1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Kronologi Cinta

Discussion in 'Fiction' started by gidehb, Oct 21, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. gidehb Members

    Offline

    Joined:
    Jun 4, 2011
    Messages:
    9
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +2 / -0
    1
    Gadis itu tak seberapa jauh dariku. Sepeda motor menikung, tapi seketika jarak kami menjadi begitu jauh. Mantelnya merah sewarna payungnya, sewarna sepeda motor yang tak segera sadar untuk mengerem, sewarna darah yang tiba-tiba meluber begitu rupa dari pelipisnya. Mengalir semakin deras bersama hujan yang tak seberapa.
    Aku berlari kepadanya, mendahului semua orang lain. Aku membopongnya dan dia begitu saja tersenyum kepadaku.
    Lalu semua bayangan itu saling bersaling-silang. Wangi kopi Aceh mengepul dari cangkirku, dan pacarku persis duduk di depanku bermain-main dengan cappuccinonya. Gadis itu melintas di dekatku dengan rok ungu dan sepatu tipis yang senada warnanya. Dia berhenti sejenak membetulkan sesuatu yang sudah serba betul di sepatunya, matanya memandangku, untung saja tidak sampai beberapa menit, karena beberapa detik itu saja sudah mampu menghentikan detak jantungku. Dan kembali melangkah pergi. Beberapa hari kemudian aku berjalan dengan pacarku karena dia bersikeras memaksa menonton Poconggg juga Pocong di XXI Jalan Solo. Dan lagi dalam tas punggung coklat dan rok sewarna tasnya aku segera mengenalinya. Dia menyaksikan poster-poster film yang akan tayang, beberapa poster sudah fiilm lama yang kutonton dari versi downloadan. Gadis itu berhenti di poster Carnage, menekuni poster itu dengan seksama. Aku berdiri persis di belakangnya. Dia tidak berbalik, tapi menatap pantulanku di kaca poster-poster itu. Lalu tersenyum dalam pandangan yang seperti sudah sangat kuakrabi. Berhenti lagi jantungku seketika itu. Perutku mendadak mulas dan aku ingin terbirit. Kemarin Minggu ketika berlari pagi di daerah Mandala Krida bersama anak-anak kos sekali lagi aku melihatnya, berlari dengan sepatu kets putih. Dia membalapku, lalu persis berhenti di depanku, aku hampir menabraknya jika saja refleksku tak cukup cerdas. Seperti sangat perlahan mengambil botol sari apel. Dia jelas-jelas tahu sedang kuperhatikan, persis dari sisi samping kulihat dia menatap ke langit, lalu tersenyum dengan tatapan yang sama, tanpa memandangku, atau mungkin memnadangku dari sudut matanya - setidaknya aku ingini begitu. Lalu tertawa kecil dan melanjutkan larinya.
    Kali ini, matanya memandangku seperti biasanya. Kalau ini kebetulan tentu aku selalu mengharapkan kebetulan terjadi setiap hari. "Aku tahu kamu akan datang menolongku." Kalimat itu tak kuwaspadai, aku seketika menurunkannya antara gugup dan entahlah. Beberapa orang sibuk meneriaki pemuda sialan dengan tampang sok Korea a la boyband-boyband lokal yang justru bersibuk dengan baret di sayap motor dan footstepnya yangbengkok. Tapi bukan itu yang kuingat persis, inilah yang kuingat: tanpa perlu beberapa detik bibirnya sudah ada di pipiku. Lalu dia melenggang lagi berjalan dengan mantel dan payung merahnya, pergi meninggalkan aku yang masih belum berhenti berpikir.

    2
    “Beneran pindah ke sini kan, Tut?”
    “Iya!”
    Diana tertawa terbahak-bahak. Lalu meraba dinding sebelahnya.
    “Dia tinggal persis di samping kita, Tut!”
    “Jadi kita resmi bersaing ya!”
    “Siapa takut!”

    3
    Mereka bersedekap di balik tirai krem. Saling bergenggaman tangan dengan sayang yang meluap-luap. Tak ada yang bisa melihat mereka kecuali anak kecil dengan mata juling itu. Anak itu menatap mereka, atau menatap yang lain.
    “Apa yang kamu lihat?”
    Anak itu menatapkan sebelah matanya kepada si penanya. Bulu kuduk anak-anak unyu itu merinding seragam.
    “Kamu sungguhan, Cong!”
    Acong mengangguk-angguk lalu tersenyum, semakin menambahkan suasana gelisah. Lalu Acong, si anak juling itu kembali menegangkan wajah. Tak ada suara lain selain napas pilek anak-anak unyu itu. Acong mengusap matanya, kelihatan lelah. Lalu anak-anak itu beringsut kisut. Mereka menggumamkan sesuatu, mungkin segera ingin pulang.
    Rumah itu gelap, hanya cahaya senter dengan baterai tiga yang menuntun mereka sampai ke sudut itu. Acong memberitahu mereka bahwa Acong selalu melihat pasangan itu sejak beberapa hari lalu. Menjelang Isya’ sejak kecelakaan mobil di jalan angker itu, banyak orang merasa melihat beberapa orang tanpa kaki melayang berlalu-lalang di sekitar situ. Dan di rumah itulah dua hari yang lalu seorang pedangan bakso terbirit-birit meninggalkan dagangannya. Katanya melihat mata sebesar piring di balik jendela yang kusam dengan beberapa kacanya sudah pecah bekas dibakar masa saat ramai-ramai reformasi. Lalu Pak Sunu yang meronda tak pernah berani lagi patroli di situ, katanya ada perempuan memanggil-manggil setiap kali lewat di situ. Perempuan itu berambut panjang sepunggung dengan muka rata dan berjalan berdeglik-deglik. Jalannya menempel pada dinding luar sebelah selatan rumah.
    Anak-anak unyu itu bertaruh mati-matian bahwa mereka tidak akan ketakutan. Lalu mereka membawa Acong yang katanya bisa melihat gaib.
    “Ssstt!” Semua kasak kusuk terhenti. “Dengar yang laki-laki berbicara!”
    Tidak ada suara hanya sepi saja.
    Anak-anak unyu itu merapat, “Ayo pulang saja, Cong!”
    “Sebentar!” Acong menutup matanya memiringkan telinga, lalu tertawa keras.
    “Tahu apa kata si pria kepada si perempuan? Aku cinta kamu!”
    Acong tertawa, yang lain semakin tak kerasan.

    4
    Apa enaknya pacaran sesama laki-laki?
    Bisa gantian baju.
    Gak ada menikah kecelakaan, karena kemungkinan menikah juga tipis.
    Kamu punya tenaga tambahan mengangkat galon Aqua 19 liter itu.
    Gak usah cemburu kalo cowokmu memandangi cewek di kolam renang.
    Dua lebih baik daripada satu.

    5
    Fatimah senang tak alang kepalang. Begitu juga Soleman. Penghulu sudah pulang sejak setengah jam lalu.

    6
    Gerimis mengiris Kota Lama, pria itu berjalan terhuyung menuju Panti Nirmala. ATM-nya hampir kosong, hanya beberapa lembar uang seratus ribuan.
    Tapi istrinya tak usah tahu, setidaknya jangan hari ini. Ya, istrinya selamat tapi tidak dengan bayinya. Kista berhasil diangkat, itu berita baiknya, tapi juga bersama harapan akan akan buah hati sejak rahim itu ikut dibawa pergi. Tak ada pilihan, hanya serba keterpaksaan.
    Senja semakin turun, tapi tak juga istrinya bangun dari tidur anestesinya. Dia hanya ingin menjadi orang pertama yang dilihat perempuan itu ketika terbangun nanti, tidak lebih. Dia sudah merancang apa yang akan dilakukannya, tersenyum lalu berkata, “Semuanya baik-baik saja!”

    7
    Setelah tiga puluh tahun pernikahannya akhirnya Mpok Siti berani melontarkan makian itu ke wajah suaminya.
    “Dasar laki udik! Mau berapa istri lagi!”
    Lihat tampang laki-laki itu, sepertinya pot bunga bougenvil baru dimasukkan ke lubang pantanya.

    8
    Dia bahkan belum menyisir rambutnya. Telepon itu jatuh di meja. Dan tangannya segera menggenggam cermin. Menatap hening, bergantian dengan dirinya sendiri. Bibirnya yang merah, rambutnya yang bergelombang hitam usai dikeramas, hidungnya yang setipis kabut pagi, alisnya menyatu di tengah setebal rasa sesaknya. Hendak untuk siapa lagi dia menyisir rambutnya. Hendak untuk siapa lagi?
    Wangi anggur itu bahkan masih tercium hingga hari ini. Dahan-dahan yang berjuntai, hijau yang memulaskan ungu yang malu-malu. Dan gaunnya yang seputih siang. Setelah pendeta itu mengijinkannya atas nama Tuhan, pria itu menciumnya persis di pelipis, tidak lebih, tapi masih manis. Keluarga bertepuktangan bersama seluruh jemaat, lalu paduan suara mengulangi lagu Wedding March. Sunyi nyanyian mereka, hanya bibir-bibir yang bergerak dalam senyuman bahagia. Sekali lagi suaminya menciumnya, lebih mesra. Pendeta tersenyum lebih lebar, semuanya sunyi. Hanya terdengar bunyi nging dari telepon, bunyi yang setelah ini akan menjadi nada untuk kesepiannya. Tak akan ada lagi ciuman itu, hanya kenangan atas bibir yang pernah berlama-lama di atas bibirnya, dan lengan yang digamitnya.
    Dua hari kemudian tubuh itu datang dalam seragam. Perempuan itu segera mengenali pria di dalam peti itu. Dia tidak menangis. Dia berjalan sangat perlahan, seperti melayang menyentuh pipi suaminya. Dingin dan kenyal. Warnanya sepucat sore yang gerimis.
    Perempuan itu menekan nomor yang sama. Tidak ada jawaban, hanya suara operator telepon yang berulang-ulang, “Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau di luar coverage area, cobalah beberapa saat lagi!” Tapi tak berhenti perempuan itu menelepon, menekan nomor yang sama. Dia berharap suara suaminya yang di sana, bersama tawa yang selalu membuka pembicaraan. Hingga larut malam hanya suara operator itu yang didengarnya. Hingga baterai handphonenya mati, dia masih menekan nomor yang sama. Terus mengulangnya hingga jemarinya seperti mempunyai ingatan sendiri atas nomor-nomor itu.
    Dia tak beranjak tidur, walau jam sudah berdentang hanya dua kali. Perempuan itu menatap ke sebelahnya, dan berbicara pada kesunyian yang memekat, tangannyaa yang putih memeluk senyap, berharap ada tegap yang tiba-tiba menyosok.
    “Mau kopi, Pa?”
    Sepi, hanya gemeletuk angin September di jendela dapur. Perempuan itu tetap berdiri juga. Beranjak ke dapur dan mengambil sebuah teko aluminium. Kran diputarnya perlahan, hingga terdengar gemericik air. Matanya memandang lurus ke depan, entah kepada apa, atau siapa. Dia membesarkan aliran kran, dan tak berhenti memandang lurus, bukan kepada tembok berkeramik putih semburat hijau itu. Air terus menduras, tapi perempuan itu tak hendak menghentikannya, teko itu penuh dan airnya meluber keluar. Ada yang kosong yang ingin diisinya. Tapi tak juga penuh. Dia menyibak rambutnya yang tak seberapa panjang, mengambil beberapa bagian ikal rambutnya, seikat-seikat. Hingga semuanya penuh di tangannya. Perlahan sekali digelungkan rambut itu. Begitu seterusnya. Air terus mengucur, dan dia terus menggelung rambutnya, bahkan hingga tak ada lagi yang bisa digelungkan.
    Lalu entah dari mana tenaga itu datang. Dia berteriak sekeras-kerasnya. Dilemparkannya teko penuh air di depannya, menabrak rak piring yang segera bergoyang dan melontarkan beberapa piring berhamburan. Sendok-sendok berdentingan mencecer. Seolah tak puas, ditariknya rak piring itu hingga terjungkal. Beberapa panci, mangkuk, dan entah apa lagi mengikuti kejatuhan rak itu, menyisakan suara ramai yang saling bertumbukan.
    Lalu hanya beberapa saat kemudian ketika dia tiba-tiba mengguguk menangis. Merosot jatuh ke lantai. Dan setelah dentingan piring terakhir semuanya kembali sepi, menyisakan penat yang amat sangat. Hanya tangisannya yang terdengar dan air yang mengucur ke bak dengan bunyi yang mengganggu.

    9
    Para nokturnal itu melenggangkan tangannya memanggil setiap orang yang berlalang. Beberapa perempuan dan beberapa lain berdandan serupa perempuan. Tapi tak mungkin suara laki-laki mereka mampu disembunyikan. Deru truk-truk pengangkut tebu itu mengeras dan semakin ramai di malam yang seharusnya sepi. Orang-orang bercangkrukan di warung kopi sibuk memikirkan rencana saling mengalahkan temannya, setumpuk kartu remi, dan uang seribuan lusuh yang berkali-kali pindah pemilik. Gelas-gelas kopi dan teriakan para penonton sepak bola di warung tenda terpal itu. Angin berhembus dengan kencang, memaksa sarung-sarung diubetkan lebih kencang. Gerimis menderas hujan. Kilat menyambar tak henti-henti, seperti saling bertarung. Bertarung juga dengan semua yang berkecamuk dalam benaknya.
    Mengapa baru dua hari ini dia memutuskan perjalanan ini, setelah gagal ginjalnya sampai pada tahap paling parah, ketika jantungnya berdetak dengan tusukan-tusukan lembing, dan keringat selalu mengucur dari telapak tangannya. Untuk apa semua yang sudah dia lakukan selama ini. Maka harus malam ini, tidak ada lain kali.
    Demikianlah tubuh ringkih itu tak juga memelan, jalannya semakin cepat. Benar, Wak Ali semakin gegas, langkahnya tak berkurang tegas. Curahan air hujan mewujud putih lalu memerah marun, membeku menyisakan lembaran-lembaran seratusan ribu di tanah wangi. Menumpuk-numpuk hingga berjejalan menenggelamkannya. Ini belum terlalu. Karena bayangan akan masa mudanya justru menyiksanya lebih lagi. Ketika tumpukan uang memuntir hukum untuknya, bukankah seharusnya dia sekarang bisa bernasib sama dengan beberapa orang itu, terpenjara dan mati muda di penjara. Dia selalu lolos, karena dia memiliki yang paling baik dari jajaran yang istimewa, siap mengabdi dengan setia.
    Begitulah tiba-tiba tumpukan uang itu melipat ganda, hingga menyentuh batas langit. Alih-alih menembus langit, seluruh bangunan seratus ribuan itu mencair, tumpah ruahlah air jutaan liter itu menenggelamkannya. Wak Ali merenangi lautan baru itu. Tak juga ada ujungnya. Wak Ali berenang seperti lebih lama dari umur dunia. Hampir habis daya dan napasnya. Sampai akhirnya air itu memilih surut. Dan pria tua itu berjalah tertatih-tatih dengan lelah menggelayuti sepanjang sendinya.
    Seonggok tubuh perempuan terbujur di aspal, tak ada yang datang menolong, hanya sepi saja merenggutnya bercabik-cabik. Tiba tiba sosok mati itu bergeliat menghadapkan wajah memandangnya, matanya nanar merah hitam. Benar itu istrinya. Wak Ali ingat kalimat terakhir dari istrinya, "Ke mana saja kamu selama ini, Mas?" Itu delapan belas tahun lalu. Tak pernah dia tidur di rumah, tak pernah disentuhnya lagi istrinya sejak bisa didapatkannya perempuan aneka rupa di luar sana. Laki-laki harus mencari nafkah, dan dia sudah menafkahi keluarganya dengan lebih dari cukup. Tapi tidak mungkin tubuh itu, istrinya sudah lama meninggal, memilih sakit sejak anak meraka satu-satunya tertabrak sepeda motor hingga hanya meninggalkan batu putih bertuliskan nama, tanggal lahir, dan tanggal penguburannya. Entah siapa perempuan terbaring di aspal itu, mungkin perempuan lain, mungkin juga istrinya. Wak Ali tak juga berhenti. Karena memang harus malam ini.
    Ada hitam yang lebih pekat di malam itu. Hitam yang hendak menerkam siapa saja yang tak memilih pulang ke tempat tidur nyaman. Burung nazar di dalam telinganya menimang-nimangnya, bercerita tentang kematian yang pasti. Bercerita bahwa perjalanan ini sia-sia. Ini bukan lagi di jaman nabi, bahkan cerita tentang nabi pun tak sepenuhnya seperti aslinya. Belum puas juga, lalu tumbuh rantai besi mengikat kakinya, semakin lama semakin panjang dan memberat, bergemerincing yang menyayat, mengiriskan suara kelam bagi setiap jiwa yang tak kunjung lelap malam itu. Rantai itu memaksa Wak Ali berhenti, anyir kematian merebak mengangkasa. Dan rasa sakit menjalari sepanjang telapak kakinya. Demikianlah duri-duri memenuhi sandal jepitnya, merah merembes berceceran, lautan darah yang semakin genang. Seperti tak puas kematian membisakkan kematian kecil. Beberapa bilah pisau tiba-tiba melayang menancap di jantungnya, rebahlah Wak Ali. Tapi tak juga kematian melalapnya, Wak Ali masih bernapas sengal. Kalau semua sia-sia dan ujungnya hanya kematian, untuk apa Wak Ali melakukan perjalanan sejauh ini. Ketakutan mulai memeluknya semakin dekap, tidak hanya di pelupuk mata tapi sudah merajah di jantungnya. Wak Ali terduduk lesu, untuk apa lagi dia melanjutkan. Jika di balik kematian hanya ada kesia-siaan, untuk apa berlelah-lelah menghabiskan tenaganya, bukankah tak begitu berbeda dia terbaring di sini atau di sana. Atau kalau Allah memang ada bukankah Allah maha mengerti, pasti Dia mengerti pilihan-pilihan keliru di masa lalunya. Jika tidak kalahlah Allah dengan dirinya yang bisa mengerti mengapa dia memilih keliru.
    Tapi hangat itu menyelusup di balik dadanya, sebuah hangat yang membara dengan merdu. Ya harus malam ini, Wak Ali melanjutkan langkahnya, sekalipun tubuhnya sudah tak berwujud seperti semula. Wak Ali memaksakan kaki tuanya menerjang menembus bayang-bayang kematian.
    Hingga sampailah Wak Ali di surau tua itu, dindingnya bercat putih, terkelupas di beberapa bagiannya, jendelanya melompong, dulu mungkin ada jendela mahoni manis yang menghiasinya, Wak Ali bisa melihat bekas jendela itu. Karat dan keriat seng atap surau tua itu seperti tak hendak mengundang siapapun untuk mendekat. Tapi Wak Ali berjalan gontai ke dalam surau itu. Sebuah bisikan lembut menyapa telinganya, seperti shalawat lirih berwarna hijau terang. Memaksakan air matanya menetes dengan seketika, bersenggukan, merebahkan tubuhnya dalam sujud yang amat dalam, “Ya Allah! Terimalah tobatku! Berilah aku sekali lagi cinta-Mu!”
    Paginya ketika Ustadz Fa’i datang untuk subuhan, tak alang kepalang terkejutnya, sesosok pria membeku dalam sujud tak bernyawa, dalam bibir yang tersenyum dengan damainya
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.