1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Fortunia

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Apr 25, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    If your life is not the same as what you have wished for, will you regret it?

    Fairyfly's Present


    [​IMG]

    Fortunia
    A girl with her ungranted wish


    Genre : SoL, Romance, Genre yang bakal bikin si merp raeg
    current status : ongoing
    starting date : 25 April 2014
     
    Last edited: May 23, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Reserved for index~

    :maaf:
     
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Suatu hari nanti, akan kuajak kau terbang didalam pesawat yang kukemudikan.”

    Itu yang dikatakan Dylan di sabtu siang yang terik. Kata-katanya keluar begitu saja, spontan, tanpa beban.

    Bagi Sylvia, semua ucapannya itu mungkin sudah didengar puluhan, ah, tidak. Ratusan kali. Dan setiap kali pula reaksinya selalu sama : tersenyum. Hal itu membuat Dylan semakin meneruskan semua angan-angannya tentang terbang di langit lepas.

    “Mungkin sepuluh atau lima belas tahun lagi. Mulai dari hari ini, aku akan berjuang sungguh-sungguh. Suatu hari nanti akan kuajak kau terbang, Sylvia.”

    “Mmm,” Jawab Sylvia santai. “Aku akan menunggu hari itu.”

    Keduanya saling menguatkan satu sama lain, dan hal itu tentu membuat Dylan makin optimis dengan cita-citanya.

    “Kau dapat berapa?”

    “Ujian fisika?”

    “Mmm,” pungkas Sylvia, masih dengan senyuman lugu. Malu-malu, Dylan mengeluarkan kertas ujian dari tas sekolahnya.

    “Err, lima puluh?”

    “Tiga puluh.”

    “Eh?”

    “Ini angka tiga, bukan angka lima.”

    ………

    Sebuah senyum kecil mengembang di wajah Sylvia.

    “Maukah kau mengajariku lagi tentang ilmu fisika? Rasanya semakin hari ilmuku semakin menurun saja.”

    “Ah, omong kosong.” Jawab Sylvia. “Kalau kau mau berusaha, pasti bisa. Besok malam, Datang saja ke tempatku seperti biasa.”

    “Baiklah, besok malam?”

    “Mmn,”

    “Okay,” Jawab Dylan dalam, dengan napas yang sedikit ditahan seolah akan mengeluarkan lelucon buruk. “Tommorow evening, ah, copy that base!”

    Jawaban Dylan yang menirukan seorang pilot pesawat tempur di film-film Tom Cruise membuat Sylvia tertawa riang. Orang ini kacau, pikirnya.

    Meskipun demikian, Dylan tidak berhenti. Ia mengepalkan tangan didepan mulutnya seolah-olah ia bicara pada sebuah Walkie Talkie.

    “Houston, we got incoming, six o’clock! Engage! Engage! Tactical column! Fox two! Fox two!”

    “Ahahaha…”

    “Enemy down! Houston, we are coming home! Houston…”

    Sejenak Dylan berhenti bicara. Kedua tangannya kini mengulur kedepan mulut Sylvia.

    “Do you copy?”

    “Copy!” Teriak Sylvia, riang.

    Jelas sudah, bahwa hari itu, keduanya sama-sama diiliputi kebahagiaan.

    Hal terakhir yang kemudian terucap dari Sylvia adalah sebuah harapan kepada sosok dewi keberuntungan, Fortunia, agar kelak semua impian mereka berdua terkabul.

    “Ya,” Jawab Dylan. “Semoga Fortunia mengabulkan apa yang kita berdua inginkan.”

    “Amin.”

    silakan di first blood yaa, another cerita gagal dari saia :maaf:
     
    Last edited: May 1, 2014
  5. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    hmm...masih prolog jadinya blom gitu jelas ini cerita mau dibawa kemana, sejauh ini mayan sih pembawaannya :ngacir:
     
    • Like Like x 1
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    well thanks mod udah mampir :hmm: ceritanya gampang ditebak kok imo :iii:

    Ada potret diriku, ayah, dan ibu diatas meja belajar di samping tempat tidur.

    Kamar tempatku berada merupakan kamar yang kecil dengan lantai kayu yang apik. Di salah satu sudut kamar terdapat sebuah lemari pakaian yang juga terbuat dari kayu, berdiri tegak menghadap pintu kamar. Ranjang tempatku tidur membentang disebelahnya dan diapit oleh meja belajar serta jendela kecil yang langsung menghadap jauh ke tempat matahari terbit. Jika beruntung, indahnya matahari yang baru terbit ke permukaan bisa tampak dengan jelas.

    Hanya sesekali saja aku menikmati cahaya matahari terbit, karena biasanya di pagi buta aku sudah berada di dapur untuk memasak.

    “Wagner, sarapan siap!”

    Mengenakan apron kuning terang, aku menyiapkan nasi goreng keatas piring sebelum meletakannya diatas meja makan. Satu untuknya, satu untukku, satu lagi untuk ayah pecundang.

    Mmm, ayah pecundang.

    Aku memanggilnya demikian bukan tanpa alasan. Semenjak ibu meninggal empat tahun lalu, entah bagaimana kecintaannya kepada penerbangan makin menjadi-jadi. Padahal, ayahku sama sekali bukan penerbang! Ia bahkan tak pernah lulus ujian masuk sekolah penerbangan.

    Ayahku bekerja sebagai juru tulis di peternakan ayam selama lima – kadang enam – hari dalam seminggu dengan jam kerja rata-rata sembilan jam. Saat libur, ia lebih memilih sibuk dengan replika pesawat buatannya atau bepergian keluar bersama Wagner. Sesekali ia memang mengajakku, tapi aku kan sudah besar. Maksudku, mana ada gadis seusiaku yang masih jalan-jalan dengan ayahnya? Aku sudah kelas dua SMU.

    Dan yang lebih membuatku kesal adalah, kini kecintaannya pada penerbangan ditularkannya pula pada adikku, Wagner.

    “Hei, Wagner!”

    “Oke, kak! ETA, two minutes.”

    Ampun, ini lagi…

    “Berhentilah mengoceh dengan gaya pilot!” Gerutuku kesal sambil kemudian menuangkan teh hangat kedalam gelas. Tanpa kusadari, ayah sudah muncul di ruang makan.

    “Memangnya kenapa kalau mengobrol dengan gaya pilot? Kan bagus.”

    Ah, lagi-lagi tentang pilot.

    “Pagi, gadis man-“

    “Sarapan sudah siap!” Aku memotong cepat. Ia selalu saja memanggilku dengan sebutan gadis manis. Kadang aku malah penasaran dan curiga, jangan-jangan ia memanggil rekan wanita di peternakan dengan sebutan yang sama pula.

    Ah, ia mengkhianati cinta ibu! Sialan!

    “Dan juga, tolong lupakan pembicaraan tentang pilot. Setidaknya untuk hari ini.”

    Ayah menatapku polos, dan mencibir, “Kenapa dengan pilot?”

    Aku sebenarnya masih ingin membalasnya, tapi kutahan agar aku tidak terlibat adu mulut lebih jauh.

    “Kak, aku datang!” Wagner berlari dari lorong lantai dua. Tangannya tampak tergesa-gesa mengenakan jaketnya yang baru setengah pakai. Saat tiba di ruang makan, ia memberi hormat pada ayah.

    Hormat dengan gaya seorang prajurit, tentunya.

    “Elang dua melapor untuk bertugas, pak!”

    Ugh…

    “Laporan diterima, letnan!” Ayah membalas dengan tangan di pelipis kanannya. “Silakan bertugas sebaik-baiknya!”

    “Siap pak!”

    Dan setelahnya, ayah tertawa sambil mengucek-ngucek rambut adikku itu. Wagner membalas dengan tawa yang sama.

    “Anak ayah.”

    ………

    Ayahku benar-benar terjebak dalam romantika masa lalu yang indah.

    ***

    Profesi pilot adalah profesi yang amat terhormat di kota Nightingale. Sebagai daerah yang terisolasi dari daratan, moda transportasi yang tersedia untuk berinteraksi dengan dunia luar di Nightingale hanyalah dua : kapal laut dan pesawat terbang. Tentu saja pamor kapal laut kalah jauh karena kecepatannya yang lamban untuk sampai tujuan. Dibandingkan dengannya, pesawat terbang bisa membawa penduduk dan barang-barang kebutuhan masyarakat dalam hitungan jam. Karenannya profesi pilot menjadi profesi yang amat terhormat di Nightingale. Seorang pilot seringkali dianggap sebagai juru selamat bagi penduduk di kota ini. Tanpa mereka, kota ini mungkin masih akan hidup di zaman batu.

    “Kuharap kau tidak mengacau saat upacara kelulusan nanti.”

    “He?”

    “Masih ingat kan kejadian tahun lalu saat pembagian rapor?”

    “Ah, itu ya?”

    Ya, itu. Memangnya apalagi? Kejadian memalukan saat ayah membual bahwa anaknya suatu saat akan menjadi seorang pilot yang hebat tahun lalu spontan menjadikannya bahan olok-olok orang tua murid yang lain. Maksudku, Wagner sama sekali tak punya bakat untuk menjadi pilot. Nilai matematikanya saja D.

    Aku bukannya beranggapan bahwa Wagner sama sekali tidak bisa menjadi pilot. Tidak, bukan begitu. Malah, jika bisa, aku ingin sekali mendukung keputusan Wagner. Menjadi seorang pilot, ah bisa dibayangkan akan betapa menyenangkannya hidupnya kelak.

    Meski demikian, kurasa impian seseorang haruslah disesuaikan dengan realita yang ada. Wagner sama sekali buruk dalam hal hitung-hitungan sejak ia masuk taman kanak-kanak. Sebaliknya, dia amat pandai bermain musik. Kurasa akan lebih cocok jika ia menjadi seniman ketimbang menjadi pilot. Ia bisa menjadi pemusik andal sejak dini, meraih kesuksesan dan kekayaan yang banyak, belum lagi popularitas yang tinggi yang bisa menaikkan nama keluarga. Jika ia meneruskan cita-citanya menjadi pilot, bukan tidak mungkin ia akan berakhir seperti ayah kelak. Dan bisa ditebak : kami hidup seadanya dengan ayah yang selalu menggerutu ini itu tentang menjadi pilot. Aku tak mau anak dari Wagner merasakan hal yang sama denganku.

    Terlebih, kurasa menjadi pilot adalah keinginan ayah, bukan murni keinginan Wagner. Ayah terlalu sering mencekokinya dengan mainan-mainan pesawat terbang dan film-film tentang penerbangan. Aku senang ayah memiliki cita-cita dan impian itu. Sangat senang. Tapi semuanya kini tinggal kenangan. Ayah sudah gagal dalam mewujudkan cita-citanya itu.

    Kecuali…aku bisa memutar waktu dan membuatnya berhasil menjadi pilot. Jika aku bisa membimbingnya menjadi pilot, mungkin aku akan menjadi anak seorang penerbang yang tentunya dihormati oleh teman-teman sekolahku. Andai saja…ya. Andai saja…

    Ah, lupakan. Itu sesuatu yang tidak mungkin.

    “Ingat ya,” Kataku perlahan. “Tak ada pembahasan tentang pilot untuk hari ini.”

    “Erm, anu…” Wagner mengangkat tangannya perlahan.

    “Kenapa?”

    “Apakah penerbangan termasuk.”

    “Tentu saja!” Gerutuku. “Tak ada pembahasan tentang pilot, penerbangan, aviasi, atau apapun!”

    “Anu…”

    “Ya? Wagner? Kenapa lagi?”

    “Tentang cita-cita, termasuk?”

    Aku menghela napas, menempelkan telapak tanganku di kening. “Tidak termasuk asalkan tidak berhubungan dengan penerbangan.”

    “Anu…”

    “Kenapa lagi?”

    Wagner tampak memasang wajah lugu saat ia menanyakan hal berikutnya. Disampingnya, ayah mengangguk-angguk.

    “Kalau ayah yang membahasnya, boleh tidak?”

    Entah apa yang harus kujawab kali ini – aku hanya menghela napas panjang.

    “Kalian benar-benar minta dihajar, ya?”

    Ayah memalingkan mukanya seolah menyembunyikan sesuatu, sementara Wagner tersenyum gelagapan.

    Masih di tahun lalu, guru wali kelas Wagner mengeluhkan kepada aku dan ayah bahwa Wagner harus lebih sering belajar jika memang ia ingin menjadi pilot. Jika tidak, adikku itu akan berakhir sebagai seorang sutradara film karena nilai mata pelajaran kesenian miliknya cukup menonjol. Alih-alih menerimanya, ayah malah tertawa terbahak-bahak dan bilang pada sang guru bahwa anaknya kelak akan menjadi pilot, dan bahwa sang guru tak perlu mengkhawatirkan tentang hal itu.

    Tak diragukan lagi bahwa ayahku ini benar-benar terjebak masa lalu.

    Karena kejadian itu pula, Wagner kini mendapat julukan sebagai anak mantan calon pilot. Julukan yang terasa menyakitkan bagiku mengingat kehidupan ayah yang kini hanyalah seorang juru tulis. Namun Wagner tampak senang-senang saja dengan hal itu.

    “Kau tak perlu memaksakan kehendakmu pada Wagner, yah.” Kataku menggerutu. “Biarkan ia berkembang sesuai apa yang dimilikinya.”

    “Kau bicara seperti ibumu sekarang.”

    “Aku bicara yang benar, yah! Tidakkah kau bercermin pada apa yang menimpamu?”

    Ayah berhenti menyuapkan nasi goreng ke mulutnya, terdiam sejenak, kemudian menoleh pada Wagner. “Hei, elang kecil,” Katanya lagi. “Mau jadi apa kau kalau sudah besar?”

    “Pilot.”

    Ugh…

    “Tuh, Maya, kau lihat kan?” Katanya. “Dia yang bilang sendiri.”

    “Yah,” kataku perlahan, tajam. “Tidakkah kau lihat dirimu? Kau yang ingin menjadi pilot kini malah berakhir menjadi juru tulis di kantor peternakan ayam.”

    “Hei, hei, jangan kasar pada ayah!” Wagner tiba-tiba berujar.

    “Iya, jangan kasar pada ayahmu ini!”

    “Aku kan bicara yang benar! Dan juga, cebol, jangan ikut-ikutan masalah orang tua!” Teriakku gusar. Tak lama setelahnya tampak wajah ayah dan Wagner yang kini pucat pasi, gemetar. Seperti biasa, jika aku berteriak, keduanya pasti ketakutan.

    Dapat kudengar ayah sedikit berbisik, “Nak, kakakmu ini reinkarnasi mak lampir. Kamu harus hati-hati.” Wagner membalas dengan anggukan.

    Ampun, duo idiot ini…

    Sepulang upacara kelulusan nanti, keduanya benar-benar akan kuhajar.

    ***

    “Dan selanjutnya, Wagner.”

    Ah, ia dipanggil.

    Adikku bangkit, berdiri dari bangku tempatnya duduk, dan berjalan perlahan menuju podium. Ia mengambil sertifikat kelulusan dan diperkenankan mengucapkan sepatah dua patah kata. Biasanya, kata-kata yang diucapkan pada saat demikian berupa ucapan terima kasih kepada guru dan salam perpisahan kepada rekan-rekannya.

    “Jadi, kita bertemu lagi saat aku sudah menjadi pilot yaa.”

    Bego!

    Dungu! Idiot! Jangkrik!

    Kata-katanya spontan mengundang gelak tawa dari seluruh orang tua murid yang hadir. Sialan! Aku sudah bilang padanya agar jangan bilang apa-apa tentang menjadi pilot. Ia pasti melanggarnya dengan sengaja!

    “Yah, terima kasih untuk anak mantan calon pilot. Semoga cita-cita Wagner tercapai.”

    “Pasti tercapai.” Teriaknya, lugu. Gelak tawa yang ada terdengar makin riuh.

    “Ayah, katakanlah sesuatu!” Kataku. “Aku malu.”

    Namun ayah hanya tersenyum, ikut memberi tepuk tangan pada anak laki-lakinya itu.

    Kenapa ia tidak membalas ejekan para tamu undangan, aku tidak tahu pasti.

    Tak lama setelah itu, masih dalam suasana kelulusan, diluar kelas kini anak-anak sekolah berkumpul untuk foto bersama. Wagner berdiri di pojok kanan atas – kurasa ia diacuhkan oleh kawan-kawannya. Mereka mungkin tak menyukainya.

    “Ah, Dylan, kawanku.”

    Terdengar suara seorang tua yang sudah amat kukenal. Anton sang tinggi hati.

    “Bagaimana pekerjaan di peternakan, kawan?” Katanya sambil membuka tangannya lebar-lebar, berusaha merangkul ayah.

    Aku tidak suka padanya. Tahun lalu ia membuat sebuah lelucon yang membuat ayah ditertawakan oleh seantero orang tua murid. Bukan tidak mungkin bahwa ia akan kembali melakukannya kali ini.

    “Luar biasa sibuk.” Jawab ayah spontan, sumringah. “Terkadang saat bekerja, beberapa ekor ayam masuk dan buang kotoran di kantorku.”

    “Oh, luar biasa sekali pekerjaanmu itu, kawan. Hei, dengarlah ini!” Orang tua itu berteriak. “Dylan Hill memiliki ayam-ayam yang hobi meninggalkan jejak di kantornya!”

    Semua yang mendengar hal ini langsung tertawa luar biasa keras. Buatku, ini merupakan celaan yang parah. Namun apa daya, kami tak bisa berbuat banyak karena Anton begitu populer diantara orang tua murid yang lain. Hal ini tentu saja dikarenakan dia adalah seorang pilot. Sekali kami membalas, pandangan orang-orang terhadap kami akan berubah negatif.

    “Yah, setidaknya mereka tidak meninggalkan jejak di sepatumu, ya kan?”

    Ayah mengangguk sambil tersenyum. “Belum pernah sekalipun, kurasa.”

    “Ah, baguslah kalau begitu.” Kata Anton lagi, tersenyum, “Jadi, kawan, semoga kau selalu sukses dengan kehidupanmu. Hei, teman-teman!” Ujarnya lagi. “Mari berikan tepuk tangan kepada tuan Hill. Oh, dan, untuk calon pilotnya kelak. Hei, semoga ia tidak berakhir sepertimu.”

    Astaga…

    Orang ini benar-benar keterlaluan!

    Aku memandang ayah, tajam. Berharap ayah membalas semua kata-kata ejekan darinya.

    Tetapi yang keluar dari mulut ayah hanya sebuah kata pendek berupa ucapan terima kasih, serta sebongkah senyum pasrah.

    Dan selanjutnya, tepuk tangan yang riuh terdengar.

    ***

    “Hei, May-“

    “Jangan bicara padaku!” Teriakku sambil membanting pintu kamar, kesal karena memiliki ayah yang seorang pecundang sepertinya.

    Sial!

    Kenapa hal ini terjadi? Kenapa aku merasa dipermalukan seperti ini?

    Hal ini tak pernah terjadi saat ibu masih hidup. Kehidupan kami berjalan bahagia saat ibu masih ada. Ayah tak pernah mengungkit-ungkit tentang keinginannya menjadi pilot, dan Wagner juga masih sangat kecil untuk memiliki cita-cita. Tak ada seorang tetanggapun yang berani mencemooh ayah kala itu.

    Ah, tapi semuanya sudah berubah.

    Kini, memeluk lutut diatas kasur, aku menangis untuk sesuatu yang bahkan bukan menjadi urusanku. Aku tak seharusnya menangis. Ayah yang diejek, dan seharusnya, perasaan ayah seharusnya jauh lebih perih dibandingkan dengan apa yang kurasakan.

    Tapi bagaimanapun, aku adalah anaknya.

    ………

    Andai saja ayahku benar-benar seorang pilot…

    Andai ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membuat cita-citanya tercapai, aku pasti akan melakukannya.
     
    Last edited: Apr 28, 2014
  7. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    kek berasa drama :matabelo:

    aku berkicau dulu kakak, :keringat: biar aku rada mengerti cerita :keringat:

    • keknya tokoh utamanya si Dylan, terus ada kemungkinan dia cewek (memasak, dipanggil manis) atau itu hanya panggilan dan dia cowok :hmm:
    • terus dia punya adik yang bernama Wagner dan ayah yang gagal meraih mimpi. ibu sudah tiada :matabelo:
    • terus dylan punya teman namanya anton, sylvia masih MJ, apakah sekedar teman biasa atau si Dylan menyukai si sylvia


    sebenarnya hanya opini tapi kok berasa susah ya aku mengingat tiap karakter yang kakak buat :keringat:. karakternya terasa banyak dan ditambah adanya Pov yang berbeda di pronolog sama chapter pertama. membuat aku rada pusing. tapi hanya opini kakak :hmm:

    kalau komentar mungkin cerita kakak rada menarik nih. perjuangan meraih mimpi :hmm:
    yang penting semangat ya :onfire:
     
    Last edited: Apr 30, 2014
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    wrong, bububbubu :hammer:

    - itu dylan kan ayahnya si tokoh utama :swt:
    - hmm kenapa perpindahan PoV itu rada kasar sih, tapi ane ga akan kasi tau kenapa itu soalnya ada lanjutannya tar :hmm:
    - yup anton itu temennya dylan, ato...temen jahatnya :hihi:
    - wrong, bububu, ini bukan cerita tentang meraih mimpi :hmm: kalo baca kata pembuka di fic ini pasti udah tau kok ini fic mau dibawa kemana :iii:

    akhir kata, maafkan saia yang ga bisa bangun desskripsi yang jelas :hiks: kelamaan WB :swt:

    celeng sebelah ga ikut pula :hiks:
     
  9. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    komen lagi gak masalah kan, :hmm:
    ane juga wb, ane malah gak ikut diceleng manapun :hiks:
    begitu ya :keringat:


    • berarti sylvia itu seseorang yang mungkin pernah jadi istri dylan (tebakan), menikah dan punya anak bernama may dan wagner :hmm:
    • anton pernah jadi saingan dylan
    sebenarnya ane murni gak bisa menebaknya :bloon: apakah tentang perang?
    mungkin ane akan mengerti kalau mendengar lanjutannya :hmm:
    lanjutkan kakak :onfire:.
     
    Last edited: Apr 30, 2014
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Kabarnya, kalau kita berdoa kepada Fortunia dan memohon agar takdir kita berubah, maka doa kita akan terkabul.

    Fortunia, ah, bagiku ia hanyalah sebuah legenda - sosok dewi dalam impian yang patung replika tubuhnya ada di alun-alun kota. Beberapa orang menyebut sosok gadis berambut sepundak itu sebagai dewi keberuntungan atau dewi harapan. Legenda menyatakan bahwa ia akan datang kepada siapapun yang membutuhkan kehadirannya.

    Dan konon, ia bisa mengubah takdir seseorang. Apakah mungkin jika aku memohon kepadanya agar takdir ayah berubah, maka hidup ayah akan menjadi lebih baik?

    Hmm…

    Seperti dongeng saja. Bahkan anak balita pun tahu bahwa hal itu tak mungkin terjadi.

    “Kakak!”

    “He, kenapa Wagner?”

    Wagner menatapku dengan tatapan mata panik. “Telur itu gosong!”

    Eeeh!!

    ***​

    “Ini menu baru ya?” Ayahku berceloteh. “Telur bumbu hitam.”

    Ugh…

    “Anu, itu gosong, yah.” Ujar Wagner sambil mengambil semangkuk sayur. “Kakak yang buat, namanya telur goreng gosong.”

    “Cerewet, Wagner! Makan saja!” Gerutuku, malu. Ayah, bagaimanapun, menyobek sedikit bagian telur itu dengan kedua tangannya.

    Ampun, setidaknya pakailah pisau dan garpu. Ayahku ini…

    “Enak kok?”

    Eh?

    “Buat ayah saja ya?”

    ………

    “Memang dibuat untukmu kok.” Ujarku singkat, pendek. Meskipun jauh di lubuk hatiku aku sudah mewanti-wanti agar aku tak lagi kesal pada ayah, namun sikapku masih belum bisa berubah.

    Menghabiskan waktu merenung - lalu tertidur – di kamar sejak siang hari, aku tak menyangka kalau malam akan tiba begitu cepat. Saat bangun tidur tadi, jam sudah menunjukkan pukul enam sore saja.

    “Anu, kalian berdua,”

    Ah, ini lagi.

    Biasanya, saat makan malam, ayah akan menggerutu ini itu tentang remote TV. Ia biasa makan dengan TV menyala agar bisa menonton acara kesukaannya – acara lawak murahan. Atau…

    “Ada yang lihat kacamata ayah?”

    Nah, ini. Ia lagi-lagi lupa dengan kacamatanya.

    Ayah mempunyai kebiasaan buruk – beliau tak pernah meletakkan barang-barang sesuai dengan tempatnya. Tak terkecuali kacamatanya. Suatu hari aku malah pernah menemukan kacamata miliknya itu ada didalam kulkas. Benar-benar luar biasa!

    “Tadi sebelum tidur siang ayah menaruhnya di samping meja, kok tiba-tiba sudah tidak ada ya?”

    “Meja makan sih iya.” Kataku gemas. Sambil menyuapkan sesendok sup ke mulut, aku menunjuk ke arah lemari buku. “Aku sudah simpan disana.”

    “Wah, kamu ya malingnya?”

    Sompret!

    Aku jelas kesal dengan ucapan ayah, namun Wagner malah tertawa girang.

    “Ah, sudahlah, sudah, ayo makan. Kali ini kamu kumaafkan kok-“

    “Mbahmu!” Kataku sedikit berteriak. “Kenapa aku yang salah?”

    “Ah, sudah kak, sudah. Sesama keluarga jangan saling bertengkar. Lagipula kita ini kan,” Wagner menghentikan kata-katanya sejenak, menatap ayah yang balik menatapnya, lalu bersorak, “Keluarga pilot!”

    ………

    Jangan masukkan aku kedalamnya.

    ***​

    “Dia sibuk dengan replika miniatur pesawat.”

    “Ah, begitu? Ya sudah, kau sabar saja. Suatu hari nanti ia akan lupa sendiri.”

    “Kuharap begitu…”

    Jari-jemariku sibuk menari diatas laptop, mengetik kata demi kata kepada teman chattingku di media sosial. Aku begitu kesal dengan ambisi ayah, sampai-sampai beberapa teman chattingku juga tahu tentang masalahku ini.

    Seharusnya aku menyembunyikannya – masalah ayah dan pilot ini. Tapi, aku merasa tak kuat bila tak bercerita dengan orang lain.

    “Jadi, kau mau cerita apa?”

    Densus88, nama id temanku itu. Sosok aslinya adalah seorang teman sekelasku yang kuanggap paling dewasa diantara yang lain.

    “Tentang Fortunia.” Tulisku.

    “Ah, Dewi Keberuntungan itu. Ada apa dengan Fortunia?”

    “Tadi siang, aku bermimpi bertemu dengannya.”

    “Hee…”

    Mmn, tadi siang saat aku tiba-tiba jatuh tertidur, aku bermimpi didatangi oleh dewi keberuntungan itu. Ia bilang akan datang malam ini untuk mengabulkan permohonankku, karenanya, aku diminta untuk memikirkan apa yang kelak akan menjadi permintaan terbesarku. Mimpi yang benar-benar aneh, tapi entah mengapa kini aku menjadi amat penasaran dengannya.

    “Mungkin saja kau benar-benar akan didatangi olehnya.”

    “Ngaco!” Jawabku. “Mana mungkin Fortunia itu ada?”

    “Mungkin saja ada.”

    Ugh…

    Aku tak tahu harus menjawab apa. Saat aku mencoba mengalihkan pembicaraan, ia sudah mengirim chat terlebih dahulu.

    “Tapi, Maya, kurasa kau terlalu kasar pada ayahmu.”

    “He?”

    “Ia masih berusaha membuatmu senang, kan?”

    “Iya, sih. Tapi kelakuannya itu yang membuatku kesal. Berbicara ini itu tentang menjadi pilot, padahal ia sendiri tak pernah lulus ujian untuk masuk akademi penerbangan. Ah, kenapa ia tak lupakan saja mimpinya itu sih?”

    “Mungkin ia punya alasan tertentu yang tak ingin ia ceritakan.”

    Alasan apa? Satu-satunya alasan dia masih berambisi untuk menjadi pilot adalah kecintaannya yang berlebihan terhadap dunia aviasi. Dan karena kecintaannya yang berlebihan pula, kini Wagner terancam jatuh di lubang yang sama.

    Ah, kapan ya ayah bisa membuka mata terhadap kenyataan yang ada? Bahwa ia bukanlah seorang pilot dan hanya seorang juru tulis di peternakan ayam? Apakah mungkin semua kegilaannya tentang aviasi itu hanya akan terhapus jika ia benar-benar menjadi pilot?

    “Kalau sampai begini terus, aku bisa gila.” Tulisku. Namun Densus88 hanya membalas dengan sebuah emoticon senyuman.

    “Cuma senyum,” gerutuku. Densus88 membalas dengan kata-kata yang cukup membuatku terhenyak.

    “Andai kau punya kesempatan membuat ayahmu menjadi pilot, apa kau benar-benar mau mengambil kesempatan itu?”

    ………

    Tentu saja!

    Andai saja ayahku benar-benar seorang pilot, kegilaannya kepada hal-hal aviasi pasti sudah menghilang. Yah, meskipun kesal, jauh di lubuk hatiku aku juga merasa kasihan padanya, memimpikan ini itu tentang pilot tanpa bisa mencapainya.

    Aku menghela napas untuk sejenak, merenggangkan tubuhku, untuk kemudian menatap langit-langit. Jika lampu dimatikan, langit-langit kamarku ini akan bercahaya seperti dihiasi bintang. Ini karena aku menempelkan beberapa glowing sticker disana. Bagiku, bintang-bintang tempelan itu sangat indah.

    Apa mungkin ayah ingin jadi pilot karena ia ingin melihat bintang di angkasa dengan lebih jelas?

    ………

    Dan sekali lagi, aku menghela napas.

    “Sudah, tak usah bahas hal ini lagi, Ok?”

    Message sending failed.

    Eh? Gagal?

    Kembali kuketik kata-kata yang baru saja tertulis, sebelum kemudian menekan enter.

    Message sending failed.

    Eeehhh??

    Sialan! Kenapa ini?

    “Kakak, hei, sedang apa?”

    Adik laki-lakiku ini tiba-tiba masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Ampun! Untung saja kali ini aku memakai baju lengkap. Kadang aku hanya memakai tanktop dan celana mini saja, dan aku tak mau adikku atau ayah melihatku demikian.

    “Kenapa tak mengetuk?” Teriakku. “Kan sudah kakak bilang, kalau ingin masuk kamar, ketuk pintu dulu.”

    “Pinjam laptop.”

    “Nenekmu!” Teriakku, kesal karena ia tak mendengarkan apa yang kukatakan. “Aku sedang pakai. Internetnya rusak, nih.”

    “Hee…”

    Wagner mendekat ke arah layar laptop, mencoba mengintip apa yang ada disana. Spontan aku menutup percakapanku dengan Densus88.

    “Jangan intip-intip!” Gerutuku. Wagner membalas dengan mencibir. Namun sesaat setelahnya ia mengintip kabel LAN yang menempel di laptop, membungkuk, dan memperhatikannya dengan saksama.

    Ia manggut-manggut.

    “Ini sih, kabelnya kak.” Katanya santai. “Kabelnya longgar, makanya internetnya rusak begini.”

    “He, kamu kok tahu?”

    “Calon pilot harus tahu.” Katanya tersenyum, bangga.

    Kalau bisa, aku ingin sekali menggebuk kepalanya menggunakan laptop ini deh.

    “Sini, aku betulkan.” Katanya spontan, kali ini suaranya cukup ramah. Aku hanya mengangguk-angguk saja.

    “Hati-hati,” kataku. Adikku tersenyum, memegang kabel LAN, menggesernya untuk beberapa saat.

    “Ada koneksi?”

    Pandanganku kembali ke layar laptop. “Belum. Belum ada sama sekali.” Jawabku.

    “Hmmm, ah begini!”

    Adikku kemudian menggeser laptop, memegangi kabel LAN, dan kembali menggesernya. Tangannya kemudian bersiap untuk mencabut kabel LAN itu.

    “Nah, sekarang…”

    Pet!

    Mati lampu.

    “Wagner sialan!” jeritku.

    ***​

    “Hoi, gelap nih, ayah tak bisa melihat apapun!”

    Bego!

    Tentu saja dalam kondisi gelap begini semua orang juga tak bisa melihat apapun. Ini gara-gara Wagner. Si sialan itu.

    “Wagner, kamu dimana, onta?”

    “Disini, kak.”

    “Dimana?” Gerutuku lagi, meskipun suaranya terdengar tak jauh dari tempatku berada.

    Tak beberapa lama Wagner menyalakan senter yang terpasang di telepon genggamnya, membuat wajahnya tampak dimataku. “Disi-“

    “He? Kenapa?”

    Aneh.

    Kini wajah Wagner tampak pucat pasi. Ia seolah amat terkejut saat melihat wajahku.

    “Wagner?”

    “K…kak…dibelakangmu?”

    “Eh?”

    Wagner tak meneruskan kata-katanya. Ia lari terbirit-birit, meninggalkanku.

    Dan kini, aku juga merasa amat ketakutan.

    Masalahnya, sebuah sentuhan telapak tangan kini terasa menempel di pundakku.
     
    Last edited: May 1, 2014
  11. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :nongol:
    ini serius tulisan nya om lalat :???: uda dibaca ulang dan cek lg bllm??
    baru baca prolog sih :iii:
    IMO, cara penyampaiannya agak beda dgn tulisan om lalat yg biasa saya baca :swt:
    klo yg biasa itu terkesan lebih bebas menulisnya, kek semua yg ada dipikiran si penulis bisa dituangkan dgn detail. tapi buat yg ini :iii: kek nya om lalat agak takut2 mau menuangkan isi yg ada dipikiran, jd terkesan setengah2 penyampaiannya.
    beberapa typo jg bertebaran dmn2, kek salah penggunaan huruf besar, kata ganti -nya yg diulang2 dan tumpang tindih.
    ada apa dengan om lalat :tolong:
    ato cara pandang saya yg berubah ya :lol:
     
  12. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    prolognya sengaja dibuat serius mbak :hmm:

    ch 1 n 2 keknya lebih bebas, sih :iii:

    aku belum recheck typo dll :kecewa:

    and, situ kemana aja mbak mbem :matabelo:

    lama ga keliatan :peluk:
     
  13. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    ikutan gaya tante ah.:ngacir:
    ini serius tulisannya om lalat:???: udah dibaca ulang dan cek lagi belum??

    baru baca prolog ma chapter 1 sih.

    IMO, cara penyampaiannya agak turun kalau dibanding tulisan om lalat yang biasa saya baca(di antologi):swt:

    -Prolog

    rasanya banyak banget kosakata rancu yg dipakenya(ini jg buat chap 1). Kayak misalnya, Sylvia ngomong, "aku akan menunggu janji itu."

    ...janji itu ucapan seseorang kan. Ngapain ditunggu? Bukannya Dylan baru aja bilang noh. Dia kan udah janji. ._.

    habis itu, kenapa juga setelah ngomongin soal mimpi, mendadak ngebahas nilai ujian fisika? Iya, pilot sama fisika ada hubungannya. Tapi ini penyampaiannya ujug-ujug banget. ._.

    -Chap 1

    'mengenakan apron kuning terang, aku menyiapkan nasi goreng ke atas piring'
    ...baca ni kalimat aku ngerasa rada gimanaaa gitu. Pertama, kenapa apron dan bukan celemek? Apa karena cerita ini bertema pilot, jadinya pake kata apron yg dalam bahasa Inggris berarti celemek sementara dalam KBBi berarti tempat parkir pesawat?#ngakak

    Trus menyiapkan nasi goreng ke atas piring...? menyiapkan... kenapa katanya menyiapkan? bukan menyediakan?terserahpengarangnyadong. gapapa sih. aku cuma ngerasa kok jadi rancu aja ._.

    yah, lanjut.. eww.. baru awalan udah ngatain ayah sendiri pecundang. You're so not cute. :<

    habis itu adegan kelulusan Wagner,

    'Bego! Dungu! Idiot! Jangkrik!'

    egh. Say, bahasamu kok ya kasar banget sih. Cewek bukan? Masa gara-gara gitu aja maki-maki adik sendiri sih. Emosian amat deh. Kamu bener-bener ga cute, ya.

    I mean, seriusan deh, lalat-san. Cewek kasar sih masih gapapa. Tapi ngumpat sebanyak itu mah agak keterlaluan. Dan ini bukan cerita comedy kan. Kalaupun mau bikin si kakak keliatan kesel cukup satu umpatannya aja bisa kok. Dia bilang, "Si bodoh itu..." aja udah cukup. Ga perlu pake empat kata kasar begitu.

    dan justru pas bagian si Maya kira-kira marah(bukan cuma kesel), dia ga ada maki-maki pake bahasa kasar. Karakternya dia tuh jadi gimana sih. Bukan berarti aku nyuruh dia ngumpat pas marah jg.
    And btw, kalau maksudnya ngumpat itu buat ngelucu(karena adegan marah itu adegan yg serius, sementara wagner ngomong begitu bukan), aku bakalan bilang, itu ga lucu. Ngedenger orang maki2 itu ga lucu.

    Yah. Segitu aja. Selain itu, saya setuju sama semua komentar tante Bubuuu.
     
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    dunno what to say :iii:

    thanks :hmm:
     
  15. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    hmm...mungkin idem ama anak2 di atas tentang pengunaan bahasa kebun binatang yang mungkin rada kurang sreg karena MC nya cewek. dan pas baca chap pertama gw juga baru ngeh kalo ini cewek sih pas namanya disebut.

    trus apalagi yah, infodump dan deskripsi berlebihan nya gak terlalu menarik sih. tapi pas udah masuk ke bagian drama dsb. itu ceritanya mayan masuk ke gw. mayan sih, situ sekarang udah bisa bikin sesuatu yang rada serius tapi masih tergolong ringan buat dibaca.

    baca sampe chap 2 dan twistnya mayan menarik. ditunggu chap berikutnya.
     
  16. orange_doughnut M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 28, 2013
    Messages:
    1,738
    Trophy Points:
    57
    Ratings:
    +427 / -0
    ikut komen juga deh [​IMG]

    langsung pure impression pas selesai baca aja deh.

    Dari prolog hingga chapter 1 aku masih nggak bisa nangkep ini mau nyeritain apa. Dialognya masih nggak jelas, karakternya yg lumayan banyak muncul langsung di chapter 1. trus, entahlah, aku ngerasa, gambar yg di post #1 itu malah kerasa mendistraksi diriku untuk mengerti jalan ceritanya dari awal.

    Kerasa nggak ada hubungannya sama sekali (untuk eps. awal) dan karena itu makin mempersulit buatku buat mengerti.

    dan kalimat ini:

    klo satu kalimat aja udh bisa bkin orang lain mengerti jalan ceritanya, kan nggak perlu berparagraf2 buat ngejelasin cerita th :facepalm:

    ---

    Trus yg aku sayangkan disini juga, dialog antara si anak (Maya ya klo nggak salah) dan si ayah. Nggak ada rasa apa2. Nggak hangat, tapi juga nggak ada rasa benci atau apa gitu. blum kegambar dengan jelas bagiku.

    --

    Dan terakhir mgkin, ya, itu masalah nama binatang. Klo untuk cowok, aku sih masih fine2 aja. Tapi, klo buat cewek, hmm, selain merusak dan mengotori dunia imajinasiku, juga bisa bikin image cewek ideal di kepalaku jadi rusak. Aku nggak, nggak, nggak terima. :lempar:

    ---

    Yang menarik mungkin, masalah konflik si anak yg malu ngeliat pekerjaan ayahnya rendahan amat itu lumayan bagus buat diangkat. Meskipun aku nggak tahu, ini jadi fokusnya atau nggak.


    itu aja. semangat kk :hmm:
     
  17. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    buat mod ama sherlock, thanks ya udah komen. bingung juga sih sebenernya harus jawab gimana :iii: lagian kan itu masukan, jadi aku bales ama thanks aja yaa :hihi:

    Ponsel Wagner jatuh ke lantai, membuat suara benturan yang cukup jelas terdengar. Ajaibnya, benda itu masih menyala.

    Cahaya yang muncul dari ponsel itu memberiku sedikit penerangan. Tapi kalau boleh jujur, dalam situasi seperti ini aku lebih memilih berada dalam kegelapan saja – aku tak mau tahu sosok seperti apa yang memegang bahuku ini.

    Sekarang aku benar-benar shock. Berani sumpah tadi aku hanya sendirian didalam kamar. Ditambah lagi, kini aku juga merasakan desah napas seseorang tepat dibelakang leher. Astaga, kenapa ini? Kenapa aku diganggu hantu?

    Mamaa, tolong aku…

    ………

    Ah, baiklah, baiklah. Aku tidak boleh jadi pengecut!

    Kuberanikan diri menoleh perlahan, meski dengan tubuh gemetar luar biasa. Berkali-kali kuyakinkan diriku bahwa semua ini, sentuhan tangan ini, semuanya hanyalah sebuah halusinasi.

    Meski kemudian, saat aku berhasil menoleh, ternyata dugaanku salah. Ada sebuah telapak tangan yang benar-benar menempel di pundak.

    Mati aku!

    “Halo.”

    Jantungku berdegup kencang. Sosok itu, dia bicara.

    “Punya permintaan?”

    Ya! Tolong jangan makan aku!

    Suara yang dihasilkan olehnya terdengar persis seperti seorang gadis remaja, namun terasa sedikit sayu dengan nada suara yang rendah, datar, seolah tanpa emosi. Jika kuingat kembali, rasanya suara hantu di serial “Some Girls Dead by Monster” amat mirip dengan suara yang baru kudengar.

    Aku gugup, ketakutan. Bimbang antara melihat sosok misterius ini atau tidak.

    “Kau boleh meminta apapun, termasuk apa yang kau inginkan tadi siang.”

    Eh? Apa?

    Permintaan?

    Kabarnya, saat permintaan terbesar seseorang akan dikabulkan, itu berarti pertanda ajalnya sudah dekat. Tapi, mana mungkin aku…mati? Maksudku, kenapa harus sekarang?

    Perlahan, kurasakan tangan gadis itu mengulur. Ia memeluk tubuhku dari belakang. Ah, bagus. Kini aku tidak bisa kemana-mana.

    “Ayo, buat permintaan. Apapun itu, akan kukabulkan.”

    Mampus!

    ………

    Ini ajalku. Ya, betul. Sosok misterius ini pasti dewa kematian!

    Dan kenapa aku harus mati di saat ini? Padahal aku masih ingin hidup. Masih banyak hal yang belum kulakukan. Beberapa diantaranya berkaraoke tujuh jam, lalu belanja sampai kakiku bengkak, lalu mendapat pacar yang tampan, lalu…

    Eh, kenapa aku malah memikirkan hal itu, sih?

    “Ayo, sebutkan.” Katanya lagi. “Kau punya perminta-“

    “Uwaaah!”

    Aku meronta, mencoba lepas dari pelukannya dan berlari sejauh mungkin. Kedua tanganku bergerak tak tentu arah dengan tenaga kuda. “Lepas! Lepas! Lepaskan!” Jeritku, dan…

    Berhasil!

    Aku lepas! Akhirnya…

    Sontak aku berlari. Berkat cahaya ponsel Wagner di lantai, aku bisa melihat pintu keluar. Kini tinggal turun ke lantai bawah melalui tangga disebelah kiri. Tapi setelah itu kemana?

    Kamar ayah! Ya, kamar ayah! Aku akan minta bantuan ayah! Kuharap ia bisa mengusir dewa kematian itu.

    Namun dalam kegelapan, tentu saja melangkahpun menjadi sulit. Dan entah bagaimana, tiba-tiba saja lantai dibawahku menghilang.

    Ah, bukan. Bukan lantainya yang menghilang. Ini tangga turun. Aku melangkah diatas tangga turun.

    “Waah!”

    Kurang persiapan, gelagapan, akupun tergelincir. Kurasakan kepalaku membentur anak tangga. Terjatuh, turun, berguling, dan terus turun. Kepalaku kembali menghantam sebuah anak tangga dengan keras. Rasanya sakit luar biasa.

    Dan saat semuanya berhenti, ada semacam cairan pekat yang mengalir dari kepalaku.

    Ugh, sakit sekali.

    ………

    Sakit, lemas, sesak…

    Kan? Benar kataku. Ini hari kematianku.

    ***​

    “Maya!”

    “Maya!”

    Ah, aku sudah mati ya?

    “Maya!”

    Eh, ayah? Kenapa ia berteriak-teriak begitu? Dan lagi, ini dimana? Ruangan ini sempit sekali.

    Kuperhatikan baik-baik kondisi yang ada disekelilingku. Ada ayah, dua orang suster, seorang gadis, lalu supir dan deru mesin. Cahaya putiih memancar dari seluruh ruangan. Asumsiku, aku berada dalam sebuah mobil ambulans.

    “Pak, sabarlah. Kepanikan anda sama sekali tak membantu!”

    “Ugh, suster, jangan suruh aku diam! Dia anakku yang-“

    “Jika anda ingin anak anda selamat, bantulah kami dengan tetap tenang!” Sang perawat disebelahnya berteriak, kesal. Ayah lantas menurut, diam, meskipun wajahnya tampak merah menyala seolah masih ingin bicara.

    Dan, hei, ada aku yang sedang terbaring. Kepalaku mengeluarkan banyak darah.

    ………

    Eeeehhh?

    Aku melihat diriku? Astaga, aku benar-benar sudah mati.

    Berbagai perasaan muncul saat aku sadar bahwa arwahku kini keluar dari tubuh. Yang paling pertama muncul di pikiranku adalah perasaan antara percaya atau tidak. Setelahnya muncul pula perasaan kesal, sedih, penyesalan...

    Semuanya bercampur aduk.

    Aku benar-benar masih belum ingin mati. Usiaku bahkan belum mencapai dua puluh.

    Aku masih ingin hidup…

    “Sudah bangun?”

    Ah, suara itu.

    Suara gadis misterius itu kembali terdengar, dan lagi-lagi muncul dari samping kanan tubuhku.

    Menoleh ke sumber suara, bisa kurasakan bahwa wajahku kini sayu, sedih. Dibalik tubuh seorang suster yang sedang menjagaku, tampak sesosok gadis misterius yang duduk dengan santai. Kedua tangannya mengepal didepan dada.

    "Hai,"

    Wajah gadis itu amat cantik. Warnanya kuning langsat cerah dengan rambut hitam panjang yang tampak elegan. Ia menatap tubuhku yang terbaring dengan tatapan kosong, hampa. Meskipun demikian, sebuah senyum tipis muncul saat ia menoleh padaku yang berada diluar tubuh.

    “Pasti menyakitkan, ya?”

    ………

    “Apa aku sudah mati?”

    Gadis itu tak menjawab pertanyaanku. Alih-alih, ia malah mengatakan sesuatu yang lain.

    “Terjatuh dari tangga, itu sudah menjadi takdirmu.” Katanya lugu. “Hari ini, selepas makan malam, kau akan jatuh dari tangga rumah.”

    Aku sama sekali tak mengerti apa yang ia katakan. Perlahan, gadis itu bangkit berdiri, lalu melangkah mendekatiku. Ajaib, tubuhnya menembus para suster. Aku mencoba melakukan hal yang sama pada beberapa orang didepanku.

    Astaga!

    Sentuhan tanganku menembus tubuh mereka!

    Sang gadis tersenyum. “Kau tidak bisa menyentuh mereka. Kau kan arwah.”

    Ah, begitu…

    Jadi aku benar-benar sudah mati, ya?

    “Kau harus menerima takdirmu sekarang.”

    Menerima kematianku? Ah, tidak. Tidak mau. Aku masih belum mau mati. Aku masih ingin hidup. Aku…aku…

    Aku…

    ………

    …sudah mati.

    Rasanya sungguh menyakitkan. Menyadari bahwa aku sudah mati benar-benar membuatku shock.

    Tapi, tak ada yang bisa kulakukan.

    Baiklah. Aku harus belajar menerimanya. Dari semua kenyataan yang kuketahui, aku tak perlu lagi mempertanyakan dan bimbang atas apa yang terjadi padaku. Meskipun berat, aku harus kuat menerima kenyataan ini. Lagipula, aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa hidup kembali. Mereka yang sudah mati seharusnya tetap mati, itu yang pernah ibu katakan padaku.

    Meskipun kematianku, ini semua terjadi juga karena gadis misterius itu. Andai dia tidak muncul di kamar, pasti aku masih hidup.

    Ugh, mengingat hal itu aku jadi kesal.

    Sosok misterius itu kini berada dihadapanku, tersenyum sayu. Wajahnya manis luar biasa dan tampak tanpa dosa. Namun demikian, hal itu justru membuatku kesal bukan main. Maksudku, semua ini, aku bisa mati kan karena dia.

    Sialan…

    “Jadi, apa perminta-“

    “Permintaangun gundulmu!” Kataku sambil meninju sosok gadis misterius tersebut. Kupikir, tinjuku takkan mengenainya karena aku hanya arwah.

    Dugaanku meleset. Tinjuku mengenai pipi kirinya!

    Astaga…

    Aku memukul dewa kematian. Kalau Mahadewa tahu hal ini, aku pasti dikirim ke neraka.

    “Apanya yang takdir? Kalau kamu tidak muncul, aku kan masih bisa hidup!” Teriakku keras-keras. Dan sebenarnya, aku masih ingin meninjunya lagi.

    Mmn, andai saja ia tak menangis keras-keras.

    “Hei, kenapa menangis?”

    Perlahan, sosok itu menjawab terbata-bata, “A…aku kan hanya menjalankan tugas! Huwaaa…”

    ………

    Ampun, deh…

    ***​

    “Jadi, tolong jelaskan padaku semuanya, ya?”

    “Aku hanya menjalankan tuga-“

    “Iya, iya, mengerti!” Teriakku kesal. “Maafkan aku sudah meninjumu.”

    Ragu-ragu sosok itu mengangguk sambil mengusap-usap pipi kirinya. “Jadi, siapa kau?" Kataku lagi. "Dan kenapa kau muncul di kehidupanku? Apa tugasmu?”

    Gadis itu mengucek kedua matanya sebelum menjawab perlahan. “Kanae. Namaku Kanae.”

    “Kanae?”

    “Bahasa Jepang untuk terkabul, atau anugerah.”

    Baiklah. Selain memiliki kepribadian yang aneh, gadis ini juga memiliki nama yang tidak kurang anehnya.

    “Tanae, ya?”

    “Kanae!”

    Aku manggut-manggut. “Jadi,” kataku lagi. “Apa tugasmu sebenarnya, Tanae?”

    Dia tak langsung menjawab. Alih-alih, ia malah kembali terisak, hampir menangis.

    “Baiklah, Kanae, Kanae.” Kataku menggerutu sambil menghela napas panjang. Dengan nada sedih, gadis itu menjawab, “Kau ini wanita, tapi tingkah lakumu mirip sekali dengan preman stasiun.”

    Buset!

    ………

    “Baiklah, Kanae,” kataku sok manis. “Tolong jelaskan padaku, kenapa kau ada disini. Tolong ya?”

    Kini gadis itu mengangguk. Ampun, aku malas kalau harus berpura-pura baik pada malaikat pencabut nyawa ini. Dan juga, ia yang membunuhku.

    “Kanae hanya menjalankan tugas saja. Kanae dikirim kemari untuk mengabulkan permintaan Maya.”

    Ah…

    Itu juga satu hal yang tidak kumengerti. Mengabulkan permintaan, untuk apa?

    “Kau mau mengabulkannya?”

    “Mmm,” Ia mengangguk. “Apapun, kau boleh meminta apa saja. Kalau tidak salah, kau ingin membuat ayahmu menjadi pilot, kan?”

    ………

    “Tolong jelaskan padaku,” kataku dengan nada sedikit tajam, penasaran. Bagaimana mungkin ia tahu keinginanku tadi siang?

    “Siapa kau sebenarnya?”

    “Kanae.”

    Ampun...

    Rasanya aku ingin mengambil pemukul baseball saja. Tentu aku tahu namanya! Si gadis Tanae ini…

    “Beberapa orang memanggilku dewi pengabul,”

    Eh?

    “Beberapa yang lain memanggilku-”

    Aku menelan ludah, memotong cepat. “Fortunia?”

    Gadis itu mengangguk.

    penulisanku masih belum pullih :hiks: maafkan daku :nangis:
     
    Last edited: May 6, 2014
  18. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    ampun, gak ketebak deh, :XD:
    ane gak nyangka ia bisa ketemu dewi fortunanya langsung.
    rada lucu juga nih dibeberapa bagian.

    penulisan keknya memang belum pulih nih kakak
    tapi ceritanya garing juga :garing:
     
  19. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    ^

    yup, gagal booming di awal yang pastinya bikin pembaca bakal eneg buat nerusin bacanya :hiks:

    yasudahlah, gapapa, aku terusin dulu :kecewa:
     
  20. Tezukayumu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 24, 2011
    Messages:
    919
    Trophy Points:
    122
    Ratings:
    +693 / -0
    Saya ikutan komen senpai

    Setuju sama Merp san dan senpai yang lain, saya kok kesannya malah menangkap MC nya itu cowo ya :hehe:
    Soalnya sekasar-kasarnya cewek kok ga sekasar itu tata bahasanya. Bisa dibilang sisi maskulinnya beneran keliatan banget.

    Kalau soal cerita bagus kok, senpai. Bikin penasaran, humornya juga pas.
    Ditunggu kelanjutannya
     
  21. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Kalau aku tidak salah, kau ingin agar ayahmu bisa menjadi pilot.”

    Aku mengangguk dalam-dalam, menatap sang gadis dengan wajah serius.

    Pertemuanku dengan gadis ini benar-benar diluar akal sehat. Siang tadi, aku sempat berpikir bahwa Fortunia akan datang padaku dan mengabulkan apa yang kuinginkan. Saat jatuh tertidur, semua yang kulamunkan muncul dalam mimpi. Dan kini, hanya beberapa jam setelahnya, aku bisa bertemu dengannya secara langsung. Jika dipikirkan baik-baik, aku ini benar-benar beruntung. Ah, andai saja aku masih hidup.

    Tapi, tunggu dulu.

    “Jika permintaan itu terkabul,” kataku perlahan. “Apakah aku bisa kembali hidup?”

    “Hmm, kembali hidup ya?”

    Kanae bergumam, menundukkan kepala layaknya orang berpikir. “Setahuku, bukankah kau ingin kembali ke masa lalu dan membuat ayahmu lulus ujian pilot? Iya kan?”

    Akan lebih praktis kiranya jika ayahku langsung menjadi pilot tanpa proses, tapi idenya juga tak melenceng dari apa yang kuinginkan, sih. Eh, tapi, tunggu dulu. Jawaban Kanae tak sesuai dengan pertanyaanku.

    Ah, dasar…

    “Kurang lebih begitu sih,” jawabku. “Kalau bisa, aku ingin hidup juga, jadi aku bisa merasakan bagaimana kehidupanku berubah saat ayah menjadi pilot.”

    Mendengar ucapanku itu Kanae kemudian tersenyum.

    “Kau akan kembali hidup, di era ayahmu masih muda. Kau akan membantunya meraih apa yang ia inginkan, dan mungkin…” ia menghentikan kata-katanya sejenak, menatap jauh keatas seolah orang melamun.

    “…mungkin saja, kau akan kembali hidup. Di masa ini, dengan ayah seorang pilot.”

    “Ah,” kataku menjawab, senang. “Benarkah itu? Aku memiliki kesempatan untuk menikmati semua itu?”

    “Mungkin, ya.” Jawabnya. “Lagipula, secara teknis kau bahkan belum mati, karena itulah kau dibawa ke rumah sakit. Yah, aku bukan dewa kematian, sih.” Kanae kembali berkata dengan senyuman kecil yang terpasang di wajah.

    Entah apa yang harus kulakukan, yang jelas kini aku benar-benar merasa lega. Bukan hanya karena aku masih hidup. Ayah, bisa memenuhi mimpinya yang selama ini hanya ada dalam pikirannya.

    “Aku tak tahu apakah kau akan mati disini atau tidak. Yang jelas, aku tahu apa permintaanmu, dan sebagai dewi pengabul keinginan, aku harus membantumu.”

    “Ya, ya, ah, betapa menyenangkannya!” katakku lega. “Terima kasih, Tanae-“

    “KANAE!”

    “Ah, baik. Kanae.”

    Masih tertawa riang, kini pikiranku melayang jauh, membayangkan bagaimana dengan mudahnya aku melakukan hal-hal yang kuinginkan saat ayah menjadi pilot. Cta-citaku untuk belanja sampai kakiku bengkak pasti akan menjadi perkara mudah. Plus, kini aku mendapat satu kesempatan langka : aku bisa membalas hinaan yang sering diberikan Tuan Anton.

    “Meskipun demikian, ada satu kondisi yang harus kau patuhi, dan kuminta kau memikirkannya baik-baik.”

    “Sebutkan saja, Kanae. Akan kulakukan.” Balasku singkat. Kanae menghela napas, menggerutu. “Yah, sesuai dugaanku.”

    Aku tak mengerti apa maksud Kanae dengan ucapannya. Namun demikian, kubiarkan saja ia dengan kata-katanya.

    “Dengar. Kondisi yang kumaksud cukup mudah. Apa yang sudah kau minta, tak dapat kau ubah atau kau batalkan.”

    ………

    “Bagaimana?”

    Seperti membeli mebel di toko furniture saja. Sialan. Ini memberi permintaan atau memberi kredit lunak, sih?

    “Tidak masalah.” Jawabku singkat. “Kenapa pula aku harus mengkhawatirkan hal itu? Aneh.”

    Kanae tersenyum singkat, kini memandangikku dengan tatapan mata yang sedikit memincing. Dengan lugas ia kembali berkata, “banyak orang yang bilang begitu padaku, dan hampir seluruh dari mereka menyesal telah melakukan permintaan.”

    “Eh?”

    Menyesal? Kenapa?

    Mata Kanae masih menatap mataku tajam, dan ia kembali mengulangi pertanyaannya.

    “Kuulangi sekali lagi, maukah kau kembali ke masa lalu untuk mengubah takdir ayahmu dan juga takdirmu, ya atau tidak. Tolong pikirkan baik-baik."

    Aku tak mengerti dengan apa yang baru Kanae katakana tentang penyesalan. Apakah semua orang yang meminta sesuatu hal pada Fortunia selalu menyesal? Ah, aku tak mengerti. Kenapa harus menyesal dengan keinginan yang terpenuhi?

    “Tak masalah bagiku jika kelak kau tak meminta apapun, aku akan pergi dan meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini. Tetapi jika kau benar-benar ingin ayahmu menjadi pilot, akan kukabulkan. Saat ini juga, akan kukirim kau ke masa lalu untuk membuat cita-cita ayahmu tercapai.”

    ………

    “Kenapa harus ada syarat seperti ini, sih?”

    “Yah, memang begitu peraturannya.”

    “Aturan kok seenaknya begitu?”

    “Kalau kau tak suka ya sudah, mudah saja bagiku.” Balas Kanae sambil kemudian membalikkan badannya. Tak lama setelahnya ia mulai berjalan menjauh. “Jika kau tak mau mematuhinya,” katanya lagi. “Aku tak akan mengabulkan permintaan-“

    “Ah, sekarang tunggu sebentar.” Aku memotong cepat. Kanae kembali menoleh dan berkata.

    “Jadi, bagaimana?”

    Aku memang benar-benar tak mengerti maksud Kanae, terutama kalimat terakhir yang ia bilang padaku. Tapi siapa peduli?

    Bagaimanapun, aku akan membuat ayah menjadi pilot. Aku ingin semua mimpinya tercapai, dan aku ingin kehidupanku menjadi lebih baik. Jika satu-satunya cara untuk ini hanyalah kembali ke masa lalu dan mengubahnya, hal itu akan kulakukan. Orang-orang mungkin bilang bahwa mengulang waktu adalah hal yang mustahil, tapi siapa peduli? Kelak, jika ayah menjadi orang sukses, aku juga akan bahagia. Wagner juga takkan bertingkah macam-macam.

    Dan ibu, ibu juga mungkin bisa sembuh dari penyakitnya dulu. Jika ayah memiliki cukup uang, beliau bisa membawa ibu berobat ke rumah sakit yang bagus. Disana ibu bisa mendapat perawatan yang lebih layak.

    “Sudah kau putuskan?”

    Aku menghirup napas panjang, menelan ludah. Kupejamkan mataku erat-erat.

    “Lakukan saja.”

    “Kau yakin?”

    Aku mengangguk, mantap.

    Mendengar jawabanku itu Fortunia kembali tersenyum. “Pejamkan matamu.” Katanya perlahan. “Kita akan kembali ke masa lalu. Aku akan membuat portal waktu yang bisa memindahkan kita berdua. Kau tak boleh melihatnya.”

    “Kenapa?”

    “Kejutan, bodoh!”

    ………

    “Saat kau membuka mata nanti, kau sudah ada di masa ayahmu masih sekolah dan terkejut, lalu aku akan bilang ‘surprise!’ Keren kan?”

    Ah, terserah kau saja.

    “Oke, siap?”

    “Mmn,” aku mengangguk singkat sebelum mulai memejamkan mata. “Lakukan.”

    “Segera, sayang.” Jawab Kanae. Penekanan kata “sayang” yang diucapkannya sebetulnya membuatku ingin muntah, tapi biar sajalah.

    “Epoh Detnag!”

    Wow, gadis sihir! Yang baru saja dia ucapkan pasti mantera sihir!

    Tak begitu lama setelah sang gadis mengucapkan mantera, saat kemudian tubuhku terasa amat ringan. Semua yang ada disekitarku seolah tersedot kedalam sebuah dimensi yang entah apa. Aku tak bisa tahu karena aku tak bisa membuka mataku. Dan sebenarnya, saat ini mataku terpejam bukan karena aku tak boleh mengintip sebelum semuanya selesai, melainkan karena aku tak bisa membuka keduanya. Kucoba berkali-kali mengintip keadaan, namun mata ini tetap terpejam.

    Argh, lantas apa yang dia maksud kejutan jika pada akhirnya aku juga tak bisa membuka mata? Dasar gadis bodoh.

    Tak lama setelahnya aku merasa bagian-bagian tubuhku kembali utuh. Perasaan melayang yang sempat kurasakan juga ikut berhenti. Merasa perjalanan waktu yang kulalui sudah selesai, aku membuka mata yang kini terasa begitu mudah untuk kugerakkan.

    Yang tampak dihadapanku kemudian adalah sebuah lorong rumah sakit, lengkap beserta perawat dan dokter-dokter yang dengan asyiknya lalu lalang. Kanae berdiri disebelah kananku, menggoyang-goyangkan badannya dan mengecek jam tangannya.

    Entah bagaimana, rumah sakit ini terasa begitu familiar. Ah, ya. betul. Ini rumah sakit tempat ibuku dulu dirawat. Tapi, kenapa aku bisa ada disini?

    “Anu, Maya,” Kanae berkata perlahan. Aku menoleh, melihat wajahnya yang sedikit pucat bercampur panik.

    “Maaf ya, sepertinya kita tiba di masa yang salah. Hehehe…”

    ………

    Dasar dewi kelas tiga!
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.