang atau pedang yang amat tajam, atau jika ditembak pun ia tidak akan terluka atau merasakan sakit sama sekali." Jelasnya.

    "Meskipun demikian," lanjutnya, "pengguna ajian tersebut tetaplah manusia. Dia akan tetap merasakan sakit jika kalian melukai perasaannya. Dan sakitnya 'tuh di sini." Kata Pak Holmes yang kini memegang dada sebelah kirinya sambil memejamkan mata dan menengadahkan wajahnya ke atas. Entah apa maksudnya.

    Kemudian ia menjelaskan prinsip kerja ajian itu.

    Ajian brajamusti bekerja dengan cara melapisi tubuh dan segala sesuatu yang melekat pada tubuh penggunanya dengan lapisan-lapisan kekuatan magis sebagai perlindungan. Semakin hebat si pengguna maka semakin banyak lapisan pelindungnya. Namun pada umumnya pengguna ajian brajamusti yang paling hebat sekalipun hanya menggunakan hingga sepuluh lapisan saja. Karena seberapapun tebalnya lapisan itu, akan tetap bisa ditembus oleh serangan yang menggunakan senjata atau kekuatan magis. Ajian tersebut hanya berguna saat menghadapi musuh yang tidak memiliki kekuatan magis saja.

    Ajian tersebut memiliki nama yang berbeda-beda di setiap Negara. Di Indonesia sendiri penggunaan nama brajamusti mengacu pada kisah pewayangan.

    "Orang buta -ummm.. maksudku orang yang tidak memiliki kekuatan magis- jika melihat pelatihan kita sekarang ini, mereka akan menyangka bahwa kita sedang berlatih debus. Hal itu karena mereka tidak dapat melihat lapisan kekuatan magis yang menyelubungi si pengguna ajian." Kemudian ia mengambil sebilah parang yang panjang dan terlihat sangat tajam, "saya akan mencontohkannya kepada kalian."

    Kemudian Pak Holmes yang memiliki badan gempal itu mengayun-ayunkan parang ke udara dan memotong batang bambu yang tertancap di dekatnya hanya dengan sekali tebas saja.

    "Bagaimana? Tajam bukan?" Ia kemudian menebarkan senyumnya kepada kami semua.

    Selanjutnya ia memejamkan kedua matanya dan setelah itu tubuhnya diselimuti cahaya biru yang berpendar samar. Salah satu dari kami diperintahkan untuk membacok bagian tubuhnya dengan parang itu.

    "Jangan ragu-ragu," katanya kepada teman kami yang akan membacoknya, "tebas saja tubuhku dibagian yang kau suka dengan sekuat tenagamu."

    Yah.. Seperti yang mungkin pernah kau lihat di pertunjukan debus, Pak Holmes berhasil selamat dari tebasan parang tanpa sedikitpun permukaan kulit yang menyembunyikan daging penuh lemak miliknya tergores. Kemudian ia memutar tubuhnya dengan tangan yang terbuka lebar sambil tersenyum lebar kepada kami semua. Mungkin ia berharap mendapat sorak sorai tepuk tangan dan taburan bunga-bunga yang harum sebagai balasan atas keberhasilan pertunjukannya.

    Setelah puas memamerkan keberhasilan pertunjukannya tadi, Pak Holmes kembali berbicara dengan wajah yang masih berseri-seri. "Pada saat nanti kalian sudah resmi menjadi anggota DRM, selain dilengkapi dengan senjata magis, kalian juga akan mendapatkan sebuah sabuk yang berfungsi untuk memudahkan kalian mengaktifkan ajian brajamusti saat bertugas."

    Seseorang mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara. Kuharap kau sudah bisa menebak siapa orang itu.

    "Iya," Pak Holmes menunjuk si pencari muka, "ada pertanyaan kah?"

    "Berapa lama durasi penggunaan ajian brajamusti pak? Apakah bisa dipakai non-stop setiap hari?" Tanya si pencari muka.

    "Pertanyaan bagus," kata Pak Holmes. Kuakui, si pencari muka ini memang sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang cemerlang. Tapi kebanyakan ia hanya melemparkan pertanyaan bodoh. Tentu saja tidak kutulis di sini, waktuku terlalu berharga untuk sekedar menulis kata-kata tak berguna yang keluar dari mulut si pencari muka. Yah, mungkin nanti akan kutulis contoh pertanyaan bodoh yang kumaksud tadi. Aku hanya ingin kau tak menganggapku sebagai penyebar fitnah saja.

    "Durasi ajian brajamusti," Pak Holmes menjelaskan, "tergantung pada seberapa besar kekuatan magis si pengguna. Semakin besar sumber kekuatannya, semakin lama ajian brajamusti bisa ia aktifkan. Jika seseorang dengan kekuatan pas-pasan memaksa untuk mengaktifkan ajian brajamusti, bisa-bisa ia pingsan karena kehabisan tenaganya."

    "Ada pertanyaan lagi?" Pipinya yang tembam terlihat berkedut-kedut saat memperhatikan satu per satu wajah muridnya.

    "Saya Pak."

    "Oh, kau lagi." Pak Holmes menatap si pencari muka. "Silahkan bertanya!"

    "Tadi bapak bilang, kita akan dilengkapi dengan sebuah sabuk yang memudahkan untuk mengaktifkan ajian brajamusti kan Pak? Lalu kenapa kita harus mempelajari cara tradisional seperti ini?" Si pencari muka bertanya dengan wajah serius.

    Nah, kan. Sekarang kalian paham kenapa julukan si pencari muka melekat pada dirinya? Tentu saja karena sebenarnya pertanyaan tadi sungguh tidak perlu ditanyakan lagi. Aku yakin, kalian yang membaca cerita ini pun sudah tahu jawaban dari pertanyaan si pencari muka tadi bukan? Apa? Kalian tidak tahu jawabannya? Coba kalian baca ulang chapter sebelumnya!

    "Kalian seharusnya sudah memahaminya." Pak Holmes menjawabnya dengan setengah hati, "kita ini dituntut untuk tidak bergantung kepada teknologi. Kalau kalian tidak mengetahui pengaktifan secara manual, lalu jika alatnya rusak kalian mau bagaimana? Saat sedang berperang misalnya. Apa kalian akan menunggu alat itu diperbaiki sementara musuhmu sudah berhasil menancapkan senjatanya di kepalamu yang bebal itu?"

    Selanjutnya kami mendapat penjelasan dan sejarah ajian brajamusti dari Pak Holmes. Dan kami mulai berlatih hingga sore hari.

    Setelah susah payah mencoba, akhirnya aku bisa mengaktifkan dua lapis ajian brajamusti. Lumayan untuk ukuran pemula, itu kata Pak Holmes. Sedangkan yang dapat mengaktifkan lapisan pelindung ajian brajamusti adalah Baim dengan 7 lapisan. Sedangkan si pencari muka -yah, kuakui dia memang lebih baik daripada aku- dapat mengaktifkan 5 lapisan pelindung. Sisanya hanya berhasil mengaktifkan 2 lapis sepertiku, ada beberapa murid juga yang bisa mengaktifkan 3 atau 4 lapis, tapi hanya beberapa saja.

    ##DR[dot]M##

    "Jadi," aku memulai pembicaraan, "apa rencanamu?"

    Baim yang masih terlihat murung seperti seorang remaja yang baru putus cinta akhirnya menoleh kepadaku.

    "Aku akan memanggil jin kelas A untuk merobek kubah magis yang melindungi markas ini Bay."

    Kata-katanya tadi langsung membuatku terkejut. "Kelas A?!" Aku agak sedikit berjingkat dari tempat duduk, "tidak... itu terlalu beresiko Im. Aku tidak menyukai rencanamu itu."

    Suasana beranda asrama sedang sepi. Hampir semua penghuninya sedang berada di kantin menikmati makan malam atau kudapan mereka. Hanya beberapa orang yang masih berada di kamar. Biasanya mereka yang masih berada di dalam kamar sedang bercakap-cakap dengan keluarga atau kekasihnya melalui telepon.

    "Apapun resikonya, aku harus melakukannya Bay."

    "Kamu tahu kan resiko terburuk melakukan panggilan jin? Apalagi jin kelas A. Bisa jadi nyawamu sudah meninggalkan raga sebelum kamu sempat melihat Ibumu."

    Baim kembali menundukan kepalanya. Ia kembali tenggelam dalam suasana murung yang menyedihkan.

    "Bukannya aku meragukan pengetahuanmu tentang pemanggilan jin," aku berbicara, "tapi apa tidak ada jalan lainnya? Lagipula -maaf- apakah kondisi Ibumu seburuk itu sehingga kamu ingin sekali menjenguknya? Aku yakin, Ibumu pun takkan suka jika ia mengetahui bahwa ternyata kamu kabur diam-diam dari markas."

    "Aku tahu Bay," ia mulai mengeluarkan suara-suara isakan yang tertahan, "Ibuku pun berkata bahwa dia baik-baik saja, tetapi aku tahu kalau dia berbohong kepadaku agar aku tak mengkhawatirkannya."

    Sial. Inilah yang paling tidak bisa kutahan. Jika ada seseorang yang mulai menangis di depanku -entah dia laki-laki, perempuan atau banci sekalipun- aku takkan pernah bisa mengabaikannya begitu saja.

    "Oke, tapi apakah kamu yakin bisa memanggil jin kelas A tanpa kesalahan sedikitpun?"

    "Aku yakin Bay."

    "Lalu, kapan rencanamu itu akan dilaksanakan?"

    "Secepatnya Bay!" Mata Baim yang tadi sempat redup, kini kembali memancarkan api semangat.

    "Lalu apa yang dapat kubantu?"

    "Aku ingin kamu menemaniku sampai ke rumah sakit Bay. Kamu tahu kan, setelah melakukan pemanggilan, tenagaku yang tak seberapa ini pasti akan banyak berkurang. Aku memerlukanmu sebagai penjagaku selama perjalanan."

    Aku terdiam agak lama. Mungkin sekitar lima menit aku menatap langit dan membisu. Sebenarnya aku hanya ingin terlihat seperti sedang berpikir, padahal aku melakukannya agar terlihat keren saja, seperti yang biasanya dilakukan pemeran utama dalam sebuah filem saat akan mengambil sebuah keputusan.

    "Baiklah," akhirnya aku menyudahi akting sok keren yang tadi kulakukan, "aku tak bisa mengabaikan begitu saja permintaan dari sahabatku. Karena bagiku, sahabat adalah segalanya."

    Kampret! Asli keren banget kalimatku barusan. Aku yakin jika seorang cewek melihat adegan tadi, dia bakal berteriak histeris dan langsung meminta untuk foto berdua denganku.

    "Sebaiknya kamu harus mulai mempelajari baik-baik cara pemanggilan jin mulai sekarang!" Perintahku. Lalu aku bangkit dari tempat dudukku dan pergi meninggalkannya. Sebenarnya aku sendiri pun tak tahu akan pergi kemana setelah ini, namun aku harus meninggalkannya supaya aku tetap terlihat keren. Biasanya kan aktor utama selalu melakukan hal seperti itu. Aku hanya berusaha melakukan hal yang sama.

    ##DR[dot]M##
     
  12. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Rintik air hujan turun dan membasahi permukaan bumi secara bergantian dengan ritme yang terjaga bagaikan jutaan prajurit kecil yang diperintahkan untuk menyerbu dari langit yang kini bersembunyi dibalik gumpalan-gumpalan awan hitam yang berhasil menutupi pancaran sinar matahari. Membuat kegelapan datang lebih awal dari yang seharusnya.

    Suara deru angin dan gemuruh guntur yang bersahut-sahutan di angkasa terdengar bagai seruan perang yang diteriakan oleh sang jendral untuk membakar api semangat para prajuritnya yang siap mengorbankan nyawa demi meraih keagungan dari sebuah kemenangan.

    Hawa dingin yang tercipta akibat serbuan jutaan titik air dari langit itu mulai menjalar ke sudut-sudut ruangan dan kini menyentuh ujung jemariku yang sedang membuka halaman demi halaman sebuah buku tebal yang warnanya telah menguning yang bertuliskan Almanak pada sampul putihnya yang terbuat dari kulit sapi.

    Cuaca buruk membuat kegiatan yang seharusnya kami lakukan di luar ruangan menjadi tidak bisa dilaksanakan. Sebagai gantinya, kami diperintahkan untuk belajar di perpustakaan.

    Kelompok-kelompok murid segera terbentuk tanpa komando. Beberapa kelompok terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang sepertinya serius, dan kelompok yang lain terlihat sedang bersenda gurau. Aku dan Baim mengambil tempat duduk yang berjarak cukup jauh dari kelompok-kelompok yang ada demi mendapatkan ketenangan dan membangun konsentrasi yang saat ini sedang kami butuhkan untuk membahas rencana yang telah kami susun sebelumnya.

    Sesekali, aku mengalihkan pandanganku dari buku yang sedang aku pegang dan memperhatikan sekelilingku untuk mengawasi jika ternyata ada seseorang sedang bersembunyi di balik rak-rak buku yang menjulang tinggi dan mengawasi kami. Dan untungnya, satu-satunya orang yang mempunyai kegemaran menguping dan memata-matai kegiatanku dan Baim, yaitu si manusia besi, terlihat sedang bersama kelompok yang sedang berdiskusi.

    Melihat kondisi sekitar yang aman, aku memulai pembicaraanku dengan Baim perihal rencana kami untuk kabur sebentar dari tempat ini.

    "Jadi," aku berkata dengan suara yang kubuat sepelan mungkin tapi masih bisa didengar oleh Baim yang duduk bersebelahan denganku. "Apa niatmu sudah bulat untuk melakukannya nanti malam?"

    Kepalanya yang sedari tadi merunduk saat membaca sebuah buku yang terlihat usang dengan judul 'Bahan-bahan makanan yang dapat meningkatkan vitalitas pria' kini ditegakkan dan matanya menerawang ke arah depan.

    "Seharusnya aku yang bertanya padamu Bay," ia berkata tanpa menoleh padaku, "apakah niatmu membantuku bertemu dengan Ibuku sudah bulat? Tentu saja kamu sudah mengetahui segala konsekuensi yang akan kita dapatkan jika kita melakukannya. Apakah kamu tak mau berubah pikiran sebelum semuanya terlambat?"

    Aku terdiam dan memikirkan konsekuensi yang akan kami dapatkan. Mulai dari hukuman yang paling ringan, hingga dikeluarkan dari akademi ini. Dan jika aku dikeluarkan dari akademi ini, berarti semua perjuanganku selama ini akan menjadi seperti sebuah mimpi indah yang berakhir buruk.

    Janji adalah janji. Apapun konsekuensinya, aku harus menepati janji yang telah kuucap.

    "Aku sudah yakin Im. Janji harus aku tepati." Aku berkata sambil menggosok kedua telapak tanganku yang mulai kedinginan.

    Baim menghela nafasnya dan menghembuskan perlahan, "kamu memang sahabat terbaikku Bay."

    "Aku telah membaca informasi tentang jin kelas A yang akan kamu panggil," lalu aku menunjuk sebuah nama yang tertulis pada halaman buku yang sedang kubaca. "Aku tak bermaksud untuk meragukan kepintaranmu," aku berhenti sejenak, "tapi apakah kamu yakin pemanggilan akan berjalan dengan baik Im?"

    "Tentu saja Bay," ia kemudian tersenyum dan menatapku dengan penuh percaya diri, "jangan khawatir!"

    ##DR[dot]M##

    Pukul delapan malam, tiba-tiba aku dipanggil untuk menghadap Kapten Hendro di ruang kerjanya. Tujuannya apa, aku sendiri kurang tahu. Yang aku takutkan, dia sudah mengetahui rencanaku dan Baim untuk kabur. Semoga saja tidak.

    Hujan lebat yang mengguyur sejak tadi siang sudah sedikit reda walaupun masih menyisakan rintik-rintik kecil yang membuat udara malam menjadi semakin dingin.

    Dibawah lindungan payung, aku berjalan melintasi jalan setapak yang menghubungkan asrama dan gedung utama DRM yang beberapa bagiannya tergenang air karena selokannya tersumbat.

    Suara katak dan jangkrik mengiringi suara kecipakan langkahku saat menjejakkan kaki di genangan air. Hewan-hewan itu seperti sedang menggelar konser musik untuk menyambut turunnya rahmat Tuhan yang berupa hujan.

    Setelah kejadian penyerangan itu, aku belum pernah bertemu lagi dengan Kapten. Dan malam ini ia ingin bertemu denganku, mungkin ia memiliki kabar lebih lanjut tentang seseorang yang bernama Dasamuka.

    Kubah magis yang rencananya akan ku jebol bersama Baim memang memberi jaminan keamanan kepada kami dari ancaman pihak luar. Buktinya, tak ada lagi serangan yang dilancarkan oleh Dasamuka terhadapku. Selain proteksi dari kubah magis, lokasi markas ini juga benar-benar dijaga kerahasiaannya.

    Setelah berada di ambang pintu masuk gedung utama, aku meletakkan payungku dan mendorong pintu kacanya. Suasana kantor benar-benar sepi. Sepertinya orang-orang yang bekerja di sini sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ini semakin menguatkan dugaanku bahwa Kapten telah memiliki informasi tentang Dasamuka. Jika tidak, buat apa dia masih bercokol ditempat ini hingga malam hari.

    Suara langkahku menggema saat satu persatu kakiku yang memakai sepatu pantofel menjejak ke tangga yang menuju lantai dua dimana ruang kerja Kapten berada.

    Sesampainya di depan ruang kapten, segera kuketuk dua kali daun pintunya.

    "Masuk," terdengar suara lembut yang berbeda dari suara sang kapten.

    Begitu daun pintu sepenuhnya berayun hingga hampir menempel ke dinding, aku melihat sesosok pria berkacamata sedang duduk dan menyilangkan kakinya di kursi tamu meja kerja kapten. Setelah mataku menjelajahi seluruh ruangan, tak kudapati pria setengah baya berambut cepak dan memiliki kumis lebat yang telah memanggilku kesini.

    "Bayu ya?" Tanya pria itu dengan senyum ramah.

    "Siap Pak! Saya Bayu Pak!"

    "Silahkan duduk," pria dengan model rambut belah tengah yang disisir rapi itu kembali berbicara, "kapten Hendro sudah keluar. Ia mendapat panggilan darurat dari markas pusat."

    Sedikit ragu aku menuruti perintah pria itu dan duduk disebelahnya.

    "Tapi tujuan beliau memanggilmu adalah agar kita berdua bisa bertemu, maka dari itu aku tetap disini dan menunggumu datang sementara kapten Hendro pergi." Ucap pria itu dengan suara lembut yang santai sambil mengulurkan tangannya padaku untuk berjabat tangan.

    "Julius Tan," ia memperkenalkan diri, "panggil saja Julius."

    Aku menjabat tangannya sambil menatap mata sipit Pak Julius yang tersembunyi dibalik kacamatanya. Dari tampilannya, aku menduga orang satu ini tergolong pintar. Setidaknya karena ia memakai kaca mata sehingga bagiku ia terlihat pintar.

    "Pak Hendro banyak bercerita tentang kamu loh," katanya, "aku ini baru sampai di Indonesia dua hari yang lalu. Sebelumnya aku sedang melakukan studi tentang teknologi A.D di Jepang."

    Kemudian ia membujukku untuk menceritakan pengalamanku saat penyerangan di hutan itu. Walaupun sepertinya kapten Hendro sudah menceritakan tentang kejadian itu padanya, tapi ia tetap mendengarkan ceritaku dengan antusias. Ekspresi wajahnya berganti-ganti dengan cepat saat mendengarkan ceritaku. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, apa tujuannya ingin bertemu denganku.

    Setelah sekitar lima belas menit kuhabiskan untuk menceritakan kisahku itu, lalu ia bertepuk tangan dan berdecak kagum.

    "Luar biasa," ia berkata dengan mata yang menatapku kagum, seperti seseorang yang kagum setelah melihat pertunjukan sulap. "Kemampuan yang luar biasa. Kamu harus mensyukuri anugerah yang diberikan kepadamu itu Bay!"

    Senyum tipis sengaja kutampilkan pada wajahku setelah mendapat sanjungan darinya. "Tetapi sayangnya saya belum dapat menggunakan kekuatan meramal saya itu sesuka hati Pak," kataku.

    Ia membenarkan posisi kaca matanya yang agak melorot. Kemudian berkata, "jika kamu sering berlatih, kamu pasti bisa menggunakannya sesuka hati."

    "Tetapi sebenarnya aku kurang setuju jika kemampuanmu itu disebut dengan meramal," tambahnya.

    "Kenapa bisa begitu Pak?"

    "Begini," ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, "menurutmu, meramal itu apa sih?"

    Pertanyaan itu tak langsung kujawab. Aku berusaha mengaktifkan sel-sel kelabu yang berada didalam kepalaku untuk bekerja keras dan membuatkanku sebuah jawaban yang bagus untuk menjawab pertanyaan dari Pak Julius.

    Kemudian aku membuka mulutku dan mengucapkan jawaban seadanya yang bisa dihasilkan oleh otakku. "Meramal, menurut saya adalah kemampuan untuk dapat melihat kejadian di masa depan Pak."

    "Benar," katanya, "garis besarnya benar. Lalu, kamu tadi bercerita bahwa kamu merasakan sakit saat jatuh ke jurang dan tertusuk kayu. Selain itu, kamu berkata bahwa segala yang kamu alami terasa begitu nyata bukan? Apakah kamu pernah mendengar seorang peramal merasakan kesakitan atau hal lainnya saat sedang meramal? Lagipula, seorang peramal itu biasanya hanya mendapat sekilas-sekilas saja gambaran tentang masa depan, berbeda denganmu yang dapat mengetahui hingga detailnya. Menurutku, kemampuanmu itu bukan meramal."

    Aku terkejut dengan perkataan Pak Julius. "Lalu jika bukan meramal, disebut dengan apa kemampuan saya ini Pak?"

    "Menurutku, kemampuan khususmu adalah dapat kembali pada dirimu yang berada di masa lalu, bukan meramal atau sekedar melihat masa depan saja." Ia menjawab dengan teorinya yang singkat dan mengejutkan.

    "Pendapat anda memang masuk akal Pak. Katakanlah kemampuanku itu memang dapat kembali ke masa lalu, yang jadi pertanyaan saya adalah, kenapa saya dapat hidup lagi dan kembali ke masa lalu? Padahal saya merasakan seperti akan mati pada waktu itu."

    Ia tersenyum simpul, "mungkin kamu belum pernah mendengarnya, tapi orang-orang yang memiliki kemampuan khusus, biasanya kemampuan mereka itu teraktivasi karena kondisi yang ekstrem. Misalnya, karena nyawanya terancam -seperti yang kamu alami- atau karena kehilangan orang yang penting juga bisa memicu aktivasi kemampuannya." Ia berhenti sejenak, "dan aku percaya bahwa kamu belumlah mati pada saat itu, tetapi berada diambang kematian. Itu lebih masuk akal bagiku."

    Ia melanjutkan perkataannya ketika aku masih melongo, "kamu tahu Markus bukan? Dia pertama kali bisa melakukan teleport ketika dia sedang terdesak saat dikepung oleh musuh. Beberapa orang ada yang sudah berhasil mengaktivasi kemampuan khususnya dari kecil, namun banyak juga yang tidak mengetahui cara mengaktifkannya hingga dewasa, bahkan hingga meninggalpun ada juga yang tidak mengetahui bahwa ia memiliki kemampuan khusus."

    "Lalu," aku menyela, "apakah bapak memiliki kemampuan khusus juga? Jika iya, bagaimana cara bapak pertama kali mengaktifkannya?"

    "Iya aku punya," jawabnya, "pemicu seseorang dengan lainnya berbeda. Aku sendiri pertama kali mengaktifkan ketika terpisah dengan orang tuaku saat terjadi bencana gunung meletus ketika aku masih kecil, dan dengan kemampuan khususku itu akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan orangtuaku."

    "Selain kondisi ekstrim," aku bertanya lagi, "kondisi seperti apa lagi supaya kita dapat mengaktifkan kemampuan khusus kita Pak?"

    "Konsentrasi Bay. Cukup dengan berkonsentrasi sambil mengumpulkan kekuatan magis kita." Kata Pak Julius. "Pada awalnya memang sulit walaupun kita sudah berkonsentrasi penuh, tetapi ada kalanya seseorang dengan mudah dapat mengaktifkan kemampuan khususnya. Yah, semua itu tergantung orangnya juga sih."

    Setelah waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, kami keluar dari gedung itu.

    "Maaf Pak, pulangnya lewat mana?" Aku bertanya pada Pak Julius saat sudah berada di depan pintu keluar gedung utama.

    "Lewat portal, tentu saja."

    "Portal?"

    "Lho," ia memandangku heran, "apa kamu tidak tahu tentang portal?"

    "Tidak Pak, lokasi sebenarnya tempat ini saja kami tidak diberitahu."

    "Begitu," katanya sambil mengembangkan payung miliknya, "jadi mereka merahasiakannya kepada kalian. Apakah kamu ingin tahu? Mungkin aku bisa menceritakannya padamu sebagai imbalan karena sudah bersedia menemaniku ngobrol. Bagaimana?"

    Tentu saja penawarannya kuterima dengan senang hati. Aku berharap mengetahui cara untuk keluar dari tempat ini tanpa harus merobek kubah magis yang melindungi tempat ini.

    Ternyata terdapat portal yang berada di pos jaga yang letaknya tak jauh dari gedung utama. Portal itu terhubung ke Polsek yang berada dekat dengan markas DRM ini. Sedangkan lokasi markas ini sendiri, berada ditengah-tengah reruntuhan hotel di daerah Semarang yang menjadi luas karena sihir perluasan. Kubah magis yang melindungi tempat ini selain untuk menghalau serangan dari luar, juga berfungsi untuk menyamarkan keberadaan markas ini sehingga dari luar hanya terlihat sebagai sebuah hotel tua yang terbengkalai.

    Setelah mengucapkan terima kasih atas informasi yang diberikan oleh Pak Julius, akhirnya kami benar-benar berpisah.

    ##DR[dot]M##

    Begitu sampai di asrama, aku mendapati Baim yang menungguku dengan cemas di depan pintu. "Aku pikir kamu tidak jadi ikut Bay."

    "Maaf... Maaf... Tadi aku bertemu dengan seseorang di gedung utama." Aku menjawab sambil cengengesan untuk mengendurkan ketegangan.

    Kemudian aku menceritakan kepada Baim tentang informasi yang baru aku dapatkan dari Pak Julius.

    "Kamu bodoh ya Bay?" Reaksi Baim tidak seperti apa yang telah kuperkirakan, "kalau kita menggunakan portal yang terhubung ke Polsek, pasti kita akan ditahan dan dilaporkan atau langsung disuruh kembali ke sini lagi, dan pengawasan pasti akan semakin diperketat setelah itu."

    Lalu ia terdiam dan menatapku marah, kemudian melanjutkan omongannya. "Apa kamu pikir aku merencanakan semua ini tanpa persiapan? Dari awal aku sudah mengetahui tentang adanya portal. Dan yang mungkin belum kamu ketahui, di pos penjagaan itu, banyak petugas jaga yang kuat yang aku sendiri ragu bisa menghadapi mereka sekaligus. Harusnya kamu berpikir, mustahil jika markas seperti ini terdapat portal yang tak dijaga. Maka dari itu kemarin aku bilang bahwa kita ini dipenjara, karena tak ada celah sedikitpun pada pertahanan yang melindungi markas ini. Satu-satunya jalan ya kita harus membuat celah itu diam-diam."

    "Loh, tapi kan kita bisa bernegosiasi dengan para petugas jaga itu." Kemudian aku melanjutkan, "lagipula, aku yakin mereka akan tersentuh jika kita berbicara tujuan kita yang sebenarnya. Bagaimana, bukankah jauh lebih aman daripada harus berurusan dengan jin atau demon bukan?"

    "Pikiranmu terlalu polos Bay," ia mengerang, "kamu pikir ini sinetron? Bagi mereka, peraturan adalah peraturan. Jika kamu keberatan dengan apa yang akan aku lakukan, tak usah ikut denganku. Toh aku tak pernah memaksamu untuk ikut."

    Setelah itu kami berdua terdiam cukup lama. Suara rintik hujan yang jatuh ke atas genting mengisi kesunyian diantara kami.

    "Kamu memang tidak pernah memaksaku untuk ikut Im," aku bersuara, "tapi bagiku, menepati sebuah janji adalah harga mati. Aku takkan mengingkari janjiku, aku akan ikut denganmu Im."

    Ia pun tersenyum padaku, "kamu memang sahabat sejatiku Bay."

    Aku pun membalas senyumannya, "ayo, kita bersiap-siap."

    ##DR[dot]M##

    Pukul setengah dua belas malam aku dan Baim mengendap-endap keluar dari kamar dan menuju ke tempat kami akan melakukan panggilan di tepian kubah magis yang terletak jauh dari asrama.

    Tanpa payung ataupun mantel, kami berdua berjalan seperti maling melintasi lapangan dibawah rintikan hujan. Tak ada apapun yang kami bawa selain baju yang menempel di tubuh kami dan beberapa lembar uang di dompet.

    Rencananya, jika kami berhasil merobek kubah magis, kami akan langsung menuju rumah sakit tempat Ibu Baim dirawat yang berada di Jakarta. Setelah itu, kami akan kembali lagi ke markas dan bersiap-siap mendapatkan hukuman, apapun itu bentuknya, aku siap. Sebenarnya aku yakin hukuman yang diberikan mungkin tidak terlalu berat, karena tujuan kami adalah menjenguk Ibu Baim yang sedang sakit. Semoga saja pembelaan kami dapat diterima dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian hukuman.

    Setelah sampai pada tempat yang telah direncanakan, Baim mulai menggambar sebuah pentacle di atas tanah menggunakan ranting kayu. Tanpa membuang banyak waktu, ia mulai merapalkan mantra pemanggilan.

    Aku menunggunya selesai merapal mantra dengan jantung yang berdegup kencang. Dalam hati aku berdoa memohon pertolongan-Nya agar dimudahkan jalan kami.

    Setelah selesai merapal mantra, sebuah titik api kecil mulai muncul di atas pentacle yang Baim gambar. Api itu tidak padam meskipun terkena air hujan, tetapi justru menjadi pusaran api yang semakin lama semakin membesar yang kemudian menyusut dengan cepat dan memunculkan sesosok jin dengan tubuh raksasa setinggi sekitar lima meter dengan wujud manusia yang memiliki kulit berwarna biru. Persis seperti wujud jin yang pernah kulihat di kartun Aladin. Sejuntai rambut panjang yang diikat terdapat dikepalanya yang gundul, wajahnya dihiasi kumis yang panjang seperti ikan lele, dan dia hanya menggunakan rompi dan celana khas timur tengah. Matanya yang merah menyala menatap kami tanpa bersuara.

    Sedikit perasaan lega memenuhi rongga didalam dadaku karena pemanggilannya berhasil dilakukan dengan sempurna oleh Baim. Tak salah lagi, dia memang cerdas.

    "Badjrudhin," Baim berteriak, "benarkah itu namamu?"

    Jin itu kemudian menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya, dan dengan angkuh dia berbicara, "kau benar wahai anak manusia. Apa yang kalian inginkan dariku?"

    "Robek dinding magis ini untukku, setelah itu kau boleh kembali ke alammu!" Baim memberinya perintah dengan tegas. Tak sedikitpun keraguan yang kulihat pada matanya.

    Tanpa berkata-kata, jin itu langsung melayang ke arah kubah magis dan mulai merobeknya. Tangannya mengeluarkan sinar biru yang berpendar pada ujung jemarinya saat berusaha untuk merobek lapisan pelindung kubah magis. Kulihat lapisan itu menjadi elastis namun jin itu mengalami kesulitan untuk merobeknya.

    Setelah beberapa menit mencoba, jin itu mundur dan sedikit menjauh dari kubah magis. Kemudian ia mengangkat tangannya dan sesuatu seperti tombak yang bercahaya terang muncul dari genggamannya. Dengan sekuat tenaga, jin itu melemparkan tombak cahaya itu ke kubah. Sebuah percikan cahaya menyilaukan dan suara benturan yang keras tercipta saat tombak itu mencapai permukaan magis. Secara refleks aku menutup mata ketika melihat cahaya terang itu, dan begitu aku membuka mata kembali, tak ada perubahan atau kerusakan yang terlihat pada kubah magis itu.

    Beberapa kali percobaan kembali dilakukan oleh jin untuk merobek kubah magis. Mulai dari semburan api yang panasnya sangat terasa hingga kulitku seperti terbakar, pukulan langsung pada kubah, sambaran petir, dan lain-lain, namun semua usahanya tak membuahkan hasil.

    "Wahai anak manusia," jin itu berkata setelah menghadap Baim, "dinding ini terlalu kokoh untukku, aku ragu dapat merobeknya jika sendirian."

    Wajah Baim menampakkan kemarahan dan kekecewaan, "bukankah kau jin berkekuatan tinggi? Kenapa merobek dinding seperti ini saja tidak bisa?!" Baim membentak jin itu.

    "Dinding ini dibuat oleh beberapa penyihir hebat sepertinya," jin itu berkata, "aku menyarankan kau untuk memanggil jin lainnya yang memiliki kekuatan diatasku jika kau bersi keras ingin merobek dinding ini."

    "Apa?" aku berteriak dengan spontan, "tidak Im, tidak. Melakukan pemanggilan lagi terlalu beresiko, apalagi jika kamu memanggil jin kelas A lagi."

    Namun Baim tidak menggubris perkataanku dan mulai menggambar sebuah pentacle lagi.

    "Gila, kamu gila Im! Tindakanmu terlalu berbahaya Im. Kamu hanya beruntung saja pemanggilan pertamamu berhasil memanggil jin kelas A tanpa kesalahan, tapi aku sarankan agar kita menunda pelarian kita saja Im. Kita susun ulang rencana kita."

    Namun tetap saja ia tidak mengindahkan peringatanku. Sebenarnya aku ingin membantunya melakukan pemanggilan jin, sayangnya tak sepatah katapun mantra yang dapat kuingat. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku menyesali ketidak-cerdasanku ini yang membiarkan seorang sahabat melakukan hal yang beresiko sendirian.

    "Tenang saja sahabatku," ia memandangku dan menyeringai, "diam dan lihatlah saja!"

    Ia kembali merapal mantra. Kejadian yang sama terulang, namun pusaran api yang tercipta lebih besar dan lebih terasa panas dari pemanggilan sebelumnya. Kemudian sesosok yang tak kalah besarnya dari jin pertama muncul.

    Jin yang muncul kali ini memiliki wujud yang hampir sama besar dengan jin pertama, memiliki kulit berwarna abu-abu, mata tajam berwarna merah, kepala plontos, sepasang anting bundar besar menggelantung di kedua telinganya, jenggot hitam yang panjang menjuntai hingga ke dadanya yang kekar, dan pakaian yang dikenakannya seperti pakaian perang pasukan Romawi.

    "Apakah kau yang bernama Gladius?!" Seru Baim kepada jin yang baru saja muncul itu.

    "Benar." Suara menggelegar keluar dari mulut jin itu, "apa yang kau mau dariku wahai anak manusia?"

    "Bantu dia untuk merobek tembok magis ini!" Baim memberikan perintah sambil menunjuk Badjrudhin.

    Tanpa banyak bicara, kedua jin raksasa itu melaksanakan perintah yang diucapkan Baim.

    Sekali lagi pancaran-pancaran sinar magis dan suara ledakan tercipta saat kedua jin itu berusaha untuk membuat jalan keluar pada tembok kubah magis. Namun setelah beberapa menit berlalu, usaha kedua jin itu tetap saja tidak membuahkan hasil.

    Raut wajah Baim semakin menunjukkan kepanikan. Beberapa kali kudengar ia mengumpat dengan suara lirih saat kedua jin itu melontarkan kekuatan magis.

    Aku hanya terdiam dan merasa bersalah atas ketidakberdayaanku membantu Baim. Namun aku bersyukur karena pemanggilan kedua berjalan dengan lancar dan aman.

    Kedua jin itu menghadap kembali pada Baim dan mengatakan bahwa kekuatan mereka berdua saja tidak cukup untuk membuat celah pada kubah magis.

    Geram dengan hasil yang didapat, Baim membentak kedua jin itu. "Kalian berdua hanyalah sampah! Enyahlah kalian dari hadapanku!!"

    Kemudian dua jin itu lenyap dari pandangan kami dan meninggalkan asap tipis yang melayang-layang di udara.

    Aku berjalan mendekatinya. Lalu kurangkul pundaknya dari belakang dan berbisik, "sudahlah Im, usahamu sudah bagus, tetapi sayang hasilnya belum dapat membuat kita pergi dari sini. Kita tunda dulu saja pelarian kita dan menyusun kembali rencana. Bagaimana?"

    Ia lalu menampik tanganku dari pundaknya. "Tidak. Harus kulakukan saat ini juga, aku sudah terlalu banyak membuang waktu."

    Melihat tekadnya yang sudah mengeras itu, aku hanya bisa menggelengkan kepala. "Lalu mau bagaimana lagi? Menggunakan cara apalagi? Sedangkan dua jin kelas A saja tidak bisa membuat celah walaupun kecil pada kubah magis ini."

    Baim malah meringis dan menatapku dengan tatapan yang seperti bukan berasal dari Baim yang kukenal.

    "Terpaksa aku harus melakukan ini," kemudian ia melepas kaus yang ia pakai dan melemparkannya ke tanah.

    Di balik badannya, aku melihat sebilah keris yang diselipkannya di celana. Setelah itu, tubuhnya berpendar dan mengeluarkan cahaya biru yang redup. Lalu pada tubuhnya muncul secara perlahan lingkaran-lingkaran hitam pentacle seperti gambar yang ditato pada tubuhnya.

    "Hei," aku terkejut, "apa yang akan kamu lakukan Im?"

    Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah sibuk menggumamkan sesuatu yang tak dapat kudengar.

    "Mundurlah!" Perintahnya.

    Kemudian tubuhnya di kelilingi titik-titik api kecil yang melayang pada beberapa pentacle yang terdapat di tubuhnya.

    Sesuai dengan apa yang ia perintahkan, aku mundur perlahan menjauhinya. Sebenarnya bukan karena perintahnya itu, akan tetapi sebuah hawa menakutkan yang berasal dari Baim yang membuat bulu kudukku berdiri yang membuatku mundur.

    Titik-titik api itu kemudian membesar dengan cepat dan menyelubungi tubuh Baim dan terus berputar dan membesar hingga apinya membumbung tinggi ke atas.

    Berbeda dengan api yang dihasilkan saat pemanggilan jin tadi, kali ini pusaran api itu menghasilkan panas yang menyengat di kulitku, sehingga aku terpaksa mundur beberapa langkah lagi.

    Api yang menyelubungi Baim melesat dari tubuhnya dan berpencar menjadi tujuh pusaran api yang berputar-putar di depannya, dan api itu kemudian menyusut dan memunculkan tujuh sosok raksasa mengerikan.

    "Hei... Siapa yang memanggilku?"
    "Sialan, siapa yang berani mengganggu waktu istirahatku?!"
    "Hore... Akhirnya aku dapat hiburan baru!"
    "...."
    "Oh... Dipanggil lagi."
    "Aku ingin makan..."
    "Cih... Kenapa aku harus aku?"

    "Diam!!" Teriakan Baim menggelegar dan membuat udara di sekelilingnya bergetar, seketika ketujuh makhluk itu terdiam.

    "Ooh kau lagi..." Celetuk makhluk mengerikan yang memiliki empat tanduk dikepalanya yang bentuknya tak beraturan.

    "Mau apalagi kau?" Makhluk yang memiliki taring yang mencuat panjang dari rahangnya yang besar ikut bersuara.

    Demon!! Baim memanggil Demon!! Sial, apa yang ada dipikirannya sih?!

    "Kalian tak perlu bertanya-tanya, segera robek dinding magis itu. Imbalannya akan kalian dapatkan pada bulan purnama nanti!" Baim langsung berkata sebelum makhluk-makhluk lainnya ikut berbicara.

    "Ugh! Bau busuk apa ini? Jangan bilang bahwa kau telah memanggil jin sampah sebelum memanggil kami," kali ini makhluk berkepala kambing dengan taring-taring tajam yang bersarang di dalam mulutnya berkata pada Baim.

    Aku tak dapat melihat ekspresi wajah Baim karena sekarang aku berdiri jauh dibelakangnya, tapi aku yakin dia geram karena komentar-komentar yang diucapkan para makhluk tersebut.

    "Tutup mulut kalian dan segera laksanakan perintahku!" Teriaknya.

    Dan akhirnya ketujuh demon itu dapat membuat celah kecil yang cukup untuk kami jadikan jalan keluar pada kubah magis itu.

    "Bagus," kata Baim dengan senyum dan tatapan mengerikan yang belum pernah aku lihat sebelumnya, "sekarang enyahlah kalian semua dari hadapanku!"

    Ketujuh makhluk halus itu langsung lenyap dari pandangan kami dan meninggalkan kepulan asap tipis setelah Baim membebaskan mereka.

    Baim berjalan menghampiriku yang masih terpana dengan kejadian yang baru saja terjadi.

    "Kenapa?" Kata Baim, "kok kamu malah melongo?" Katanya terheran-heran sambil menebarkan senyum khasnya padaku.

    "Apa yang kau pikirkan hah?! Memanggil tujuh demon sekaligus! Untung saja kamu masih hidup. Lalu apa yang kauberikan sebagai imbalan kepada mereka hah?!" Aku memarahinya begitu ia sampai dihadapanku karena menurutku dia terlalu sembrono.

    Ia malah nyengir, "maaf...maaf... tapi mau bagaimana lagi? Toh kita selamat dan berhasil membuat celah pada kubah magis ini."

    Butuh beberapa detik untuk mengembalikan ketenangan pada diriku. "Sejak kapan kamu bisa memanggil jin atau demon? Lalu bagaimana bisa tato pentacle yang banyak terdapat di tubuhmu itu tiba-tiba muncul?" Kataku sambil menunjuk tato-tato pentacle yang banyak terdapat pada tubuhnya yang kini bertelanjang dada.

    Ia tersenyum dan mengayunkan tangannya mempersilahkan aku jalan didepannya, "nanti pasti akan kujelaskan padamu. Ayo, kita mulai perjalanan kita!"

    Dibawah rintik air hujan, aku melangkah menuju celah pada kubah magis yang berhasil dibuat tadi dan berjalan mendahului Baim.

    Tiba-tiba kepalaku dipukul dengan keras dari belakang yang membuatku langsung jatuh tersungkur ke tanah dan hilang kesadaran.

    ##DR[dot]M##
     
    Last edited: Aug 14, 2014
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.