1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

FanFic Ragnarok: Unreality

Discussion in 'Fiction' started by Elmion, Mar 3, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Elmion Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Mar 3, 2014
    Messages:
    14
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +12 / -0
    Ini adalah rewrite. Tapi saya masih akan meneruskan ceritanya. Tadinya mau ngepost ulang di sini sekalian, tapi begitu ceritanya saya baca lagi...

    ternyata...

    penulisan saya dulu... :madesu:

    Mungkin menurut anda yang baru jadi TAMBAH JELEK LAGI, tapi setidaknya saya lebih merasa damai dengan jelek yang ini.

    Mohon maaf karena sudah membiarkan cerita itu terbengkalai begitu lama, tapi begitu yang ini sampai di titik yang sama seperti dulu (Umbala) ia bakalan lanjut ke arah yang kurang lebih seperti yang awalnya direncanakan. Jadi tidak usah khawatir. Terima kasih atas pengertiannya.

    Selamat datang di fanfiction saya. Untuk yang tidak tahu Ragnarok Online, tenang saja, anda tidak perlu mengenal game itu dengan terlalu mendalam untuk mengerti cerita ini. Saya hanya meminjam setting dan aturan dunianya secara garis besar untuk mengangkat cerita saya sendiri dengan karakter saya sendiri.

    Dan untuk yang tahu Ragnarok Online, mohon maaf jika adaptasi gamenya terlalu longgar, karena saya sendiri cuma nubi RO yang main accountnya masih nyangkut sebagai archer yang ngehunt Greatest General di payon field dulu...

    2029. Tempat tidak relevan.

    Hujan asam turun dan menyamarkan suara kota, sehingga suara tembakan dan rintihan tidak terdengar. Ini pun tidak relevan.

    Di sebuah ruangan dingin di bawah tanah, seorang gadis terbaring di meja. Dia dingin, basah, dan sekarat, dikelilingi banyak sosok. Tapi mereka tidak menolongnya. Mereka melihat, mempersiapkan peralatan, berbincang satu sama lain.

    Gadis itu melihat langit-langit yang terang, tidak memikirkan apapun kecuali sedikit kekecewaan bahwa setelah semua yang dia lalui, akhirnya begini juga. Lalu dia mati dan operasi pun dimulai.
     
    Last edited: Mar 17, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Elmion Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Mar 3, 2014
    Messages:
    14
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +12 / -0
    Angin membangunkan gadis itu dari mautnya.

    Hal yang pertama kali dilihatnya adalah sepatu bot coklat. Yang pertama kali diciumnya, bau tanah setelah hujan. Yang pertama kali dirasanya, rumput yang menggelitik. Yang pertama kali didengarnya, "Halo."

    Dia berguling terlentang diterpa panas dan terang. Seorang pria berdiri di dekatnya, tapi wajahnya tak terlihat karena silau matahari. Pria itu mengulurkan tangan, dan gadis itu mengambilnya.

    Begitu dia berdiri, lututnya melemas dan dia jatuh ke dekapan pria itu. Sang pria memegang bahu gadis itu, menyeimbangkannya. Segalanya buram.

    "Selamat pagi, Judith." Pria itu berkata, lalu dia mengulurkan tangan di depan muka sang gadis. “Ini warna apa?”

    “Hijau,” Judith menjawab, setengah sadar.

    Dia mengulurkan tangan yang satunya. “Ini warna apa?”

    “Biru.”

    Kedua sarung tangan pria itu kini berubah menjadi putih. “Raba tanganku. Rasanya kasar atau mulus?”

    “Kasar.”

    Dia merogoh coklat dari kantong jasnya dan memberinya ke Judith. “Makanlah. Bagaimana rasanya?”

    “Manis,” Judith menggumam.

    “Coba cium coklatnya. Baunya seperti apa?”

    “Harum.” Judith mengendus. “Seperti bunga.”

    “Oke. Sekarang aku akan melepasmu. Cobalah berdiri tegak.”

    Badannya mengayun-ayun dengan limbung dan Judith nyaris roboh, tapi pada akhirnya dia berhasil.

    “Sekarang berjalanlah ke depan. Pelan-pelan.”

    Dengan canggung dia menaruh satu kaki di depan yang lain, lalu lagi, lalu lagi.

    “Bagus sekali. Yap, semua tes lancar. Kamu hebat lho.”

    Judith berkedip. Perlahan, dia menalar dunia sekelilingnya. Hamparan warna biru itu adalah laut, gumpalan hitam itu adalah batu di pinggir tebing, dan pria yang memegangnya adalah orang asing.

    Judith membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar.

    "'Ini di mana?'" Pria itu tersenyum. "Ini Rune-Midgard. Kamu adalah Judith. Aku Shigel," pria berambut putih itu menghitung dengan jarinya, satu-persatu. "Dan kamu sudah mati."

    "Oh," Judith bersuara. "Ini di mana?"

    "Rune-Midgard," Shigel mengulang.

    "Itu di mana?"

    "Dunia maya.”

    Sunyi. Lalu: “Kamu bilang aku sudah mati?”

    “Ya. Maaf sekali.”

    "Eh, santai saja. Jadi ini Surga?"

    “Menurutmu?"

    Kalau pikiran Judith sedang jernih, dia akan berpikir, 'tempat ini tidak mirip surga'. Lalu dia akan berpikir lagi, 'tapi siapa yang tahu surga seperti apa?' Dia mengangkat bahu.

    “Bukan, ini bukan surga,” Shigel mengkonfirmasi.

    “Hm. Tapi kalau aku sudah mati, kenapa aku masih hidup?”

    “Singkatnya, kami mengubah kesadaranmu menjadi data. Anggap saja badanmu sudah mati, dan kamu sekarang adalah roh yang tinggal di dalam komputer.”

    “Jadi ini di dalam komputer?”

    “Anggap saja begitu.”

    Judith diam lama, melihat langit, bumi, laut, lalu tangannya sendiri seperti ragu kalau mereka sungguhan. “Teknologi ini canggih sekali,” dia berdecak kagum.

    “Terima kasih,” Shigel membungkuk kecil.

    "Oke. Aku sudah mati dan aku berada di dalam komputer. Jadi sekarang bagaimana?" Judith bertanya.

    Shigel mempertimbangkan ini sejenak. “Kamu pasti lapar, kan?”

    ____________
    Chapter 1-1

    Dead Entry



    Tak lama kemudian, makan siang seorang Acolyte, seorang Mage dan seorang Thief hancur dengan spektakuler.

    “Oh,” sang Acolyte berkata.

    “Anjing ngepret!” sang Thief menyumpah kaget.

    “Astaganaga, Shigel!” sang Mage memekik. “Seriously? Seriously?!

    “Maaf, maaf,” kata Shigel tersipu sambil turun dari meja mereka. “Aku pesankan yang baru buat kalian. Judith, kamu bisa turun?”

    “Ya,” Novice melakukan demikian dengan perlahan. Badannya terasa ringan dan bumi terombang ambing di bawahnya.

    “Kenalkan. Semuanya, ini Judith. Judith, Ini Reed, Justin dan Ruth. Mereka sama seperti kamu--oh, mas, bisakah saya minta pesanan ini lagi? Saya tak sengaja salah tempat teleport. Tolong ya.”

    Ketiga orang itu menatap Judith. Mata hijau Judith balas menatap mereka. Dia mencoba merapikan rambut pirang pendeknya yang berantakan tapi hasilnya malah lebih hancur. “Halo,” sapanya sambil mengangkat tangan. “Maaf ya, makanan kalian jadi berantakan.”

    “Eh, nggak apa-apa. Itu kan Shigel yang bego. Kenalkan, aku Ruth,” sang Mage bersalaman dengan senyum lebar. Rambut pinknya yang sepinggang bergoyang dengan setiap tindakan kecil. Demikian juga dadanya yang scara praktis hanya ditutup bra. Mukanya yang cantik dan polos seperti mengacuhkan betapa seronok kostumnya.

    “Aku Reed,” sang Acolyte berambut merah berkata. Mukanya datar, suaranya rendah, bahasa tubuhnya netral; tapi sorot matanya tajam dan tidak takut beradu pandangan. Judith merasa diperhatikan dengan seksama sampai ke dalam jiwanya, dan dia harus mengalihkan pandangan ke orang berikutnya.

    “Gua Justin. Salam kenal,” sang Thief menjabat tangan Judith dengan ramah. Dia terkesan baru saja keluar dari lubang pasir. Rambutnya, matanya, kulitnya dan kostumnya berwarna coklat, dan noda debu mewarnai penampilannya di sana-sini.

    “Kalian sama-sama sudah mati kayak gua?” Judith langsung ke pokok permasalahan.

    To the point, aren't you?” Ruth tertawa. “Sayangnya, begitulah.”

    “Gua suka gaya lo, Jud,” Justin menyeringai. “Ayo, duduk. Kita lagi makan nih. Lo juga pesan sesuatu lah.”

    “Thanks,” Judith mengambil kursi yang ditawarkan Reed. Shigel bergabung dengannya setelah meja yang berantakan telah dibersihkan para pelayan.

    “Silahkan menunya,” Shigel menawarkan.

    “Aku pesan apa yang kamu pesan,” Judith menjawab langsung.

    “Jangan begitu. Kamu bakal nyesel kalau ikut seleranya Shigel,” Ruth menghimbau, merampas menunya dari tangan Shigel. “Sini. Kamu lebih suka ikan bakar atau goreng?”

    “Uh, goreng?”

    “Mau sdakhel atau undrestniva?”

    “Yang murah aja,” Judith membalas, hanya setengah yakin Ruth berbicara soal apa.

    “Sip. Mau minum apa?”

    “Air putih aja.”

    “Yang bener? Air aja? Di sini ada jus yang enak, lho. Yang--”

    “Nah kan. Ruth mulai dah,” Justin terkekeh.

    “Niatnya baik,” Reed menimpali. “Tapi metodenya masih bisa diperbaiki. Ngomong-ngomong, aku merekomendasikan jus Poring.”

    Justin mengernyitkan muka ke arah Reed.

    “Enak lho.”

    “Bagaimana sejauh ini? Kamu takut nggak waktu kamu pertama kali bangun?” Ruth langsung bertanya setelah memesan.

    “Daripada takut gua lebih kaget aja. Tiba-tiba gua ada di sini dan gak inget apa-apa. Terus di depan gua ada orang aneh yang minta dipegang-pegang. Jujur aja gua saking bingungnya sampe ga mikir sih,” Judith memaparkan.

    “Wah, Shigel parah. Lu apain dia Gel?” Justin menyikut pria berambut putih di sebelahnya.

    “Aku cuma melakukan tes yang biasa,” Shigel membela diri, tidak ingin terdengar malu tapi tetap saja gusar.

    “Pedofil lu Gel,” sang Thief tidak memberinya istirahat.

    “Justin!” Ruth menghardik.

    “Emang gua kelihatannya muda gitu?” Judith melihat ke bawah. Bahkan dengan dua strap ransel menyilang persis di tengah, di balik kostum Novicenya tidak ada tanda-tanda dada yang substansial. “Eh yaelah gua ternyata tepos.”

    Justin lantas terpingkal-pingkal sementara mulut Ruth terbuka kebingungan. “Gapapa Jud, dada rata juga punya pesona kok--Adaow!”

    Tamparan Ruth di punggungnya Justin terdengar cukup keras untuk meninggalkan memar. “Kamu itu ya! Tau etika nggak sih! Dasar maling jalanan!”

    “Iya, iya, bercanda doang. Ampun mbak,” Justin tertawa bahkan ketika dihantam bertubi-tubi.

    “Tapi apa yang dikatakan Justin benar. Banyak pria di dunia ini yang menyukai cup size B ke bawah secara eksklusif,” Reed mendukung temannya.

    Judith tidak tampak terhibur. “Eh, Shigel. Kenapa gua dapet to--”

    Makanan datang bersamaan dengan ekspresi horor di muka Ruth yang mengira dia akan mendengar Judith mengatakan 'toket kecil' dengan begitu santai.

    “Mari makan,” Shigel tertawa canggung, menyelamatkan situasi. Tapi tidak untuk lama; ternyata Judith makan dengan begitu cepat dan buas sehingga mereka yang beradab takjub melihatnya.

    “Ah. Enak,” sang Novice mendesah puas, lalu bersendawa. Porsinya habis di saat Ruth baru meraih kentang gorengnya yang ketiga.

    “Yang barusan itu tidak manusiawi,” Justin mengagumi.

    “Gua cuma laper,” Judith berkata seolah-olah ini adalah penjelasan yang dapat diterima.

    “Mungkin itu bugnya,” Reed berkata.

    “Bug?”

    Semua gerakan di meja berhenti. Semua terlihat ingin bicara tapi ragu.

    “Proses konversi ke dalam game ini tidak sempurna,” sang Acolyte berkata, menerobos keheningan. “Sebagai hasilnya beberapa dari kami punya kecacatan. Ada yang tidak bisa merasakan panas atau dingin. Ada yang badannya tidak bisa tumbuh. Justin tidak bisa tidur, dan aku punya narkolepsi. Hal seperti itu.”

    “Nggak bisa tidur?” Judith menoleh ke Justin. “Maksudlu sama sekali nggak bisa, atau--”

    “Kalo gua mau tidur harus pake obat bius dulu,” Justin tersenyum tipis. “Bukan masalah besar, kok.”

    “Itu masalah serius, kali. Apa lo ga stres?”

    “Nggak juga,” Justin membubarkan kekhawatiran Judith, menghindari pandangan gadis itu. “Lama-lama terbiasa.”

    Judith memperhatikan Justin tanpa menunjukkan percaya. “Terus narkolepsi itu apa?”

    “Tendensi untuk tiba-tiba tidur atau pingsan. Kurang lebih kebalikannya Justin,” Reed menjawab.

    “Terus Ruth?”

    “Itulah maksudku 'beberapa'. Sejauh ini Ruth tidak menunjukkan kecacatan apapun. Dia sempurna.”

    “Dibilang sempurna juga nggak sih,” Ruth berkata, suaranya kecil.

    Angin berhembus kencang, mengibarkan bendera-bendera yang digantung di tetalian antara rumah. Bersamanya datang amis laut dan debur ombak yang disertai koakan burung.

    “Yah, kalau bugnya Judith cuma kerakusan sih, itu masalah sepele, ya,” Justin kembali makan, mengumbar senyum ke semuanya. “'Toh Shigel kaya, tinggal minta ditraktir tiap hari.”

    Shigel mendengus. “Benar juga, ya.”

    Pria itu juga tersenyum, tapi di sinar matanya ada penyesalan.

    “Jadi kita semua ini kelinci percobaan?” Judith bertanya.

    Pertanyaan seperti itu biasanya disuarakan dengan menuduh atau kesal, tapi yang ini tidak. Meski begitu, Shigel sudah terbiasa memilih kata-katanya. “Prosesnya belum sempurna. Tapi setiap kali kami melakukannya, hasilnya lebih baik, lebih mendekati kesempurnaan itu. Kalau kami beruntung, kamu adalah percobaan yang terakhir,” dia menjelaskan.

    “Begitu,” Judith mengangguk-angguk. “Kalo gitu gua ini nomor berapa?”

    “Kamu itu arketipe nomor empat belas.”

    “Empat belas? Kalian empat belas kali masih belum bisa juga?” Judith memicingkan mata.

    “Maaf sekali, Judith. Tapi prosedurnya susah. Jauh lebih susah dari yang bisa kamu bayangkan.”

    “Jangan tersinggung, Gel. Gua juga tau prosesnya pasti susah. Namanya juga ngidupin orang mati,” Judith mendorong pundaknya, nyengir. “Gua bahkan belum bilang terima kasih ke lo. Thanks ya.”

    “Heh. Kembali. Kamu sudah nggak mau pesan lagi? Mungkin mau coba sup Anemone? Vadon lada hitam?”

    “Jus Poring juga enak,” Reed menimpali.

    “Reed,” Ruth memijat pangkal hidungnya.

    Justin mencekat tawanya di tenggorokan.

    “Gak ah. Kalo kekenyangan susah gerak,” Judith menepuk perutnya.

    “Baiklah. Kalau begitu kita langsung saja jalan,” Shigel berdiri seraya melenyapkan makanan dan kursi yang baru saja dia duduki dengan kibasan tangan.

    “Ke mana?” Judith bertanya.

    Combat testing. Kamu mau, kan? Aku lihat dari tadi tanganmu meraba-raba pisau terus.”

    “Ups. Kelihatan ya.”
     
    Last edited: Mar 3, 2014
  4. Heilel_Realz012 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2011
    Messages:
    811
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +825 / -0
    iseng lewat ke fiction nemu fanfict RO. :matabelo

    itu tritnya dobel. coba minta ke mod buat deleted trit yg satunya lagi.
    coba dikomentari, karena wa pernah main RO juga.

    jadi ceritanya nempatin jiwa ke dunia game? mirip kayak manhwa yureka / dorama mirai nikki?
    oke jadi difokusin di dunianya yang baru yaitu virtual ragnarok online.

    judith seorang novice. klo dari penggambaran awal-awal ini beneran pemula banget hingga harus diajarin cara berdiri dan jalan.
    judith itu kayak anak kecil banget. cara percakapannya terlampau kayak cerita buat kanak-kanak walau ada kata ngampret segala. tiba-tiba malah ngomong pake gua itu judith. apa yang ditangkep sih ini kayak unite orang yang dah mati dalam satu meja dengan job bervariasi dari ragnarok online.

    yg menarik.. ternyata ada bugnya untuk tiap karakter yang membuat setiap orang memiliki ciri khas perbedaan.
    gaya bahasanya pake lu gw. klo pribadi wa kurang suka sih gaya percakapannya. di awal pake bahasa yang kesannya baku, tiba-tiba berubah.
    tapi ya gpp. dilanjut ceritanya.

    tinggal 1 yang penasaran. klo mati di dunia virtual ini gimana? judith sendiri IRL-nya dah sekarat.
    apa bakalan ada kontinyu game. atau di revive sama priestess atau acolyte?
     
    Last edited: Mar 4, 2014
  5. Elmion Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Mar 3, 2014
    Messages:
    14
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +12 / -0
    Hasil dari combat testing untuk arketipe nomor enam belas, yaitu Judith, adalah sebagai berikut:

    “Semua fungsi motorik berjalan. Kekuatan, kecepatan, refleks, kelincahan, stamina, semangat bertempur, volume suara, kosakata sumpah serapah, tendensi psikopatik-sosiopatik dan nafsu membunuh semua di atas rata-rata. Disarankan Judith dibimbing oleh seorang pengawas yang kompeten dan mampu menangani gadis remaja yang mungkin memiliki gangguan kejiwaan. Kepada pengawas yang terpilih, saya harap anda beruntung.

    N.B: Saya merekomendasikan Aurum untuk pekerjaan ini.”

    Aurum, yang sedang memonitor sepak terjang Judith di surga poring, nantinya akan menyesal karena sudah mengambil H*agen-Dasz rasa coklat yang terakhir dari kulkas (lalu melupakan janji kepada Shigel untuk menggantikannya tiga kali lipat). Tapi itu cerita untuk lain kali.

    __________
    Chapter 1-2

    Contact


    “YEAAAAAA! MATI LO INGUS!” Judith berkata, menendang seekor poring ke batang pohon sehingga ia tercerai berai, menginjak seekor yang lain, lalu mengangkat seekor lagi, melemparnya ke udara dan menangkapnya dengan ujung Novice Dagger persis di atas kepalanya sehingga cairan poring itu membasahi seluruh tubuhnya.

    'Judith,' Shigel mengirmkan whisper.

    '?'

    'Masih belum selesai?'

    'Dikit lagi boleh?'

    'Bentar lagi gelap. Cepetan ya.'

    'Yaaaa.'
    “HEH, GUMPALAN SP*RMA BANGSAT! LO BERANI NYURI LOOT GUA, HAH?!”

    Ruth memucat. Justin tertawa tanpa suara dengan mulut terbuka lebar. Reed mendapatkan serangan narkoleptik sehingga dia tidur nyenyak di rumput dan tidak melihat Judith menginjak-nginjak seekor Drops sampai mati, lalu berkonfrontasi dengan seekor poring yang lebih besar.

    Untuk sesaat, Shigel senang karena akhirnya dia akan mendapat kesempatan untuk intervensi, tapi lalu Judith berteriak, “JADI LO YANG C*LI TERUS NGELUARIN CECUNGUK-CECUNGUK INI, YA?!” dan menyerangnya.

    “Hei, Shigel,” Ruth berkata.

    “Ya, kenapa?”

    “Hentikan dia dong.”

    “Hm. Mungkin aku bisa mensummon seekor monster yang benar-benar kuat supaya dia mau mundur,” Shigel mengelus dagu.

    Tapi itu ternyata tidak perlu karena sedetik kemudian seseorang berlari masuk ke adegan itu dan menghancurkan poring raksasa yang dilawan Judith dengan sekali jotos.

    Novice kita, tiba-tiba kehilangan mangsa, lantas berhenti dan melihat orang itu dengan sedikit kesal.

    Dia, seperti Shigel, berambut putih panjang sepunggung, berjaket putih panjang semata kaki, dan berbusana mirip secara keseluruhan. Ciri yang paling menonjol dari orang itu—atau makhluk humanoid itu—adalah mukanya yang ditutup topeng besi tanpa wajah serta tangannya yang dibungkus sarung tangan baja seperti zirah ksatria. Di balik celah di topengnya yang mungkin untuk mata, Judith tidak bisa melihat apapun.

    Tapi siapa peduli dia apa. “Eh tai lo. Jangan KS dong.”

    “Oh! Sori, sori. Aku kira kakak lagi kesulitan lawan orang itu, soalnya masih Novice,” tahu-tahu si rambut putih gelagapan. Suaranya teredam oleh topeng, tapi terdengar seperti pria muda.

    “Enak aja. Gini-gini gua juga cukup kuat buat lawan begituan.”

    “Iya ya. Sori deh.”

    “Ya, gapapa sih. Kan niat lo baik. Lagian gua juga ketolong. Ya sudahlah.”

    Sementara percakapan ini terjadi Shigel telah mengungsikan Ruth, Justin dan Reed dengan memberikan mereka teleport ke tempat lain.

    'Judith.'

    'Ya?'

    'Menjauh dari orang itu. Sekarang.'

    'Kenapa?'

    'Sekarang!'


    Enam pilar cahaya bersinar di sekitar mereka, masing-masing berisi seseorang dengan perlengkapan tempur yang rumit dan penuh desain.

    Si rambut putih melihat sekitarnya. “Ngomong-ngomong, namaku Ramos. Nama kakak siapa?” tiba-tiba dia menanyakan.

    “Judith,” sang Novice menjawab, juga bingung dengan pemandangan ini.

    “Sebaiknya kakak menjauh.”

    'Judith, tolong dengarkan aku. Orang itu berbahaya dan kita tidak bisa menyerangnya kalau kamu tidak minggir.'

    “Kalian mau berantem ya?”

    “Kurang lebih begitu.”

    Judith tersenyum lebar, lalu menuruti perintah Shigel. “Semoga beruntung,” dia melambai ke orang rambut putih yang tidak dia kenal.

    Ramos melambai balik, seperti tersenyum.

    Tiga dari enam orang yang mengepungnya menerjang: satu Creator dengan palu, satu Lord Knight dengan tombak dan satu Champion dengan tangan kosong. Mereka menyerang bertubi-tubi, tapi Ramos menghindari semuanya dengan selisih dan gerakan minimal, bergerak seperti berdansa.

    Tombak yang mengincar kaki kanannya dihindari dengan mengangkat kaki itu, lalu dia menghindari sapuan palu ke kepalanya dengan menunduk, lalu menepis tinju dari sampingnya dengan lengan kiri sambil membuat langkah memutar ke depan dengan kaki kanannya, mengelak dari palu dan tombak dengan tipis.

    Ini terjadi belasan kali, mungkin puluhan kali, dalam rentang waktu tiga detik. Judith sudah tidak bisa mengikuti dengan matanya.

    “Judith. Ayo pergi,” Shigel menarik lengannya, tapi gadis itu bergeming.

    “Gua mau lihat ini,” dia berkata, terpesona oleh tarian itu.

    Dia mempertanyakan kenapa tiga lainnya diam, lalu langsung sadar: satunya adalah Priest yang dari tadi mengirimkan debuff, dan dua lagi adalah Sorcerer yang kini telah menyelesaikan casting mereka.

    Badai salju dan bola petir meledak di pertarungan itu, menghentikan gerakan Ramos sesaat. Di kesempatan itu sang pemegang palu mendaratkan hantaman telak ke tempurung kepala sang rambut putih, diikuti dengan hantaman di rusuknya serta tusukan tombak yang menembusnya.

    “Kalian jadi tambah jago, ya,” Ramos berkata. Darah menetes dari sekujur tubuhnya, mengingatkan lawannya bahwa dia adalah manusia. Lalu dia meraih tombak yang masih menancap di tubuhnya dan menusukkannya lebih dalam, sehingga dia langsung berhadapan dengan yang memegangnya.

    Dengan tangannya yang satu lagi, dia mengirimkan sebuah uppercut yang menghasilkan ledakan darah, daging dan gigi. Kepala sang penombak terkulai dan tergoyang-goyang; tulang lehernya telah copot. Dia berdiri layu untuk sementara, lalu roboh dan hilang dalam cahaya biru.

    “One down,” Ramos berkata. “Atau tidak.”

    Serangan bertubi-tubi kepadanya mulai lagi. Di detik yang sama sebuah pilar cahaya kembali muncul, membawa orang yang baru saja dia bunuh.

    “Ternyata tidak,” Ramos berkata.

    “Ini nggak akan ada habisnya, Ramos,” seru seorang Clown yang tiba-tiba muncul entah dari mana. “Seperti es krim Magnum Infiniti gitu loh, hehe.”

    Seluruh medan perang beku.

    Judith dan Shigel merasakannya di badan mereka juga. Adegan non-sequitur barusan seperti menekan tombol pause di kontrol dunia Ragnarok. Hanya sang Clown dan Ramos yang bergerak, meskipun dari kejauhan ini Judith tidak bisa mendengar mereka.

    “Luar biasa garing. Luar biasa. Negatif satu dari sepuluh, Isaac. Kamu sudah dapat Netzach?” Ramos bertanya. Dia menepuk-nepuk bajunya seraya meninggalkan pergumulan yang seolah terhenti waktu.

    Isaac menunjukan sebongkah kristal yang berpendar di telapaknya, memberi warna ungu kepada Jester Hat dan topeng Phantom of the Opera miliknya. “Tidak seperti kamu yang sibuk berakting di depan gadis, aku bekerja keras melawan Archangeling sendiri...sudah begitu aku harus memaksakan diri membuat candaan yang jayus...sudah begitu--”

    “Berisik ah.”

    Isaac melihat ke arah Judith, lalu melambai. “Dia memang cantik.”

    “Iya kan? Seleraku bagus kan?”

    “Seleramu sakit, brutal dan tidak manusiawi, tapi anak itu cantik. Sudah tidak ada urusan kan?”

    Ramos berpikir sejenak. “Aku boleh ngobrol sebentar dengan dia, nggak?”

    Isaac meraih tangan Ramos dan keduanya hilang dalam semburan cahaya merah.

    Waktu kembali mengalir.

    Ada keheningan yang canggung.

    Keenam orang yang menyerang Ramos berdiri diam, lalu menghilang dengan cara yang sama seperti mereka muncul.

    “Itu tadi siapa?” Judith akhirnya bertanya ke Shigel.

    Shigel menghela napas. “Dia arketipe pertama.”

    Novice itu diam sebentar. “Pantas saja kalian perlu berkali-kali, ya?”

    Terima kasih kak Heliel untuk komentarnya :matabelo: semoga dengan membaca semua pertanyaan itu bisa terjawab.

    Sebenarnya saya juga tidak begitu yakin soal penggunaan bahasa tak baku dalam dialog. Tapi pendapat saya sih bahasa lo-gua aku-kamu dan saya-anda itu lumayan berguna untuk karakterisasi. Variasi itu juga keunggulan bahasa Indonesia dibandingkan Inggris, menurut saya. Jadi saya pakai saja. :hihi:
     
  6. humor79 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Mar 8, 2014
    Messages:
    24
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +0 / -0
    Saya baru saja mulai membaca dan saya pikir apa yang Anda tulis sangat indah.
     
  7. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    ane mampir gan
    aku hanya bilang, interested banget gan, kalau komen tulisan, ane gak terlalu bagus
    tapi dari ide menarik sih. keep update gan :)
     
  8. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    bagus :matabelo:

    pertama, aku nggak terlalu kenal dengan dunia Ragnarok, jadi pas keluar berbagai job2 yg ada jadi nggak kebayang tah itu.

    selain itu, untuk pembukaan cerita sudah menarik dan bagus. apalagi karakterisasi dari Judith ya, keliatan tomboyish banget. yah, cuman itu, seperti kata kak Heilel juga, kenapa tiba2 dia pake kata 'gue atau lu', padahal pas bangun dia blg 'aku dan kamu' ke Sigel ya.

    trus kalimat ini jg lumayan aneh:

    apa kita harus mati dulu baru bisa ke dunia maya? bukannya banyak kemungkinan lainnya ya, misalnya kenapa kita bisa masuk ke dunia maya? entah terperangkap pas maen game online atau apa gitu? kan nggak harus mati.

    trus karakternya juga baru chap kedua udh lumayan menumpuk, meskipun karakterisasi dari charanya terbantu dengan fitur bug yg lumyan menarik.

    jadi, disini itu ada sigel, judith, reed, julius, dan ruth. trus ada lagi si isaac dan ramos.

    nah, itu aja udh 1, 2, ada 7 :kaget: dan baru dua chapter. yah, meskipun nggak apa2 sih sbnarnya itu.

    tapi, secara personal, aku jadi pusing :pusing: ini karakternya jadi campur aduk, apalagi aku nggak kebayang dunianya kekk mana.


    itu aja kyknya. lanjutkan kk :onfire:
     
  9. Elmion Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Mar 3, 2014
    Messages:
    14
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +12 / -0
    “Tadi ada kejadian apa jadinya?” tanya Justin.

    “Ada orang namanya Ramos berantem sama enam gamemaster. Gua ga begitu ngerti kenapa sih, Shigel ga mau jelasin,” Judith mengangkat bahu.

    “Dan seperti biasa, enam gamemaster itu pasti kalah,” Ruth berkata. “Kan?”

    “Kalian juga kenal dia?”

    “Kurang lebih,” Justin menjawab.

    “Memangnya Shigel sama gamemaster punya masalah apa sama dia sih?”

    “Dia player killer,” Reed menjelaskan. “Dan entah bagaimana, data semua pemain yang dia bunuh terhapus secara permanen.”

    “Oh begitu,” Judith berkata, teringat kalau mereka berada di sebuah game. “Emangnya itu parah ya?”

    “Lumayan. Dari yang aku dengar beberapa orang sudah menghabiskan bertahun-tahun untuk karakter mereka. Nah, pemainnya kan protes, jadi pihak YDA juga harus memberi penjelasan, kan? Nah, tapi YDA juga tidak mau menjelaskan soal proyek arketipe, nggak mau mereka tahu Ramos itu sebenarnya siapa atau apa. Pokoknya kita ini rahasia. Jadi pokoknya repot deh, urusannya,” Ruth menjabarkan.

    “YDA itu siapa?”

    “Yang Di Atas,” Justin mengacungkan jari ke langit. “Intinya, perusahaan yang dengan begitu baik hati menghidupkan gua dan lo.”

    “Oooh. Terus gua denger dia itu arketipe pertama. Kenapa jadinya pemberontak begitu? Apa dia juga kena bug?”

    “Soal itu, tidak ada yang tahu,” Reed menjawab.

    “Tadi dia jago banget lho. Lawan enam orang sekaligus terus masih bisa bunuh satu. Udah gitu dihajar kayak gimana juga nggak jatuh-jatuh. Kok bisa gitu ya?“

    “Dia pake cheat kali,” Justin mengangkat bahu. “Dia kan kayak leluhur kita gitu. Siapa tau dia udah menguak rahasia jagad raya ini dan sudah menemukan nirvana untuk para petarung.”

    Ruth bengong.

    “Gaya lo kayak anak kampung tapi omongan lo canggih juga ya,” Judith mengagumi.

    “Eh. Gua bukan anak kampung.”

    “Lo apa dong?”

    “Gua anak jalanan. Jalanan Morroc pula! Udah gitu markas gua di Jalan Rawa Buntu, gang paling brutal di Morroc! Respek dikit dong!”

    Ruth mempertemukan wajah dan telapak tangannya.

    “Oh, maksudnya paling brutal itu berarti lo jago berantem?” Judith menaruh tangan di pisaunya.

    “Nggak, artinya adalah gua jago menghindari pertarungan karena sampai sekarang gua masih hidup,” Justin tersenyum. “Damai bos.”

    Ruth menaruh tangannya yang satu lagi ke kepala dalam gestur orang yang pusing mau bicara apa. Untuk alasan tertentu Reed menepuk pundaknya.

    BRAK!

    “AKU PULAAAA~~~NG!” teriak seorang wanita Blacksmith seraya membuka pintu ke kamar mereka dengan begitu kuatnya, pintu itu akan menuntutnya untuk kekerasan seandainya ia bisa.

    “Aah, Iris, pintunya rusak lho,” seorang Hunter bertopi dan bermata sipit mengeluh.

    “Itu cuma kayu, Sigurd. Kayu tidak merasakan apa-apa,” Iris mengeluh balik. Dia melangkah masuk, tapi palunya yang melampaui akal sehat tersangkut di bingkai pintu. Maka tentu saja dia menarik palunya secara paksa dan membuat bingkai itu cuil dan retak.

    “Aaah,” Sigurd menghela napas, menggeleng-geleng.

    Kejadian yang sama sekali tidak diawali peringatan ataupun foreshadowing ini meninggalkan empat sekawan kita diam kebingungan. Hanya Ruth yang bisa berkata, “Iris? Kamu--” sebelum kepalanya dibekap dengan dada yang berisi.

    “AAAA~~ RUTH!” Iris menggoyang-goyangkan badannya sambil mendekap sang Magess. “Lama sekali kita tidak bertemu! Kamu sehat? Makan banyak? Kamu sudah nembak--”

    Tangan Ruth, seperti sebuah makhluk dengan jiwanya sendiri, langsung bergerak dan menutup mulut Iris.

    “Oooh, begitu,” Iris manggut-manggut, rambutnya yang diikat dua bergoyang-goyang seperti mainan. Sang Blacksmith mencari Reed dengan matanya, lalu dia menemukan sang Acolyte tertidur pulas di pinggir ranjng. “YA SUDAH! Masih banyak kesempatan ya, Ruth?”

    “Napas. Tolong,” Ruth berhasil menyuarakan.

    Iris melepasnya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Lalu dia melihat ke Judith. “Kamu anak baru itu ya?”

    “Iya,” Judith berkata, siap untuk berkelit dari manuver gulat Iris.

    Sang Blacksmith mengulurkan tangan. “Aku Iris. Salam kenal.”

    Judith menjabat tangannya, lalu merasakan seperti ia dijepit roda gerobak. Dia mencoba mencari otot yang tersembunyi dan tidak menemukan apapun. Kekuatan ini sama sekali tidak konsisten dengan wajahnya yang bundar, badannya yang langsing serta suaranya yang tinggi dan ceria.

    “Saya Sigurd. Salam kenal,” Hunter bermata sipit menyusul. Suara dan wajahnya ramah, seperti seorang ayah. Ekspresinya juga berkesan senantiasa meminta maaf atas tingkah Iris, seperti seorang ayah yang merasa bersalah karena anak perempuannya telah merusak sesuatu atau menyakiti seseorang. “Tolong jangan takut sama Iris, ulahnya memang agak gila tapi dia orang yang bisa diandalkan.”

    “Kamu bisa menangis di dadaku kapan saja!” orang yang dibicarakan berkata.

    “Tante, apa tawaran itu juga berlaku untuk saya?” Justin mengangkat tangan.

    “Sigurd, mungkin nanti Justin bisa kita kasih kuku sapinya. Kudengar bisa jadi masakan enak--”

    “Bercanda, bercanda! Kakak Iris kan masih muda, ya.”

    Iris tersenyum. “Anak baik,” dia berkata, sambil memeluk Justin dan menempelkan pipi kanan lalu pipi kiri. Ekspresi Justin yang bahagia tidak terganggu sedikitpun oleh getokan tongkat Ruth di kepalanya.

    “Ah, aku duluan ya,” Sigurd tiba-tiba berkata. “Aku mau taruh barang di kamar dulu, terus bantu masak di bawah. Kan banyak orang yang mau datang.”

    “Okeee,” Iris menyahut balik.

    “Banyak orang? Siapa saja?” Judith bertanya ke Ruth.

    “Semua arketipe yang bisa datang, tentunya,” Ruth menjawab.

    “Memangnya ada acara apa?”

    Ruth nyengir. “Sambutan buat kamu, lah. Apa lagi?”

    _____________
    Chapter 1-3

    First Supper


    “Aku merasa seperti Yesus Kristus Sang Penebus,” Priest itu berkata. "Tapi nggak juga sih, Yesus kan rambutnya nggak pirang dan pendek dan mukanya kan nggak seganteng ini. Terus--"

    “Patrick,” Priestess di sebelahnya, yang bernama Charlotte, menegur.

    “Ehem. Oke. Terima kasih kepada kalian semua karena telah berkumpul di sini. Semoga Tuhan memberkati kita semua dan memberi kita hidup panjang. Dan semoga Roth tidak meracuni saya. Amin.”

    “Gua ga usah ngapa-ngapain gigolo kayak lu juga mati gara-gara AIDS. Dasar maniak s*ks an*l,” seorang Assassin berambut putih pendek menyeletuk.

    “Roth!” Priestess itu membentak dengan muka merah. “Ada anak di bawah umur di sini!”

    “Lebih menggiurkan lagi buat orang kayak dia. Hoy Pet. Lu lolicon kan?”

    “Tidak, saudara Roth. Saya bukan lolicon.”

    “Apaan lu, tiap hari kerjaannya juga nyapa si Mi--”

    “Mari makan, semuanya!” Patrick berkata sepersekian detik sebelum nama itu selesai disebutkan Roth.

    Priestess cantik rupawan di tengah mereka menghela napas panjang, lalu mengangkat sendok garpu dengan sendu. Lewat sudah masa-masa di mana dia bisa menghentikan perseteruan mereka dengan membelalakkan mata birunya dan mengibaskan rambut pirangnya.

    Meja yang mereka tempati panjang dan penuh; demikian juga dengan restoran di lantai bawah penginapan mereka, Ragnafilia. Supaya berkenalan dengan yang lain, teman-temannya dengan sengaja menaruhnya jauh dari mereka, dan Judith kini terdampar di tengah dua orang Swordsman kembar dan di seberang seorang bocah Mage, seorang Sage perempuan yang ketus, dan seorang Archer yang membatu.

    “Kenalkan, ini Nichols,” salah satu Swordsman memulai.

    “Dan ini Ferdinand. Tak usah ingat yang mana yang mana, kami juga sering lupa,” yang satunya mengakhiri.

    “Wow. Kalian keren juga, kembar kompak,” Judith memuji sambil memotong steaknya.

    “Hehe. Tentu saja. Kami ini yang terkeren,” kata Nichols, atau Ferdinand, mengangkat gelas birnya.

    “Terkeren di Rune-Midgard,” lanjut Ferdinand, atau Nichols, membenturkan gelas birnya.

    “Kalian selalu melengkapi kalimat seperti ini?” Judith mengunyah, menutup mata--

    Oh, rasa steak ini. Luar biasa. Dagingnya begitu lembut tapi dia masih bisa merasakan serat-seratnya. Sang koki telah memasaknya dengan tingkat kepadatan sempurna, juga dengan bumbu yang minimal tapi sangat sinergis dengan jus yang terkurung di dalam. Setiap gigitan membuat lemak dan minyak yang terkunci di dalam muncrat dan menyembar ke seluruh lidahnya, memenuhi rongga mulutnya dengan aroma daging murni. Sebuah mahakarya.

    “Tidak juga, cuma waktu kami bersama,” kata Ferdinand, mengangkat alis melihat wajah Judith yang begitu penuh kenikmatan.

    “Soalnya ngomong 'kami' melulu lama-lama pegel juga, Jud,” kata Nichols.

    “Kenalkan juga yang lain. Yang di depan lo itu Chronos. Dia emang kelihatannya muda, tapi sebenarnya dia yang kedua paling senior di sini.”

    Judith dan Chronos saling mengangguk ke satu sama lain; Judith dengan santai dan sambil makan, Chronos dengan ramah dan santun.

    “Yang paling senior itu Leid, di kirinya.”

    Sang Archer terus makan dengan pelan dan pasti, seperti tidak mendengar. Judith tidak ingin menarik perhatiannya, jadi dia diam saja. Orang itu terlihat keras dan ketus, seperti seorang veteran perang yang tidak akan menerima omong kosong dari anak ingusan seperti dia dan bisa memukul pantatnya kapan saja.

    “Terus di kanannya Chronos itu Ancilla, semacam rekan akademisnya.”

    “Senang bertemu dengan anda, Judith. Saya Ancilla,” Sage perempuan itu menuturkan dengan datar, seperti robot.

    “Sayangnya, ada semacam bug di kepribadiannya. Tapi orangnya baik, kok.”

    “Benar, saya adalah orang baik. Saya tidak pernah melanggar hukum atau aturan yang ditetapkan oleh pemerintahan Rune-Midgard ataupun Kontrol Arketipe. Saya juga memilah sampah dan membuang semuanya sesuai organik dan inorganik.”

    “Itu sudah cukup, Ancilla-sensei,” Chronos menghentikannya dengan tawa kecil.

    “Maafkan, Chronos. Saya sedikit antusias karena bertemu orang baru,” Ancilla berkata. Lalu ia tersenyum sehingga giginya kelihatan.

    “Kalian semua aneh sekali,” Judith berkata dengah takjub dan ceria.

    “Begitulah, Judy-chan. Beberapa juga hasil dari bug,” kata Chronos.

    “Biar gua tebak. Badan lo ga bisa tumbuh?”

    “Tepat sekali,” Chronos mengangguk. “Tapi badan kecil ini sebenarnya berguna di akademi Geffen. Entah kenapa, belakangan ini di sana saya populer sekali di antara guru-guru wanita.”

    “Kalau tahu itu, kami dulu pastilah memilih jadi Mage,” Nichols meratapi, menenggak bir sampai gelasnya horizontal.

    “Tidak ada yang bisa melihat masa depan, Nico-kun,” Chronos berkata dengan bijak. “Tak usah disesali.”

    "Terus, Nichols dan Ferdinand ini bisa telepati. Atau semacamnya," Judith menebak.

    "Tet-tooot."

    "Kami yang sekeren ini tentu saja bugnya lebih hebat dari sekedar telepati," Nichols menyatakan dengan bangga.

    "Tubuh kadang-kadang tertukar satu sama lain setelah tidur," Ferdinand merangkul pundak kembarannya.

    "Hah? Jadi kalian--kayak--ooh, ngerti. Untungnya kalian kembar ya," Judith terkagum-kagum. "Atau mungkin itu terjadi justru karena kalian kembar."

    "Gitu deh, kadang-kadang kita sendiri lupa udah kejadian atau nggak," Nichols menggigit sosis.

    "Udah kayak gimana lo ga inget lu pake celana dari kaki yang mana duluan," Ferdinand berkata.

    "Pasti repot ya."

    "Nggak juga sih. Apa sih, yang paling parah paling kami ketuker tempat tidur abis bercinta semalaman dengan pacar masing-masing," Nichols berkata.

    "Itu pun kalau kami PUNYA pacar," Ferdinand menggerutu.

    "Kenapa kalian ga punya pacar kalo gitu?" Judith bertanya di tengah-tengah menggerogoti paha ayam.

    Nichols tertawa sedih, digabungi oleh Ferdinand. Ini berlanjut selama satu menit dan Judith, tidak mengerti ingatan-ingatan memilukan yang terlintas di pikiran mereka, bergerak untuk mengambil kroket.

    "Rasio cowok ke cewek di akademi Swordsman," Nichols akhirnya mengatakan, dengan serius dan khusyuk, "Itu kurang lebih sepuluh banding satu."

    "Dan kurang lebih setengah dari mereka sudah punya pasangan," Ferdinand melihat ke dalam gelasnya yang pasti sudah habis dari tadi. Tiba-tiba dia menaruh dahinya di gelas itu dan meratap, "Aaaaaaaa, kenapa dulu aku nggak jadi Mage aja? Aku juga mau dikelilingi kakak-kakak berdada besar dan berbaju Wizard. Aaaaaa,"

    Nichols menepuk punggung saudaranya, menyedot ingus entah dalam akting atau setelah serius menangis karena hal ini.

    Judith diam, mengunyah kroket dan memandang mereka datar.

    “Makanya, Jud! Profesi itu memang harus dipilih dengan seksama. Lu udah mutusin mau jadi apa waktu udah gede nanti?” Nichols menggebrak birnya di meja seperti pemabuk marah.

    Judith berpikir sejenak. “Gua mau jadi bos yang punya bawahan banyak dan nggak terkalahkan kalo soal berantem.”

    “Maksud dia itu Job, Jud. Job,” kata Ferdinand.

    “Hm. Kalo gitu jadi Swordsman aja.”

    “Oho! Apa lu terinspirasi sama Ferdinand dan gua? Mau mengharumkan akademi yang bau keringat cowok itu?”

    “Nggak juga, gua cuma suka nyembelih makhluk hidup lain. Gua rasa pedangnya makin besar makin bagus.”

    “Alasan yang cukup bagus buat kami,” Ferdinand menepuk punggung Judith.

    “Kami bimbing kau sampai nanti dewasa,” Nichols melakukan yang sama.

    “Gua bakalan jadi rusak, nih,” Judith berkomentar tapi tidak terdengar memprotes.

    “Tidak akan serusak aku,” Ramos berkata dari belakangnya.

    Segalanya berhenti.

    Kesunyian jatuh di sana seperti atap yang runtuh. Perhatian semua arketipe kini terpusat para seorang pria berambut putih dan bertopeng besi yang tiba-tiba muncul di belakang Judith, tanpa suara ataupun peringatan, beserta seorang Clown dan seekor Munak yang berdiri diam.

    Tapi segalanya tidak diam. Sambil memutar badan untuk menghadapi Ramos, Nichols dan Ferdinand menempel lebih dekat ke Judith. Chronos dan Ancilla menggenggam tongkat mereka dengan lebih erat. Semuanya dalam satu cara atau yang lain siap untuk bertempur.

    Di sekitar mereka, serentak meja dan kursi bergeser dengan tergesa-gesa, memenuhi ruangan itu dengan gesekan kayu dan makian. Beberapa melihat sosok Ramos dengan tidak percaya, lebih banyak lagi langsung lari terbirit-birit. Tapi semuanya keluar dan menjauh dari tempat itu.

    "I love this," Ramos menarik napas dalam di tengah kekacauan yang merebak karena kehadirannya. "I friggin' love thi--"

    "Sebentar, Ramos," Clown di sebelahnya menyela.

    "Kenapa, Isaac?" tanyanya singkat, terdengar kesal karena momennya telah diganggu.

    Isaac menundukkan kepala dan menyentuh dahi yang tertutupi topeng opera. "Jadi dari tadi kita berdiri diam, tersembunyi, selama itu...karena kamu nungguin mau menyela mereka dengan pas? Biar keren?"

    "Berisik ah. Apa salahnya sih?" Ramos berbisik dengan ketus.

    "Kembalikan hari liburku."

    Munak di sebelahnya menepuk punggung Isaac dengan simpatik.

    "Mau apa lu sekarang?" Roth mengakhiri keheningan itu. Kakinya tersilang, dan posenya santai, tapi di dua tangannya sudah ada Katar. Patrick dan Charlotte juga menatap Ramos dengan tajam.

    "Oh, bukan apa-apa, cuma mau memberi salam ke kedatangan baru dalam keluarga kita," Ramos mengulurkan tangan ke Judith. "Terakhir kali kita ga begitu sempat kenalan. Kenalkan kak, aku Ramos."

    “Judith,” Judith menyalaminya. “Sepertinya ga ada yang suka sama lo ya di sini.”

    “Begitulah,” Ramos mengangkat bahu. “Tidak apa-apa, aku cuma mau memberi kakak kartu nama, terus langsung pergi.”

    Dia menyerahkan sebuah kartu yang polos dan berwarna merah di kedua sisi. Tidak ada yang tertulis padanya, tidak ada keistimewaan yang bisa dirasakan darinya. “Ini buat apa?” Judith bertanya.

    “Seandainya kakak bosan dengan orang-orang ini terus mau bergabung dengan misiku, kibaskan saja kartu itu. Nanti kakak bakalan langsung ke rumahku. Terus kita bisa main bareng,” Ramos menjelaskan. “Tapi tidak dipakai sama sekali juga tidak apa-apa. Lebih bagus, malah.”

    “Begitu,” Judith berkata. “Thanks ya. Ngomong-ngomong, tadi siang berantem lo keren, man.”

    “Oh. Itu bukan apa-apa. Kan aku cuma pake cheat,” Ramos berpaling seakan malu. “Terus, om Leid. Tawaran saya masih berlaku lho. Kalau mau, sekarang juga--"

    Lebih cepat dari suara, Leid bangkit dan menembakkan panah ke arahnya. Tangan Ramos bergerak dengan kecepatan yang membuat angin berdesir, dan di genggamannya kini ada sebatang anak panah. Dia menjatuhkannya seperti baru saja menangkap lalat yang mengganggu.

    "Hm. Ya sudah kalau begitu. Sampai nanti, semuanya."

    "Sok keren," Isaac menggumam.

    Munak pengikut mereka membungkuk ke arah kawanan Leid, seperti meminta maaf atas kejadian ini.

    Dan mereka hilang seperti kedipan mata, hanya meninggalkan cahaya merah yang sayup. Meski begitu, belum semua arketipe bisa kembali bernapas.

    Judith melihat Archer yang berdiri tegak dengan kemurkaan yang diam. Dia membuka mulutnya, tapi sentuhan Nichols dan gelengan kepala Ferdinand menghentikannya. Chronoslah yang akhirnya berdiri dan meyakinkannya untuk duduk lagi dan menyingkirkan busur yang ada di tangannya.

    'Leid ada masalah besar sama Ramos ya?' Judith menanyakan Nichols (atau Ferdinand) lewat Whisper.

    'Kita semua punya masalah besar dengan dia. Kamu belum ngerti, ya. Sifat dia kayak gimana,' Nichols berkata. Meja itu perlahan-lahan kembali hidup, kembali berbincang meski dengan canggung.

    'Kayaknya dia oke-oke aja. Meskipun dia memang kriminal.'

    Nichols menggeleng. 'Besok gua jelasin deh. Bareng Ferdinand. Hari ini udah kemaleman.'

    'Emangnya penjelasannya harus di siang hari?'

    'Pergi malem-malem ke kuburan kan nggak enak.'

    DAN KARAKTERNYA TERUS BERTAMBAH. Maaf semuanya, saya juga ga tau kerasukan ide apa sampe bikin karakter begini banyak. :maaf: Kalo emang males repot-repot ingetin semuanya, ga usah deh, gapapa kok. Moga-moga nanti di suatu titik jauh di masa depan bisa ada ilustrasi untuk membantu ingatan. Mungkin. Semoga. :lalala:

    Terima kasih banyak untuk semua yang sudah komentar dan meninggalkan kesan, pertanyaan dan kritik ya~ Itu motivasi yang kuat sekali untuk melanjutkan cerita ini. :semangat: Untuk pertanyaan saya tidak mau jawab di sini dulu, mungkin belakangan kalo ketahuan semuanya ga bisa dijawab dalam cerita.

    Untuk Ii_chan yang ga begitu ngerti dunia Ragnarok dan pembaca lain yang juga begitu, multimedianya sedang diusahakan supaya bisa membantu cerita. Dan eniwei cerita ini dari sudut pandang orang yang ngikutin RO juga paling ga akurat sama sekali... :hiks:
     
    Last edited: Mar 17, 2014
  10. orange_doughnut M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 28, 2013
    Messages:
    1,738
    Trophy Points:
    57
    Ratings:
    +427 / -0
    dan karakternya makin nambah :lol:

    yah, nggak apa2 sih, sementara otakku nggak sanggup lagi ngingetnya. :swt: untuk chapter ini kyknya pengen perkenalan karakter baru lagi dan ttg masa lalu ramos ya?
    sbagian besar udah bagus, suasana kekeluargaan atau bisa dibilang pertemanannya cukup dapet.

    btw, ini settingannya nggak dijelasin kk? maksudku, ini game apaan? trus mekanisme dan sebagainya kyk gitu. yah, kyk game rpg online fic biasanya. nanya aja :maaf:



    lanjutkan kk :onfire:
     
  11. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    lupa aku belum komen fic nya sepuh ElmionElmion; :nongol:

    kay, aku baru baca sampe prolog karena ternyata prolognya panjang juga :keringat:

    dari segi tata bahasa no komen. rapi, n cukup bikin ketertarikan sendiri. mengalir. nice :top:

    cuma apa yaa? gaya bahasanya aja mungkin :iii: ini sih masalah selera, tapi aku kurang begitu suka gaya bahasa "lu, gua," dll :iii: kesannya mengaburkan sesuatu yang bisa dinikmati secara dalam gitu :iii:

    dan entah apa yang terjadi setelah prolog, tapi aku sih ngarepnya ga terlalu banyak adegan interaksi karakter n dialog2 yang membangun suasana (jujur di fic ini suasana udah kebangun lewat dialog, tapi kalo terlalu banyak kek gitu rasanya rada cape bacanya :sebel: ).

    okay, ceritanya sendiri sejauh ini cukup asyik. pengenalan karakternya ditampilkan menarik dengan adanya interaksi antar karakter yang pas :hihi:

    dan ga bisa komen lebih banyak lagi karena baru prolog, jadi konflik impact dll nya masih belum kerasa :hihi:
     
    Last edited by a moderator: Apr 25, 2015
  12. Elmion Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Mar 3, 2014
    Messages:
    14
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +12 / -0
    Di akhir perjamuan, Leid memanggilnya ke atas untuk berbicara. Judith sempat mengira dia akan diberikan peraturan keras soal tata krama dan cara penggunaan kata gua-lo. Mungkin pantatnya akan dipukul atau dia akan disuruh push-up. Dia mulai mempersiapkan mental supaya dia tidak kaget.

    Lalu Leid mempersilahkannya duduk di sebuah kursi empuk di depan perapian dan menyajikan teh. Entah bagaimana ini lebih mengerikan daripada semua skenario yang lain.

    "Bagaimana kehidupanmu yang baru sejauh ini?" Leid bertanya dari kursi di sebelah Judith. Suaranya dalam, sedikit kasar.

    "Baik-baik saja," Judith menjawab, bingung total.

    "Kamu sudah melakukan apa saja bersama Shigel?"

    "Um, saya diajak makan, terus membunuh poring. Habis itu Ramos datang, terus saya disuruh nunggu di penginapan sama yang lain," Judith bertutur dengan sedikit canggung.

    "Oh," Leid menyesap tehnya.

    Lalu hening.

    Leid, katakanlah sesuatu karena gua ga tau mau ngajak lu ngomong apa, demikian Judith membatin. Dia menunggu untuk suatu kejadian luar biasa; mungkin seekor naga jatuh menembus atap dan mendarat di tengah ruangan dan mereka bisa bertarung sampai mati dengannya. Setidaknya kalau begitu mereka tidak harus diam sesak begini.

    Lalu seorang wanita berambut pirang pendek dengan setelan baju bisnis berwarna putih muncul di tengah ruangan. Dia datang dengan pendaran biru yang mirip dengan punya Shigel, dan dari reaksi Leid yang tenang Judith mengerti dia ini siapa.

    "Halo, Judith. Perkenalkan, saya Aurum, pengawasmu," katanya, menciptakan sebuah kursi untuknya sendiri sehingga mereka bertiga duduk saling berhadapan.

    "Pengawas itu maksudnya apa?" Judith bertanya.

    "Saya akan mengawasimu selama seminggu, untuk membantumu menyesuaikan diri dengan Rune-Midgard. Kalau ada pertanyaan, bisa tanya ke saya."

    "Oh begitu. Oke oke."

    "Baiklah. Sekarang, saya akan menjelaskan kehidupan kamu berikutnya. Kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau, termasuk questing, hunting, berdagang, dan seterusnya. Kami tidak mewajibkan kalian untuk melakukan apapun; intinya, kami ingin kalian hidup dengan bebas dan alami, karena dengan itu kami juga bisa mendapatkan data terbaik untuk penelitian."

    Judith mengangguk.

    "Uang untuk kebutuhan sehari-hari akan kami sediakan. Tapi jika seandainya kamu ingin mencoba hidup mandiri dan menolak bantuan kami, itu juga boleh. Seandainya kamu memerlukan bantuan darurat, kamu bisa mewhisper saya atau pengawas manapun yang sedang online. Informasi itu bisa kamu cari lewat kartu ini."

    Aurum memberikannya kartu polos yang berwarna biru di kedua sisi, seperti cerminan kartu yang diberikan Ramos sewaktu perjamuan tadi.

    "Untuk larangan, kami cuma punya dua saran. Yang pertama adalah sebaiknya anda tidak membunuh player. Sebagai arketipe, kalian secara natural bisa menyerang para player tanpa restriksi, tapi melakukan itu adalah sebuah kejahatan dalam game dan kami akan menindak kamu."

    "Itu sih namanya bukan sebaiknya," Judith berkomentar.

    Aurum mengabaikannya. "Yang kedua adalah sambungan dari yang pertama. Sebaiknya anda juga tidak melanggar hukum dunia ini. Itu termasuk menghancurkan properti, berkonspirasi melawan pemerintah, menyakiti, menyiksa, memperkosa, membunuh atau melakukan hal-hal lain yang tidak diinginkan kepada para NPC, dan melakukan kriminalitas secara umum. Harus saya ingatkan, ini bukanlah game sandbox di mana kamu tidak akan menerima konsekuensi."

    "NPC?"

    "Non-Playable Character. Penghuni dunia ini selain arketipe dan kalian," Leid menjawab.

    "Seandainya kamu mengabaikan himbauan ini, kami akan secara aktif mengejar anda dan membiarkan anda menerima hukuman yang telah diputuskan oleh Kerajaan."

    "Hoo," Judith mengangguk-angguk. "Kok rasanya ini ada gara-gara Ramos, ya."

    Sekali lagi Aurum mengabaikannya. "Penjelasan saya tentang aturan sampai situ saja. Lalu peringatan yang terakhir. Tolong ingat ini baik-baik, Judith. Sistem respawn di game ini belum dikonfirmasikan aktif untuk para arketipe."

    Hening sejenak.

    "Hah?"

    "Kalau kamu mati, kita tidak tahu kamu akan hidup lagi atau tidak," Leid berkata.

    "Oi, tunggu. Bukannya itu masalah yang super duper mega serius ya."

    "Memang. Tapi begini, Judith. Tes pertama sistem respawn berakhir dengan kegagalan. Sejak saat itu, tentu saja kami sudah berusaha untuk memperbaikinya. Tapi bagaimana caranya kita tahu bahwa sistemnya sudah jalan?" Aurum bertanya.

    "Dengan mati," Judith menjawab, suaranya rendah.

    Aurum mengaitkan tangannya dan memandang mereka. "Sebenarnya, banyak di antara YDA yang rela mengorbankan satu-dua orang dengan kecacatan untuk mengetesnya."

    "Tapi aku tidak pernah membolehkan mereka," Leid meneruskan.

    "Demikian juga aku," Aurum mendesah.

    "Tapi kalau begitu kita nggak bakalan pernah tahu respawnnya udah jalan atau belum dong," Judith berkata.

    "Tidak juga. Lambat laun akan terjadi sesuatu yang membuat kita tahu," Aurum berkata. "Jadi, Judith. Hati-hatilah dengan nyawamu. Tidak semua orang sepakat soal semuanya. Seandainya kamu akan terbunuh waktu pergi hunt nanti, tidak semua pengawas akan menolongmu, dan aku ataupun Shigel mungkin tidak ada di sana untuk menolongmu juga."

    Judith meminum tehnya yang hangat untuk mengisi perutnya yang sekarang dingin. "Akan saya ingat. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, itu berarti setelah tes respawn yang pertama tidak ada yang mati, kan?"

    Aurum mengangguk. "Itulah kenapa Leid menjadi bos kalian."

    _____________
    Chapter 1-4

    Orientation I



    "Sudah dapat briefing dari pengawasmu kemarin?" Ferdinand bertanya.

    "Sudah. Secara garis besar gua udah ngerti gua bisa ngapain," Judith menjawab, melihat ke atas. Ukiran gerbang kuburan Prontera yang kini mereka masuki sungguh detil dan rumit. "Cuma sekarang gua ga tau aja sebaiknya gua ngapain."

    "Kenapa begitu?" Nichols bertanya. Mereka sekarang berjalan sebaris di jalan antara makam-makam, dengan Ferdinand di depan menavigasi dan Nichols di belakang.

    "Kan katanya kita bisa mati waktu hunt terus nggak respawn lagi. Terus gua kepikiran, kalo gitu apa nggak sebaiknya hidup damai aja dari uang yang mereka kasih?" Judith berkata.

    "Mungkin itu ada benarnya juga," Nichols berhenti di sebuah nisan.

    "Yang ini?" Judith bertanya, jongkok untuk membaca inskripsinya: nama yang tidak dia kenal, dua tanggal yang tidak dia kenal, "Loving father, loving husband."

    "Bukan cuma yang ini," Ferdinand berkata murung, lalu berjalan ke satu arah.

    Judith mengikutinya, dan setelah melihat sekilas dia sadar kalau banyak orang yang dimakamkan di daerah ini meninggal pada tanggal yang sama.

    "Ada kejadian apa di hari itu?" Judith bertanya.

    Ferdinand dan Nichols diam lama sebelum satu dari mereka menjawab, "Kami lagi patroli hari itu. Nggak ada apa-apa, sebenarnya. Terus tahu-tahu Ramos muncul di tengah kota Prontera dan membunuh semua orang yang ada di sana."

    Judith tertegun. "Maksudnya 'semua orang' itu player?"

    "Dan yang lain. Orang-orang YDA suka memanggil mereka NPC, tapi kita semua di sini lebih suka sebutan seperti 'orang' atau 'manusia,'" Nichols tersenyum pahit.

    "Kurang lebih tiga ratus orang meninggal, semuanya dibunuh dengan tangan kosong," Ferdinand menjelaskan.

    Satu tangan kosong Ramos bisa membunuh seorang game master dengan sekali pukul. Judith menjauhkan pikiran dari pemandangan hari itu. "Kenapa? Untuk apa?"

    Sekali lagi, hening yang lama. Judith merasa seperti membuka pintu yang berat dan besar menuju masa lalu kedua orang ini tiap kali dia menanyakan sesuatu. Angin berhembus, menerbangkan dedaunan mati.

    "Waktu dia ada dekat gua, gua sempat dengar dia ngitung angka. Dua ratus, dua ratus satu. Seterusnya," Ferdinand berkata. "Terus di akhir pembantaiannya dia teriak, 'High score.' Habis itu, dia hilang.'"

    "Akhirnya pemerintah menjelaskan itu sebagai serangan teroris. Banyak dari kita curiga itu bugnya. Tapi dia cuma lagi iseng," Nichols melanjutkan dengan geram. "Dia membuat permainan untuk diri sendiri karena dia sama sekali tidak peduli dengan nyawa manusia."

    Udara yang berat membuat Judith menimbang kata-katanya. "Apa membunuh NPC itu sesuatu yang parah banget?" dia akhirnya bertanya.

    Nichols dan Ferdinand melihatnya dengan mata lebar.

    "Gua ngerti yang dia lakukan itu membuat kekacauan dan nggak bagus. Tapi bukannya pada akhirnya mereka cuma orang bohongan? Nggak beneran ada?"

    Kedua Swordsman itu saling memandang, lalu berbagi tatapan sedih. "Memang. Memang itu ada benarnya," Nichols berkata.

    "Mungkin kami yang salah, membawa lo ke sini di hari kedua lo," Ferdinand menambahkan. "Lo belum kenal yang namanya NPC itu kayak gimana, kan?"

    "Belum juga sih," Judith mengakui.

    "Nggak apa-apa. Ingat aja pemandangan kuburan ini," kata Nichols.

    "Ayo keluar. Gua nggak tahan di sini," Ferdinand beranjak pergi sambil bicara demikian.

    Nichols lekas mengikutinya tanpa kata-kata, kali ini tidak pakai memastikan bahwa Judith mengikuti di belakang. Sang Novice melihat tinju mereka terkepal dan rahang mereka berderit, tapi tidak bertanya lebih jauh. Barulah setelah dia sendiri keluar terpikirkan: Kenapa NPC, yang bukan orang sungguhan, memerlukan kuburan?

    Dia berjalan mengikuti Nichols dan Ferdinand sambil berkhayal.

    Seorang pria berambut putih dan bertopeng besi oblong muncul di belakang seorang NPC. Tanpa kata-kata, dia langsung membunuhnya dengan satu pukulan ke jantung, hati, atau perut, dan dia mati seketika. Mungkin tangan bajanya cukup kuat untuk menembus kulit dan daging jika dia mau, melubanginya tanpa usaha.

    Setelah yang pertama mati tanpa perlawanan, dia bergerak ke yang kedua. Lalu yang ketiga. Dan semua orang pasti kabur, tapi dia pasti mengejar mereka, membunuh mereka dengan pukulan dari belakang, menghentikan langkah mereka. Lalu dia juga pasti membunuh para Knight dan Swordsman yang dikirim untuk menanganinya. Mereka juga pasti unit buangan atau NPC cadangan yang ditugaskan mengawal istana. Terus, dan terus, dan terus, hingga tiga ratus orang mati.

    Apakah mereka berdarah?

    Apakah mereka berteriak waktu mereka mati? Apakah mereka merasa takut ketika harus berhadapan dengan makhluk putih itu? Judith melihat ke orang gemuk yang menangani sebuah kios, berjualan daging bakar. Seandainya dia menusuknya, apakah dia akan bereaksi seperti orang juga?

    "Hey, Jud."

    Novice itu berkedip. Setusuk sate melambai-lambai di depannya.

    "Oh, dia sadar," Nichols berkata. "Nih. Mau nggak?"

    "Thanks. Apa ini?"

    "Barang enak. Lo nggak usah tahu itu apa, nanti jadinya nggak enak," Ferdinand mendemonstrasikan dengan memakan satu potong miliknya sendiri.

    "Hm. Oke." Rasanya sedikit gosong dan garing, tapi enak, harum, gurih dan berminyak.

    "Lu ngelamunin apa sih?" Nichols bertanya.

    "Gua kepikiran aja. Lebih tepatnya, sadar aja. Semua orang ini ga mungkin player kan."

    "Sadar juga lo," Ferdinand nyengir. "Yap, benar sekali, kurang lebih delapan puluh persen dari semua orang yang lu liat di sini adalah apa yang disebut NPC."

    "Sebanyak itu?" Judith melongo, melihat jalanan yang penuh dan tidak mungkin dilewati tanpa bersentuhan ini. Segala macam Job ada di sini, tapi banyak juga yang berpakaian tanpa menandakan Job tertentu, membaur dengan semuanya dan menjadi arus manusia yang tak dapat diperkirakan. Suara, warna dan aroma datang dari segala penjuru, bercampur menjadi kemelut tidak jelas yang menyebut dirinya sendiri Pasar Pusat Prontera--dan kebanyakan dari ini adalah rekayasa?

    Tapi dia seharusnya tidak begitu terkejut. "Gua nggak mikir sampai sana, ya. Gua ngerti segala sesuatunya di sini itu nyata banget, tapi ternyata gamenya sampai bikin orang-orang kayak gini."

    "Memangnya dulu lu kira mereka player character? Justru itu yang bakalan kelihatan banget palsunya. Liat aja tingkah laku yang itu, tuh," Nichols menunjuk ke seorang Swordsman yang diam mematung di depan sebuah toko. Dia tidak bicara dengan penjaganya, apalagi menawar dan melihat-lihat barang. Tahu-tahu dia pergi, lalu berhenti di tengah jalan, menghalangi orang banyak, lalu jalan lagi, lalu berhenti lagi. "Yang kaku dan nggak alami kayak gitu langsung ketahuan, kan," Nichols berkata.

    Memang benar begitu; sampai akhirnya mereka keluar dari jantung kerumunan yang berdetak dengan panas dan gerah, Judith melihat banyak contoh lain. Seorang Merchant yang tiba-tiba duduk di tengah jalan; seorang Mage yang terus muncul dan menghilang berkali-kali di tempat; seorang yang duduk di pinggiran jalan dengan luka-luka yang perlahan pudar; seorang Swordsman yang terus-menerus mengatakan "Kakak heal plis" tanpa intonasi maupun emosi sambil berceceran darah dari kepalanya. Para NPC berjalan melewati mereka seperti ini adalah pemandangan biasa, meskipun keberadaan mereka sama sekali tidak konsisten dengan kenyataan apapun.

    "Aneh," Judith berkomentar.

    "Yang mana yang aneh?" Ferdinand tersenyum penuh pengertian.

    "Player-player itu aneh banget," Judith memutuskan.

    "Begitulah, Jud," NIchols berkata, membuang tusuk sate ke tempat sampah. "Buat kami, yang lu sebut 'NPC rekayasa' itu lebih mirip orang beneran daripada player-player barusan."

    "Kami juga tahu, mereka sebenarnya cuma bohongan, hasil simulasi game," Ferdinand menambahkan. "Tapi keinginan kami untuk melindungi mereka juga cukup kuat lho."

    "Maaf," Judith berkata.

    "?" Kedua bersaudara itu kompak menoleh bingung ke arah sang Novice.

    "Soal perkataan gua tadi di kuburan."

    Nichols dan Ferdinand mendengus. Satu menggeplak Judith di punggung, dan satunya lagi mengobok-obok rambutnya.

    "Begini-begini Judith itu sebenarnya anak baik, ya," kata Nichols, atau Ferdinand.

    "Mmhm," kata Ferdinand, atau Nichols.

    "Maksud kalian begini-begini itu apa, hah?"


    Seorang Thief, seorang Acolyte dan seorang Mage duduk di kafe, digabungi oleh seorang Novice.

    "Yo," Justin menyapa gadis yang tanpa minta ijin langsung duduk di meja mereka. "Gimana jalan-jalan bareng Nichols dan Ferdinand?"

    "Ga ngapa-ngapain. Jalan-jalan bentar terus mereka udah harus bertugas di Prontera, katanya," Judith mengerang, menempelkan dagu di meja. "Gua jadi depresi nih. Hibur gua dong. Traktirin es krim."

    "Lu enak banget ya, minta ditraktir es krim sama orang yang baru kemaren ketemu," Justin merasakan denyut di pelipisnya.

    "Oh, sori. Gua kira lu itu orang yang biasanya dibuli, jadi ga sengaja ngomong," Judith berkata tulus.

    Ruth mengeluarkan suara seperti tersedak.

    "Itu tidak sepenuhnya salah, Judith. Harusnya yang jadi target dikerjain di antara kita itu digilir ke orang baru, tapi aku dinilai terlalu membosankan dan Ruth dinilai terlalu imut. Jadi gelar bawahan masih dipegang Justin," Reed menerangi dengan arif.

    "Terus harusnya sekarang di gua, kan?" Judith menunjuk dirinya sendiri.

    "Harusnya di kamu, tapi secara kamu sudah memperlakukan Justin seperti bawahan, dan orang yang bersangkutan tidak memprotes--"

    "Saya memprotes. Dengan segenap hati," Justin mengangkat tangan kiri sambil menaruh tangan kanan di dada.

    "Tapi kamu selalu bicara kalau kamu ingin didominasi oleh seorang gadis tsundere yang--" dan sisanya tidak terdengar dari balik tangan Justin yang membungkam Reed dengan kecepatan khas seorang Thief.

    "ENIWEI," Justin mengabaikan mata Ruth yang memicing ke arahnya. "Kenapa lu jadi depresi?"

    "Gua cuma sadar aja kalo kebanyakan dari apa yang kita lihat di dunia ini itu palsu," Judith menopang badan di lengannya. "Sampai ke orang-orang di sekitar kita."

    "Ah," Justin mengangguk penuh pengertian. "Lu dilema karena lu tau NPC itu orang bohongan tapi kerasa nyata banget, gitu?"

    "Gua barusan juga dengar Ramos dulu ngapain," Judith berkata, mengeluarkan kartu merah yang ia terima kemarin. "Dan gua ga bisa mutusin dia itu orang jahat atau orang baik."

    Ruth melipat tangannya. "Dia merusak barang orang lain dan menyakiti mereka. Bukannya itu udah cukup untuk menentukan dia sebagai orang jahat?"

    "Memang. Tapi yang dia rusak dan yang dia bunuh itu barang sama orang yang buat-buatan, kan? Meskipun terasa nyata sekalipun, mungkin dia cuma melihatnya sebagai game yang super realistis."

    "Jadi menurutmu membunuh orang itu nggak apa-apa kalau orangnya di game?" suara Ruth meninggi.

    "Ya bukannya itu definisinya game ya?" Judith membalas.

    "Ya nggak dong! Kalau misalnya ada karakter game bertingkah kayak sungguhan dan terasa seratus persen kayak sungguhan, apa bedanya membunuh dia dengan membunuh orang di dunia nyata?"

    "Bedanya adalah lo tahu sebenarnya lo nggak bunuh siapa-siapa. Bentar. Gua ngerti mereka itu udah kayak orang beneran buat kalian. Gua juga setuju kalau membunuh mereka itu bukannya hal yang oke-oke aja. Tapi gua ga ngerti apakah itu memang benar atau kagak. Gitu lho."

    "Haah?" Ruth mengernyitkan dahi.

    "Intinya, lo juga ngerasa kalo itu salah. Tapi lo ga yakin apakah perasaan 'itu salah' lo itu bener. Gitu?" Justin menawarkan.

    Judith kembali mengantongi kartu merah dari Ramos. "Bukan cuma itu sih. Gua jujur aja bingung. Kita semua udah mati terus kita di dalam game, kan. Jadi apa yang nyata? Terus apa yang bohongan? Gua kayak kehilangan orientasi."

    "Pertanyaan yang berat," Reed berkomentar. "Apa definisimu soal hal yang nyata?"

    Judith bersender di kursinya. "Emangnya perlu definisi ya? Bukannya kita semua udah tau maksud gua itu apa?"

    Reed melihat ke dalam gelasnya yang berisi jus poring. "Tentu saja kita perlu definisi. Benda yang 'nyata' bisa saja berbeda dari orang lain ke orang lain. Sebagai contoh, apakah otaknya Justin nyata?"

    "Saya memprotes contoh ini." Justin sekali lagi mengangkat tangan, tapi tak ada yang peduli.

    "Hmm. Gua juga gak yakin soal itu," Judith berkata.

    "Pastinya Justin akan bilang kalau tentu saja dia punya otak. Tapi kita tidak bisa mengindera otak itu. Kita cuma bisa melihat kalau dia bertingkah dan berbicara seolah-olah dia punya otak," Reed menjelaskan.

    "Meskipun tidak selalu." Ruth mengangguk-angguk.

    "Oi," Justin menegur.

    "Jadi kita tidak bisa memastikan seratus persen kalau Justin punya otak. Justin sendiri pastinya yakin kalau dia punya otak. Kembali ke pertanyaannya, apakah Otak Justin itu Nyata? Nah, jawabannya bisa berbeda dari orang ke orang. Buat Justin, iya, pasti. Buat kita belum tentu."

    "Ini memang pertanyaan yang berat." Judith menengadah, memijat hidungnya.

    "Sungguh pelik." Ruth menutup mata dengan syahdu.

    "Anjing kalian kok parah banget sih sama gua hari ini. Gua ngapain? Gua salah apa?" Justin meratap.

    "Tetap saja, kemungkinannya besar kalau dia punya otak," Reed berkata.

    Wajah Justin menjadi cerah.

    "Sekitar delapan atau tujuh puluh persen."

    "KECIL BANGET! MASA ADA TIGA PULUH PERSEN KEMUNGKINAN GUA GA BEROTAK?!"

    "Begitulah. Punya atau tidak, dia masih Justin yang kita kenal. Kalau selangkangannya kita tendang, dia akan teriak kesakitan, dan kita akan kasihan padanya. Dia akan terlihat sedih dan kita tidak akan bahagia karenanya."

    "Masa?" Ruth menyela.

    "MASA NGGAK?!" Justin menggebrak meja.

    "Oleh karena itu kita semua menjalani hidup dengan bertindak seperti dia memang punya otak. Bahwa dia punya atau tidak punya otak itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perilaku kita, bukan?" Reed menyelesaikan.

    "Itu memang benar, sih. Selama ini kita juga begitu," Ruth berkata.

    "Hmm, hmm," Judith manyun pengertian. "Kalo dipikir-pikir lagi, seandainya kita berasumsi dia nggak punya otak dan nggak merasa sakit, selangkangannya bisa kita tendang kapan aja, ya. Tapi itu agak jahat."

    "Gua nyerah." Justin membenamkan wajah di lengan dan merajuk.

    "Iya. Um, ini mungkin sudah sedikit jauh dari permasalahan awal, tapi poinku adalah. NPC itu juga seperti ini, Judith. Mereka nyata atau tidak, itu seharusnya tidak mempengaruhi perilaku kita sebagai manusia kepada mereka. Mereka terlihat kesakitan, mereka terlihat punya perasaan. Dan kalau kita tanyakan ke mereka, mereka pasti akan bilang mereka nyata."

    "Gua masih nggak sreg dengan itu," Judith menggerutu. "Rasanya kita kalah sama ilusi, gitu."

    Reed menatapnya. "Seluruh dunia yang kita tempati sekarang adalah Ilusi. Tidak ada gunanya mempermasalahkan yang mana yang nyata atau tidak."

    "Gua cukup yakin gua bukan ilusi," Judith berkata.

    "Tapi aku tidak yakin seratus persen kalau kamu bukan ilusi," Reed membalas. "Mungkin saja kalian semua cuma proyeksi game ini dan tidak benar-benar ada di sini. Situasi kita semua sama, Judith."

    "Grhhh," Judith menggaruk kepala. "Gua ga ngerti gimana kalian semua waras sampai sekarang. Kalau kalian semua emang beneran ada di sini bareng gua."

    Ruth tersenyum lalu menepuk pundaknya. "Lama-lama terbiasa kok. Lagian, kamu kan punya teman banyak."

    "Kalian semua bukan teman gua," Justin berkata, suaranya terbekap kain lengan bajunya.

    Reed melihat Justin dengan iba. "Justin, ini. Sisa jusku."

    "Kalian semua jahat," Justin mengomel, berpaling dari Reed.

    "Udah, jangan cengeng. Lu cowok kan?" Judith berkata.

    Justin mengangkat wajahnya dan menunjukkan ekspresi datar. "Lu pada kalo ngejek tau batas dikit, dong. Gini-gini gua masih manusia juga, tau."

    "Itu benar sekali, semuanya. Justin masih manusia, ya kan?" kata suara yang terdengar seperti maut.

    Justin membeku. Sepasang tangan mendarat di bahunya, seberat besi dan sedingin salju. Tangan itu memijatnya, lalu melingkari lehernya. Di sebelah kepala Justin, muncul muka pucat berwajah tirus, bermata tajam dan berambut putih pendek.

    "Makanya karena dia manusia dia merasa dia berhak istirahat, ya? Begitu ya, Justin?" Roth berkata, dengan senyum yang menyedot kegembiraan dari udara dan jiwa di sekitarnya.

    "Um," Justin menggumam. Kulitnya mengkilat karena dibasahi keringat dingin yang keluar dengan seketika, seperti ingin kabur dari tubuh Justin dan meninggalkannya.

    "Lu udah nyelesaiin latihan yang gua kasih tadi pagi?" Roth semakin menempel ke Justin, seperti seorang ayah yang mencintai anaknya.

    "Um," Justin menggumam, sama sekali tidak terlihat seperti anak yang dicintai ayahnya.

    "Belum? Kenapa belum? Apa lu perlu pengawasan khusus dari gua? Gitu? Padahal gua sibuk, lho," Roth menelusuri pinggir wajah Justin dengan kuku yang cukup tajam untuk membunuh.

    "Um, Roth--"

    "Tapi karena lu adalah murid yang spesial buat gua, okelah," Roth berkata dengan gembira. "Say bye ke teman-temanmu, Justin. Byee~"

    "B-bye," Justin mengeluarkan suara khas itu yang merupakan campuran cegukan, tawa dan isak tangis keputusasaan. Lalu dia menghilang bersama Roth dalam sekedip mata.

    Meja itu hening.

    Reed mendengkur dengan pelan, tertidur dalam posisi duduk tegak, entah karena narkolepsi atau karena pingsan melihat penampakan Roth.

    Judith mengacungkan jempol ke arah ruang yang tadinya ditempati Justin.

    Ruth menghela napas. "Jadi begini. Waktu kemarin reunian, kita lagi ngobrol di meja soal kehidupan sehari-hari. Terus Roth kebetulan denger kalo Justin sehari-harinya cuma nganggur aja, nggak latihan atau nggak hunt. Terus jadinya tadi pagi dia melatih Justin secara khusus."

    "Oh, gitu. Ngomong-ngomong kalian sendiri sehari-hari sendiri ngapain?"

    "Aku sama Reed sekolah," Ruth menjawab dengan ceria.

    Muka yang dibuat Judith berikutnya sedikit sulit untuk digambarkan tapi ia adalah kandidat kuat untuk emotikon /wtf.

    "School's fun," Ruth mengangkat bahu dengan kikuk.

    Muka Judith berkontorsi sekali lagi, seakan berkata, "Lo sakit ya?"

    "Ya, aku sama Reed kan ga begitu suka cape-cape hunting dan bunuh monster, jadi kita ikutan NPC aja sekolah di Geffen."

    "Reed kan Acolyte."

    "Iya, tapi dia juga banyak nganggur kok. Makanya dia sekolah bareng aku. Meskipun akhirnya dia tidur melulu di kelas."

    Judith menggeleng-geleng kepala. "Kalian terlalu kuat."

    Reed tiba-tiba membuka mata dan bermuka seolah-olah teringatkan sesuatu. "Oh. Ruth, istirahat sudah selesai."

    "Oh ya? Kita punya berapa menit lagi?"

    "Sudah selesai. Sejak lima menit lalu."

    Muka Ruth berkerut mendekati wajah yang dibuat Judith waktu sang Novice mendengar di dunia ini masih ada yang namanya sekolah.

    "SAY IT FASTER, YOU TWIT!" Ruth berkata, menggetoknya di kepala. "WARP PORTAL! NOW!"

    "Tapi tadi aku lagi tidur," Reed mematuhi sambil mengusap-usap kepalanya, dan mereka menghilang tanpa berpamitan ke Judith.

    Sang Novice pun ditinggalkan sendiri di sebuah meja berisi puing-puing cheesecake dan jus poring. Dia melambaikan tangan ke udara, kini bengong.

    Di kejauhan, ombak memanggil. Deburannya halus dan lembut seperti suara pasir dan angin, besekongkol dengan udara Izlude yang sejuk untuk membuatnya mengantuk.

    Pelayan kafe yang datang ke mejanya untuk bebersih melihat seorang Novice yang menutup mata menikmati semuanya. Sang pelayan tersenyum ke dirinya sendiri. Membuat suara seminimal mungkin, dia melakukan tugasnya tanpa mengganggu Judith, membiarkan gadis itu tenggelam di dunia sendiri, menikmati angin palsu.

    Jadi lebih panjang, lol. DAN ADA KOMEN! SAYA CINTA KOMEN! :lalala:

    Orange doughnut: aku sengaja ga jelasin semuanya. Seleraku itu cerita yang langsung ke karakter dan kejadian, dan sebisa mungkin setting, latar belakang, mekanisme dst dll ditemukan oleh pembaca sambil lalu. Ga begitu suka deskripsi/eksposisi yang detil.
    Alasan sebenarnya sih aku ini super males aja....
    Tapi juga kalo pembaca abis baca masih terganggu dengan tidak adanya penjelasan itu, berarti saya telah gagal :madesu: Nanti mungkin aku taruh pedoman di post pertama.

    Fairyfly: Iya, soal gua-lo itu juga sebenarnya aku awal-awal ragu banget. Cuma karena di kehidupan nyataku banyak juga orang yang pake aku-kamu/gua-lo, penggunaan ini membantu karakterisasi, jadi aku masukin aja. Emang hasilnya ga sreg ya :iii:. Lalu soal konflik yang ada (dalam kasus ini tidak ada). Ceritanya dulu juga lebih bertele-tele lagi dengan dialognya, soalnya aku ngincer suasana keseharian.
    soalnya dulu plotnya ga yakin mau dikemanain....
    Kalo membosankan, maaf ya :maaf:

    Makasih untuk semua yang udah komentar ya. :nangis: Mereka membantu sangat lho. Sebagai orang yang hobi mengkritik kerjaan orang lain, saya juga harus belajar menerima kritik nih... :keringat:
     
  13. Elmion Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Mar 3, 2014
    Messages:
    14
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +12 / -0
    Irama derap kaki membuatnya membuka mata.

    Ratusan, mungkin ribuan prajurit melewati jalanan dalam barisan yang rapi, menorehkan hitam besi di panorama putih batu dan biru lautan Izlude. Mereka kotor, kumuh dan lelah. Hanya formasi mereka yang stabil. Knight-Knight itu berjalan terseok-seok, beberapa terombang-ambing oleh berat zirah mereka, beberapa lagi bertopang pada tombak seperti orang tua.

    Di tengah mereka ada sebuah kereta kuda tanpa jendela. Penampilan luarnya sama sekali tidak menandakan apa yang tersimpan di dalam, tapi yang jelas adalah kontingen Knight itu ada untuk mengawalnya. Entah itu harta atau monster atau orang, benda itu berbisik kepada naluri Judith bahwa dia berbahaya. Tapi diperhatikan seperti apapun, dia tetap terlihat seperti kotak kayu sederhana.

    Selagi dibingungkan oleh kereta itu, Judith bertumbuk pandangan dengan seorang Knight yang tersenyum persis ke arahnya.

    'Tunggu kami di Prontera,' sebuah suara bergaung.

    Sesaat kemudian dia telah kehilangan sang Knight. Mereka semua bergantian ditelan cahaya biru bak api merambat, tidak menyisakan apapun.

    Segalanya seperti lamunan; tapi suara barusan terlalu jelas, pandangan sang Knight terlalu tajam dan membekas. Ingatan itu menggaruk-garuk otaknya dengan tengil, tidak ingin dicueki begitu saja.

    Menghitung uangnya, dia ternyata memiliki cukup untuk layanan Kafra ke Prontera.

    ______________
    Chapter 1-5

    Orientation II


    Ada benang takdir tak terlihat yang terus mempertemukan para arketipe. Itu pasti. Tidak ada penjelasan lain bagaimana Judith bisa berpapasan dengan Chronos dan Ancilla yang belanja di toko gelaran Iris dan Sigurd.

    "Iris-san, tak bisakah anda memberi diskon sedikit?" Chronos memohon. "Judy-chan, tolong aku supaya dapat diskon, dong."

    "Eh. Kenapa aku?" Judith melipat dahi.

    "Soalnya kamu imut," Chronos berkata dengan setulus hati.

    "Iya makanya apa hubungannya?"

    "Chronos, saya rasa tidak bijaksana untuk menjelaskan alasannya di depan Iris. Dia mungkin akan merasa tersinggung jika dia disebut sebagai tante-tante yang menyukai daun muda. Haha."

    Iris mengangkat satu alis ke arah Chronos yang telah membeku sambil melotot ke arah Ancilla.

    "Itu adalah lelucon, " sang Sage berkata dengan kalem.

    "Kartu, silahkan kartunya," Sigurd menawarkan kepada pejalan kaki, tidak terpengaruh oleh udara yang bergejolak persis di sebelahnya.

    "Ngomong-ngomong, om Sigurd." (Iris mendengus mendengar sebutan ini) "Kenapa om berjualan di sini? Kan om Hunter," Judith berkata.

    "Hm? Oh, aku cuma bantu-bantu Iris. Lagipula, hari ini orderan sedang senggang, jadi aku punya waktu."

    "Orderan?"

    "Iya, aku kerja sambilan memburu binatang untuk penginapan dan rumah makan. Tapi cuma kadang-kadang sih, biasanya aku kerja mengurus guild. Tapi kebetulan hari ini juga guildku tidak ada acara."

    "Ooh, begitu. Jadi ceritanya om Sigurd dengan tan--"--palu sang Blacksmith tiba-tiba berkilat dengan berbahaya--"--dengan kak Iris ini partner bisnis?" Judith berkata, berkeringat dingin dan berfirasat bahwa dia baru saja menghindari kesalahan besar.

    "Begitulah. Lebih tepatnya ini aku bosnya si orangutan," Iris mengelus dagu seperti juragan.

    "Iris, kamu menarik kerahku, menyuruhku duduk di sini dan sama sekali tidak menjanjikan bayaran," Sigurd menjabarkan dengan lesu. "Setidaknya akuilah kalau aku membantu dengan suka rela."

    "Menurut saya, itu bukan sebuah model bisnis yang sehat. Kualitas pekerjaan Sigurd sama sekali tidak terjamin dengan cara ini," Ancilla berkata. "Dan sayangnya saya rasa perbudakan sudah dibuat ilegal."

    "Beri jalan! Tolong beri jalan! Sebentar lagi ada rombongan besar lewat, tolong beri jalan!" seorang Swordsman berteriak, menyudahi percakapan mereka sebelum Chronos bisa berkomentar.

    Dengan sigap semua pedagang mematuhi. Kepraktisan skill Vending membuat membersihkan toko bahkan lebih mudah dari membukanya, dan Judith menduga inilah alasan kenapa 'Pasar Prontera' dibiarkan luber sampai jauh di luar area resminya.

    Iris pun dengan cepat menggulung tikar sambil mengeluh ke dirinya sendiri. Semua kartu yang tadi ia tampilkan berubah menjadi titik-titik cahaya yang menghilang, diikuti oleh tikarnya sendiri, kemungkinan besar pergi ke cartnya dengan ajaib.

    "Berdagang di game ini enak sekali, ya," Judith berkata setelah melihat semua ini.

    "Begitulah. Yang menjadi masalah cuma kita belum menciptakan sistem kredit yang stabil dan bisa dipakai semua pembeli serta penjual," Iris berkata. "Gara-gara itu susah sekali kalau mau berdagang skala besar dengan pinjaman."

    "Meminta jaminan dalam bentuk blue gemstone juga menyulitkan semua orang, Iris-san. Percayalah," Chronos menggumamkan.

    "Kalau mau mengomel, omeli saja kerajaan yang tidak bisa menahan inflasi. Yang namanya Zeny itu labil bukan main, tahu. Makanya semua orang belakangan ini lebih suka investasi di Einbroch atau daerah Schwarzwald lain," Iris nyeletuk.

    "Mereka hanya akan kecewa ketika para Fahrenheit menolak memberi izin untuk membiarkan teknologi mereka diperdagangkan di Rune-Midgard, Iris-san. Apalagi untuk memulai produksi dan pembangunan di sini. Kecuali, tentunya, anda ingin pindah ke sana."

    "Dengan standar kehidupan mereka? Aku lebih memilih rugi setiap hari di sini daripada menanggung externality di sana. Yiks."

    Suara seratus langkah berlapis baja menghentikan perdebatan itu, membuat semua menoleh ke arah hal yang mengharuskan mereka memberi jalan.

    Rombongan Knight itu terdengar lama sebelum mereka terlihat, bergerak bergemuruh melewati jalan yang memuat mereka dengan pas-pasan. Semua orang di jalan dengan senang hati membuat jarak sejauh mungkin. Peringatan para Swordsman barusan tidak diperlukan; siapapun yang tidak merasakan kehadiran mereka yang begitu menekan pastilah tuli sekaligus buta.

    "Dari mana pula orang-orang ini?" Iris berbisik. "Terus ngapain mereka lewat sini? Kenapa nggak warp aja?"

    "Tadi aku lihat mereka teleport keluar dari Izlude sih," kata Judith.

    "Biasanya kalau mereka menunjukkan diri di depan umum seperti ini, itu berarti parade kemenangan. Tapi ini tidak terasa seperti itu sama sekali," Chronos berkata.

    "Saya setuju. Ini lebih mirip parade kekalahan," Ancilla berbicara seperti biasa, yaitu dengan lantang dan timing yang buruk.

    Orang-orang di sekitarnya lantas melirik, termasuk dua orang Swordsman yang kebetulan sedang berjaga dekat sana.

    "Oh, ternyata memang benar kalian," Sigurd menyapa Nichols dan Ferdinand.

    "Kalau Swordie yang di sini bukan kami, mungkin kalian sudah diajak berantem tuh," Nichols nyengir.

    Chronos menghela napas. "Aku tahu benar, Ferdi-kun. Atau mungkin kamu Nico-kun?"

    "Hai, Ferdi-kun yang ini," Ferdinand mengangkat tangan.

    "Emangnya lagi ada apa sih?" Judith bertanya, pandangannya terkunci ke arah para Knight yang tengah lewat persis di depan mereka. "Tadi siang kalian bilang harus bertugas itu maksudnya buat ini?"

    "Hmm, mungkin. Yang gua tahu cuma hari ini banyak banget yang patroli di sekitar sini," Nichols menjawab, memperhatikan gerak-gerik pasukan Knight dengan dahi berkerut. "Tapi kami memang diberitahu kalau nanti ada kontingen Knight lewat sini."

    "Jadi mereka sebenarnya apa?"

    "Jabatan kami tidak cukup tinggi untuk dapat informasi itu, sayangnya," Ferdinand berkata. "Tapi pastinya hal yang penting. Mungkin di dalam kereta itu ada Fri Freeman."

    "Ya kali," Nichols terkekeh.

    Judith bengong melihat mereka.

    "Pemimpin kelompok teroris Red Anarchy," Nichols menjelaskan. "Buronan paling besar sepanjang sejarah Rune-Midgard. Dia dulu mendalangi penyelundupan, kerusuhan dan pemberontakan di mana-mana. Kerajaan sempat krisis gara-gara satu orang ini."

    "Kalau itu benar Fri sih Istana pasti sudah mengeluarkan kembang api dan menetapkan libur nasional," Ferdinand berkata. "Juga pastinya mereka tidak akan mengangkutnya dengan cara tidak aman seperti ini."

    "Tidak aman?"

    "Iya, soalnya kalau begini kan mereka seolah-olah menantang orang untuk merebut kereta itu--"

    'Tiga.'

    Sang Novice menoleh-noleh nanar, menyapu pandangan ke ratusan Knight di barisan itu. Lalu dia menemukannya, seseorang yang mengunci tatapan ke arahnya dengan seringai.

    "Kenapa, Jud? Nyari apa lu?" Nichols mengangkat alis.

    'Duaa.'

    "Dari tadi ada orang yang mengirim whisper ke gua," Judith membalas tatapan sang Knight. "Terus dia sekarang lagi hitung mundur."

    'Judith, sebaiknya kamu mundur sedikit.'

    "Hitung mundur?" Ferdinand giliran bingung.

    Sang novice tertegun. Dalam sekejap matanya melebar dan mulutnya terbuka menarik napas tajam. Kakinya bergerak dengan sendiri, membawanya berputar, merunduk, mendesak dan mendorong kerumunan di sekitarnya.

    'Bum.'

    Suara laksana petir meledak dengan kekerasan yang mustahil.

    Badan Judith terhempas ke tanah dalam sekejap. Tanah menyambutnya dengan benturan yang mengeluarkan semua udara dalam paru-parunya. Telinganya berdenging, kepalanya pengang, matanya mengerjap dan melihat dunia yang kabur.

    Dia merangkak dalam kebutaan itu; badannya ingat ada gang kecil di dekatnya. Dan benar saja dia menemukannya, sebuah tembok untuk bersandar dan berlindung dari serangan musuh.

    Dari sini dia tidak bisa melihat apapun. Dari balik asap, di bawah bunyi dengingan yang memenuhi rongga kepalanya, suara baja berdenting dan teriakan riuh rendah terdengar sayup.

    Lagi. Terjadi lagi. Bahkan setelah mati pertempuran mengejarku.

    Batin Judith mengulang-ulang pikiran itu, tak mengetahui mereka menyelinap dari mana. Suara pun datang dari antah berantah.

    "Oke, pertanyaan! Kau! membunuh satu musuh berapa poin?!"

    "Dua!"

    "Membawa pulang senjata berapa poin?!"

    "Satu!"


    Judith menekan kepalanya dengan kedua tangan, menyumpal gema-gema itu.

    "Kehilangan teman seregu berapa poin?!"

    "Minus dua!"

    "Kalau kamu mati, berapa poin?!"

    "Semua poin saya jadi nol!"


    Matanya terbelalak, napasnya memburu.

    Judith bangkit, gemetar dan lesu, bersandar di tembok. Dia berjalan tertatih-tatih ke arah pusat kehancuran, melangkahi orang-orang yang roboh di jalanan, sesekali menyentuh bagian badan untuk cedera lalu mengabaikannya jika memang ada.

    Dia punya teman di sana. Dia harus ke sana. Dengan pisau terhunus, dia kembali memasuki asap yang menyelubungi pertumpahan darah.

    "Benar sekali! Di permainan ini, semuanya selesai kalau kalian mati! Jadi apa yang harus kau lakukan?!"

    Dia akan membawa mereka semua pulang hidup-hidup.

    wow. Update yang ini ternyata pendek banget :swt:
     
  14. Rio_Shinn M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 29, 2013
    Messages:
    502
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +1,393 / -0
    Oh, sweet. Fanfic Ragnarok. jadi ingat Archer level 96 punyaku yang ga naik2 level karena masih ngurus rutinitas kuliah.:tolong:

    Pas awal2 kan ga ada penjelasan, aku kira Judith ditransfer ke dunia game yang dimainkan player2 yang ga mati juga, supaya meminimalisir kemungkinan dia yang sekarat di dunia nyata untuk ga kehilangan nyawa sementara proses pengobatan berlangsung, jadi semua player yang ada di game emang real selain NPC. :bingung:

    Aku amati dari ceritanya, kayaknya Judith berkawan dengan... semacam GM atau staffnya ya? kok tahu soal detail penelitian ini itu segala macam tapi mereka ikut main game juga.
    Iris - Sigurd jadi ingat yang di Yureka kalau ga salah, kayak pasangan om2 dan tante2 yang main game. meski aku ga tau rinci umur Iris berapa.
    Ramos = psychotic freak. mungkin bisa menambah twist kalau dia benar2 tertarik dengan Judith.

    emang agak kurang nyaman sih dengan istilah lo-gue, tapi karena menurutku kisahnya menarik, aku kesampingkan itu.
    lanjutkan ya :top:
     
  15. eghachunnie Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 3, 2013
    Messages:
    96
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +62 / -0
    Apiiikkkk :* saya suka saya suka
    *newreader* *bow
     
    Last edited: May 8, 2014
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.