1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Battle Zero-Indonesian Revival

Discussion in 'Fiction' started by vanka, Feb 3, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. vanka Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 22, 2009
    Messages:
    84
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +10 / -0
    [​IMG]

    Cerita: Tovan
    Ilustrasi Chapter 01: Tovan
    Konsep Cerita: Indonesia 60 tahun mendatang
    Konsep Penulisan: Style Light Novel
    Genre: Drama, Tragedi, Mecha, Politic
    Jadwal Update : -

    Ini karya pertama ane dalam bidang tulis menulis, silahkan di baca semoga terhibur dan menginspirasi.
    Jangan lupa komentar dan masukanya :D

    Prolog: Indonesia Baru
    Chapter 01: Mildo Bandi
    Chapter 02: Liliana Rosemerlia
    Chapter 03: Erga Pata
    Chapter 04: Indonesian Defense Ultimate (INA.D.U)
    Link Komik One Shot

    —Mildo menyibakkan tangannya, tubuh kecilnya berjalan ke lokasi proyek kontruksi jalan layang. Kepulan debu kontruksi mengaburkan pandangannya pagi ini, kondisi ini diperparah oleh suara bising dari mesin-mesin proyek kontruksi jalan. Itu hanya sebagian kecil gambaran pembangunan di salah satu sudut kota kecil di indonesia Metro Nusa Tenggara[1] dalam program pengembangan otonomi daerah. Bila kita mau berjalan sedikit ke alun-alun kota, tranportasi modern sudah bisa kita nikmati dengan ongkos yang relatif terjangkau layaknya tranportasi di negara-negara maju. Salah satu keindahan yang masih bisa dilihat malam hari adalah cahaya bintang. Berbeda dengan daerah yang sudah berkembang pesat dimana pembangunan gedung-gedung pencakar langit mulai tidak terkendali, diperparah polusi udara yang mengotori pemandangan langit.

    Terlepas dari semua itu perkembangan di indonesia saat ini karena di dukung oleh kekuatan ekonomi yang kuat setelah asset negara yang sebelumnya dikuasai asing bisa di ambil alih oleh pemerintah Indonesia. Ini tahun 2074 Masehi, Indonesia dalam sebuah pembangunan besar-besaran setelah mengalami masa kelam 55 tahun lalu. Dengan komitmen dan kerja keras pihak pemerintah dibantu oleh seluruh rakyat, Indonesia berhasil membangun jalur transportasi publik yang terhubung satu sama lain dari sabang sampai merauke tanpa terputus. Jalur tranportasi itu bernama Cincin Lintas Nusantara (CLN).

    [​IMG]

    Jalur tranportasi dengan lebar rata-rata 300 meter, tepat di tengahnya terdapat enam jalur kereta listrik. dua jalur pertama di gunakan khusus untuk kereta cepat, hanya butuh butuh waktu 10 jam untuk mengelilingi indonesia, dua jalur kedua di gunakan untuk kereta lambat, dan dua jalur terakhir khusus di gunakan untuk kereta barang, sedangkan bagian kiri dan kanan jalur kereta adalah jalur tranportasi kendaraan. Walaupun masih dalam tahap penyempurnaan, untuk daerah-daerah vital sudah bisa di lalui. Harapan dari pembangunan CLN sendiri yaitu untuk mendorong masyarakat dan para investor, ke daerah yang belum berkembang sehingga terjadi pemerataan penduduk di setiap kepulauan Indonesia. Walaupun rencana ini belum sepenuhnya berhasil, tapi perkembangan sudah mulai terlihat.

    —Mildo mendekati salah satu alat berat sejenis Crawler Crane, yang ia kemudikan sehari-hari untuk membantu pekerjaannya mengangkut blok beton ke tiang pancang. Meskipun usianya baru beranjak 13 tahun, ia sudah melakukan pekerjaan kasar sejak setahun lalu, sebelumnya Mildo memiliki kehidupan tidak jauh berbeda seperti teman-teman sebayanya. Namun sejak setahun lalu, Dia memutuskan keluar dari sekolah dan lebih memilih jadi pekerja kasar. Ia menyadari dengan menjadi perkerja kasar, penampilannya kini menjadi jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Rambut belah tengahnya menjadi kemerahan mirip rambut jagung, telapak tangannya sudah agak kasar, begitu juga dengan kulitnya yang semakin cokelat sawo matang. Terlepas dari semua dari semua itu ia tak menyesali pilihan hidupnya.

    Metro Nusa Tenggara, tempat Mildo tinggal sekarang, kawasan ini rencananya akan di gabungkan menjadi sebuah kota besar yang terdiri dari dua Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Ketiga pulau utamanya adalah Pulau Lombok, Pulau Sumbawa dan Pulau Flores di lintasi oleh CLN. Sudah banyak orang-orang yang bertransmigrasi ke Metro Nusa Tenggara dan menetap di sana. Sehingga hampir 30 tahun lamanya baik penduduk pribumi dan non pribumi sudah berbaur satu sama lain.
    _______________________________________
    [1]. 50 Tahun yang lalu, daerah ini adalah dua provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Dengan kebijakan pemerintah sekarang, dua provinsi ini dalam proses penyatuan wilayah otonomi.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Feb 3, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. vanka Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 22, 2009
    Messages:
    84
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +10 / -0
    Chapter 1: Mildo Bandi Bagian 1


    “Hei Mildo!”

    Seorang pria berusia 35 tahun menegur Mildo yang sedang fokus memindahkan blok beton dengan Crawler Cranenya. Mildo biasa memanggil Pria itu bang Wawan. Dia salah satu dari pekerja proyek sama seperti Mildo

    “Cuaca hari ini panas banget ya.”

    Mildo melirik kearah pria yang sudah dikenalnya. Terlihat bang wawan mengipas-ngipaskan koran ke wajahnya yang penuh dengan keringat.

    “Oh bang Wawan, mungkin akan turun hujan sore nanti.”

    “Haah, kau seperti baru tinggal di sini aja, tau sendiri kan? Disini jarang hujan apa lagi di pertengahan tahun seperti sekarang.”

    “Ya Benar juga si, lagi pula iklim sekarang ini sulit di prediksi.”

    “Oh ya Ngomong-ngomong, kemana kakekmu? Sudah tiga hari ini aku tak melihatnya!” sambil menyundut sebatang rokok bang Wawan bersandar di Crawler Crane.

    Mildo teringat kembali, bahwa orang yang merawat ia selama ini sudah tidak pulang selama tiga hari. Yang ia ingat tiga hari lalu, kakeknya di jemput oleh empat pria berseragam militer. Padahal sepengetahuan Mildo, kakeknya hanya orang biasa yang tidak pernah berurusan dengan orang-orang penting pemerintahan.

    “Ah... kakek Bandi…” Mildo sempat binggung menjawab pertanyaan salah satu rekan kakeknya diproyek kontruksi jalan layang yang sedang mereka kerjakan.

    “Waktu itu dia tidak bilang pergi kemana, hanya saja aku dapat kabar dari bapak kepala proyek, sehari setelahnya. Pak kepala bilang kakek segera kembali jika urusannya telah selesai.”

    “Oh… baguslah jika ada kabar seperti itu. Sebenarnya aku takut, belakangan ini aku beberapa kali liat orang asing yang mengamati para pekerja, dengar-dengar mereka adalah intelejen khusus dari pemerintah pusat. Entah apa yang mereka cari.”

    Bang Wawan sedikit memelankan suaranya ketika membahas masalah Itelejen khusus pemerintahan.

    “Intelejen?” Gumam Mildo dengan muka serius.

    “Maka dari itu, berhati-hatilah Do!, jangan mudah percaya kepada orang asing yang membujukmu atau menawarkan apapun itu.”

    Mildo jadi was-was, takut sesuatu hal buruk menimpa kakeknya. Tapi ia berusaha tak khawatir dan berpikir positif tentang kakeknya.

    Menjelang siang, Diantara kesibukan para pekerja ada beberapa anak-anak berlarian tidak jauh dari batas area kontruksi. Tidak jauh dari area itu ada salah satu jalan protokol yang cukup ramai karena ada akses ke salah satu stasiun stasiun besar Rapid Railway Nusantara[1].

    “Hoi bocah! Jangan dekat-dekat sini, berbahaya!” Bang Wawan meneriaki kumpulan anak-anak itu yang mencoba masuk garis pembatas.

    “Tenang bang Wawan, tuh liat aja Mildo, dia ngapain disitu?” seru salah satu anak yang berlarian sambil tertawa dan terus menjauh.

    ”Mildo! Kau lihat anak-anak yang sebaya denganmu tadi?”

    “Iya…?”

    “kamu tidak ingin melanjutkan sekolahmu dan bergaul dengan teman-teman sebayamu lagi? Pria tadi melanjutkan perbincangan, namun kali ini sesuatu yang tidak ingin Mildo ungkit-ungkit lagi.

    “…” Mildo Cuma terdiam.

    “Apa gara-gara gadis kecil yang selalu bersamamu itu ya? Diakan selalu menempel kemanapun kau pergi, sekarang dia dimana tuh? Sudah pindah ketempat keluarga besarnya ya?” dengan nada bercanda Bang Wawan mencoba meledek Mildo membicarakan temannya yang pergi setahun lalu.

    Mildo jadi teringat lagi teman masa kecilnya, ingatanya sempat kembali ke saat setahun yang lalu. ekspresinya agak kesal.

    “BUGH!” Tiba-tiba Mildo turun dari Crawler Crane lalu memukul pelan bagian perut bang Wawan.

    “Wadaw! Oy Mildo kurang ajar kau, aku nanya serius kau malah memukulku.”

    “Aku kesal! bang Wawan jadi mengigatkanku tentang dia,” Mildo mengatakannya sambil berlari meninggalkan bang Wawan.

    “Woii dasar kau, kembali! Kerjaanmu belum kelar oii…! Dasar bocah!”

    “Bang Wawan saja yang meneruskan!”

    Begitulah hari saat-saat ia berkerja di proyek kontruksi, hal yang menarik perhatian Mildo adalah ketika para pekerja lainnya saling berbincang mengenai realita saat ini, baik politik, ekonomi maupun hukum, juga perbicangan ringan seputar gossip-gosip terkini. Diantara para pekerja hanya dia anak di bawah umur yang di izinkan ikut berkerja atas pengaruh kakeknya yang cukup terpandang di wilayah itu. Bahkan sesekali dia sering jadi bahan candaan pelepas stress para pekerja lainnya.
    ***
    “Mildo…! Mildo Bandi…!”

    Terdengar suara perempuan memanggil namanya dari kejauhan.

    Mildo dengan sigap menoleh kearah sumber suara, ia merasa tidak asing dengan suara khas yang dikenalnya.
    [​IMG]
    Ia mendapati dua perempuan yang tak asing berjalan kearahnya, perempuan muda yang usianya tak jauh berbeda dengan Mildo dan yang satunya lagi wanita dengan usia sekitar 29 tahun.

    “Lilia...na...”

    Suara Mildo tertahan… jarinya menunjuk kearah gadis yang ia sebut Liliana, untuk memastikan bahwa itu gadis yang dikenalnya. Dilihatnya gadis seusia dengannya, rambut lurus dan panjang di tambah poni tipis menutupi pelipisnya. Mildo belum merasa yakin bahwa dia adalah gadis yang di kenalnya setahun lalu yang tiba-tiba pergi.

    “Haduh haduh… kenapa kamu jadi kaku begitu.” Liliana menepuk bahu Mildo yang menyadarkan dari bengongnya.

    Sedangkan Mildo tidak bisa menyembunyikan ekspresi senangnya, ia tak menyangka Liliana yang kembali setelah setahun pergi.

    “Bu Maryam aku mau disini dulu...”

    Liliana meminta izin kepada perempuan yang ada di sampingnya. Dia adalah Ibu pengasuh yang mendapat kepercayaan dari keluarga besar Liliana.

    “Tapi Non Lili, kita kan harus…”

    Dengan tatapan tajam tiba-tiba Liliana menempatkan telunjuk jari di bibirnya.

    “Ssst…!”

    Ibu pengasuh langsung paham, dan mengiyakan isyarat yang di berikan oleh Liliana.

    “Ada apa?”

    Mildo mencoba memastikan maksud Liliana memotong pembicaraan Ibu pengasuh.

    “Ah tidak apa-apa, dia hanya ingin aku segera pulang dan istirahat”

    Sambil terus mengobrol Mildo dan Liliana menjauhi lokasi proyek, mereka akhirnya duduk di sebuah daerah yang agak lapang, saat sore hari tempat itu sering di isi oleh anak-anak yang bermain dan bersantai. Tata kota disini cukup baik berkat ketegasan pemerintah pusat untuk menyediakan ruang terbuka hijau untuk di setiap wilayah setingkat Desa di seluruh wilayah Indonesia. Untuk jalan raya sudah di buat pertaturan untuk daerah pusat dengan lebar jalan yang sudah di tentukan. Juga peraturan untuk wilayah yang boleh di bangun gedung bertingkat.

    Mildo dan Liliana duduk dikursi Taman, di sampingnya ada sebuah pohon besar yang rindang, di depan mereka ada beberapa anak-anak yang baru pulang sekolah menyempatkan diri untuk berkumpul dengan teman-temannya.

    “Oh ya aku belum dengar,” Mildo melanjutkan perbincangannya, “cerita dong gimana perjalanan mu? Kaumelewati rute Timur Indonesiakan? Ayo cerita!”

    Mildo sedikit mengebu-gebu, ia ingin sekali mendengar cerita Liliana tentang perjalanannya. Karena ia sendiri belum pernah berkeliling melintasi CLN, selama ini Mildo Cuma dapat informasi dari dunia maya dan buku-buku yang ia baca. Jadi keinginannya untuk mengetahui Indonesia lebih jauh lagi sangat besar.

    “Hehe...sebenarnya aku lebih banyak tidur selama perjalanan” Liliana mengucapkannya dengan nada meringis.

    “Haa...”

    “Hehe... yang pasti seru loh…awalnya aku deg-deggan, itu pertama kalinya aku naik Rapid Railway Nusantara, aku naik rute jalur lambat walaupun butuh waktu dua hari untuk sampai Sumatera tapi keuntungannya jadi bisa lihat pemandangan yang beragam, melintasi lautan, pegunungan, hutan juga daerah-daerah yang belum pernah aku lihat. Terkadang melewati Jurang yang sangat curam, hiiiyyy. Intinya sih mataku jadi terbuka kalau Indonesia itu sangat luaaaaas dan beragam.”

    Liliana mencoba mendeskripsikan semua pengalaman selama perjalanan pulang melewati CLN.

    Sementara itu Mildo mendengarkan dengan seksama semua penuturan Liliana, kadang matanya melirik wajah Liliana, biar bagaimanapun ia tidak bisa menyembunyikan jika dirinya merindukan Liliana.

    “Hei.. kenapa matamu tidak berkedip melihatku?” ternyata Liliana menyadari tatapan Mildo.

    “Eh..anu..” Mildo jadi Grogi. “Oh itu.. aku seperti lihat bulu hidung keluar” Mildo coba berkelit .

    “Huwaa..Mildo jahaaatt!” Liliana berteriak, wajahnya memerah, ia langsung buru-buru membuka tas kecilnya. Diambilnya sebuah cermin.

    Mildo tersenyum kecil, ia sempat melirik isi tas Liliana yang berisi peralatan make up, tak menyangka bahwa Liliana sudah beranjak dewasa.

    “Dasar kamu! ini bukan bulu hidung tau! Ini bulu mata, nih lihat!” Liliana menyodorkan sebuah bulu mata ke wajah Mildo.

    “Eh iya.” Mildo membenarkan. “Wah kalau benar ini bulu mata yang jatuh berarti ada yang kangen sama kamu nih.”

    “Kangen..” Muka Liliana memerah “Ah sudah-sudah memang mitos seperti masih berlaku di jaman seperti ini.”

    Mildo hanya tersenyum melihat reaksi Liliana.

    “—Tapi diantara semua yang kuceritakan..” Liliana coba melanjutkan ceritanya, “ada salah satu daerah yang membuatku takut saat melintasi CLN, bahkan untuk mengigatnya pun aku masih merasa ngeri.”

    “Loh kenapa?”

    Mildo mengerutkan dahinya.

    “Hmm...” Tiba-tiba Liliana terdiam seperti berusaha mengingat sesuatu.

    “Aku sih kayanya gak terlalu ingat betul, tapi saat melintas di daerah paling Timur Indonesia”

    “Maksudmu Irian Jaya?” Potong Mildo, untuk memastikan.

    “Iya mungkin daerah itu, aku seperti melihat mesin-mesin raksasa, beda dengan mesin kontruksi yang ada di lokasi proyek tadi, lebih tepatnya robot, mereka seperti sedang berpatroli. “

    “Robot..?”

    “Yah jika aku gak salah ingat, habisnya saat melintas daerah itu sudah malam, jadi jarak pandanganku terbatas. Tapi apa iya di Indonesia ada yang seperti itu, kalau beneran ada sih keren juga kan? Seperti di negara-negara lain yang bebas membuat robot-robot canggih.”

    “Hoo..” Mildo menganguk-angukan kepala, sambil memikirkan sesuatu.

    “Mildo kapan-kapan kita keliling Indonesia berdua yuk! Kita naik Rapid Railway, lewat jalur lambat agar bisa menikmati perjalannya.”

    “Gimana menurutmu Do?”

    “Mildo...”

    “Mildooo! Iih kamu malah ngelamun...kan.”

    Mildo tersentak seperti mengingatkan akan sesuatu, tiba-tiba menarik tangan Liliana

    “Kyaaa…! Mildo tunggu! aku mau di bawa kemana?!”

    “Ada yang ingin kupastikan!”

    _______________________________
    [1] Tranportasi Massal jenis kereta yang sudah di kembangkan dan didesain sesuai dengan jarak tempuh dari panjang CLN.
     
    Last edited: Feb 3, 2014
  4. vanka Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 22, 2009
    Messages:
    84
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +10 / -0
    Dengan menggenggam tangan Liliana, Mildo berlari ke arah rumahnya yang tak jauh dari taman kota. Setelah sampai Mildo segera masuk kesebuah ruangan yang selama ini tidak pernah di masuki oleh siapapun. Ruangan yang jika di lihat dari tata letaknya seperti ruang kerja. Debu-debu pekat menempel di setiap sudut ruangan dan menyelimuti benda-benda yang ada disekitarnya itu. Liliana sempat batuk dan bersin karena ruangan yang kotor tidak berpentilasi itu.

    “Mildo! apa yang yang kamu cari?”

    Mildo masih sibuk membongkar semua tumpukan kertas dan dokumen-dokumen yang tertata rapih pada rak buku, beberapa menit kemudian akhirnya dia menemukan benda yang dicarinya.

    “Ini lihatlah.” Mildo menyodorkan beberapa lembar kertas.

    “Apa ini?” Liliana mencoba mengamati beberapa kertas, dia hanya bisa melihat dari cahaya yang masuk dari sela-sela jendela.

    “Coba perhatikan, apakah Robot yang kau lihat saat perjalanan kemarin ada yang mirip dengan gambar-gambar di kertas itu?”

    “Mmmmh…, duh susah juga kalau harus ingat kejadian itu.

    Liliana jadi nampak serius, begitu juga dengan Mildo yang menampakan raut muka harap-harap cemas. Karena jika dugaannya benar mungkin itu salah satu kunci Mildo untuk bertemu dengan kedua orang tuanya yang telah hilang sejak ia berusia lima tahun.

    “Loh ini…! Iyaaa..ini dia!”

    “Haa!”

    Teriakan Liliana mengagetkan Mildo.

    “Aku lihat yang bentuknya kaya gini, walaupun samar aku yakin mirip!”

    Liliana menunjukkan salah satu kertas bergambar desain robot yang ia rasa mirip dengan yang dilihat malam kemarin. Dia masih melihat ulang kertas-kertas yang lain untuk memastikan.

    “Yah sekarang aku ingat jenis ini juga aku lihat.” sambil menunjukan kertas yang lebih kusam dari yang lainnya.

    “Kok kamu punya yang kayak gini sih?”

    “Mildo..”

    Dia masih berjongkok sambil mengamati kertas bergambar draft desain mekanik robot.

    “Mildooooo!”

    Kali ini suaranya lebih kencang, apalagi Liliana berteriak tepat di depan kupingnya.

    “Isshhh…kamu bengong mulu dari tadi!”

    “Maaf..Maaf.”

    Dengan muka pucat Mildo membereskan kertas-kertas yang tercecer di lantai.

    “Kamu dapat dari mana semua dokumen ini.”

    “Dokumen ini milik ayahku.”

    Suara Mildo terdengar lirih seperti ada yang tertahan. Entah perasan gembira atau sedih, teringat akan kedua orang tuanya, ditambah informasi mengenai robot yang di ceritakan Liliana.

    Sampai sejauh ini perkembangan teknologi Proto-ARM[1] di Indonesia tidak pernah di angkat ke media. Sehingga arus informasi yang beredar di masyarakat tidak banyak yang diketahui. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui perkemgangan Proto-Arm di Indonesia.

    “Ayahmu?”

    “Yah selama ini aku tidak pernah bercerita...karena aku...” lama Mildo melanjutkan kata-katanya seperti enggan bercerita.

    “Sudah-sudah jika itu berat untuk diceritakan, kamu tidak perlu mengatakan apa-apa tentang orang tuamu.”

    Mildo yang tidak ingin cerita tentang masa lalu kedua orang tuanya, merasa tenang dengan sikap Liliana yang mengerti tentangnya.

    “Oh iya aku baru ingat ini pertama kalinya kamu mengajak masuk ke rumah kakekmu ini.”

    “Ah...ya...”

    Mildo masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

    “Aku ingin lihat kamarmu ya”

    “Tunggu! Jangan masuk!”

    Tanpa persetujuan Mildo, Liliana langsung membuka pintu dengan ukiran Bertuliskan Mildo Bandi menggantung di sudut atas pintu.

    “Loh ini benar kamarmu?”

    Liliana melihat sekeliling ruangan, terdapat sebuah kasur, keranjang baju dan Netbook di sudut ruangan. Tepat di dekat kasur ada jendela kecil dengan lubang lubang udaranya. Ada beberapa buku-buku science serta buku ilmu pengetahuan umum lainnya.

    “Aku ingin lihat seragam sekolahmu? kalau seragamnya bagus aku mau deh satu sekolah denganmu lagi... Bagaiamana?”

    Pertanyaan Liliana membuat Mildo tidak bisa mengatakan apapun, entah bagaimana Ia bilang bahwa dirinya tidak melanjutkan sekolah.

    “Aku...aku tidak melanjutkan sekolah” suara Mildo seperti tertahan.

    “APA!, tidak melanjutkan sekolah?!”

    Seakan tidak percaya Liliana menguncang-guncangkan tubuh Mildo. Liliana tahu Mildo adalah anak yang cukup pintar dibandingkan dengan teman-temannyanya tapi tetap saja keputusan Mildo untuk tidak melanjutkan sekolah tidak bisa di terima.

    “Kenapa tidak melanjutkan sekolah? padahal salah satu kedatanganku kemari ingin bersekolah di tempat yang sama denganmu lagi.” Ekspresi Liliana tiba-tiba manyun.

    “Itu...awalnya karena aku bosan jadi kuputuskan untuk belajar sendiri. Aku pikir dengan bekerja dan berbaur dengan orang-orang dewasa, bisa mendapatkan informasi tentang kedua orang tuaku."

    “Begitu ya…” dengan suara samar Liliana menyesalkan keputusan Mildo.”Dasar orang Indonesia bodoh.”

    “Kamu barusan bicara apa.”

    “Ah tidak... aku nggak bilang apa-apa kok.”

    Raut Liliana berubah, takut celetukannya tadi didengar oleh Mildo. Ia juga berpikir kenapa tiba-tiba terucap kata spontan seperti itu? Untuk menyembunyikan groginya, tanganya pura-pura sibuk membersihkan debu-debu yang menempel dirok nya.

    “Ah maaf! karena masuk keruangan kerja ayahku, bajumu jadi terkena debu.”

    Sambil mengeluarkan handuk dari saku celananya, Mildo membersihkan kotoran dan debu di pelipis Liliana, tak sadar tangan Mildo terhenti menyentuh pipi Liliana, Ia terdiam sejenak.., sudah lama ingin mengusap wajah manis Liliana. Mungkin sejak di bangku Sekolah dasar Mildo sudah tertarik dengan Liliana. Ada perasaan gembira saat itu. Berbeda dengan Liliana dia tampak sedih menatap Mildo.

    “Woaahh... Maaf, maafkan aku.”

    Mildo tersadar dan melepaskan tangannya meminta maaf karena telah lancang.

    “Mildo…”

    Tiba tiba Liliana menarik tangan Mildo dan menempelkan di pipinya, Mildo sendiri kaget mendapat reaksi seperti itu. Mildo tertunduk sambil sesekali melirik kearah Liliana. Dia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun.

    “Aku disini tidak lama, mungkin hanya enam bulan, berikutnya aku harus pulang lagi ke Palembang.”

    “Enam Bulan..?”

    Mildo tidak pernah menanyakan perihal keluarga Liliana. Yang Ia tahu Liliana datang delapan tahun yang lalu ketika berusia lima tahun. Begitu juga dengan pengasuhnya yang lebih tertutup dari lingkungan sekitar. Setahun yang lalu Liliana berpamitan kepada Mildo jika ia akan kembali ke tempat orang tuanya untuk sementara. Mildo kira Liliana tidak akan kembali ke Metro Nusa Tenggara.

    “Se...sebenarnya apa yang terjadi terjadi dengan keluargamu, apakah ada masalah dengan mereka?” Mildo mencoba memberanikan diri bertanya hal sensitif.

    “seperti halnya dirimu, ada hal hal yang tidak bisa ku ceritakan kepadamu. Bukan, maksudnya belum bisa kuceritakan kepadamu sekarang. Mungkin suatu saat baru bisa kuceritakan semuanya.”

    Liliana beranjak meninggalkan Mildo yang masih mencerna kata-katanya.

    “DOK! DOK! DOK!” terdengar suara pintu depan rumah Mildo di ketuk sangat keras, dari suara ketukannya ada isyarat bahwa orang di balik pintu itu sedang panik.

    “Non Lili! Non Lili”

    Terdengar suara perempuan memanggil Liliana dari arah pintu masuk. Mildo mengikuti dari belakang.

    “Itu suara ibu pengasuh, bukannya tadi sudah pulang ke rumah?”

    “KRIET!”

    Terdengar suara pintu di buka. Berdiri Ibu pengasuh dengan raut muka tegang dan panik, di belakangnya ada beberapa pria berbadan tegap besar dengan pakaian serba Hitam, mereka tampak waspada mengamati sekelilingnya, sepertinya mereka adalah bodyguard khusus utusan keluarga besar Liliana.

    “Bu Maryam kenapa kesini?, orang-orang itu?”

    Liliana menunjuk orang-orang asing yang datang bersama Ibu pengasuh. Dia sepertinya langsung mengerti situasinya.

    “Ayah Non Lili mengirim mereka untuk menjemput kita, hari ini juga kita harus segera kembali ke Palembang.”

    Ibu pengasuh berbicara sambil berbisik ketakutan.

    “Ayah… memangnya ada apa?”

    “Aku tidak di beri tahu, tapi tuan muda Ashraff akan menjelaskannya untuk nona. Dia ada di pesawat menunggu anda.”

    “Kak Ashraff?” Liliana kaget mendegar nama Ashraff, dia adalah Kakak kedua Liliana salah satu orang yang paling dekatnya. Apa yang membuatnya tiba-tiba datang dan menyuruhku pulang kembali? Pasti ada sesuatu.

    Salah seorang bodyguard mempersilahkannya untuk segera berangkat.

    “Aku tidak mau pergi sekarang! Kenapa tidak kak Ashraffnya aja yang kesini?!” Nada bicara Liliana agak sedikit keras.

    “Maaf Nona,” salah satu bodyguard coba menjelaskan, “kami hanya menjalankan perintah.

    Liliana terdiam sejenak, dia tak mengerti tentang keluarganya yang sering bertindak seenaknya, sedangkan Liliana sendiri sangat jarang bertemu dengan keluarganya. Dia pikir mungkin ini saatnya untuk menanyakan langsung semua yang selama ini dipendamnya.

    “Kamu...” suara Mildo terdengar di belakang Liliana.

    Liliana menoleh, mendekati Mildo.

    “Ternyata tidak sampai enam bulan, sayang sekali ya… Aku harus pergi sekarang.” Terpancar raut kekecewaan di muka Liliana.

    “Kenapa?”

    Liliana tidak menjawab pertanyaanMildo, dia tertunduk tak berani menatap mata Mildo.

    “Aku mau tentang siapa diriku ini. Mildo… Jika kamu sudah tahu arti keberadaan diri kamu sendiri, maka jadi kuatlah untuk mendapatkan kembali semua yang hilang dari dirimu.” Masih dengan tertunduk Liliana meneteskan air matanya, ia mengucapkan kata-kata yang sulit di pahami oleh Mildo.

    “Lilia...na apa maksudmu” Mildo tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

    “Nona ayo kita berangkat” panggil salah satu bodyguard.

    “Ayo non Lili.”

    Ibu pengasuh menarik tangan Liliana. Mildo hanya terpaku melihat punggung teman masa kecilnya diiringi ayunan rambutnya seakan memberi kesan salam perpisahan, padahal mereka baru saja bertemu beberapa jam yang lalu. Ia masih belum mengerti semua yang di hadapainya, yah biar bagaimanapun Mildo hanya Anak laki-laki bersusia 13 tahun. Kepergian kedua orang tuanya yang misterius, juga kakeknya yang belum juga kembali, dan pertemuan singkat dengan teman masa kecilnya. Ia merasa kehidupannya hanya seperti ilusi karena orang-orang terdekatnya selalu pergi meninggalkan dia.

    “LILIANA!” Tiba-tiba Mildo berteriak mengejar Liliana dan menarik tangannya.

    “Liliana tunggu! kamu tak ingin pergikan?!” Sorot mata Mildo tajam menatap mata Liliana yang berkaca-kaca, ”Ayo jelaskan pada mereka!”

    Mildo mendekati salah pria tegap berbadan besar.

    “Hei siapa kalian?!, apa kalian Intelejen.” Mildo jadi teringat percakapannya dengan Bang Wawan. Pria berbadan tegap itu mengerenyitkan dahi, dan melirik dari balik kaca mata hitamnnya.

    “Apa kalian yang telah membawa kakek bandi juga?!” Mildo sudah terlanjur campur aduk emosinya.

    “Apa maksudmu Bocah?!” Pria itu tak terima dengan kata-kata Mildo, tangannya yang besar mencengkram leher Mildo. Tiga pria lainnya turut mendekat kearah Mildo.

    “Ugh…” Suara Mildo tersedak karena dicekik.

    “Kalian semua cukup! Lepaskan Mildo!” Seperti titah seorang pemimpin, keempat bodyguard itu mundur.

    “Nona kita pergi sekarang!” ajak salah satu Bodyguard. Erga terlihat batuk-batuk, karena cengkraman yang cukup kuat tadi.

    Tanpa menoleh Liliana akhirnya pergi.

    Mildo terduduk dan memukul lantai berkali-kali.

    “SIAL! SIAL!”

    Sekali lagi Mildo benar-benar sedih… dengan lirih ia memanggil kedua orang tuanya juga kakeknya.

    “Ayah…Ibu.. Kakek… dimana kalian… Hiks…” Hari ini dan selanjutnya Mildo merasa sangat kesepian. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk mencari keberadaan kedua orangtuanya yang hilang secara misterius, pikirnya.

    _________________________________
    [1]. Sebuah Modul aplikasi standar internasional yang diperkenalkan 20 tahun yang lalu oleh sekumpulan ilmuan dari beberapa negara. Awalnya Proto-ARM di kembangkan untuk kepentingan sosial, budaya dan membantu memepercepat pekerjaan manusia. Namun seiring berjalannya waktu, negara-negara berekembang mulai mengaplikasikannya Modul tersebut untuk senjata berukuran raksasa berbentuk robot dengan struktur berdasarkan rangka manusia. Tujuannya untuk memperkuat kekuatan militer dengan pakta internasional yang sudah disepakati . tidak semua negara memakai kode nama Proto-ARM, namun karena dianggap sebagai pionir banyak orang menggunakan Proto-ARM.
     
  5. vanka Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 22, 2009
    Messages:
    84
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +10 / -0
    Reserved chapter dua
     
  6. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    Awal yg menarik, pacenya juga pas rasanya. Langsung diberi "permasalahan"

    Hanya bertanya2 aja, itu rel lebarnya 300 meter? Ga kurang lebar ya? Ampir 3 kali panjang lapangan bola.
    Bisa naruh brapa banyak kereta tuh? Mengingat lebarkereta model shinkansen g sampe 5meter (kalau didliat skilas d pilm2)

    Dan inikan critanya timeline + 60 taon, tpi sama skli ga ada "teknologi" atau "gaya hidup"baru yg terlihat. Gadget misalnya. Masih terkesan sama. Pling cuman rel plus "robot" yg diceritakan.

    Scene awal juga terlihat konyol, ini prota kan masih "anak2" lom umur kerja, jdi gw anggap bawah 17 maybe sma awal ya 14-15 taon. Dia bekerja, tpi seenaknya ninggalin kerja (dia ilegal tpi kesan kek anak bos yg punya proyek ae)
     
  7. vanka Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 22, 2009
    Messages:
    84
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +10 / -0

    Sepertinya ane masih kurang dalam penataan kalimat. Maksudnya lebar 300 terdiri dari 6 jalur kereta dan jalan kendaraan umum baik yang jalan TOL dan Non TOL.

    Betul sob, bagian pengambaran teknologi/gadget belum ane gambarkan di awal2 cerita (ini salah satu mis di cerita ane)
    Klo untuk si tokoh ini, ikut gabung di proyek itu, ane pikir karena pegaruh kakeknya aja.

    thank udah komen, jadi ane bisa betulin dulu sebelum masuk ke chapter 2 :semangat:
     
  8. vanka Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 22, 2009
    Messages:
    84
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +10 / -0
    Battle Zero-Indonesian Revival - Chapter 02-Liliana Rosemerlian

    ——Bandara Lombok.
    Salah satu bandara Internasional di Metro Nusa Tenggara. Diantara banyaknya pesawat yang bersiap menuju landasan pacu, disalah satu sudut VIP bandara sudah tersedia sebuah pesawat pribadi sekelas Light Jet yang menjemput Liliana. Tangga pesawat dibuka. Liliana di ikuti Ibu pengasuh dan para Bodyguard menaiki tangga satu persatu. Memasuki kabin, langkah kaki Liliana terhenti, ia tak percaya siapa orang yang di hadapannya. Pria muda dengan usia 23 tahun, rambut agak kemerahan sebatas pundak dengan wajah yang cukup feminim untuk seorang pria dan sorot mata yang sendu, menyejukan bagi siapa saja yang bertatapan dengannya.

    [​IMG]

    “Kak Ashraff!” Teriak Liliana yang langsung memeluk orang yang dipanggil Kak Ashraff, ternyata dia benar datang menjemputnya.

    Ashraff adalah Kakak kedua Liliana, Hari ini adalah suatu kehormatan bagi Liliana yang sudah lama tak bertemu kakaknya. Terakhir kali bertemu tiga tahun yang lalu saat Liliana masih duduk di kelas lima SD.

    “Bagaimana kabarmu, Adik kecilku yang manis.” Dengan lembut Ashraff mengacak-acak poni tipis Liliana.

    “Kalau aku baik-baik saja, Kakak kemana aja sih? Gak pernah kasih kabar ke aku”.

    “Seperti yang kamu ketahui selama tiga tahun kakak di utus jadi duta pelajar ke Amerika, disana sangat sibuk, bahkan bermainpun tidak sempat.”

    “Hmm gitu ya..?”

    Liliana memahami situasi kakaknya. Ia duduk di samping jendela sedangkan Ashraff di sebelahnya, Ibu pengasuh duduk tepat di belakang kursi Liliana. Sedangkan para Bodyguard, duduk di kursi paling belakang. Pesawat sudah mulai bergerak dan melaju ke landasan pacu. Puteh, Pilot pribadi Ashraff, memberi kode bahwa pesawat akan takeoff meningaalkan daratan Metro Nusa Tenggara.

    Baik naik pesawat atau naik angkutan darat Liliana tidak pernah berhenti takjub memandangi bentang alam Indonesia. Kadang ia menyayangkan jika pembangunan tidak terkontrol terus berlanjut akan menyebabkan rusaknya habitat dan keindahan alam Indonesia. Selain keindahan alam, satu hal lagi yang menarik perhatiannya yaitu Jalur tranportasi CLN yang membentang oval terlihat jelas dari kabin pesawat. Ia jadi teringat akan buku-buku sejarah dan literatur yang pernah dibacanya sewaktu di rumah keluarganya di Palembang. Di antara buku yang di bacanya menceritakan mahakarya peradaban manusia yaitu berdirinya tembok besar Cina sejak ratusan tahun yang lalu. Juga di Mesir, Piramida bersejarah dari peradaban kuno dengan segala mitos yang berkembang. Itu semua salah satu satu kontruksi bagunan yang memiliki nilai sejarah yang masih bertahan hingga saat ini. Di Indonesia tidak kalah dengan peninggalan kuno berupa Candi-Candi. Dan saat ini berdirinya CLN semakin membuka mata dunia tentang kekuatan dan kegigihan bahwa bangsa Indonesia bisa memegang peran utama di panggung dunia. Pikiran Liliana kian liar ketika kapal semakin jauh melintasi pulau demi pulau menuju Palembang.

    Ashraff tersenyum memandangi adiknya yang sedang fokus melihat keluar jendela.

    “Kamu sangat menyukai Indonesia ya.”

    Ashraff memecahkan keheningan.

    “Eh...Kenapa kakak bertanya seperti itu? Itu sudah pasti, karena aku lahir dan besar di Indonesia. Kak Ashraff juga kan? Bangga menjadi orang Indonesia?”

    Liliana sangat menggebu-gebu mengatakannya. Ia teringat dari salah satu buku sejarah indonesia yang pernah di bacanya, jika ada seseorang yang ditanya apakah kau bangga menjadi orang indonesia? pada saat itu jawabannya akan beragam. Ia sempat tersenyum kecil memikirkan semua itu.

    Sedangkan Ashraff tersenyum kecut mendengar jawaban dari adiknya.

    “Kenapa Kak, kok malah cemberut?”

    “Hmm... tidak Lili... apapun yang kamu sukai aku tidak akan menentangmu.”

    “Kak Ashraff..Tahun ini aku akan berulang tahun yang ke empat belas.”

    “Oh iya, aku ingat kok. Kamu tenang saja aku pasti akan menemani di hari ulang tahunmu, dan pasti akan kuberikan kado yang sangat istimewa.”

    Liliana menatap Ashraff dengan ekspresi sedih, dimatanya ada sejuta pertanyaan yang ingin Ia utarakan saat itu juga pada kakaknya.

    “Aku tahu kakak akan sibuk setelah mengantarku ke rumah, yang pasti tidak ada waktu lagi untukku, jadi aku tidak terlalu berharap banyak.”

    Ternyata Liliana sudah mengenal baik kakaknya.

    “Tidak Lili...” Ashraff menyadari bahwa dirinya, Keluarga yang paling dekat dengan adiknya, namun tak pernah memiliki waktu untuk Liliana.

    “Kak Ashraff adalah keluarga yang paling dekat denganku, tidak seperti Ayah, Bunda,juga Kak Aidan. Ini membuatku sedih…” suara Liliana agak bergetar.

    “Bersedih.. tidak Lili aku tidak akan membiarkanmu bersedih sedikitpun.”

    Mata Ashraff menatap Liliana, seakan meyakinkan adiknya bahwa ia tidak akan membiarkannya bersedih.

    “Kalau begitu bisakah kakak ceritakan kebenaran siapa diriku sebenarnya? Apakah aku bagian dari kalian? Apakah aku anak kandung ayah dan bunda? Kenapa aku diperlakukan berbeda?!, bahkan sampai detik ini aku selalu bertanya-tanya”

    Rentetan pertanyaan dari Liliana membuat Ashraff kaget, tak percaya jika Liliana menanyakan itu sekarang.

    Di belakang kursi Liliana ada Ibu pengasuh. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca, karena Ia yang paling tahu kesedihan anak majikannya yang dirawat semenjak bayi. Sesekali Liliana sering mempertanyakan statusnya. Dia merasa seperti anak yang tidak di akui. Berapa kali bertemu dengan semua keluarganya-pun bisa dihitung dengan jari. Tidak heran jika Liliana sangat mengerti akan Mildo yang orang tuanya menghilang.

    “Tuan muda!, ada kontak dari ayah anda.” Seru Puteh, yang tengah mengemudikan pesawat.

    Ashraff langsung memakai sebuah perangkat komunikasi menyerupai headset yang terintegrasi dengan sebuah visual hologram. Ia begegas ke belakang kabin. Sedangkan Liliana menatap sebal ke arah Ashraff. Cukup lama ia berbicara dengan ayahnya dengan mimik muka serius.

    “Baru saja ada kontak dari Ayah.” Ashraff sudah kembali ke tempat duduknya.

    "Ayah..?” tanya Liliana, “apa yang kalian bicarakan? kayaknya rahasia banget, sampai-sampai tak mau terdengar olehku.” Perkataan Liliana agak sedikit menyindir Ashraff.

    “Kamu ingin tahu semua kebenarannya, Lili?” Ashraff menghembuskan nafas berat seperti mengeluarkan beban yang selama ini disembunyikan dari Liliana.

    “Iyah, lebih baik aku mengetahui kebenaran yang menyakitkan dari pada terombang ambing selamanya pada hal yang tak pasti.”

    “Aku harap kamu tidak menyesal atas permintaanmu.”

    Wajah gembira Liliana tidak bisa di sembunyikan, ia tak mengira kakaknya mau memberitahu apa yang dia inginkan. Setidaknya satu beban yang selama ini ia rasakan akan berkurang.

    Mungkin suatu saat ketika Liliana bertemu dengan Mildo, Ia bisa berbicara panjang lebar tentang keluarganya.

    “Puteh! Kita akan mendarat di Bandung.”

    Semua terkejut mendengar keputusan Ashraff yang tidak sesuai dengan rencana awal. Termasuk Liliana. namun Ashraff punya rencana tersendiri terkait pembicaarn dengan ayahnya barusan.

    “Di Bandung…?!”

    Mendengar Ashraff yang tiba-tiba serius, dan rencana dia untuk menceritakan siapa Liliana sebenarnya, membuat seisi kapal hening.

    “Aku akan koordinasi dengan teman lamaku, di sana ada tempat yang paling aman untukmu saat ini, Liliana.”

    Liliana hanya diam sambil memainkan jarinya, ia semakin tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, ia curiga ini ada kaitannya dengan pembicaraan Ashraff dengan ayahnya.

    “Tuan muda apa ini tidak terlalu cepat?” sambil mengutak-atik sambungan komunikasi, Puteh menanggapi keputusan Ashraff.

    Ashraff tak menjawab, sesekali dia melihat Liliana yang tertunduk.

    “SSSRRRKK!”

    “SSSSSRRKK!”

    Cukup lama Puteh menghubungkan jalur komunikasi. Baru ketika mendekati area udara Bandung, mereka akhirnya mendapat respon dan diizinkan mendarat. Waktu sudah menunjukan pukul 18.30. Pesawat light Jet landing di sebuah landasan pacu, kiri dan kanan sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pepohonan, serta lampu temaram kelap kelip dari rumah-rumah penduduk yang jaraknya cukup jauh berbaur dengan gelapnya malam. Dilihat dari posisi denahnya bisa dipastikan tempat mendaratnya pesawat adalah bagian belakang bangunan besar yang terlihat seperti villa peristirahatan.
     
    Last edited: Feb 20, 2014
  9. vanka Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 22, 2009
    Messages:
    84
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +10 / -0
    Pintu Light Jet terbuka, Liliana dan yang lainnya menuruni tangga pesawat, matanya mengawasi setiap sudut. Karena menjelang malam pandangan yang terlihatnya terbatas apa yang bisa dilihatnya saja. Ia belum tau tempat apa sebenarnya ini, apakah sekedar tempat peristirahatan semata? Sedangkan lampu-lampu penerangan di setiap sudut bagunan sengaja dibuat tidak terlalu terang. Kedatangan mereka sudah di sambut oleh beberapa orang. Ada pria muda tegap berusia dua puluh lima tahun bernama Asep, di luar penampilannya yang bersahabat, sebenarnya dia adalah salah satu agen organisasi pemerintah dengan sistem kepangkatan layaknya Militer yang di pimpin oleh presiden langsung. Saat ini Asep berpangkat Sersan. Orang inilah yang Ashraff bilang sebagai sahabatnya. Di belakangnya ada wanita yang usianya tidak jauh berbeda dengan Asep, dia bernama Selfie yang bertugas sebagai asisten pribadi Asep. Lalu di samping Selfie ada anak remaja namanya Erga, meskipun baru berusia lima belas tahun, penampilannya jauh dari kesan kekanakan. Gesture tubuhnya terlihat sangat waspada. Jika sekilas, ia terlihat lebih seperti bodyguard.

    “Pak, apa tidak masalah anda menerima mereka?”

    Selfie sepertinya menyadari bahwa tamu yang datang bukan orang sembarangan.

    “Kamu tenang saja, ini urusanku. Lagi pula sudah lama tidak bertemu kawan lama.”

    Erga hanya terdiam, dia belum mengerti arah pembicaraan atasannya, Mayor Asep.

    Sementara itu Liliana yang baru menginjakan kakinya di Bandung, belum terbiasa dengan udara pegunungan yang sangat dingin. Ini tidak aneh jika tahu kondisi geografi yang dikelilingi oleh pegunungan.

    “Kenakan ini.”

    “Te..terima kasih Kak.”

    Ashraff memakaikan coat panjangnya beserta syal yang ia pakai ke Liliana. Terlihat kebesaran untuk tubuh mungil Liliana, tapi cukup untuk menahan hembusan angin dan udara dingin kawasan Bandung.

    “Ashraff lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu? ada angin apa yang membawamu kemari?”

    Layaknya teman lama Asep memeluk Ashraff.

    “Kabarku baik sob, bagaimana denganmu?”

    “Yah kamu bisa lihat sendiri dari kediamanku saat ini kan.”

    “Haha kesombonganmu tidak pernah hilang ya?”

    “Bisa kita bicara empat mata sebentar.”Ashraff membawa Asep ke sudut ruangan yang agak jauh, mereka berbincang dengan suara pelan dengan muka terlihat serius.

    “Sob, aku butuh bantuanmu.”

    “Bantuan?” tanya Asep dengan mimik serius. “Tak kusangka orang dari kalangan genset akan meminta bantuan padaku.” Asep tersenyum menahan geli.

    “Haha..kau masih saja suka bercanda, tapi terserah kau bilang apa, aku ingin kau menolongku untuk mengijinkan Adikku tinggal disini beberapa waktu. Keputusan ini ku ambil setelah membaca beberapa email yang kau kirim tempo hari.”



    Asep terkejut mendengar permintaan yang diajukan oleh Ashraff.

    “Oh itu ya.” Asep bersandar pada salah satu tiang penyangga yang diukir bergaya klasik. ia jadi teringat perbincangan ringan dengan Ashraff di e-mail beberapa waktu lalu tentang Lembaga Perlindungan Khusus dimana ia salah satu pengurusnya.

    “Jika masalah identitas yang kau permasalahkan,” Ashraff sepertinya mengerti maksud Asep “Liliana.., dia memiliki identitas warga negara Indonesia, aku rasa itu sudah cukup membantu agar dia diijinkan disini. Mungkin terlihat memaksa, tapi saat ini cuma kau yang bisa membantuku.”

    “Apakah ini salah satu propaganda politik yang akan kalian buat?” Asep coba menegaskan maksud Ashraff.

    Ashraff terdiam sejenak.

    “Tidak! justru aku ingin Liliana jauh dari kotornya dunia politik, aku ingin dia hidup bahagia. Saat ini aku tidak punya pilihan lain lagi.” Ashraff terlihat sedih.

    Asep terdiam dan berpikir cukup lama, mempertimbangkan semuannya, sesekali melihat dari kejauhan tubuh mungil Liliana yang menggigil kedinginan. Sebenarnya tanpa dijelaskan sepanjang itu, Asep mengerti situasinya ia sangat kenal Ashraff. Dia seorang anak Pejabat negara pemegang kekuasaan vital di Aliansi Melayu Raya[1], situasi politik disana sedang tidak stabil dengan adanya perlawan dari pihak internal. Namun konflik antara indonesia dengan Aliansi Melayu Raya tak bisa dipisahkan dengan alasan persahabatan.

    "Apa imbalan yang kudapat jika aku mengabulkan permintaanmu? karena biar bagaimapun situasi ini sangat beresiko." Asep seperti mendapatkan peluang dalam hal ini, ia mencoba memancing dan memanfaatkan peluang dari kondisi yang ada antara mereka berdua.

    "Begitu ya.." suara Ashraff sedikit lemas, ia berpikir cukup lama, mempertimbangkan sesuatu dibenaknya yang mungkin kelak akan berdampak pada semua aspek, "baiklah aku akan menawarkan sesuatu yang kau butuhkan saat ini, aku menawarkan informasi. bagaimana menurutmu?"

    Keputusan Ashraff mungkin akan di cap sebagai pengkhianat oleh negaranya. namun hati kecil dia sebenarnya telah muak dengan segala politik kotor di Aliansi Melayu Raya. Namun karena keputusannya untuk menyelamatkan Liliana sudah bulat, ia sudah siap menerima konsekuensinya.

    “Heeh ternyata kau seorang kakak yang jahat ya, Ashraff.” Asep menepuk bahu Ashraff pertanda setuju akan menolongnya. Mereka berdua kembali ketempat Liliana dan yang lainnya.

    “Selfie tunjukan kamar mereka, Oh iya aku belum memperkenalkan, ini Selfie asisten pribadiku dan ini Erga, dia salah satu orang yang tinggal di asrama ini.”

    “Salam kenal, Aku Ashraff dan ini adikku Liliana, mulai malam ini aku titip adikku, dia akan tinggal disini untuk beberapa waktu kedepan”. Ashraff memperkenalkan dirinya dan Liliana, ia tidak memperdulikan tatapan sinis dari Selfie dan Erga.

    “Semoga kamu nyaman tinggal disini, Liliana. Sekarang tempat ini sepi, mungkin beberapa hari kemudian akan ramai setelah orang-orangku kembali, jadi kamu tidak perlu kaget nanti. Setelah ini aku ada keperluan diluar. Erga, Selfie tolong yah!”

    Sambil menepuk Bahu Liliana, Asep pergi meninggalkan rombongan Ashraff. Lalu Selfie dan yang lainnya jalan menuju lorong, bagian kiri dan kanannya ada pintu-pintu sebuah kamar. Tepat di sudut lorong ada kamar yang agak berjauhan dari kamar-kamar lainnya. Selfie berhenti tepat di sebuah pintu.

    “Ini kamarmu.”

    “Terima kasih, aku tidak akan pernah lupa akan kebaikan kalian”. Ashraff tetap tenang menjawab pernyataan sinis yang dilontarkan oleh Selfie.

    “Jangan salah paham, aku tahu siapa dirimu sebenarnya, hanya karena melihat status adikmu, kami bisa memberi kompensasi.”

    Erga masih belum paham apa yang di bicarakan Selfie kepada Ashraff. Walau kata-katanya seperti mengumam, dari raut muka mereka, Erga sadar ada konflik diantara mereka.

    “Aku ingin menyelamatkan dia. Jika bersama kami, kehidupannya pasti akan terancam.”

    Selfie tidak menghiraukan kata-kata yang terucap dari Ashraff. Ia bersama Erga meninggalkan kamar Liliana diikuti derap langkah kaki mereka yang semakin menjauh.

    Kamar dengan luas 4 x 6 meter cukup untuk Liliana tinggal sementara. Dalam ruangan itu sudah di lengkapi dengan fasilitas-fasilitas modern dan instan untuk berbagai keperluan.

    Sementara itu Maryam sibuk membereskan kamar serta barang-barang yang di bawanya dan seperti sudah mengerti tugasnya Ia langsung memeriksa di setiap inci sudut ruangan untuk menjaga hal yang tidak diinginkan.

    Liliana duduk dipinggir tempat tidur, jari-jarinya saling berpautan, masih terasa aura dingin pegunungan yang ia rasakan di luar tadi.

    Sedangkan Ashraff berdiri di samping jendela kecil yang tertutup gordyn, matanya menatap kearah jendela, tangannya saling bersedekap untuk mengurangi hawa dingin.

    “Kak Ashraff… Aku ingin kakak segera menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.” Liliana tidak sabar ingin segera mengetahui jawaban yang selama ini jadi pertanyaannya.

    “Hhhhm… baiklah sesuai permintaanmu, dari bagian mana yang ingin kamu ketahui?”

    Liliana membetulkan posisi duduknya, ada sedikit kegelisahan dihatinya.

    “Apakah aku benar-benar saudara kandung kalian?”

    “Seperti yang sudah ku bilang sebelumnya, Kamu adalah saudara kandung aku juga Kak Aidan. Jujur saja, jika dibandingkan dengan aku dan kak Aidan kamu adalah anak kesayangan ayah dan bunda.”

    Mendengar pernyataan itu, tanpa sadar Liliana menitikan air mata.

    “Tapi kenapa, seakan-akan aku seperti anak yang tidak di akui kak? Kenapa?!”

    Ibu pengasuh tiba-tiba terhenti dari aktifitasnya, mendengar perkataan Liliana.

    Perasaan Ashraff terasa kelu mendengar kata-kata Liliana. Seandainya dia tahu bahwa semua ini dilakukan demi keselamatannya.

    “Liliana… kamu tahu siapa kedua orangtua kita sebenarnya?” Ashraff menatap tajam mata Liliana.

    “Tidak! Selama ini tidak pernah ada yang cerita apapun tentang ayah dan bunda.”


    “…”

    “Ayah kita adalah seorang Perdana Menteri di Aliansi Melayu Raya, sedangkan Bunda kini mendampingi ayah sebagai Ibu negara. Kak Aidan, dia turut aktif di pemerintahan, begitu juga denganku.”

    “Pe… perdana mentri”

    “Iya! Kamu adalah anak dari Tun Adnan Sakhur dan Syarifah Rosemerlian, yang selama ini kamu tahu hanya nama belakangnya saja kan? mungkin terdengar jahat tapi kenyataanya bahkan kami sudah memblokir informasi keluarga besar kita, yang masuk ke kamu melewati bu Maryam.”

    Liliana langsung melirik tajam ke arah ibu pengasuhnya, Maryam.

    “Kamu tidak perlu menyalahkan bu Maryam,” Ashraff melihat raut kesal Liliana kepada Maryam. “selain bertugas menjagamu, melewati dia juga kami memperhatikan kamu, Liliana.”

    “Lalu kenapa? Apakah ayah dan bunda malu punya anak seperti aku?! Coba jelaskan kak!”

    “Li..liana.., aku mohon dengarkan ceritaku sampai selesai, setelah itu kamu bisa simpulkan sendiri.”

    Liliana mencoba menahan tangisnya, ia benar-benar shock mendengar penjelasan dari Asfraff.

    “Situasi di Aliansi sangat tidak aman semenjak dipimpin oleh ayah, empat belas tahun yang lalu. Rakyat Aliansi 90% mendukung Ayah, tapi tidak dengan Dewan Imperial Barat[2], mereka tidak suka dengan gaya kepemimpinan ayah yang dinilai terlalu lemah sehingga menghambat kepentingan mereka.”

    Mendengar uraian Kak Asharaff, Liliana menghentikan tangisnya, yang tersisa hanya suara sesengukan. Sepertinya Ia mulai menerima penjelasan dari kakaknya.

    “Maka dari itu, saat tahu Bunda mengandung dirimu, dia di sembunyikan oleh ayah ke indonesia, hingga kamu lahir. Hingga detik ini tidak banyak tahu bahwa kamu adalah putri bungsu seorang perdana mentri. Ayah tidak ingin jika terjadi sesuatu pada kami, kamu ikut terbawa celaka.”

    “Memang apa yang akan terjadi pada kalian?” Liliana masih belum memahami perkataan kakaknya.

    “Intinya ayah sedang memperjuangkan apa yang di inginkan oleh rakyat Aliansi yang tidak sesuai dengan tujuan Dewan Imperial.”

    “Memperjuangkan? Apakah Ayah, Ibu juga Kakak akan di celakakan oleh orang-orang yang tak suka dengan ayah?” Kalau begitu, biarkan sekarang aku ikut bersama Kakak dan berjuang bersama kalian.”

    “Hehe…”

    Ashraff tertawa kecil mendengar pernyataan adiknya.

    “Kenapa kak?! Apakah aku tidak pantas mendampingi kalian!”

    “Liliana.. jika kamu berpikir seperti itu, aku bisa katakan kamu belum saatnya muncul, lagi pula kamu tidak tahu kan, apa yang kami perjuangan?!"

    “Me..mang apa yang kalian perjuangkan?”

    Ashraff menghapus sisa air mata di pipi Liliana.

    “Untuk saat ini cukup itu saja yang bisa aku ceritakan, kamu masih muda belum pantas menerima beban dan tanggung jawab seperti kami. Tapi jika kamu mau tahu lebih banyak tentang negara kita, bisa tanyakan ke Maryam, orang yang telah mengasuhmu sejak bayi.”

    Maryam (Ibu pengasuh) menganguk ketika ketika namanya di sebut oleh Ashraff.

    “Sudah ya, aku harus segera kembali, untuk melaporkan semua ini, untuk keperluanmu dan yang lainnya aku serahkan ke Amy.”

    “Baik tuan, saya akan menjaga Nona sebaik mungkin.”

    Dengan menunduk hormat ibu pengasuh mengantar kepergian Ashraff, tiba-tiba Liliana mengejar dan memeluknya dari belakang.

    “Kak aku ingin ikut…”

    Ashraff membalas pelukan adiknya. Hati kecilnya tidak ingin meninggalkan sang adik yang sudah menderita sejak dilahirkan karena tidak mendapat kasih sayang orang tua.

    “Kamu sudah menjalani kehidupanmu selama 13 tahun ini dengan baik, aku yakin kamu tetap kuat dan ceria sebagaimana Liliana yang aku kenal.”

    “…”

    “Aku pergi dulu yah, jaga dirimu baik-baik.”


    Setelah itu Ashraff melanjutkan perjalan bersama para Bodyguardnya.

    Liliana meloncat ke tempat tidur dan menangis sekencang-kencangnya. Semua emosi dan kepedihanya ia tumpahkan malam itu juga. Hingga akhirnya kelelahan dan tertidur.

    __________________________________

    [1] Wilayah negara persekutuan yang mencakup wilayah semenanjung Malaysia, Singapura, Thailand serta sebagian kecil negara ASEAN tengah. Saat ini, selain konflik bilateral dengan indonesia, di pemerintahannya sendiri sedang terjadi konflik internal.

    [2] Asosiasi Negara-negara adidaya, yang membentuk Aliansi Melayu Raya dengan metode penjajahan modern, sebagai perantara jalan untuk menguasai sumber-sumber energi di indonesia.
     
    Last edited: Feb 20, 2014
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.