1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Hey Kau, Mr. Know It All, Aku Ikut

Discussion in 'Fiction' started by invictuneez, Jan 9, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. invictuneez M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 12, 2010
    Messages:
    359
    Trophy Points:
    123
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +886 / -0
    Perlu banget yang baca pada tahu, kalo ini BUKAN karangan gue, ini originally punya temen sekontrakan gue. Pas ngubek2 blog dia, kok nemu karya ini... gue baca... eh gue suka... terus ada ide buat promote ke agan2 sekalian nih...
    yang baca, komen, kasih saran, dan kritik ya, ntar gue sampein ke Oryza (nama temen sekontrakan gue, yang bikin cerita ini) Happy Reading ^^


    Hey Kau, Mr. Know It All, Aku Ikut

    Sesungguhnya rasa kagum dan rasa ingin memiliki yang tidak terpuaskan tidak selalu merugikan. Setidaknya aku yang menyimpulkan mengalaminya.

    Seperti biasa, setiap Kamis pukul 8.00, aku selalu menjenguk perpustakaan kampus. Kalau tidak karena dia, mungkin aku tidak akan pernah berhasrat untuk menjenguk perpustakaan kampus tercintaku dengan segala keterbatasannya itu. Terbatas buku, terbatas ketenangan, terbatas koneksi internet, dan terbatas fasilitas colokan. Aku sudah berusaha keras menahan diri untuk tidak cerewet, maafkan aku.

    Sudah 6 bulan aku mulai pe-de-ka-te dengan dunia sastra. Puisi dan novel ternyata asyik. Tak pernah terlintas di pikiranku bahwa aku akan menyukai mereka. Dan harus kuakui, untuk kesekian kalinya aku menjadi korban ketidak-patuhan petuah “tak kenal maka tak sayang”.

    Perasaan jatuh cintaku pada dunia sastra adalah sebuah kecelakaan, meniru pernyataan sebagian besar orang-orang hebat di luar sana saat ditanya sejarah profesi mereka.

    Singkat cerita, aku mengagumi sastra karena rasa kagumku pada seseorang yang tidak terpuaskan. Singkat, padat, dan jelas bukan?

    Pagi ini aku melahap novel To Kill A Mockingbird tua ku, korban kebanjiran di rumah waktu itu. Menduduki kursi dan spot langgananku senyaman mungkin, kupaksa bola mataku menjelajahi tulisan-tulisan di buku yang kupegang ini.

    Tak kuat lagi, aku menyerah pada pikiran yang mengajakku jalan-jalan.

    Memang salah satu kekuranganku adalah sulit sekali untuk fokus. Paling tidak aku dapat menyadari kekuranganku satu demi satu, untungnya.

    Pikiranku kali ini mengajakku jalan-jalan ke masa lalu, tepatnya satu setengah jam yang lalu. Kelas Grammar pagi itu sungguh membosankan, seperti biasa. Sebut saja kelas dengan metode pembelajaran “membaca presentasi”.

    “Sudah lah, cukup!”, perintahku batinku pada pikiran. Kuputuskan untuk tidak memanjakan kemauan pikiran ini.

    Seinci lagi bola mata ini meraih huruf pertama untuk dibaca, perhatianku teralihkan oleh suara derikan pintu masuk. Seorang lelaki cukup tinggi, tidak kurus pun tak terlalu gemuk. Setelah menghampiri meja penitipan tas, ia mengeluarkan laptop tua nya dari tas, memberikan tas nya pada petugas perpustakaan, lalu menulis namanya di buku daftar hadir sambil berucap terima kasih. Tidak heran melihat nya memakai sebuah sweater lumayan tebal berwarna biru muda itu, mengingat cuaca pagi itu juga cukup membuatku menggigil.

    Perhatianku masih terfokus padanya dengan sedikit kehati-hatian dan kesiap-siagaan, barangkali dia menyergap pandanganku padanya secara tiba-tiba.

    Dia berjalan mendekati meja tempat menyimpan koran hari ini, mengambil sebuah, lalu menarik kursi di seberang kanannya yang menimbulkan suara derikan keras, memecah keheningan perpustakaan. Orang ini sangat tidak pengertian dengan situasi, batinku. Sudahlah, kuputuskan untuk melanjutkan membaca novelku saja.

    Lagi-lagi fokusku teralihkan oleh suara bising yang dia buat, kali ini suara yang dia hasilkan saat membalikkan halaman koran. Poni acak-acakan nya yang cukup ikal hampir menghalangiku mengamati kedua matanya. Serius sekali orang ini.

    Tak diduga-duga, dia mendapati tatapanku padanya. Dheg, mati aku! Buru-buru kuarahkan pandanganku ke jendela di balik tubuhnya, seolah-olah sedang melamunkan sesuatu. Setelah dirasa aman, aku kembali membawa pandanganku ke novel yang kupegang.

    Fiuh, hampir saja…

    Setelah cukup lama menyelami cerita novel karangan Harper Lee itu, malas-malasan aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9.55. Aku pun memutuskan untuk segera keluar dari perpustakaan bergegas menuju kelas.

    Dengan sengaja kucuri sebuah pandangan ke arah lelaki tadi. Mata nya sayu dan tampak lelah. Wartawan kampus kah dia? Entah lah, bukan urusanku. Waktu semakin mendorongku menuju kelas selanjutnya.





    Senin, pukul 8.00.

    Lagi-lagi aku memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan sambil menunggu kelas selanjutnya. Kubuka pintu perpustakaan pelan-pelan, dengan maksud menghargai yang di dalam agar tidak mengganggu ketenangan.

    Seperti biasa, petugas tempat penitipan tas menyambutku dengan segaris senyum datar. Menamainya sebuah senyum hanya untuk menyenangkan hati. Aku hanya berusaha untuk tidak membuatnya menjadi bahan gerutuan.

    Setelah mengisi buku daftar hadir, mata ku langsung mendapati seorang lelaki duduk di kursi langgananku.

    Sial, batinku. Dan tidak seperti biasanya, hari ini perpustakaan cukup dipenuhi mahasiswa. Lalu aku mendapati sebuah kursi kosong tepat di sebelah kursi langgananku, tidak ada pilihan lain.

    Sambil berjalan mendekati kursi yang sudah kubidik, aku melirik halus lelaki yang menduduki kursi langgananku. Lelaki yang kemarin ternyata. Mata nya yang sayu tengah asyik menelusuri tulisan-tulisan di laptop di hadapannya. Kali ini ia memakai kemeja lengan panjang berbahan jeans, dengan lengan baju yang ditarik hingga ke siku, memberi kesan selengek’an.

    Kubuka novel To Kill A Mockingbird ku pada halaman yang sudah ditandai.

    “Cara Atticus membesarkan anak-anaknya ini patut ditiru, bagaimana ia memperlakukan anak-anaknya layaknya orang dewasa, menjawab pertanyaan mereka sejujur mungkin sesuai fakta yang ada”, komentarku. Pikiranku sudah jauh masuk ke dalam cerita novel itu. Tiba-tiba, lelaki di sebelah ku ini memulai pembicaraan dengan seorang temannya yang duduk berhadapan dengannya.

    “Aku heran dengan mahasiswa sekarang, antusias mereka terhadap karya tulis ilmiah masih jauh di bawah target kampus kita yang akan menjadi universitas berintregitas riset tahun 2020. Lihatlah apa yang sering mereka lakukan sekarang, update status facebook, twitter, main game. Apa sih yang mereka dapat dari media sosial? Dunia maya seperti itu mendegradasikan komunikasi dua arah secara langsung, melemahkan mental.”

    “Ya, mau gimana lagi? Kita sekarang hidup di zaman yang semua serba praktis dan mudah. Sajian-sajian tontonan televisi pun mendidik kita untuk berpikir praktis, sehingga banyak anak muda sekarang yang malas mikir, mental lemah. Dikasih tanggung jawab sedikit saja sudah bilang tidak bisa”, temannya merespon sekenannya.

    Berisik sekali! Mereka ini sungguh tidak pengertian dengan situasi. Fokusku mulai buyar. Aku mencoba untuk menahan diri, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Negara demokrasi sih kalau kata orang-orang.

    Setelah 10 menit berdiskusi, teman lelaki itu pun pergi meniggalkannya sendiri menuju luar perpustakaan.

    Kulirik lelaki di samping kiriku itu dengan tatapan tajam. Merasa sedang diawasi, dia pun menatapku balik.

    “Ada apa? Kau ingin berbicara sesuatu denganku?” tanya nya penasaran.

    “Ya. Aku hanya ingin berkata bahwa perpustakaan bukanlah tempat untuk diskusi. Tidak bisa kah kau sedikit pengertian dengan situasi di sekitarmu? Aku datang kesini untuk membaca. Apa nyamannya membaca ditemani ocehan-ocehan bising kalian”, jawabku ketus.

    “Aku punya hak untuk berbicara di mana saja. Lagipula diskusi kami tadi tidak menimbulkan kegaduhan”, menjawab sekena nya lalu kembali bergaul dengan laptop tua nya.

    “Tapi kau duduk di sebelahku, lelaki kritis. Kau punya hak, aku juga punya hak. Kita sama-sama punya hak. Yang bisa aku simpulkan disini, hak mu dibatasi oleh hak ku, begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain tidak ada hak mutlak. Mengertilah sedikit!”, jawabku kesal.

    “Baiklah, baiklah. Adu mulut ini hanya karena persoalan sepele, tidak ada gunanya”, intonasi suaranya merendah dengan tatapan tetap pada layar di depannya.

    Aku semakin kesal. Hal sepele kata nya. Kata maaf pun tak keluar dari mulutnya. Sudah cukup, kuputuskan untuk lanjut membaca saja.

    “Apa wajah seriusmu selalu terlihat cemberut seperti itu?” pertanyaan dadakan yang dia ajukan sedikit mengejutkanku, untuk ukuran orang yang baru saja aku kenal.

    “Itu bukan urusanmu”, kuberi dia tatapan sinis.

    “Kau sudah membaca koran hari ini? Baca lah, jangan baca novel saja.”

    “Aku tak suka politik.”

    “Pemikiranmu sempit sekali, dan kau sangat pemilih ternyata.”

    Berani-berani nya dia menilaiku secepat itu. Aku lebih memilih untuk diam, menunggu saat yang tepat untuk balik menyerangnya.

    “Kau sering sekali ke perpus.”

    “Kau sering memperhatikanku ya? Karena hidup adalah tentang menunggu, menunggu satu tujuan akhir, yaitu kematian. Aku tak mau mengisi waktu menungguku, bahkan yang sepele sekalipun seperti menunggu kelas, dengan kegiatan yang sia-sia.” Rasakan itu, lelaki sok tahu!

    Dia diam. Sambil menatap layar di hadapannya, masih diam.

    “Kegiatan yang sia-sia bagaimana? Tidak ada kegiatan yang sia-sia di bumi ini, selama si manusia pintar mengambil manfaatnya.” Tatapannya masih tertuju pada layar laptop. “Bahkan bila kau tak melakukan apa-apa saat menunggu, masih ada manfaatnya asalkan kau bisa memaksimalkannya. Contohnya saja, memperhatikan orang-orang di sekitarmu. Cermatilah tingkah mereka, para manusia modern produk globalisasi. Amati apa yang sedang terjadi pada manusia di bumi ini, resapi. Semua panca inderamu harus siap siaga kapanpun, di manapun, dan apapun yang sedang kau lakukan, sehingga tak akan ada yang sia-sia. Jangan biarkan pikiranmu lengah dan kosong. Itu kuncinya, mahasiswi.”

    “Kau ini jurusan apa sih?”, aku masih memasang wajah heran bercampur sedikit kesal.

    “Kau ingin mengobrol denganku lebih lama? Jika iya, pertanyaanmu itu tak penting. Kalau kau tahu jurusanku, kau akan diskriminasi topik pembicaraan. Akan lebih baik jika kita tidak saling tahu latar belakang, mahasiswi. Sudah ya, aku ada kelas. Aku yakin kita akan mengobrol lagi lain waktu.”

    “Semoga tidak!” aku memberinya tatapan tak bersahabat. Dia membalasnya dengan senyuman, tarikan garis kecil yang manis.

    Kamis, pukul 8.00.

    Aku mendapatinya sudah duduk di sebelah kursi langgananku, beradu tatapan dengan layar laptop-nya.

    “Kau pasti sengaja duduk disitu.”

    “Haha! Aku bebas duduk dimana saja, selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Seperti katamu waktu itu.” Dua detik dia menatapku, lalu tersenyum.

    “Mau mu apa?”

    “Hah?”

    “Manusia senang sekali berasumsi, lalu terjadi miss-komunikasi dan saling menyalahkan. Maka dari itu aku bertanya padamu, mau mu apa? Jangan sampai aku berasumsi buruk tentangmu.”

    “Aku hanya ingin ngobrol denganmu.”

    Jawaban yang di luar prediksiku.

    “Aku penganut ‘perpustakaan bukan untuk tempat diskusi’. Percuma.” Kutunggu dengan sabar respon dia selanjutnya.

    “Kau pernah naik gunung?”

    “Tidak.” Aku menduga-duga arah pembicaraannya.

    “Dua minggu yang lalu aku naik gunung, itu, gunung yang sedang sering dibicarakan anak-anak muda saat ini setelah menonton filmnya.”

    Oh, gunung Semeru, batinku.

    “Kau tahu rasanya berada hanya sejengkal dariNya? Aku menatap matahari sedang bangun, meregangkan cahayanya, sedekat itu. Cahaya oranye kemerahan nya yang hangat membersihkan ampas-ampas tebal yang mengendap di hati dan pikiran, begitu menenangkan.”

    spruce-forest-night-sky-stars

    Aku menyimak dengan seksama. Kata demi kata yang diucapnya kuresapi, kubiarkan kata-kata itu melukiskan bentuk nyatanya di pikiranku sesempura mungkin.

    “Malam tak rela aku lewati dengan terlelap. Aku terlalu mengagumi bintang-bintang malam itu. Cahaya putih mereka begitu polos, mengajakku menumpahkan beban pikiran yang sedikit demi sedikit mulai meluap. Langit hitam nya cocok sekali untuk obrolan-obrolan ringan namun tetap berbobot.”

    “Aku masih belum bisa menebak tujuan pembicaraanmu.” Maaf aku menyela luapan kagummu pada semesta. Aku hanya tidak ingin begitu terlena dengan mu, maksudku, mulai terlena.

    “Jadi sepanjang kata-kata indah ku tadi, kau hanya memikirkan maksud pembicaraanku? Jalan pikiranmu sangat membosankan.”

    Aku menatap kedua matanya sambil tersenyum menang. Kau terlalu cepat menilai orang, lelaki sok tahu.

    “Sabtu depan aku akan naik gunung lagi bersama teman-temanku. Kau harus ikut, mengingat hidupmu yang begitu datar.” Ia mengalihkan pandangannya ke layar laptop.

    “Harus? Kau ayahku memangnya?” Lagi-lagi aku kesal dibuatnya. “Aku tidak janji.”

    “Ya sudah, terserah kau saja.” Pandangannya masih tetap ke layar laptop.

    Kulirik jam di handphone, pukul 9.55.

    “Aku ada kelas, sampai jumpa kapan-kapan.”

    Di tengah perjalananku ke pintu keluar, begitu cepat ia menyambar perhatianku.

    “Hey, pikirkanlah ajakanku itu. Kau tidak akan menyesal, aku jamin.”

    Aku membalikkan badan, mengangkat pasrah kedua bahuku, lalu pergi berlalu keluar pintu perpustakaan.

    Kamis, pukul 10.00.

    Aku melihatnya keluar pintu perpustakaan dengan raut wajah yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Saat berjalan menuju parkiran motor, aku hendak memberi tahunya keputusanku untuk ikut naik gunung.

    Mengobrol dengannya membuatku tergila-gila. Aku mendambakan obrolan akrab di puncak gunung, berjarak hanya sejengkal denganNya, ditemani polosnya cahaya bintang-bintang, seperti katanya.

    Kuputuskan untuk memanggilnya dari jauh, lalu aku sadar aku tak tahu namanya.

    Di depan gerbang kampus ada kerumunan orang, sesuatu yang tak biasa pasti telah terjadi di sana. Karena termakan rasa penasaran, ia pun berlari menghampiri kerumunan, pun aku. Larinya begitu cepat, aku tertinggal jauh di belakangnya.

    Saat tiba di dekat kerumunan dengan nafas tersengal-sengal, aku melihatnya memangku tubuh seorang wanita berlumuran darah sambil berteriak meminta mobil ambulan. Ya Tuhan, apa yang telah terjadi? Kasihan sekali wanita itu.

    Kudekati ia, lelaki yang akhir-akhir ini jadi teman mengobrol ku di perpustakaan, lelaki yang diam-diam aku kagumi karena secuil obrolan-obrolan kami di perpustakaan.

    “Hey, apa yang terjadi?” Dia masih tetap sibuk dengan tubuh wanita di pangkuannya.

    “Heyyyy!” teriakku.

    Ia membalikkan tubuhnya ke arahku, tanpa mempedulikanku. Wajahnya terlihat sangat terguncang dibalur air mata bercampur darah wanita itu yang menempel di wajahnya. Wanita itu mungkin kekasihnya, pikirku.

    Kulihat wanita berlumuran darah yang dipangkunya itu dengan seksama. Aku tersentak. Aku melihat wajah yang tidak asing lagi bagiku, wajah yang sangat aku kenal seluk-beluknya, wajahku sendiri.


    source: http://zearidzkika.wordpress.com/
     
    Last edited: Jan 9, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    hem.. interesting. Itu aja komen yg bisa saya bilang sekarang. Soalnya yg ngepost bukan orang aslinya, dan saya ga tau apa orang aslinya emang mau kritik dan saran yang sejujur-jujurnya dari saya. Tell me, if s/he said it's fine for me to do that. But yeah, it's interesting. Bagian awal saya sangat bisa relate, nyampe saya curiga jangan-jangan ini tempat yang sama, dan sebetulnya kita pernah ketemu#lebay

    well, that's it for now.
     
    Last edited: Jan 10, 2014
  4. invictuneez M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 12, 2010
    Messages:
    359
    Trophy Points:
    123
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +886 / -0
    you made a good point, :elegan:
    temen gue malah bilang kalo ada yang komen di sini bisa langsung kasih tau dia... Oryza juga bilang kalo semakin pedas kritiknya justru semakin dia suka, jadi dia bisa tau apa kekurangan2 tulisan dia.... so, kalo mau kritik dan kasih saran nggak usah sungkan.... Oryza bakal nerima dengan senang hati.... :peluk:

    Hah? Tempat yang sama? :bloon:
    clue---> perpus yang ada di cerita di atas (a.k.a perpus fakultas kita) itu kecil
     
  5. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    yah.. oke.. karena udah dibilang boleh, dan terima pedes... tanggung sendiri risikonya ya.#plak ga kok, lebay doang kok. Ga akan pedes-pedes amat(toh emang ga perlu). Paling banter pedesnya orang jawa, bukan pedes orang padang.#garing

    Pertama.. penulisannya lumayan. Bagus. Tapi ada satu kekurangan yang saya rasain banget dari awal nyampe akhir baca cerpen ini. Entah kenapa.. kurang kerasa transisi antar paragraf atau antar kalimatnya. Beberapa kali ada kesan mendadak di tiap pergantiannya. Jadi kurang ngebangun suasana yang terjadi. Terlalu singkat, kalau boleh dibilang. Pertama dia ngomongin topik A, habis itu A diudahin begitu aja dan pindah ke topik B. Berasa ga ngalir. Biarpun diksinya per kalimatnya sendiri udah oke. Cuma kurang ada kesan penghubung antarkalimat atau antarparagraf itu.

    Trus, tata bahasa sih saya liat udah lumayan jg. Koma ga terlalu banyak. Titik. Huruf kapital jg. Paling agak kurang di tanda baca dialog. Biasanya sih bener, tapi kalau pas giliran pake koma jadinya salah. Soalnya koma, tanda seru, tanda tanya, sama titik itu bisa dianggap statusnya sama. Kalau udah ada tanda seru/tanda tanya ga perlu lagi pake koma di belakang tanda kutipnya. Dan kalau mau pake koma sebagai akhiran jg ditaruh di posisi yang sama dengan mereka. Well, tapi saya rasa harusnya udah tahu sih soal ini mah. Satu lagi paling soal spasi yang berlebihan. Kek -ku, -mu, -lah, yang dipisah biarpun ga perlu dipisah. Ga terlalu penting sih ini.

    Ceritanya sendiri erm... menarik, kayak yang saya bilang sebelumnya. Pemakaian trope girl meets boy-nya juga buat saya nilai plus tersendiri(karena saya jg suka pake tu trope#haha). Dan twist buat endingnya jg... lumayan. Sayangnya dikurangin sama penulisan di atas yang tadi saya bilang, jadi hampir ga kerasa apa-apa. Apalagi saya jg udah nebak apa yang terjadi ketika bagian "dia tidak memedulikanku"

    Nah.. terakhir ke karakter.. Ini.. yang saya anggap paling kurang dari yang lain. Biarpun saya bisa relate di awal, tapi makin ke tengah saya jadi agak bete dengan... interaksi yang digambarin. Sifat tokohnya jg... rasanya ada kesan ga natural, dan maksain sesuatu.

    Contohnya aja si ceweknya.. dia kesel gara-gara ada yang ngobrol di perpus? Tapi habis itu dia malah banyak ngobrol ma si cowok. Berasa hipokrit. Well, ini masih bisa dipahami. Soalnya manusia emang sering mengkontradiksikan kata-katanya sendiri. Nah kalau si cowok.. personalitynya bener-bener bikin saya jengkel. Prejudice ditambah sharptongue. What a combination. Dan si cewek bisa suka? Oke, ga ada kalimat gamblang yang bilang si cewek suka. Tapi ayolah.. *rolled eyes* Apalagi pengarang kayaknya pengen banget nampilin si cowok sebagai orang intelek, berwawasan luas, yang peduli sama sekitarnya. Ini saya liat dengan banyaknya dialog sok deep, sok filosofis yang dia keluarin, yang seringkali kesannya menggurui. Edan. Kalau saya ngomong ma orang kek gini mah mendingan cabut dah. Dan makanya saya bilang dia prejudice dan sharptongue. Bukan pintar, bukan cool, bukan intelek. Ditambah sama satu dialog dia yang ini:

    “Pemikiranmu sempit sekali, dan kau sangat pemilih ternyata.”


    ngeek? cuy? lu ngomong gitu malah berasa lu yang sempit loh pemikirannya? Di adegan ini rasanya malah bikin dia sebagai tukang ngeremehin yang arogan. "Lu ga baca koran? Cupu. Baca novel doang? cupu."

    Biarpun yang dia bilang ada benernya, tapi cara penyampaian yang salah cuma bikin orang bete. Terlalu menggurui, terlalu arogan. Entah kenapa kayak maksain. "Ni gw deep, gw intelek kan~?" Makanya saya sama sekali ga bisa simpati sama ni cowok.

    Dan si cewek kerasa terlalu angin-anginan maunya apa. Di awal kayaknya dia mau diliatin jg sebagai cewek yang.. well.. cukup smart(bacanya to kill a mockingbird guys! classic! apalagi ada komentar analisisnya segala.. wuoogh smaaarrrtyyy~!#majashiperbolainserthere). Dan debat antara dia ma si cowok jg kayak buat bikin kesan dia itu cewek yang cukup pintar buat ngobrol dengan cowok intelek. Tapi lagi-lagi tapi... karena interaksinya ga natural, kalimat si cowoknya yg soooo hiiighh, si cewek cuma keliatan kek cewek keras kepala yg ga mau kalah eh-tapi-gw-suka-ma-loe-loh-eh-ga-deh-lu-ngeselin-jg-sih.

    *yawn~*

    tsundere ga selalu cute loh. Judes apalagi.

    Keseluruhan sih.. lumayan ya. Paling turn off fatal ada di karakternya yang well..*rolled eyes* kalau plotnya sendiri bisa dibilang sangat sederhana ya. Cuma cewek ketemu cowok di perpus, mereka ngobrol, si cowok pdkt dengan gaya arogan, si cewek sok judes, trus jreeng~ endingnya begitu deh~ Ga papa sih sebenernya. Tinggal paling lancarin lagi penulisannya biar kerasa lebih ngalir. Dan saya harap ga perlu ada lagi unsur sok deep, sok filosofis-nya.:ngacir:

    tambahan: saya sama sekali ga ngerti alasan si cewek ke perpus awalnya. Dia bilang soal kekaguman yg ga sampai. Tapi ini maksudnya buat apa di jalan cerita itu? Kalau subjek kagumnya itu bukan si cowok buat apa? Tapi ga ada kesan jg kalau subjek kagumnya itu si cowok. Trus jadinya apa? apa maksudnya malah buat sastra itu sendiri. Lah tapi masa bisa ga kesampaian. @_@

    lol. Iya. Yang saya bilang jg: perpus fakultas, kecil, koneksi inet terbatas, buku sedikit, colokan kurang. :v
     
    Last edited: Jan 11, 2014
  6. invictuneez M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 12, 2010
    Messages:
    359
    Trophy Points:
    123
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +886 / -0
    hahaha... I've told her your comments and good critiques, and she really appreciate it... she thanked you and she hopefully wished your comment will motivate her to be an even better writer... (maklum baru belajar katanya)...

    sebenernya, cerpen dia itu buat tugas akhir kelas creative writing kita... kata dia, setelah berulang kali dia baca cerpennya itu, dia mikir, "cerpen gue kok bisa gini sih, oon banget"... makanya dia pengen tau sudut pandang orang lain tentang tulisan dia....

    thanks anyway...
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.