1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Mangga Busuk

Discussion in 'Fiction' started by ohon, Jan 18, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. ohon M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Sep 28, 2012
    Messages:
    201
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +36 / -1
    Cerita ini bermula gara-gara liatin pohon mangga di depan rumah yang buahnya busuk. Ini adalah curhatan ane dalam bentuk cerpen. Silakan disimak :nikmat:

    Pohon mangga. Iya, Mangifera indica. Itulah nama sebatang pohon yang tumbuh di depan rumah. Pohon yang ditanam ayah saat aku masih kecil. Kini usiaku sudah menginjak 17 tahun. Meski terbilang tua pohon itu terbilang produktif. Jika datang musimnya buah-buah ranum menggantung di sepanjang dahannya. Dahannya lebat menutupi sebagian halaman rumah. Tak heran setiap tahun bisa dibilang panen besar.

    Pohon mangga tua itu menjadi saksi bisu perjalanan kehidupan di sekeliling rumah. Aku mendengar cerita dari kakakku bahwa pohon mangga itu adalah pemberian pihak pengembang perumahan tempatku tinggal. Dulu jalanan di dekat rumahku terbilang sepi. Jalanannya berbatu dan tak semulus sekarang. Tak banyak rumah yang dibangun di sekitar tempat itu. Hanya ada tanah kosong, petak-petak sawah, juga rumah setengah jadi yang sedang dibangun sejauh mata memandang. Tempat itu terbilang gersang. Panas terik menembus sela-sela jendela rumah di tengah hari. Saat masih kecil pohon itu sudah menaungiku dari teriknya mentari kala bermain bersama anak-anak tetangga. Bermain petak umpet, memanjat pohon, bermain kelereng di pinggir jalan, hingga tempat istirahat kala lelah selepas bermain. Sesekali aku memetik buah yang ranum jika tiba musimnya.

    Pohon mangga yang tumbuh di depan rumahku bukan mangga biasa, mangga simanalagi. Mangga ini meskipun masih muda tapi rasanya nikmat. Rasa manis itu lumer di mulut kala digigit dan jauh lebih enak dibandingkan permen. Hal itulah yang menjadi daya tarik bagi anak-anak jika musimnya tiba. Setiap hari ada saja anak-anak yang iseng memanjat pohon untuk mengambilnya. Ayahku pun sampai kewalahan menghalau mereka. Sore hari adalah saat mereka beraksi. Tepatnya sore hari setelah jam mengaji di TPA usai. Karena kesal, terbesit ide di benak ayah untuk memanfaatkan mereka. Imbalannya buah yang lezat dan gratis. Siapa yang tak bisa menolak tawaran menggiurkan ini terutama bagi anak kecil.

    Tahun demi tahun berlalu. Tubuh ayah semakin lemah. Ayah tak bisa terus mengawasi pohon setiap hari. Kini ayah duduk lemah di kursi roda. Ayah memiliki kelainan pada tulang belakang yang terdeteksi sejak tahun lalu. Saraf-sarafnya terjepit dan tulang belakangnya yang membentuk spiral semakin menyulitkannya untuk bergerak. Sejak saat itu ayah hanya bisa diam di rumah. Semenjak ayah dan ibu bercerai tiga tahun yang lalu, akulah yang harus mengurus ayah. Kakakku bekerja di Manado dan hanya pulang beberapa bulan sekali termasuk saat lebaran. Saat aku diberitahu dokter soal itu aku pun memutuskan untuk bekerja giat demi biaya pengobatan ayah juga kuliahku nanti. Aku pun tak harus bergantung pada uang kiriman kakak yang diterima setiap bulan.

    “Nak, tak terasa sudah musim mangga lagi,” ucap ayah terbatuk-batuk.

    “Iya. Musim mangga sudah tiba,” buah-buah mangga kecil mulai terlihat dari tangkainya. Beberapa di antaranya berukuran besar. Aku tak tahu buah manakah yang matang. Ayah yang lebih tahu soal mangga dibanding diriku. Hanya saja dengan kondisi ayah yang seperti ini tak memungkinkan untuk mengambilnya.

    “Dulu ayah masih ingat pohon mangga di depan itu tak sebesar ini. Masih kalah besar dengan pohon jambu di rumah pak Ruslan.”

    Pak Ruslan adalah tetangga yang tinggal di depan rumah kami. Tetangga yang sangat baik dan ramah. Ia sering membagikan buah jambu air kepada setiap tetangga jika musimnya tiba. Jambu-jambunya manis juga menyegarkan di hari yang terik. Rumah pak Ruslan sudah ada sebelum rumah ini dibangun. Sejak kecil pohonnya sudah terbilang besar dan lebat. Pohon itu sudah semakin tua sama seperti pak Ruslan. Kini pohon tua itu jarang berbuah tak seperti dulu. Pak Ruslan yang baik hati pun sedang menemani anaknya di rumah sakit. Kudengar Ardi, sahabat dekatku, sedang berjuang melawan tumor hati yang dideritanya. Pak Ruslan pun jarang terlihat di rumah. Jika ada tubuhnya kini kurus dan kalau bertemu pun selalu meminta doa untuk kesembuhan Ardi.

    Semilir angin sepoi-sepoi berhembus menerpa dahan pepohonan. Suasana rumah semakin terasa sejuk sore itu. Beberapa buah mangga kecil terjatuh diterpa angin. Akhir-akhir ini banyak sekali mangga yang jatuh. Kata ayah jika jatuh dari pohon berarti mangga itu sudah matang. Hanya saja pada bagian-bagian tertentu terlihat menghitam pertanda akan busuk. Dulu tak usah repot memetik mangga. Cukup memanggil anak-anak tetangga yang bersedia memetik lalu menunggu setiap mangga yang jatuh. Jika tak ada anak-anak, ayah sendiri yang memetiknya dengan bantuan galah. Galah pemetik buah kini lapuk dimakan usia. Ayah tak berdaya di atas kursi rodanya.
    Seperti yang kuceritakan sebelumnya, pohon tua itu adalah saksi bisu dari kehidupan di sekeliling rumah. Seiring berjalannya waktu semua berubah. Rumah-rumah semakin padat. Jalanan semakin ramai oleh kendaraan pribadi yang lalu lalang. Buah mangga yang ranum kini tak lagi menggoda siapa pun yang melintasinya. Pernah keluarga kami bermasalah dengan para tetangga dan petugas perbaikan jalan karena pohon mangga. Saat itu ada proyek perbaikan dan pelebaran jalan yang melalui bagian depan rumah. Mereka berpendapat jika pohon itu berada di bagian jalan dan harus ditebang. Kami menolak saran itu. Menurut kami pohon itu sudah ada sejak lama di halaman rumah kami. Pohon itu juga adalah pemberian pihak pengembang sebagai tanda serah terima rumah. Akhirnya penebangan itu dibatalkan. Setelah diukur pohon mangga itu tidak berada di bagian jalan. Letaknya memang menjorok ke luar namun masih berada di sekitar halaman rumah.

    Pohon mangga besar tempat anak-anak perempuan bernaung untuk bermain masak-masakan. Letaknya strategis. Selain itu dekat dengan rumah-rumah tetangga yang memiliki semak-semak yang cukup untuk dijadikan mainan. Kini semakin menginjak dewasa semakin jarang terlihat anak-anak perempuan bermain lagi. Kebanyakan dari mereka sebaya denganku. Adapula yang pindah rumah seperti Gina dan Irma. Tak terdengar lagi canda tawa mereka saat bermain di bawah pohon. Tak ada lagi anak-anak perempuan yang mengejar anak laki-laki untuk mencicipi “masakan” buatan mereka. Tak ada lagi anak perempuan yang membawa pisau lalu duduk di tepi untuk mengupas buah yang dipetik anak laki-laki.

    “Melihat mangga ranum di pohon jadi ingin mangga. Rudi, bisa ambilkan ayah mangga?”

    “Tunggu sebentar ya. Aku lepas sarung dulu.”

    Aku masuk ke kamar. Kulepas sarung lalu pergi ke dapur mengambil sebilah pisau dan piring. Aku jadi teringat saat-saat masa kecil dulu. Ayah yang selalu mengupaskan mangga untukku. Kini situasi sudah berbeda. Aku harus mengupas mangga untuk ayah. Aku mengambil galah yang biasa dipakai untuk tiang bendera kala 17 Agustus tiba. Aku menarik cabang besar dengan galah lalu mengambil buah yang bisa kuraih.

    “Ayah, sebelah mana yang matang?” ayah pun memacu kursi rodanya dengan hati-hati. Kepalanya menengadah ke atas sembari memberiku petunjuk buah mana saja yang matang.

    “Ayah tidak apa-apa? Kata dokter ayah jangan banyak bergerak nanti semakin parah,” ayah tersenyum padaku seraya berkata.

    “Tidak apa-apa, Nak. Ayah sudah lebih baik sekarang. Rudi, ada tiga mangga matang di sebelah kanan atas. Hati-hati mengambilnya, Nak.”

    Lokasi mangga itu cukup jauh kuraih. Aku harus bisa meraihnya. Demi ayah. Kulakukan ini demi ayah. Itulah kata-kata penyemangat yang terngiang di telingaku. Perlahan-lahan kuraih ujung tangkai buah. Sedikit lagi. Dapat!

    “Bagus, Nak,” ucap ayah memperingatkanku. Aku masih terbayang masa kecilku bersama anak-anak saat memanjat pohon. Masih ada Ardi yang berdiri tegak di bawah pohon bersiaga untuk menangkap buah. Lelaki bertubuh bongsor itu sebenarnya yang paling cekatan dalam memanjat. Hanya saja ia masih mengalami trauma akibat terjatuh dari pohon jambu di depan rumahnya hingga mengalami patah tulang serius di bagian kaki dan bahunya. Ada anak-anak perempuan yang menghitung dan mengupas mangga di bawah. Ada juga anak-anak dari RT sebelah yang sedang menunggu jatah di bawah. Aku rindu masa-masa itu. Ilusi itu pun buyar kala aku mengumpulkan buah-buah yang berhasil kudapat. Ayah yang duduk di halaman tersenyum ke arahku.

    “Makan mangga sore-sore segar juga. Kalau saja seperti dulu. Satu keluarga masih berkumpul,” saat aku melihat ayah sepertinya ia sangat rindu dengan masa itu. Masa di mana kami belum berpisah seperti ini. Kakakku masih ada di rumah juga ayah belum bercerai. Aku yang sedang mengupas mangga hanya bisa tersenyum melihat ayahku itu. Perlahan aku suapi ayah seperti halnya ayah menyuapiku dulu. Melihat mangga itu aku teringat akan Ardi yang terbaring lemah di rumah sakit.

    “Ayah, anaknya pak Ruslan dirawat di rumah sakit mana?”

    “Kalau tidak salah di rumah sakit Harapan.”

    Jika aku ke sana sendiri bagaimana dengan ayah, pikirku. Ayah dalam kondisi seperti ini. Tak ada kakakku yang dulu bergantian menjaga ayah. Kuputuskan mengajak serta ayah. Keesokan harinya aku membawa mangga ranum yang kupetik pagi hari ke rumah sakit bersama ayah. Aku tak tahu Ardi berada di ruangan mana dan lantai berapa. Tak sengaja aku melihat papan petunjuk berisi nama pasien juga ruangannya. Mataku tertuju pada satu nama, Ardi Saputro ruangan ICU. Semoga saja Ardi baik-baik saja. Perlahan aku dorong kursi roda ayahku.

    “Anda ingin mengunjungi siapa?” tanya satpam penjaga bangsal itu ramah.

    “Ardi Saputro yang ada di ruangan ICU. Kami tetangganya.”

    “Baiklah,” ucap sang satpam sambil mencatat identitas kami dan jam kedatangan. “Nama Anda?”

    “Keluarga Arif Sudrajat.”

    “Baiklah. Jam besuk hari ini hanya sampai jam 1 siang. Manfaatkan waktu berkunjung sebaik mungkin. Silakan masuk.”

    Aku melihat sepanjang bangsal beberapa pengunjung dan tenaga medis yang lalu lalang. Aku harus berhati-hati mendorong kursi roda ayahku. Aku pun berpapasan dengan dokter Tono, dokter yang menangani ayahku.

    “Selamat pagi, Dokter.”

    “Pagi. Tidak biasanya kalian datang sepagi ini. Apa kalian mau melakukan fisioterapi?”

    “Tidak, Dok. Lagipula ini bukan jadwal ayah untuk fisioterapi. Kami kemari untuk mengunjungi tetangga yang dirawat di ruang ICU.”

    “Oh membesuk tetangga. Saya pamit dulu. Ada pasien yang harus ditangani,” aku melihat tanda ruang ICU yang ada di ujung lorong. Perlahan aku mencari ruangan Ardi berdasarkan papan nama yang ada di depannya.

    “Assalamu ‘alaikum,” ucapku sambil membuka pintu perlahan.

    “Wa ‘alaikum salam. Ada pak Arif dan Rudi. Silakan masuk,” itu adalah pak Ruslan. Pria paruh baya itu terlihat jauh lebih tua dari ayah meski usia mereka tak beda jauh. Kini lebih kurus dan keriputnya terlihat jelas. Satu hal yang masih tersisa adalah kumis tebal yang menjadi ciri khasnya. Aku memberi salam pada beliau.

    “Bapak dengar ayahmu sakit. Apa penyakitnya sudah membaik?”

    “Sudah agak mendingan,” jawab ayah. “Sekarang sudah bisa bangun sendiri tapi masih belum bisa berjalan.”

    “Bagaimana dengan Ardi?”

    “Alhamdulillah keadaannya sudah membaik. Sudah dua hari ia tak sadarkan diri setelah operasi dan sekarang sudah siuman. Dia sedang bersama ibunya. Sejak sakit Ardi jadi lebih manja dan tak mau lepas dari ibunya.”

    Aku mengambil mangga yang dipegang ayah dan meninggalkan para pria dewasa yang sibuk berbincang itu. Aku berjalan menuju ranjang Ardi. Benar apa yang dikatakan pak Ruslan. Ia tak mau terpisah dari sang ibu. Terlihat ia sedang disuapi oleh ibunya.

    “Hei, Sob! Apa kabar?” tanya Ardi.

    Tubuhnya yang bongsor itu tak sebesar dulu. Tubuhnya agak kurus. Aku taruh mangga itu di meja kecil samping ranjangnya.

    “Apa itu?”

    “Ini mangga. Kebetulan sekarang sudah masuk musim mangga.”

    “Benarkah? Ini mangga dari depan rumahmu itu? Sudah lama sekali aku tak mencicipinya. Terima kasih ya, Rud!”

    Senyum bahagia itu merekah di wajah Ardi. Aku mendengar cerita dari ibunya jika ia baru saja menjalani operasi transplantasi hati. Tumor itu telah menyerang sebagian hatinya. Rasa sakit saat pemulihan itu seakan terobati oleh beberapa buah mangga. Ardi sangat menyukai buah mangga. Kami pun berteman karena pohon mangga yang ada di depan rumah.

    Pohon mangga itu memiliki banyak kenangan. Suka, duka, senang, sedih, tawa, perkelahian, kejar-kejaran, tangis, senyum, harap, konflik, dan kenakalan anak-anak banyak mewarnai kisahnya. Pohon mangga itulah yang menyatukan aku dan ayah. Pohon itulah yang seakan mengembalikan senyuman di balik sakit yang Ardi derita. Pohon mangga, sebuah placebo yang tumbuh di halaman rumah.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. orange_doughnut M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 28, 2013
    Messages:
    1,738
    Trophy Points:
    57
    Ratings:
    +427 / -0
    Itulah nama sebatang pohon yang tumbuh di depan rumah.


    gk dijelasin rumah aku atau rumah siapa gitu? mgkin harusnya kyk gini ya,

    Itulah nama sebatang pohon yang tumbuh di depan rumahku


    kyk gitu.


    ---​


    btw, judul dulu deh. untuk judul, aku gk nyambung bgt. maksud 'mangga busuk' disini itu apa? bukannya mangganya tetap bagus ya? atau ada pesan implisit yg ada dicerita. tapi, aku gk nangkap sama sekali sih.


    kedua, untuk ceritanya.


    klo ceritanya, feelnya aku rasa dapat banget. memori ttg masa lalu dan masa sekarang yg udh hilang itu bisa digambarin dengan baik. selain itu, saat baca ini aku jadi nostalgia nginget2 masa kecil manjat pohon jambu tetangga yg belum masak terus diusir kabur ama teman2 lainnya. :lol: bagian itu dapet banget dan jadi nilai plus buatku.

    tapi, meskipun begitu, aku rasa, ceritanya malah gk jelas tujuan atau arahnya mau kemana.

    aku pikir ceritanya bakalan jadi seputar ayah yg sudah tua dengan anaknya pas awal2 baca, tapi selanjutnya di ending malah jadi cerita temannya si prota-kun.


    mgkin ceritanya, berpusat pada phon mangga gt apa yg pengen situ sampaikan kali ya? tapi, aku malah ngerasa pohon mangga disini hanya sebagai object atau sebuah tempat dari sebuah cerita yg terjadi. nah, ceritanya itu yg entah gk jelas mau pergi kemana.

    ----​

    selanjutnya, bagian akhir, kalimat ini aku gk ngerti sih maksudnya apa.

    Pohon mangga, sebuah placebo yang tumbuh di halaman rumah.


    bisa jelasin maksud kalimatnya. aku penasaran aja. :onegai:

    ----​


    overall, udh bagus ceritanya. endingnya yg gk ngena klo aku bilang sih.

    coba, klo ceritanya ttp dalam satu rute pas bagian interaksi antara ayah dan anaknya itu. entah ayahnya meninggal atau apa gitu. jadi, hilang begitu aja ceritanya.

    itu aja.


    cmiiw jika ada yg salah :peace:
     
    Last edited: Jan 19, 2014
  4. ohon M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Sep 28, 2012
    Messages:
    201
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +36 / -1
    Makasih buat komentarnya :peluk:

    Sebenarnya sih judulnya masih gak tahu apa, jadi ane masang nama fail di word buat judulnya. Nama fail aslinya emang "mangga busuk". Kesannya geje ya, tapi emang asli bingung :bingung:

    Ceritanya emang tentang kenangan masa kecilnya yang berpusat di sekitar pohon mangga termasuk rumah tetangganya.

    Bicara soal kalimat terakhir ya. Jujur aja pas waktu nulis itu kepikiran lihat pohon mangga di depan rumah. Bayangin semua kenangan yang terjadi di masa lalu dan seakan-akan bisa mengobati rasa rindu akan masa-masa itu. Selain itu juga pohon mangga itulah yang mempersatukan hubungan si tokoh dan temannya kembali. Buahnya seakan-akan menjadi perekat hubungan teman semasa kecil yang renggang setelah dewasa.

    Gitu aja sih, hehe.
     
  5. orange_doughnut M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 28, 2013
    Messages:
    1,738
    Trophy Points:
    57
    Ratings:
    +427 / -0
    nah, itu. klo pengen nyeritain ttg persahabatan dan mmpersatukan hubungan si tokoh ama temannya, kenpa di tengah2 ada cerita bapaknya pula?


    oh, maksudnya sebagai perkenalan ya?


    btw, hubungan si prota-kun ama temannya yg kanker itu ada masalah ya ternyata. aku pikir baik2 aja?.
     
  6. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    sesuai dengan yang ditulisin di awal: ini adalah curhatan ane dalam bentuk cerpen

    secara penulisan sih udah bagus. Ga berasa curhat-like. Paling masalahnya kadang-kadang di transisi antarkalimat ma kalimat ga perlu. Entah kenapa sering banget terjadi "tiba-tiba kalimat itu muncul" di sebuah paragraf dan semua topik yang kamu bangun di awal buyar dengan topik baru yang muncul darimana tau. Well, storytelling-wise... ini curhat-like banget. Orang kalau dengerin curhat temennya ga akan protes kalau kamu muter-muter di topik yang berbeda, ga akan protes kalau kamu ganti topik seenaknya, ga akan protes juga kalau kamu mau nyeritain banyak hal sekaligus tanpa urutan yang jelas. Yes. Jadi kalau kamu bilang ini curhat, ya gapapa. Kamu bilang ini cerpen, silakan jg... cuma~ yah~~ terlalu kayak curhat cara penceritaannya~:centil:
     
    Last edited: Jan 19, 2014
  7. orange_doughnut M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 28, 2013
    Messages:
    1,738
    Trophy Points:
    57
    Ratings:
    +427 / -0
    aku baru sadar ada kalimat : 'ini adalah curhat ane' yg diatas. :dead:


    pantes aja.
     
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    ikut menebar komen :lalala:

    seperti yang sudah para sepuh bilang, ini lebih berasa curhat dibanding cerpen. menurutku, karena alurnya gak jelas :iii:

    okelah bisa dibilang jelas juga sih sebenenya, cuma, yah, gimana ya? alur yang jelas ga diimbangi dengan pembawaan plot yang jelas dimana konflik n klimaksnya :lalala: aku ga ngerti ini dimana puncak ceritanya. yang aku dapet disini sih, cerita ini cuma punya akar cerita n konflik (yang minim) aja :iii:

    dari penulisan keknya udah enak, mengalir. yang bikin ga sreg, idem ama mbak merp, cuma transisi aja :lalala:

    and, ini alurnya juga kecepetan sih :iii: entahlah, menurutku ini bisa dikembangin lagi ceritanya supaya lebih menarik :iii:

    segitu dulu aja :maaf:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.