1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Aku Dan Duniaku

Discussion in 'Fiction' started by Ruset69, Feb 3, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Ruset69 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    1,575
    Trophy Points:
    212
    Ratings:
    +47,022 / -0
    Jika seseorang diberi pilihan untuk menentukan jalan hidup yang akan dilaluinya sebelum ia dilahirkan, tentu semua akan memilih yang terbaik. Dan aku akan meminta agar diberi kekayaan yang melimpah!

    Jika bukan karena suatu hal yang disebut takdir kehidupan, aku enggan hidup miskin seperti ini. Hidup asal hidup, selama masih bernapas berarti masih hidup. Sebuah pola hidup yang nyaris sia-sia. Kemiskinan mengucilkanku dari dunia yang (katanya) luas ini. Aku terlunta-lunta dengan derai air mata ketika dunia seolah menolak kehadiranku. Sakit rasanya ketika semua orang di sekelilingku memandangku dengan sebelah mata. Kumaklumi jika mereka adalah bajak laut, tapi kenyataannya mereka adalah manusia normal yang di anugerahi dua bola mata dan keduanya berfungsi. Ada dan tiadanya diriku di sekeliling orang-orang ini, nyaris tiada bedanya. Mereka tak pernah menganggapku benar-benar ada. Aku seperti mahluk halus yang jatuh cinta pada dunia manusia. Namun aku makhluk halus yang beruntung karena dipelihara oleh seorang manusia, sehingga bisa beraktifitas layaknya manusia normal, melakukan ini dan itu seperti manusia, meski tidak ada yang melihat. Semua yang kulakukan seolah semu di mata mereka!

    “Apa lagi yang sedang kamu tulis?”
    Arrggh… sial! Kekasihku datang. Dia selalu nimbrung kalau melihatku sedang mencumbui MS Word di kamarku.

    “Kenapa tidak memintaku untuk menjemputmu?”
    Kekasihku terkekeh. “Kamu tidak lihat berapa banyak panggilan masuk dariku?”

    Aku melihat daftar panggilan dan menemukan enam kali missed call dari wanita itu. Aku kembali melanjutkan tulisan, sementara kekasihku asyik sendiri dengan telepon genggamnya di atas ranjangku.

    “Sebenarnya apa yang kamu tulis, Frank?” tanya kekasihku lembut

    “Masa lalu. Masa-masa yang begitu kelam.” Sahutku tanpa menoleh

    “Yang mana? Bisa kau bagikan padaku? Bukan tentang mantanmu, kan?”
    Aku tersenyum saat mataku menemukan sebuah kecemburuan dari ekspresinya. “Kamu yakin mau mendengarnya?” tanyaku.

    Hey!” pekiknya, “Sudah tiga tahun aku menjadi kekasihmu, kenapa masih meragukanku seperti itu?”

    “Baiklah...” aku mengalah dan mulai bercerita.

    “Ini tentang masa kecilku waktu kelas enam SD. Kamu pasti tahu, dari beberapa cerita yang pernah kubagikan, kalau keluargaku, dulu sangat miskin. Bahkan, kami pernah, untuk sekedar makan saja harus berhutang terlebih dahulu.”

    “Ya, Emak pernah bercerita. Dan aku sangat terharu”

    “Sewaktu pulang sekolah, aku pernah dibully teman-teman karena hal itu. Beberapa teman yang satu kelas namun beda ruangan denganku, pulang lebih dulu. Aku diminta
    pulang terakhir oleh guru karena ada beberapa tugas yang beliau berikan kepadaku sebagai ketua kelas. Di tengah jalan pulang, kulihat kelompok anak-anak itu tengah berjalan santai mendaki jalanan terjal yang mengelilingi bukit yang cukup menanjak. Mereka terdiri dari beberapa anak orang kaya di desa. Kami hidup di pelosok desa, dan hanya itulah satu-satunya jalan tercepat untuk menuju dan pulang sekolah. Aku terus berjalan cepat karena Emak- sudah berpesan sebelumnya bahwa ia akan ke ladang dan ingin menitipkan adik padaku. Tanpa angin, tanpa gerimis, terlebih hujan, ketika aku baru saja melangkahkan kaki satu langkah di depan gerombolan anak-anak itu, salah satu di antara mereka menendang kakiku. Aku jatuh tersungkur karena tubuhku lemas, lapar dan haus.
    “Eh, teman-teman,” teriak salah satu dari mereka “Ada tikus got sekarat, tuh!” diiringi gelak tawa terbahak-bahak menyaksikan tubuhku berguling-guling di tanah.
    Aku segera bangkit dan kembali berjalan setengah berlari. Yang ada di pikiranku waktu itu hanya pesan mama yang memintaku untuk sesegera mungkin sampai rumah. Meladeni mereka berarti membuang waktu dan hanya akan membuat mama menunggu lebih lama.

    “Kamu belum pernah cerita seperti ini sebelumnya,” kata kekasihku dengan nada iba mengasihani. Butiran kristal tertahan di pelupuk matanya.

    “Aku baru ingat beberapa saat lalu.”

    “Lalu bagaimana selanjutnya? Kenapa kamu tak bilang pada mereka kalau Emak sedang menunggumu?”

    “Anak-anak seperti mereka tidak peduli pada urusan orang lain. Mereka hanya peduli pada diri sendiri.”
    Kekasihku mengangguk.

    “Ketika tubuhku mulai menjauh dari hadapan mereka, tiba-tiba kurasakan sebuah benda menghujam kepalaku dengan kerasnya. Mereka melempar sesuatu ke arahku, kembali diiringi gelak tawa merendahkan. Salah satu dari mereka berteriak lantang,“Hey, mulut miring! Mati saja sana! Sudah miskin, lemah pula.”

    “Hey, tidak boleh begitu padanya. Dia kan miskin, kita beri hutangan saja biar dipakai buat beli beras...dia bisa mati ‘beneran’ kalau sampai tidak punya makanan.”
    Sambung yang lainnya.
    Sakit. Sakit sekali rasanya kalimat itu, sampai-sampai membuatku lepas kontrol akan amarah yang sudah kutekan sebisa mungkin. Kakiku bergegas menghampiri mereka dan mulutku terasa bergerak sendiri mengucapkan umpatan kasar mengekspresikan betapa menyakitkannya kata-kata mereka. Semua binatang Ragunan keluar dari mulutku waktu itu. Dan... kau tahu apa yang mereka lakukan padaku? Sudah pasti kau tahu. Mereka menghajarku habis-habisan. Memukuli kepalaku, wajahku, leherku, perutku, kakiku dan semuanya. Semua organ tubuhku remuk dikeroyok anak-anak itu. Lalu, satu hal yang belakangan ini kurasa sedikit tidak masuk akal namun dilakukan oleh anak kelas enam Sekolah Dasar. Mereka, anak-anak itu, membuka celana masing-masing, kemudian menumpahkan air seni ke tubuhku.”

    Kekasihku membuka mulut lebar-lebar, “Oh, Tuhan! Maksudmu, mereka kencing di atas tubuhmu? Mengencingi tubuhmu?”

    Aku mengangguk sedikit tersenyum masam. “Dan setelah itu, mereka meludahi wajahku beramai-ramai. Cukup lucu. Aku selalu tertawa miris setiap mengingat kejadian itu.”

    “Tindakan keji yang tidak manusiawi! Lalu, apa kamu melaporkannya ke orangtua mereka?”

    “Tidak ada gunanya,”

    “Frank!” teriaknya “Itu keterlaluan. Mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal!”

    “Ayolah... tak perlu berlebihan seperti itu. Semua sudah berlalu, Fani. Sudah terlambat.”
    Kekasihku, Fani, yang tidak terlalu cantik, juga tidak cukup jelek, turun dari ranjang dan langsung menghampiriku yang duduk di depan meja komputer. Ia punya kebiasaan menjadi sangat cengeng setiap mendengar cerita masa laluku.

    “Sekarang kamu aman, sayang. Aku akan melindungimu.” ujarnya terisak
    Aku tertawa dalam hati saat mendengarnya. Seorang wanita melindungi pria? Bukankah mestinya seorang pria yang harus melindungi wanita dari semua hal yang berpotensi menyakiti wanitanya. Sungguh, aku geli.

    “Hey! Kenapa kau terkekeh?” ia melotot padaku karena merasakan getaran tubuhku.

    “Maaf, harusnya aku yang melindungimu. Tapi aku malah tidak bisa.”

    “Tak apa. Toh, aku tidak pernah menuntutmu untuk melakukan itu...”
    Sebenarnya Fani sedang tersiksa dengan keadaan keluarganya yang memanas, makanya ia sering datang ke rumahku untuk membuang kesal. Kabar yang berhembus, si Ayah jadi sering mabuk-mabukan, judi, main wanita. sedangkan sang ibunda selingkuh dengan pria lain persis di depan anaknya sendiri. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan, selain memberikannya semangat bahwa ia mampu melalui semua ini dan suatu hari nanti kedua orangtuanya kembali rukun.
    Tiba-tiba saja Fani menghujaniku dengan ciuman bertubi-tubi. Aku tergolek tak berdaya seperti boneka, berpasrah pada Tuhan semoga setelah ini tidak ada bekas lipstick yang tertinggal di setiap sudut wajahku.

    “Sekarang, kuharap tidak akan terjadi lagi.” Kataku

    “Boleh kutanya sesuatu?”

    “Tanyakan saja.”

    “Yang aku tak habis pikir, sebenarnya ada dendam apa mereka terhadapmu, sampai-sampai memperlakukanmu dengan sangat tidak manusiawi seperti itu? Apa kamu punya hutang atau semacamnya?”

    “Awal mula permasalahannya, sebenarnya sepele tapi tidak terlalu sepele. Dulu, aku anak terpandai di kelas. Nilaiku selalu di atas rata-rata. Karena hal itu pula, waktu try out, mereka memaksaku memberikan kunci jawaban untuk mata pelajaran IPA. Aku disuruh membuat sebuah catatan di atas kertas kosong yang menjelaskan jawaban dari nomor satu sampai akhir, kemudian meminta izin pada pengawas bahwa aku ingin pipis. Di kamar mandi, salah satu anggota geng sudah menungguku. Dan berpindah tanganlah kunci jawaban itu. Mereka sempat mentraktirku semangkuk bakso sebagai imbalan atas bantuanku. Sungguh, aku tidak berpikir waktu itu betapa rendah nilai otakku. Hanya setara dengan semangkuk bakso?”

    “Kamu terlalu lugu dan polos, Frank.” Fani tertawa

    “Sekitar seminggu kemudian, hasil try out dibagikan pada semua siswa kelas enam baik A maupun B. Nilaiku seperti biasa; Bahasa Indonesia nyaris sempurna, hanya dua kolom yang salah. Matematika biasa saja, selalu di sana. IPS cukup membanggakan, 9 dan IPA juga sembilan. Tepat di waktu yang bersamaan saat aku tersenyum memandangi hasil belajarku, dari ruangan sebelah, kelas A, terdengar riuh karena 5 siswa di sana kabarnya mendapat nilai 2 untuk mapel IPA.”
    Fani mengernyitkan kening. “Kamu... membuat jawaban palsu?” terkanya

    “Tidak.” Sangkalku. “Salah seorang siswa yang setahuku punya dendam dengan kelompok anak-anak tersebut, menabrak anak yang diutus mengambil kertas itu dariku. Kejadian itu terjadi di dekat opintu WC. Mungkin anak itu tidak sadar bahwa kertasnya telah ditukar oleh siswa yang menabraknya. Dan mulai hari itulah, mereka mulai menjadikanku boneka.”

    “Jadi, kesalahpahaman itu yang membuatmu diinjak-ijak oleh mereka?”

    “Tapi...” aku buru-buru memotong, “Tidak semua hal yang menyakitkan itu buruk, Fan. Aku mengambil banyak hikmah dari masa lalu yang pahit itu. Pikiranku semakin terbuka kepada dunia yang ternyata tidak seterusnya menyenangkan, juga tidak selamanya membosankan. Semua kejadian itu membuatku merasa punya dunia baru. Mungkin lebih tepat jika kukatakan ‘aku membuat duniaku sendiri’. Sebuah dunia yang hanya ada dalam jangkauanku, berisikan berbagai macam tokoh dengan berbagai jenis karakter, dari yang baik, sangat baik sampai yang teramat sangat jahat. Kebaikan serta keburukan beradu seimbang di dalamnya. Aku menjadi tuhan dari dunia itu. Memperhatikan setiap gerak-gerik mahluk di dalamnya. Mendengar setiap desir angin di sana yang bahkan hanya berhembus 1km/jam, mengamati segala hal yang terjadi, lalu mencari pemahaman atas semua itu dan menemukan jawaban dari pelbagai pertanyaan; apa, siapa, mengapa, kenapa dan bagaimana. Terkadang, saking asyiknya, aku malah berpikir bahwa aku tidak benar-benar hidup di dunia ini. Aku hidup di duniaku sendiri.”

    “Tapi, Frank,” Fani memotong, “Mengurung diri terus menerus seperti ini bukanlah hal yang baik, Frank. Kamu harus berbaur dengan lingkungan, berdiskusi dengan klien-mu secara tatap muka. Jadilah bagian dari masyarakat di sekelilingmu. Memang, dunia terlalu luas untuk dipelajari semuanya, namun dengan cara itulah kita hidup.”

    “Menurutmu aku lari dari kenyataan?”

    “Kurang lebih begitu. Buktinya kamu tidak pernah terlihat berbaur dengan orang-orang di luar sana selain dengan klien, itu pun sangat jarang, kamu lebih memilih diskusi melalui email, mendekam di rumah, melakukan semuanya sendiri. Mungkinkah... kamu masih trauma?”
    Tok... tok... tok.. seseorang mengetuk pintu dan langsung membukanya.

    “Frank, kita kekurangan semen dan pasir.”

    “Sebentar lagi kirimannya datang. Tunggu saja.”

    “Oke.”

    Pemuda itu menutup pintu sambil lalu

    Aku mengarahkan pandangan pada Fani yang masih duduk manis di atas ranjangku.
    “Kamu lihat,” kataku, “Aku cukup berbaur dengan mereka.”

    “Sepertinya dia akrab denganmu?”

    Bibirku melebar, “Namanya Ray. Dulu dia salah satu dari mereka.”

    Kekasihku menyipitkan matanya, “Dan sekarang, dia salah satu karyawanmu?”

    “Bukan. Dia asistenku, bahkan bisa dibilang bodyguard. Postur tubuhnya cukup oke untuk profesi itu.”

    “Bukannya kamu bilang dia anak orang kaya di desa? Mengapa malah bekerja denganmu?”

    “Sekitar empat tahun yang lalu aku kembali ke desa, karena seseorang di sana memintaku membangunkan rumah. Sebagai mantan penduduk desa, aku tak enak hati menolaknya, lagipula waktu itu aku sedang butuh refreshing, maka aku menjanjikan pembangunan rumah dua lantai yang dikehendakinya, akan digarap oleh orang-orangku. Singkat cerita, suatu malam si Ray datang menemuiku. Dia meminta bantuanku karena katanya dia diusir oleh keluarganya. Sudah tentu aku bertanya kenapa? Kemudian Ray bercerita bahwa ia dituduh menghamili seorang wanita. Si wanita meminta Ray menikahinya, tetapi Ray ngotot tidak mau. Pecahlah permasalahan.”

    “Lucu! Seorang arsitek membawa lari seorang penjahat!” ia tertawa

    “Awalnya aku tidak mau. Menolak keras dan memintanya untuk bertanggungjawab, tapi Ray tetap kukuh dengan pembelaannya bahwa dia sama sekali tidak menghamili wanita itu. Dia menangis di depanku malam itu juga sambil berkata; aku akan bertanggungjawab bila itu memang perbuatanku. Tapi, faktanya, aku tidak pernah sekalipun meniduri wanita itu, Met. Aku nggak mau nggendong sperma orang lain. Pintu hatiku pun terbuka. Aku bersedia membawanya pergi dari desa, dengan syarat, dia harus merubah gaya hidupnya yang arogan. Harus menuruti semua perintah kebaikkan yang kuperintahkan. Ia menyanggupi dan beberapa bulan kemudian setelah proyek selesai, ia datang ke kota bersama para karyawanku. Duniaku semakin terasa lengkap. Ray mengisi salah satu tokoh di dalam sana dengan karakter lamanya yang tak kenal ampun pada siapapun.”

    Fani mengernyitkan kening kuat-kuat. Sepertinya dia belum begitu paham dengan kata ‘dunia’ yang aku maksud. “Dunia ‘itu’ hanya ada di otakmu saja, bukan? Kamu menjadi tuhan untuk dunia fana itu? Sebuah dunia yang tidak pernah ada tapi kamu begitu terobsesi. Berhati-hatilah, Frank... Kamu bersyukur menceritakan ini padaku karena aku akan tutup mulut. Jika kamu menceritakannya pada orang lain, mereka pasti akan menertawai kegilaanmu.”

    Aku terkekeh.

    Raut wajah Fani terlihat begitu berseri. Sepertinya ia sudah berhasil lepas dari belenggu kegamangan tentang nasib keluarganya.
    Aku bersyukur bisa menghiburnya, mengantarkannya ke dalam sebuah alur cerita yang ringan namun menghanyutkan. Soal duniaku, itu bukan sekedar dunia khayalan. Perlahan tapi pasti, aku merealisasikannya, hanya saja Fani tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya kubicarakan.

    “Cobalah buka lemari itu, kamu akan menemuka duniaku di situ.”

    Fani tertawa terbahak-bahak. Aku memberengut. “Apa yang kamu tertawakan?”

    “Jadi,” katanya, “Kamu punya Narnia? Dukun mana yang membantumu menciptakan semua itu?” ia kembali tertawa

    Karena Fani tidak beranjak dari ranjang untuk meraih lemari yang kutunjuk, aku bangkit dan bergegas membukanya. “Ini duniaku.” Kataku sambil menunjukkan isi lemari

    “Apa itu?” Fani mendekat, kemudian mengacak-acak isi lemari. Ia tertegun saat memandanginya beberapa menit.

    “Sebenarnya kamu ini apa, huh? Arsitek atau sekertaris?”

    “Manusia.” Jawabku tersenyum
    Fani membuka-buka lembaran kertas A4 yang bertumpuk menggunung. “Jadi ini duniamu? Aku tak menyangka tulisanmu sebanyak ini. Sejak kapan?”

    “Sejak aku dapat gelar sarjana lima tahun lalu, sampai sekarang.”
    Suara hentakkan kaki terdengar dari balik pintu. Berhenti di sana.
    Cieett... pintu terbuka.

    Met, segone wes mateng, ayo pacarmu sisan dijak mangan[SUP]2[/SUP]”

    “Aduh, Mak. Jangan panggil nama asliku... sekarang namaku Frank, Mak!”
    Emak tersenyum. Begitupun Fani, ia terkekeh menahan tawa meski sebenarnya, setahuku, ia tidak begitu paham bahasa Jawa.

    “Alah, wes, podo wae. Kowe dijenengi Selamet mbek bapakmu, ojo diubah-ubah! Frang-freng...opo kuwi? Ra’ sah sok-sok-an nganggo jeneng londo, iso kualat kowe![SUP]3[/SUP]”
    cibir Emak dengan suara lantang tanpa mempedulikan betapa ia sangat mempermalukanku di depan Fani.
    _______________
    [SUP]2. [/SUP][SUP]Met, nasinya sudah masak, yuk, pacarmu sekalian diajak makan.[/SUP]
    [SUP]3. [/SUP][SUP]Ah, sama saja. Kamu dinamai Selamet oleh bapakmu, jangan diubah-ubah!. Frank-Frenk... apa itu? Jangan sok-sokan pakai nama asing! Kamu bisa kuwalat!.[/SUP]
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Feb 3, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    ijin komen yaa :hmm:

    kay, paragraf paling pertama membuat saya tertarik melanjutkan fic ini :hmm: great hook :top:

    sayangnya masuk paragraf kedua, anjlok :swt: kesannya tokonya menderita banget terlalu dibuat-buat, atau seenggaknya, kasar :iii: kalo boleh aku komentar, untuk penggambaran situasi dimana tokoh menderita, ga usah terlalu dibuat hiperbola juga. cukup pake interaksi dengan lingkungan sekitar dan pandangan sang tokoh terhadap peristiwa-peristiwa yang dilaluinya. contoh :

    mungkin ga usah terlalu hiperbola juga sih :iii:

    ah, ceritanya juga yaa :iii:

    entah kenapa berasa sinetron banget loo :iii: tapi nice effort so far, bisa bikin SoL macam ini :iii:
    plotnya rada ga jelas, kenangan masa lalu yang gagal ditutup dengan sempurna karena terlalu banyak konflik yang ditampilkan :hmm:

    hmm, segitu aja, and selamat datang di SF Fic yaa :peace:

    mampir ke lonje juga yaa buat interaksi ama member lain :hmm:
    link http://forum.indowebster.com/showthread.php?t=463895&page=135
     
  4. orange_doughnut M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 28, 2013
    Messages:
    1,738
    Trophy Points:
    57
    Ratings:
    +427 / -0
    klo untuk ceritanya, hmm, entah karena plotnya kebanyakan flaskback jadi feeln ya kerasa kurang. apalagi saat yang pas dibully itu.
    trus alasan kenapa prota-kun mengurun dirinya dalam dunianya sendiri jg motifnya kerasa kurang.
    dan tiba-tiba entahkenapa si prota-kunnya jadi sukses :swt:
    jalan kesuksesannya gk digambarin jadi kerasa prota-kunnya gk berjuang atau kerja keras gitu.

    tapi, klo untuk penulisan dan plot secara dasar udah mantap. lumayan bagus. :lalala:
     
  5. Ruset69 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    1,575
    Trophy Points:
    212
    Ratings:
    +47,022 / -0
    Saya baru belajar menulis. Mohon bimbingannya. Terima kasih atas masukannya.:cihuy::niceinfo:
     
  6. Ruset69 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    1,575
    Trophy Points:
    212
    Ratings:
    +47,022 / -0
    Gamsahamnida...:peace::clap:
     
  7. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Berasa dengerin cerita orang whine ga jelas.

    "Gw menderita! Gw paling menderita sedunia! Gw miskin! Gw pernah dikeroyokin anak sekelas, dikencingin, dan diludahin bak anjing!! ...tapi sekarang gw punya cewek, bro! Kehidupan gw jg cukup sukses. Selain itu, gw punya dunia sendiri dimana gw bisa ngatur semuanya layaknya Tuhan. Yesh. Selamet bener kan gw. Oh. Dan nama gw Frank. Jangan lupa."

    Pfft. Mau bikin dia tukang ngeluh, dendaman suka nginget masa lalu, tukang kabur dari realita, baik, pemaaf, atau apa sih.:ngacir:
     
    Last edited: Feb 4, 2014
  8. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    Jdi critanya si slamet mo pamer kehidupannya bgitu? :ngacir:

    Dia miskin, isa jdi arsitek trus sukses. Ya pasti ada sebabnya tpi disini ga disinggung sama skali... Kdi kerasa ada missink link

    Dan kesannya dia intovert, suka mengurung diri, ga mau ngurus org lain,
    tpi bisa nolong org juga(kesan e dendam tpi dimaafkan saja ... Kurangnterasa emosinya)
    Trus kok bisa si pembully minta bantuan dia? Ga punya harga diri atau gimana? Dan minta e kek berasa ngomong ma best pren aja :lol:

    Speerti kata merp,ini sifat karakter si prota kekna smua disikat, dendamxxpemaaf, dll seperti yg disebutdiatas :keringat:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.