1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen When will I see you again?

Discussion in 'Fiction' started by nubit, Dec 17, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. nubit Members

    Offline

    Joined:
    Nov 2, 2010
    Messages:
    9
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +4 / -0
    Belum Ada Judul

    Masbro, sis, gan, ndan.. izin share ya, mau belajar nulis, mudah2an bisa terus nyambung... mohon kritik dan saran..

    Senja Jakarta

    Sore itu angin tampak malas berhembus. Desisnya tak mampu membelai derai peluh para penumpang bus kota tua berlabel Kopaja yang terbilang penuh. Beberapa orang, mungkin mereka pendatang baru di kota ini, berkeluh kesah karena terjebak dalam kemacetan panjang saat tubuh mereka sudah begitu lelah.

    "huh macet banget ada apa sih ya." keluh seorang Ibu yang duduk di pinggir jendela.

    Namun tidak demikian dengan Dewa, yang nampak tenang bergelantungan di sepertiga badan bis bagian belakang, menghadap jendela. Pemuda itu tetap terlihat nyaman dengan t-shirt putih bergambar kodok hijau dibagian punggung. Tas ransel denim mengantung di depan menutupi dada hingga perut agar tidak mengganggu penumpang lain yang ada dibelakang, selain tentu saja menghidari hal-hal yang tidak diinginkan. Mendengar Ibu itu mengeluh, Dewa tersenyum kecil sambil berserapah dalam hati

    "Welcome to Jakarta."

    Jakarta macet itu biasa, tapi bagi Dewa ada yang luar biasa sore itu. Saat sesosok anggun begitu sederhana naik lalu menyelinap untuk kemudian berdiri tepat di samping Dewa. Mereka menghadap kearah yang sama, yakni sisi jendela kiri bus, tak jauh dari pintu belakang, menembus ke deretan gedung perkantoran sepanjang jalan protokol. Matanya yang begitu teduh sejenak membuat Dewa melupakan harapan pada angin sepoi-sepoi ataupun cairnya kebekuan antrian kendaraan yang berlomba untuk pulang.

    Kopaja terus merangsek pelan dan sedikit ugal-ugalan. Sang supir memanfaatkan setiap celah sekecil apapun untuk bisa berada di depan, berusaha menjauh dari para pesaingnya demi setoran.

    Sesekali Dewa mencuri pandang dan berhasil lolos dengan aman tanpa tertangkap oleh radar si empunya paras ayu itu. Dari cara berpakaiannya, Dewa bisa langsung menafsirkan Cewek itu pegawai kantoran. Rambutnya sebahu, warna coklat keemasan, dan lurus tergerai. Bibir yang teruntai mungil namun tetap sexy berpadu serasi dengan hidung jambu yang memerah. Kalau tinggi Dewa 170 cm, mungkin dia sekitar 160 cm, langsing dan semampai. Dewa sangat terpukau oleh matanya yang begitu teduh laksana pengayom yang selalu bisa mengerti. Bersanding cantik dengan bulu mata nan lentik serta alis bak lukisan batik. Alunan dentak jantung di balik tas ransel denim itu pun tak henti memainkan irama decak kagum.

    Setelah beberapa kali sukses, dengan “pencurian” nya, yang terakhir ini Dewa gagal total alias gatot. Seperti sadar diperhatikan, Cewek tanpa make-up sedikit pun itu menoleh kearah Dewa yang kedapatan melirik wajahnya. Bukannya pasang muka judes dia malah melemparkan senyum simpul manis penuh pesona. Berusaha menutupi rasa malu, Dewa segera membalas senyuman itu dengan pasang tampang sok “cool” ala sinema dan bergegas membuang pandangannya ke arah jendela kopaja, mencoba lari dan bersembunyi. Cewek itu pun melanjutkan lamunannya, entah itu apa, hanya dia yang tau.

    Laju Kopaja mulai sedikit lancar. Dewa kembali mengamati wajah-wajah pekerja kantoran yang berjejer di pinggir jalan, menunggu jemputan ataupun menanti bus yang satu jurusan. Tergambar jelas betapa beratnya tekanan hidup kaum sub-urban yang sejak adzan subuh tadi sudah mulai memadati metropolitan. Cepat sampai rumah, mungkin itu satu-satunya keinginan di benak mereka.
    Saat kedua bola mata nya sedang sibuk berpindah dari wajah yang satu ke wajah lainya, Dewa mendengar suara lembut tapi begitu jelas yang sontak memacu detak jantungnya lebih cepat lagi. Kali ini iramanya lebih mirip dentuman bass house music.

    “Kenapa dari tadi ngeliatin aku terus?” tanya Cewek itu.

    Dewa benar-benar di landa kegugupan lalu menoleh kearah suara itu. Dia mendapati Cewek itu tetap memandang kearah jendela. Setelah sempat ragu, Dewa dengan cepat memberanikan diri untuk menjawab dengan setenang mungkin.

    “Eeh nggak ko, kebetulan aja aku nengok kearah kamu, habis bosen liatin jalanan macet.”

    Cewek itu hanya tersenyum, namun tetap arah pandangannya tak berubah. Lalu mereka berdua terdiam sejenak.

    “Kamu pasti lagi bosen banget ya, sampe ngeliatin aku 5 kali, sejak aku naik.” Kembali suara Cewek itu memecah bukit es diantara mereka.

    Dewa benar-benar tertangkap basah. Dewa sendiri tak menghitung brapa kali dia memperhatikannya. Tapi belum sempat membalas, Cewek tersebut nampak tergesa berjalan kearah pintu belakang bus, memaksa Dewa membusurkan punggungnya, lalu dia lewat begitu saja dan meminta kondektur untuk berhenti.

    “kiri bang” lembut suaranya pada sang kondektur.

    Dewa hanya bisa terdiam melihat Cewek itu turun dan berjalan menepi. Dari jendela bus yang kusam, terlihat jelas dia berdiri seperti menanti seseorang. Mata Dewa tak sedetik pun melewatkan sosok eloknya yang akan segera menghilang itu. Namun, tiba-tiba tepat sebelum Kopaja kembali melaju, Dewa di kejutkan oleh sebuah bahasa isyarat dari sang Cewek. Dia melihat kearah Dewa sambil tersenyum, lalu jari tangan kanannya membentuk huruf “C” dan “U”. Dewa terdiam melihatnya seperti kesambet seiton. Saat tersadar untuk membalasnya, Kopaja sudah melaju meninggalkan pesona yang mencuri perhatiannya sore itu.

    Sebernarnya ada suara-suara dalam hati Dewa yang menggiringnya untuk melompat keluar bus lalu berlari kembali untuk menyapa Cewek tadi. Tapi itu bukan Dewa, tingkat “kepedean” nya masih pada level “cemen” jika meminjam kata anak gaul atau ABG, or whatever you called them. Sejak dulu dia tak pernah memiliki nyali jika berhadapan dengan kaum hawa.

    Akhirnya sepanjang perjalanan, tatapan dan senyum itu terus terbayang-bayang di benak Dewa, bahkan menjelma menjadi khayalan liar yang setia menemaninya pulang melewati senja Jakarta dan hiruk-pikuknya. Tanpa sadar sebuah kalimat pengharapan keluar dari bibirnya yang mengering, lirih nyaris tanpa suara.

    “When will I see you again?”

    Da’i Sejuta Umat

    Seorang gadis berparas ayu, dengan rambut sebahu di jepit tak beraturan, nampak muram, duduk sendiri bermandi temaram lampu kamarnya. Meda menyandarkan punggungnya pada salah satu sisi tempat tidurnya, kedua kakinya berselonjor lurus namun terlihat lunglai. Kepalanya terkadang disandarkan ke kasur sehingga dengan jelas ia bisa menatap langit-langit kamarnya. Tiba-tiba dia berdiri, lalu melangkah menuju jendela kamarnya yang masih terbuka. Diarahkannya pandangan itu ke langit malam, namun sepertinya ia tak menemukan apa yang di harapkannya, wajahnya bertambah muram.

    Yahh, malam itu langit sangat hitam, tak satu pun bintang terlihat, setinggi mata memandang hanya terlihat awan kelam. Sesaat iya menatap laptop yang masih menyala di atas meja, di sudut kamarnya. Seperti seorang novelist yang menemukan ending untuk novelnya, dalam sekejap dia sudah duduk di hadapan laptopnya. Mouse pointer ditujukan ke sebuah icon bola biru berbalut rubah api, “KLIK” dunia ditangan Meda. Segera ia mengetikan alamat website yang dituju - mail.yahoo.com.

    Jikalau Almarhum Zainudin MZ mendapat julukan Da’i sejuta umat, mungkin layanan e-mail gratis dari yahoo pantas menyandang predikat e-mail sejuta umat, siapa yang tak kenal yahoo, mungkin hanya orang-orang yang tidak bisa menikmati akses internet, entah itu karena biaya internet yang mahal ataupun memang belum kenal apa itu yang namanya internet, layaknya orang pedalaman. Meda mulai sibuk mengetikkan kata demi kata di mulai dari alamat e-mail yang dituju hingga isi dari surat elektronik itu sendiri.

    To : steve85@yahoo.co.id
    Subject : Meet Me Tomorrow

    Ada yang harus aku bicarakan, temui aku di Yellow Paradise, besok jam 1 siang.

    Blue Butterfly

    “Klik” email pun terkirim. Meda beranjak dari tempat duduknya, diraihnya handphone di samping laptop kemudian melangkah menuju tempat tidur dengan raut wajah mirip orang tersesat, kebingungan, tak mengerti arah tujuan. Setelah sesaat “bergumul” dengan HP nya, ia pun terlelap di dekap dewi malam.

    Ruang Kerja Novelist Pemula

    “You’ve got 1 new mail” begitu bunyi message alert di pojok kanan bawah layar monitor laptop berwarna hijau dan berukuran sekitar 14 inch. Terlalu sibuk dengan tugas akhir yang sudah mencapai BAB III, menyita konsentrasi Dewa pada program word processing di hadapannya, bajakan atau bukan hanya Tuhan yang tau. Bunyi gemeletuk keyboard menjadikan suasana di kamar yang terbilang kecil dan dipenuh dengan buku-buku tebal berserakan – ditempat tidur, lantai, dan meja – layaknya ruang kerja seorang novelist pemula dengan berbagai referensi novel sebagai sumber inspirasinya. New e-mail alert pun menghilang, terabaikan, seiring jari-jemari Dewa yang terus menari di atas keyboard serta sesekali menyambar sebuah cangkir putih bergambar kodok.
    Dewa kerap teringat akan moment indah di Kopaja sore tadi. Berbagai skenario pertemuan mereka berikutnya spontan muncul dan berselancar mulus mengiris ombak-ombak khayalan yang menggulung biru di benaknya. Beberapa ada yang cukup menggelitik hingga mampu mengaktifkan saraf-saraf senyum wajahnya yang terbilang tampan dan karismatik. Namun jadwal sidang yang kurang dari dua bulan lagi selalu berhasil mengusik lamunannya itu. Dia pun kembali fokus pada layar laptopnya.
    Setelah hampir tiga jam matanya berkencan dengan layar monitor, akhirnya mereka mulai meronta menuntut hak nya. Bahasa tubuh Dewa juga memperlihatkan jika dia sudah letih dan tidak bisa lagi menahan kantuknya. Dia pun beranjak dari tempat duduk, laptop dibiarkan menyala, lalu menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur ukuran single, setelah sebelumnya menyingkirkan buku-buku yang tersebar di atas kasurnya. Apa rasanya terlempar dari atas kasur ke lantai?, hanya buku-buku itu yang tau. Tak lama Dewa sudah berada di alam lain, sebuah alam yang kadang kita ingin menetap disana selamanya namun tak jarang kita ingin segera melupakannya.

    Selamat datang Pagi, Goodbye mimpi

    “Kring… Kring…“ bunyi jam waker bedering nyaring, memecah mimpi menyambut mentari pagi yang hangat. Tidak sampai tiga kali berdering, tangan Dewa menyambarnya penuh kesal, “ceklek” waker itu pun bungkam, layaknya tersangka koruptor dibrondong pertanyaan oleh wartawan. Dewa memaksakan tubuhnya bangkit dari alam mimpi kembali ke kehidupan nyata yang telah menanti. Jam waker menunjukan pukul 08.00 WID (Waktu Indonesia bagian Dewa), yang artinya jam di kampusnya masih menunjukan pukul 07.00 WIB. Hari ini dia berencana untuk pergi ke perpustakaan mencari bahan tambahan untuk tugas akhirnya.
    Setelah sejenak duduk berusaha memanggil separuh sukma yang berterbangan untuk kembali pada raganya, Dewa segera beranjak dari tempat tidur lalu mengambil setelan pakaian kebangsaan untuk hari ini dari sebuah lemari kayu tua yang penuh tempelan stiker kodok. Seperti biasa, hari ini, kemarin, lusa nanti, cukup dengan t-shirt gambar kodok dan blue jeans.
    Dewa memang sangat menggilai semua hal yang berbau amphibi ini. Kodok telah menjadi bagian dari hidupnya. Dia sangat terinspirasi oleh kodok. Hewan yang satu ini mampu memberi philosopi hidup yang di pegang teguh oleh Dewa. Salah satunya adalah metamorphosis. Dewa berkeyakinan orang hidup itu harus terus berubah. Tapi perubahan juga harus dilakukan secara bertahap dan untuk melewati semua tahapan itu diperlukan kegigihan dan kesabaran. Dewa selalu beranggapan, kodok yang telah tumbuh dewasa adalah hasil seleksi alam yang luar biasa. Demikian pula dengan kehidupan, yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan akan segera digilas roda zaman.
    Keluar dari kamarnya, dia hanya menemukan Bi Surti sedang berbenah ruang tengah, kedua orang tua nya sudah pergi pagi-pagi sekali, maklum mereka tergolong pegawai negeri teladan di negeri ini.
    “Bi Surti, aku tolong bikinin mie ya, tapi jangan tertalu matang” seru Dewa dengan nada sopan sambil melangkah masuk ke kamar mandi.
    “sip Mas Den, Bibi bikinin yang paling enak nanti” sahut Bi surti menunjukan rasa sayangnya pada anak semata wayang majikannya yang telah dia rawat sejak balita.
    Dewa pun tak membutuhkan waktu yang lama untuk ritual paginya itu. Waktu yang dibutuhkan tak jauh beda dengan waktu yang diperlukan Bi Surti untuk memasak mie instan. Dia bukan tipe mahasiwa yang harus tampil sempurna buat pergi ke kampus. Setelah lengkap berseragam kebangsaan, langsung saja disantapnya mie yang sudah tersaji di meja makan lalu pamitan pada Bi Surti untuk ke pergi ke kampus.
    “Bi aku ke kampus dulu ya.”
    “Itu kunci motornya di samping kulkas Mas Den” jawab Bi Surti setengah berteriak dari arah dapur.
    “Gak Bi, aku naik umum aja” timpal Dewa sambil berlalu.
    Bi surti beranjak dari dapur bermaksud menghampiri Dewa. Namun dia mendapati ruang tengah sudah kosong dan pintu kamar Dewa juga sudah terkunci. Anak majikannya itu sudah berkelebat menghilang.
    “Kok tumben, motornya kan udah jadi?” gumam Bi Surti
    Hari itu Dewa rela kembali bermacetan naik angkutan umum untuk ke kampus sambil mencoba peruntungannya. Yang pasti beruntung dan tertawa bahagia pastinya si “Kodok Ijo”, motor bebek butut milik Dewa yang baru aja selesai turun mesin. Motor tua yang juga dimodif bertema kodok ini mendapat liburan extra tanpa harus berjibaku dengan edannya kemacetan Jakarta.
     
    Last edited: Jul 14, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    heee~, pendek juga.

    untuk ceritanya, lumayan romantis. meskipun deskripsinya kurang banget untuk prota-kunnya. lebih tepatnya dia umurnya berapa. masih sma atau udh level apa gitu.
    soalnya klo nyinggung2 abg kan masih sma mgkin.

    trus untuk tata bahasanya mgkin bisa lebih dirapihin lagi. di kasih paragraf untuk kalimat dialognya dan gak nyambung dengan narasinya. rapi dan mudh untuk dibaca.

    trus, optionalnya di kasih tag spoilernya.
    ceritanya
    kyk gitu.



    terakhir mgkin, ya itu aja kayknya.

    penggambaran ceweknya aku suka :top:
     
  4. nubit Members

    Offline

    Joined:
    Nov 2, 2010
    Messages:
    9
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +4 / -0
    @sherlock1524

    iya pendek, sebenarnya aku pengin nulis novel romantis, baru nemu ide awal ketemuannya aja, aku cut sampe situ buat cerpen.. masalah umur dan detail lainnya aku penginnya di jabarkan secara mengalir gak langsung tumplek di satu bab hehe.. kalo teknis penulisan emang aku blum paham bgt, mungkin editor lebih tau.. hehe... i just write and keep write sblm semua hilang.. hehe.. thx masukannya
     
  5. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    yah, basicnya sih tinggal tekan enter doang aja kok. klo untuk dialog.


    ya kan itu klo dibkin novel. ini kan cerpen. tinggal di kasih keterangan umum aja. soalnya pembaca jadi susah ngebayangin protagonisnya sih klo gitu.
    masak ceweknya dikasih penjelasan mendetil gitu, cowoknya gak. diskriminasi nih.:hihi:


    aku juga lagi belajar nulis cerpen romance sih.
     
  6. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    hem... soal teknik penulisan... sebenarnya penulis harus sama atau kalau perlu lebih tahu daripada editor. Editor sendiri cukup benerin hal-hal yang terlewat dari pengarangnya--kalau editor bahasa.

    Dan di sini... hampir sama kek cerpen sebelumnya. Penulisan masih agak berantakan(paragrafnya pisahin dong ituu...). Ide ceritanya sendiri lumayan menarik. Cuma mungkin diperhatiin lagi penceritaannya gimana. Jangan langsung to the point, tapi tambahin detail-detail, alur, dll biar ceritanya lebih menarik(dan lebih panjang). Jadi ga terkesan kek baca diary orang asing mengenai suatu kejadian di suatu hari. Kalau kenal sih baca diary itu seru, tapi kalau ga kenal ya... masa bodo kan?
     
  7. nubit Members

    Offline

    Joined:
    Nov 2, 2010
    Messages:
    9
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +4 / -0
    hehe iya iya, cowonya malu... hehehe... ok besok diedit deh, ini susah bener pake pad..
     
  8. nubit Members

    Offline

    Joined:
    Nov 2, 2010
    Messages:
    9
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +4 / -0
    thx ya masukannya, i,m just starting to crawl... udah tak tambah tuh meski baru dikit. mudah2 an bisa di lanjut... hehehe
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.