1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Alquimista [NaNoWriMo 2013]

Discussion in 'Fiction' started by red_rackham, Nov 2, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Yep. Saia akhirnya memutuskan untuk nekat iseng memajang hasil perkembangan proyek NaNoWriMo saia tahun ini :elegan:

    Alquimista



    Genre: low-fantasy, mistery, action

    Chapter 1: Stolen Painting
    Part 1
    -under construction-

    Ridwan Alfaritsi, seorang penyidik kepolisian dan parternya tidak pernah mengira kalau kasus pencurian lukisan kuno yang ditanganinya akan berujung pada keterlibatannya dalam dunia yang sama sekali tidak dikenalnya. Dengan bantuan rekannya, Galuh Sukma Putri, dan Ariesta Galvania, seorang reporter merangkap ahli alkimia, Ridwan berusaha mengungkap dalang dari pencurian lukisan tersebut. Tidak disangka pencariannya itu mengantarkannya tepat di tengah pusaran perang antar kelompok penyihir yang memperebutkan lukisan, yang ternyata adalah cetak biru dari pembuatan replika Cawan Suci. Keadaan semakin sulit ketika pihak-pihak yang dimintai pertolongan, justru balik mengincar cetak biru tersebut. Kini Ridwan, Galuh, dan Ariesta harus berjuang mati-matian mempertahankan diri dari serbuan para penyihir, ahli alkimia, monster-monster yang mengincar nyawa mereka.

    Seperti biasanya, silahkan tebar-tebar cabe dan kripik baladonya :lalala:
     
    Last edited: Nov 2, 2013
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 1: Stolen Painting

    Chapter 1 Part 1

    “Oke. Jadi tadi malam ada pencuri masuk ke dalam museum, mengambil sesuatu dari gudang arsip, membunuh 3 orang penjaga, kemudian melarikan diri.”

    Ridwan Alfaritsi bicara pada seorang penjaga museum sambil mencatat segala keterangan yang dia dengar dalam buku sakunya. Selagi bicara, ekspresi wajah penyidik muda itu nyaris tidak berubah, sementara lawan bicaranya tidak henti-hentinya menunjukkan ekspresi bingung dan ketakutan.

    “Be...benar,” jawab penjaga museum dengan raut wajah pucat. “Awalnya Irfan yang lihat ada gerakan aneh di kamera CCTV, lalu pergi memeriksa ruang pameran di gedung utama. Tapi karena dia enggak balik-balik, Yanto dan Budi jadi curiga, terus mereka pergi melihat situasinya. Tapi mereka juga tidak balik lagi ke ruang keamanan...”

    Selama beberapa saat penjaga itu terdiam, kemudian menelan ludahnya. Jelas dia masih kebingungan dan shock, terlebih ketika mengetahui tiga orang rekan kerjanya ternyata telah tewas mengenaskan.

    “Teruskan,” desak Ridwan. “Saya paham anda sedang bingung dan ketakutan, tapi keterangan anda akan jadi bukti vital untuk penyidikan kami, pak Hendra.”
    Hendra, sang petugas jaga malam museum menarik nafas panjang, kemudian kembali memberikan keterangan pada Ridwan.

    “Ka...karena mereka enggak balik-balik, kupikir pasti ada yang salah. Jadi aku coba periksa tempat mereka terakhir pergi. Dan...” Sekali lagi perkataan Hendra terputus, seolah dia tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya lagi. Tapi beberapa detik kemudian, pria paruh baya itu akhirnya kembali bicara. “...dan tahu-tahu mereka sudah jadi begini.”

    Sembari bicara dengan suara bergetar, penjaga museum itu menunjuk ke arah mayat seorang pria berseragam biru tua yang tergolek kaku di atas lantai berlapis keramik. Sepintas tidak akan ada orang yang menyangka kalau sosok yang terbujur dengan posisi setengah membungkuk di lantai itu adalah mayat, terutama karena sekujur tubuh pria itu tampak berkilat seperti terbuat dari batu. Anehnya, memang tubuh mayat salah seorang penjaga museum itu telah mengeras dan sekilas terlihat seperti sebuah patung, atau manekin. Hanya saja, kalau sosok yang tergeletak di lantai itu memang adalah sebuah patung, maka siapa pun pembuatnya adalah seorang pemahat super-jenius. Pemahat itu mampu membuat guratan-guratan halus di wajah dengan sempurna, bahkan bila diperhatikan dengan seksama, gurat-gurat sidik jari patung itu tampak begitu rapi dan nyata. Sungguh sebuah karya agung yang sepertinya hanya bisa dibuat dengan teknologi pemahatan paling mutakhir menggunakan pisau ukir laser dengan tingkat presisi tinggi.

    “Jadi, waktu anda datang ke TKP, ketiga orang korban ini sudah jadi batu seperti ini?” Ridwan kembali bertanya sambil mengamati tiga sosok pria berseragam yang tergeletak dalam berbagai pose janggal.

    “Be...betul,” jawab Hendra sambil mengangguk.

    “Bagaimana dengan yang itu?” Ridwan kembali bertanya, kali ini sambil menunjuk ke arah dinding museum.

    Dinding museum yang seharusnya berdiri kokoh, karena terbuat dari bata dan beton bertulang itu, kini dihiasi sebuah lubang bundar sempurna dengan diameter setinggi orang dewasa. Saking bundarnya, seolah-olah ada orang yang membuat garis lingkaran sempurna dengan sebuah jangka, kemudian memotong dinding beton itu persis sesuai dengan garis yang telah dibuatnya. Anehnya lagi, potongan itu begitu rapi dan tidak ada sisa-sisa beton ataupun bata yang bertebaran di sekitar lubang. Seolah-olah ada bagian dinding yang menghilang begitu saja, sehingga menyisakan sebuah lubang besar disana.

    Hendra menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

    “A...aku benar-benar enggak tahu! Pokoknya waktu sampai di sini, semuanya sudah jadi begini! Budi, Yanto, dan Irfan tahu-tahu sudah jadi batu! Terus ada lubang kayak begini! Sebenarnya apa yang terjadi?!”

    Suara Hendra meninggi karena emosi. Wajar saja. Petugas jaga malam itu sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa tugas rutinnya, akan berubah menjadi sesuatu yang mengerikan seperti ini. Walaupun biasanya Hendra adalah pria yang tangguh dan tegar, tapi melihat nasib naas yang menimpa tiga rekannya, dia tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Terlebih kalau mengingat, bisa saja saat ini dia ikut tergolek jadi batu di lantai, bersama ketiga rekannya.

    “Anda tenang dulu. Kami akan mencari tahu siapa pelakunya,” ujar Ridwan sambil menepuk pundak petugas jaga malam yang ketakutan itu. “Nah, terima kasih atas keterangannya, pak. Nanti kalau ada perkembangan lagi, anda akan saya beri tahu.”

    Dengan lembut Ridwan mendorong agar Hendra pergi meninggalkan lokasi TKP. Selama beberapa saat dia berdiri sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan seksama. Ruang pameran utama Museum Gajah yang biasanya sepi itu, kini berubah jadi ramai karena dipenuhi oleh petugas dari satuan kepolisian yang sibuk menyisir lokasi. Sama seperti Ridwan, para petugas yang sedang sibuk bekerja itu juga kebingungan dengan kasus aneh yang sedang mereka tangani ini.
    Bagaimana tidak? Siapa orang gila yang sanggup membobol dinding museum, mencuri beberapa barang dari ruang arsip, mengubah tiga orang penjaga jadi batu, kemudian melarikan diri, nyaris tanpa meninggalkan jejak apapun. Satu-satunya petunjuk yang jelas tersisa adalah jejak tapak-tapak sepatu berlumur tanah dan lumpur, yang sialnya, menunjukkan dengan jelas bahwa pelaku memang masuk melalui lubang bundar di tembok museum.

    “Ini tidak masuk akal!” Ridwan protes pada dirinya sendiri sambil membaca lagi catatan kecilnya.

    Dari semua keterangan yang dia dapatkan, sepertinya pelaku masuk ke dalam museum sekitar pukul 11 malam, kemudian membobol gudang arsip beberapa menit kemudian. Irfan yang merasa melihat ada gerakan di CCTV, memeriksa tempat yang dicurigainya sekitar pukul 12.15. Kemudian karena Irfan tidak kembali cukup lama, Budi dan Yanto pergi memeriksa pada sekitar pukul 12.50. Saat Hendra akhirnya datang memeriksa kondisi temannya, waktu sudah menunjukkan pukul 01.25 dini hari. Jadi para pelaku melakukan semua aksinya hanya dalam waktu kurang dari 3 jam saja!

    Memang bagi komplotan penjahat terlatih, waktu 3 jam itu lebih dari cukup untuk masuk ke dalam sebuah museum, menggondol beberapa barang berharga, kemudian keluar tanpa membunyikan alarm tanda bahaya. Tapi dalam kasus ini, para pelaku mau repot-repot melubangi tembok museum dan mengubah para penjaga malam jadi patung batu. Sesuatu yang rasanya mustahil dapat dilakukan hanya dalam waktu beberapa jam saja.

    “Bagaimana cara pelaku melakukan semua ini hanya dalam waktu 3 jam?!” Sekali lagi Ridwan berseru protes sambil membolak-balik lembaran catatan sakunya. Dia berharap menemukan petunjuk baru dari keterangan para saksi dan petugas olah TKP yang sudah datang sebelum dirinya. Tapi percuma saja, semua informasi yang dia miliki tidak cukup untuk menjelaskan modus operasi para pelaku kejahatan ganjil ini.

    “Hei, jangan menggerutu sendiri! Sana kerja lagi!”

    Tiba-tiba Ridwan mendengar ada yang menegurnya dari belakang. Tanpa basa-basi dia langsung berbalik dan berhadapan dengan seorang wanita berpakaian rapi, yang sedang membawa sebuah papan catatan. Sekilas orang pasti akan salah mengira kalau wanita ini adalah pegawai museum, padahal sebenarnya dia juga berprofesi sama seperti Ridwan, yaitu seorang penyidik dari Badan Reserse Kriminal di bawah naungan Polda Metro Jaya.

    “Galuh? Sedang apa kau di sini?” balas Ridwan sambil menaikkan sebelah alisnya.

    “Pertanyaanku sama denganmu. Sedang apa kau di sini?” Galuh balas bicara sambil berkacak pinggang. “Harusnya kan kau sedang kena hukuman, gara-gara kau seenaknya menembak kaki seorang pelaku curanmor bulan lalu.”

    Ridwan mendengus kesal. Dia masih merasa kalau tindakan brutalnya waktu itu adalah hal yang benar, soalnya pelaku pencurian sepeda motor itu nekat kabur sambil melemparkan sebilah golok ke arahnya. Wajar saja kalau Ridwan membela diri dengan balas melepaskan tembakan ke arah pencuri itu. Sialnya sang pelaku justru melawan balik dengan tuntutan terhadap Ridwan atas peristiwa penembakannya itu. Meskipun tuntutan itu akhirnya dibatalkan oleh pengadilan, tapi Ridwan tetap mendapat sanksi disiplin atas tindakan kerasnya itu.

    Sudah untung bukan kepalanya yang kutembak! Gerutu Ridwan dalam hati ketika mengingat kejadian menjengkelkan itu. Tapi dia enggan berkomentar lebih jauh lagi, sebab dia tahu bagaimana sifat kaku Galuh, yang juga merupakan rekan kerjanya itu.

    “Jadi, bagaimana pendapatmu soal kasus ini?” tanya Ridwan sambil berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Terutama soal lubang dan mayat yang jadi patung ini.”

    Galuh sekilas terlihat masih ingin menyinggung soal kesalahan Ridwan bulan lalu, tapi dia lalu berusaha bersikap profesional dengan membeberkan informasi yang dia temukan di lokasi kejadian.

    “Daripada soal lubang misterius dan para petugas jaga malam yang berubah jadi patung, aku lebih penasaran soal apa yang dicuri oleh para pelaku dari ruang arsip,” ujar Galuh sambil membuka-buka lembaran kertas yang ada di papan catatannya. “Rasanya aneh sekali ada pelaku yang mau repot-repot melakukan semua ini, hanya untuk mencuri sebuah lukisan tua dari gudang museum.”

    Mendengar pernyataan Galuh, rasa penasaran Ridwan langsung tergelitik.

    “Lukisan?” tanyanya singkat.

    “Ya. Lukisan.” Galuh balas menjawab dengan singkat juga. “Lebih tepatnya sebuah gulungan lukisan tua yang tidak pernah dipamerkan di ruang pamer museum. Menurut catatan museum, lukisan itu dulu ditemukan di antara barang-barang antik yang disimpan dalam bunker tua milik tentara Jepang. Tidak ada yang tahu pasti siapa pelukisnya, dan berhubung lukisan itu juga tidak tergolong artifak bersejarah, jadi benda itu dibiarkan terbengkalai begitu saja selama puluhan tahun...sebelum akhirnya dicuri seseorang...”

    “...atau sekelompok orang,” sambung Ridwan sambil mengambil sepuntung rokok dari saku jaket kulitnya. Namun sebelum sempat dia menyalakan benda itu, Galuh sudah buru-buru menyahut rokok non-filter itu dari tangan Ridwan.

    “HEI!” protes Ridwan sambil melotot ke arah Galuh.

    “Kau tahu, dilarang merokok di TKP!” balas Galuh dengan tatapan yang tidak kalah galaknya.

    Ridwan akhirnya melangkah mundur dan berusaha membuang keinginannya untuk menghisap sebatang rokok. Dia lalu mengangkat bahunya dan kembali bicara.

    “Oke...lupakan soal rokokku,” ujarnya sambil mendesah kesal. “Jadi, sebenarnya lukisan seperti apa yang diambil pencuri-pencuri ini?”

    Galuh masih melotot ke arah Ridwan selama beberapa detik untuk memastikan rekannya itu tidak nekat mengambil sebatang rokok lagi. Setelah puas, dia lalu menunjuk ke arah seorang pria paruh baya yang sedang memberikan keterangan ke seorang petugas polisi. Pria yang ditunjuknya itu mengenakan seragam mirip pegawai dinas pemerintah kota, namun dengan beberapa hiasan logo yang menjadi ciri khas Museum Gajah.

    “Sebaiknya kau tanya dia,” jawab Galuh.

    “Siapa?” tanya Ridwan.

    “Teguh Indrawan,” sahut Galuh lagi sambil melirik ke arah catatannya sekilas. “Kurator, sekaligus orang yang bertanggung jawab dalam proses inventarisasi barang-barang museum. Termasuk barang-barang yang ada di gudang arsip.”

    “Hoo...begitu?” tanya Ridwan. “Kalau begitu, kenapa buang-buang waktu lagi?”

    Tanpa basa-basi, Ridwan langsung menghampiri kurator museum bertubuh agak tambun itu. Ketika menyadari ada petugas lain yang datang ke arahnya, Teguh langsung menyapa sambil mengulurkan sebelah tangannya.

    “Saya Teguh Indrawan, kurator museum,” ujarnya sambil tersenyum getir. “Walaupun rasanya posisi saya ini tidak akan bertahan lama gara-gara kasus ini.”

    “Ridwan Alfaritsi, penyidik BaResKrim Polda Metro Jaya,” balas Ridwan sambil menjabat tangan pria di hadapannya itu. “Jadi, lukisan apa yang dicuri dari gudang?”

    Seolah mengetahui dirinya akan ditanyai seperti itu, Teguh langsung mengangkat sebuah komputer tablet yang sedari tadi dia pegang. Di layar sentuh komputer tipis itu, terpampang gambar sebuah lukisan tua yang tampak biasa saja. Lukisan yang muncul di layar tersebut menunjukkan sosok seorang pria tua yang sedang duduk sambil meminum segelas anggur. Pria dalam lukisan itu tampak khidmat menikmati minuman kerasnya, sambil duduk di pinggir jendela sebuah ruangan yang dipenuhi kertas-kertas dan peralatan astronomi. Sementara itu, di luar jendela ruangan dalam lukisan itu, tergambar beberapa rasi bintang yang belum pernah dilihat Ridwan sebelumnya. Sama sekali tidak ada yang istimewa dari lukisan itu, kecuali fakta bahwa lukisan aneh itu tampak berumur sangat tua.

    “Ini lukisan yang dicuri?” tanya Ridwan setelah mengamati gambar yang ditunjukkan oleh Teguh dalam komputer tabletnya itu.

    “Betul. Ini lukisan yang dicuri,” jawab Teguh mengiakan. “Judulnya kalau tidak salah ‘Philosopher’s Relaxing Time’, atau Waktu Istirahat Sang Filsuf. Tidak jelas siapa pelukisnya, tapi dari kondisinya, lukisan ini setidaknya sudah berumur lebih dari 600 tahun.”

    Ridwan bersiul pelan mendengar penjelasan sang kurator.

    “Apa ini berharga?” tanyanya lagi.

    Kali ini Teguh menggelengkan kepalanya.

    “Sayangnya tidak,” jawab pria itu sambil menggaruk belakang kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. “Benda ini pernah diperiksa oleh ahli lukisan antik terkenal, tapi menurutnya ini tidak terlalu berharga. Yah...memang kalau dijual setidaknya bisa laku dengan harga beberapa juta rupiah...tapi tidak cukup alasan bagi seseorang untuk nekat mencuri benda ini dari museum. Terlebih dengan meninggalkan...yah...karya seni mengerikan di ruang sana.”

    Sambil bicara, Teguh menoleh ke arah ruang pameran, tempat terbunuhnya 3 petugas jaga malam museum.

    “Karya seni ya?”

    Kali ini Galuh yang berkomentar. Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau dia jelas-jelas tidak suka dengan cara Teguh memandang korban kasus aneh ini. Dan tampaknya Teguh menyadari hal itu, dan buru-buru menjelaskan maksud ucapannya barusan.

    “Eh...maksud saya, seandainya tiga sosok yang tergeletak di lantai itu bukan mayat sungguhan, tapi patung buatan seniman, pastinya itu adalah sebuah mahakarya yang luar biasa detail,” ujar Teguh salah tingkah. Dia takut melihat kilat tajam di kedua mata Galuh yang berwarna cokelat tua. “Saya tidak bermaksud...”

    “...lupakan yang tadi itu,” potong Ridwan. “Jadi, maksudmu tidak ada alasan kuat bagi para pencuri untuk mengambil lukisan itu dari tempat ini?”

    Teguh sang kurator menatap ke arah penyidik muda di hadapannya selama beberapa saat, sebelum mengangguk dengan mantap.

    “Benar,” sahutnya singkat. “Tidak masuk akal ada yang nekat melakukan semua ini hanya demi lukisan yang nilainya tidak akan angka puluhan juta itu.”

    Ridwan berpikir sejenak mendengar penuturan dari Teguh. Memang tidak masuk akal, tapi berhubung ini semua sudah terjadi, pasti ada sesuatu dibalik lukisan ini yang tidak diketahui orang lain. Sesuatu yang mungkin hanya tampak kalau benda aslinya diperlakukan dengan suatu cara. Dan apapun rahasia yang disimpan oleh lukisan itu, pastinya sangat berharga bagi para pencuri, hingga mereka sampai nekat melakukan aksi gila seperti ini.

    “Oke, terima kasih atas keterangannya pak Teguh,” ujar Ridwan sambil mengulurkan tangan ke arah sang kurator museum. “Kalau ada hal lain yang kau tahu soal lukisan ini, jangan ragu-ragu menghubungi polisi.”

    “Tentu saja,” jawab Teguh sambil menjabat tangan Ridwan. “Ah, maaf, saya ada harus pergi karena ada urusan lain. Polisi yang tadi menanyai saya bilang saya sudah boleh pergi. Bagaimana?”

    Tanpa menjawab, Ridwan mengibaskan tangannya, tanda bahwa Teguh boleh meninggalkan TKP. Selagi sang kurator berjalan pergi, Ridwan berpikir sejenak dan mengolah semua informasi yang berhasil dikumpulkannya sejauh ini. Tapi semua keterangan yang didapatkannya itu justru membuat segalanya jadi semakin rumit.

    Kasus ini rasanya semakin aneh saja, komentar Ridwan dalam hati.

    Tanpa sadar dia meraih sebatang rokok dari balik saku jaketnya lagi.

    “Ehem!”

    Suara berdehem yang dibuat-buat oleh Galuh langsung menyadarkan Ridwan dan membuatnya buru-buru memasukkan batang rokoknya kembali, sebelum disita oleh rekan kerjanya yang galak itu.

    “Jadi, bagaimana sekarang?” tanya Galuh.

    Ridwan mengangkat bahunya.

    “Kurasa sekarang lebih baik kita kembali ke ruang pamer utama dan membantu petugas olah TKP mengais apapun petunjuk yang bisa mereka dapatkan,” jawabnya sambil menghela nafas. “Firasatku bilang ini akan jadi kasus yang panjang.”

    Galuh memandangi rekan kerjanya itu selama beberapa saat, kemudian mengangguk menyetujui.

    “Anehnya, kali ini firasatku sama denganmu,” jawab wanita itu sambil memainkan papan catatan di depan dadanya.

    ****
     
  4. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    hmm, aku rasa cukup menarik untuk awal cerita.

    cuman ada bbrpa yg aku pikirin pas baca2 beberapa kalimat, kyk ini:

    - si satpam C nemu mayat(?) temennya sekitar jam 01.45, tapi kenapa polisi baru tiba pagi harinya. emng gak ada keterangan pagi hari, tapi klo di liat dari perkataan si MC-kun yg bilang "tadi malam bla bla bla" itu berarti hari udah pagi kyknya. jadi, kenapa dia baru nelpon polisi pagi2? apa dia tidur dulu, baru nelpon polisi? padahal keadaan gawat darurat kyk gitu.

    - trus bukti kamera keamanan. apa gak keliatan si pelakunya hingga polisi gak bisa nentuin apa itu solo thief atau group thief. apa gak ada kamera disana?

    - mungkin agak aneh di bagian ini,

    aku malah ngerasa lebih aneh baca kalimat ini. pemikiran MC-kun nya gak masuk logika. klo aku sebagai orang normal, pasti keanehan yg paling aneh kupikirin adalah 'gimana bisa bikin orang itu jadi batu?' kan? itu bener2 mustahil loh.

    sementara disini MC-kun malah mikirin durasi pencurian, seakan2 'malin kundang's curse' ini enar aja, bisa dijelasin lah entah pake sim salabin gak jelas, kyk gitu.

    efeknya sih, menurutku, rasa penasaran pembaca jadi dibikin down. aku sebagai pembaca sih ketertarikan awal ya pas adegan kenapa 'gimana orang itu bisa jadi batu'.

    tapi, klo diliat dari sinopsis sih, kyknya cuman bisa kejawab dengan kata 'sihir' doang. medusa eyes mungkin kah?

    ===

    mengeyampingkan hal itu, ini tulisan yg bagus kk red. aku suka2 genre2 kyk gini, meskipun keliatannya di kebelakang2 malah masuk ke fantasy thriller gitu.

    dan btw, cawan suci itu, holy grail ya? yg di f/z? aku gak terlalu ngerti sih dgn bahasa2 kristen.



    btw, klo aku boleh nyaranin kyknya sihir disini bisa dibikin lbh masuk akal lagi kk.
    mungkin mekanismenya, atau syarat2 penggunaan dll.

    soalnya, gimana ya? klo sihir harry potter yg sim salabin kyk gitu, kyk nya terlalu childish bgt, menurutku.


    tapi, semuanya kembali ke penulis sih. gimana baik penulisnya aja,

    ini cuman, hmm, kyk, bisa dibilang 'ekspektasi pembaca' gt, kyknya.

    Mkasih kk :maaf:
     
    Last edited: Nov 2, 2013
  5. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    hem... setuju ma komennya Sherlock-tan... tei.:ngacir:
    jalur pikiran MC-nya rada ga normal. Kalau di cerita, dia emang udah pernah ketemu kasus-kasus aneh, ganjil macem ini sih mungkin. Tapi kalau baru pertama kali... bukannya lebih wajar kalau mikir ini kasus yang mustahil terjadi daripada ganjil. Lol. Tapi emang udah terjadi. Cuma ya... orang normal kan biasanya bakalan in-denial dulu sebelum nerima dan nyoba mikir apa yang terjadi sebenarnya.

    sementara secara penulisan, pengen tahu aja... kenapa dialog Hendra dibikin nggak baku sendiri? Iya sih.. dia lagi shock. Cuma pengen tahu aja, alasan pengarangnya bikin dia ngomong dengan kalimat nonformal itu apa. Padahal secara situasi, dia juga harusnya pake bahasa formal kayak yang lainnya. Well... kondisinya kah?
    trus, erm... kalau ga salah... kata bapak, ibu, dll kalau dalam penyapaan.. atau penyebutan dengan nama pake huruf kapital kan ya?

    Terakhir, eh.. this is interesting:matabelo
     
  6. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0

    1. Soal kenapa polisi kesannya baru datang pagi hari. Let's face the logic. Klo kejadiannya kira2 pagi2 buta, trus dia nelpon polisi, kemungkinan besar yang datang kan cuma 1-2 mobil patroli (yg lagi jaga malam) dan beberapa orang polisi utk pengamanan lokasi sementara. Trus full-force-nya (tim penyidik dan berbagai peralatannya) baru akan datang beberapa jam kemudian (pagi), soalna kan harus yg harus disiapin utk dibawa ke TKP kan banyak :elegan: .

    2. Ini bakalan saia masukin di next part, thanks :top:

    3. Well...masuk akal sih. Tapi berdasarkan pandangan saia (sbg orang profesional), klo ada hal2 yg ga bs dijelasin, mending dipikirin belakangan en fokus ke hal2 yg bisa dijelasin + dicari jawabannya :elegan: <-- ngeles mode: ON

    Btw, liat reaksi polisi2 klo liat kasus aneh2, saia ambil dari serial Fringe (season2 awal). Disana mereka bingung, tapi tetep profesonal dan tenang :hero:

    Yep, Holy Grail = Cawan Suci, en sepertinya banyak ekuivalensi benda kayak gitu di tiap peradaban. Termasuk Bran's Couldron, Cornucopia, dan Cupu Tirtamanik :elegan:

    Tenang saja, sihir disini akan lebih...rumit dari sekedar lambaian tongkat ucapan mantra sihir :elegan:


    Hmm...masuk akal juga sih. Cuma saia memandang si MC sebagai penyidik profesional yang siap dengan berbagai hal (termasuk yang ga masuk akal), jadinya dia ga panik dan bingung2 liat kondisi TKP :elegan: <-- lagi2 ngeles mode: ON

    :ehem: Kurasa harus ada sedikit scene dimana si Ridwan ini kebingungan soal kondisi korban ya.

    Lebih tepat ke...karakterisasi. Saia ga pengen bikin semua orang ngomong pakai bahasa formal (toh si Ridwan jg kalau ngomong ke partnernya pakai bahasa semi-formal). Nantinya bakalan ada karakter yg suka pake istilah2 slang...mungkin juga bagus klo ada tokoh alay sekalian :elegan:
     
  7. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :matabelo: baru sadar ada cerita detektip kek gini
    ikut komen sekalian pasang sekrup ah....

    1. klo saya belum baca sinopsisnya, maka analisis ridwan akan menjadi kurang memuaskan bagi saya. karena tidak ada hasil pemaparan dari data ilmiah yang mengatakan bahwa patung itu memang dari manusia, maka dalam pemikiran saya sebagai manusia biasa, saya tidak akan menerima begitu saja kenyataan manusia menjadi batu. bagaimana bila sebenarnya tujuan geng perampok itu adalah menculik?? untuk mengalihkan perhatian orang2, mereka menyiapkan patung yang begitu mirip manusia dan lubang untuk kabur kemudian mencuri lukisan random supaya terlihat bahwa tujuannya adalah lukisan. (ini yang terpikir oleh saya klo mengesampingkan semua pemikiran sihir sih :lol:)

    2. saat perhatian ridwan mulai teralihkan menyelidiki tentang lukisan yang hilang. saya sempat sedikit bingung, kenapa ridwan tidak menanyakan asal lukisan itu?? seperti siapa yang memasukkan lukisan itu ke museum, berasal dari daerah mana, dll. padahal klo ridwan berpikir bahwa mungkin lukisan itu menyimpan sesuatu, maka asal usul lukisan itu akan menjadi informasi yang sangat penting sekali.

    segitu saja komentar dari saya :maaf: semoga nda ngaco komen nya
    dan semoga membantu :maaf:
     
  8. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0

    Nuooh~! :top:

    1. Well...mungkin kurang jelas ya. Soalnya kan sudah disebut ama saksi (aka Hendra) klo tiga patung manusia yang ada di ruang pameran itu teman2nya sesama petugas jaga malam (kan bisa keliatan jelas dari wajah masihg2 patung). Emang bisa banget sih klo ternyata tiga orang petugas jaga malam itu adalah pencurinya. Wait! Itu bisa jadi twist yang keren~! :elegan: Thanks atas idenya :top:

    2. Wogh~! Ini masukan yang bagus sekali~! :matabelo: Yosh! Ntar klo udah masuk fase edit (aka selesai NaNoWriMo), akan saia tambahin beberapa keterangan soal lukisan itu. Sekalian bwat bahan chekov-gun atao red-herring :elegan:

    Thanks karena udah mampir dan ngasih komen :top:
     
  9. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 1: Stolen Painting

    Chapter 1 Part 2

    Walaupun itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai penyidik, Ridwan paling malas kalau harus bekerja mengais-ngais petunjuk dari TKP. Dia lebih suka turun langsung ke garis depan dan memimpin penyergapan, atau penangkapan terhadap tersangka atau pelaku kejahatan. Menurutnya hanya orang yang kelewat sabar, atau kurang kerjaan saja, yang mau menyisir tiap jengkal ruang pameran museum seluas beberapa ratus meter persegi ini dengan sebuah kuas dan bedak khusus, demi mencari sepetak kecil sidik jari pelaku. Tadinya Ridwan ingin duduk manis mengawasi tim analis digital mengambil dan memeriksa rekaman CCTV museum semalam, tapi Galuh keburu protes dan menyeret penyidik muda itu kembali ke TKP.

    “Ini membosankan!” gerutu Ridwan sambil menengadah dan menegakkan punggungnya. Sudah hampir dua jam dia harus berkali-kali membungkuk, hanya untuk menyapukan bedak khusus ke beberapa tempat di sekitar mayat petugas jaga malam yang membatu. Namun usahanya itu sia-sia, karena sampai detik ini, dia tidak melihat sedikit pun tanda sidik jari pelaku.

    “Jangan banyak protes!” tegur Galuh, yang sedari tadi berjongkok bersama seorang ahli forensik lapangan. Keduanya sejak tadi sibuk memeriksa kondisi mayat seorang petugas jaga malam yang berubah jadi batu. Sayangnya karena sudah membatu, si ahli forensik tidak bisa memperkirakan penyebab, ataupun waktu kematian korban.

    “Yang jelas sih, korban mati membatu,” ujar petugas forensik itu sambil menggelengkan kepalanya. “Dua puluh tahun aku kerja jadi ahli forensik kepolisian, baru kali ini ada orang mati membatu. Lebih tepatnya, aku baru tahu kalau orang bisa berubah jadi batu seperti ini.” Dia terdiam sejenak, kemudian kembali bicara sambil mengetuk dahi korban di depannya dengan pinset. “Apapun penyebabnya, yang jelas ini bukan hasil pekerjaan manusia.”

    “Setuju,” timpal Ridwan, yang kebetulan mendengar percakapan antara Galuh dan ahli forensik itu.

    “Aku juga setuju!” sahut seorang gadis yang ikut berjongkok di samping si ahli forensik.

    Spontan semua orang yang ada di sekitarnya langsung terdiam dan menoleh ke arah gadis yang tahu-tahu saja muncul dan ikut nimbrung itu. Menyadari kalau dirinya tiba-tiba jadi sorotan perhatian, gadis itu langsung nyengir lebar sambil menunjukkan sebuah tanda pengenal pers dari saku blazer yang dikenakannya.

    “Eeh...salam kenal,” ujar gadis itu dengan cuek, tanpa memperhatikan sorot mata tajam dan raut wajah kaget dari orang-orang di sekitarnya. “Ariesta Galvania, reporter dari majalah Gempar, dan aku punya beberapa pertanyaan untuk kalian semua.”

    “Dan aku juga punya pertanyaan untukmu,” sambung Ridwan sambil berdiri di hadapan gadis reporter itu. “Kenapa ada reporter majalah di sini?!”

    “Tentu saja untuk mendapatkan berita paling baru, paling hangat, dan paling aktual, langsung dari tempat kejadian perkara,” sahut Ariesta dengan entengnya. Tanpa memperdulikan tatapan tajam Ridwan, dia kembali bicara. “Kira-kira apa yang menyebabkan ketiga orang korban ini berubah jadi batu? Terus, bagaimana cara para pelaku bisa melubangi tembok museum sampai sebesar itu? Pakai bom? Dan tadi sempat kudengar, katanya ada lukisan yang dicuri ya? Lukisan apa itu? Apa lukisannya berharga?”

    Mendengar rentetan pertanyaan Ariesta, Ridwan berjengit jengkel, soalnya pertanyaan itu juga sedari tadi berputar-putar di dalam kepalanya tanpa ada jawaban sama sekali. Dan berhubung dia sudah berada di TKP sejak subuh tadi, Ridwan mulai kelelahan. Belum lagi ditambah fakta bahwa sindrom kecanduan nikotinnya mulai beraksi, gara-gara sejak pagi tadi dia sama sekali belum menghisap sebatang rokok pun. Akibatnya Ridwan jadi uring-uringan dan mudah kesal.

    “Dengar, kalau kau tidak mau kugiring ke mobil polisi dengan tangan terborgol, sebaiknya kau keluar dari TKP,” sahut Ridwan dengan ketus. “Aku sudah pusing dengan segala keanehan yang terjadi disini, dan tidak mau dipusingkan lagi dengan pertanyaan-pertanyaan dari mu!”

    Kali ini giliran Ariesta yang merengut, terutama karena sikap Ridwan yang kasar dan jelas-jelas tidak mau berbagi informasi dengannya. Tapi Ariesta tidak mau mundur begitu saja, sebagai seorang reporter utama dari majalah tempatnya bekerja, dia punya prinsip pantang kembali ke kantor sebelum bisa mendapatkan bahan berita yang bagus. Di sisi lain, Ariesta sadar kalau bertanya langsung pada petugas penyidik di depannya itu tidak akan banyak berguna. Jadi dia mencoba mengubah taktiknya.

    “Ayolah, tidak ada salahnya kau berbagi informasi dengan orang-orang seperti ku. Biar bagaimanapun, reporter seperti ku ini sering kali bisa berguna bagi penyidikan, terlebih karena kami sering melakukan penyidikan mandiri,” ujar Ariesta, kali ini dengan nada memohon, lengkap dengan tatapan berkaca-kaca dengan memanfaatkan parasnya yang memang imut itu. “Kami juga punya sumber-sumber tepercaya loh.”

    Sayangnya taktiknya itu cuma ampuh menghadapi para petugas yang bermental lemah terhadap wanita, dan tidak cukup ampuh terhadap Ridwan, yang kalau sedang bertugas, bisa bersikap tegas terhadap siapa pun, termasuk terhadap gadis cantik seperti Ariesta.

    “Lupakan saja! Aku tidak butuh bantuanmu,” ujar Ridwan sambil menepuk pundak Ariesta dengan lembut, namun bernada tegas. “Sekarang lebih baik kau pergi sebelum aku benar-benar menggunakan ini.”

    Sambil bicara, Ridwan menyingkapkan jaket kulitnya dan menunjukkan sepasang borgol baja yang tergantung di sabuk pinggangnya. Sebenarnya dia tidak benar-benar akan menggunakan benda itu pada Ariesta, tapi sepertinya itu cukup untuk membuat reporter itu melangkah mundur karena takut akan ditangkap dan dipenjarakan.

    “Oke, jangan pakai kekerasan, oke?” ujar Ariesta sambil mengangkat kedua tangannya. “Aku akan pergi sekarang, jadi jangan tangkap aku, ya?”

    “Nah, begitu lebih baik,” balas Ridwan. “Nah, tunggu apalagi?”

    Ariesta sempat merengut beberapa saat ke arah Ridwan, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan ke arah berlawanan. Namun sebelum reporter itu melangkah keluar dari garis batas polisi, dia kembali menoleh ke arah Ridwan dan Galuh yang berdiri di samping seorang korban.

    “Ah, sebelum aku pergi, ada baiknya kalian memeriksa benda yang ada di tangan korban di sampingmu itu. Kalian pasti akan menemukan sesuatu yang menarik,” ujar Ariesta. “Mungkin setelah itu kau akan memikirkan ulang soal tawaran bantuanku tadi.”

    Sebelum ada yang bisa mencegahnya, gadis itu sudah melangkah cepat keluar dari ruang pameran dan menghilang di antara kerumunan pegawai museum yang sudah berkumpul di luar gedung.

    Sementara itu perkataan Ariesta barusan jelas-jelas membuat Ridwan penasaran. Dia lalu menoleh ke arah petugas forensik yang masih berjongkok di samping salah seorang korban, dan petugas itu pun balas menatapnya. Dia sudah bisa memperkirakan apa yang akan diucapkan oleh si penyidik muda itu.

    “Kau dengar kata-katanya tadi?” tanya Ridwan pada petugas itu.

    “Iya,” sahutnya singkat. “Sebentar, akan kuperiksa dulu.”

    Dengan perlahan, petugas itu lalu membalikkan posisi tubuh korban agar tangannya terlihat jelas. Dan memang benar, salah satu tangan korban dalam posisi terkepal dan sepertinya memang ada sesuatu yang digenggam oleh pria malang itu. Dari bentuknya, benda yang berada dalam genggaman korban itu tampak seperti sebuah batu berwarna oranye kusam. Dari warnanya, sekilas benda itu mirip dengan sebuah batu topaz. Pertanyaannya sekarang, kenapa ada batu seperti itu di tangan korban?

    “Itu bukannya jenis batu berharga?” tanya Galuh.

    “Sepertinya begitu. Dari warnanya, kupikir itu sebuah topaz,” jawab si petugas forensik, sambil berusaha mengeluarkan benda itu dari genggaman tangan korban yang sudah membatu. “Tapi kenapa benda seperti ini ada di tangan korban?”

    Ridwan menghela nafas panjang sambil mengambil sebatang rokok, kemudian menyelipkannya ke bibir sebelum sempat dicegah oleh Galuh.

    “Itu juga yang ingin aku kuketahui,” jawabnya sambil memainkan pemantik api di tangannya. Dan siapa sebenarnya reporter tadi itu? Bagaimana dia bisa tahu ada benda semacam itu di genggaman tangan korban?

    ****
     
  10. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 1: Stolen Painting

    Chapter 1 Part 3

    Ariesta melangkah cepat meninggalkan Museum Gajah sambil menekan nomor kontak seseorang di ponselnya. Ekspresi wajah gadis berkulit sawo matang itu tampang tegang selagi dia menunggu panggilannya dijawab.

    Ayo! Jangan lama-lama! Serunya dalam hati.

    Namun meski sudah menunggu cukup lama, tapi tidak ada orang yang menjawab panggilannya. Sambil mendengus jengkel, Ariesta sekali lagi menghubungi nomor yang sama dan berharap kali ini orang yang dihubunginya itu akan segera menjawab panggilannya.

    “Ayolah, Lei! Jawab panggilanku! Ini penting!” seru Ariesta pada dirinya sendiri.

    Sambil menunggu panggilannya dijawab, Ariesta memandang ke sekelilingnya, tepatnya ke arah kerumunan orang yang berkumpul di sekitar halte bis yang ada di dekatnya. Kedua mata gadis itu dengan cepat memeriksa satu persatu orang yang dia lihat, seolah-olah dia sedang berusaha mencari-cari sesuatu yang tidak biasa di antara kerumunan itu.

    “Hoaahmm...Halo? Siapa ya...?”

    Tiba-tiba saja panggilannya dijawab oleh seorang pria. Dari caranya bicara, sepertinya orang yang menjawab panggilan itu sedang mengantuk berat.

    “Kenapa lama sekali, Lei! Kau kan tahu kalau aku meneleponmu, pasti ada kejadian penting!” Tanpa basa-basi, Ariesta langsung berseru protes pada seseorang di ujung panggilan teleponnya. Sambil setengah berteriak, dia kembali bicara melalui ponselnya. “Tapi kau malah mengabaikan panggilanku!”

    “Haih! Maaf, aku baru saja bangun. Ada pasien darurat datang ke klinikku tadi malam dan gara-gara itu aku terpaksa bergadang semalam suntuk,” jawab orang yang bernama lengkap Wang Feng Lei itu dengan nada malas. “Jadi...ada masalah apa?”

    “Ada pencurian di Museum Gajah semalam,” jawab Ariesta singkat.

    Selama beberapa saat Lei terdiam. Dari sambungan telepon, Ariesta bisa mendengar suara denting gelas saling beradu, yang sepertinya itu suara Lei yang sedang menyeduh tehnya. Orang itu memang punya kebiasaan meminum teh langsung setelah bangun tidur.

    “Apa hubungannya denganku, atau denganmu?” tanya Lei lagi, masih dengan nada malas. Sepertinya dia masih belum mau benar-benar bangun dari tidurnya. “Mungkin lebih tepatnya...apa hubungannya pencurian itu dengan orang-orang seperti kita? Soalnya kalau itu cuma kasus pencurian biasa, untuk apa kau repot-repot ikut campur. Biarkan saja polisi yang turun tangan...Hoaahm...! ”

    Kali ini Ariesta yang terdiam sejenak. Dia tahu ucapannya selanjutnya akan langsung membuat Lei keluar dari kemalasannya seketika.

    “Ada yang terbunuh. Tiga orang, dan semua korban mati karena tubuhnya diubah jadi batu,” jawab Ariesta dengan nada serius. “Apa itu cukup menarik perhatianmu?”

    “Batu?! Kau serius?” tanya Lei dari ujung sambungan teleponnya. Nada bicaranya kini berubah menjadi lebih antusias. Ternyata dugaan Ariesta tepat sasaran. Kini Lei langsung menaruh perhatian pada perkataannya.

    “Ya, aku serius,” sahut Ariesta sambil tersenyum senang karena berhasil membuat Lei benar-benar tersadar dari kantuknya.

    “Bagaimana metodenya? Apa basis yang digunakan?” Lei bertanya dengan nada bersemangat. “Apa kau sempat lihat bekas-bekas formulanya di suatu tempat? Ngomong-ngomong, apa pembatuan itu hasil transmutasi?”

    Ariesta mengangkat bahunya.

    “Kemungkinan besar begitu. Sayangnya aku tidak sempat memeriksa lebih lanjut. Jadi aku tidak tahu seperti apa detailnya,” jawab Ariesta. Dia lalu kembali melanjutkan perkataannya sambil menggaruk belakang kepalanya. “Yah...soalnya aku tadi keburu diusir dari TKP sebelum sempat melihat lebih jelas situasinya...”
    Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dari balik pengeras suara ponsel Ariesta.

    “Hei! Jangan tertawa! Itu tidak lucu tahu! Aku bahkan diancam akan diborgol dan dilempar ke penjara!” protes Ariesta mendengar suara tawa keras dari Lei.

    “Maaf! Tapi menurutku itu lucu sih,” balas Lei dengan nada geli. Dia lalu berdeham sejenak, kemudian kembali bicara. Kali ini dengan nada serius. “Jadi, apa yang dicuri dan di mana lokasi pencuriannya?”

    “Pencurian itu terjadi semalam di Museum Gajah, dan benda yang dicuri adalah sebuah lukisan,” jawab Ariesta, juga dengan nada serius. “Sayangnya aku belum tahu lukisan apa yang dibawa para pelaku. Yang jelas mereka bukan orang sembarangan. Para pencuri itu sepertinya sama sekali tidak segan untuk menggunakan kekuatan mereka dalam aksinya semalam, dan kupikir ini pertanda buruk.”

    Selama beberapa detik, Ariesta tidak mendengar suara apapun dari seberang sambungan teleponnya. Tapi dia tahu kalau saat ini Lei pastinya sedang berpikir keras untuk menentukan langkah mereka selanjutnya.

    “Kau benar. Ini pertanda tidak baik.” Lei kembali bicara setelah terdiam cukup lama. “Tapi sebelum aku bisa memutuskan apapun, kau sebaiknya mencari tahu lukisan apa yang dicuri semalam.”

    Ariesta mengangguk.

    “Akan kuperiksa,” jawabnya. Dia lalu menimpali perkataannya dengan nada getir. “Tapi nanti kalau polisi sudah siap untuk menjawab pertanyaan dari pers. Aku tidak mau diusir, atau bahkan dipenjara, gara-gara menerobos masuk ke TKP.”

    Sekali lagi terdengar suara tawa tertahan dari Lei. Ariesta baru saja akan protes, tapi temannya itu sudah kembali bicara dengan nada serius.

    “Hati-hati. Aku punya firasat buruk soal kasus pencurian ini,” ujar Lei.

    “Aku juga,” sahut Ariesta. “Nah, sampai jumpa lagi. Kalau ada perkembangan, nanti akan kuhubungi kau lagi.”

    Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, Ariesta menutup sambungan teleponnya, kemudian menengadah melihat langit kota Jakarta yang diselimuti kabut asap tipis.

    Semoga firasat kami berdua tidak terbukti benar...harap gadis itu dalam hati.

    ****
     
  11. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    hmm, lumayan mulus menurutku.

    tapi ada beberapa kyknya yg aku bingung:

    1. kyk si ridwan lakukan di awal cerita bagian 2. yang aku pernah liat dan baca itu, entah di novel detektif atau drama detektif, biasanya kan klo detektif, atau disini bilang penyidik mungkin, cuman nanya2 bukti2 dan informasi yg dihasilkan trus mencoba mengaitkan informasi itu satu sama lain.
    bagian yg nyari2 sidik jari, nyari2 bekas darah itu kerja tim forensik gak?

    ane juga nggak paham masalah ini sih, jadi nanya aja~.

    2. selanjutnya, kykna ini dibagian satu, tapi ya sudahlah.
    hubungan ridwan ama galuh itu apa? mereka kyk solo player yg tiba2 kebetulan muncul di lokasi tkp yg sama. aku asumsinya kyk gitu dari klimat ini:

    si ridwan kena hukuman apa gak dijelasin. dirumahkan? bebastugas sementara? aku mikirnya kyk gitu, jadi gimana bisa ridwan tiba di tkp?

    dan mereka bukan partner kan?

    3. mungkin deskripsi dari ariesta. burem bgt. cuman di bilang dia adalah seorang 'gadis'. aku malah mikir dia anak SMA jenius yg bisa mecahin kasus pembunuhan sekali lewat.
    mungkin bisa dijelasin umurnya berapa, pakaian khasnya hingga pembaca bisa mengingatnya dengan jelas.

    contohnya mungkin:

    kyk novel detektif yg baru kubaca, ada cewek 15 tahun juga yg diluar kepolisian ikut campur kepolisian, dia menarik bgt karena hanya pake swimsuit meskipun pas badai maupun summer. bawa kaca pembesar dan smartphone, lol.

    padahal klo aku bilang, dari kemunculan si ariesta, bisa jadi tokoh yg sangat menarik dibandingin prota-kun atau heroine satu lagi loh.






    masih banyak sih, tapi udah malas~
    semangat kk :cheers:
     
  12. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0

    :kaget: :sembah:

    Sasuga om detektip. Analisanya keren :top:

    1. Eeh...saia belum tahu, sebenarnya di jajaran kepolisian Indonesia itu ada yang namanya detektif atau tidak. Rasanya di struktur organisasi (dan berdasarkan pengalaman pribadi) yang saia tahu nama orang yg keluar-masuk dan ngurusin TKP dan pencarian pelaku, itu Penyidik, bukan detektif. Mungkin ada pembagian tugas yg ngurus saksi mata, forensik (klo ada korban), dan olah TKP (termasuk yg nyari sidik jari, klo ga salah sekarang ada tim khusus yg mencocokkan sidik jari secara digital).

    2. Oho...mereka rekan kerja, saia ga tahu ada sistem partner atau enggak di kepolisian kita. Tapi asumsi saia (mungkin) tidak ada, walo pastinya ada orang2 yg klo ngurus kasus, pasti kerja bareng/berpasangan. Mungkin bukan sistem partner yang baku kayak di kepolisian Amrik / UK (yg sering ditunjukin di film2 kayak CSI).

    3. Iyah. Emang blom dikasih detail. Saia masih fokus ke plot utama, blom masukin detail deskripsi karakternya. Kayak si Ridwan penampilannya kayak apa, atau Galuh juga.

    Tapi ide karakter cewe yang hobinya pake swimsuit itu boleh juga :mesum:

    Ayo, lebih banyak lagi cabenya :minta:
     
  13. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    well... karena keliatannya cuma tokoh sampingan jadi saya kira ngapain jg dikasih karakteristik*murmur*:ngacir:

    heheu... hampir semuanya udah dikomen ma sherlock-tan...tei. biarpun yang paling saya mau komen cuma kemunculan Ariesta aja sih. viva joshi \o/
    Waktu ni tokoh muncul langsung yang kebayang... loli/teenage girl dengan twintail. Why twintail? mana kutau. Tapi ternyata dia wartawan... pro kah?
    interesting chara is interesting after all. pas baca interaksi dia sama Ridwan, pengen ngeliat Ridwannya lebih jengkel lagi. sayang cuma segitu doang:hiks:

    trus.. belum ada penjelasan soal penampilan tokoh-tokohnya secara lebih mendetail ya :o saya lupa >_<
     
  14. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0

    Heum...kok kayaknya klo si Ariesta ini dibikin loli + twintail kok bakalan lebih sip ya :hoho:

    :maaf: soal detailnya, masih ngebut NaNo, jadi fokusnya ke alur cerita utama dulu, baru ngasih filler event + detail deskripsi chara waktu masuk fase edit.

    Tapi pelan2 di part selanjutnya, tiap ada karakter baru muncul, akan saia coba bikin lebih banyak deskripsinya.

    :top:
     
  15. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    udah baca sampe akhir, tapi bingung mesti komen apaan :iii:

    well, dari penceritaan, berhubung semua pertanyaan aku udah diwakilin ama komen2 dari sesepuh sebelumnya, keknya sih aku mau kasi kesan aja :hmm:

    rating 4/5 :top:

    yang paling aku suka dari fic ini, well, struktur penulisannya itu, nice :top: meskipun sebenernya aku kurang suka ama cerita detektif kek gini sih :iii: tapi sejauh ini aku masi bisa dibawa untuk baca sampe akhir :lalala:

    oh, mungkin mau nambahin komen mbak naga ind*siar merp, itu Ariesta pas muncul bener2 tipe loli, tapi kok perkembangannya malah jadi mirip tipikal cewek tsundere yang terkadang serius, ya? kesannya jadi agak loncat aja gitu :hmm:
     
    Last edited: Nov 7, 2013
  16. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Baru baca nih... ^^ Tapi semua komen kayaknya uda dibabat habis. >_<

    Btw soal plot lum bisa berkata banyak, untuk awalan ini masih adegan klise cerita-cerita detektip atau misteri.

    Klo soal dialog, saya ngerasa dialognya agak aneh... Di bagian yang ga pake kalimat baku malah jadinya terasa janggal, kayak dialog ga baku yang dipake di sinetron-sinetron. Yah, mungkin cuma saya aja yang ngerasa begini.

    Trus yang Ariesta, saya kurang ngerti sikapnya. Dia tuh kayak smart-smart tapi dodol gimana gitu... Kenapa dia ga coba tanya-tanya ke petugas dan kurator museumnya dulu, malah langsung ke penyidik di lokasi? Trus metode wawancaranya to the point banget, ya iyalah diusir.

    Sekian aja deh, lanjutkan~
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.