1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Ketika Bersamanya Hari Itu

Discussion in 'Fiction' started by gidehb, Oct 21, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. gidehb Members

    Offline

    Joined:
    Jun 4, 2011
    Messages:
    9
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +2 / -0
    Senyumnya sempurna, matanya sempurna, caranya mengedipkan mata sangat sempurna, caranya menyibakkan rambut, bagaimana dia menutup bibirnya dengan jari-jarinya ketika tertawa, bagaimana dia berdiri dan kemudian duduk di antara anak-anak kecil itu. Dia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke pelipisnya, matanya mengedar ke pojok kanan atas sambil tersenyum, seolah dia sedang berpikir keras, tapi kita tahu bahwa dia hanya sedang menahan memberikan jawaban, membuat jeda penasaran bagi anak-anak kecil itu. Aku membayangkan Tuhan punya sebuah kamera besar di setiap penjuru tempat, dan semua kamera itu tidak pernah gagal mengambil gambarnya dengan tepat. Dia diciptakan dengan berbagai kelebihan. Dengan menjajarkan sepuluh orang cantik berbajaran dalam satu saf, kamu akan tahu mana gadis yang kumaksudkan.
    Dia terlalu kerap memakai kemeja putih slim fit dengan rumpuk di bahu hingga dada itu. Kadang dia menggantungkan syal mungil di lehernya menjuntai bebas ke bawah, kali ini tidak. Celana hipster skinny cut hitam, dengan ballet flat shoes berwarna putih tulang.Tidak ada yang tampak sangat mahal, namun apa pun yang melekat di tubuhnya tampak begitu istimewa.
    "You are very special, there's no one just like you! God has made you special, there's no one just like you!"
    Lagu itu diulang-ulang sampai semua anak itu bisa mengikuti gerakannya. Dan ketika akhirnya anak-anak kecil itu serempak mengikutinya dia tertawa lepas dan bertepuk tangan. Anak-anak itu ikut bertepuk tangan.
    Dia punya cara yang cerdas mengajar matematika, ditulisinya ubin kuning itu dengan angka 1 sampai 10 berderet, dan demikian seterusnya ke bawah hingga angka 100. Hanya satu papan permainan namun berbagai cara dilakukannya. Kadang anak-anak itu diminta untuk berlari ke angka yang dimaksudkannya, "Tujuh kali enam!" Dan anak-anak itu akan ramai mencari hingga saling bertabrakan. Namun semuanya berakhir dengan tertawa. Kadang dia hanya mengatakan "Kelipatan empat!" Dan anak-anak itu berlari ke angka-angka yang dimaksudkannya. Ada banyak cara yang lain yang bahkan tidak bisa kuingat. Dia akan mengakhiri kelas dengan doa, semua menutup mata dan diam. Aku melihat anak-anak itu tidak rela mengakhiri kelas. Mereka bertanya besok main game apa, termasuk apakah besok kelasnya bisa dimulai lebih awal.
    Aku hanya duduk dan sesekali memotret.
    Dia duduk di sebelahku, memasukkan lembar-lembar karton yang ditempeli dengan kertas HVS dengan tulisan angka-angka ke dalam kardus Aqua. Tersenyum.
    "Pelajaran apa besok?"
    Dia masih menata angka-angka itu, lalu berhenti sejenak. Dan dalam sekian waktu dia menatapku, "Ehm, Bahasa Inggris!"
    "Kamu gak capek?"
    Dia menggeleng sambil menekan bibir atasnya, lalu lagi, tersenyum.
    "Bukan itu?"
    Dia memiringkan kepalanya memandangku, "Ha?"
    "Kamu gak capek mondar mandir di pikiranku?"
    Kami tertawa. Dia menyibakkan rambut dengan kedua tangan, membawa rambut itu ke belakang dan memutar ikat rambut hitam. Berikutnya meletakkan telunjuknya di depan wajahnya dan menggerakkannya maju mundur, seperti bagaimana dia biasa mengajar anak-anak itu, "Jangan terlalu kencang, biar rambut tidak mudah rontok!"
    "Nanti kalau aku berumur 30 tahun, dan belum menikah. Lalu waktu itu kamu juga belum menikah dan tidak bersama siapa pun, kita menikah ya?"
    Dia melihat jam tangannya, tertawa menatapku, "Impulsif ya masnya!"
    "Siapa ibu gurunya?"
    Dia tertawa dan berdiri, "Guru kencing berdiri, murid kencing maraton!"
    "Kesel dong! Emang Bu Guru kencing berdiri?"
    Dia tertawa mengambil tasnya. Dia meletakkan kardus Aqua itu di bawah bangku bersama kardus-kardus yang lain. Ada sebuah kardus berisi krayon, lem, gunting. Ada kardus kertas. Serta beberapa kardus lain yang berisi mulai dari pita, koran, potongan kain dari baju-baju bekas, hingga bunga dari kertas krep.
    "Tidak harus mahal kan untuk memberikan pendidikan berkualitas, kreatif saja!"
    Aku mengedarkan pandangan ke rumah joglo itu. Ubin kuning itu sumbangan dari salah satu orangtua mahasiswa ketika kami KKN di sana. Kami yang mendirikan joglo mungil di tengah perkampungan pemulung itu. Empat tiangnya kami dapatkan seorang teman yang punya pabrik pengolahan kayu di pinggiran kota. Atapnya kami rencanakan genting tanah liat atau kayu sirap, namun karena dana yang terbatas kami hanya memasang seng, memang sangat berisik ketika hujan, tapi tidak masalah. Kami menghabiskan dana cukup besar untuk reng dan usuk, karena semuanya harus membeli waktu itu. Akhirnya dalam dua tahun ini bangunan ini bisa menjadi ruang publik bersama para pemulung. Kadang dipakai tidur, acara tujuh belasan, hingga hajatan. Tidak terlalu besar, hanya 5 x 5 meter. Sangat menyenangkan bisa merasa berguna.
    Sudah hampir jam lima sore. Jalanan Jogja tidak pernah sepi. Dia melongok ke kanan sebelum menyeberang. Bersama kami dua orang tua, mengamen dengan berpakaian penari Jawa. Yang perempuanmembawa gelas Mizone yang dipotong melintang, kebaya kuning pudar dengan kain batik melilit sepanjang lutut. Aku tak habis pikir dengan bedaknya dan lipstiknya, mengapa dia terlalu tebal dan sengaja dimelebrkan hmenyerupai limbuk, mengapa dia tidak berdandan cantik saja. Aku masih meliht sisa kecantikan di wajahnya. Yang pria membawa dua buah bonang, rompinya hijau terang dan celana batik. Aku tertawa geli mengingat salah satu temanku yang diusir keluar dari kelas gara-gara bercelana batik, "Celana koloran begitu dipakai, kalau melorot kamu siap bertanggungjawab untuk semua yang melihat dengan mata berninar-binar?" Tentu saja penggalan terakhr kalimant dosenku itu mengundang tawa seluruh kelas sekaligus membuat temanku memerah menahan malu dan terpingkal. "Tutup pintunya ya... dari luar!" Dan kalimat itu menjadi wasiat pamungkas yang menentukan nasib celana batik di kampus kami.
    Dia yang berdiri di sebelahku juga tampak memerhatikan mereka. Matanya, nah lagi-lagi menunjukkan tatapan itu, seperti tatapan antara, tatapan yang berada pada batas rasa ingin tahu dan terpesona. Dia menyempatkan mengambil seribu rupiah dari saku depan celananya dan memberikan kepada perempuan itu. Tidak alang senangnya perempuan itu.
    "Mulia sekali Ibu Guru!"
    "Terimakasih!" Dia tersenyum dibuat-buat, benar, aku gemas.
    Aku menatap dua pengamen itu berbelok kiri sebelum tersenyum dan mengangguk kepada kami. "Apa ya yang gak ada di Jogja?"
    "Menara Eiffel!" Jawabnya sekenanya sambil terus berjalan tanpa memandangku, dan tetap masih tersenyum.

    Setelah menunggunya mandi, kami lagi-lagi berjalan ke SS di sebelah Lembaga Indonesia Perancis. Ini pertama kalinya aku makan berdua dengannya. Aku yang akan membayar, ternyata aku masih laki-laki Jawa yang berpendapat bahwa laki-laki harus bertanggungjawab kepada perempuan.
    "Fon!"
    "Ya?" dia membenarkan kain lengan kanannya yang melipit ke atas.
    "Kenapa kamu suka berjalan?"
    Dia berhenti mengepalkan kedua tangannya ke depan dada. Dan lagi-lagi dengan tatapan itu, dan senyum gemasnya yang dibuat-buat.
    "Dei, aku hanya perlu 4 bulan untuk belajar duduk, tapi aku butuh 6 bulan lagi untuk belajar berjalan, rugi banget kalau aku sudah bisa berjalan tapi masih memilih duduk di atas motor. Kemunduran!"
    "Sok cerdas!" Dan tawa kami meledak.
    "Indonesia sudah kebanyakan sepeda motor, Dei! Kita nggak perlu menyiksa udara dengan menambah satu lagi dari kita!"
    Aku memerhatikannya. Dia jelas tahu sedang diperhatikan. Dia tahu bahwa dia cantik, aku yakin itu.
    Dia mengacungkan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf V dan mengarahkannya ke wajahku, "Awas mata!"
    "Sok cantik!"
    "Kayak situ nggak berpikir gitu!"
    "Weh!" Aku menjulurkan lidah.

    Makan malam yang hangat, musik yang bagus, lampu berwarna-warni, dan obrolan orang-orang di sekitar kami. Kami pun mengobrol, dengan tertawa dan dan saling melemparkan pandangan. Ada saat ketika kami saling tertawa ketika menemukan mata kami saling bertemu dalam kecelakaan pandangan yang disengaja. Aku yakin para pria di rumah makan ini iri denganku, mereka beberapa kali melihat ke arah Simfoni dan kemudian melihatku. Apa ada yang salah dengan kami. Aku rasa aku tidak terlalu jelek.
    Dia meletakkan kedua sikunya di atas meja, punggung tangannya menopang kepalanya. Matanya menjurus kepadaku. Mulutnya menyelesaikan kunyahan terakhir.
    "Ehm, jawabnya iya!"
    Aku mengernyitkan dahi "He?"
    "Jawabnya iya?"
    "Memang apa pertanyaannya?"
    "Pertanyaannya adalah ... sebuah pertanyaan tidak penting di jam empat lebih empat puluh dua menit tadi sore, tentang kamu dan aku yang menikah nanti ketika kamu 30 tahun!"
    Aku menutup mukaku dengan kedua tangan sambil menahan teriakan, "Aaaahhh!" Aku yakin kamu tahu apa yang aku rasakan.
    "Tapi kamu tahu, aku sedang punya cerita dengan Demi, dan aku masih dan tidak ingin mengakhirinya sekarang! Dan aku tidak yakin aku akan mengakhirinya"
    Aku mengangguk-angguk, "Aku terima resiko itu!"
    Aku melanjutkan, "Kamu pedes kayak sambel ini, tapi asem manis kayak es jeruk ini!"
    Tawanya meledak, aku juga. Dia menghadapkan kelima jarinya kepadaku sambil berteriak, "Udahhh deeehhh!"
    Aku menghabiskan nasi di piringku, mungkin tinggal dua atau tiga sendok lagi.
     
  2. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    weleh :swt:

    gimana yah? well, jujur terlalu banyak detail ga penting yang seharusnya bisa dihindari sih :iii:
    sebenernya di pembuka aja udah terlalu wah gitu penggambaran si ibu gurunya :iii: berharap masuk bagian tengah mulai ke konflik, eh malah makin banyak deskripsi yang semestinya sih bisa dihindarin :swt:
    imo, terlalu banyak deskripsi disini menyebabkan plot cerita kurang berkembang, n jujur malah bikin saya skimming bacanya :iii:

    n satu lagi, ini inti ceritanya apa ya? pengalaman pribadi? unsur sebuah karya fiksi itu ada 4 unsur utama: awalan, konflik, klimaks, ending. jujur yang aku tangkep sih konfliknya entah yang mana, klimaksnya juga, yaa, begitulah :hmm:

    saran aku banyak2 baca kk :peace: banyak tulisan di SF ini yang bisa jadi referensi :peace:

    selamat bergabung dan terus menulis ya :lalala:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.