1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Her Journey, His Home

Discussion in 'Fiction' started by merpati98, Nov 6, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Ini project nanowrimo palsu saya. Kenapa palsu? karena cerita ini harusnya udah selesai sebelum nyampe 50k words. Jadi yah... bisa dibilang cuma sekedar orific yang bakalan saya usahain buat beres ditulis bulan November ini. Belum sama editing, dll tapi ya:ngacir: Oh ya... dimohon komentar, kritik, saran dalam bentuk apapun. Mau cabe, kripik pedes, atau permen lolipop juga boleh kok#hihi

    Her Journey, His Home
    temp. title
    Genre: Slice of Life, Romance, semi-Fantasy, Journey​


    Gadis yang tidak bisa kemana-mana, dan anak laki-laki yang selalu pergi entah kemana. Keduanya bertemu, untuk kemudian membuat janji.​


    Chapter List

     
    • Like Like x 3
    Last edited: Nov 14, 2013
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Prolog: Pembuka dari Epilog


    “Aku ingin pulang.”

    Gadis itu tertegun. Menghentikan gerakan pensilnya yang sejak tadi menari lincah di atas kertas, menghentikan kegiatannya menggambar sketsa pemandangan yang terpampang di hadapannya. Matanya yang berwarna cokelat, kemerahan tertimpa sinar matahari senja yang keluar dari layar televisi di hadapannya, kembali terfokus pada video yang sedang ia putar.

    Di dalam kotak berukuran persegi panjang sembilan belas inchi, layar datar, terlihat seorang pemuda berusia sekitar delapan atau sembilan belas tahun. Rambutnya yang panjang seleher, dengan poni menutupi kening yang disisir ke pinggir kanan, tampak berkilau dengan latar matahari di belakang pemuda tersebut. Sore. Itu adalah kesimpulan waktu yang bisa diambil.

    Gadis tersebut lalu mengambil remote yang tergeletak di atas meja. Membesarkan volume suaranya agar terdengar lebih jelas sambil otaknya berpikir mengenai berbagai macam hal tentang apa yang baru didengarnya.

    Apa? Apa yang mau dikatakan pemuda tersebut? Apa maksudnya... dia ingin pulang? Dan kenapa sekarang? Kenapa sekarang... dia...

    “Aku minta maaf. Ini... video ini... adalah yang terakhir.”

    Pemuda di televisi terlihat mengalihkan pandangannya dari kamera. Sejenak. Sekilas. Sebentar. Sebelum kemudian menatapnya kembali. Dengan tatapan yang berbeda dari biasa.

    ...benarkah begitu?

    “Aku akan pulang. Maaf. Aku hanya bisa memenuhi janjiku sampai sini saja.”

    Setelah kalimat tersebut, pemuda itu menghilang dari layar. Gantinya, pemandangan matahari terbenam di balik bukit yang tertampilkan. Indah, tentu. Tapi gadis itu tidak bisa lagi melanjutkan gambar pemandangan itu. Tidak. Ketika inspirasinya telah mengabur bersama dengan bayangan dan perkataan pemuda tadi.

    Apa? Apa maksudnya?

    Gadis itu tidak mengerti. Tidak tahu juga penyebabnya. Yang dia tahu dan dia pahami hanya satu, semuanya... sekarang... sudah selesai. Ini yang terakhir.

    Karena itu... selamat tinggal?
     
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    yahoo gaya penulisan mbak merpy revived :yahoo:

    senangnya liat gaya penulisan mbak merp kembali pulih seperti pas saya baca Snow Angel :terharu:

    err, sepertinya romance n SoL ya? hmm belum bisa komen banyak karena masi prolog, tapi tampaknya hint n trigger buat hubungan antara si cewek dengan cowok yang ada di dalam TV itu udah cukup bagus. Oh, btw, agak ngeganjel di awal sih sebenernya. aku kira itu cewek prota lagi nonton acara apaan di TV, kek national geographic channel gitu, tapi ternyata dia nonton recorded video ya? ato bukan? bingung :iii:
    hmm, itu aja sih :sepi:

    ditunggu lanjutannya :matabelo:
     
  5. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    eh? are...? padahal gaya tulisan ini sama snow angel buat saya rada beda loh. ini kan 3rd pov, sementara snow angel 1st pov. >_<

    ya.. romance, SoL, journey... kemungkinan bakalan jadi kumpulan berbagai macam cerita.#bwahahaayobikinfilleraja

    iya. nonton video yang direkam. ga jelas ya? kirain kalimat, 'video yang ia putar' udah cukup:kecewa:

    makasih komennya:xiexie:
     
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    soalnya otak aku beranggepann kalo video itu, hmm, bisa aja video dari acara TV ato apa gitu. habisnya kata video kan bisa mencakup banyak hal mbak :hmm: mungkin bisa ditambahin kek "video yang ia putar di sebuah DVD player merek naga ind*siar"

    ditunggu lanjutannya :ngacir:
     
  7. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    hem... well... sebenernya saya ngehindarin pemakaian istilah teknologi sih. cuma beberapa yang bakalan saya pake. sementara yang lainnya, saya ilangin, atau bayangin sendiri ada tau nggaknya.:ngacir:

    lanjutannya setelah saya beresin tugas:ngacir:
     
  8. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Kisah Putri dan Pangeran dari Negeri Bunga

    Bagian 1

    “Mungkin karena setiap gadis pernah ingin menjadi seorang putri, sementara para laki-laki tidak selalu berpikir untuk menjadi pangeran.”

    Pemuda itu memiringkan kepalanya. Membaca baik-baik tulisan yang terpahat di bagian permukaan datar monumen kota, yang mempunyai bentuk bunga dengan pedang yang menyilang di depannya. Putri? Pangeran?

    Anak laki-laki itu melangkah mundur sedikit. Melihat dengan seksama simbol yang ada di hadapannya kali ini. Apa maksudnya? Kenapa ada kalimat seperti itu tertera di permukaannya? Legenda kah? Atau—

    “Hei, Ley! Kubilang jangan pergi jauh-jauh sendirian kan!”

    Dia menoleh. Mendapati sesosok pria berambut pirang berjalan mendekat ke arahnya dengan muka cemberut seperti anak kecil yang sedang merajuk. Ekspresi yang rasanya tidak sesuai dengan tampang pria itu. Mengingat garis wajahnya yang terlihat keras, dengan jenggot tipis di dagu, serta mata agak sipit yang tajam, cukup mengesankan ia sebagai pria dewasa tanpa sisa-sisa kekanakan yang dulu.

    Berbanding terbalik dengan pria itu, pemuda tadi mempunyai garis wajah selayaknya anak laki-laki yang baru memasuki masa puber. Meskipun umurnya saat itu sudah beranjak enam belas tahun.

    “Aku tidak akan tersesat, Edd.”

    Hah. Bahkan suaranya pun masih belum berubah banyak. Pemuda yang mempunyai potongan rambut coklat pendek dengan poni ditata miring ke kanan itu membalas dengan nada kalem. Matanya yang berwarna senada dengan rambutnya, melirik sejenak ke arah pria di sampingnya sebelum kembali memandang monumen batu di depannya.

    “Ngomong-ngomong, Edd. Apa kamu tahu maksud monumen ini?”

    Pria yang dipanggil Edd itu ikut melihat objek di depan mereka. Wajahnya yang tadi cemberut, berubah ekspresi menjadi seringai kecil. Matanya yang hijau kecoklatan, tampak berkilat sejenak, mengisyaratkan kalau dia mengerti tentang hal itu.

    Hanya saja... kenapa tampangnya seperti melihat sesuatu yang lucu?

    “Tentu saja. Aku orang asli sini. Aku mengerti luar dalam tentang kota ini,” ujar Edd setengah sombong. “Yah. Daripada berdiri bengong di sini menatap objek batu itu, lebih baik kita ke kedai dekat pasar sana membicarakannya. Aku kenal dengan pemiliknya. Dia bisa menjelaskan lebih baik daripada aku.”

    Pemuda itu mengangguk. Mengikuti langkah pria tadi, berjalan menjauh dari benda berbentuk bunga dan pedang yang menyilang, yang dikatakan sebagai monumen dan simbol kota ini.


    ~*~


    “...”

    Namanya Arley. Dia berusia enam belas tahun. Di sampingnya, berdiri seorang pria, teman serekan kerja ayahnya--fotografer--, Edd. Sekarang ini, mereka berdua, tengah berdiri di depan sebuah kedai kosong yang sedang libur.

    Hei. Bukannya dia bilang dia kenal dengan pemiliknya? Kenapa waktu liburnya dia tidak tahu?

    “Ahaha. Tenang saja. Aku tahu cara membuat kedai ini terbuka dengan satu kalimat saja.”

    Edd tertawa, sedikit memaksa. Meskipun begitu, dia tampak cukup keras kepala untuk beristirahat di tempat ini dibanding memilih toko yang lain. Arley tidak tahu kenapa.

    “Hoooi!!”

    Ley melirik sejenak ke arah Edd sebelum menggeser badannya ke belakang perlahan. Berusaha tidak dikenali tengah berjalan bersama pria itu oleh pejalan kaki lainnya.

    “Elly! Putri dari Kerajaan Mawar!!”

    Suara Edd terdengar semakin keras. Beberapa pejalan kaki tampak menoleh ke arahnya sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan, sementara penjual-penjual lain di sekitar sana hanya menghela napas sebentar sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya.

    Eh? Arley yang berdiri di dekat pedagang buah-buahan, agak jauh dari Edd, sedikit keheranan dengan reaksi mereka. Jangan bilang orang ini sudah terlalu sering melakukannya sampai tidak ada lagi yang merasa terkejut?

    Haha. Pemuda itu tertawa setengah hati dalam pikirannya.

    “Cita-citanya ingin menjaaadiii---“ “DIAAM!!” Duak!

    Sebuah buku tampak melayang di udara sebelum mendarat mulus di wajah Edd. Uahh. Itu pasti sakit. Arley meringis sedikit saat menyadari tebalnya buku tersebut dan sampulnya yang tampak keras dan megah.

    Beberapa detik berlalu, seorang gadis—wanita berjalan keluar dari dalam kedai dengan muka kesal. Yang kalau diperhatikan dengan lebih cermat, akan terlihat sedikit rona-rona kemerahan di wajahnya. Rambutnya yang berwarna biru keabu-abuan dibiarkan tergerai mencapai bahu. Sementara mata birunya memandang Edd dengan aura menyeramkan.

    “Kubilang berapa kali, Edd sayang.”

    Wanita itu memberikan penekatan pada kata ‘sayang’ yang diucapkannya. Nadanya antara terdengar manis atau penuh kebencian. Bukahkan itu berkontradiksi? Ley tidak begitu mengerti. Tapi dia tahu, kalau dia ingin selamat, sebaiknya dia tetap menjaga jarak dari Edd yang saat itu sedang mengaduh, memegangi mukanya yang baru terkena timpukan buku.

    Perempuan tersebut menarik Edd ke arahnya dengan kerah baju pria itu. Mendekatkan mukanya ke arah laki-laki tersebut sebelum bicara lagi.

    “Jangan pernah mengatakan hal itu lagi di depan umum.”

    Suaranya terdengar pelan. Seharusnya mungkin hanya Edd yang bisa mendengarnya.

    Tapi Ley, yang cukup lihai membaca gerak bibir seseorang, dan sudah terbiasa berbicara dengan orang bersuara pelan, bisa mendengar itu semua. Termasuk mengetahui intonasi mengancam di baliknya.

    “Dan jangan berteriak-teriak di depan kedaiku ketika aku sedang libur!”

    Kali ini, dia berteriak keras sambil mendorong Edd ke tanah. Kejadian seperti ini seharusnya mengundang banyak penonton. Hanya saja... Arley melihat sekitarnya. Kalau terlalu sering terjadi, siapapun juga pasti akan bosan dan menganggap ini hal yang biasa.

    Ley menghela napas. Menggeleng-gelengkan kepalanya sebentar sebelum beranjak mendekat ke arah Edd dan perempuan itu.

    Sementara di belakang kios penjual buah-buahan dekat tempat ia berdiri tadi, tampak berkumpul beberapa orang yang tengah berbisik-bisik ribut.

    “Kubilang apa! Elly pasti akan melempar buku ke arah Edd!”

    “Tapi aku juga benar menebak dia akan mendorongnya kan?”

    “Ahh... padahal kuharap ada adegan sapu seperti dulu.”

    “Haha. Kamu sedang tidak beruntung. Oh ya. Jangan lupa. Diskon di kiosmu, oke? Karena aku yang menang, lima puluh persen, mengerti?”

    “Ya, ya... Hhh...”


    ~*~


    “Jadi... ini temanmu yang kamu bilang akan datang waktu itu?” Elly, duduk menyandar pada punggung kursi, terlihat santai dan tenang jika dibandingkan emosinya sebelum ini. “Aku tidak tahu kamu punya teman semuda ini. Jangan bilang kalau kamu ternyata juga pedofil.”

    Edd tidak segera menjawab. Memilih meminum kopinya perlahan daripada membalas ejekan samar temannya.

    “Ini anaknya,” jawab pria itu singkat. “Dan aku bukan pedofil.”

    Setelah berkata begitu, Edd mulai memakan santapannya dengan lahap tanpa peduli situasi di sekitarnya. Dia bahkan belum memperkenalkan Arley dan Elly. Pemuda itu jadi merasa sedikit bingung dengan tingkah pria di sampingnya.

    Dia kira laki-laki ini mulai akan berlaku sesuai umurnya. Tenang dan kalem begitu. Ternyata hanya lapar.

    “Ahh... dasar. Biarkan saja dia kalau sudah bertemu makanan,” Elly tampak menyerah mencoba berkomunikasi dengan pria itu. Pandangannya yang beralih ke arah Arley, terlihat melembut ketika ia berbicara. “Namaku Ellayne. Orang-orang biasa memanggilku Elly. Namamu?”

    “Arley. Orang kadang memanggilku Ley. Kadang Arly, kadang Arlie.”

    “Eeh? Kenapa nama panggilanmu bisa banyak begitu?”

    “Ahaha. Mungkin karena perbedaan budaya. Perbedaan pengucapan dan pendengaran,” jawab pemuda itu asal. Sering berpindah-pindah adalah hal yang biasa baginya. Dan tiap tempat, tiap orang yang ia kenal di satu tempat, seringkali membuat nama panggilan yang berbeda untuknya.

    Meskipun baru satu yang memanggilnya Arley tanpa pengubahan apapun. Pemuda itu tersenyum tipis.

    “Perbedaan? Oh. Aku dengar dari Edd, temannya yang akan datang sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain,” Elly berujar dengan nada sedikit kagum. “Kamu juga?”
    Ley tersenyum sopan, mengangguk. “Tentu saja. Dia kan ayahku.”

    “Iya juga. Tentu saja, ya.”

    Elly balas tersenyum. Mengetuk-ngetukkan jarinya di atas permukaan meja kayu sebagai tanda persetujuan. Di sebelah mereka, Edd masih dengan buasnya memakan hidangan yang tersedia tanpa memedulikan yang namanya tatakrama di meja makan.

    Arley tersenyum sedikit kecut. Menyendok pastanya perlahan, sebelum memasukkannya ke dalam mulut. Memang enak. Tapi dia tidak merasa perlu mengikuti cara Edd yang membuatnya hampir kehilangan nafsu.


    ~*~


    “’Mungkin karena setiap gadis pernah ingin menjadi seorang putri, sementara para laki-laki tidak selalu berpikir untuk menjadi pangeran’?” Elly membenarkan kalimat yang ditanyakan Ley padanya dengan nada tanya. Memastikan bahwa itu benar yang dimaksudkan pemuda di hadapannya. “Hm... kalimat itu memang berasal dari legenda yang ada di kota ini.”

    “Aku lebih suka menyebutnya dongeng,” potong Edd. Tapi pria itu langsung terdiam ketika dilihatnya Elly melotot ke arahnya dengan mata biru yang berkilat kesal. Dia lalu mengangkat tangan sambil bergumam, ‘iya iya’ tanpa suara.

    Arley memerhatikan interaksi keduanya sejenak sebelum mengembalikan perhatiannya pada topik awal.

    “Jadi...? Legenda? Cerita?”

    Elly mengangguk, mantap. Ekspresinya kembali netral ketika mendengar ucapan Ley. Cenderung senang kalau boleh dibilang.

    “Yup. Apa kamu mau mendengarnya?”

    Pemuda itu mengangguk, antusias.


    ~*~


    Pada zaman dahulu kala—“Cara paling membosankan untuk membuka sebuah dongeng, ya, kan?” “Diam, Edd. Atau kusumpal mulutmu dengan besi panas.”—kota ini dikenal sebagai kota bunga, dan dikatakan merupakan penyuplai terbesar tumbuh-tumbuhan yang menghias Kerajaan pada saat itu—“Hoo,” Edd memasang tampang mencemooh—. Di zaman itu, hiduplah seorang gadis, putri salah seorang pemilik toko bunga, yang terkenal mempunyai kegemaran tidak biasa.

    —“Tidak biasa?” “Tolong jangan menyela juga, Ley.” “Ah, maaf.”—

    Gadis-gadis pada zaman itu normalnya mempunyai pekerjaan serta keahlian merangkai bunga-bunga menjadi berbagai macam bentuk indah, sementara para laki-lakinya biasanya melakukan pekerjaan berkebun dan berdagang hasil karya tersebut.

    Namun, pada saat itu, gadis ini berbeda dari yang lainnya. Meskipun dia merupakan putri pemilik toko bunga, dia tidak melakukan pekerjaan merangkai bunga sebagaimana perempuan lainnya. Yang dia lakukan justru ikut berkebun bersama laki-laki, menanam tumbuhan, merawatnya, dan lain-lain yang biasanya dilakukan oleh kaum pria.

    —“Rasanya seperti cerita tentang pelopor feminis, kan, Ley?” “Uhh..”—

    Yang lebih istimewanya, gadis itu, bisa dibilang, jenius dalam urusan tumbuh-tumbuhan. Dia lihai menyilangkan berbagai variasi tanaman agar menghasilkan varietas yang berbeda dari biasa. Hal inilah yang menyebabkan ayahnya membiarkan ia tetap ikut bekerja di kebun dan tidak memaksanya duduk diam di rumah merangkai bunga bersama ibunya.

    —“Gadis yang tidak manis.” “Ed. Ward.”—

    Suatu hari, seorang laki-laki datang ke kediaman orang tua gadis itu. Mempertanyakan bunga yang dijual di toko tersebut dan darimana mereka mendapatkannya. Sang ayah, tidak berpikir banyak, menjawab dengan jujur pertanyaan pemuda tersebut.—“Kalau sekarang, ini yang kita sebut membocorkan rahasia perusahaan karena kebodohan sendiri.”—

    Pemuda itu lalu meminta untuk dipertemukan dengan sang gadis. Meminta untuk diajari caranya menyilangkan tanaman—“Rahasia perusahaan harus dijaga baik-baik. Mengerti, Ley?” Duak! “Yah...”—

    Begitulah, awal mula pertemuan keduanya. Namun kemudian, si gadis yang terbiasa diremehkan kemampuannya oleh laki-laki lain di sekitarnya, merasakan perasaan lain dalam hatinya. Dia merasa pemuda itu berbeda dari laki-laki biasanya. Merasa pemuda itu adalah orang yang bisa membuatnya ingin berusaha lebih dari apapun.

    —“Uwaaah... bicara soal gadis yang lagi jatuh cinta... rasanya bikin merinding.” “Grrr!” “Ampun, Nyonya. Ampun.”—

    Ya, gadis itu jatuh cinta. Untuk pertama kalinya. Pada satu-satunya pemuda yang ia rasa menghargainya. Gadis yang sama sekali tidak feminim itu telah jatuh cinta. Sayangnya... pemuda itu tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar teman. Bahkan mungkin, laki-laki itu tidak pernah melihat gadis itu sebagai seorang wanita.

    Meskipun sebenarnya dia tetap saja seorang gadis yang pernah ingin menjadi putri selayaknya perempuan lainnya.


    ~*~


    “Hal yang membedakan cerita ini dari dongeng biasanya,” Edd berkomentar tanpa memedulikan pelototan mengancam dari Elly, “adalah akhirnya yang tidak bahagia.”

    Ley meringis sedikit. Tidak membalas. Dia masih sayang nyawa. Tidak seperti Edd yang sejak tadi, berulang kali, memotong cerita hanya untuk memberikan komentar sarkastik yang berakhir dengan dia terkena timpukan sendok, tissue, buku, dan benda-benda lain di sekitar mereka.

    Wanita itu sekilas terlihat lembut. Tapi dia juga cukup menyeramkan.

    Arley menyimpulkan sambil memalingkan muka dan menulikan telinga atas kekerasan yang sedang terjadi di hadapannya. Ah... perempuan ini pasti sudah menahan emosi cukup lama, menuntaskan ceritanya, sebelum meledak seperti sekarang. Pemuda itu berpikir santai, tanpa peduli dengan nasib pria yang ada di sampingnya.
     
    Last edited: Nov 8, 2013
  9. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    Ceritanya menarik, dari sinopsisnya aja aku bisa ngebayang2in ini bakalan kayak kisah drama tragedi gitu.

    1. Dari prolog(?)nya kyknya udah dikasih tahu akhirnya kyk mana. meskipun ini kyk awal pembuka akhir.
    pertanyaannya: knpa harus dari epilognya ditampilin? apa sebagai pengundang rasa penasaran atau hanya sebagai cerita lalu lewat aja sehubungan dgn tidak adanya kejelasan apa yang sebenarnya terjadi.


    btw, aku penasaran aja~

    maksudku, bukannya lebih baik klo dijelasin secara kronologis aja ceritanya, kyk gitu.


    2.
    btw, aku rasa ini kalimat agak aneh sih. si teman ayahnya itu laki2 kan. trus si prota-kun juga laki2 kan. kenapa si elly berpikiran mereka pedofil? bukannya homo jauh lbh masuk akal ya?

    aku gak terlalu ngerti ama pedofil itu antara cow ke anak cew atau cow ke anak cow sih sbnarnya, tapi aneh aja.


    3. Leluconnya lucu, apalagi yg bagian antara elly dan edd itu bagus.

    Tapi, entah kenapa, klo dimasukin pas elly lagi cerita, jadi terasa agak ngeganggu gitu. Gimana ya ngejelasinnya? Hmm, malah jadi berantakan gitu ceritanya menurutku.
    Lucu, emang lucu sih, tapi emosi pembacanya jadi gak karuan gitu. Pas si elly cerita gini gitu, serius kan, trus si edd nyampur, ketawa, lucu. trus serius lagi, dan berulang2 gitu, dan karena itu diulang2 lagi jokenya, malah jadi terlalu overuse. jadi gak lucu lagi. malah menurutku, si edd jadi terlihat annoying gt.

    tapi, itu dari pendapatku sendiri sih, kyknya.


    4. terakhir, mungkin, setelah ceritanya selesai. Aku belum tau ini cerita apa gunanya ditampilin/diceritaain, tapi asumsikan aja bakalan berguna di bagian selanjutnya, kyknya. soalnya ini bagian satu kan?


    'Mungkin karena setiap gadis pernah ingin menjadi seorang putri, sementara para laki-laki tidak selalu berpikir untuk menjadi pangeran’

    setelah cerita selesai, mungkin aku bisa mengerti arti setiap gadis pernah ingin menjadi putri, tapi kenapa aku ngerasa cerita itu gak ada hubungannya sama sekali dgn laki2 yg gak pengen jadi pangeran ya?

    paling gak, klo dari aku sih, masih mikirin jadi pangeran harem mungkin?

    atau mungkin laki2 terlalu sibuk untuk menjadi hero ketimbang pangeran yg gak jelas.






    Yah, dibilang begitu juga, aku rasa untuk bagian awal sudah sangat menarik.
    apalagi komenku yg cuman dibagian A itu aja udah asumsi di atas asumsi sih sbenarnya.


    Itu aja kyknya. :maaf:
     
  10. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    d-drama tragedi? kenapa kayaknya ga pernah ada yang percaya sama genre yang udah saya tulis:tolong::ngacir:

    1. hem... soalnya aku lebih suka nyeritain inti ceritanya dulu. dan inti cerita ini ada di akhir. sementara cerita kayak di bab 1 itu... lebih ke arah filler--atau cerita pendukung aja, perlu, tapi bukan plot utama. Sementara prolognya itu cerita dari plot utama. Dan jangan tertipu sama judulnya.. karena nanti di epilog bisa aja aku tulis, Epilog: Penutup dari sebuah Prolog.:ngacir:

    2. pedofil buat yang 'suka' anak kecil lah. Kenapa ga disebut maho? soalnya maho itu bahasa yang tidak baku#plak. well... sebenernya secara tersirat Elly ngejek Edd dua-duanya. Dia ngomong Edd maho plus pedo. Karena kalau dia pedo sama Arley, otomatis dia maho kan.

    3. True. Emang Edd-nya annoying. Kalau mau alasan ngelesnya sih... soalnya saya pengen nunjukin karakteristik Edd yang rese. Kalau alasan benernya... pas nulis bagian itu, saya gak suka banget. Mau diseriusin malah kesel sendiri jadinya. Yah... mungkin nanti saya hapus sebagian biar ga terlalu overuse.

    4. Yep. Ini bakalan berhubungan dengan bagian selanjutnya. Karena yang namanya Legenda, kalau cuma satu versi aja itu nggak seru:ngacir:

    makasih komennya:xiexie:
     
    Last edited: Nov 8, 2013
  11. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Interlude I – Satu Adegan di Suatu Pagi di Jalan Menuju Kedai

    “Ngomong-ngomong, itu... camcorder kan?” Edd menunjuk benda yang dibawa Arley. Bentuknya kotak panjang, dengan lensa di ujungnya, mirip seperti kamera yang ia punya. Lalu ada layar kecil tipis yang bisa dibuka-tutup di bagian samping, sementara di sebelah satunya terdapat sesuatu yang seperti tali untuk memudahkan penggunanya membawa.

    Pemuda itu mengangguk.

    “Nyala?”

    Arley mengangguk lagi. Meskipun kali ini, senyuman tipis tampak samar menghias raut wajahnya yang biasa sedikit datar.

    update singkat:ngacir:
     
  12. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Interlude II – Surat dari Kota Bunga untuk Kaia
    Hai, Kaia.

    Apa kabar? Semoga tetap sehat dan baik, kuharap. Jangan terlalu sering memaksakan diri ya. Meskipun berusaha sendiri itu bagus, tapi sekali-kali tidak masalah kan meminta bantuan orang lain. Bibi Flann pasti dengan senang hati mau membantu, kalau diperlukan.

    Oh, ya. Bagaimana kabar Kota Hujan? Masih sering hujan seperti biasa? Ataukah sudah memasuki musim kering dimana daun-daun mulai berguguran dan udara panas datang? Di sini, di kota tempat aku tinggal sekarang ini, masih terasa seperti musim semi. Bunga-bunga bermekaran dimana-mana. Udaranya pun terasa cukup hangat dan sejuk dalam waktu bersamaan.
    Tentu saja, kamu bisa melihat itu semua di video yang kukirimkan. Ah, ya. Aku menunggu balasan surat ini seperti biasa. Jangan kebanyakan menggambar sampai lupa menuliskannya ya.

    Selain itu, orang-orang di sini juga sangat menarik. Kamu tau? Pria kenalan ayahku yang kubilang di surat sebelumnya. Dia bernama Edward. Lebih sering dipanggil Edd. Sekilas, kamu mungkin akan mengira dia orang yang tegas dan keras. Tapi kenyataannya... Edd adalah laki-laki paling kekanakan yang pernah aku temui. Dalam segi positif, kalau perlu kutambahkan.

    Kalau melihat dia, aku jadi mengerti makna dari: “Bagaimanapun juga, semua pria pada akhirnya tetaplah seorang anak laki-laki yang senang dengan mainannya sendiri.” Kurang lebih begitu.

    Lalu, ada juga wanita kenalan Edd. Yah. Biarpun aku bilang wanita, aku rasa dia juga masih cocok disebut gadis. Orangnya cantik, tentu saja dalam segi relativitas yang tidak kenal kata kepastian. Dan kurasa... dia adalah perempuan yang cocok dalam mengimbangi sifat Edd. Bukan, bukan karena dia dewasa atau sejenisnya. Tapi karena perempuan ini juga terkadang sama kekanakannya.

    Interaksi keduanya benar-benar sangat menarik untuk dilihat. Apalagi kalau mereka sedang bertengkar pura-pura. Karena itu, kuharap kamu tidak melewati bagian yang kurekam ini, seperti yang kamu lakukan sebelumnya. Aku tahu kamu senang melihat video pemandangan, tapi mengamati perilaku manusia juga kurasa sama menariknya.

    Hem... kurasa sudah cukup panjang surat ini. Oke, aku bohong. Aku tidak tahu lagi harus menulis apa. Yah. Terakhir, kurasa aku harus mengingatkanmu lagi untuk jangan lupa membalas surat ini, ya? Jaga kesehatan juga. Aku tidak mau dengar ada kiriman surat dari Bibi Flann yang mengatakan kamu sedang sakit.

    Salam,

    Arley
     
  13. ryrien MODERATOR

    Offline

    The Dark Lady

    Joined:
    Oct 4, 2011
    Messages:
    6,529
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +3,168 / -58
    Apa kabar? Semoga tetap sehat dan baik, kuharap. Jangan terlalu sering memaksakan diri ya. Meskipun berusaha sendiri itu bagus, tapi sekali-kali tidak masalah kan meminta bantuan orang lain. Bibi Flann pasti dengan senang hati mau membantu, kalau diperlukan.


    Kalau saya jadi Kaia dan kalimat awal suratnya seperti ini. Pasti saya udah remes2 suratnya dan buang di tempat sampah :puyeng:

    Ninggalin jejak. Baru baca yang pendek2 aja :puyeng:
     
    • Like Like x 1
  14. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    lol... mungkin aja emang diremes dan dibuang ke tempat sampah*snicker*
     
  15. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    btw, si arley kenapa ngirim surat sih?

    maksudku, kenapa dia gak sms aja, atau email gitu, nyuruh si kite download di rumah aja~

    sebenarnya, settingan dimana ini aku masih bingung sih.

    pdhl ada tivi ama camcorder berarti internet juga ada kan?
    tapi kenapa dia ngirim surat?
    kenapa gak sms aja?


    ------------------------------------------------------------

    :hiks: padahl aku udah komen panjang2 loh, tapi inet jadi DC dan bluup, semuanya hilang :dead:
     
    • Like Like x 1
  16. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    because there were none. :v televisi kan lebih dulu ada daripada internet/komputer. Camcorder sih... anggap aja ada sebelum waktunya. well... film juga lebih duluan kan dibanding itu. biarpun alatnya emang nggak langsung sepraktis itu.:ngacir:

    -----
    *puk puk* sabar ya...
     
  17. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    Hmm, jadi settingannya ini kapan kk?

    berarti di zaman2 tivi dan camcorder udah ada, tapi internet blum ada ya~

    atau tiap2 negeri punya peradaban yg beda2 kemajuannya kyk gitu mgkin?
     
  18. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    yep. saya lupa masukin unsur yang ngejelasin kalau tu camcorder termasuk barang langka. tapi nanti ada bab lain buat cerita itu sendiri sih... hem....

    beda-beda emang. tapi more or less ada kesamaannya. yaitu sama-sama ga ada hp, dan internet.:ngacir:
     
  19. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    Ah, gitu ya.

    kyknya bakalan jadi kisah yg sulit.

    aku nggak kan bakalan hidup di dunia ini klo gitu~ soalnya gk ada inet
     
  20. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    yah... technology ruins romance, after all:ngacir:

    dan bikin journey dengan ada internet rasanya kurang seru. kecuali emang mau dibikin jadi sci-fi. tapi buatku itu lebih susah lagi nyeritainnya.:ngacir:
     
  21. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Kisah Putri dan Pangeran dari Negeri Bunga

    Bagian 2

    Kalau ditanya apa yang paling terkenal dari kota ini? Arley mungkin akan menjawab, musim seminya yang berjalan hampir sepanjang tahun. Edd mungkin akan mengatakan, pemandangannya yang tidak pernah berubah selama ia tinggal di sini. Sementara Elly, tentu, akan bilang, variasi berbagai bunganya, yang tumbuh dan menghias sudut-sudut kota ini dengan cantik.

    Lagipula, memang itu maksud monumen bunga—dan pedang menyilang—yang menjadi simbol kota ini kan?

    Arley pikir begitu. Tapi Edd, setelah mereka keluar dari kedai kopi Elly, dan akhirnya bersikap selayaknya manusia normal, menolak pendapat itu dengan cemoohan yang kentara. Kalau ada Elly di dekatnya, pria ini pasti sudah menjadi daging cincang sekarang.

    “Cerita yang kamu dengar dari Elly tadi... itu adalah salah dongeng terkenal di kota ini. Salah satunya,” Edd mengibas-ngibaskan tangannya, tampak meremehkan, sembari berbicara. “Tapi apa kamu bisa mengerti maksud dari kalimat yang tertera di monumen hanya dengan mendengar cerita itu, Ley?”

    Pemuda itu berpikir sejenak. Yah. Kalau boleh jujur, dia sama sekali tidak paham. Dia bisa mengerti hubungan cerita itu dengan kalimat tersebut. Tapi apa makna dibaliknya? Dia kira, dia sama sekali tidak bisa menarik kesimpulan secepat itu hanya dengan mendengar cerita tadi.

    “Beberapa fakta sejarah yang ada di cerita tersebut benar adanya,” Edd lanjut menjelaskan ketika dilihatnya Arley menggelengkan kepalanya perlahan. “Kota ini memang terkenal dengan bunganya. Dulu. Sekarang pun masih begitu. Meskipun sudah sedikit tergantikan dengan apa yang kamu bilang, Forever in Spring. Yeah.

    “Hanya saja, kalimat yang tertera di monumen batu itu merupakan peringatan sejak sebelum kota ini berdiri. Atau begitu yang kupercaya.”

    Arley mengerutkan keningnya. Memandang Edd yang berjalan di sebelahnya dengan pandangan tidak mengerti.

    “Salah satu sejarah berdirinya kota ini adalah dari perang saudara yang terjadi selama sekian bulan. Dikatakan, penyebab perang tersebut adalah karena perseteruan seorang pria dan wanita pada masa itu. Keduanya dari kelompok yang berbeda, pastinya.

    “Pada akhirnya, perang selesai. Kota ini dibangun baru. Simbol bunga dipilih untuk melambangkan wanita, dan simbol pedang yang menyilang di depannya dipilih untuk melambangkan kaum pria. Tentu saja, ini adalah pengetahuan umum di kalangan masyarakat sini. Dan kurasa kamu juga pasti bisa menebaknya kan, Ley?”

    Edd meringis sejenak ke arahnya. Memamerkan senyuman lebar, dan binar jenaka di kedua mata hijaunya. Seperti anak kecil yang sedang menceritakan kisah seru tentang seorang ksatria perak dalam menumpas kejahatan di muka bumi ini.

    “Sekarang, ke mitosnya. Perseteruan yang kubilang tadi, ada yang mengatakan karena si pria mencoba melecehkan wanita tersebut. Ada juga yang yang bilang karena si wanita melukai harga diri sang pria. Mana yang benar? Tidak ada yang tahu.

    “Namun selain itu, ada mitos-mitos lain yang tidak berhubungan dengan perang tadi muncul. Salah satunya adalah dongeng yang barusan kamu dengar. ‘Mungkin karena setiap gadis pernah ingin menjadi seorang putri, sementara para laki-laki tidak selalu berpikir untuk menjadi pangeran.’ Apa yang kamu kira bisa disimpulkan dari kalimat itu?”

    Arley memiringkan kepalanya. Berusaha memahami maksud tersembunyi dari apa yang telah Edd ceritakan padanya. Ragu-ragu, pemuda itu membuka mulut.

    “Kalau laki-laki dan perempuan itu berbeda?”

    “Bingo! ...atau lebih tepatnya, karena laki-laki dan perempuan mempunyai pola pikir yang berbeda, tidak perlu bersusah payah memahaminya. Cukup mengerti kalau perbedaan itu ada baiknya, dan bisa dikombinasikan menjadi sesuatu yang jauh lebih bermanfaat dibanding mempermasalahkannya.”

    Pria itu berbicara dengan nada yang berbeda dari biasa. Tenang dan tegas. Sesaat, Arley bisa melihat kedewasaan yang dipancarkan laki-laki bernama Edward tersebut, dan menyadari kalau pria itu memang berumur lebih tua darinya. Hanya sesaat. Karena setelahnya ia—

    “Bagaimana? Aku baru saja mengatakan sesuatu yang terdengar pintar kan? Yah. Sayang sekali, sebenarnya aku hanya mengutip kalimat itu dari buku yang pernah kubaca. Apa kamu tertipu tadi? Kagum? Hahahaha.”

    Sementara Edd tertawa puas, Ley hanya bisa menghela napas, tidak percaya. Pria ini... memang tidak ada kata lain yang lebih cocok untuk mendeskripsikannya selain kekanakan.


    ~*~


    “Ngomong-ngomong, Edd. Kamu menyukai Elly kan?”

    Ley berkata tiba-tiba dengan nada ringan yang biasa. Membuat pria di sebelahnya menghentikan tawanya segera, dan menoleh ke arahnya dengan tampang tidak percaya.

    “Darimana kamu tahu?” tanya Edd cepat, nadanya lebih ke arah takut daripada heran atau terkejut.

    “Uuh... kukira dari tingkahmu juga sudah cukup jelas,” seperti anak laki-laki yang baru saja mengalami cinta pertamanya dan memilih untuk menganggu orang yang disukainya daripada membuatnya balik jatuh cinta. Arley menambahkan dalam hati.

    “Begitukah?” Edd tampak tidak percaya. Namun sedetik kemudian, ekspresinya berubah kembali menjadi seperti biasa. Ley curiga, dia hanya berpura-pura kaget sejak tadi. “Yah. Kamu benar! Dan aku juga sudah ditolak untuk kesekian kalinya oleh Elly.”

    Oh. Pemuda itu mengerjapkan matanya, terkejut. Walaupun wajahnya tidak menampilkan emosi yang kentara soal itu, dia cukup kaget dengan fakta yang baru saja dibeberkan Edd dengan santai tanpa peduli.

    “Kenapa?”

    Itu pertanyaan bodoh.

    “Aku orang yang paling ingin tahu jawaban dari pertanyaan itu, Ley,” ujar Edd tenang. “Tapi yah... mungkin aku tahu kenapa.”

    Pria itu tertawa lagi. Biarpun sekarang, suaranya tidak terdengar selepas sebelumnya. Tidak seceria seharusnya. Dia terlalu memaksa. Arley menundukkan pandangan, merasa sedikit bersalah membawa topik itu sekarang. Tadinya anak laki-laki itu hanya berniat membalas Edd dengan melontarkan kalimat tidak terduga padanya.

    Namun sepertinya dia sudah keterlaluan.

    “Hei, jangan murung begitu,” Edd yang menyadari perubahan raut muka Ley menghentikan tawanya lagi. “Itu bukan masalah besar. Aku belum menyerah soal dia. Lagipula... sebetulnya ditolak juga bukan kata yang tepat.”

    Pemuda itu mengangkat kepalanya, heran.

    “Satu lagi, memangnya kamu pikir buat apa aku pergi ke kedainya kalau sudah ditolak mentah-mentah?”

    “Mengganggunya?”

    Edd tersenyum lebar. Memicingkan matanya, dia menatap Arley sejenak sebelum lengannya merangkul—dengan niatan mencekik—pemuda itu.

    “Bocah pintar!”


    ~*~


    Rumah Edd, kalau mau dideskripsikan dengan satu kata, mungkin yang paling tepat adalah... rumit. Ya. Rumit. Bukan berantakan, bukan jorok, bukan itu. Rumah pria itu rumit. Karena penataan barangnya yang seenaknya sendiri, tidak mengindahkan apa yang disebut desain interior, dan membuat luas ruangan menjadi terasa lebih sempit daripada yang sebenarnya.

    Bayangkan saja. Ketika masuk ke dalam, benda yang pertama kali kamu lihat menghalangi pandangan adalah rak buku berisikan majalah-majalah fotografi dan sertifikat, penghargaan dari lomba yang dia ikuti. Di balik rak yang menutupi sebagian besar jalan masuk, terdapat lorong panjang dengan berbagai barang menghias di samping kanan-kirinya. Seperti meja dengan vas bunga di atasnya. Meja telepon. Kursi panjang layaknya di ruang tunggu.

    Ah. Bahkan mendeskripsikannya saja sulit. Rumah Edd itu rumit. Dibilang berantakan tidak bisa karena selain soal penataan perabotannya, pria itu cukup rapi untuk ukuran seorang bujangan yang tinggal sendiri. Dibilang jorok juga tidak bisa, karena tempat itu cukup bersih untuk orang bisa tinggal di sana dan hidup sehat.

    “...!”

    Satu-satunya dampak negatif dari rumah rumit Edd ini adalah dia tidak ramah pada penghuni lain selain pria itu.

    Ley mengaduh pelan. Kakinya yang baru saja terantuk kursi di lorong depan terasa kesemutan. Berjalan lebih hati-hati, pemuda itu melangkah masuk ke dalam ruang tamu Edd yang berada di dekat kursi panjang tadi.

    Hahh. Rumah ini benar-benar bencana untuknya. Minggu pertama dia di sini, pemuda itu hampir menjatuhkan vas bunga milik Edd, minggu kedua dia menabrak rak buku, minggu ketiga, dia tersandung meja, dan sekarang... Arley menghembuskan napas. Dia bukan orang yang ceroboh. Tapi rumah ini mau tidak mau membuatnya terlihat seperti orang yang kikuk.

    “Masih belum terbiasa juga, Ley?” Edd terkekeh, ikut masuk ke dalam ruang tamu tanpa menyentuh satu perabotanpun. Melihat dari raut wajahnya yang tampak senang, pria itu pasti tipe yang suka mengerjai orang demi kebahagiaannya sendiri. “Ngomong-ngomong, kapan ayahmu pulang?”

    “Tidak tahu. Kalau sedang berburu foto, dia tidak kenal waktu. Mungkin bisa beberapa hari,” jawab Ley sekenanya. “Kalau sedang beruntung,” tambahnya dalam bisikan pelan.

    “Dasar. Kebiasaannya masih belum berubah juga rupanya,” dengus Edd, menggeleng-gelengkan kepala. “Kukira setelah menikah dia akan sembuh.”

    “Eh?” Pemuda itu memandang Edd, heran. “Sebelumnya juga begitu?”

    Pria itu mengangguk. Alisnya terangkat. Mempertanyakan raut wajah bingung si pemuda yang tiba-tiba muncul ke permukaan. “Kenapa?”

    “...tidak ada.”

    “Hem... yah sudahlah,” kata Edd dengan wajah tidak percaya. Biarpun begitu, dia tampak tidak terlalu mempermasalahkannya. “Oh, ya. Besok aku ada kerjaan. Kamu tidak apa-apa sendirian?”

    “Tidak masalah.”

    Pemuda itu menjawab cepat, dengan nada dan ekspresi yang kembali tenang seperti biasanya.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.