1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Meletus

Discussion in 'Fiction' started by venysilvia, Dec 26, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    Meletus Vs Old New ME

    No plot Vs Full Plot

    Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah bukan kebetulan dan tidak ada unsur ketidaksengajaan.

    Gigi sedang beronda bersama temannya di sebuah kompleks perumahan Permata sari. Kompleks ini terkenal sangat angker dengan banyak kasus anak hilang. Penduduk setempat merasa takut, sehingga pak lurah mengadakan ronda rutin tiap malam untuk mencari penculiknya.

    “Hah.. hah.. hah..” suara helaan nafasnya Gigi, meniup-niup tengkuk temannya.

    Mendadak, pecahlah suara membahana di tengah bolongnya malam. Ternyata Gigi ditampar temannya yang sangat marah. Temannya padahal sedang berdoa ketakutan.

    “Kalau kau berani-beraninya mendesah lagi di belakangku, aku akan bungkus kau dengan plastik, lalu kubuang di sungai Cika tarum.”

    “Jak ile.. garang banget bang. Aku kan cuman bercanda,” kata Gigi.

    Kompleks Permata sari tidak pernah berternak jangkrik, jadi kalau malam, suara desahan siapapun akan terdengar horror menusuk rasa. Candaannya kali ini sama sekali tidak diterima oleh Ande. Apalagi sekarang sudah masuk musim hujan. Angin dari Australia tertiup hingga ke pulau Nusa, sehingga malam buta terasa sangat dingin mencekam.

    Penerangan perumahan Permata sari juga sangat aneh, sangat gelap, tidak ada lampu sedikit pun di pinggiran jalan. Entah siapa arsiteknya, membuat Ande ingin mengutuknya menjadi kodok. Langit pun berawan, menutup bintang dan bulan sehingga tidak tampak apa pun di depan mereka. Senter milik mereka bagai tongkat anugrah yang menyinari dunia.

    “Hiah!” teriak Ande kaget mendadak melihat siluet sinar muncul di depannya. Dia langsung kabur ke belakang Gigi.

    “Jak ile.. itu orang lewat Nde.. bawa senter..” kata Gigi.

    “Matamu rabun Gi?” tanya Ande.

    Gigi mensipitkan matanya untuk melihat siapa yang lewat. Senternya yang menyilaukan mata tidak membuatnya bingung untuk mengenal perempuan yang memakai eyeshade berwarna hitam.

    Perempuan itu membawa pisau, mukanya sangat imut, tapi sayangnya jalannya mabok. Senternya pun ditaruh di bawah dagunya sehingga siluet matanya tampak menggelap.

    “Itu non High. Lupa ente ama dia? Dia kan kemana-mana emang jalannya mabok gitu..” kata Gigi.

    “Owh..” tensi suara Ande merendah. High berjalan melewatinya, seakan-akan sebilah pisau tajam yang mengkilat terterpa cahaya senter, hanya tampak seperti accesoris belaka jika dibawa olehnya.

    “Kamu kok cemen gitu.. takutan? Padahal gedenya badanmu dua kaliannya aku. Misalkan dia lempar pisau juga 50 persen bakal kena kamu walau sembunyi di belakangku.”

    “Sudahlah..” kata Ande takut, “dari dulu aku takut gelap.”

    Mereka berdua kemudian terdiam. Kesunyian kembali memasuki celah-celah sanubari mereka. Menggetarkan hati mereka atas rasa takut bukan kepalang yang muncul karena telah mendengar kabar angin dari penduduk setempat, bahwa ada hantu yang berkeliling gentayangan di sekitar perumahan Permata sari saat waktu menunjukkan tepat jam dua malam.

    Suara daun jatuh, suara ngeongan kucing, suara angin semilir yang dingin menjadi momok menakutkan yang membangunkan bulu kuduk mereka seperti telah direbonding. Dalam benak mereka, hanya terulang-ulang keinginan untuk secepatnya menyelesaikan siklus ronda.

    “Hah.. hah.. hah..” Suara desahan nafas kembali terdengar.

    “Kurang asem. Asli kamu ngajak berantem Gi!” kata Ande. Dia langsung mempersiapkan plastik yang ada di sakunya untuk membekap Gigi.

    “Ssh..” kata Gigi sambil mengangkat jari telunjuknya. Suaranya merendah. Matanya menoleh kanan dan kiri.

    “Itu bukan suaraku.”

    Mata Ande mendelik seperti habis tercotot uler. Kalau bukan kejahilan Gigi.. lalu.. siapa? Angin dingin mencekam kemudian bertiup kencang, datang dari arah suara mendesah. Terdengar selingan suara konslet listrik walau tidak ada tiang listrik di sekitar mereka.

    Dengan lutut gemetaran, mereka berdua berjalan maju dengan perlahan menuju asal suara. Senter mereka disetting ke kemampuan maksimal agar dapat melihat dari jauh.

    Dari balik pengkolan, mendadak Gigi melihat tubuhnya. Seorang pria berumur 30 tahunan, tampak seperti umur 50 tahun karena rautan ketakutan yang terpampang jelas di wajahnya. Keringatnya berjatuhan di dinding tempat ia bersandar. Tangannya memegang pinggangnya, yang ternyata setelah didekati, berdarah-darah.

    “Hah.. hah.. hah..” suara desahan nafasnya terdengar semakin berat. Seperti seseorang yang sebentar lagi akan dicabut nyawanya oleh malaikat maut.

    “Kenapa kalau pria yang mendesah, terdengar serem ya?” tanya Gigi.

    “Hus, gak sopan kamu Gi..” kata Ande.

    “Too..long” kata pria itu dengan nada putus asa. Tangannya disertai darah segar yang menetes, terangkat ke arah Gigi. Sedetik kemudian, badannya terjatuh nyelongso ke tanah.

    “Terlalu panjang?” tanya Gigi heran.

    Suara tamparan yang mencekam kembali terdengar, Ande kembali menampar tengkuk Gigi dari belakang hingga mukanya maju terjerembab ke arah pria berdarah.

    “Hiahhh!!” teriak Gigi. Mukanya penuh dengan darah. Kedua tangannya Gigi menengadah ke atas ketakutan seakan-akan dia vampire yang dengan puasnya, berhasil menyedot darah mangsanya.

    “Terlalu kamu Nde..” kata Gigi.

    “Kamu..!” kata pria berdarah. Suaranya menajam seakan-akan ingin membunuhnya. Tangannya kembali terangkat menunjuk ke arah Gigi. Tangan itu besar, bergetar, meneteskan darah.

    Gigi kaget, ia lalu kemudian serius memandangi pria yang saat ini tampak kesakitan.

    “Kamu ngomong..” perkataannya terhenti, karena tersedak dengan darah yang keluar dari mulutnya sendiri,

    “.. ama siapa?”

    Gigi kaget, dia tersadar. Kemudian menarik nafas.

    “Tidak ada.. maaf. Aku punya teman khayalan. Aku sering ketakutan kalau jalan sendirian di malam ini. Jadi..”

    “Tidak penting..!” dia mengibaskan tangannya yang berdarah sehingga darahnya menyiprat ke sekujur baju Giande. Baju rondanya yang putih berubah warna menjadi merah.

    “Bawa ini..” katanya gemetar. Ternyata ada sesuatu yang menggantung di tangannya. Tangannya membawa sebuah flash disk berwarna merah kehitaman.

    “Apa ini?” tanya Giande. Tangannya menerima flash disk yang penuh dengan darah.

    “Ini adalah..” suaranya mengecil.

    Giande penasaran. Dia mendekatkan telinganya, ingin mendengar tiap jengkal suku kata yang di ucapkan oleh pria di depannya. Tidak ada yang boleh terlewat dari wasiat terakhir seorang pria yang akan meninggal di telan Bumi.

    “… rahasia.”

    Giande mendadak termenung. Seperti ada yang mendorong dadanya jatuh ke belakang ketika mendengar perkataan Pria berdarah ini.

    Rahasia? Wat de..

    “Bapak mau mati?” tanya Giande. Dia memajukan kepalan tangannya ingin berantem.

    “Rahasia.. rahasia gelap kemanusiaan,” tangannya kemudian jatuh, terkulai di tanah. Tanah kemudian perlahan-lahan berubah menjadi merah, cairan darahnya meluas kemana-mana, seakan-akan ingin menguasai tempat di sekitarnya.

    “Pak?” tanya Giande.

    “Bapak?” Giande mendekatkan dirinya. Dia mulai takut kalau ternyata pria di depannya tidak bercanda. Dia ingin memastikan pria ini sudah mati atau tidak. Karena jika mati, mungkin dia harus melakukan CPR, membawanya ke rumah sakit, atau langsung menguburkannya sekarang juga. Tapi kejadian ini tidak mungkin, siapa yang mau membunuh di masa yang sudah sangat metropolitan ini?

    Begitu wajah Giande mendekat, tiba-tiba tangannya yang berdarah-darah memegang lehernya, mencengkeramnya kuat seperti mahluk buas, dan pria itu berteriak dengan mata mendelik di telinga kanannya,

    “BERJANJILAH MENGUAK RAHASIA INI!”

    Urat saraf mata kirinya yang merah itu terpampang jelas. Karena gelap, barulah Giande sadar kalau mata kanan orang itu sudah hilang dari tempatnya. Sebaliknya, matanya kirinya seakan-akan ingin bergelantungan keluar dari tempatnya.

    Itulah nafas terakhir yang berhasil dihembuskan oleh pria berdarah di akhir hidupnya. Setelah itu, dia kembali terjatuh terpelungkup di depannya Giande.

    “Ngiiing..” suara telinga Giande berdenging, layaknya baru terkena ledakan bom Molotov di sampingnya.

    “Apah? Tadi dia bilang apah?” kata Giande menyesal sambil mengucek-ucek telinganya. Dia tidak bisa mendengar suara dengan frekuensi setinggi itu. Pria ini goblok atau bagaimana? Jantungnya juga serasa hampir copot dari tempatnya karena air liur pria itu kemana-mana. Bau air liurnya, tercium seperti bau anyir mayat yang telah lama membusuk.

    “Giande!” teriak Peri terbang. Peri muncul dari kegelapan malam. Lencana sheriff tersemat di bahu kirinya. Dia membawa pentungan polisi yang terbuat dari besi di tangan kanannya.

    “Peri!” kata Giande kaget.

    Peri melihat muka Giande yang penuh dengan darah, telinganya yang penuh dengan air liur, dan seorang pria tua tertangkap basah bersimbah darah di depannya.

    “Kau berciuman? Memperkosa pria? Kau membunuhnya!” kata Peri histeris. Dia berjalan mundur satu langkah ketakutan. Mukanya bertampang seperti kodok kena tangkap uler.

    “Dan kau GILA!” teriak Giande melanjutkan perkataannya.

    Suasana mendadak hening. Jalanan di kompleks ini yang memang sangat hening menjadikan tempat ini tidak bisa lebih hening lagi dari apa pun.

    “Aku mengenalmu. Oke.. kalau bukan kamu, berarti non High pelakunya.”

    “Bukan..” Giande memegang dagunya seperti sherlock kalau sedang cemas.

    “Mengapa kau sangat yakin? Nyata-nyata tadi aku lihat, dia lewat sini sambil membawa-bawa..”

    “Bukan, pisaunya tidak ada darah. Tidak mungkin dia pelakunya,” kata Giande. Dia mengecek nadi pria berdarah. Denyutnya sudah hilang.

    Giande kemudian berdiri. Mereka berdua kemudian bergidik melihat tubuh pria di depannya yang telah menjadi mayat.

    Panjang tubuh manusia di depannya ini paling tidak tiga meter. Keringat cemas mulai berjatuhan di pelipisnya Giande. Dia melihat pinggang pria yang awalnya ditekan oleh tangan kanannya, sekarang tampak jelas seperti bekas tergigit oleh binatang buas.

    “Entah monster seperti apa.. yang bisa membunuh orang sebesar ini.”

    hanyalah cerpen kebingungan dari orang yang sedang kesepian malam ini. :ngacir:

    mohon maaf lagi kalau lebih tampak seperti sebuah novel :ngacir:




    Old Me, and The New Me.
    Genre : Romance, Comedy, Thriller.
    ada tali hubungannya dengan cerpen ane di Meletus

    “My name is Bubu. With B and U.”

    Jika ditelaah, Bubu adalah konotasi positif dari kata “tidur”. Nama Bubu diberikan oleh ibunya sebagai bentuk doa, agar tidur anaknya nyenyak setiap malam.

    “HAHA..” tawa teman-temannya tidak percaya, “mau sampai kapan pun, namamu itu kelinci, dan harus disate!”

    “Tidaaak!” teriak Bubu kabur dari tusukan jahil teman-temannya. Air matanya berlinang karena setiap harinya, ia harus dibuli-buli oleh temannya.

    Entah kenapa, Bubu selalu menjadi incaran kejahilan anak-anak kompleks Permata sari. Dia tidak pernah habis berpikir mengapa kelinci, binatang favoritnya, bisa disamakan dengan kambing dan ayam.

    Kelinci memiliki hidung yang imut, telinga yang funyu, dan gigi yang sangat Moe. Makanan mereka wortel dan sayur yang bersih. Tiap gerakan yang dikeluarkan oleh tubuh mereka tampil sangat imut. Daging mereka tidak bau, bahkan lebih gurih daripada daging ayam. Apabila wajahnya tertidur, sangat manis dan menggemaskan hingga membuat mata ini seperti ketagihan.

    Bandingkan dengan kambing. Mereka memiliki tanduk, suara mereka seperti tape rusak, dan hidung mereka tidak berbentuk. Daging mereka sangat bau seperti bau tubuhnya, dan mereka tidak punya perilaku yang menyenangkan.

    Apalagi ayam, ayam itu unggas! Kodrat mereka memang berbeda. Sejak jaman Mesir, ayam sudah dipakai sebagai persembahan. Di bagian Eropa tengah, ayam melambangkan makanan persembahan yang dinamis. Daging mereka yang tawar tidak dapat menyurutkan bangsa manusia untuk memakannya. Lihat saja ketika mereka mati, mereka masih bisa berlari-lari. Itu menandakan kemampuan dasar tubuh mereka telah terasah beribu tahun lamanya untuk tetap bisa kabur walau dipenggal.

    “Ayam hanya terlahir di dunia ini untuk dipenggal, tidak seperti kelinci.”

    “Benar aku setuju,” kata Logis sambil memegang kedua tangan Bubu. Logis adalah sabahatnya. Mereka berdua telah bertetangga sejak masih kecil.

    “Kau setuju?”

    “Kau kira kenapa aku jadi pak Lurah? Karena sekompleks perumahan ini hanya pikiranku yang paling logis. Kelinci seunyu itu bisa disate, sungguh tidak berperikemanusiaan! Itu sama saja dengan membunuh.”

    “Benar itu pembunuhan!!” teriak Bubu sambil naik ke atas kursi. “Kau, tidak tahu bagaimana beratnya penderitaanku. Teman-teman di kompleks ini.. terlalu jahat!”

    Tiap pagi ketika Bubu terbangun, ada tabloid majalah makanan kuliner yang memasuki bawah pintu rumahnya. Tabloid yang selalu membahas sajian sate Kelinci.
    Tiap sore, sepulang sekolah, mereka membakar sate di depan halaman rumah Bubu, dan mengaku membakar sate kelinci.
    Tiap malam, ada stalker yang mengetok-ngetok jendela rumahnya, dan berkata “sate.. kelinci.”
    Bahkan, puncaknya kemarin, saat dia pergi ke pasar, ibu-ibu rumah tangga teman ibunya menawarkan kelinci potong padanya. Ini semua pasti gara-gara anak setan yang memberitahu ibunya kalau Bubu suka makan kelinci.

    Bagaimana rasanya jika kau di ganggu oleh wasir selama belasan tahun? Itu yang Bubu rasakan selama belasan tahun ia hidup.

    “Kau tahu mata dibalas apa?”

    “Hah?” tanya Bubu polos.

    “Mata dibalas mata..” kata Logis mendramatisasi. Suaranya merendah agar rapat rahasianya bersama Bubu di kantor lurah tidak terdengar siapa pun.

    “Bunuh balas bunuh..” kata Bubu melanjutkan perkataannya. Suaranya hampir berbisik.

    “Khe.. khe.. khe..” tawa Bubu.

    “Hi hi hi..” tawa Logis.

    “Ah tidak mungkin,” kata mereka berdua. Wajah evil mereka mendadak kembali normal. Sudah cukup menggilanya. Sebenarnya mereka hanya anak sekolahan, Bubu juga baru berumur 15 tahun. Tentu tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan trend anak-anak di komplek perumahannya yang gila dengan kelinci.

    Mereka pun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing karena hari sudah mulai sore. Sebelum masuk rumah, Bubu masih harus melihat pemandangan “sesuatu” yang disate di depan halaman rumahnya. Ayah dan ibunya pun bingung melihat anaknya murung. Mereka tidak mengerti kalau Bubu sedang depresi memikirkan bagaimana cara membuat dunia bebas dari sate kelinci.

    Hari semakin malam, dan pikiran Bubu semakin depresi berat. Keringat dinginnya sampai keluar. Serasa besok dunia akan kiamat. Membayangkan kaki kelinci yang putih, mulus, halus, imut, sempurna menjadi korban kebuasan gigi-gigi berdosa anak satu kompleks perumahannya membuat perasaannya seperti ditusuk seribu pedang. Dia ingin mengutuk sisi kebrutalan manusia ini. Memikirkan besok dia akan ditawari sate kelinci lagi, hatinya terasa sakit, dan mulutnya gemetaran saking takutnya.

    Bubu pun naik ke tempat tidur setelah gosok gigi.
    Sebelum tidur, Bubu berdoa agar citanya-cita dikabulkan. Cita-citanya adalah menjadi dokter hewan, atau sekalian presiden. Bubu akan buat undang-undang dasar pelarangan penjualan sate kelinci di seluruh daerah Indonesia. Hukumannya adalah penjara seumur hidup, atau hukuman mati.

    Malam itu, dia bermimpi sesuatu yang sangat berbeda dibandingkan malam-malam sebelumnya.
    Dia bermimpi melihat seseorang baru saja memberikan pelajaran pada Jono dan Jini bersaudara yang sering mengganggunya. Mereka berdua diculik, dan dikurung di gudang dekat lapangan sepak bola Permata sari.

    Esok paginya, Bubu terbangun dengan senyuman yang merekah di wajahnya. Apalagi setelah melihat tidak ada tabloid kuliner sate kelinci yang biasa tersisip di pintu masuk, membuat perasaannya senang melambung tinggi seperti balon yang terbang ke udara. Hari ini gangguan anak kompleks perumahannya berkurang. Mereka mungkin sudah bosan mengganggunya.

    Logis dan Bubu kembali bertemu di sekolah. Bubu menghampirinya dengan wajah cerah.

    “Hai. Kau tidur nyenyak sepertinya,” kata Logis.

    “Tadi malam aku bermimpi indah. Aku bermimpi ada yang menghajar Jono dan Jini,” kata Bubu.

    “Hah..? Biar tau rasa! Ah kalau saja aku bisa ikut memimpikannya. Aku juga tidak menyukai mereka.”

    “Bubu..” panggil Ibu guru. Guru sedang mengabsen kelasnya. Bubu dengan cepat mengangkat tangannya.

    “Jadi, bagaimana dengan rencana kita untuk membuat partai politik kelinci Indonesia?” tanya Logis yang tidak diindahkan Bubu karena tiba-tiba, Ibu guru memanggil nama yang sangat dikenalnya.

    “Jono..? Jono..” panggil Ibu guru. Tapi tidak ada anak yang mengangkat tangannya. Ibu guru kemudian mencontreng nama Jono.

    “Kemana Jono?” tanya Bubu heran.

    “Mana kutau. Aku malah seneng dia gak masuk. Gak ada pengganggu.” Logis mengangkat bahunya tidak tahu.

    Berkat Jono tidak masuk. Hari terasa menjadi sangat indah. Tidak ada yang meneriaki sate kelinci ketika waktu istirahat, dan geng anak-anak bejat di sekolahnya pun seperti kehilangan panduan bermain.

    Bubu pulang ke rumahnya, dan kembali berharap malam ini dapat mimpi yang lebih indah lagi. Sebelum masuk rumahnya, tidak lupa Bubu melemparkan sandalnya pada sekumpulan anak jahil yang membakar sate di halaman, dan akibatnya, dia harus di kejar-kejar anjing kampus berkeliling kompleks.

    Mimpi malam itu indah, mimpi malam berikutnya juga indah. Malam demi malam dilewati, dan semua Mimpinya indah. Bubu suka dengan mimpinya yang rata-rata hampir sama tiap malamnya, yaitu ada seseorang yang memberi pelajaran pada anak-anak sekompleksnya yang tidak tahu adat. Mereka sudah sepantasnya dimasukkan ke Neraka atas kelakuan jahanamnya.

    Semakin Bubu bermimpi, semakin kejahilan anak-anak sekompleksnya hilang. Hal itu membuat perasaan Bubu semakin ringan, dan akhirnya tidak depresi yang membawa wajahnya kembali bisa tersenyum seperti sedia kala.

    Beberapa hari kemudian, satpam terganteng sekompleks perumahan Permata sari, datang menghadap ibu gurunya. Bubu dan Logis curi-curi dengar karena mereka berdiskusi di pintu masuk sekolah.

    “Ini sudah kali ke lima bu.. terjadi rentetan penculikan anak-anak di sekitar sini. Polisi sampai kebingungan,” kata Peri terbang.

    “Kau bilang korbannya semuanya berasal dari sini?” kata ibu gurunya heran.

    “Ya.. itulah mengapa sangat dicurigai, pelakunya adalah guru atau pegawai di sini.”

    “Jono, Jini, Sebastian, Dika, Kaswari dan masih banyak lagi. Ini seperti mimpi buruk,” kata Ibu Guru. Mukanya tampak sangat khawatir dengan nasib anak-anak didiknya.

    “Ya.. Pak lurah sudah memberi ultimatum untuk diadakan ronda keliling. Ibu jaga anak-anak di sini. Beritahu sepulang sekolah, agar mereka langsung pulang ke rumah.
    Jangan bermain-main dengan orang yang tidak dikenal.”

    Ibu guru lalu sedikit tersentak melihat Bubu dan Logis yang berdiri tidak jauh dari sana. Dia lalu berkata, “Ayo anak-anak.. masuk kelas. Kelas akan di mulai sebentar lagi.”

    Saat mereka berdua menaiki tangga untuk menuju kelasnya, Logis melihat wajah Bubu tampak aneh. Raut mukanya mendadak ketakutan, keringat di pelipisnya berjatuhan walau hari ini tidak panas, dan tangannya gemetaran memilin-milin bibirnya.

    “Ada apa Bu?” tanya Logis.

    “Gis. Aku butuh pikiran logismu. Aku rasa, mimpiku aneh. Semua anak-anak itu yang hilang itu, muncul dalam mimpiku.”

    Logis terperangah, “serius Bu? apa maksudmu?”

    Bubu lalu masuk kelas dan menceritakannya pada Logis bagaimana tiap malam, ia bermimpi tentang seseorang yang memberi pelajaran pada anak-anak kompleks. Awalnya mimpinya hanya mengurung korban, tapi belakangan ini berubah jadi penyiksaan.

    “Bubu, mimpi yang kau ceritakan itu sangat sadis. Bagaimana kau bisa merasa seenteng ini?”

    “Kurasa mereka pantas mendapatkannya. Kau tak tahu betapa bencinya aku pada mereka. Tapi benar katamu. Mimpi itu masih indah selama itu masih mimpi.. Aku langsung takut kalau ternyata semua ini nyata.”

    “Siapa saja yang ada di mimpimu?” kata Logis memberikan secarik kertas agar Bubu menulisnya di sana. Bahaya mengatakan nama-nama korban di saat Ibu guru sudah memasuki kelas dan siap untuk mengajar.

    Bubu menulis semua nama anak yang ada di mimpinya. Logis pun terpana. Semua anak yang tidak masuk hari ini, namanya tertera di sana.

    “Bubu, ini banyak sekali. Dan darimana kau tau si Plitung gak masuk hari ini? Dia kan beda kelas dengan kita.”

    “Makanya aku takut, Gis..” kata Bubu nyaris menangis, “Apa lapor polisi saja?”

    “Siapa yang akan percaya dengan mimpi anak kecil? Aku tentu percaya Bu. Ini pasti karena namamu, kau bisa ngeramal saat bubu.”

    Diskusi mereka terputus karena kelas telah dimulai. Mereka berdua sepakat, agar bertemu di lapangan sepakbola Permata sari malam ini untuk membuktikan mimpinya. Ada sebuah gudang yang dipakai sebagai latar belakang mimpi. Rencananya adalah mengintai penculik di sekitar gudang, dan melaporkannya pada polisi jika memang benar penculik itu menyimpan anak di gudang tersebut.

    Malam itu Bubu keluar diam-diam dari rumahnya dengan turun dari jendela kamarnya. Dia lalu dengan hati-hati berjalan agar tidak kelihatan. Malam-malam, suasana perumahan Permata sari memang sangat mencekam. Tidak ada penerangan jalan sama sekali. Jalan langsung menyatu dengan halaman rumah dan tidak ada trotoar. Sehingga jika ada mobil nyasar, bisa langsung menabrak orang di pinggiran jalan.

    Angin semilir yang merasuk sukma, tertiup dari arah timur. Walau Bubu telah memakai jaket, tapi rasa dinginnya lebih terasa menusuk hati dibandingkan menusuk tubuh.

    Tidak terdengar suara serangga sedikit pun, membuat bulu kuduk Bubu semakin berdiri. Saking sunyinya hingga membuat suara langkah kakinya terdengar keras. Gema langkahnya pun terdengar seperti ada seseorang yang berjalan mengikutinya. Apalagi, kadang-kadang Bubu melihat ada kilatan cahaya dari balik pengkolan. Setelah Bubu lihat ulang, cahaya itu menghilang. Bubu berusaha menenangkan dirinya dengan beranggapan bahwa dia tadi melihat mata kucing.

    “Psst.. Bu!” bisik Logis dari balik pohon.

    “Gis,” kata Bubu.

    “Kau lama sekali. Aku kesepian di sini. Takut tau! Tadi aku sudah mencek, gudang itu dikunci. Kita tunggu dari seberang lapangan ini saja. Lebih aman,” kata Logis.

    “Kenapa hari ini tidak ada bulan dan bintang? Gelap sekali. Takut nih, Gis.”

    Mereka lalu bersembunyi dengan tiarap di bawah akar pohon beringin. Pohon itu berada di pojok lapangan, terletak tersembunyi dari jalan. Jam lalu menunjukkan angka sepuluh. Waktu anak-anak mulai tertidur, waktu Bubu mulai bermimpi.

    “Kita pertajam indra kita Bu. Kau beri tahu dari sebelah kanan kalau ada gerakan,” kata Logis sementara dia melihat kiri lapangan.

    Bubu kemudian memegang tangan Logis. Logis tertegun merasakan tangan Bubu gemetaran. Walau Bubu memakai jaket karena malam ini dingin, tapi Logis tahu tangan Bubu gemetar bukan karena malam ini terasa dingin.

    Logis membalas pegangan tangan Bubu dan berkata “Jangan takut Bu. Ada aku di sini.”

    Mereka berdua kemudian menunggu. Sampai jam menunjukkan angka tepat jam satu malam, ketakutan yang mereka tunggu tiba-tiba datang.

    Bubu mengeratkan pegangan tangannya, pandangan Logis menajam ke arah kanan lapangan.

    “Ada apa Bu?” tanya Logis.

    “itu.. Gis..” kata Bubu gemetaran mengangkat tangannya.

    Terdengar seperti suara lonceng hantu berdentang, dan tampak siluet cahaya yang berputar-putar di udara.

    Seorang gadis bertubuh kecil, bertampang imut, memakai pakaian bercorak polkadot merah, dan rambut sebiru langit, sedang bersenandung di tengah dinginnya malam yang mencekam ini.

    “Ting tik ting,” suara senandung gadis itu, terdengar sangat aneh. Suara itu tidak terdengar seperti suara manusia. Sangat menakutkan. Gadis itu memutar pisau dapur mengkilat di tangan kanannya dengan pawai. Pisau itu tampak sangat tajam dan berpendar seperti fosfor.

    Gadis itu kemudian berhenti di depan lapangan. Dengan leher terpatah-patah, dia menoleh pasti ke arah pohon beringin tempat persembunyian mereka berdua. Saking pastinya, sehingga Bubu yakin pandangan mereka berdua bertemu satu sama lain.

    “Ah.. aaah..” kata Bubu takut. Mulutnya ternganga dan matanya melotot ketakutan. Jantungnya berdegup kencang, dan nafasnya ikut terpacu. Pandangan gadis kecil itu sangat mengerikan, dalam, dan tajam menatap matanya, seakan kepalanya baru saja tertusuk oleh pisau yang dipegangnya. Bubu ketakutan hingga tubuhnya jatuh terlentang kebelakang, dan mundur merayap ketakutan.

    Mata logis tidak percaya. Dia melihat tidak lain dan tidak bukan, gadis itu adalah non High.

    Gadis itu kemudian menguap, dan kembali berjalan dengan mabok menjauhi tempat mereka.

    Degup jantung Logis dan Bubu yang terpacu mereda. Tapi nafas mereka berdua masih terpacu ketakutan melihat mahluk itu.

    “Non High itu sebenarnya siapa Gis? Bagaimana dia bisa melihat kita?”

    “Entah Bu. Ada yang bilang dia itu roh penasaran dari dunia lain. Tapi ayahku bilang dia adalah symbol pelindung kompleks. Tugasnya adalah membenahi perilaku-perilaku salah yang terjadi di kompleks perumahan ini.”

    “Aku sangat takut dengannya, Gis.”

    “Kalau siang dia tampak manis kok. Janganlah kita berpikiran buruk, hanya melihat seseorang dari penampilannya. Dia juga tidak ngapa-ngapain kita, kan?”

    “Bagaimana kalau pelakunya ternyata hantu?”

    “Sepertinya tidak. Aku tidak pernah mendengar hantu dapat menculik anak sampai sebanyak ini, Bu.”

    Mereka berdua kemudian kembali terbaring, menunggu. Hari semakin malam, awan mendung tebal kemudian datang dan semakin menutup bintang di langit membuat sekitarnya menjadi sangat gelap. Dinginnya angin malam juga mulai membuat tubuh Logis yang tidak memakai jaket bergidik. Suara semilir pohon beringin juga mulai terdengar mencekam dan menakutkan, seperti ada yang meretakkan udara sekitar dan mensuarakan suara hantu.

    “Kau kedinginan Gis? Kita bisa make jaketku..”

    “Aku laki-laki. Tidak apa-apa,” kata Logis memotong perkataannya, “Sebaiknya kita pulang saja. Kita lanjutkan besok. Lagian menurutmu kejadian di mimpimu sekitar jam satu sampai jam dua kan? Ini sudah jam empat. Sudah lewat dua jam. Pelakunya tampaknya tidak datang hari ini.”

    “Ya..” kata Bubu sambil mengangguk kecewa.

    “Aneh ya, padahal penculikannya sebelum ini berturut-turut setiap hari. Kenapa hari ini dia tidak menculik ya?”

    “Aku juga tidak mengerti. Ya sudahlah Gis, mari kita pulang. Aku takut,”

    “Ya.. tetap jalan menunduk Bu. Jangan sampai malah kita yang tertangkap saat jalan pulang.”

    Mereka pun berpisah malam itu. Rumah Logis berdekatan dengan rumah Bubu, sehingga Logis mengantarkan Bubu pulang hingga ke rumahnya.

    Mereka melanjutkan pengintaian di hari-hari berikutnya.
    Malam berikutnya, mereka berdua mulai terbiasa dengan perilaku High, dan mulai bergantian jaga tidur-bangun tiap satu jam karena sangat mengantuk begadang hampir tiap malam.

    Sampai akhirnya malam ketiga pengintaian, dan mereka tidak melihat apapun di lapangan itu, mereka berdua pun mulai menyerah.

    “Aneh, kenapa pelakunya tidak keluar ya Bu? Seakan-akan dia tahu kalau kita ada di sini. Tapi Kalau tahu juga.. kenapa tidak menangkap kita? Aku curiga jangan-jangan teman sekelas kita pelakunya. Mereka bisa mendengar diskusi kita di sekolah soal penculikan ini.”

    “Atau bisa saja mimpiku salah.”

    “…” Logis terdiam. Lebih besar kemungkinan mimpinya salah daripada mencurigai teman sekelasnya. Tapi Logis merasa semakin aneh, karena jika mimpinya tidak benar, lalu mengapa kasus penculikan ini benar-benar berhenti saat mereka mulai mengintai tiga hari yang lalu? Logis benar-benar tidak mengerti. Dirinya dilemma. Sepertinya ada kebohongan dibalik ini semua atau sebuah logika yang kurang karena dimakan kegelapan malam.

    “Kau tidak pernah mimpi itu lagi?”

    “Semenjak kita tidur bersama di sini, tidak Gis. Mungkin harus tidur nyenyak dulu baru bisa mimpi.”

    “Ya sudahlah, mungkin itu cuman mimpi belaka. Walau baru jam tiga, lebih baik kita pulang saja. Malam ini, kita tidur nyenyak di rumah.”

    “…” Bubu terdiam. Dia takut tidur sendiri dan mendadak mimpi itu kembali menyerangnya.

    Ingin Bubu berkata pada Logis, “Aku ingin tidur sama kamu aja Gis” tapi sadar Logis adalah laki-laki dan bukan teman sepermainannya yang masih kecil seperti dulu lagi.

    Mereka akhirnya pulang ke rumah masing-masing, Bubu memanjat jendela kamarnya, dan diam-diam masuk kembali ke kamar tidurnya. Rasa ngantuk berat begadang tiga hari dengan tidak jelas menyerang kesadarannya. Begitu kepalanya menyentuh bantal, dia tidur nyenyak malam itu. Tidur dalam kelembutan surga kasur tidak berujung.

    “HAH!” teriak Bubu terbangun. Keringatnya jatuh membahasi sekujur pakaian dan tempat tidurnya. Dia melihat jam weker di mejanya sudah menunjukkan angka jam tujuh pagi. Jam tujuh lewat 15 menit gerbang sekolahnya telah ditutup.

    Tapi bukan karena takut telat datang ke sekolah sehingga membuat keringatnya membanjiri tempat tidurnya. Malam ini, dia kembali bermimpi buruk.

    Tidak terasa air matanya keluar membasahi lesung pipinya. Mulutnya gemetar, suaranya terisak. Tangannya terangkat menutupi matanya untuk menangis dalam diam. Walau dia sudah berusaha untuk menahan kesedihannya, tapi hatinya tidak kuasa menahan matanya untuk tidak menangis.

    Malam ini, dia bermimpi Logis di culik. Walau dia tahu itu cuman mimpi, tapi rasa ikatan bersamanya membuat pikirannya meracau tidak terkontrol.

    “Tidak, jangan Logis.” Logis adalah teman sepermainannya. Logis adalah sahabatnya. Bubu tertegun. Air matanya tidak terhentikan. Air mata ini persis sama dirasakannya ketika nenek tercinta yang menimangnya meninggal.

    Melihat air matanya, pagi ini Bubu sadar, kalau dia menyimpan rasa padanya. Dia menangis serasa selamanya.

    Setelah rasa rasionalnya kembali, Bubu menepuk pipinya yang imut, dan berkata pada dirinya, “Ini semua adalah mimpi”.

    Mimpi tentu tidak nyata. Dengan rasa penasaran yang besar, Bubu mandi dan bersiap-siap pergi ke sekolah untuk bertemu dengannya. Dia sampai melupakan sarapannya karena berlari terburu-buru.

    Sesampai di sekolah, ketakutannya yang terburuk menjadi kenyataan. Lonceng sekolah masuk sudah berdentang dan Logis tidak terlihat di kelas mana pun. Bubu berputar-putar mencarinya, ke halaman, ke kantin, ke lapangan upacara, bahkan ke toilet cowok, tapi tidak melihat batang hidungnya sedikit pun. Bubu berusaha menenangkan hatinya dengan berpikir, Logis pasti bolos.

    Bubu lalu berlari keluar sekolahnya. Dia tinggalkan tasnya di kantin. Dia harus pastikan Logis memang ada di rumahnya.

    Hati Bubu gemetar begitu melihat dua mobil polisi berada di depan rumahnya. Satpam Peri tampak sibuk menjelaskan kepada para polisi bahwa Logis menghilang tidak berjejak semalam.

    “Tidak!” teriak Bubu dalam hati. Bubu memalingkan wajahnya agar tidak terlihat oleh polisi. Terdengar suara sayup sayup Peri memberitahu bahwa semenjak tiga hari yang lalu, kelakuannya Logis aneh dan sering menghilang malam-malam. Bubu tidak mau mendengar penjelasan lagi. Dia lari menjauh.

    Air matanya kembali berlinang, kedua tangannya mencoba menutup mulutnya yang gemetaran ingin berteriak memanggil namanya. Perasaan dalam hatinya berkecamuk, logikanya tidak tersentuh.

    Dia hanya ingin menangis.

    Ingin menangis.

    “Bubu!” kata ibunya kaget melihat anaknya menangis memasuki kamarnya.

    “Ada apa dengannya Bu? Bubu tidak sekolah?”

    “Tak tahu Pa..”

    “Perlu kusamperin dia Bu?”

    “Jangan pa.. dia anak cewek. Biarkan dia sendiri. Besok saja kita tanyakan padanya kalau sudah tenang.”

    Bubu menangis di dalam kamarnya. Bubu pejamkan matanya, dan meneriakkan namanya di bantal.

    “…” Teriaknya.

    Kenapa mesti dia?

    Hari ini dia habiskan untuk bersedih dalam kesendiriannya. Entah berapa jam dia menangis, Bubu tidak urus, Bubu tidak peduli.

    Barulah setelah capek hingga erangan tangisannya berkurang, Logika bubu kembali.
    Dia akan tidur, dan mencari tahu di mana pelaku laknat itu mengurung sahabatnya.

    Sinar pelan-pelan menggelap.
    Suara pelan-pelan bersayupan.
    Kelembutan bantal menguasai kesadarannya.
    Bubu kembali memasuki Dunia mimpi.

    Dalam dunia mimpi, hari berganti menjadi gelap. Bulan sudah mulai memunculkan sinarnya. Dia kembali melihat sosok gelap, berdiri di depan lapangan sepak bola. Sosok gelap itu berjalan dengan sangat mencurigakan menuju gudang tidak terpakai, sambil melihat kanan dan kiri. Orang itulah penculiknya. Tangannya kirinya memegang kunci, seakan-akan ingin membuka gembok gudang. Jadi di sana keparat ini menyembunyikan temannya.

    Bubu yakin, Bubu tidak akan melakukan kesalahannya lagi. Bubu tahu sedang bermimpi. Dia akan bangun dari mimpinya sekarang juga, ambil senjata dari dapur, dan langsung mengejar penjahat itu. Dia akan membuktikan semua ini nyata, dan akan mengakhirinya. Hari ini, sekarang juga!

    Bangun!!

    BANGUN!!

    Bubu membuka matanya. Alih-alih bangun, kepalanya pusing. Pandangannya berputar.

    “Huk.. huek,” Bubu memuntahkan air liurnya. Hela nafasnya berusaha mengejar Degup jantungnya yang terpacu.

    Alih-alih tertidur di tempat tidur, ternyata dia malah sedang berdiri di tengah-tengah lapangan. Titik keseimbangan tubuhnya terasa ke sana-kemari.

    “Di.. di mana ini?” gumamnya bingung.

    Bubu menoleh kanan, melihat pohon beringin, dan menoleh kiri melihat jalan. Dia berada di tengah-tengah lapangan sepak bola.

    “Kenapa..?” pandangannya melimbung. Tangan kanannya ternyata memegang pisau penuh darah, dan tangan kirinya memegang sebuah kunci.

    Bubu kaget, dan langsung menjatuhkan pisau dapur tajam yang bolong-bolong itu dari tangan kanannya. Bubu melihat langit, kedudukan Bulan yang berada tepat di angka dua menandakan sekarang jam 2 malam.

    “Tu.. tunggu,” gumamnya pusing. Tubuhnya limbung, jatuh terkulai di pasir lapangan sepak bola. Tubuhnya terasa masih mabuk, tapi kesadarannya mulai kembali dengan jelas.

    “Ada yang membawa tubuhku ke sini?” pikirnya.

    Tapi, kenapa terdapat kunci di tangan kirinya?

    Mabuknya perlahan-lahan hilang, dia kembali bisa berdiri. Dia lalu berjalan menuju gudang dengan tertatih-tatih dan berhasil memasukkan kunci itu.

    Gembok gudang terbuka.

    “Tidak mungkin..” Bubu tertegun.

    Begitu pintu gudang dibuka, bau anyir mayat tercium keras di hidungnya hingga membuatnya terbatuk dan ingin muntah lagi. Angin dingin mencekam keluar bersama bau yang seakan-akan membentuk bayangan hitam di atasnya.

    “Bagaimana bisa kunci gembok ini bisa terbuka?”

    Bubu berjalan memasuki Gudang. Gudang itu gelap, nuansanya berwarna merah kehitaman. Tidak ada mayat sama sekali walau baunya tercium keras. Bubu memakai penciuman untuk mencari asal bau. Lalu mendadak, dia Kaget ketika melihat sebuah pintu di atas lantai yang tampak seperti pintu masuk ruang bawah tanah. Apalagi setelah didekati, terdapat sebuah potongan tangan di atas pintu kayu.

    Bubu mengenal tangan itu adalah tangannya siapa. Genggaman kehangatan tangannya masih terasa. Itu adalah tangan Logis, sahabatnya.

    “Tidak..” kata Bubu menggelengkan kepalanya.

    “TIDAK!!” teriaknya tidak terima.

    Bubu berlari kembali ke lapangan, diambilnya pisau berdarah yang tergeletak di tanah, dan melesat kembali masuk gudang. Dia buka dengan paksa pintu bawah tanah.

    “Bunuh balas bunuh. Aku akan membunuh yang membunuh Logis.” gumamnya. Dia kerasukan rasa benci yang teramat sangat yang tiba-tiba melesak muncul dari dalam hatinya.

    Bunuh, Bunuh, Bunuh, Bunuh!

    Bubu melihat tangga dari bawah pintu kayu. Dia menuruni undakan tangga dan sampai ke gudang peralatan yang telah lama tidak terpakai.

    Barulah matanya ternganga, hatinya menciut, rasa benci ingin membunuhnya hilang.

    Pemandangan di depannya sama sekali tidak dapat diterima oleh akal rasionalnya. Tampak tubuh anak tergantung tanpa kepala di terali-terali besi yang menggantung di langit-langit ruangan. Tampak Anak mati dicambuk meringkuk dengan tangan patah. Tampak anak-anak yang mati terkulai di atas kursi dan meja percobaan, disertai seluruh lantai banjir dengan cairan merah pekat kehitaman berbau darah.

    Bubu muntah karena muak dengan baunya, tapi karena dia belum makan sejak tadi pagi, hanya air liur yang keluar dari mulutnya. Pandangannya berkunang-kunang, tenaganya melemah. Bubu kemudian menyeka air liurnya. Sekarang bukan saatnya takut. Dia harus menemukan Logis secepatnya atau ia akan kehilangannya untuk selamanya.

    “Mana Logis? Mana Logis?” pikirnya. Dia mencoba mencari sesosok sahabatnya yang paling dicintainya itu. Tapi dia tidak dapat menemukannya. Dia hanya melihat semakin banyak mayat anak-anak yang terikat di kursi dan meja percobaan. Ada yang mati karena disetrum listrik. Ada yang mati disuntik racun. Ada binatang-binatang mati yang dikandangkan.

    “Tempat apa ini?” gumamnya. Bagaimana bisa terdapat tempat laboratorium bawah tanah tanpa ketahuan oleh orang-orang sekitar sini?

    Barulah setelah Bubu menyingkirkan tumpukan mayat yang ada di pojok ruangan, ia mengerti. Terdapat mayat polisi berada di antara tumpukan.

    Di mana-mana tampak bekas penyiksaan, keserakahan manusia atas sesuatu yang ingin dicobanya untuk ditemukan dan kebencian meninggi yang telah terpendam bertahun-tahun, tampak terukir jelas di badan korban.

    Bubu lalu melihat sebuah cermin. Cermin itu berada di tengah-tengah dinding ruangan, tergantung dengan tali yang terikat pada tiang pasak bangunan. Cermin itu kuning, indah, dan tampak mewah.

    Bubu lalu melihat bayangannya yang tercermin di sana. Entah kenapa, dia serasa Dejavu'. Sekelebat-kelebat ingatannya kembali. Tampak pandangannya melihat sebuah kaki yang digeret oleh tangannya sendiri memasuki ruangan ini.

    Mendadak pandangan Bubu limbung, matanya silau dengan cahaya, dan begitu dia melihat bayangannya dalam cermin, ternyata tubuh Bubu didalam cermin bergetar hebat. Seperti diguncang-guncangkan oleh sesuatu. Lalu kemudian mendadak berhenti, dan wajah orang lain mengganti wajahnya.

    Wajah itu sinis, matanya besar, tajam. Hidungnya persis seperti dirinya, bedanya seringai mulutnya sangat lebar, selebar-lebarnya. Air liurnya menetes. Nafasnya terengah-engah menyemburkan embun yang menempel pada cermin. Seakan-akan dia hidup, dan terperangkap di dunia cermin.

    Bayangan itu tampak seperti dia. Semua keserakahannya, kebenciannya terhadap manusia terpampang di sana.

    Bayangan itu kemudian tersenyum sangat sinis, lalu membuka mulutnya yang lebar, seakan-akan ingin menelan tubuhnya. Keluar dua suara dari mulutnya. Suara dekat terdengar seperti suara lantunan gitar rusak yang dibanting-banting, dan suara jauh terdengar seperti teriakan membahana, nyaring, tinggi seakan-akan dapat memecahkan kaca.

    Tipe suaranya pun sangat aneh, menggema di dinding telinganya. Seakan-akan ada ribuan orang yang saat ini sedang berbicara kata bersama-sama di telinganya.

    Bayangan itu berkata, “Hai Bubu!”

    Bubu sangat takut hingga ia tidak bisa berpikir apapun selain rasa takutnya. Bahkan, kakinya tidak mampu beranjak dari tempatnya berdiri. Pisau yang dipegangnya terjatuh, dan seluruh kekuatannya terasa hilang.

    Dalam hati, spontan benak Bubu bertanya “siapa kamu?”

    Bayangan itu kemudian tersenyum. Lalu berkata, “AKU ADALAH KAMU.”

    Mata Bubu melotot kaget. Jantungnya seperti terasa dipukul sesuatu mendengar kosa kata bayangan.

    Bayangan itu kembali membukanya mulutnya selebar-lebarnya. Teriakannya melengking tinggi seperti teriakan banshee, bayangan itu meronta-ronta, dan akhirnya tangannya keluar dari cerminnya.

    Tangannya yang lengket berlendir memanjang, memegang lengannya Bubu, dan menariknya dengan kekuatan hati, melemaskan seluruh sela-sela otot Bubu.

    “Hwa.. Tidakk!!” teriak Bubu gemetar ketakutan. Lidahnya kelu karena tangan bayangan yang sedingin es itu membekukan seluruh otot-ototnya, menariknya ke arah cermin, seakan-akan mereka ingin bertukar Dunia.

    Perasaan Bubu seperti berada di atas ketinggian seribu meter dan melihat bawah, atau berada di depan podium dengan seluruh penontonnya adalah monster. Saking takutnya hingga ia kesusahan bernafas, merelakan tubuhnya tertarik ke arah cermin.

    Ketika tangan bayangan mencoba menarik tangannya masuk ke dalam cermin, tiba-tiba terdengar suara terantuk.

    “Duk.”

    Tangannya terantuk dengan kaca cermin.

    Bayangan berwajah seram itu terpana, lalu sekali lagi mencoba menarik, kali ini seluruh tubuh Bubu ikut terbawa.

    “Bruak” Suara tubuhnya terantuk dengan cermin. Tentu saja karena tubuh manusia tidak bisa menembus cermin.

    “…” bayangan itu terdiam. Kelihatannya dia berpikir.

    Bubu juga terdiam. Entah apa yang salah, semestinya tidak seperti ini.

    Bayangan itu tampak marah, dia lalu menempelkan wajahnya yang seram itu pada kaca. Sangat seram hingga serangga yang keluar dari mulutnya itu seakan-akan ingin meloncat keluar menuju ke wajah Bubu.

    Tangannya yang keluar memegang belakang kepala Bubu dan menariknya mendekat ke kepala bayangannya.

    “Jauhkan.. dirimu, kepalamu.. dariku.. Jauhkan..”

    Tapi kepalanya semakin dekat, kali ini belatung keluar dari mulutnya,

    “Tidak!!” teriak bubu ketakutan. Sedikit lagi Belatung itu akan mengenai dirinya.

    Semakin dekat hingga kepala mereka berdua menempel dengan pembatas setipis kaca.

    “Tidaaaak!!”

    “…” bayangan itu kembali terdiam. Belatung yang disemprotkannya hanya terantuk kaca, tidak bisa keluar ke dunia nyata.

    Bubu sendiri kebingungan, teriakannya berhenti bukan karena ia sudah pingsan. Tapi takutnya hilang karena, pandangan di depannya benar-benar kabur, tidak terlihat apa-apa. Matanya tidak bisa fokus melihat objek yang sangat dekat dengan lensa matanya. Entah siapa yang bodoh kalau aku adalah kamu.

    Karena Bubu tidak bisa melihat apa-apa di depannya, rasa takutnya menyurut, dan tangannya kembali kuat untuk mendorong tubuhnya menjauh dari cermin.

    Tapi ternyata bayangannya ikut, seluruh tubuh bayangan itu keluar dari cermin, dan jatuh ke arah Bubu. Bayangan itu masuk ke dalam tubuh Bubu, membuat matanya yang putih menjadi putih.

    Tubuh Bubu meronta hebat, mulutnya berbuih, dia kesakitan teramat sangat.

    Mulutnya berkata, seakan berdialog dengan dirinya sendiri.

    “Tidak mungkin..”

    “YA KAMU PEMBUNUHNYA..”

    “Bagaimana bisa?”

    “KAU BENCI SEMUA ANAK ITU. MEREKA SAMPAH. KAU BUNUH MEREKA”

    “Tidak. Itu bukan aku..”

    YA ITU KAMU. ITU SALAHMU.

    “Tidaakk.”

    Proses itu berlangsung semenit sampai matanya yang hitam berubah menjadi hitam.

    Akhirnya tubuhnya perlahan-lahan berdiri, nafasnya terengah-engah.

    dan berkata. “Akhirnya, namaku Hitem! Hatiku sehitem malam. Aku berhasil membungkam dia!”

    “Khe khe khe” suara tawa kepuasan Hitem karena telah berhasil menguasi inangnya. Tawanya yang dingin, keluar membahana dari dalam mulutnya.

    “HAHAHAHAHA!!” tawanya melengking tinggi, dingin, dan mencekam, layaknya tawa pembunuh jutaan orang.

    “HAHAHA Blueh..” air liurnya keluar. Tengkuknya sempak terpukul dari belakang.

    Saking kerasnya dia tertawa hingga tidak sadar sesosok orang telah berdiri di belakangnya, mementung kepalanya dengan tongkat sapu.

    Hitem tersungkur, kesadarannya menghilang.



    Saat Hitem terbangun, tubuhnya diikat di sebuah kursi, dan menghadap kaca besar di depannya.

    “Kau.. seharusnya aku membunuhmu.”

    Logis berkata, “seharusnya. Tapi kau tak bisa. Masih ada Bubu dalam dirimu.”

    “HUARGH” teriaknya kesal. Wajah Hitem persis secantik Bubu, bedanya adalah dia tidak bisa tersenyum seperti Bubu. Raut mukanya tajam, meronta, melawan, benci menjadi satu.

    Logis memunggungi Hitem, ia berbicara dengan pantulan refleksi di kaca.

    “Bubu,” Logis memanggil namanya pada bayangan kaca.

    “Logis? kamu selamat?” Hitem kaget, mulutnya komat-kamit sendiri, bergerak bersuara seperti Bubu. Dia ternyata belum sepenuhnya bisa menguasai inangnya.

    “Kau sakit Bubu, penyakitmu adalah dissociative identity disorder,” Kata Logis.

    “Dis.. apah? Disco.. Discotik?”

    Mereka bertiga terdiam.

    “Dasar wanita tolol. Kau tidak mengerti apa-apa. Mati saja kau di dalam cermin untuk selamanya,” gumam Hitem.

    “Diam kau Hitem,”

    Muka Bubu tampak sedih. Dia mengerti, kalau semua pembunuhan ini adalah tindakannya. Semua kegilaan, kerusakan, ketamakan ini adalah tabiatnya.
    Tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah ini. Kesadarannya telah diambil dan kini, ia hanya menjadi kesadaran palsu dalam sebuah cermin.

    Bubu menariknya nafasnya, dengan sakit hati ia berkata, “Bunuh aku, Logis. Ini semua telah berakhir. Aku lah penyebab ini semua. Maafkan aku selama ini menyusahkanmu..”

    Logis terdiam. Dia kemudian tersenyum hangat dan berkata “Lalu siapa yang menemani aku?”

    Bubu terpana. Degup jantungnya kembali terasa, suara Logis kembali menghangatkan sanubarinya sehingga terasa sedikit celah harapan di hatinya.

    “Tapi Logis. ini mustahil, dia telah menguasaiku.”

    “Kau tahu kau bisa Bubu. Kau hanya perlu mengingat semua memori Hitem, bersatu dengannya, dan kau akan mendapatkan kembali kesadaranmu.”

    “Tidak.., aku takut. Tidak mungkin. Tanganku yang mencambuk, menusuk, membunuh mereka. Aku tidak pantas untuk hidup di dunia ini. Aku manusia yang kotor,”

    Air mata keluar dari wajah Hitem. Hitem tampak bingung, raut mukanya yang seram jadi seperti badut karena kelakuan Bubu.

    “Aku tidak bisa, aku tidak berani. Ingatan Hitem terlalu busuk. Jika aku mengingat kelakuanku saat menjadi Hitem, aku takut akan menjadi dia.”

    “Lalu kenapa!!” Teriak Logis hingga membuat Bubu tersentak dari kursinya dan tertegun.

    “Manusia memang seperti itu, punya rasa dengki, serakah, ketamakan, kebencian. Itu memang kita Bubu! Kita adalah binatang terjahat dan semua manusia seperti itu.”

    Bubu tidak bisa berkata, mulutnya terkunci rapat.

    “Walau kita binatang, tapi tidak lantas menuruti semua rasa kita. Kita memiliki kebijaksanaan, kemampuan memutuskan mana yang baik dan yang mana benar, sehingga mengontrol sifat-sifat bengis manusia. Karena itulah manusia sempurna Bubu. Kita berbeda, kamu berbeda!”

    Bubu tertegun. Dia terpana mendengar perkataan Logis.

    “Akan kucoba” kata Bubu.

    “Tidak..” kata Hitem. “Kau tidak akan berani.”

    Logis tersenyum. Sekarang justru Hitem yang tampak takut.

    Bayangan Hitem di cermin kembali bergetar keras. “Satu, cambuk. Dua, api. Tiga, setrum. Empat, racun.”

    Lalu kembali, mata Hitem melirik ke atas. Perlahan-lahan memori-memori kelam itu masuk ke dalam sanubari Bubu.

    Bagaimana Jono dan Jini, yang selalu mengirimkan tabloid, dikurung olehnya di sini, lalu dicambuk dan dibakar hidup-hidup.

    Bagaimana Sebastian dan Kaswari, yang selalu melempar jendelanya dengan batu dan berbisik sate kelinci, ditusuknya dengan tusukan besi, dan digantungnya di langit-langit ruangan seperti sate kelinci.

    Bagaimana Plitung, dan seluruh gengnya diculik agar bisa dijadikan bahan riset, untuk membuat manusia kelinci. Disuntik, diracun, dan dikeling di meja percobaan.

    Semua itu adalah rasa kebencian Bubu, bukan Hitem. Kebencian yang terpendam selama sepuluh tahun, dihina, dicaci maki, dikucilkan dari pergaulan karena dianggap bersalah telah menyukai kelinci yang berbeda budaya. Justru Hitem lah yang membebaskannya. Dia melakukan apa yang tidak mampu dilakukan oleh Bubu. Dia pasang dirinya sebagai kambing hitam, menyalahkan semua dosa padanya untuk menyenangkan hati Bubu. Mereka berdua seperti magnet kutub dan utara. Bubu tampil baik, tapi berhati jahat. Hitem tampil jahat, tapi berhati baik.

    Dan Bubu puas Hitem telah melakukannya, membunuh semuanya. Seperti perasaan Teroris, mahluk jahat memang sepantasnya untuk dibunuh. Mereka sepantasnya untuk dibersihkan dari dunia ini, agar Bumi ini tidak jadi kotor oleh tindak-tanduk mereka. Ini semua adalah demi masa depan yang lebih baik, demi keinginan yang lebih. Dendam juga tidak sepantasnya untuk disimpan dan dikekang. Harus dilepaskan, dan seperti inilah caranya. Cara menghormati pelampiasan ini adalah menyiksa mereka dengan metode terbaik. Kalau tidak, akan merendahkan derajat korban. Merendahkan kematiannya dengan cara kematian yang biasa.

    Tubuh Hitem meronta kuat, lima belas menit kemudian, dia tidak sadarkan diri.

    Kesadaran Bubu menaung, mengambang, menggema.
    Pandangannya yang seperti mimpi, perlahan-lahan mengeras, memberikan kenyataan.
    Bau kelinci, darah kental, busuk menjadi satu, memulihkannya dari racun pikiran.

    “Bubu..” Suara sayup-sayup Logis, terdengar di telinga kanannya. Mendayu-dayu pelan, lembut seperti lagu merdu.

    “Gis,” Bubu mengejap-ngejapkan matanya. Pandangannya yang kabur perlahan-lahan terfokus.

    Langit biru tanpa awan penuh bintang, berada di atas mereka. Luas, indah mempesona. Bodohnya dia. Tentu itu semua adalah mimpi.
    Dunia nyata itu indah, seperti langit ini.

    “Ah.. aku bermimpi Gis. Aku membunuh banyak orang, dan salah satu korbannya adalah kamu. Mimpi buruk yang sangat tolol.”

    Logis tersenyum di depannya.

    Bubu terbangun dari tidurnya.

    “Kenapa kau terseny..” kata Bubu mendadak tersedak melihat tangan Logis. Tangan kirinya hilang sebelah, tangan kanannya memegang tangan kirinya yang telah putus.

    “Logis,” gumamnya. Air matanya mendadak membanjir keluar dari parit matanya.
    Dilihatnya tangan kiri itu yang telah hilang. Tampak luka bakar menutupi tangannya.

    “Oh, Logis” kata Bubu memeluk tubuh Logis. Bubu terisak di dada Logis yang bidang.

    Bubu ingat telah mengikat tangannya. Logis terpaksa memutuskan sebelah tangannya untuk dapat menyelamatkan Bubu dari kerancuan personalitynya.

    “Sudahlah, Bu. semua sudah terjadi,” kata Logis. Sebelah tangannya yang hangat membelai lembut rambutnya.

    “Maafkan aku Gis. A.. aku takut kau akan melaporkan aku ke polisi. Jadi.. Akuu..” tangisnya menjadi-jadi. Dikeluarkan seluruh bentuk kekesalan dan kesedihannya selama ini dipelukannya.

    “Mari pulang, aku harus ke rumah sakit,” katanya tidak peduli.

    Bubu terdiam, di kehangatan pelukannya, Bubu merasa bisa menghadapi ini semua bersamanya. Seperti inilah seharusnya pria. Tegar, misterius, hangat dan bisa dijadikan sandaran.

    Logis kemudian dibawa ke rumah sakit. Dia membawa tangannya sebagai bukti bahwa dia adalah korban, dan memberitahu kepada pihak polisi bahwa pelakunya adalah Hitem, yang sudah berhasil ditaklukkan oleh Bubu. Begitu di tanya wajahnya, Logis mengarang-ngarang wajah Hitem seperti badak bercula satu, atau helikopter berbaling-baling seperti bunga.

    Bubu kembali masuk ke dalam rumahnya. Kali ini ingatannya tidak akan pernah sama lagi. Akhirnya dia ingat, apa alasan utama namanya Bubu. Bukanlah karena ibunya ingin anaknya tidur nyenyak. Tapi karena ibunya selalu melihat anaknya ketika tidur, terbangun dan berjalan seperti orang lain.

    “Bubu, oh anakku. Kemarin kau menangis, dan menghilang. Aku takut kau tidak kembali. Ah, bau apa ini? Kau harus mandi anakku.”

    “Bu, namaku bukan Bubu lagi, Bu.”

    “Maksudmu.. kau.. kau Hitem?”

    “Itu diriku yang lama. Aku tidak akan bangkit lagi dari mimpi, dan aku tidak mau diejek seperti dulu lagi, Bu. Namaku sekarang..”

    HiTemtemBubu.”

    Hidden plot


    Beware. :cambuk:
    Cerpen 1. Giande. Meletus.
    Cerpen 2. temtemBubu. "The Old Me & The New me"
    Cerpen 3. Sherlock. "The Comentary of Rabbit killer Case" "aka Hidden plot"

    untuk korban selanjutnya :
    Cerpen 4. High time. Coming soon in Writer road on Legends Antology.
    Cerpen 5. Fairyfly. Tapi masi belum ada ide :ngacir:
    Cerpen 6. Merpati. tapi ini jangan dulu.. :ngacir:

    :cambuk:
     
    Last edited: Jan 18, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    a-ahaha,

    meskipun tau ini bukan cerita hantu, tapi suasananya dapet bgt hingga aku jadi takut sendiri bacanya.


    besok pagi baca ulang deh. :lalala:
     
    • Like Like x 1
  4. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0

    ini sherlock kan?

    semestinya bukan.

    semua cerpen ane heart warming kok :cambuk:
     
  5. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    Yep. Ii hanashi ga Itadakimasu. :gotdrink:

    Well, aku pikir ini bakalan jadi parody aka comedy, ternyata bisa jadi serius juga.


    kebawa ama suasana horornya. :top: seremnya dapet bgt. aku bacanya bener2 merinding loh.


    untuk penulisan mungkin:

    di cabut nyawanya


    itu bukannya kyk gini ya:

    dicabut nyawanya


    di itu klo untuk kata sambung kan harus disambung,

    klo untuk kata tempat emg dipisah.

    lbh jelasnya, kk @merpati98 deh. :lalala:


    trus lanjut ke cerita.

    hmm, :top:

    8/10 mgkin.

    aku rasa, pas bagian horornya itu kerasa bgt, meskipun aku gak ngerti ini cerita mau ngenyeritaiin apa.

    karena endingnya aja masih gak aku ngerti.

    jadi, siapa orang itu, kenapa dia mati, apa isi fd itu, dll deh.


    trus twist kk Giande itu :top:

    aku suka. :lol:


    trus peri terbang mgkn terlalu minim deskripsinya menurutku.

    klo yg aku asumsikan sih, dia beneran peri yg bisa terbang. jadi, pas aku baca kalimat ini:

    Dia berjalan mundur satu langkah ketakutan. Mukanya bertampang seperti kodok kena tangkap uler.


    aku jadi bingung sendiri.

    paling gak, kasih deskripsinya juga sih. dan kk giande jga, masih gk kebayang orgnya kek mana.


    itu aja kyknya. :maaf:
     
  6. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    ea ketemu sebiji batu di yang typo.

    lah situ bukan sherlock ya? masak peri terbang ama Giande gak kenal.

    ngapaen dideskripsikan lagi.

    tar yang asli marah :ngacir:

    well tq sudah baca. :makasih-g:

    dari plot emang belum make plot. lagi kesepian aja mendadak bikin langsung kelar :lol:
     
  7. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    aku bukan sherlock kok. :malu2:

    yah, paling gak pretend aku newbie atau apa gitu lah. onegai :matabelo:



    salam kenal kk veny. aku Ii-chan. :hi: bukan sherlock.
     
  8. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    btw, ceritanya emg berakhir disitu aja?

    atau aku aja yg gak 'ngeh' endingnya ya?
     
  9. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0

    :kaget: lah kalo gitu ane salah baca ya :maaf:

    perasaan tadi sempat bilang di lonje kalo situ gak bisa login pake akun sherlock.

    maaf sekali lagi :maaf:

    salam kenal juga :hi:

    gak ada yang salah dengan pikiranmu.

    pengen bikin cerita tak ber plot aja biar banyak yang ngerti. soalnya kalo dilanjutin keknya plotnya makin berat deh :ngacir: (alibi aja padahal dah ngantuk)
     
    Last edited: Dec 26, 2013
  10. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    Campur aduk comedy thriller ditambah fantasy :tampan:

    Diakhiri dengan penulis ngantuk :tampan:

    Mengguanakan nma giande kudu byr biasa copyright :minta:
     
  11. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    belum ada duit bang :hiks:

    anyway makasi dah mau baca :makasih-g:
     
  12. Wateria M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Oct 15, 2008
    Messages:
    2,760
    Trophy Points:
    147
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +2,495 / -0
    namanya gigi sama andre? terakhir kok jadi giande? :P hahaha...
    btw, kok aku enggak dapet ya seremnya..., apa gara2 bacanya lagi siang2/ lagi di kantor - dimana bossku lebih serem daripada cerita ini...
     
  13. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    Ande bukan Andre :hammer:

    emang bukan cerita serem :suram:

    ane gak suka dengan film horor.

    saking seremnya sampe gak enjoy nontonnya. buat apa kan nonton kalo gak enjoy

    Makanya ane buat heart warming story. (rencananya :tega: ) biar enjoy bacanya :lalala:

    anyway thanks udah baca :makasih-g:

    Truth or lie is just perception.
    its becomes truths if you want to believe it.
    its becomes lies if you dont want to belive it.

    NikiQuotes


    Di masa depan,teknologi software melejit tinggi dibandingkan hardware karena penelitiannya tidak memerlukan sumber daya alam yang kian mahal harganya.

    Pada akhir abad ke 30, seorang ilmuan dari Florida berhasil mengembangkan sebuah artifisial intelejen setelah memetakan DNA manusia. Mereka berhasil mensimulasikan kemampuan belajar otodidak pada komputer yang semestinya hanya dipunyai oleh algoritma hippocampus otak manusia.

    Seluruh dunia gempar dibuatnya, terobosan ini dinamakan “Intelejen artifisial sempurna”

    Berkat AI ini, robot mampu belajar seperti halnya manusia. Mampu melihat dunia seperti layaknya manusia sehingga ikut memiliki rasa, akal, dan keinginan.

    Awalnya manusia menyambutnya, tetapi semakin lama.. jumlah robot semakin meningkat. Apalagi karena rasa, mereka tampak hidup layaknya manusia. Akibatnya manusia takut akan tersaingi dan memutuskan untuk memusnahkan seluruh robot dari permukaan Bumi.

    Pecahlah perang doomsday terbesar sepanjang sejarah. Dengan kemenangan di pihak robot, manusia terpaksa menandatangani pakta perjanjian perdamaian.

    Walau pakta sudah dibuat dan disahkan, tapi bekas pertempuran darah peperangan yang memendam dendam dari kedua belah pihak masih tetap berkorbar. Perasaan dendam kesumat yang terkubur kembali bangkit begitu pemimpin manusia melakukan konspirasi untuk menjatuhkan istana. Rakyat berpikir robot adalah dalang dibelakangnya, dan robot pun berpikir sebaliknya.

    Di saat inilah bangkit seorang manusia yang mengkhianati bangsanya.
    Dia dikecam seluruh dunia atas kejahatannya.
    Semua kebohongan menjadi kenyataan, hingga tiap buku sejarah memakai namanya untuk menjadi nama hantu terkutuk.

    Aku Jack konsterling, seorang pensiunan dewan keamanan tertinggi. Aku memutuskan pensiun karena kerajaan manusia dipenuhi oleh pemimpin yang terjerat dengan lingkaran setan keserakahan. Penuh konspirasi dan ketidak adilan.

    Setelah perjalanan lima hari lima malam, hari ini aku sampai ke desaku. Walau di beberapa tempat telah berubah menjadi padang pasir karena peperangan, tapi aku masih bisa melihat beberapa binatang setengah kuda-setengah rusa berkeliaran dengan santai di sekitar kampungku. Karena peperangan telah berjalan bertahun-tahun, beberapa mutasi terjadi akibat radiasi meriam plasma. Sehingga Bumi menjadi tempat tinggal baru bagi beberapa mahluk campuran.

    Hal pertama yang ingin aku lakukan ketika pulang adalah menepati janji. Sayangnya gara-gara perang.. aku lupa. Janji apa dan sama siapa?

    Hari ini adalah hari Valentine. Poster dinding bertuliskan “robot adalah penjahat kaleng sampah” yang tersebar di seluruh pelosok desa telah bergantian menjadi lambang hati. Aku melihat banyak anak muda yang jatuh cinta, pegangan tangan bersama, dan berjalan santai di jalanan kota. Pemandangan ini, mau tidak mau membuatku muak dan ingin tertawa.

    Bukannya aku memandang rendah cinta. Tapi kebanyakan manusia tidak mengerti rasa cinta. Cinta jadi apa di kerajaan?

    Jadi alat perang.

    Pernikahan bisnis, adu domba, dan manipulasi keinginan. Hampir semua manusia menganggap cinta adalah makanan. Selagi masih panas, nikmati. Kalau sudah dingin, ya buang jadi nasi garing.

    Kalau aku berhasrat dengan tubuh dan bau wanita hanya karena hormon testosteronku,
    Kalau jantungku berdebar ketika melihatnya berkelakuan imut hanya karena hormon dopaminku,
    Kalau perasaanku melambung bahagia, ketagihan, mengenang, dan terasa nikmat hanya karena hormon serotoninku.

    Bukankah semua cinta ini berarti hanyalah omong kosong? Hanyalah hasil interaksi antara otak dan hormon. Coba manusia tidak memiliki hormon. Apakah manusia masih bisa memiliki perasaan cinta?

    Disaat aku melamun, mendadak pasangan yang melewatiku berciuman.
    Mereka berciuman dengan sungguh mesra. Dengan kelihaian dan momentum yang pas di lidah, mereka membuat suara kecupan-kecupan yang terdengar lembut mempesona.

    Setelah berciuman, mereka saling pandang satu sama lain. Lalu berkata,

    “Kaulah cinta sejatiku..” kata pria muda dengan nada mendesah berwibawa yang diberat-beratkan.

    Wajah manis dan pipi merona, sang wanita tersipu malu dan berkata dengan suara imut yang ditinggi-tinggikan, “Terima kasih cokelat dan bunganya, sayang~”

    Kontan tanpa bisa kututupi, puft. Hahahahaha!

    Aku tertawa lepas mengenaskan. Sarkasme. Maafkan.. aku. Maafkan aku tertawa seperti orang gila.

    Sungguh hatiku tak kuasa melihatnya.

    Dua orang di depanku memandang aneh tak berkata. Apalagi melihat pistol serta seragam anjing kerajaan yang kupakai, membuat mereka takut dan berjalan menjauh. Sebaliknya, seorang tua botak berjalan menujuku ketika mendengar tawaku yang nyaring.

    “Ah- selamat datang Sayier, kami sudah persiapkan rumahmu. Miss. Koshia sudah membersihkannya tiga hari yang lalu dan saat ini siap untuk dihuni.”

    “Pa.. Paman?” teriakku kaget luar biasa. “Janganlah kau berbicara seperti itu padaku paman. Tak perlu kau memanggil nama junjungan kerajaan.”

    Pembantu keluargaku yang sudah tua itu tersenyum semringah. Gigi depan peraknya yang tinggal satu itu membuatku tertawa.

    “Kudengar kau lupa ingatan saat perang akhir. Kukira kau telah melupakanku. Oh Jack, peluk aku. Aku rindu padamu.. berapa umurmu sekarang nak Jack?” katanya.

    “Aku sudah 35 paman..” kataku sambil membalas pelukannya.

    Paman kemudian berjalan bersama, membawaku ke sebuah rumah yang kukenal. Rumah kayu itu telah tua, dindingnya diplitur gelap seperti rumah hantu dan memiliki cerobong asap di atapnya. Ketika memasukinya, aku terpesona melihat seluruh ruangan yang tidak berubah semenjak aku kecil. Ini adalah rumah orang tuaku. Rumah masa-masa kecilku.

    “Jadi sudah berapa robot yang kau bunuh selama ini?” tanya pamanku sambil menuangkan segelas minuman lemak ke dalam sloki.

    “Jutaan paman. Aku tidak bisa menghitungnya lagi.”

    Sinar matanya meredup mendengar aku menjawab pertanyaannya dengan riang gembira.

    “…” Aku tersadar. Aku lupa kalau pamanku tidak suka aku pergi perang. Aku kemudian menyeruput minuman lemak kambing buatannya sebelum akhirnya berkata dengan berat.

    “Yah.. walau senang pada awalnya, tapi aku sadar kebencianku terhadap kaum Robot biadab yang membunuh kedua orang tuaku tetap tidak sirna. Walau aku sudah menghancurkan seberapa banyak pun, tidak ada kepuasan di dalam hatiku. Malah semakin membuatku benci.” Aku berkata dengan nada sesal.

    “Tidak usah dipusingkan nak,” paman menepuk pundakku. “Paling tidak, kau pulang selamat. Aku sudah senang.”

    Ketika paman menepuk pundakku, ternyata muncul seorang gadis cantik dari balik renda cokelat pintu belakang.

    Aku shock ketika melihatnya. Wajahnya sungguh cantik menawan. Bibirnya merona merah muda seperti ceri, kecil, dan menggoda. Tulang hidungnya kecil, tapi hidungnya muncul dengan cantik, bagaikan gadis-gadis dua dimensi. Matanya bening kebiruan, besar, dan indah. Lekukan dagunya mungil sempurna, dikelilingi rambut indah sepanjang dada, sehitam ebony.

    Apalagi jika melihat semakin ke bawah. Letak dada tinggi besar dan kencang, perut pinggang yang sangat langsing, dan lekuk pinggul yang indah. Membuat hatiku jatuh berkeping-keping di lantai

    Lekukan tubuhnya tampak sangat aduhai nan indah!

    Sialan! Aku rela bunuh diri sekarang juga jika mati adalah cara untuk mendapatkannya. Aku ingin memegangnya, menjelajahi kulit putihnya yang halus tak bernoda. Apalagi payudaranya besar dan mengencang. Sangat menggemaskan!

    Jika dia memakai baju seksi, tentu aku sudah melakukan tindakan ekshibis, meloncat ke dalam keserakahan dan kenafsuan yang tak akan tertolongkan lagi.

    Apalagi matanya yang bening kebiruan menatapku dengan pandangan yang dalam dan lembut. Membuat batang otakku patah, hidungku mimisan, dan nyawaku lepas dari raga ke surga. Seluruh ototku lemas tak berdaya.

    “Ah Irine, di sana kau rupanya. Bantu aku..” kata paman.

    “Si.. siapa dia?” Aku penasaran melihatnya.

    “Heh? Kau tidak mengenalnya? Dia pembantuku.” Pamanku keheranan.

    Wajahnya tampak familiar. Apakah aku pernah mengenalnya? Entahlah. Aku tidak tahu. Yang jelas ini kali pertama aku bertemu dengannya. Namanya Irine Springfield. Aku tidak bisa memalingkan mataku sedikit pun darinya. Aku terlena, terbius.. dan terhipnosis oleh kecantikannya. Tapi setelahnya aku sadar, gadis secantik dirinya tentu sudah ada yang punya. Laki-laki mana yang tidak tertarik dengannya?

    Aku ingin segera melupakannya, tapi ternyata tidak bisa. Dia kerap muncul di hadapanku dengan tidak terduga.

    Kali kedua bertemu, aku melihatnya melamun di padang rumput belakang rumahku. Dia termenung dengan tatapan sendu, melihat sebuah batu hitam datar. Seakan-akan menunggu seseorang untuk menaiki batu itu bersama. Awalnya aku tidak mendengarnya, tapi begitu mendekat, aku mendengar suara nyanyiannya.

    ~

    Hujan badai datang, terik matahari gurun membakar, padang malam yang membeku.
    Disini aku terdiam sendiri.
    Tidak sedetik pun aku melupakanmu
    Sampai kapan aku harus menunggumu?

    ~
    Tidak bisakah kau tidur bersamaku?
    Memegang tanganku dengan erat.
    Menyapu rambutku dengan lembut.
    Memelukku dengan hangat.
    Sambil membisikkan selamat malam, selamat tidur sayangku.


    Lantunan nyanyian yang sangat merdu. Aku terpana. Saking penasarannya aku berjalan mendekatinya, tidak percaya kalau suara yang halus dan dalam itu keluar dari mulut kecilnya. Aku mencoba menyapanya dengan hangat. Tapi mukanya malah memerah, dan ia berlari kabur dariku.
    Kenapa? apakah suaraku menyeramkan?

    Kali ketiga, ternyata dia menghampiriku. Aku sedang tertidur di padang rumput belakang rumah dan sekotak makanan menghiasi kedua tangannya. Dia memberikan bekalnya padaku. Aku keheranan, karena dia malah tidak mau memakan makanan bawaannya sendiri sedikit pun. Sepertinya ia sedang diet.

    Bukannya aku tidak mau memakan masakannya. Aku hanya malu jika menghabiskan seluruh makanannya sendiri. Masakannya ternyata sangat enak, membuatku hampir menangis karena mengingatkan aku tentang masa lalu. Masakan khas desaku, campuran nasi kepiting dan saus tiram.

    Sejak saat itu, aku memberanikan diri datang ke rumah pamanku hanya untuk bertemu dan sekadar menyapanya. Kalau beruntung, aku bisa jalan-jalan bersama dengannya.

    Seperti hari ini, aku berhasil berjalan kaki keliling kota bersamanya, sambil membicarakan hal seputar kehidupan.

    “Aku ingin jadi merpati,” kataku.

    “Hem?” dia melihatku dengan wajah cantiknya.

    “Aku ingin bisa terbang bebas di angkasa, menikmati dunia ini tanpa beban, tanpa terikat hukum dan peraturan manusia.”
    “Selain itu kau tahu?” Aku memandangnya dengan lembut.

    “Apa kak.” Sepasang mata penasaran yang indah melihatku.

    “Merpati hanya punya satu pasangan seumur hidupnya. Sepanjang hidup mereka damai, tidak ada percekcokan.”

    Dia tampak tersipu malu mendengar perkataanku. Karena arti Irine adalah damai dan merpati.

    “Kalau kamu?” tanyaku sambil melihat wajahnya.

    “Aku ingin jadi manusia.”

    “Loh kok..?” tanyaku heran.

    “Nda kak.. hanya saja kalau jadi merpati~kan tidak bisa merasakan cinta.”
    “Kurasa cinta hanya dimiliki manusia.” Dia mengatakannya dengan nada penuh makna.

    Aku terdiam. Tentu saja kita harus menyukuri diri apa adanya. Bodohnya diriku. Kenapa aku malah berkata keren sok romantis padahal tidak ada maknanya? Perasaan malu yang tidak pernah muncul semenjak ikut perang kembali timbul dalam hatiku hingga membuatku bingung.

    Tapi itu tidak penting, karena aku keburu kembali terbuai dengan wajah seriusnya.
    Wajahnya yang termenung tampak begitu cantik. Memandangnya walau hanya sesaat, tetapi serasa selamanya bagiku.

    Perasaanku ketika bersamanya selalu mengambang bahagia, tidak terbataskan dan tak tertahankan. Kurasa, aku terjebak cinta.

    Setidaknya itulah yang kurasakan ketika bersamanya. Nyaman, melambung bahagia, dan terpesona.

    Aku tidak pernah tahu kalau ternyata keesokan harinya, aku menerima kabar peringatan merah dari kerajaan ketika berjalan di paviliun depan rumahku.

    Suara mendengung terdengar. Aku memencet tombol di pakaianku dan terdengar suara pria terengah-engah di telingaku.

    “Gawat, Jack.. kau disana? Kau masih hidup? Kerajaan telah runtuh!”

    “Hah. Ap.. apa?” Tanyaku. Kudengar dengan baik. Suara yang menginang di telinga adalah suara si Gargoy, teman kerajaanku.

    “Dengarkan aku baik-baik. Lakukan protokol 965. Hanya kau dewan keamanan tertinggi yang masih hidup. Robot sudah mengambil alih istana kerajaan. Konspirasi dima.. Hidup.. kau ja..”

    Suara sambungan terputus.

    “Ap.. apa? Istana diambil alih?” Aku bahkan belum sempat bertanya.

    Belum selesai kekagetanku, aku semakin waspada begitu mendengar suara deru mesin datang dari langit utara. Suara mesin jet menggelegar menggetarkan seluruh kaca perumahan layaknya ada serbuan ribu banteng lewat.

    Mataku menajam melihat langit. Awalnya kukira hanya sebuah titik hitam pesawat jet pengintai, tetapi semakin lama semakin membesar. Begitu sadar titik itu adalah bukan pesawat jet yang terbang rendah, aku langsung berlari menjauh.

    Benar saja, titik itu menjelma menjadi sesuatu yang kukenal, yaitu robot penghancur kerajaan. Robot itu menabrak dinding, menghancurkannya, sebelum akhirnya menabrak tanah dan melobangkannya.

    Tidak salah lagi, sebuah robot baru saja mendarat di tengah-tengah jalan dengan pendaratan yang kubilang ngamuk kesetanan.

    Sebuah mobil melayang yang sudah sewajarnya melewati jalan tidak dapat mengelak dan terpaksa menabrak badan robot dari belakang. Akibatnya mobil itu ringsek, berputar terpental ke arah atas, tanpa bisa menggeser sedikit pun tempat robot itu dari tempatnya berdiri.

    Hal yang semakin membuatku shock adalah aku mengenalnya. Aku tahu siapa wajah robot itu. Aku bertanya dengan mulut gemetar,

    “Irine? Itu kamu?”

    Wajahnya tampak kaku tidak berekspresi. Matanya yang berwarna biru, berkedip-kedip berganti merah.

    “Tu-.. tunggu.. kau robot?” gumamku tidak percaya.

    Dengan sebuah sentakan dari lengannya, tangan kanannya lepas, berputar dan menyatu kembali menjadi moncong meriam plasma.

    Tidak salah lagi, yang di depanku adalah sebuah robot canggih. Robot keparat yang membunuh orang tua, teman seperjuangan, dan membumi hanguskan ratusan kota-kota manusia.

    “Selama ini kau mendekatiku.. mempelajari agar bisa membunuhku?” tanyaku shock.
    Aku tersadar, mendadak teringat kalau selama ini pertanyaan yang ditanyakannya seputar perjalanan perangku. Apa senjataku dan apa strategiku.

    Tentu saja. Cinta? Hah! Cinta itu tidak ada. Hanya ada perasaan mabuk mesra sesaat.

    Jangan anggap enteng aku robot jahanam. Kau boleh menipuku, tapi aku tak akan menyerah begitu saja.

    Rambutnya berwarna hitam menjalar seperti kabel kemana-mana, menyebarkan atom-atom listrik di udara. Tangan kanannya telah berubah menjadi pedang listrik sepanjang tubuhnya. Tubuhku tidak akan terbagi dua lagi jika pedang itu berhasil menyentuhku. Tapi hancur tak bersisa.

    Tidak ada negoisasi. Lengah sedikit saja berarti kematian. Aku mengeluarkan senjata artifak dari sabukku, pistol setan kerajaan yang telah menemaniku membunuh jutaan robot.

    Aku tidak tega menembaknya. Wajah cantik yang tidak bernoda di balik badan robotnya menyayat hatiku. Sungguh pintar robot sekarang, mampu mempermainkan perasaan manusia.

    Dengan sebuah jejakan kaki, topeng perang menutup wajahnya, dan tubuhnya pun melaju cepat ke arahku layaknya petir yang menyambar.

    Aku mencoba menembak kakinya, tapi dengan kecepatan yang tidak masuk akal, dia melompat, menangkis dengan cepat dan tepat memakai pedang berlistrik. Suara hentakan kakinya ketika berlari meretakkan aspal jalan, hingga Bumi bergetar layaknya hentakan perata bangungan. Saking cepatnya, mataku tidak mampu mengikutinya.

    Melihat hal seperti ini, tidak ada cara lain.. dengan sebuah lemparan dari tangan kiri, aku memakan pil adrenalin yang tersimpan dalam saku rahasia.

    Jantungku berdebar, pembuluhku menonjol, tenaga sementara menyelubungi tubuhku. Pandanganku berkedut. Debu yang berterbangan atau daun yang berjatuhan di sekitar, tertangkap mataku dengan sangat pelan.

    Gerakannya yang cepat akhirnya dapat tertangkap oleh mataku.
    Dia menembakkan peluru plasma dari tangan kirinya, tapi aku menghindarinya dari suara dan sudut moncongnya.

    Aku mengikuti gerakannya. Dengan luwes, meloncat ke kanan, salto di udara ke belakangnya, loncatan berpilin, dan berbagai manuver kulakukan sambil terus menembakkan pistol setanku.

    Tapi seperti halnya aku, tidak ada satu pun peluru yang cukup cepat bisa mengenai tubuh kami. Semuanya terhindar ataupun tertangkis oleh pedang dan pistol dengan tangkas. Hasil tumbukan peluru kami menimbulkan suara berfrekuensi tinggi dan cahaya percikan api,
    layaknya kembang api yang terjadi tiap seperempat detik.

    Artifak mata Horus aktif menembus pembuluh darah mataku. Koordinat berwarna hijau muncul memberikan informasi. Robot di depanku ternyata berenergi hidrogen murni.

    Reaktor hidrogen murni hanya dimiliki tingkat koyra, tidak.. lebih dari itu.. tingkat black genom. Robot pelindung jenderal, bagaimana dia bisa masuk jauh ke dalam desaku tanpa ketahuan? Robot ini tentu model terbaru, karena sejenisnya yang berkekuatan sama, harus setinggi gedung tingkat lima.

    Dengan memelintir putaran kakiku di tanah, tubuhku berhasil meloncat tinggi di udara. Aku selamat dari tembakan pluton sebesar bola meriam yang meledak dan melobangkan aspal di bawahku. Tapi sebagai gantinya.. ketika mendarat, kepalaku pusing luar biasa hasil pompa adrenalin yang berputar di sirkuit otak.

    Aku berusaha melihatnya, tapi mataku berkunang-kunang. Aku takut akan mati saat itu juga, tetapi ternyata keanehan terjadi. Dia malah menembak membabi buta ke arah rakyat desa di sekitarku.

    Aku tidak mengerti, dia berteriak melengking seperti ada yang mengacaukan program di kepalanya.

    “Ke.. kenapa?” kataku kaget. Kenapa dia tidak menembakku saat kepalaku pusing?

    Semua yang terkena meriam plasmanya menjadi sirna. Rumahku bolong terbakar. Gedung sekitarku hancur terbelah. Manusia yang tertembak berubah menjadi debu.
    Stop! Kenapa? Kenapa dia menembak orang selain aku? Mau berapa korban yang jatuh untuk memuaskan perang ini?
    Orang-orang desa yang kukenal berubah menjadi abu. Rintih teriakan kematian mereka membuatku marah.
    Tidak ada ampun lagi. Aku akan mengaktifkan seluruh kekuatanku.

    Selagi dia tidak menembakku dengan benar, kulakukan protokol terlarang tingkat tertinggi kerajaan.

    “Genora!” teriakku. Lambang kerajaan kemanusiaan yang tampak seperti seekor naga muncul di layar mataku.

    “Ikuti protokol keamanan 965, aktivasi seluruh artifak.”
    Tiga
    Dua
    Satu
    Satelit setinggi 180 km di langit, menembakkan selongsong cahaya. Menguak udara, memotong angkasa. Muncul sebuah pilar berlistrik yang jatuh tepat tiga kaki dariku. Melubangkan tanah, membentuk gelombang ledakan hempasan udara paling tidak seluas dua puluh meter.

    Sebuah pedang merah transparan, berlistrik, masih panas, beruap, berdiri di tengah jalan siap untuk kupakai.

    Aku melompat setinggi lampu jalan dan menginjak pedang artifakku dengan kaki kanan. Dengan segera, kakiku melesak masuk ke dalam pedang.

    Celakanya, robot di depanku ikut terkena hempasan udara ledakan. Dia tersadar dan kembali melihatku. Tanpa peringatan, ia sudah meloncat ke arahku secepat suara.

    Jadi kubatalkan instalasi, kutangkis tebasan pedangnya dengan kaki kanan yang sudah terinstal, hingga lagi-lagi seluruh tubuhku terpental berputar kencang ke arah dinding gedung di belakangku.

    Tapi karena terpental, aku mendapatkan jarak yang kuinginkan. Kesempatan bagus untuk menyelesaikan instalasi. Selagi tubuhku masih melayang, dengan cepat pedangku menyelubungi seluruh tubuhku dengan baju zirah besi yang berputar-putar, bersatu satu sama lain dari segala arah dengan rumit dan canggih. Pedang itu merayap naik membungkus seluruh tubuhku bagaikan ular.

    Aku menubruk dinding gendung hingga hancur. Batu bata berton-ton jatuh di atas tubuhku. Instalasi telah selesai, aku siap bertarung dengan kekuatan maksimal.

    Aku bangkit dari balik reruntuhan.

    Dengan sebuah hentakan dari siku, keluar taring sinar dari tanganku. Ku jejakkan kakiku, aku meloncat menuju tubuhnya.

    Tapi mendadak, ketika aku meloncat, aku menjadi tidak mengerti. Topeng yang dipakainya terbuka.

    Wajah cantiknya tersenyum.

    Mata indahnya bergetar.

    Tubuh kecilnya tidak bergeming. Dan akhirnya.. tanpa perlawanan..

    Aku telah menusuk core-inti pusat energi yang ada di dadanya.

    Sebuah lingkaran electromagnetic burst muncul di sekelilingku, meledak memecahkan seluruh kaca, membuat udara berkabut dan tubuhku terhempas sepuluh meter ke belakang.

    Me.. mengapa?

    Mengapa dia tidak menghindar?

    Padahal beberapa saat yang lalu dengan lincahnya dia bergerak.

    Padahal untuk robot setingkat dirinya, aku masih kalah cepat dan kalah kuat.

    Kenapa dia berdiri tidak bergeming?

    Irine pov.

    Eh~ Eh~
    Dengarkan aku.
    Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.
    Sudah kupendam sejak lama.
    Tidak pernah berani kuungkapkan.

    Percayalah, bukan aku yang membunuh orang tuamu.
    Aku hanya satu pasukan dengan mereka yang menghancurkan desa.
    Di saat itulah aku melihat kau, seorang pemuda lusuh. Tidak mempunyai rumah dan orang tua.

    Aku tertarik dengan pandangan matamu. Tajam dan penuh percaya diri.
    Aku memutuskan untuk mengasuhmu.

    Jadi aku meninggalkan kerajaanku, dan tinggal bersamamu.

    Hidup bersamamu seperti mimpi, sungguh indah. Kita melepas tawa, berpegangan tangan, dan berlari riang gembira.

    Lupakah dirimu, kalau aku selalu mengecup keningmu, menutup selimutmu sebelum tidur?

    Tapi semakin menyayangi dirimu, dadaku semakin berat dan terasa sakit.

    Bagaimana bisa kau menyukaiku, sedangkan aku adalah robot yang kau benci?

    Kau selalu penasaran bagaimana aku tidak menua. Mengapa aku tidak mau makan.

    Tapi aku tidak bisa menjawabnya.


    Kau selalu meloncat, berteriak gembira untuk membalas dendam orang tuamu.

    Untuk membunuh robot yang telah membunuh orang tuamu.

    Jadi apa yang bisa kukatakan?
    Haruskah aku mengatakan padamu kalau aku seorang robot?

    Bagaimana bisa aku memberitahumu jika kau berkata padaku

    “Saat pulang perang, aku akan menikahimu. Di atas batu pualam hitam itu. Itulah batu janji kita.”

    Aku dibutakan angan kebahagiaan,

    Bagaimana mungkin aku tidak mau?
    Bagaimana aku bisa meberitahukan kebenaran padamu?


    =---=​


    Aku selalu menunggumu di depan stasiun kereta api. Menunggu kau pulang perang.

    Tapi kau tidak kunjung tiba.

    Desa ini telah menjadi gurun bagiku, tidak ada yang kukenal, tidak ada yang kusayang.

    Aku terpaut tempat ini hanya untuk menunggumu.

    Aku tidak bisa pulang kemana pun.
    Karena hanya kaulah rumah manis untukku.


    ~

    Hujan badai datang, terik matahari gurun membakar, padang malam yang membeku.

    Disini aku terdiam sendiri.
    Tidak sedetik pun aku melupakanmu
    Sampai kapan aku harus menunggumu?

    Aku rindu masa-masa bersamamu.

    Masa-masa biru.


    =---=​

    Akhirnya! Saat kereta api di musim panas ke dua puluh tiba, aku melihatmu kembali.

    Betapa senangnya hatiku.

    Aku terlalu malu untuk menyapamu.

    Jadi aku bersembunyi, mengikutimu pulang, dan akhirnya memberanikan diri untuk menyapamu ketika kau telah sampai ke dalam rumah. Kuharap, aku bisa mendapatkan pelukanmu.

    Tapi.. mengapa kau melupakanku?

    Ku tak tahu mengapa kau seperti itu.
    Sama tak tahunya mengapa tubuhku berubah.
    Semuanya berubah sejak kemarin.

    Kau tahu rasanya ketika seseorang mempermainkan otak dan pikiranmu?
    Kau tahu rasanya saat kau tidak bisa mengendalikan tubuhmu sendiri?

    Kau tahukan remote universal? Program yang diinstal di seluruh robot, via global internet untuk mengendalikan pikiran robot dan tubuhnya untuk perang?

    Mereka menggerakkan tubuhku. Mengaktifkan program lama yang terpendam dalam diriku.

    Aku berusaha, kutembak apa pun selain kau. Kucegah tanganku agar tidak membidikmu.



    Remote universal has failed. Corrupted mode detected.


    Kau melompat ke arahku. Taring sinarmu terhunus ke arahku.

    Aku tidak bisa menangis, wajahku terbuat untuk kaku. Jadi aku berekspresi dengan cara terakhir yang kutahu.

    Tersenyum.

    Aku tidak bisa menangis, aku tidak bisa sedih, tapi mengapa hatiku terasa sangat sakit?

    Ini mungkin cinta?

    Maafkan aku mengatakan cinta.. karena robot sepertiku seharusnya tidak mengerti cinta.

    Yang kuinginkan bukan cinta,

    Aku hanya ingin bersamamu..

    Ingin senyumanmu.

    ~

    Tidak bisakah kau tidur bersamaku?

    Memegang tanganku dengan erat.
    Menyapu rambutku dengan lembut.
    Memelukku dengan hangat.
    Sambil membisikkan selamat malam, selamat tidur sayangku.


    Walau kutahu berakhir di ketiadaan, dan ini semua hanya harapan palsu, tapi..

    Aku tetap terbuai suatu hari bisa hidup bersamamu.


    Core has been destructed.

    Ku tak ingin mengatakannnya padamu.

    Tapi..

    Selamat tinggal.

    Ku tak bisa berjumpa lagi.

    Bukankah ini yang kau inginkan?

    Membunuh robot.
    Membalas dendam orang tuamu?

    Programku hanya satu.
    Agar kau sehat selalu
    Agar bahagia selalu.

    Maafkan kebohonganku.

    Yakinlah aku akan selalu menontonmu,

    Dari balik jendela takdir.
    Tiga ratus orang berbondong-bondong memenuhi halaman depan rumah. Mereka menuntut balas akan kekejian robot yang telah membunuh ratusan orang dalam sekejap.
    Pamanku tampak menutup pintu rumahnya dengan lemari agar tidak ada orang yang bisa masuk.

    Di depanku, hanya tinggal seonggok rongsokan kaleng. Sinar matanya telah meredup, mati tidak bercahaya.

    Sebenarnya apa yang telah kulakukan?

    Selama ini aku menjadi anjing kerajaan. Diajari budaya bahwa robot adalah penjahat yang menjajah manusia.
    Mereka tidak memiliki perasaan, dan membunuh manusia untuk senang-senang.

    “Sekarang kau tahu.”

    Aku memandangnya. “Paman..?” kataku gemetar.

    “Tidak mungkin.. aku menggeleng-gelengkan. Ini semua leluconkan? Dimana Irine?” Aku tidak percaya. Aku bingung. Ini semua BOHONG!

    Paman hanya terdiam sambil melihat rongsokan di atas meja dengan wajah muram.

    “Tidak mungkin.. Robot tidak memiliki nyawa. Bagaimana dia bisa penuh kehidupan seperti..?”

    “Tidak memiliki nyawa tidak berarti tanpa jiwa Jack.” Pamanku menepuk pundakku.
    “Kalau mereka tidak memiliki perasaan mengapa robot membuat taman Babylon?”
    “Kalau mereka kejam, siapa yang selalu duluan menembak saat perang?”
    “Coba pikirkan sekali lagi. Siapa yang menginginkan perang, apakah robot atau manusia?”

    Aku mengangkat kedua tanganku, gemetar ketakutan. Aku masih ingat bait nyanyiannya yang menggema di lorong telingaku.

    Walau kutahu berakhir di ketiadaan, dan ini semua hanya harapan palsu, tapi..

    Aku tetap terbuai suatu hari bisa hidup bersamamu.


    “Apa yang telah kulakukan?” tangan ini telah menghancurkan- tidak.. telah membunuh jutaan robot dengan keji tak berbelas kasihan.

    Karena kesombongan manusia, robot dianggap tidak memiliki perasaan, jiwa, dan rasa.

    Tidak.. kurasa karena keserakahan manusia. Ingin Bumi hanya dimiliki sendiri oleh kita.


    ==========

    “Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang Jack?”

    Pamanku termenung melihatku. Dia memberikan segelas bir miliknya padaku.

    Aku terhenyak, termenung, memikirkannya.
    Setelah lama berpikir, walau hanya setengah sadar.. aku bersumpah pada diriku.

    Tidak seperti otak manusia yang mati tanpa asupan energi.
    Memori robot tidak akan hilang.
    Aku akan menyelamatkanmu suatu hari nanti.

    “Pasti.”
     
    Last edited: Mar 25, 2014
  14. Wateria M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Oct 15, 2008
    Messages:
    2,760
    Trophy Points:
    147
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +2,495 / -0
    your welcome, hahahahaha...
    gw enjoy enggak enjoy, suka nonton film horor begitu2 aja, :D hahaha...
    banyakan nanti di dalam bioskop aku ketawa2 kok, reflek ketawa kaget :P
    hahaha..., paling seneng emang kalau nonton sama orang takut, biar bisa di bully
     
  15. ryrien MODERATOR

    Offline

    The Dark Lady

    Joined:
    Oct 4, 2011
    Messages:
    6,529
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +3,171 / -58
    • Like Like x 1
    Last edited by a moderator: Apr 25, 2015
  16. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    bah situ nda tau. ane perna di ajak nonton bareng.

    tiap nonton film horor pasti wajah ane ngadep kursi. :kecewa:



    :shock1:

    ketauan ngacir dolo :ngacir:

    iah maacih udah baca :makasih-g:
     
    Last edited by a moderator: Apr 25, 2015
  17. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    Hidden plot

    The Commentary of Rabbit Killer Case
    genre : komentar.

    balas dendam nepatin janji ama sherlock kapan hari di lonje.

    Bar sixty cash adalah Bar milik penduduk setempat. Bar yang sangat sepi karena letaknya di ujung kompleks perumahan Permata sari. Bar ini hanya dikunjungi oleh orang-orang khusus Permata sari yang berpengaruh, seperti Sherlock, dan pak Lurah.

    “Ada apa emangnya? Tumben-tumbennya kamu mau ngopi bareng di sini Sher?”

    “Karena di sini sepi. Gak ada orang selain kita. Pemilik Bar aja sekarang sedang tidur tuh.”

    “Membosankan suasana sepi begini. Apalagi hari-hariku belakangan ini gak ada apapun..”

    “Kalau kau bosan, kenapa kemarin tidak ikut menginvestigasi kasus rabbit killer?”

    “Jelas aku takut Sher. Aku tak peduli. Lebih baik aku fokus menyembuhkan anakku. Kasian dia. Beberapa dokter dari autzie bilang bisa menyambungkannya, tapi kurasa hanya omong besar,” kata Will sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

    “Kau sudah mendengar cerita pengakuan Bubu?”

    “Jangan kau sebut nama anak terlaknat itu di depanku.” Mendadak, suara Will bernada marah.
    “Anakku jadi korban. Walau itu bukan kesadarannya, tapi tak habis pikir ada seorang anak mampu sebebasnya membunuh seperti monster. Semoga dia lama di rumah sakit jiwa.”

    “Ah jangan kau hina anak itu. Paling tidak, dia bertanggung jawab menyerahkan diri ke kantorku.”

    “Tetap saja. Aku benci pembunuhan.”

    “Ironi mendengar dari Anjing PD II pembunuh sepertimu.”

    “Itu masa kelamku. Jangan kau ungkit-ungkit. Kau tahu kan, aku sudah tobat.”

    “Ya.. ya.. any way Pernahkah kau tahu tentang inception?” kata Sherlock kemudian menyeruput kopinya.

    Inception?”

    Inception itu adalah suatu aksi hipnotis. Suatu aksi memasukkan pola pikir mimpi ke dalam korbanmu. Sehingga korbanmu berpikir, bahwa dia ingin melakukan sesuatu, atau mencintai sesuatu yang terdorong dari dalam keinginannya sendiri, bukan atas paksaan pikiran orang lain.”

    “Wad? Apa pula itu?” tanya Will bingung.

    “Setelah mendengarnya ceritanya si Bubu. Aku jadi curiga pelakunya adalah orang lain..”

    “Pelaku apa maksudmu?”

    “Pembunuh dari kasus rabbit killer. Memangnya aku membahas apa lagi? Deduksiku pelakunya anakmu.”

    “Anakku yang baik?”

    “Itu yang tampak di permukaan.”

    “Hah? Logis.. Logis yang kau omongkan?” tanya Will. Dahinya mengkerut heran tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Sherlock.

    Sherlock tidak mengindahkan kebingungan Will, dia terus bertanya padanya, “Coba pikirkan. Mengapa di awal, kedua tangannya Bubu dipegang oleh logis?”

    “Tentu karena Bubu sahabatnya, memangnya tidak boleh?”

    “Mereka sama-sama anak SMA Permata sari Will. Sejak kapan ada kebiasaan sahabat pegangan tangan seperti itu? Itu karena Logis saat itu sedang menghipnotisnya dengan teknik sentuhan. Dia Menanamkan sebuah mimpi ‘mata di balas mata’. Dia memanfaatkan kebencian tebu.”

    Mata will menajam, dia akhirnya mengerti maksud Sherlock mengundangnya ke sini.

    “Ou.. ou.. aku mengerti. Jangan bercanda Sher. Aku tidak suka candaan kotor seperti ini,” kata Will. Dia menggerak-gerakkan kedua jari telunjuknya di depan Sherlock.

    “Yang bercanda siapa? Kamu?” kata Sherlock heran.

    “Jadi sekarang kau mencurigai anakku?” kata Will, gaya bicaranya congkak.

    “Ou.. janganlah skeptis seperti ini Will,” kata Sherlock menjauhkan tubuhnya dari meja.

    “Cukup candaanmu. Aku memang tahu kau sering memutar balikkan fakta. Tapi jangan anakku. Dia bukanlah penjahat. Dia bisa hipnotis? Sejak kapan! Kau sinting Sher. Tidak ada kasus sama sekali di kompleksku membuat otakmu jadi konslet,” kata Will, nada suaranya meninggi.

    “Ok, Maaf. Dengarkan deduksiku ini hingga akhir. Kalau kau potong setengah-setengah, yah tentu akan jadi aneh. Kau masih banyak waktu luangkan? Nanti akan kutraktir makan, … atau kau tidak berani adu pikir denganku?”

    “Hmf.. tidak berani? Kalau begitu, aku tantang kau yakinkan aku. Kau pasti akan membual, berputar-putar seperti biasa. Aku tidak akan percaya.”

    “Berarti, benar.. kau terima tantanganku?”

    “Asal kau jangan cela anakku dengan kata-kata kasar, kurasa aku masih bisa dengar deduksimu.”

    “Ok.. lanjut. Setelah Bubu pulang, dia mendapat perasaan euphoria di rumah. Dia depresi berat tanpa alasan yang jelas bukan? Coba kau pikirkan, seorang manusia yang sudah belasan tahun dicaci maki dan tidak depresi. Kenapa malam itu dia bisa depresi berat dengan tiba-tiba?”

    “…” Will berusaha menerka, tapi tidak ada pikiran yang muncul dalam benaknya.

    “Karena benih phoenix yang di tanam Logis telah merekah.”

    “Itu pikiranmu. Sotoy. Dasar Bubu memang karakteristiknya anak yang tidak stabil. Makanya dia masuk rumah sakit jiwa!”

    “Aku kenal Bubu,” kata Sherlock sambil menyeruput kopinya sekali lagi hingga habis, “sebelum ini, caci maki yang dia dengar hanya dianggap angin lalu.”

    “Nah itu pikiranmu lagi kan? Siapa tau selama ini Bubu sebenarnya sakit hati. Tidak kelihatan di permukaan karena dia ingin selalu tampil ceria.”

    Sherlock kehabisan kata. Dia terdiam melihat Will yang sudah menolak terang-terangan seluruh perkataannya.

    “Sepertinya aku harus menjelaskanmu terlebih dahulu alasan dasar mengapa aku sangat tertarik dengan kasus ini,” kata Sherlock. Dia lalu mengambil kertas dan mencoret-coret untuk menjelaskannya pada Will.

    “Kau tahu karakteristik DID? Gangguan jiwa ini adalah double personality yang biasa terjadi karena depresi berat. Bertahun-tahun aku menangkap penjahat dengan DID, tapi tidak pernah kasusnya seperti ini.
    Menurut kronologisnya, Bubu menjadi Hitem saat dia tidur, dan Hitemlah yang membunuh semua anak di kompleks kita. Asal kau tahu, DID tidak pernah seperti itu Will. DID itu aktif kapan saja di siang hari. Tidak saat orang tidur dalam mimpi. Baik Bubu dan Hitem, dua-duanya butuh tidur. Jika Bubu menangkap Jono di malam pertama, artinya dia kurang tidur. Mengapa keesokan harinya dia bisa datang dengan wajah cerah dan berkata kalau dia tidur nyenyak? Dia memang tidur nyenyak malam itu! Lalu terjadi penculikan demi penculikan, berturut-turut kau lupa? Sampai kau buat ronda keliling kompleks. Kalau Bubu setiap malam bangun, maka saat datang ke sekolah, wajahnya akan tampak ngantuk seperti mayat hidup.”

    Dahi Will mengkerut. Ada benarnya juga perkataan Sherlock.

    “Karakteristik yang kedua, DID akan membuat efek disorientasi waktu tiap kali ganti karakter. Tapi pada Bubu, hanya terjadi sekali, aneh kan?”

    “Kalau dipikir-pikir memang aneh juga,” kata Will sambil merengutkan dagunya.

    “Ok, misalkan Bubu tidak bersalah. Penjahatnya kan bisa siapa saja? Kenapa harus anakku? Darimana anakku tahu apa saja yang dimimpikan oleh Bubu? Bagaimana penyiksaan dan..”

    “Logis memang tidak tahu bagaimana pastinya mimpi Bubu. Tapi dia tahu siapa saja yang diimpikannya. Dia yang menghipnotis, memberikan target korban siapa saja untuk dibunuh dalam mimpinya Bubu.” Sherlock memotong perkataan Will agar dia tidak berpikir lebih lanjut.

    “Ingat apa yang dikatakan satpam Peri? Semua korban adalah orang yang dikenal Bubu, tapi masih satu sekolah sehingga Logis pun juga kenal. Kau lupa perkataannya Logis saat itu? ‘Darimana kau tahu si Plitung tidak masuk, dia beda kelas dengan kita?’ Tidakkah kau merasa aneh? Mengapa Logis lebih tau Plitung gak masuk? Padahal Logis juga sekelas dengan Bubu!” kata Sherlock menekankan suaranya seperti seorang jaksa yang menuntut keadilan pada hakim.

    “Sudah cukup!” Will menggebrak meja kedai. “Semua itu hanya deduksimu belaka. Ini namanya penghinaan! Kau menghina anakku. Kau ingin mencuci otakku? Tidak akan!”
    Sherlock yang bobotnya hanya setengahnya Will harus kaget luar kepalang begitu melihat Will berdiri. Mendadak terjadi perubahan perilaku Will begitu Sherlock menyentuh nama anaknya. Will lalu membalikkan badannya, ingin keluar dari Bar.

    “Ya pergi lah sana, manusia memang hanya ingin tahu apa yang disukainya. Menutup mata dari kebenaran, dasar pengecut.”

    Dengan gerakan yang sangat luwes, padahal berbadan besar, Will berbalik dan berteriak, “Jangan bilang aku pengecut Sherlock!”

    Kepalan tangannya yang besar dengan gampangnya meraih kerah Sherlock dan menggantungnya ke udara hingga Sherlock susah bernafas.

    “Aku yang selalu menerjang badai, ikut perang dunia ke dua dan dapat penghargaan bintang lima dari jenderal, dibandingkan kau yang hanya seorang detektip kampungan.. berani bilang aku pengecut?”

    Sherlock yang tergantung ketakutan berusaha berkata dengan mulut gemetaran, “Kalau kau bukan pengecut, mengapa kau tidak mendengarkan penjelasanku sampai akhir Will? Dengarkanlah kata sahabat detektif kampungan ini... Demi persahabatan kita..”

    Will menggeram layaknya Hulk, lalu melepaskan genggaman tangannya yang besar hingga Sherlock jatuh ke tempat duduknya. Will kemudian duduk, dengan mata melotot dan telunjuk menunjuk Sherlock, ia berkata “Kalau kau bukan orang yang menyelamatkan hidupku saat itu, aku sudah melempar kau keluar kedai lewat jendela.”

    “Haha..” tawa Sherlock garing dipaksakan. Padahal jantungnya sangat menderu ketakutan.

    Mereka berdua akhirnya terdiam. Will tampak menggerutu sendiri. Sherlock sebaliknya, berpikir, bagaimana menjelaskan pikirannya dengan cara sehalus mungkin.

    “Kutahu kau benar-benar contoh ayah yang baik. Tahan amarahmu will. Aku akan mentraktir apapun makanan kesukaanmu setelah ini. Aku janji okeh..?” katanya tersenyum, tapi hanya dibalas Will dengan kerutan kekesalan di wajahnya.

    “Begini saja. Aku akan mengganti nama Logis, menjadi Lodis. Anggaplah Lodis bukan anakmu. Jadi kau tak harus malu jika Lodis salah. Bagaimana?”
    Raut muka Will perlahan-lahan sedikit mengendur.

    “Itu.. aku bisa.”

    “Hm.. sampai di mana tadi, oh yeah.. Lodis yang berkata Plitung. Setelah itu Lodis langsung percaya buta dengan mimpi Bubu. Dengan tergesa-gesa melemparkan ide untuk bertemu malamnya, hari itu juga. Aku merasa aneh Lodis yang pintar, langsung percaya begitu saja dengan mimpi anak kecil umur 15 tahun.”

    “Tidak ada yang aneh dengan Lodis. Dia mempercayai Bubu karena Bubu adalah sahabatnya,” sanggah Will.

    “Lalu kenapa kau tidak percaya aku, Will?”

    Will tertangkap basah, kali ini dia tidak menggerutu. Dia hanya bergumam “Tidak.. aku..” dan tidak berkata lagi.

    “Kecuali.. dia percaya pada Bubu memang ada maksudnya, Will. Dia ingin membuktikan pada Bubu bahwa tidak ada apa-apa di sana. Kalau tidak, mungkin suatu malam Bubu akan menyelinap sendiri dan malah bisa memergoki aksinya yang binal itu.”

    “Tapi mengapa Bubu bisa bermimpi tempat itu. Lodis memberitahunya? Senjata makan tuan. Semestinya Lodis tidak pernah memberitahu tempat latar mimpinya.”

    “Ya.. ada kesalahan dengan hipnotisnya Lodis. Dia semestinya bermimpi di malam terakhir, saat semua tujuan kelar, tapi kurasa karena otaknya Bubu bodoh, mimpinya keluar dari malam pertama. Tidak ada yang pasti dengan alam hipnotis Will.”

    “Aku tak mengerti. Tujuan kelar?” Will mengulangi perkataan Sherlock dengan nada heran.

    “Makanya biarkan aku menjelaskan dulu semuanya padamu, oke? Kau potong-potong jadi tidak mengerti..” kata Sherlock sambil menghela nafasnya.

    Sherlock merapikan tempat duduknya terlebih dahulu, lalu lanjut berdeduksi, “Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Semestinya kalau Lodis bukan penjahatnya, dia akan menunggui Bubu keluar dari rumahnya dan jalan bersama-sama ke lapangan bukan? Tapi kenyataannya, Lodis datang lebih dulu ketempat kejadian, mensetting tempat agar tidak ketahuan, membersihkan gudang dan mengkuncinya. Begitu Bubu datang, Bubu serta merta percaya gudang itu terkunci.”

    “Dan kau tahu mengapa High hanya melihat Bubu?” Sherlock bertanya langsung pada Will meminta jawaban.

    Will memilin-milin sedotan minumannya di tangannya. Dia berpikir sesaat, lalu menjawab, “Karena High sudah terbiasa melihat Lodis di lapangan. Malam itu, dia berhenti karena melihat ada orang baru yaitu Bubu.”

    Exactly,” kata Sherlock senang menjentikkan jemarinya, “Aku senang kalau kau seperti ini. Lalu kau tahu mengapa Lodis menolak satu jaket berpelukan dengan Bubu?”

    “Karena dia yang telah membersihkan gudang, takut tercium bau darah, atau paling tidak bau pembersih darah, oleh hidung bubu.”

    “Nah benar.. pintar kau. Kurasa kau sudah mulai menikmati permainanku.”

    “Grr..” gerutu Will kesal, “permainan anakku tepatnya.”

    Sherlock melanjutkan penjelasannya, “Lodis juga tahu kapan setting mimpi itu terjadi, yaitu jam satu sampai jam dua. Dia sangat yakin sehingga meminta Bubu pulang dengannya jam empat pagi. Padahal, memangnya Bubu pernah memberi tahu kapan mimpinya terjadi? Bubu sendiri tidak yakin, bagaimana kau bisa yakin mimpimu terjadi jam berapa, kau sedang tidur!”

    “…” Will terdiam. Mau tidak mau, dia memikirkan pola pikir Sherlock. Pikiran Sherlock terlalu detail hanya untuk deduksi semata. Jangan-jangan pelakunya memang Logis, anaknya.

    “Tiga malam kemudian, Lodis sudah menyelesaikan tujuannya dan bermaksud menghentikan semua ini. Kurasa, tidak perlu lagi kujelaskan lagi sandiwara Lodis padamu Will.
    Lalu begitu Lodis esoknya mendadak hilang, di sini aku melihat terjadi inkosistenan pola pikir Bubu. Jika memang Bubu suka Logis, kenapa malah menculiknya?”

    “Makanya Hitem kan tidak bisa membunuh Logis, dia hanya menyekapnya,”

    “Yup, benar sekali. Tapi tetap saja. Inkosisten. Kecuali jika Lodis sendiri yang pura-pura menghilang. Apalagi setelah Bubu menceritakan, saat dia masuk gudang, ada tangan di atas pintu kayu. Waddafuk. Aku tertawa saat mendengar ceritanya Bubu. Sudah jelas banget, gudang itu adalah scene yang dipersiapkan oleh seseorang. Seperti menaruh keju di atas perangkap tikus!” Sherlock tersenyum layaknya seorang pembunuh tikus.

    Will menggeleng-gelengkan kepalanya. Memikirkan anaknya tercela membuat perutnya terasa mual.

    “Tapi tetap saja Sher. Itu hanya deduksi, Bubu memang membenci semua korbannya, dan setelah diinterogasi, memang anak-anak itu yang menganggunya. Korban-korbannya pun ditusuk sate seperti kelinci. Logis tidak mungkin melakukannya seseram itu. Dia tidak punya motif.”

    Akhirnya Will mengeluarkan kata saktinya, “Motif”.

    “Kau sudah mengunjungi gudangnya?” Tanya Sherlock.

    “Mana mau aku masuk ke tempat terkutuk itu.”

    “Ada bekas-bekas penelitian di sana. Kalau motifnya hanya ingin menghukum anak-anak, anak yang mati di meja dan kursi percobaan? Kenapa ada bekas-bekas suntikan penelitian? Aku sudah melihat-lihat dan menemukan beberapa manusia buatan gagal di gudang. Gudang itu adalah lab percobaan. Kau yakin? Bubu punya motif untuk melakukan percobaan pembuatan manusia?”

    “Memang Lodis sendiri punya motif?”

    “Lihat, aku diam-diam mencari salinan rapot di sekolah. Nilai Biologis Logis sempurna sepuluh dalam 4 semester terakhir. Dia terobsesi menjadi ilmuan biologis, semua temannya tahu itu.”

    “Kau..” kata Will heran.
    Its just doesn’t make sense at all. Kau tidak bisa menjudge anakku seperti itu hanya karena nilai biologisnya tinggi. Semua perkataanmu ini hanya dugaan. Kenapa Bubu yang harus menjadi korban hipnotisnya? Kenapa Bubu? Kan bisa orang lain yang lebih tidak terkenal di kompleks perumahan ini. Yang lebih jahat, yang tidak ingin menyerahkan diri pada polisi, atau tidak perlu menghipnotis orang.. justru dia tidak ketahuan.”

    “Hah..?” kata Sherlock keheranan. “Kalau tidak ada yang di hipnotis, maka tidak akan ada yang jadi kambing hitam. Kasus pembunuhan sebesar itu cepat atau lambat akan ketahuan. Memang dari awal dia ingin menghipnotis seseorang agar mengaku.”

    “Jadi benar memang anakku jahat? Gila kao! Bapak macam apa aku, percaya anakku orang jahat.”

    “Pikirkan saja. Kau tidak merasa aneh, saat pengakuan anakmu yang malah melindungi Bubu dengan berkata Hitem pelakunya? Setelah dia mengetahui Bubu membunuh sebegitu banyak orang? Kau tidak merasa anakmu menakutkan?”

    Will mendadak takut, benar juga. Bagaimana bisa Logis tidak melaporkan pelaku pembunuhan 35 orang anak tidak berdosa. Normalnya semua anak seumurnya akan gemetaran ketakutan. Tapi perilakunya malam itu setelah pulang, dia hanya bersiul-siul santai, sambil melempar-lempar tangannya sendiri ke udara. Bahkan sempat-sempatnya menggambar indah helicopter berbaling-bunga.
    Mau dilihat dari sudut pandang mana pun, memang jelas tingkah laku Logis mencurigakan dan butuh investigasi. Gigi Will menggeretak. Tangannya gemetar tidak terima.

    “Jadi kau akan menangkap anakku? Buah hatiku hah!” Teriaknya. Tangannya yang gempal mengangkat meja di antara mereka dan melemparkannya seperti melempar bola ke seberang bar.

    “Will adalah anakku. Dia adalah darah dagingku. Dia tidak mungkin membunuh. Aku tidak percaya semua deduksi palsumu.”

    Sherlock hanya menyalakan pipa rokoknya dengan santai. Asapnya mengepul-ngepul membentuk huruf O di udara. Mukanya pasrah jika digampar dan dipukul oleh Will sang juara pegulat. Wajahnya damai tak berhasrat.

    “…” muka Will menggelora, berusaha menolak, tidak terima, denial atas konflik yang terjadi di pikirannya. Dia sudah mengangkat tangannya untuk memukul Sherlock, tapi tangannya tak kunjung memukul, terhenti di udara.

    Tidak Sherlock. Sherlock sahabatnya yang selalu benar, dan selalu membahayakan nyawanya untuk menolongnya.
    Tangannya gemetar hebat. Akhirnya dia memutuskan memukul dinding. Hingga dinding kayu itu berlobang. Setelah amarahnya menurun, mulutnya gemetar seakan setuju dengan perkataan Sherlock.

    “Aku tidak akan menangkapnya Will. Dia anakmu, dan aku menghormati persahabatanku denganmu.”

    “Oh Sher.. aku tidak percaya anakku pelakunya. Tapi.. tapi..” kata Will, logikanya mengambil alih dan mengatakan anaknya adalah pelakunya. Dirinya seakan-akan menahan tangis.
    Membayangkan anaknya adalah seorang sosok monster bengis yang bisa menerkam sewaktu-waktu, penjahat mastermind yang bisa membuat semua orang menjadi budaknya, membuat Will jadi ketakutan. Entah jika pulang nanti, mata anaknya akan berubah jadi merah, lalu membunuhnya, memutilasi, dan tubuhnya akan digantung di atas atap.

    “Sejak kapan? Darimana awalnya kau curiga dengan anakku?”

    “Sejak aku mendengar penjelasan Bubu. bahwa Logis langsung tahu penyakit Bubu DID. Kok hebat? Bisa langsung tahu dan mempersiapkan kaca. Tentu saja, karena Hitem adalah hasil kreasi Logis. Hitem adalah benih phoenix yang ditanam di pikiran bubu yang telah bangkit. Aku kenal sekali penyakit ini karena salah satu sahabatku juga punya penyakit ini. Aku sudah konsultasi dengannya, dan dia berkata tidak mungkin DID segampang itu didiagnosa oleh anak SMA seumuran logis.”

    “Siapa sahabatmu yang..”

    “Giande. Dia selalu menyebut dirinya dengan Gigi dan Ande kan?”

    Will menutup matanya.

    “Bagaimana kalau setelah aku pulang nanti, dia menghipnotis lalu membunuhku? Dia telah membunuh teman-teman polisiku yang badannya jauh lebih kekar dibanding aku. Oh.. Aku belum pernah mendengarkan kasus menyeramkan sejak 'Hannibal case'. Dia lebih mengerikan.”

    “Ya.. Tapi sebenarnya Logis tidak jahat-jahat amat.”

    Will mendekatkan wajahnya ingin tahu.

    “Logis sangat mencintai Bubu.”

    “HAH?” Will terperangah, mendadak dia mendengar kata cinta.

    “Tak kah kau memperhatikan, semua korbannya adalah pengganggu Bubu? Kau tahu bagaimana perasaan seorang pria, dikuasai rasa cemburu yang kesumat, karena kekasihnya hampir tiap hari diganggu oleh pria lain? Bayangkan saja pacarmu di.. –ah aku gak usah menjelaskannya. Kau pria Will. Kau pasti tahu itu. Sudah omongan basi di kalangan duniaku orang membunuh karena cemburu.”

    “Anakku mencintai Bubu.. tapi itu berarti.. semuanya ini..”

    “Ya. Dia rela memotong tangannya. Dia bahkan tidak tega mengirimkan Bubu ke rumah sakit jiwa. Makanya dia berbohong di depanku.”

    “Padahal dia tahu, pengadilan tidak akan memutuskan bersalah orang yang sakit jiwa. Itu adalah perlindungan hukum. Logis tahu, setelah Bubu dikirimkan ke rumah sakit jiwa, dia akan cepat dikembalikan ke orang tuanya karena memang Bubu tidak pernah sakit apapun.”

    “Itulah mengapa, dia mengarang Hitem adalah pelakunya. Sepertinya dia tidak mampu menjalankan skenarionya sendiri. Bayangkan, Dia menggambar budak bercula 1 di depanku. Mana ada wajah seperti itu.”

    “…” Will terdiam. Mendengar anaknya tidak seperti seorang psikopat yang buta tidak mengenal cinta, membuat ketakutan hatinya sedikit luntur. Mereka berdua memang dari kecil sudah selengket perangko.

    See..? anakmu sangat brilian. Seharusnya kau bangga.”

    “Dia menyingkirkan semua pesaing yang menyukai Bubu.”

    “Lalu dia mendapatkan cintanya Bubu.”

    “Bahkan merubah karakter Bubu yang lama menjadi sosok yang baru. Lebih pintar, lebih resisten, dan tidak polos. Aku belum pernah melihat orang sehebat dirinya. Memikirkan segala arah cabang, logika, pola pikir, dan konsekuensi. Dia bagai ahli strategi,” kata Sherlock senang.

    “Aku selalu tidak habis pikir denganmu Sher. Kau bisa tahu sangat detail.. kenapa?”

    Sherlock berdiri. Dia merapikan jas yang dipakainya dan berkata, “Aku cuman memakai pepatah itu.. ‘Jika kau merasa ditipu, dan penjahatnya tidak bisa ditemukan. Maka pikirkanlah orang yang ..”

    “paling banyak mendapatkan keuntungan dari kondisimu maka dia adalah penjahatnya’,” jawab Will memotong dan melanjutkan perkataannya.

    “Ayo will kutraktir makan. Jangan yang mahal-mahal ya.” Sherlock menepuk pundak will yang tegap. Dengan wajah sedih, Will berdiri mengikuti langkah Sherlock keluar Bar.

    Sherlock dengan santainya menguak semua misteri ini seperti membalikkan sebelah tangannya.

    Bahkan, wajahnya sangat senang.

    Sesungguhnya Sherlock, adalah orang kedua yang paling menakutkan di kompleks perumahan Permata sari.

    1 jam kemudian, pemilik Bar bangun, dan kaget mejanya tersangkut di atas gantungan botol.

    “Sialan, dua orang itu. Lupa bayar tagihan lagi!”

    by Sherlock1524 and Willarso


    ===========================

    Pengen gabungin cerita aja di sini.

    Biar gak tercerai-berai
     
    Last edited: Jan 1, 2014
  18. Vaporic M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 30, 2012
    Messages:
    1,156
    Trophy Points:
    112
    Ratings:
    +486 / -9
    wasem keren banget :matabelo:
    dapet banget atmosfirnya :matabelo:
     
  19. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    makasih udah mampir bang dan mau baca :makasih-g:
     
  20. Vaporic M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 30, 2012
    Messages:
    1,156
    Trophy Points:
    112
    Ratings:
    +486 / -9
    ah jadi malu :malu:
    teknik penulisanmu lumayan juga, pasti dah lama nulis nih :haha:
     
  21. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    enda.. ane masi newbie kok.

    ini cerpen ke dua buatan ane.

    semua gara-gara orang-orang di sini ebat-ebat kk.. ane cuman menimba ilmu dari mereka :XD:

    untuk membalas jasa mereka.. ane mengabadikannya jadi tokoh-tokoh di sini :gotdrink:
     
    • Like Like x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.