1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic The ALPHA ~ Celestian's Citizen

Discussion in 'Fiction' started by kazuke27, Oct 3, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. kazuke27 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 8, 2010
    Messages:
    56
    Trophy Points:
    21
    Ratings:
    +11 / -0
    Genre : Adventure / Science Fiction

    Ini adalah hasil karya tulissan saya yg pertama. Mungkin masih jauh dari sempurna, bahkan jika dibanding dengan para Sempai-tachi yang ada disini, saya masih sangat newbe. :maaf:

    Saya memberanikan diri untuk menulis dan share sama kalian semua agar saya dapat review dari teman-teman semua yang ada disini.

    Kritik, saran, komentar, dan lain lain itu sangat saya harapkan. Jadi setidaknya, teman-teman bisa memberikan sedikit jejak untuk hasil karya saya.

    Langsung saja saya persembahkan...

    The ALPHA
    Celestian's Citizen

    Serangan Tentara Misterius menghancurkan hampir 3/4 bagian Bumi. Segala jenis pasukan dan unit-unit khusus dari seluruh negara didunia dikerahkan untuk melawan mereka. Alhasil, tak ada satupun yang dapat melumpuhkan mereka, begitu juga dengan tentara gabungan dunia yang telah dibantai habis.

    Rey James William, seorang siswa dari SMA Adler, mengalami pahitnya kehilangan orang yang dikasihinya, keluarga, bahkan teman-temannya akibat dari serangan Tentara Misterius. Ia harus bertahan hidup dari serangan mereka. Hingga pada suatu saat Rey bertemu dengan seorang wanita yang memiliki misi untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran. Karena berusaha untuk menjalankan misinya, wanita ini dikejar-kejar oleh Tentara Misterius, Secara tidak sengaja ia bertemu dengan Rey yang memaksa Rey untuk ikut dalam misi yang diberikan wanita itu.

    Apakah Rey berhasil menjalankan misi bersama dengan wanita itu? Apakah dunia akan kembali damai?


    Aku berusaha untuk berlari dari kejaran para tentara misterius. Aku belum pernah melihat tentara seperti itu dihidupku kecuali di film-film. Mereka mengenakan full armor yang terbuat dari baja, dari kepala hingga kaki, tubuhnya dibungkus oleh lapisan baja. Dengan membawa senjata M4 yang mengarah kedepan siap untuk ditembakan kapan saja, Glock model 19 9mm tertempel di paha kanannya dan Pisau yang mirip dengan Aitor Jungle King I tertemper di paha kirinya. Serta tas kecil seukuran tangan dewasa tertempel di pinggul belakang, ada 3 buah tas.

    Aku berlari sekuat tenaga mencoba menghindari para tentara itu, kira-kira 3 orang banyaknya. Sekali-kali aku bersembunyi di sela-sela tembok dalam kegelapan malam ditengah kota. Aku belum pernah berada di kota ini, aku dikelilingi oleh bangunan yang dijadikan toko, tapi aku tidak tahu toko apa itu, karena semuanya telah tutup. Dan hanya terdapat papan reklame yang tulisannya tak dapat ku baca. Bahasa latin mungkin.

    Setelah para tentara lewat dari tempat persembunyiaanku, aku keluar dari persembunyan. Kemudian berlari ke arah yang berbeda. Tapi entah bagaimana caranya, tentara itu sudah ada didepanku, dan sudah bersiap dengan senjata M4 nya yang mengarah kepadaku. Dalam waktu singkat saja tanpa basa-basi, mereka menembakkan senjata itu kearahku dan tentu saja peluru-peluru itu menembus tepat kearah tubuhku.

    Tubuhku bersimbah dengan darah. Apa aku akan mati? Hal itu yang ada dipikiranku, tapi entah mengapa aku sama sekali tidak merasakan sakit sama sekali.
    Mataku mulai berat, perlahan kelopak mataku mulai menutup. Dalam pandangan yang buram, aku melihat para tentara itu berjalan perlahan mendatangiku, lalu tentara yang paling depan berbicara dengan bahasa yang tidak dapat kumengerti, bukan bahasa manusia. Dia berbicara pada kedua anak buahnya yang sedari tadi mengikuti tentara yang di depan. Pasti tentara yang di depan itu adalah pemimpinnya.

    Mataku mulai terasa sangat berat. Kemudian pandangan menjadi sangat gelap.

    ~ A ~

    Langit cukup cerah ketika aku terbangun dari tidurku sesaat setelah bunyi alarm pada ponsel yang terletak di meja dekat dengan ranjang.

    Bagus, mimpi yang sangat buruk. Aku mengumpat dalam hati.

    Aku mengambil ponsel itu kemudian mematikan alarm yang masih bunyi. Aku bangkit dari ranjang dan beranjak keluar kamar yang terletak di lantai 2. Sambil memegang ponsel, aku melihat ke arah jam digital pada ponsel itu. Angka menunjukan 06.00 dan mulai bergerak ke angka 06.01.

    “Rey, sarapan sudah siap” terdengar suara lembut seorang wanita yang aku kenal baik, Ibuku.

    “Iya” jawab ku malas.

    Namaku Rey James William. Aku adalah anak tunggal dari keluarga William. Ibuku berusia 26 ketika melahirkanku. Dan ia telah berhasil membesarkanku hingga 19 tahun ini. Ayahku seorang karyawan swasta biasa, dan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Walau begitu kami bahagia menjalani kehidupan ini.

    Dimeja makan ayahku sudah duduk sambil membaca koran pagi. Televisi menyiarkan berita. Ibuku sedang sibuk mempersiapan telur goreng kesukaan ku, yang nantinya akan di taruh di atas roti bakar.
    Aku duduk di sebelah ayaku. Kemudian minum susu yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh ibu.

    “Bagaimana nilai ujianmu kemarin?” tanya seorang di sampingku, suaranya berat tetapi membawa kehangatan seorang ayah yang kurasakan.

    “Cukup baik, untuk membuat ayah senang” jawabku dengan bangga.

    “Syukurlah kalau begitu.” Ucapnya datar

    Ibu datang dari belakangku dengan membawa mangkuk penuh dengan telur goreng, aku menyukai masakan ibu, rasanya tidak begitu lezat jika dibandingkan dengan masakan-masakan di restoran akan tetapi lidah ku tidak pernah merasa jemu untuk memakannya lagi, lagi dan lagi. Mungkin ini yang disebut dengan ‘makanan penuh cinta kasih dari ibu’.

    Aku memakan dengan lahap sarapan yang dibuat oleh ibu sebelum aku pergi untuk mandi dan bersiap berangkat sekolah.

    Aku mengenakan seragam putih dengan lambang sekolahku di saku baju yang terletak di dada sebelah kiri, dan dasi yang memanjang hingga ke perut, dan mengenakan celana katun warna hitam.
    Setelah berpamitan dengan ayah dan ibuku, aku mulai beranjak dari pintu rumah, ibuku masih ada disana sambil melambaikan tangannya, aku tersenyum, begitu juga dengan ibu.
    Setelah kurang lebih 5 menit aku berjalan, tiba-tiba seseorang yang menepuk pundakku.

    “Heiii!!” seru seseorang dari belakang.

    Suara itu entah mengapa tidak mengejutkanku sama sekali. Aku begitu mengenal suara itu, suara perempuan yang sudah hampir 7 tahun aku dengar.

    “Valen” gerutuku sambil menyipitkan mata

    “Haha.. kamu tidak terkejut?” tanyanya, sambil memandangku

    “Caramu untuk mengejutkanku sudah kuno, apa kamu tidak memiliki strategi jitu yang lain agar dapat membuatku terkejut?” protesku.

    Namanya Valencia Forlent, ia adalah teman sejak aku masih SD, dan entah takdir apa yang menyebabkan kita selalu satu kelas sejak kami duduk di bangku SD. Aku mengenalnya ketika aku masih di kelas 5. Saat itu aku meliat Valencia sedang menangis di trotoar jalan karena uang untuk membayar bis hilang entah dimana. Karena aku kasihan melihat dia yang terus menerus menangis, maka aku mengajaknya untuk pulang bersama menggunakan sepeda yang selalu aku bawa untuk pergi ke sekolah. Kebetulan rumah dia satu arah dengan rumahku. Dan sejak saat itu lah, Valencia selalu pulang bersama denganku. Ketika kami SMP, sejak kelas satu sampai kelas 3, kami selalu satu kelas, dan tentu saja, kami selalu pulang bersama, begitu juga saat kami pergi kesekolah. Valencia orangnya sangat ceria, feminim, lucu dan senang bercanda. Yang lebih penting, dia cantik. Tak sedikit laki-laki yang berkali-kali mengajaknya untuk berkencan, entah mengapa selalu ditolaknya. Rambutnya panjangnya yang membuat para kaum adam tak tahan melihat pesona kecantikan Valencia, dan didukung dengan kulitnya yang putih, tidaklah mengherankan jika ia adalah siswi popouler di sekolah kami.

    Kami mengobrol berbagai macam hal dalam perjalanan kami ke sekolah, tentang PR yang akan dikumpulkan sekarang, tentang guru yang menyebalkan, tentang ekstrakulikuler yang di ikuti kami berdua, dan banyak hal. Sungguh aku menikmati percakapan kami. Jujur saja, aku menyukai Valen sudah cukup lama. Hanya saja, aku tidak pernah punya keberanian untuk menyatakannya.

    “Rey, aku menemukan tempat makan yang enak di kota, mau coba?” ajak Valen

    “Makannan apa?”

    “Ramen” ia menyeringai

    “Hmm.. boleh.. kebetulan aku ingin mencoba makan Ramen”

    “Kau belum pernah makan Ramen?” tanyanya heran.

    Aku hanya terdiam. Tentu saja aku belum pernah mencobanya, hanya saja aku tak dapat mengatakannya, karena aku pasti dihina habis-habisan.
    Valencia terdiam sesaat, mencoba mencerna arti bahasa bisu ku. kemudian iya tertawa dengan keras, tahu bahwa aku belum pernah memakan Ramen.

    “Kamu benar-benar tidak pernah makan? Kasihan sekali. Baiklah biar aku yang traktir kali ini. Oke?” katanya sambil menutup sebelah matanya.

    Aku hanya diam tersipu malu. Tapi ya sudahlah, memang kondisinya aku belum pernah memakan makanan jenis Ramen tersebut.

    “Baiklah, kalau begitu pulang sekolah kita kesana ya. Tunggu aku di tempat biasa” Valen tersenyum

    Aku cemberut sesaat karena merasa harga diriku jatuh karena menjadi orang yang tidak gaul. Tapi tak apalah, dibanding dengan rencana kita nanti. Sungguh aku cukup senang ketika dapat nge-date dengan Valencia.

    Ini kesempatanku. Pikir ku. Mungkin aku bisa menyatakan perasaanku padanya saat kita makan Ramen nanti. Aku mulai tersenyum sendiri.

    “Kenapa kamu tersenyum begitu? Apa yang kamu pikirkan?” tanya Valen heran. “Oooh, apa jangan-jangan kamu lagi mikir P*rn* ya? Hayooo”

    “Engga, enak aja. Kamu pikir aku mesum?”

    Valen tertawa

    Tak terasa percakapan kami telah membuat kami lupa waktu, hingga beberapa meter lagi, kami sampai di sekolah. Gedung sekolah sudah terlihat dari kejauhkan. Lambang sekolah terlihat begitu megah menempel di dinding bangunan dekat atap. Dengen perisai tiga lapis berbeda warna, merah, biru, dan kuning berurutan dari luar ke dalam. Gambar elang terlihat di tengah-tengah perisai mengembangkan sayapnya dengan gagahnya sambil memegang sebuah scroll yang tidak pernah diketahui apa isinya. Dan dibawah kaki burung itu, terdapat tumpukan buku. Tiga tumpuk.

    Lambang sekolah yang aneh, pikirku

    Anak-anak kelas satu sampai tiga berhamburan di lapangan depan sekolah yang biasa digunakan untuk upacara bendera, mereka berjalan menuju pindu lobby sekolah menuju kelas mereka masing-masing. Aku dan Valen pun ikut berjalan dalam keramaian murid-murid sekolah SMA Adler. Banyak teman-teman Valen yang menyapanya dengan ‘Selamat Pagi’ atau ‘Valen, bagaimana dengan PR matematika hari ini?’ atau ‘Valen, lihat aku baru beli gelang baru’ dan lain sebagainya.

    Ya. Dia memang populer, bukan hanya dikalangan anak-anak perempuan, bahkan laki-laki pun begitu. Kalau aku? Hahaha. Aku tidak begitu suka dengan kepopuleran. Maaf bercanda. Oke, aku akan jujur. Aku memang tidak populer. Aku hanya anak normal, bahkan terlalu normal. Beberapa yang menyapaku itupun hanya teman-teman satu kelas, walau begitu aku memiliki teman dekat, sahabatku sejak aku masuk ke sekolah ini dan orang itu adalah Frans. Nama aslinya Fransius Horin. Aku sudah berteman sejak kami kelas 1 SMA. Kami selalu bertukar pendapat tentang game terbaru dan juga tentang komik serta anime yang terbaru bahkan kami juga sering membicarakan lagu-lagu bergenre J-Pop yang sangat kami sukai. Ya, bisa dibilang kami memang sangat cocok. Itulah mengapa aku senang berteman dengan dia.

    “Bagaimana dengan DVD yang ku pinjamkan padamu kemarin?” tanyanya sambil merangkul aku.

    “Maaf, aku belum menontonnya, terlalu sibuk” kataku mengangkat keduatanganku dengan telapak menghadap ke atas.

    “Sayang sekali, kau pasti akan sangat menyukainya”

    “Eh? Apa? Apa?” tanya Valencia bingung, ia datang secara tiba-tiba dari samping

    “Bukan apa apa” kataku. “Hanya film anime terbaru”

    “Hoo.. kamu memang suka hal seperti itu dari dulu ya. Semoga bukan film yang aneh ya” kata Valencia sambil membelakangi dan mengikuti teman-temannya yang telah berjalan lebih dulu.

    Rangkulan Fran semakin menguat hingga mencekikku dengan kuat. “Kurang ajar kau Rey.”

    “Oi..Oi..Oi.. a-pa ma-ksud mu?” aku hampir tak bisa bernafas karena rangkulan Fran yang mematikan itu.

    “Aaaaahhh… enak ya ~ Kau sangat dekat dengan Valencia, bahkan rumahmu juga berdekatan. Aku cemburuuuuu” katanya sambil memperkuat cekikannya.

    Bel tanda masuk menghetikan permainan kasar Fran dan aku bersyukur tidak mati ditangannya yang hampir kehabisan nafas, kemudian disusul dengan ajakan agar cepat-cepat masuk ke kelas, karena pelajaran peratama adalah pelajaran yang sangat mengerikan, karena guru pelajaran pertama terkenal galak dan sangat disiplin.

    Apa semua guru matematika memiliki sifat yang sangat buruk ya? Pikirku sambil berlari secepat mungkin agar tidak terlambat masuk kelas, karena konsekuensinya adalah mengerjakan pertanyaan yang super sulit dan jika tidak bisa kita akan habis dimarahi olehnya.

    ~ A ~

    Ruang kelasku berada di lantai 4. Aku duduk di bangku paling belakang dekat dengan jendela luar yang berada di sebelah kiri. Fran duduk tepat disebelah kananku. Valencia duduk di bangku paling depan, masih sebaris dengan bangkuku. Guru matematika itu sedang menjelaskan tentang Limit Fungsi Aljabar yang terdapat pada papan tulis, yang penjelasan nya seperti ini:

    Jika , maka diselesaikan dengan cara sebagai berikut:
    1. Difaktorkan, jika f(x) dan g(x) bisa difaktorkan
    2. Dikalikan dengan sekawan pembilang atau penyebut jika f(x) atau g(x) berbentuk akar
    3. Menggunakan dalil L’Hospital jika f(x) dan g(x) bisa di turunkan


    Dan bla..bla..bla.. sungguh aku sangat tidak mengerti dengan penjelasan guru galak itu. Rambutnya rapih belah tengah, ia mengenakan kemeja putih saat itu, dan ujung bajunya sebelah dimasukan kedalam celana katun hitamnya itu, yang satunya lagi sengaja dikeluarkan. Lengannya dilipat hingga sikunya terlihat. Kancing paling atas dan yang kedua sengaja dibuka. Ia terlihat lebih seperti orang yang tidak pernah terurus. Dilihat dari wajahnya, ia masih tergolong muda. 27 sampai 30 mungkin. Para laki-laki di kelas itu, membenci guru itu, akan tetapi tidak ada yang berani menjahili atau mem-bully guru itu. Ya tentu saja, ia lulusan sabuk hitam karate tingkat 1. Jika ada murid yang berani melawannya. Mungkin kita sudah dihabisinya dalam waktu yang sangat singkat. Akan tetapi, banyak murid perempuan yang menyukainya. Mengapa? Karena dia memiliki tampang yang menarik. Dan bukan hanya di kelas kami saja, tapi hampir seluruh murid perempuan mengagumi ketampanan guru galak itu. Walau begitu, guru itu tetap menjaga image-nya sebagai guru. Jujur saja, aku cukup mengaguminya, sebab, walau banyak murid perempuan yang mencoba untuk mendekati, tapi guru itu sama sekali tidak menggubrisnya. Ia bukan guru yang mesum atau playboy sepertinya, dan tetap terlihat cool dan keren. Itulah yang dapat ku nilai tentang guru galak itu.

    “Ada yang bisa mencoba menjawab pertanyaan ini?” katanya sambil menunjuk pada papan tulis dengan spidol warna hitamnya.

    “Aku..aku…aku” hampir semua murid perempuan mengatakannya sambil mengangkat tangan kanan mereka, tapi tidak semua.

    Aku melihat pada Valencia, dai tidak mengangkat tangannya tapi sibuk menyalin soal yang ada di papan tulis itu.

    “Valencia, coba kau jawab pertanyaan ini” kata guru yang mengesalkan itu.

    Valencia sempat terkejut ketika namanya disebut, kemudian ia mengiyahkan perintah guru itu.

    “Baik pak” kata Valencia sambil berdiri dari bangkunya.

    Semua murid-murid perempuan tadi yang mengangkat tangan terlihat menyesal dengan keputusan guru itu karena memilih Valencia yang mengerjakan pertanyaannya.

    Valencia mengambil spidol hitam dari tangan guru itu, kemudian mulai menulis rumus-rumus dipapan tulis mencoba untuk menyelesaikan pertanyaan yang ada di papan tulis. Ia terlihat cukup serius mengerjakannya. Suara kelas hening, hanya terdengar suara berdecit yang diakibatkan gesekan papan tulis itu dengan ujung spidol yang dipakai Valencia.

    Hampir lima menit waktu pada jam dinding yang berada tepat di atas papan tulis saat Valencia hampir menyelesaikan soal itu, dan dalam beberapa detik Valencia menghembuskan nafasnya yang menandakan bahwa ia telah selesai mengerjakan soal tersebut. Lalu memberikan spidol yang dipegangnya pada guru yang sedari tadi duduk di bangku guru sambil melihat pekerjaan Valencia.

    “Bagus” kata guru itu. “Kamu mengerjakan dengan sangat baik”

    “Terimakasih pak” kata Valencia sambil menarik kursi lalu duduk.

    “Apa ada diantara kalian yang tidak mengerti soal ini?”

    Tidak ada satu murid pun yang mengengkat tangan atau mengeluarkan suaranya sekedar mengatakan bahwa dirinya tidak mengerti jawaban yang Valencia kerjakan di papan tulis. Sesungguhnya aku sama sekali tidak mengerti soal dan jawaban itu, tapi aku tidak berani mengangkat tangan. Aku lihat kesekeliling kelas, tampak terlihat mereka sibuk menyalin jawaban di papan tulis, begitu juga dengan Fran. Aku yakin Fran juga merasakan hal yang sama denganku. Tapi ya sudahlah. Nanti aku bisa meminjam catatan Valencia dan menyuruhnya untuk mengajariku materi ini.

    “Baik, kalau tidak ada pertanyaan. Ambil selembar kertas, kita akan mengadakan quis kecil” perintah guru itu.

    Serentak seluruh murid di kelas 2-3 protes dengan keputusan guru galak itu. Ada yang acuh dengan perintah guru itu sambil tetap menyalin jawaban yang ada di papan tulis itu, ada yang bersandar pada kursi sambil menatap ke atap tanda melemaskan tubuh dengan tangan yang terayun di kedua sisi kursi, ada juga yang terlihat tegap dan siap menghadapi quis tersebut, ada yang mengeluh lalu merebahkan tubuhnya ke meja. Aku? Kalau aku memalingkan muka, dan menatap kelangit, berharap ada meteor jatuh menghancurkan gedung sekolah yang menyebabkan quis dibatalkan.

    Dilangit aku melihat benda kecil berbentuk pesawat terbang kearah gedung sekolah, akan tetapi benda kecil itu semakin lama semakin membesar. Ya, pesawat terbang dari kejauhan terbang dengan kecepatan tinggi mengarah kearah gedung. Awalnya aku pikir pesawat itu akan terbang melewati gedung sekolah kami. Tapi, badan pesawat itu terlihat berasap dan terbang dengan oleng kekiri dan kekanan.

    Ada yang tidak beres dengan pesawat itu, pikirku.

    Semakin lama, pesawat itu semakin terlihat membesar, dan saat itu aku mulai sadar bahwa pesawat itu mengalami kerusakan hebat pada kanan badan pesawat dan terbang dengan sangat cepat mengarah kearah gedung sekolah kami. Sesaat setelah itu, beberapa murid mulai menyadari kehadiran pesawat itu. Satu persatu mulai memandangi jendela yang terletak di lantai 4 di sebelah kananku itu. Kemudian yang terakhir murid yang paling depan sebelah kanan Valencia, menegok ke jendela dan terlihat sangat terkejut dengan kehadiran pesawat itu. Begitupun dengan aku, aku hampir tidak dapat bergerak, tubuhku bergetar, aku panik, takut dan bingung. Lalu aku bangkit dari bangku dan menatap kearah teman-teman sekelasku.

    “LARIIIIIIIIIIIIIIIII” teriak ku sekuat tenanga

    Kepanikan memenuhi seluruh ruangan kelas, seluruh murid mencoba berusaha menyelamatkan diri mereka berlari keluar kelas. Tapi terlambat, belum saja mereka beranjak dari kursi mereka masing-masing, pesawat itu telah lebih dulu menghantam gedung sekolah kami. Kepala pesawat menghantam tepat mengarah ke ruang kelas kami dan menghancurkan lebih dari setengah ruang kelas, menembus gedung sekolah yang berbentuk U itu dengan lebar kurang lebih 12 m. Dan berhenti tepat ditengah-tengah gedung. Kemudian pandanganku gelap, aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu.

    ~ A ~

    Aku terbangun dari kesadaranku yang sempat hilang beberapa saat. Aku berusaha bangkit. Puing-puing kecil berserakan ditubuhku, debu pun berterbangan ketika aku mulai bangkit. Pandanganku agak sedikit kabur ketika aku melihat sekeliling ruang kelas yang telah menjadi reruntuhan, debu bertebaran memenuhi ruangan kelas terlihat seperti embun berwarna coklat di pagi hari, pecahan kaca berserakan diseluruh lantai. Kursi dan meja pun ikut bertebaran kemana-mana, beberapa yang hancur karena hantaman pesawat itu. Lampu ruangan mati, tapi tidak kehilangan cahaya oleh karena cahaya matahari masih menembus jendela yang masih tertempel di dinding, selamat dari hantaman pesawat, walau kaca jendela itu telah pecah. Tubuh teman-temanku tergeletak di seluruh ruangan, aku tak tahu apakah mereka masih hidup atau telah mati.

    Ku pegang kepalaku yang terasa sedikit pusing, aku merasakan cukup banyak cairan dikepalaku dan menempel ditelapak tangan, lalu ku lihat. Terlihat berwarna hitam kemerahan hampir memenuhi seluruh telapak tangan.

    Darah. Itu yang bisa kusimpulkan.

    Kemudian rasa sakit, ngilu, pusing berat menyerang kepalaku dengan hebat. Aku tersungkur tak tahan merasakan sakit. Setiap jantung ku berdetak, rasa sakit itu semakin terasa. Aku berusaha untuk menyesuaikan dengan rasa sakit ini. Dalam beberapa menit, aku sudah dapat bertahan melawan sakit dikepalaku ini. Lalu aku mulai kembali bangkit. Yang kupikirkan saat itu ialah Valencia. Aku beranjak dari tempat ku berdiri, mendorong meja-meja dan kursi-kursi yang ada didepanku, mayat teman-temanku tergeletak di seluruh kelas membuatku hampir muntah karena melihat darah dan potongan tubuh dimana-mana. Aku berjalan dengan perlahan sambil menahan rasa sakit yang masih terasa disekujur tubuhku menuju kearah bangkai pesawat yang tergantung di gedung sekolah di depanku, melewati beberapa mayat yang tergeletak disana. Dinding yang seharusnya ada, kini telah bolong dan terutup oleh badan pesawat. Bangku Valencia yang seharusnya berada di samping jendela dekat dinding, kini telah hancur terhimpit oleh badan pesawat, hingga aku tak dapat melihat bangku maupun tubuh Valencia. Aku tak tahu, apakah Valencia masih hidup atau tidak, tapi jika melihat dari konsisi seperti ini, aku tidak tahu, aku tak berharap ini adalah kenyataan. Rasa sakit dikepalaku mulai terasa kembali hingga aku tersungkur untuk kedua kalinya, rasa sakit kali ini disertai dengan ingatan-ingatan ku tentang Valencia, senyumannya, canda dan tawanya, air mata yang mengalir ketika ia mencurahkan hatinya padaku pada saat ia sedang mengalami masalah, dan ingatan ku tentang ajakan makan malam setelah pulang sekolah. Air mataku mulai mengalir dipipi.

    Ini tidak mungkin terjadi, ini mimpi. Kalimat ini ku ulang hingga 3 kali dalam hatiku.

    “Mustahil, ini mustahil” aku tertawa, tapi tawa kali ini bukanlah tawa karena hati gembira, tapi lebih karena pikiranku yang sulit menerima kenyataan. Akalku mulai tidak sehat. Aku mulai gila. Teman-teman ku mati, dan hanya aku yang selamat walau mengalami luka berat. dan terlebih, orang yang kukasihi, orang yang terpeting dalam hidupku telah tiada.

    “Sial” umpat ku sambil memukul lantai dengan kedua tanganku. Isak tangis mulai terdengar walau kecil.

    Dunia terasa berputar, hatiku sakit, otakku mulai tidak dapat berfikir dengan baik, kepalaku pusing, tubuhku terasa sakit semua, perutku mulai terasa bergejolak, rasanya ingin muntah.

    “AARRRGGGHHHH!!!” aku hanya dapat berteriak. Aku tidak terima dengan semua ini. Air mata tak hentinya mengalir. Aku hanya dapat tersungkur, menunggu seseorang yang dapat menjelaskan semuanya ini dan mengatakan bahwa semua ini hanya mimpi.

    Kemudian di ruang belakang, tempat dimana aku bangkit terdengar suara erangan seorang laki-laki. Laki-laki itu bangkit, aku mengenal lelaki itu.

    “Fran” seru ku.

    “Ugh” rintih Fran.

    Ia bangkit berdiri walau masih terhuyung sambil memegang kepalanya, seragam putihnya bersimbah darah. Ia terluka parah sama denganku.

    “Dimana aku” tanya nya sambil memandang ke seluruh ruangan kelas yang telah rusak parah.

    “Fran, kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir walau lebih tepatnya, aku senang masih ada temanku yang hidup.

    Aku berjalan mendatanginya yang masih terhuyung-huyung di tempat.

    “Ya, aku baik-baik saja, tapi entah mengapa kepalaku terasa berat dan --- HOOOAAAA!!!” teriaknya. Ia baru menyadari bahwa keadaan kelas yang hancur, pesawat yang menembus gedung, dan tubuhnya yang penuh dengan darah.

    “Hei… Hei… Hei… kau tidak apa-apa kan? Apa kau merasakan sakit?” kataku yang telah berada dihadapannya sambil memegang pundaknya takut-takut tubuhnya terjatuh ke belakang.

    “Ugh, ya sedikit.”

    Aku tak tahu apakah itu sebuat candaan atau apa, karena tidak mungkin baju yang penuh darah itu ia katakan sakitnya sedikit. Tapi aku tak menghiraukannya, aku rangkul dia lalu berjalan keluar kelas melalui pintu belakang. Ketika aku membuka pintu, para murid, guru serta karyawan berlarian menuju ruang kelas kami. Spontan para guru membantu merangkul Fran. Dua guru menggantikanku merangkul fran, dan satu guru membantuku berjalan. Hampir seluruh siswa dari kelas 1 sampai 3 menatap heran dan khawatir pada kami. Para guru yang tidak membantu aku dan Fran memisahkan murid-murid untuk memberikan kami jalan agar dapat cepat dibawa keruang perawatan. Beberapa murid mempertanyakan kami tentang keadaan kelas, pertanyaan itu hampir dilontarkan secara bersamaan hingga aku kesulitan untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mereka lontarkan. Tapi ada satu pertanyaan yang dapat ku dan kujawab.

    “Apa yang terjadi pada yang lain?” tanya salah seorang murid

    “Hanya kami yang selamat” kataku sambil menundukkan kepala

    Murid-murid lain yang sedari tadi melontarkan pertanyaan secara serentak hening setelah mendengar jawabanku. Beberapa dari mereka mulai menangis, ada yang hanya menunduk, dan ada pula yang terpaku tanpa dapat bergerak akibat shock. Setelah itu, guru yang membantuku berjalan menarikku cepat ke ruang perawatan.

    ~ A ~

    Guru yang menolongku berjalan seorang guru Bahasa Inggris, pria setengah baya ini tampak terlihat agak kurus, pakaiannya rapi, mengenakan kemeja warna hitam yang ujung bajunya dimasukan kedalam celana, mengenakan sepatu Pantofel berwarna putih. Rambutnya disisir rapi ke pinggir.

    “Nah, duduklah. Bapak ambilkan perban dan obat-obatan”

    Dia pergi meninggalkanku setelah membantu membaringkanku di ranjang. Fran telah lebih dulu berada di ranjang dengan dokter sekolah sedang menyuntikan morphine, beberapa guru juga berdiri disamping ranjang. Lalu membantu dokter itu membuka bajunya yang penuh dengan darah. Aku dan Dokter itu terkejut melihat luka sobekan dari dada sebelah kiri menuju pinggang sebelah kiri Fran.

    Segera dokter itu mengambil jarum serta Catgut / benang jahit operasi lalu menjahit luka sobakan itu. Aku tidak tahan melihat cara dokter itu menjahit, lalu aku memalingkan muka ke arah jendela.
    Hampir tidak ada suara kesakitan dari mulut Fran, mungkin morphine itu telah bekerja dengan baik.

    Tak lama kemudian, terdengar suara sirine dari mobil polisi. Tidak hanya satu, bahkan terdengan puluhan mobil sirine, kemudian disusul suara helikopter.

    Aku yakin kejadian ini akan menjadi berita utama di semua media. Pikirku

    Dobrakan pintu mengejutkan kami semua yang berada di ruang perawatan, dua tentara lengkap dengan pakaian anti peluru serta beberapa senjata menempel pada pakaian mereka memasuki ruangan dengan senjata LaRue Tactical terarah kedepan. Setelah dirasa aman, mereka menyuruh kami untuk cepat-cepat meninggalkan ruangan ini dan mengikuti mereka untuk evakuasi ruangan.

    “Tunggu dulu, ada apa ini? Mengapa tentara datang kemari dan mengevakuasi kami?” tanya guru yang tadi membantuku berjalan.

    “Kami beritahukan itu nanti, yang terpenting kalian harus dievakuasikan dari gedung ini” jawab salah satu tentara.

    Para murid terlihat berjalan cepat di koridor dari pintu masuk ruang perawatan, para guru diruang perawatan pun ikut bergabung tanpa protes, tapi doktor yang sedang menjahit luka Fran tidak ikut mereka. Ia sedang sibuk mongobati luka Fran.

    “Pak, kita harus berangkat” ajak salah satu tentara

    “Sebentar lagi, sedikit lagi aku selesai” dokter itu begitu terlihat tekun menjahit luka Fran, saat itu Fran hanya terbaring sambil melihat dokter itu bekerja, tak tampak wajah kesakitan pada Fran. Hanya sedikit khawatir, jika tiba-tiba morphine didalam tubuhnya berhenti bekerja.

    Aku pun ikut bangkit dibantu guru bersepatu Pantofel putih.

    “Ayo, bapak bantu” ucapnya sambil merangkulku

    “Terimakasih pak”

    Suara bisik kebingungan terdengar ricuh di koridor, teriak para tentara mengatur jalur evakuasi memenuhi seluruh sudut gedung tersebut. Aku dan guru ber-Pantofel putih berjalan perlahan mengikuti barisan para murid-murid dan guru menuju pintu keluar.

    “Pak, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku pada guru yang membantuku.

    “Bapak juga tidak tahu, tapi sepertinya ada sesuatu yang terjadi terkait dengan pesawat yang menabrak gedung ini” jelasnya

    Sirine mobil polisi mulai terdengar lagi, kali ini lebih banyak. 10 atau bahkan 20 mobil polisi terdengar ramai di luar gedung. Dan suara helikopter yang lebih banyak lagi dari sebelumnya.

    Aku dan Guru yang membantuku kini telah berada di pintu luar gedung belakang. Disana polisi tentara dan para anggota medis berkumpul, terlihat mereka sibuk kesana kemari, menolong para murid yang berlarian keluar dari gedung, kemudian bantuan medis berlari kearahku membantu aku berjalan menuju ranjang darurat yang berada di tenda di luar area gedung. Lalu mereka sibuk membantu merebahkanku di ranjang darurat itu, beberapa dari mereka mengambil infusan dan memasangkannya pada lenganku, kemudian menggantungnya di tiang besi dekat kepalaku.

    Guru Pantofel itu meninggalkanku kemudian berlari menuju pintu dimana kami keluar dari gedung sekolah, untuk membantu pada murid yang lain. Aku merebahkan diri dan membiarkan para medis menolongku.

    Tiba-tiba, terdengar suara ledakan yang sangat keras dari arah bangkai pesawat. Serentak seluruh orang di sekitar gedung sekolah terkejut. Para tentara segera berlari menuju ke arah dimana ledakan itu berasal. Aku bangkit dari ranjang tapi para medis menghentikanku dan menyuruhku untuk kembali tidur. Suara tembakan dari arah bankai pesawat di lantai 4, mengejutkanku lebih lagi. Para siswa teriak histeris sambil berlari ke arah para polisi berkumpul untuk meminta perlindungan dari mereka.

    “Fran” seruku pada diriku sendiri, mengingatkan Fran yang masih di ruang perawatan.

    Aku bangkit untuk kedua kalinya, tapi kini aku berusaha lepas dari dorongan para medis yang terus memaksaku untuk kembali beristirahat.

    “Temanku masih ada disana. Dia terluka parah. Kalian Harus menolongnya” seruku pada pria medis yang sedari tadi memaksaku untuk kembali tidur.

    “Tenang, pada polisi dan tentara sedang bekerja untuk menyelamatkan temanmu” ucapnya seraya menenangkanku.

    Aku berhenti dari usahaku untuk bangkit, kini aku hanya terduduk di ranjang dan memandang ke arah ruang perawatan yang berada di lantai 2.

    Aku harap kau baik-baik saja Fran

    “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku pada pria medis tadi.

    “Teroris” ucapnya singkat

    “Teroris?” tanyaku hampir tak percaya. “Apa yang mereka inginkan?”

    “Saya tidak tahu, saya hanya mendengar dari media” katanya sambil mendorongku kembali tidur.

    Aku menuruti dorongannya dan kembali tidur.

    Baku tembak semakin sengit. Salah satu tentara yang memegang walky talky terlihat memegang kepalanya yang tertunduk. Sepertinya dia adalah komandan nya. Dan aku tahu dari ekspresinya, anak buah komandan itu yang sedang bertarung di dalam gedung sekolah, mengalami kesulitan melawan para teroris.
    Tapi, ada beberapa pertanyaan yang sedari tadi ku pikirkan. Dari mana teroris itu masuk ke gedung sekolah kami? Dan untuk apa mereka berada di sekolah kami? Dan apakah ada hubungannya dengan kecelakaan pesawat? Mengapa tidak ada pemberitahuaan terlebih dahulu dari pihak sekolah? Mengapa polisi dan tentara langsung mengetahui bahwa ada teroris di gedung sekolah kami dan kami tidak mengetahuinya?

    Arrggghhhh!! Semakin ku pikirkan semakin rumit permasalahan ini.

    Televisi yang tergantung di sisi tiang tenda, menyiarkan berita penyerangan teroris di sekolah Adler, dan juga di beberapa tempat-tempat penting, seperti gedung pemerintah, perpustakaan kota, bahkan hotel serta bangunan-bangunan ibadah, bahkan beberapa kota besar diserang oleh teroris misterius tersebut. Penyiar berita itu menggambarkan teroris yang terlihat sedang baku tembak di halaman gedung pemerintah, mereka berusaha memasuki gedung tersebut. Para teroris ini mengenakan pakaian yang dari ujung rambut hingga ujung kaki yang terbungkus oleh baja. Senjata mereka mirip dengan senjata IMI Tavor TAR-21.

    Mereka terlihat sedang menembakan senjata dan maju perlahan keluar dari gedung pemerintah kota ke arah tentara yang sedang mencoba melumpuhkan para teroris itu, tapi sayang, mereka terlalu kuat dengan armor baja mereka. Seluruh tembakan tentara tidak ada satupun yang dapat melumpuhkan para teroris. Para tentara terpukul mundur akibat tembakan demi tembakan dari para teroris itu.

    Hampir seluruh pasukan tentara terbunuh karenanya. Kami kalah telak.

    Aku terkejut melihat teroris-teroris itu, mereka sama persis dengan tentara yang ada didalam mimpiku. Walau senjata yang digunakannya berbeda.

    Ini penyerbuan Pikirku. Tanganku gemetar melihat berita itu. Negara kami di serang oleh teroris yang tidak tahu berasal dari mana. Wajah mereka tertutup helm baja dan kaca hitam memanjang dari telinga kanan ke telinga kiri menyusuri kedua mata mereka, sehingga menyulitkan kami untuk mengidentifikasi ras dan suku bangsa mereka.

    Tank, RPG dan segala senjata berat dikerahkan dengan harapan dapat melumpuhkan para teroris baja tersebut. Tapi sayang, harapan itu sia-sia. Baju baja mereka terlalu kuat, roketpun hanya dapat membuat mereka terpental 1 meter dari tempat mereka berdiri. Sama sekali tidak membuat mereka terluka. Bahkan Mil Mi-24 pun mereka kerahkan, roket meluncur, dan tak satupun teroris-teroris itu lumpuh.

    Penyiar berita mengumumkan bahwa, negara ini sedang berusaha sekuat tenaga untuk melumpuhkan para teroris. Serta presiden telah meminta bantuan kepada negara-negara sekutu. Dan menyarankan pada kita untuk tetap tenang dan waspada terhadap serangan-serangan teroris.

    Tak lama kemudian, komandan yang sedari tadi memikirkan strategi bersama para bawahannya, memerintahkan seluruh siswa, guru, para medis, dan penduduk lainnya yang masih berada di area gedung untuk cepat meninggalkan area tersebut.

    Setelah mendengar perintah komandan itu, kami semua bergegas meninggalkan tempat itu. Letusan senjara api tak hentinya berhenti di dalam gedung. Ledakan besar terjadi mengakibatkan beberapa jendela pecah keluar gedung. Kericuhan terjadi lebih hebat. Para teroris mulai bermunculan dari dalam gedung sekolah. Para tentara serta polisi maju mempersiapkan senjata mereka, mereka berlindung di tembok serta mobil polisi.

    “TEMBAAAAK!!!” perintah komandan.

    Tembakan dari tentara dan polisi melesat kearah para teroris berbaju baja itu. Sama seperti apa yang diberitakan. Tak satupun peluru yang ditembakan para polisi dan tentara menembus tubuh teroris-teroris itu. Mereka maju perlahan sambil menembakan senjata mereka ke arah polisi dan tentara yang berlindung di tembok dan mobil. Akibatnya, tembok tempat polisi dan tentara itu mulai hancur sedikit demi sedikit bersamaan dengan tembakan dari para teroris. Mobil-mobil polisi pun bolong akibat peluru dari senjata IMI Tavor TAR-21 para teroris. Beberapa dari mereka terkena tembakan teroris itu, satu persatu polisi dan tentara tertembak.

    “MUNDUR… SEMUA PASUKAN MUNDUR” seru Komandan sambil mengayunkan tangan kearah belakang.

    Para murid telah terlebih dahulu berlari menyelamatkan diri mereka masing-masing. Mereka berlari kesegala arah, hingga menyebabkan sericuhan yang lebih lagi. Aku pun mengikuti dari belakang. Para polisi dan tentara berusaha sebaik mungkin agar tak ada satupun dari para murid tertembak. Beberapa dari tentara mulai jatuh tertembak, juga para polisi. Tembakan para teroris tidak kunjung hentinya, hingga hampir semua tentara dan polisi yang berusaha melindungi kami, mati tertembak. Satu persatu, murid yang berlari di belakang mulai tertembak. Aku yang panik melihat teman-teman sekolahku mati, berusaha berlari sekuat mungkin, menahan segala rasa sakit di tubuh. Nafasku terengah-engah, kini salah satu murid perempuan didepanku yang sedang berlari, terjatuh akibat serangan timah panas menembus punggungnya. Aku terkejut, lalu menoleh kebelakang. Seluruh murid yang berlari dibelakangku telah tewas tertembak, kini akulah yang berlari di barisan paling belakang. Tembakan dari para teroris terus menerus tak terhentikan. Aku melihat ada persimpangan sejauh 10 meter didepanku. Nafasku mulai berat, tapi aku berusaha berlari agar tidak tertembak. Setelah dirasa dekat, aku melompat kearah belokan itu.

    Keberuntungan memihak padaku, aku berhasil berada di persimpangan dan beberapa murid yang berlari di depanku, tembok menghalangiku dari tembakan para teroris. Aku berusaha mengambil nafas, sambil bersenderan pada dinding. Kemudian kembali berlari lagi setelah aku merasa kuat untuk berlari.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Nov 14, 2013
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. kazuke27 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 8, 2010
    Messages:
    56
    Trophy Points:
    21
    Ratings:
    +11 / -0
    Update Chapter 2

    Update ya... Maaf lama keluarnya, terpaut aktivitas. :hmm:


    Chapter 2
    First Journey​


    29 Oktober 2014.

    1/3 Bumi hampir dikuasai oleh para teroris. Tidak. Mungkin lebih tepatnya jika aku sebut mereka sebagai Tentara Misterius. Beberapa negara dibelahan dunia bagian barat telah jatuh di tangan mereka. Brazil, Canada, Mexico, Argentina, dan beberapa negara kecil diantaranya seperti, Venezuela, Colombia dan lain-lain. Dan mereka sudah memulai untuk menyerang negara timur, termasuk negara ini, Indonesia.

    Setelah semua yang terjadi, aku tak dapat berfikir dengan baik. Suara tembakan, ledakan, dan hiruk pikuk kepanikan membuat ku semakin merasakan kengerian yang membuat tubuhku terus bergetar. Sudah cukup jauh aku berlari dari serangan mereka dan aku terus berlari mencari tempat yang aman.

    Stasiun. Seruku dalam hati

    Aku melihat ratusan orang berusaha naik ke peron. Akan tetapi mereka tidak sedang berebut kursi kereta, melainkan sedang komplain pada salah satu ruangan operator.

    Nafasku terengah-engah ketika sampai di sana.

    “Jalankan keretanya!!” teriak salah satu calon penumpang. Dan tidak hanya dia saja yang berteriak seperti itu, hampir semua orang yang ada, komplain dengan pelayanan petugas kereta api.

    “Maaf, saat ini kereta tidak dapat beroperasi, jalur kereta sedang ada masalah” kata salah satu karywawan mencoba menenangkan massa, akan tetapi mereka tetap bersih keras untuk menjalankan kereta menuju tempat perlindungan yang disediakan oleh pemerintah.

    “Ada apa ini?” tanyaku pada salah seorang disana.

    “Kereta tidak dapat beroperasi” katanya

    “Kenapa?”

    “Menurut operator, jalur kereta telah hancur tapi kami tidak percaya dan berusaha agar kereta ini dapat bergerak”

    “Memangnya kemana kereta ini akan pergi?” tanyaku penasaran.

    “Bandara, Pemerintah telah menyediakan tempat bagi kita untuk berlindung”

    “Dimana?”

    “Menurut berita, mereka menyediakan tempat di pulau belitung”

    “Belitung?”

    “Ya, mereka telah menyediakan pesawat. Lihat saja sendiri” katanya sambil menunjuk televisi.

    Berita tentang evakuasi sedang dibacakan oleh seorang reporter wanita, yang katanya para warga dapat melakukan evakuasi dengan mendatangi bandara, pemerintah telah mengerahkan seluruh pesawat terbang untuk membawa penduduk untuk evakuasi ke pulau belitung. Disana telah disediakan tempat yang aman dengan mengerahkan seluruh senjata pertahanan di setiap garis pantai dan saat ini presiden Indonesia telah mengeluarkan perintah agar dibuat tembok besar mengelilingi pulau.

    Aku berfikir sesaat kemudian membalikan tubuh. Aku melihat asap mengepul dari bangunan-bangunan yang hancur. Langit saat ini tidak lagi berwarna biru cerah, tapi gelap oleh karena asap hitam. Jika benar jalur kereta telah hancur, maka tidak ada artinya jika aku tetap berada di sini, dan jika aku berjalan kaki menuju bandara, mungkin membutuhkan waktu satu hari untuk sampai disana dan tidak menutup kemungkinan aku dapat berpapasan dengan Tentara Misterius.

    Sekilas dibenakku tergambar wajah ayah dan ibu. Aku berfikir mungkin sebaiknya aku pulang terlebih dahulu, mencari ayah dan ibu lalu bersama-sama berangkat menuju bandara.

    Aku mencoba untuk mencari cara agar dapat cepat pulang kerumah, tapi sia-sia, hampir seluruh transportasi tidak dapat digunakan karena serangan Tentara Misterius menghancurkan setiap akses jalan dan transportasi. Mobil dan motor pun hampir tak dapat bergerak karena kemacetan dimana-mana.

    Aku mengambil keputusan untuk jalan kaki menuju rumah dan hanya itu satu-satu nya cara agar dapat cepat sampai ke rumah. Akan tetapi, jalan menuju rumah sangat berbahaya, ada kemungkinan aku akan berpapasan dengan Tentara Misterius dan mereka dapat menghabisi ku kapan saja. Cukup lama aku diam untuk berfikir sebelum aku memberanikan diri untuk pulang jalan kaki.

    ~ A ~​

    Jalanan cukup mengerikan karena banyak mayat yang tergeletak di sana-sini dan orang-orang yang terluka meminta pertolongan ketika aku melewati mereka. Aku tak dapat melakukan apa-apa, dan kuputuskan untuk membiarkannya.

    Cukup jauh jarak yang harus kutempuh, karena beberapa kali aku harus memutar karena Tentara Misterius itu menghalangi jalan yang aku lewati untuk pulang ke rumah. Berusaha sembunyi ketika hampir kami berpapasan di persimpangan, berlari memutar ketika mereka hampir menemukanku, bahkan berusaha mencoba mengalihkan perhatian mereka ketika tak ada jalan lain sehingga memaksa ku untuk terus maju hingga akhirnya aku hampir sampai di rumah.

    Rumahku berada di persimpangan jalan, dan aku hanya tinggal belok satu kali lagi dari tempat ku berada. Akan tetapi dari persimpangan tempat ku berdiri, aku mendengar beberapa percakapan yang langsung aku tahu, bahwa mereka adalah Tentara Misterius. Aku langsung bersembunyi dibelakang tanaman pagar disebelahku yang cukup untuk menyembunyikan tubuhku. Dari langkah kakinya, mereka hanya berdua.

    “איך דברים שם?” kata salah satu dari mereka.

    “אני לא רואה את הקושי” jawab temannya.

    “בסדר, בואו נסיים ואנחנו חוגגים”

    “זה מה שאני מחכה”

    Suara mereka semakin lama semakin mengecil lalu menghilang.

    Setelah dirasa aman, aku keluar dari persembunyian kemudian berlari kecil - sebisa mungkin tak membuat suara - menuju rumah. Aku terus berharap ayah dan ibu baik-baik saja.

    Dari kejauhan asap hitam mengepul dari arah rumahku, aku berharap rumahku baik-baik saja. Aku menambah kecepatanku, untuk memastikan. Tapi ternyata kekhawatiran ku benar, rumahku hancur, lidah api membakar semua yang dapat dijilatnya. Tembok hancur berantakan luar dan dalam rumah, aku tak dapat melihat pintu lagi, mungkin telah menjadi sepihan-serpihan kecil. Kaca jendela telah pecah berserakan dimana-mana, kamarku yang seharusnya ada dilantai dua, kini telah hancur.

    Aku berjalan lemas masuk kerumah, mencoba mencari ayah dan ibuku. Memandang kesekeliling, tidak ada satu pun tanda mereka disana.

    “Mereka masih hidup” bisik ku.

    Aku berlari keluar rumah melihat kekiri dan kekanan, menduga kemana kedua orangtua ku pergi. Di ujung jalan sebelah kananku, aku melihat anak perempuan berlari terengah-engah dengan memegangi perut kanannya yang terluka. Ia berlari tunggang langgang yang kemudian menabrakku hingga kami berdua terjatuh.

    “To…long” katanya lemas

    Dari kejauhan aku melihat tiga titik hitam kecil sedang terlihat mencari-cari sesuatu sebelum akhirnya mereka bergerak kearah tempat ku berada.

    “Tentara Misterius” kataku. “Ayo”

    Dengan cepat aku memapah perempuan itu lalu bersembunyi ke dalam rumah yang telah hancur, berharap mereka tidak menemukannya di sini.

    Tak lama kemudian, tiga orang berbaju hitam berlapis baja berlari cepat melewati rumah. Aku membaringkan perempuan itu di lantai, setelah itu aku berjalan hati-hati ke luar untuk melihat keadaan disana.

    “Aman” aku mengangguk.

    Aku berjalan ke arah perempuan itu. Ia masih memegangi perutnya, darah mengalir menyebabkan baju birunya kini telah berwarna merah kehitaman. Ia mengenakan celana jeans pendek sepaha dan menggunakan sepatu boots tinggi menutupi setengah betisnya. Rambutnya hitam panjang, diikat dengan karet hitam berbulu.

    Aku mengambil kotak obat P3K dari dapur, mengambil tisu lalu aku beri alkohol secukupnya. Aku duduk disampingnya melihat peluh membasahi kulitnya yang putih.

    “Sini aku bersihkan dulu lukamu” kataku. Sebelum aku mau mengobati lukanya, dia menghentikanku.

    “Tunggu… biar aku saja” katanya, wajahnya sedikit memerah ketika mengatakan itu. Aku langsung mengerti, bahwa yang akan ku obati ialah perutnya.

    “Owh… Uhm… Baiklah” kataku, wajahku memerah.

    “Jangan lihat”

    Aku membalikkan tubuhku. Setelah beberapa menit kemudian

    “Sudah” ucapnya sambil berusaha berdiri, aku membantunya “Terimakasih”

    “Namaku Rey, kamu?”

    “Aku Luca” jawabnya. “Terima kasih atas apa yang telah kau lakukan. Aku menghargainya, tapi aku harus cepat pergi, ada hal penting yang harus kulakukan”

    “Tunggu, kau masih terluka, sebaiknya beristirahat dulu sejenak”

    “Aku ingin, tapi aku tak punya waktu banyak. Sekali lagi terima kasih”

    Ia berjalan keluar rumah.

    Belum sampai dijalan, tiba-tiba…

    BOOM…!!!

    Ledakan di pekarangan mengejutkan kami. Luca terpental kebelakang beberapa meter.

    “Luca!!!” seruku, kemudian berlari padanya dan membantu dia berdiri. Untunglah ia tidak terluka.

    “Ugh… Dia sudah tahu aku disini.” kata Luca

    Dari luar, beberapa orang terlihat samar dalam kepulan asap, mereka terlihat mengarahkan senjata. Aku memapah Luca bersembunyi dibelakang tembok, sebelum pada akhirnya senjata itu ditembakkan.

    “Kita harus pergi dari sini.” Seruku berusaha menyeimbangi suara tembakan. “Kamu bisa berlari?”

    Luca mengangguk mengiyakan

    Suara tembakan terhenti sesaat, kemudian kami mengambil kesempatan untuk berlari ke dalam rumah, kemudian mendobrak masuk ke kamar tidur menghindari tembakan. Aku menutup pintu kamar, menguncinya lalu menahannya dengan lemari pakaian, kemudian berlari ke arah jendela di belakang.

    “Ayo, kita keluar dari sini” ajakku

    Luca meraih tanganku kemudian kami melompati jendela. Aku mengambil kursi kayu untuk melewati tembok belakang yang tingginya 2 meter. Mengajak Luca untuk naik terlebih dahulu, setelah Luca melewati tembok dan tiba giliranku. Suara dobrakan terdengar dari arah pintu kamar, aku melompat ke kursi kayu dan meraih puncak tembok. Akan tetapi, kursi kayu itu tidak kuat menahan beban tubuhku, kursi itu patah sebelum aku sempat melewati tembok rumah. Aku terjatuh ke tanah bersamaan dengan berhasilnya para Tentara Misterius mendobrak pintu kamar. Mereka masuk dan mencari cari di sekitar kamar sebelum mereka memeriksa jendela.

    “Gawat” pikirku karena tak ada jalan lain lagi untuk pergi dari situ selain melewati tembok.

    “Rey, ayo” Suara dibelakang mengejutkanku. Ia menarik lenganku dan… POP!!

    Para Tentara Misterius melewati jendela, mencari-cari di sekitar halaman tapi mereka tidak menemukan siapapun di sana.

    ~ A ~​

    Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang aku tahu adalah aku dan Luca berada di taman kota. Cukup jauh dari rumahku. Nafas Luca terengah-engah, ia seperti telah berlari sejauh 5 km. Tangannya bertumpu pada lututnya sambil mengambil nafas.

    “Apa yang terjadi?” tanyaku pada Luca yang masih mengambil nafasnya. “Apa aku pingsan? Bagaimana kita bisa ada di sini?”

    “Untuk sementara… kita selamat” jawabnya setelah cukup mengumpulkan nafas. “Kita harus pergi dari sini, disini belum aman”

    Aku terdiam sesaat, mengingat kembali Tentara Misterius yang mengejar ku, Luca melewati tembok, aku sembunyi karena mereka berhasil menerobos pintu kamar sebelum aku berhasil kabur, kemudian ada suara seseorang dibelakang tempat persembunyianku, ia menarik tanganku, lalu aku tak ingat apa-apa lagi dan aku sudah ada di sini.

    “Ayo Rey, sebelum mereka menemukan kita lagi” ajak Luca sambil menarik lenganku.

    “Tapi, bagaimana ini—“

    “Ceritanya panjang, aku cerita setelah kita sampai”

    Aku tak bertanya apa-apa lagi, karena aku tahu, lebih baik kita menyelamatkan diri terlebih dahulu sebelum mencari tahu apa yang telah terjadi.

    ~ A ~​

    Kami sampai di sebuah perpustakaan kota. Bangunan itu sudah cukup tua, tapi walau begitu memiliki sejarah tersendiri. Bangunan yang cukup besar untuk menampung ribuan buku, dari buku nonfiksi hingga buku fiksi, semua ada di perpustakaan ini. Walau begitu, kini bangunan tersebut bukan menjadi tempat yang asik bagi orang-orang untuk membaca, karena mereka sibuk untuk melarikan diri dari ‘kiamat’ yang sedang terjadi.

    Kami masuk melalui pintu depan yang tidak terkunci. Di dalam, tidak ada siapapun. Buku-buku tersusun rapi di setiap raknya, hanya beberapa buku tergeletak di lantai, dan meja resepsionis terlihat agak berantakan, mungkin penjaga perpustakaan panik berusaha untuk melarikan diri.

    “Apa yang akan kita lakukan disini?” tanyaku

    “Aku mencari informasi.”

    “Ini bukan waktunya mencari informasi” seruku

    “Aku tahu, tapi seperti yang sudah kubilang, aku harus melakukan sesuatu.” Katanya sambil berjalan menuju rak buku disebelahnya.

    “Apa yang ingin kau lakukan?” tanyaku sambil mengikutinya yang sedang menengok kiri dan kanan mencari buku yang dibutuhkannya.

    “Menghentikan perang ini”

    “Hah? Apa kau gila? Apa yang dapat kau lakukan?”

    “Apa kau pernah membaca tentang Permainan Kartu Pencerahan?” katanya sambil menggeser jarinya menunjuk buku-buku yang berjejer di rak dengan tetap berjalan kedepan.

    “Kartu Pencerahan?” tanyaku mengikutinya berjalan dibelakang.

    “Kartu itu dibuat pada tahun 1990, akan tetapi setiap gambar yang ada di kartu tersebut menjadi kenyataan setelah” katanya sambil tetap menatap buku-buku pada rak. “Misalkan saja, salah satu kartu itu memiliki gambar 2 gedung tinggi dan pada badan salah satu gedung itu terjadi ledakan dasyat.”

    “Lalu?”

    Luca membalikkan badannya kemudian menatapku serius.

    “Apa kau tahu tentang kejadian 9/11?”

    Aku berfikir sesaat, kemudian…

    “Hancurnya gedung WTC pada tanggal 11 September 2001.”

    “Tepat… Permainan kartu pencerahan yang dibuat pada tahun 1990 telah menggambarkan kejadian di masa depan pada tanggal 11 September 2001, dan hal itu masih menjadi misteri.” katanya sambil kembali mencari buku di rak. “Dan bukan hanya kejadian 9/11, kejadian-kejadian yang lain pun telah di gambarkan sebelumnya. Walau sebenarnya banyak orang mengatakan bahwa kartu itu hanyalah sebuat tipu muslihat, karena kartu itu selalu di update setiap saat, sehingga gambar pada kartu itu seakan dibuat-buat.”

    “Apa keadian ini pun telah digambarkan olehnya?” tanya ku penasaran

    “Ya” katanya mantap. “Ada satu kartu yang menggambarkan kejadian saat ini. Kartu itu bernama… ‘Invasion’.”

    “Owh” aku berfikir sejenak, mencerna semua hal yang sedang terjadi. “Jadi, kau ingin mencari buku yang membahas tentang kartu itu?”

    “Ya.” katanya, ia berhenti di salah satu rak buku. “Aku mencari buku itu untuk mendapatkan informasi tentang si pembuat kartu itu dan aku ingin bertanya langsung padanya.”

    “Buku seperti apa yang ingin kau cari? Apa judulnya?”

    “Cari saja tentang Steve Jackson, dia lah yang menciptakan kartu itu.”

    “Baiklah, aku bantu mencarikan”

    Aku berlari ke rak yang lain, membantunya mencari buku tentang permainan kartu itu. Sesungguhnya aku penasaran dengan permainan kartu itu, aku sedikit tidak percaya dengan penjelasan Luca, hanya saja aku ingin membuktikannya sendiri.

    Membutuhkan waktu yang cukup banyak untuk mencari buku biografi tentang Steve Jackson, karena buku itu tidak lah sepopuler buku-buku lain. Sulit mencarinya karena banyak sekali buku di perpustakaan itu.

    Aku berhenti sejenak, duduk di atas tumpukan buku-buku yang ku keluarkan dari rak. Aku mulai berfikir, mustahil mencarinya.

    “Tunggu, mungkin di meja resepsionis ada daftar tentang buku-buku yang kita butuhkan.” pikirku

    Langsung saja aku lari ke meja resepsionis, mencari-cari sejenis buku atau catatan tentang daftar buku-buku di perpustakaan itu. Meja resepsionis agak berantakan, banyak kartu peminjam buku berserakan di meja dan beberapa buku yang tersusun acak, mungkin baru dikembalikan oleh si peminjam. Bolpoin, pinsil, penghapus, dan alat-alat tulis lainnya berserakan memenuhi meja. Disana ada satu unit komputer lengkap beserta printernya.

    “Tidak ada, mungkin ada di komputer”

    Aku mulai menyalakan komputer itu, kemudian mencari data tentang daftar buku yang ku butuhkan.

    “Nah, ini dia.” Aku mengetikan nama Steve Jackson pada kolom ‘cari’, beberapa saat kemudian daftar buku dengan nama Steve Jackson muncul beserta lokasi dimana buku itu berada.

    “D.745” kata ku sambil menulis nomor itu di selembar kertas kosong.

    Setelah menulis nomor itu, aku berlari mencari Luca.

    “Luca,” seru ku. “Aku menemukannya”

    “Dimana?”

    “D.745,” kataku sambil menunjukan nomor itu padanya. “Sepertinya ada di lantai 2”

    “Ayo” kata Luca sambil menarik lenganku

    Kami berlari ke lantai 2, lalu mencari rak buku dengan nomor awalan 700.

    “Itu” kataku sambil menunjuk salah satu rak yang memiliki nomor 700-800.

    Sesampainya di rak 700-800 aku dan Luca mencari buku itu berdasarkan nomor yang telah kutemukan dari komputer di meja resepsionis.

    “Ini dia bukunya.” Kata Luca sambil menarik buku yang berjudul ‘Game Designer oleh Steve Jackson’

    Luca membuka halaman pertama buku itu, kemudian membaca nya dengan cepat.

    “Gawat,” katanya. “Tidak ada tanggalnya”

    “Tanggal apa?” tanyaku

    “Tanggal lahir nya, aku tidak menemukan dimanapun tanggal lahirnya,” kata Luca panik membalik-balik halaman buku itu. “Coba cari lagi buku yang lain, mungkin ada buku yang menceritakan Steve Jackson”

    Aku mulai mencari buku yang membahas tentang Steve Jackson itu di rak yang sama, beberapa kali aku buka buku yang mirip tapi hasilnya nihil, tak ada satu pun buku yang membahas Steve Jackson selain buku yang sedang di pegang Luca saat ini.

    “Tidak ada” kataku lemas.

    “Mustahil, kalau begini aku tak bisa menemukannya”

    “Jika kau ingin menemukannya, bukan kah lebih cepat jika kita mencari alamatnya? Mengapa kita harus mencari tanggal lahirnya?”

    Luca terdiam sesaat sebelum ia mulai menjelaskan.

    “Aku harus tahu tanggal lahirnya, jika aku tahu maka mungkin masa depan dapat terselamatkan.”

    “Apa maksudmu?” tanyaku

    “Ah, tidak… Hehehe…” katanya. “Ayo, kita pergi dari sini, aku akan mencari cara lain untuk menemukannya.”

    “Eh, Tunggu” seru ku ketika Luca berjalan menjauh. “Kau belum menjelaskan bagaimana masa depan dapat terselamatkan hanya dengan mencari tahu tanggal lahir seseorang?”

    “Dengar, aku tak ingin melibatkan mu lebih jauh lagi. Kau sudah cukup membantuku hingga saat ini, aku sangat berterimakasih untuk itu. Tapi untuk masalah ini, aku tak dapat mengajakmu lebih jauh lagi.”

    “Mengapa?”

    “Karena ini adalah misiku” kata Luca.

    “Apa misi mu itu?”

    “Sudah kukatakan, misiku adalah menghentikan perang ini.”

    “Tunggu,” kataku sambil menarik lengannya. “Apa kau serius? Bagaimana caranya kau dapat menghentikan perang ini?”

    “Aku tak dapat mengatakannya.” ucap Luca

    “Mengapa?”

    Luca mendesah. “Dengar – “

    BOOOMMM!!!

    Ledakan dari arah pintu masuk mengejutkan kami.

    “Mustahil, bagaimana mereka –“

    BOOMMM!!!

    Kali ini ledakan lebih dekat dengan tempat kami.

    “Ayo, kita pergi dari sini” kataku

    “Kemana? Tak ada jalan keluar”

    Benar saja, dari pintu depan pasukan Tentara Misterius menyebar masuk ke segala arah. Spontan kami menunduk berharap mereka tidak menemukan kami yang berada di lantai 2.

    “Bagaimana ini?” tanyaku berharap mendapat jawaban yang baik dari Luca.

    Luca tak menjawab.

    Dua tentara menaiki tangga ke lantai 2.

    Ini gawat. pikirku.

    “Tak ada pilihan lain” bisik Luca.

    “Apa?”

    Sebelum aku mendapat jawaban, jam tangan Luca bersinar. Semakin lama, sinar itu semakin membesar, kemudian mulai menyelubungi kami berdua.

    “Apa yang terjadi?” kataku sambil menutup kedua mataku dengan punggung lengan kanan ku.

    “It’s them!!” Seru salah seorang dari Tentara itu. “SHOT!!”

    Sebelum mereka berhasil menembak kami, cahaya yang menyelubungi kami telah hilang dan di tempat yang seharusnya menjadi tempat kami bersembunyi, kini hanya terdapat lantai bersih terbuat dari beton berlapis keramik. Tak ada seorangpun disana.

    ~ A ~​

    Ugh. Aku mengerang kesakitan. Tubuhku serasa telah mengangkat beban sebesar 50kg, tangan ku lemas, kepalaku pusing. Saat ku buka mata, pandangan masih putih semua, lambat laun penglihatanku mulai membaik. Kini aku tahu, aku sedang berada disebuah gang sempit, kanan dan kiri ku sebuah tembok, dan aku terbaring di lantai batu. Di ujung lorong banyak orang yang hilir mudik tanpa menyadari kehadiran kami. Cahaya matahari menyinari dari atas langit. Disamping ku, Luca masih belum sadarkan diri.

    “Luca… Luca…” aku berusaha membangunkan Luca.

    “Uhhmmm,” Luca mengeluh. “Aku masih kenyang”

    “Apa yang kau katakan, dimana kita?” kataku sambil memandangi disekitarku.

    Luca melompat dari tidurnya, ia menoleh ke kiri dan kanan mencoba memahami dimana dia berada.

    “Kita sampai” katanya.

    “Sampai? Dimana?”

    “Tahun 1953”
     
  4. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    kesan pas baca sinopsinya:
    Itu kata misteriusnya boros amat ya. Ga ada kata lain kah buat jadi pengganti... Udah tentara misterius, wanita misterius juga. Kesannya wanita misterius itu anggota tentara misterius dong.
    #digaplok karena banyak protes

    lanjut baca bab 1... berakhir dengan skimming. Deskripsinya agak bikin bingung. terutama adegan-adegan action/pas pertarungannya/pas perangnya. Kalau bagian kehidupan sehari-harinya sih biasa. Cuma agak boros aja. Kayak misalnya, penjelasan populer Valen yang diulang dua kali di adegan yang berbeda.

    Ceritanya sih.. mungkin seru. Dunno. bagian awalnya rada cliche. jadi agak bosenin buatku. Bukan berarti jelek sih. Tapi kalau saya ga gitu suka aja.

    Penulisan.. udah lumayan. Cuma tanda bacanya kurang dikit. Kadang ada wall of text dengan deskripsi yang agak bikin males baca.

    Tokohnya... belum keliatan kayak gimana karakteristiknya. Kecuali yang udah nampak dan well... umum. Cewek temen masa kecil yang cantik dan populer. Sahabat dekat cowok. Protag yang sekilas biasa-biasa aja. Hm...

    yah.. keep writing.
     
  5. kazuke27 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 8, 2010
    Messages:
    56
    Trophy Points:
    21
    Ratings:
    +11 / -0
    #BUGH BAGH BRUSS UUGHHHH... Dihajar ampe babak belur.. :cambuk3:
    Hahaha... tapi jujur, saya seneng bgt sama kritik dan saran nya... thanks bgt utk merpati98... sebenarnya, saya juga udah sempat minta saran juga sama temen dan hasilnya kurang lebih kritiknya sama dengan agan merpati :madesu:

    dia bilang ceritanya membosankan!!:jotos, banyak yang harus dirubah!!:apa:, banyak baca!!:sekarat. Oleh karena itulah saya lagi banyak baca novel-novel, temen saya pun menyarankan untuk membaca Harry Potter (boleh ga ya saya sebut merek :bloon:)

    Jadi, maaf kalau update lanjutannya agak lama, dan saya tetap mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman sekalian...

    Untuk merpati98, jangan bosan-bosannya memberikan kritik dan sarannya ya... Thanks banget... :matabelo:
     
  6. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Senjata M4 itu apa? Glock 19 yang kayak gimana sih? Aitor Jungle King 1 siapa???

    Pas awal-awal pace nya terlalu cepat. Perasaan tokoh, setting, sama kemisteriusan tentaranya kurang tergambar.

    Deskripsi
    "Namaku Rey James William. Aku adalah anak tunggal dari keluarga William. Ibuku berusia 26 ketika melahirkanku. Dan ia telah berhasil membesarkanku hingga 19 tahun ini. Ayahku seorang karyawan swasta biasa, dan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Walau begitu kami bahagia menjalani kehidupan ini. "
    kayaknya kurang relevan, apalagi ini make pov 1

    pas bagian daily lifenya agak bosan tapi memasuki perang jadi seru!
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.