1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Kumpulan Cerita Pendek Irene Faye

Discussion in 'Fiction' started by Irenefaye, Jul 15, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    [​IMG]

    Salam kenal! Nama saya, Irene Faye!
    Cerita-cerita di bawah ini sebenarnya adalah cerita-cerita yang sudah pernah saya poting di situs-situs kepenulisan lain sebelumnya, tapi berhubung saya hampir gak punya jejak di indowebster, jadi saya rasa gak ada salahnyalah posting cerita disini hehehe ...
    Seluruh cerita ini sebenarnya adalah buah dari lomba-lomba kepenulisan. Ada yang lomba kecil-kecilan untuk acara ulang tahun blog atau situs kepenulisan, dan ada juga yang buat ajang tahunan situs yang lumayan, tapi yah, wlo gimana juga semuanya tetap hasil iseng-iseng sih ---iseng-iseng berhadiah.

    Well, kelamaan ngomong, silahkan langsung dicicipin aja!
    [​IMG]

    [​IMG]

    Ray menghentikan langkahnya di tengah taman. Benar saja, dia bisa menemukan gadis itu di sana. Yuan Qin Shu, murid baru di kelas Ray yang tampaknya tak bisa lepas dari buku. Bukannya Ray punya masalah dengan hal itu, tapi cara gadis itu memandang bukunya jelas membuatnya selalu mengerutkan dahinya. Gadis itu selalu menatap bukunya dengan sangat antusias seolah buku itu adalah sepiring besar puding coklat. Ray cinta puding coklat.

    Seperti biasanya gadis itu duduk di bawah pohon rindang sambil membaca bukunya. Kali ini kelihatannya buku yang dibacanya adalah buku fantasi klasik. Ray mengenali buku itu karena gurunya beberapa waktu lalu menyuruh kelasnya untuk meresensi buku itu. Tugas yang bahkan belum disentuhnya sama sekali.

    Ray tak mengerti mengapa gurunya menyuruh mereka untuk membaca buku itu. Buku itu sangat tebal, tidak memiliki gambar dan yang ada disana hanyalah kata-kata. Kata-kata yang dengan melihatnya saja sudah membuat Ray malas. Alasan lain lagi yang membuat Ray tak bisa memahami kecintaan Yuan Qin Shu terhadap buku.

    Sambil menenteng bola kakinya di satu tangan anak laki-laki itu berjalan dengan cepat mendekati gadis yang sedari tadi dipandanginya. Berhenti sejenak untuk memikirkan kata-kata apa yang harus diucapkannya, dan akhirnya memutuskan untuk menjatuhkan bolanya dan kemudian mengambil tempat untuk duduk tak jauh dari gadis itu.

    “Apa bagusnya sih buku?” serunya dengan suara lantang. Gadis berwajah oriental itu mengangkat kepalanya sejenak sebelum kemudian mendelik kesal ke arah Ray. Jelas dia tidak suka Ray menganggu kegiatan membacanya.

    Sambil menutup bukunya, gadis itu berdiri dari tempatnya dan kemudian berjalan pergi dan duduk di tempat yang sedikit lebih jauh dari tempat Ray duduk. Kembali membaca tanpa menghiraukan pemuda itu. Kali ini giliran Ray yang kesal. Memangnya dia ini parasit yang harus dijauhi apa?

    Dengan cepat ia mengambil bolanya dan langsung menghampiri gadis itu. Qin Shu yang tampak terlalu asik dengan bacaannya hanya mengangkat matanya sekilas sebelum menjatuhkannya kembali ke deretan kata-kata yang ada di bukunya. Bertingkah seolah Ray tak pernah ada di hadapannya.

    “Jangan pura-pura tidak tahu! Jika ada orang yang berdiri di depanmu seharusnya kamu menanyakan apa yang ia inginkan! Bukannya malah menghiraukannya!!!” gerutu pemuda itu kesal. Qin Shu hanya menghela nafas panjang sebelum kemudian kembali mengangkat matanya hanya untuk memandang Ray dari balik bukunya.

    “Apa lagi yang kau inginkan sekarang, Rayburn?” tanya gadis itu sambil menandai halaman terakhir yang dibacanya dengan pembatas buku dan kemudian menutupnya.

    “Aku tidak bisa menerima alasanmu menolakku! Mana ada orang yang menolak orang lain dengan alasan bawa ia jatuh cinta dengan buku! Alasan macam apa itu ? Aku tidak terima!” gerutu pemuda itu berapi-api. Qin Shu lagi-lagi menghela nafasnya.

    “Apa kamu pernah membaca buku, Rayburn? Membaca tanpa paksaan tentunya. Apa kamu pernah melakukannya?” tanya gadis itu sambil membetulkan posisi kacamatanya. Ray terdiam.

    “Cerita yang menggelitik rasa penasaran dalam deretan kata yang tersusun rapi, petualangan-petualangan baru yang tersembunyi di balik setiap halaman, keindahan imajinasi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, dan perasaan ini. Surga. Buku jelas menyimpan kedamaian surga di dalamnya. Apa kau pernah merasakannya?” tanya gadis itu lagi. Ray tetap diam seribu bahasa. Qin Shu hanya tersenyum.

    “Saat membaca buku, entah bagaimana rasanya kita dibawa untuk mengarungi suatu dunia lain yang tak pernah kita lihat sebelumnya, mengenal dunia itu, mendalaminya, dan mencintainya. Tiba-tiba kita sudah menjadi bagian dari dunia itu dan ikut mencicipi setiap petualangan yang tersimpan di dalamnya. Tak bisa melepaskannya, tak rela melepaskannya, dan rasanya sulit sekali meninggalkannya. Saat itulah kau tahu bahwa kau jatuh cinta dengan buku.”

    Gadis itu berdiri dari tempat duduknya, mebersihkan helai-helai rumput yang menempel di roknya sebelum kemudian menatap lurus ke mata Ray sambil tetap tersenyum. Mendekap bukunya dengan erat di dadanya seolah buku itu adalah harta yang paling berharga di hidupnya.

    “Aku tidak bisa berpacaran denganmu, Rayburn, karena kau tidak mengerti keindahan dari sebuah buku. Aku bahkan tak pernah melihatmu membaca sebelumnya. Aku takut jika nantinya aku berpacaran denganmu kau akan selalu menuntutku menonton setiap pertandingan bolamu ketimbang menemaniku membaca di perpustakaan. Jadi maaf, sebaiknya kita tetap manjadi teman saja ...” ujarnya singkat seraya melangkah pergi. Meninggalkan Ray yang hanya bisa menatapnya dengan tatapan tak percaya.

    †††

    Dengan kesal Ray langsung melemparkan bolanya ke pinggir kamar. Gara-gara gadis itu, Yuan Qin Shu, dia jadi tidak bisa menikmati pertandingannya. Tidak, bukan salah Qin Shu, tapi salahnya sendiri. Kenapa pula dia harus menyatakan perasaannya pada gadis itu. Gadis itu hanya seorang kutu buku yang Ray yakin sama sekali tidak mengerti tentang bola.

    Sayangnya Yuan Qin Shu sangat mengerti tentang bola. Justru karena hal itulah Ray menyukai gadis itu. Komentar Yuan Qin Shu tentang permainannya yang kritis dan cerdas, membuatnya terpesona pada gadis itu.

    Tapi mengapa gadis itu harus jatuh cinta pada buku?! Setumpuk kertas yang dipenuh dengan tulisan yang tidak menarik. Kenapa gadis itu bisa jatuh cinta dengan buku? Ray sama sekali tak bisa memahaminya.

    “Saat membaca buku, entah bagaimana rasanya kita dibawa untuk mengarungi suatu dunia lain yang tak pernah kita lihat sebelumnya ...Tiba-tiba kita sudah menjadi bagian dari dunia itu dan ikut mencicipi setiap petualangan yang tersimpan di dalamnya ... Saat itulah kau tahu bahwa kau jatuh cinta dengan buku.”

    Kata-kata Qin Shu itu kembali terngiang di telinganya. Dia tak bisa mempercayainya tentu saja, tapi entah mengapa setelah mendengar kata-kata itu, Ray jadi ingin membuktikannya. Dia memiliki tugas untuk meresensi buku yang sama dengan yang sedang dibaca Qin Shu di taman tadi, itu artinya dia bisa mengambil kesempatan ini untuk mencobanya. Mencoba ikut jatuh cinta dengan buku.

    Dengan ragu ia meraih buku yang menjadi tugasnya itu dan mulai membaca halaman pertamanya. Kata demi kata mulai membuatnya mengantuk, tapi kemudian saat kata-kata itu membentuk satu kalimat, kemudian menjadi dua kalimat dan akhirnya satu paragraf, Ray tak bisa lagi menghentikan dirinya.

    Yuan Qin Shu benar. Cerita yang menggelitik rasa penasaran dalam deretan kata yang tersusun rapi, petualangan-petualangan baru yang tersembunyi di balik setiap halaman, keindahan imajinasi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, dan surga. Buku jelas menyimpan kedamaian surga di dalamnya dan dia baru saja jatuh cinta dengan surga itu.

    -Fin-

    Catatan: Cerpen ini saya buat untuk mengikuti lomba cerpen Surgabukuku 1st Birthday Giveaway! yang diadain oleh blog :
    http://surgabukuku.wordpress.com. Memang pendek, karena batas maksimalnya adalah 1000 kata, jadi hasilnya memang segini hahaha

    [​IMG]

    Chris membenci udara malam musim dingin. Angin kencang selalu mengacak-acak tatanan rambutnya dan suhu yang amat rendah selalu membuat tubuh kurusnya menggigil di balik jaket tebalnya. Dengan cepat pemuda berambut hitam itu berlari menyeberangi jalan dan memasuki bangunan besar yang berada di pinggir jalan.

    Hawa hangat penghangat ruangan seketika menyambutnya. Chris dengan cepat membuka mantelnya dan menyapa seorang wanita yang duduk di balik meja resepsionis.

    “Syukurlah kau akhirnya datang, Chris, ini sudah hampir waktunya makan malam, dan kau tahu sendiri kan kalau Mrs. Waynes tidak akan mau makan jika bukan kau yang menyuapinya?” ujar wanita itu lega sambil menyodorkan sebuah kartu tanda pengenal pada pemuda di hadapannya. Chris langsung menerima kartu tanda pengenal itu dengan penuh semangat.

    “Maafkan aku, Mrs. Park, tapi natal sudah semakin dekat, dan ibuku menginginkan hiasan natalnya telah terpasang dengan baik sore ini, jadi aku terpaksa membantunya!” ucap Chris cepat sambil menyematkan kartu tanda pengenal itu ke kaos hitamnya. Wanita yang dipanggil Mrs. Park itu hanya tersenyum sebelum kemudian mengecek kalender di mejanya.

    “Benar juga, sebentar lagi Natal. Chris ... apa kau sudah memikirkan hadiah apa yang kau inginkan?” tanya wanita itu penasaran. Chris langsung tertawa.

    “Tidakkah aku terlihat terlalu tua untuk masih percaya dengan Santa? Ayah berhenti menggenakan kumis palsu dan baju merah tololnya itu saat umurku sepuluh tahun, jadi sudah sejak saat itulah aku tak lagi membuat daftar hadiah yang kuinginkan di hari natal, Mrs. Park!” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita yang duduk di hadapannya itu langsung mengambil segulung kertas dari mejanya dan memukul kepala Chris dengan gulungan kertasnya.

    “Tanggal dua puluh lima desember adalah hari ulang tahunmu, Chris, jadi jangan berlagak bodoh dan bertingkah seolah kau tak mengingat hal itu!!!” gerutu wanita itu kesal. Chris hanya tertawa.

    “Banyak hal yang dapat kulakukan selain memikirkan hal itu, Mrs. Park, dan seingatku, tadi anda bilang Mrs. Waynes sudah menunggu saya, saya rasa tidak baik jika saya membuatnya menunggu lebih lama lagi!” seru pemuda itu sambil menyusuri koridor panjang yang tampak cukup nyaman di depannya.

    Azure Hill Convalescent Home, di sanalah Chris menghabiskan liburan musim dinginnya. Untuk mereka yang belum tahu, convalescent home adalah tempat dimana orang-orang yang membutuhkan perawatan medis panjang, dan orang-orang yang baru menjalani operasi besar yang membutuhkan rehabilitasi dalam jangka waktu panjang tinggal. Hanya saja entah sejak kapan tempat itu kini lebih menjadi tempat tinggal untuk orang tua yang membutuhkan perawatan medis.

    Cukup aneh memang, karena kebanyakan remaja seperti dirinya lebih memilih untuk bersenang-senang pada masa liburan mereka, tapi Chris menyukai pekerjaannya. Orang tua yang tinggal di convalescent home ini terlalu menyedihkan dan tak berdaya. Keluarga mereka meninggalkan mereka dan mempercayakan mereka kepada para perawat dan dokter di tempat ini. Mereka hanya berkunjung pada hari libur tertentu, dan itu pun tidak lebih dari tiga puluh menit. Ya, tempat ini adalah tempat bagi orang-orang tua yang kesepian.

    Chris membantu menghilangkan rasa sepi itu. Ia mengajak para orang tua itu mengobrol, bermain, menyuapi mereka makan, dan bahkan menuntun mereka ke tempat tidur mereka. Para orang tua menyukainya, dan mereka juga sering memberinya hadiah, sekalipun tentu saja, sudah peraturan di tempat ini kalau kita tidak boleh benar-benar menerima hadiah mereka. Dia harus mengembalikan hadiah-hadiah itu ke lemari para pasien di saat mereka tidur. Para orang tua itu tidak akan pernah ingat pernah memberinya sesuatu, dan jika barang yang diberikan padanya itu adalah hal yang sebenarnya cukup berharga bagi mereka, tuduhan mencuri adalah hal yang akan diterimanya.

    “ ... Anakku lulus dari Yale hari ini. Dia melambaikan tangannya dari podium! Kau percaya itu?! Anakku, anak laki-lakiku yang manis, berhasil lulus dari Yale?! “ seruan penuh semangat Mrs. Wayens membuat Chris tersenyum. Tentu saja dia sudah pernah mendengar cerita ini berulang-ulang. Putra Mrs. Waynes lulus dari Yale Univerisity, menikah dengan seorang pengacara ternama, memiliki keluarga yang manis dan bahagia, sampai akhirnya komplikasi penyakit diabetes Mrs. Waynes membuatnya berakhir di tempat ini dan keluarga bahagia yang manis itu kini menjadi sebuah ilusi.

    “Kisah anda sangat manis, Mrs. Waynes, saya yakin putra anda akan mengunjungi anda natal tahun ini ...” ucap Chris menimpali cerita wanita tua yang duduk diatas kursi roda yang di dorongnya.

    “Oh, tentu saja! Dia akan datang bersama ...” wanita itu terdiam sejenak berusaha keras mengingat sesuatu.

    “Michael dan Matthew, Mrs. Waynes, cucu-cucu anda yang manis!” Chris mengingatkan. Ya, wanita itu bahkan tidak dapat mengingat nama cucu-cucunya, tapi Chris selalu ingat. Dia selalu mengingat seluruh cerita yang pernah diceritakan padanya. Wanita tua itu langsung tersenyum dan mengangguk senang.

    “Ya! Michael dan Matthew... mereka adalah anak-anak yang manis...” Chris tak begitu memperhatikan cerita dari wanita itu, lagipula cerita yang diceritakan wanita itu selalu sama. Sekelompok kecil orang yang memasuki kamar di sebelah kamar Mrs. Waynes menarik perhatiannya. Pasien-pasien di convalescent home ini jarang mendapat tamu, jika pun ada, biasanya mereka hanya menghabiskan waktu selama beberapa menit di sana sebelum kemudian kembali pergi melanjutkan kehidupan mereka, tapi sekelompok kecil orang ini berbeda. Mereka tidak hanya datang hampir setiap hari, tapi mereka juga menghabiskan hampir separuh hari mereka di tempat itu.

    Mr. Kurniawan adalah panggilan untuk pria tua beruntung itu. Nama yang aneh jika Chris boleh mengatakannya, tapi orang Asia memang selalu memiliki nama yang terdengar asing di telinganya, jadi hal itu tak begitu menganggunya lagi. Pria itu dibawa ke convalescent home ini dua minggu yang lalu setelah menjalani operasi jantung yang cukup berat. Chris mendengar bahwa pria itu sempat koma selama beberapa hari sebelum akhirnya sadar dan kemudian di bawa ke tempat ini, tempat di mana ia menghabiskan hampir seluruh waktunya di atas ranjang.

    Para perawat dan dokter jelas sudah berusaha semampu mereka untuk meminta pria tua itu mengikuti program rehabilitasi yang disediakan convalescent home, tapi apa boleh buat, selama pasien berada dalam keadaan sadar, jika pasien itu menolak maka para tim medis jelas tidak boleh memaksanya.

    Sampai akhirnya seorang wanita setengah baya yang didampingi oleh putrinya datang seminggu yang lalu bersama dengan beberapa keluarga Mr. Kurniawan yang sudah pernah Chris lihat sebelumnya. Para tamu yang jelas saja memancing perhatian karena mereka selalu menyemangati Mr. Kurniawan dengan penuh semangat dalam setiap sesi rehabilitasinya, bahkan tanpa segan-segan sang Ibu membantu—atau lebih tepatnya memaksakan—proses rehabilitasi itu sendiri. Sejak saat itulah Mr. Kurniawan mulai mau mengikuti rehabilitasi.

    “Wanita itu dokter ...” ucap Mrs. Park suatu hari. “Dia dan putrinya sengaja datang dari Indonesia saat mendengar keadaan Mr. Kurniawan dan memaksa pria tua itu berdiri dari ranjangnya. Wanita yang luar biasa. Kuharap putri dan cucuku akan melakukan hal yang sama padaku saat aku tua dan sakit-sakitan nanti ...” sambung wanita itu lagi sambil menahan tawanya saat melihat Mr. Kurniawan berusaha melangkahkan kakinya dengan didampingi keluarganya. Chris mau tak mau ikut tersenyum, karena seorang wanita, yang sudah jelas sibuk jika melihat profesinya, mau saja menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk menemani ayahnya yang sakit, adalah sebuah pemandangan yang hampir tak pernah ditemukannya di tempat ini.

    Chris memiliki sedikit waktu beristirahat setelah menyuapi Mrs. Waynes. Wanita itu berhenti makan pada suapan kedua, dan Chris tidak dapat memaksanya untuk makan lebih banyak lagi, sementara dia masih memiliki waktu dua puluh menit lebih lagi sebelum acara rekreasi yang dipimpinnya dimulai. Akhirnya, setelah ia melaporkan masalah makan Mrs. Waynes pada perawat yang bertugas, dia pun memutuskan untuk menghabiskan waktu luangnya yang sedikit itu di halaman belakang.

    Halaman belakang Convalescent Home itu merupakan sebuah taman kecil yang dibangun untuk menjadi tempat yang disediakan untuk memastikan bahwa para pasien terkena sinar matahari setiap hari. Setiap jam delapan sampai jam sepuluh pagi biasanya para pasien akan dibawa ke tempat ini untuk mendapatkan asupan matahari yang cukup, tempat ini biasanya hanya akan menjadi taman kosong di malam hari. Namun malam ini Chris justru menemukan orang yang benar-benar tak disangkanya berada di sana; salah satu dari dua orang yang seminggu terakhir ini menarik perhatiannya. Cucu perempuan dari Mr. Kurniawan.

    Seolah menyadari kehadiran Chris, gadis yang tampak seumuran dengannya itu menoleh dan kemudian tersenyum. Senyuman yang membuat Chris mau tak mau semakin mematung di tempatnya.

    “Um ... hei ...” ujar pemuda itu terbata. Gadis yang berdiri di depannya itu langsung tertawa.

    “Namaku Sisca. Aku sering melihatmu di tempat ini, tapi kurasa baru kali ini kita berkenalan, bukan begitu?” ucap gadis itu di sela tawanya. Tangannya terulur mengajak Chris untuk berjabat tangan. Pemuda itu ikut tersenyum dan kemudian membalas jabatan tangan gadis yang berdiri di depannya itu.

    “Namaku Chris. Sejujurnya aku juga sering melihatmu akhir-akhir ini. Kau cucu dari Mr. Kurniawan, kan?” tanya Chris sekedar berbasa-basi. Dia kan memang sudah tahu kalau gadis itu cucu Mr. Kurniawan. Gadis yang berdiri di depannya itu tampak berjengit sejenak sebelum kemudian kembali tertawa. Membuat Chris yang menatapnya cukup kebingungan.

    “Maaf ... hanya saja aku masih belum terbiasa mendengar orang menyebut Opa dengan sebutan Mr. Kurniawan ...” ucap gadis itu di sela tawanya.

    “Opa?” Chris bergumam bingung.

    “Kakek, dalam bahasa Belanda. Aku dan sepupuku memanggil kakekku dengan sebutan itu!” jelas Sisca cepat. Chris justru semakin kebingungan.

    “Bukankah kau berasal dari Indonesia?” tanyanya penasaran. Sisca langsung mengangguk.

    “Benar, tapi kurasa karena Belanda sempat menjajah Indonesia selama lebih dari tiga abad penuh, beberapa istilah kami jadi terpengaruh oleh bahasa mereka!” jelas gadis itu lagi. Chris hanya bisa ikut tertawa.

    “Kau ini termasuk gadis yang aneh ya ...” uja pemuda itu terus terang. Sisca langsung mengernyitkan dahinya.

    “Maaf ... kenapa jadi aku yang disebut orang aneh?” tanya gadis itu tidak setuju. Chris malah kembali tertawa. Pemuda itu melangkah ke arah bangku terdekat dan menghempaskan dirinya ke bangku itu.

    “Hmmm ... karena namamu aneh dan entah bagaimana kau ini tampaknya sangat senang tertawa!” jawab Chris sambil tersenyum. Sisca langsung memanyunkan bibirnya.

    “Maaf ya ... namaku ini sebenarnya Fransisca, jadi harusnya namaku tidak aneh dan jika kau menganggap semua orang yang senang tertawa itu aneh, maka duniamu ini pasti sangat suram!” ucap gadis itu tegas. Chris kembali tertawa. Sisca hanya memutar bola matanya dengan kesal dan menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, “Kau sendiri juga suka tertawa ...”

    “Ngomong-ngomong, namamu Chris? Hmmm ... Apa berasal dari Christoper?” tanya Sisca tiba-tiba membuat pemuda itu berhenti tertawa.

    “Ah, tidak, namaku Christian. Ibuku menamaiku begitu karena aku lahir pada tanggal dua puluh lima desember!” jelas Chris singkat. Dia tidak tahu kenapa, tapi entah kenapa dia ingin melihat reaksi gadis itu saat mengetahui tanggal lahirnya.

    “Kau lahir tanggal dua puluh lima desember?” tanya gadis itu tak percaya. Chris hanya tersenyum.

    “Ya aku lahir pada hari na...”

    “Itu artinya lima hari lagi kau ulang tahun dong!!!” seru gadis itu cepat memotong kalimat Chris. Selama beberapa saat Chris tercenggang mendengar pernyataan gadis itu. Tak ada yang pernah menyatakan hal itu kepadanya. Biasanya orang-orang akan mengatakan bahwa dia sangat beruntung terlahir pada hari natal, dan pada akhirnya mereka akan merayakan hari natal tanpa mengingat ulang tahun Chris, tapi gadis ini justru menanggapi ulang tahunnya tanpa menyinggung kata natal sedikit pun.

    “Dan kau tetap bekerja pada hari ulang tahunmu?” pertanyaan Sisca yang agak tiba-tiba menyentakkan Chris dari lamunannya. Pemuda itu menatap gadis yang berdiri di depannya selama beberapa saat sebelum kembali tersenyum.

    “Tanggal dua puluh lima adalah hari natal, jadi sudah tugasku untuk membantu membuat hiburan pada pesta natal di tempat ini!” ujarnya cepat.

    Sisca tampak memikirkan sesuatu selama beberapa saat sebelum kemudian kembali tersenyum. “Seperti dugaanku, kau ini memang istimewa!” seru gadis itu sebelum kemudian kembali tertawa. Chris hanya menatapnya dengan tatapan tak mengerti.

    “Maksudku, lihatlah dirimu! Kaos lengan panjang hitam, rambut lancip, berbagai macam rantai yang menggantung di celanamu... kau lebih terlihat seperti anak Punk dari pada seseorang yang bekerja di sebuah convalescent home!!! Tapi disinilah kau, bekerja dengan menghibur para orang tua selama masa liburanmu dan bahkan hari ulang tahunmu! Kau itu memang istimewa!” seru gadis itu ceria. Chris hanya tertawa. Orang-orang biasanya akan menyebutnya aneh karena pekerjaan sambilan dan penampilannya yang sangat bertolak belakang ini, tapi Sisca justru menyebutnya istimewa. Gadis itu memang aneh.

    Chris tidak tahu bagaimana, tapi sejak pertemuannya dengan Sisca malam itu, dia dan gadis itu menjadi cukup dekat. Sisca sering menemaninya saat dia sedang beristirahat, dan dia sendiri jadi sering menghabiskan waktunya dengan Mr. Kurniawan. Sisca juga berada di samping pria itu tentu saja.

    Chris harus mengakui kalau dia memang menikmati waktu yang dihabiskannya bersama Sisca. Gadis itu begitu polos dan jujur. Penuh semangat dan kritis, terutama dalam mencerca cara berpakaian dan dandanan Chris. Hal yang lebih sering membuat Chris menyumpal kupingnya. Hal lain yang mau tak mau membuat Chris mengakui kalau dia menyukai gadis itu adalah bahwa gadis itu sangat senang tertawa. Dan jika Sisca sudah tertawa, seolah tertular maka dia akan ikut tertawa.

    Chris sadar benar bahwa Sisca tidak akan menetap lama di negaranya ini. Gadis itu akan kembali ke negaranya beberapa hari setelah tahun baru. Ini membuatnya sedih, tapi tidak putus harapan. Hari ini adalah tanggal dua puluh lima desember. Hari natal dan juga hari ulang tahunnya. Hari ini juga ia memutuskan untuk mengutarakan perasaannya pada gadis itu.

    Pemuda itu menatap bayangannya di cermin untuk terakhir kalinya. Sempurna. Rambut hitamnya dibiarkan mengikal alami tanpa gel. Sebagai ganti kaos hitam yang biasa digunakannya, pemuda itu menggunakan kaos putih polos yang di double dengan kemeja lengan panjang merah yang dibiarkan terbuka. Kemeja yang hampir seumur hidupnya tak pernah ia gunakan. Ia juga memakai celana jeans biru gelap polos tanpa menambahkan pernak-pernik rantai yang selama ini menemaninya. Yang jelas, dia tampil dengan penampilan yang akan diancungi jempol oleh Sisca.

    Dengan cepat Chris melangkahkan kakinya ke convalescent home itu. Dia bisa merasakan jantungnya berdetak dengan cepat dan angin dingin malam jelas menyergapnya, tapi Chris tak begitu memperdulikannya. Dia ingin segera menemui Sisca dan menyatakan keinginannya. Inilah yang menjadi semangat dan motivasinya untuk segera mencapai tempat itu lebih cepat dari biasanya.

    Tak ada yang mengucapakan selamat ulang tahun padanya tentu saja, bahkan Mrs. Park di meja resepsionis pun tidak. Mereka terlalu sibuk mempersiapkan pesta natal dan tidak menghiraukan Chris, tapi pemuda itu tidak peduli. Dia ingin segera menemui Sisca.

    Gadis itu berada di kamar Mr. Kurniawan tentu saja, karena memang untuk menemani kakeknya lah gadis itu berada di sana, tapi hari ini ada beberapa tamu baru lagi yang mengunjungi Mr. Kurniawan. Beberapa orang yang tak dikenali Chris namun jelas dikenali Sisca dan keluarganya. Mereka mengobrol dan tertawa dengan bahasa yang tak dimengerti oleh Chris.

    Sisca menangkap kedatangannya tentu saja. Pintu kamar Mr. Kurniawan terbuka lebar dan gadis itu berdiri tepat menghadap pintu jadi gadis itu jelas menangkap sosok dirinya. Selama beberapa saat gadis itu mematung. Menatap dirinya dengan tidak percaya sebelum kemudian menutup mulutnya untuk menahan tawa. Chris juga ingin tertawa melihatnya. Gadis itu jelas tidak akan menyangka kalau Chris akan berpakaian seperti ini hari ini.

    Chris memandang seluruh tamu di kamar Mr. Kurniawan sekilas sebelum kemudian kembali menatap Sisca. Gadis itu hanya memutar bola matanya. Jelas sekali kalau gadis itu terpaksa berada di sana. Chris mau tak mau tersenyum.

    “I’ll see you later!” ucap Chris pelan. Sisca langsung mengancungkan jempolnya tanda setuju. Pemuda itu kembali tersenyum dan melangkahkan kakinya menjauh dari kamar itu, namun baru beberapa langkah ia berjalan. Pertanyaan salah satu tamu Mr. Kurniawan langsung menarik perhatiannya.

    “Jadi, Sisca sekarang pacarnya siapa?”

    Chris berdiri mematung di tempatnya. Pertanyaan itu jelas dimaksudkan untuk menggoda Sisca, tapi walau bagaimanapun pertanyaan itu tetap menggelitik rasa penasarannya.

    Chris bisa mendengar tawa Sisca menggema di ruangan itu. “Aku tidak punya pacar kok!” jawab gadis itu. Chris langsung menghela nafas lega. Tamu yang sama melontarkan pertanyaan lain yang diucapkan dengan bahasa yang tak dimengerti oleh Chris. Kali ini jawaban Sisca yang diucapkan dalam bahasa Inggris lah yang langsung membuat hatinya hancur.

    “Yeah, I guess I had someone I like in Indonesia...”

    Kata-kata itu seolah menusuk dan menghujam langsung ke jantungnya. Chris tak tahu bagaimana, tapi dia kembali berakhir di halaman belakang. Tempat pertama kali dia berkenalan dengan Sisca. Merasa menjadi orang paling tolol di dunia.

    Dia seharusnya tahu kalau gadis seperti Sisca pasti memiliki pemuda yang disukainya. Hanya saja dia berharap kalau dialah yang menjadi pemuda itu. Tapi hal itu sekarang jelas sudah tidak mungkin. Sisca mengatakan dengan jelas bahwa pemuda yang disukainya berada di Indonesia. Pemuda itu bukan dirinya.

    “Happy B’day Chris!!!” seruan penuh semangat Sisca seketika menyentakkannya. Entah sejak kapan gadis itu telah berdiri di depannya sambil menyodorkan sebuah kotak hitam berhiaskan pita merah.

    Chris mengangkat kepalanya dan menatap gadis itu. Dalam keadaan normal pemuda itu pasti sudah memeluk gadis itu dan menerima hadiah pemberiannya dengan penuh semangat, dan mungkin menyatakan perasaannya. Tapi sekarang dia hanya mempu menerima kotak itu sambil tersenyum getir dan menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, “Thanks”.

    Sisca tentu menyadari kesedihannya, karena gadis itu langsung menatapnya dengan bingung. Chris hanya tersenyum.

    “Aku mendengar pernyataanmu di kamar Mr. Kurniawan tadi...” ujar Chris pelan. Sisca langsung mengerutkan dahinya, tanda ia tak memahami kemana arah pembicaraan Chris. Pemuda itu menatapnya sekilas dan mengusap kepala gadis itu dengan lembut.

    “Aku mendengar kalau kau menyukai seseorang di Indonesia...” kali ini pernyataan Chris itu jelas membuat gadis yang berdiri di hadapannya itu tersentak. Chris kembali tersenyum sebelum kemudian mengecup singkat pipi gadis itu. Membuat gadis yang berdiri di depannya itu mematung.

    “I really like you, Sisca... but I guess ... it’s not me, huh?” ucapnya pelan sambil menatap gadis itu dengan sendu. Seolah mencair dari kekakuannya gadis itu ikut menatapnya sebelum kemudian menundukkan kepalanya.

    “I’m sorry, but it’s not you...” ucap gadis itu setengah berbisik. Chris kembali memaksakan senyumnya. Bagaimanapun paling tidak dia sudah menyatakan perasaannya.

    “Kurasa ini saatnya aku ditinggal sendirian...” ucapnya dengan nada bercanda. Sisca menatapnya dengan sedih sebelum kemudian memeluknya dengan erat.

    “I’m sorry...” ucapan itulah yang ditangkap oleh telinga Chris sebelum gadis itu melepaskan pelukannya dan kemudian berjalan pergi meninggalkannya.

    Chris menghela nafas panjang dan menatap langit malam yang membentang tanpa setitik bintang pun menghiasinya. Hingar bingar pesta natal yang baru dimulai terdengar dari dalam gedung convalescent home, tapi hanya kesunyianlah yang dapat dirasakan oleh Chris. Sayup-sayup Chris mendengar suara radio yang melantun dari dalam gedung.

    “Silent night, Holy night...” seulas senyum seketika muncul di wajah pemuda itu. Lagu itu seolah menyadarkannya.

    Chris memasukkan hadiah pemberian Sisca kedalam sakunya sebelum kemudian ikut melangkah masuk kedalam gedung convalescent home itu. Dia harus kembali bekerja. Dia harus kembali bekerja dan melupakan lubang kecil yang terbuka di hatinya. Menjadi seorang Chris yang dulu.

    “Happy birthday to me and Merry Christmas to you!”


    San Bernardino, California, A.S, 25 Desember 2007​

    Catatan: Cerpen yang saya ikutkan dalam lomba cerpen dalam rangka perayaan ulang tahun situs kepenulisan kemudian.com
    Cerpen ini sudah dibukukan dalam buku kumcer 4 Tahun Kemudian dengan Judul besar. Happy Birthday

    [​IMG]
    Bagaimana dia bisa berada di tempat ini?

    Itulah yang ada dipikiran Daniel saat dia menemukan dirinya berada di tempat ajaib itu. Sebuah kota dengan bangunan-bangunan bernuansa medieval, namun dipenuhi oleh mahluk-mahluk teraneh yang tak pernah dilihatnya.

    Selama beberapa saat pemuda itu terduduk di tempatnya. Berusaha mengingat bagaimana ia bisa sampai di tempat itu, tapi yang diingatnya hanyalah bahwa ia sedang mengikuti seekor burung.

    Benar, tadinya dia hanya ingin mengejar seekor burung aneh yang menarik perhatiannya. Bagaimana tidak, sebagai ganti memakan cabe, burung itu justru memuntahkan cabe ke setiap pohon yang dihinggapinya. Setiap orang yang melihat burung seperti itu jelas akan mengikutinya. Tapi dia sama sekali tidak menduga kalau dia akan sampai di tempat ajaib ini. tempat yang bahkan dalam mimpi pun tak pernah terbayang di benaknya.

    “Hei! Apa kau bisa menyingkir dari sana? Aku bersumpah kalau aku akan menggambari tembok itu hari ini, dan kau menghalangi tembok itu!”

    Seruan itu langsung membuat Daniel mengangkat kepalanya. Seorang gadis berambut hitam panjang kini berdiri di hadapannya. Salah satu tangannya menggenggam kuas yang tampak masih basah dan tangan lainnya memegang sebuah palet, tapi yang menarik perhatian Daniel justru adalah penggorengan raksasa yang tergantung di pungungnya. Untuk apa seorang gadis membutuhkan penggorengan sebesar itu? Apa dia berniat menumis seekor sapi utuh-utuh di atasnya?

    “Hei! Aku bilang, apa kau bisa menyingkir?! Aku tidak bisa menggambar jika kau terus menghalangi tembok itu!” seruan kembali terlontar dari bibir gadis itu, tapi kali ini Daniel langsung menyingkir dari tempat duduknya. Dia jelas tidak ingin membuat gadis itu marah.

    Dengan cepat gadis itu menggambari tembok yang tadi dibelakanginya. Selama beberapa saat tidak ada apa-apa di sana, tapi begitu gadis itu kembali membasahi kuasnya di palet, warna-warna pelangi seketika bermunculan mengikuti setiap gerakan yang tadi ditorehkannya, membuat Daniel terperangah di tempatnya.

    Dia tak pernah melihat sesuatu yang seperti itu. Gabungan antara keindahan teknik lukisan dan sihir yang bergabung menjadi satu. Menciptakan sebuah maha karya yang tak pernah bisa di temukannya di dunia nyata.

    “Hei, tempat apa ini sebenarnya?”

    Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirnya. Menghentikan gerakan tangan gadis tadi tepat pada bagian yang tampaknya cukup penting. Daniel langsung menyesali keputusannya untuk bersuara.

    “Kau baru di tempat ini?” tanya gadis itu sambil membersihkan kuasnya dan kemudian menatap Daniel dengan tatapan penuh semangat. Tatapan yang membuat pemuda itu salah tingkah dan hanya bisa mengangguk.

    “Wah! Selamat datang! Kolonel Riesling siap melayani anda!” seru gadis itu ceria membuat Daniel tercengang di tempatnya. Kolonel? Apa maksud gadis itu dengan Kolonel?

    “Ini adalah kerajaan Le Château de Phantasm, tempat para pengejar mimpi menyalurkan harapan, mencari sahabat, dan menemukan mimpi mereka. Apa kau salah satu dari mereka?” tanya gadis itu masih dengan semangat yang menggebu.

    Daniel mengerjapkan matanya dengan tak percaya mendengar pernyataan itu. Bagaimanapun dia sampai di tempat itu hanya karena mengikuti seekor burung. Rasanya mustahil kalau dia terlontar sampai terlontar ke dunia lain gara-gara hal itu.

    “Kau tidak apa-apa?”

    Pertanyaan cemas Riesling seketika membuat Daniel tersentak dan kembali mengarahkan pandangannya pada gadis manis berwajah oriental di depannya itu. Entah bagaimana tiba-tiba dia dapat meraskan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Apa semua ini gara-gara panik? Panik karena dia sekarang benar-benar berada di dunia yang jelas bukanlah dunia tempat dia berasal sebelumnya?

    “Kau ini tersesat ya?” pertanyaan gadis itu lagi-lagi membuat Daniel salah tingkah. Dia benar-benar harus mengatakan sesuatu sekarang kalau dia tidak ingin tampak bodoh dihadapan gadis itu.

    “Burung!” serunya tiba-tiba yang langsung membuat Riesling mengerutkan dahinya.

    “Burung?”

    “Ya! Burung! Aku sampai di tempat ini gara-gara mengikuti burung pemuntah cabe!” seru pemuda itu mantap.

    Keheningan yang menyusul selanjutnya langsung membuat pemuda itu sadar bahwa pernyataan yang baru saja dilontarkannya adalah pernyataan terbodoh yang pernah keluar dari mulutnya.

    “Maksudmu, Rea?”

    Pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari bibir gadis itu langsung membuat Daniel menatapnya dengan bingung.

    “Rea?”

    “Ya, Rea! Kurasa orang yang kau maksud adalah Rea!” ujar gadis itu mantap membuat Daniel semakin mengerutkan dahinya.

    “Err ... tapi yang kulihat itu bu—“

    “Aku tahu! Karena itulah aku yakin dia Rea!” seru gadis itu cepat memotong kata-katanya. Membuat Daniel merasa yakin kalau dia sudah gila sekarang, dan dia akan terus menganggap dirinya gila kalau saja gadis itu tidak tertawa terbahak-bahak akibat melihat ekspresi wajahnya.

    “Maaf, aku pasti membuatmu bingung, ya?” tanya gadis itu sambil menyeka air mata yang keluar dari salah satu matanya. Tindakan yang membuat jantung Daniel terasa berdetak semakin cepat dan membuat pemuda itu yakin bahwa dirinya tidak hanya gila, tapi jelas mengalami masalah jantung sekarang.

    “Hei, kau tidak apa-apa? Wajahmu merah lho!” pernyataan jujur gadis itu langsung membuat Daniel meraba wajahnya. Benar saja permukaan kulit wajahnya terasa panas seperti saat sedang demam.

    “Tenang saja! Aku akan membawamu pada Rea! Dia tinggal di klinik kerajaan, jadi kau pasti bisa mendapatkan pertolongan juga di sana. Ayo ikut aku!” seru gadis itu tiba-tiba sebelum kemudian menarik salah satu tangannya dan tak memberi pilihan lain pada pemuda itu selain berjalan mengikutinya.

    Rasa panas yang membara terasa merambat dari tempat jari-jari mereka bertemu, tapi Daniel tidak merasa kesakitan atau tidak nyaman. Dia justru merasa senang. Kesenangan yang jelas tidak ia ketahui darimana datangnya. Kesenangan yang terasa ganjil namun manis di saat yang bersamaan. Apa sih yang sebenarnya terjadi pada dirinya?

    Tepat saat ia memikirkan semua itu, rasa dingin tiba-tiba menjalari dadanya. Daniel secara refleks menoleh ke arah sebuah menara tinggi yang berada di ujung jauh kota. Ia tidak bisa melihat orang yang berada di puncak menara pengawas itu, tapi dia jelas memiliki firasat kalau orang yang berada di tempat itu tidak menyukai dirinya.

    “Kita sampai!”

    Seruan penuh semangat Riesling langsung membuat Daniel berhenti di dekat gadis itu. Mereka kini telah berdiri di depan sebuah bangunan berwarna putih dengan sebuah palang merah besar menggantung di atas pintu utamanya.

    Klinik LCDP

    Itulah bunyi tulisan yang berada di samping pintunya. Bagaimana seekor burung bisa berakhir di dalam sebuah klinik? Itu jelas adalah misteri lain yang tidak ia ketahui jawabannya.

    “Belahlah dada ini kasssiiihhhh ...” kicauan suara pria seketika menggema di seluruh ruangan begitu Riesling dan Daniel memasuki klinik itu. Tidak ada pasien yang terlihat di tempat tidur, dan jelas tidak ada satupun ramuan normal yang dapat dilihatnya di tempat itu.

    “Ling! Tumben sekali kamu mau mampir, ada apa? Apa kamu sakit?” pertanyaan bernada ceria dari seorang gadis yang berdiri di pojok ruangan langsung menarik perhatian pemuda itu.

    Gadis itu berwajah kekanakan, dan tingginya tidak lebih tinggi dari Riesling, tapi toga raksasanya jelas memberi kesan mengintimidasi yang tak terbantahkan. Entah mengapa Daniel merasa yakin kalau gadis itu dapat membunuhnya hanya dengan menggunakan tatapan matanya.

    “Mamih! Mana tabib utama? Kok gak keliatan?” tanya Ling semangat. Daniel langsung melontarkan tatapan tak percaya ke arah gadis itu. Mamih? Gadis kekanak-kanakan bertoga raksasa di depan mereka ini, mamihnya Riesling? Apa di tempat ini memang tidak ada satu hal pun yang normal ya?

    “Tabib sedang tidak ada di tempat. Hanya saya, Sam dan Rea yang ada di sini. Ada apa? Apa kau sakit?” tanya gadis itu lagi. Ling langsung menggeleng cepat.

    “Tidak, bukan gitu kok, mih. Aku hanya ketemu sama anak baru di depan tembok kastil, dan kayaknya dia sakit. Dia bilang dia bisa sampai di tempat ini gara-gara ngikutin Rea!” ujar gadis itu cepat. Gadis bertoga raksasa itu langsung menoleh ke belakangnya dan kembali menatap Ling dengan bingung.

    “Rea? Rea Sekar?” tanya gadis bertoga itu dengan tak percaya sambil menunjuk ke belakangnya.

    Ling melirik sekilas ke belakang Mamihnya sebelum kemudian mengangguk. “Iya, dia bilang dia mengikuti seekor burung pemuntah cabe ke tempat ini. Jadi kurasa itu pasti Rea!”

    Gadis bertoga itu tampak mengerutkan dahinya selama beberapa saat sebelum kemudian mengangguk. “Kurasa, itu memang Rea. Dia habis kebanyakan makan cabe, jadi sekarang bentuknya jadi seperti itu!”

    Gadis itu menyingkir sedikit dari tempatnya berdiri dan menampakkan seekor burung kecil yang berguling-guling dengan gilanya di atas meja peracik obat. Burung itu jelas adalah burung yang sama dengan yang dilihatnya sebelumnya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya cabe yang berserakan di sekitar burung itu.

    “Malam ini kasih, teringat aku padamu ...” kicauan bersuara pria lagi-lagi berkumandang di ruangan itu, tapi kali ini Daniel sudah tahu darimana kicauan itu berasal. Siapa sangka suara seekor burung kecil bisa sebesar itu.

    Ling terkikik geli di tempatnya. Tampaknya pemandangan burung kecil bersuara pria yang bergelindingan gila di hadapan mereka ini bukanlah hal baru untuknya. Daniel jadi penasaran bagaimana gadis itu bisa sampai berada di tempat ini, namun dia juga tidak terlalu berminat mencari tahu.

    Suara tawa Ling benar-benar mengalihkan perhatiannya.

    Suara tawa gadis itu benar-benar indah. Berdentang-dentang bagaikan lonceng dan mengisi setiap lerung tubuhnya. Daniel sadar dia benar-benar sudah gila sekarang, tapi dia tidak peduli. Suara tawa gadis itu telah mengangkat semua rasa takut dan khawatirnya.

    “Ngomong-ngomong, aku belum tahu namamu! Kau sudah tahu siapa aku, tapi aku bahkan tidak mengetahui namamu. Itu tidak adil! Jadi beri tahu aku namamu!” tuntut Riesling setengah memaksa.

    Mereka berada di taman kota sekarang. Mamih Riesling sudah memeriksanya beberapa saat yang lalu dan menyatakan bahwa dia masih normal, tapi dia tidak bisa mempercayainya. Bagaimanapun juga dia yakin ada yang salah dengan tubuhnya, dan tidak mungkin keadaannya saat ini dapat dinyatakan normal, jika ia sendiri merasa sebaliknya.

    “Namaku ...”

    Daniel terdiam sejenak memikirkan namanya. Semua orang di tempat ini memiliki nama yang tidak normal. Akan terdengar bodoh jika ia memberi tahukan namanya yang sebenarnya pada gadis itu. Dia harus memikirkan satu nama yang aneh tapi tetap merupakan bagian dari nama aslinya.

    “Dansou! Namaku Dansou!” seru pemuda itu cepat sebelum Riesling sempat mengulangi pertanyaanya.

    “Dansou?” Ries mengulangi nama itu sambil mengerutkan dahinya. Daniel menuggu reaksi gadis itu dengan sabar dan saat gadis itu akhirnya tersenyum, pemuda itu ikut tersenyum. Dia tidak salah memilih nama.

    “Namamu aneh, tapi rasanya nama semua orang yang kau temu hari ini pasti juga terdengar aneh di telingamu!” ujar Riesling sambil tertawa. Daniel ikut tertawa. Dia senang tertawa bersama gadis itu.

    “Hei, menurutmu, bagaimana caranya kita bisa keluar dari tempat ini?” tanya pemuda itu penasaran.

    “Kau ingin pergi dari sini?” tanya gadis itu dengan tak percaya. Daniel langsung tahu kalau dia baru saja melontarkan pertanyaan yang salah.

    “Bu, bukan berarti aku ingin pergi sih! Aku hanya mau tahu saja. Tidak ada salahnya berjaga-jaga, kan?” jelas pemuda itu cepat dengan terbata.

    Riesling tampak memikirkan penjelasan itu selama beberapa saat sebelum kemudian menganggukan kepala dan menghela nafas panjang.

    “Kurasa kita memang selalu memikirkan masalah masa depan, bukan begitu?” tanya gadis itu sambil kembali melontarkan senyuman termanisnya ke arah Daniel. Membuat pemuda itu ikut tersenyum bersamanya.

    “Pekerjaan! Setiap orang yang sudah memiliki pekerjaan berarti memiliki tanda warga negara yang tepat di dunia ini. Jadi mereka bisa pergi dan kembali ke tempat ini sesuka hati,” jelas gadis itu sambil memainkan kelopak-kelopak bunga yang memang sedang berguguran dari dahan-dahan pohon di atas mereka.

    “Seperti dokter hewan?” tanya Daniel penuh semangat. Riesling sampai tertawa dibuatnya.

    “Ya! Seperti dokter hewan!” ujar gadis itu di sela tawanya. Daniel mau tak mau keki juga mendengar dirinya terus menerus ditertawakan.

    “Kalau begitu aku akan menjadi dokter hewan! Bagaimana cara mengesahkan pernyataan i—“

    Belum sempat Daniel menyelesaikan kalimatnya. Seorang pria muncul di sampingnya dan mengecapkan sebuah cap merah di tangannya. Tulisan di cap itu hanya berisi satu kata,

    “Valid”

    Daniel berusaha mencari orang itu sekali lagi, tapi dia tidak bisa menemukannya. Orang itu lenyap begitu saja dibalik guguran kelopak bunga yang jatuh dari dahan-dahan pohon di atas mereka.

    “Selamat! Kau mendapat pekerjaan! Sekarang yang perlu kau lakukan hanyalah berharap dengan amat sangat kalau kau berada di duniamu. Maka biasanya kau akan kembali ke duniamu!” seru Riesling dengan semangat yang menggebu. Membuat Daniel mau tak mau tertawa mendengarnya.

    “Semudah itu?” tanya pemuda itu setengah tak percaya.

    “Memang semudah itu! Coba saja kalau kau tak percaya!” tantang Riesling sambil menghempaskan dirinya untuk duduk ke salah satu bangku batu yang ada di dekat mereka.

    Daniel langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Aku punya banyak waktu untuk mencobanya nanti, tapi aku belum melihat seluruh isi kerajaan ini, jadi bagaimana mungkin aku ingin pulang sekarang!” serunya lantang sambil tertawa.

    “Hei! Apa tempat favoritmu?” tanya pemuda itu penasaran. Riesling langsung tertawa dan menunjuk lurus ke belakang pemuda itu.

    Daniel langsung menoleh dan menemukan tembok panjang yang penuh terisi lukisan. Tembok yang sama dengan tembok yang sempat dibelakanginya saat mereka bertemu untuk pertama kalinya beberapa jam yang lalu.

    “Kau membuat semua itu?” tanya pemuda itu tak percaya.

    Riesling hanya tertawa sebelum kemudian mengeluarkan kuas dan paletnya.

    Dengan cepat gadis itu menorehkan kuasnya di udara. Membentuk suatu gambaran abstrak yang tak dapat dilihat oleh Daniel saat itu, tapi begitu Ling kembali membersihkan kuasnya, warna-warna indah seketika bermunculan di udara dan membentuk sepasang sayap di udara.

    “Pakailah sayap itu dan lihatlah lukisan-lukisan itu dari angkasa!” seru gadis itu sambil mendorong Daniel hingga ia menabrak sayap berwarna-warni yang digambarnya. Secara ajaib sayap-sayap itu langsung terpasang di punggungnya dan melesatkannya tinggi ke angkasa.

    Selama beberapa saat pemuda itu panik melihat tanah yang menjauh darinya dengan kecepatan tinggi, tapi saat ia memandang ke arah tembok yang dilukisi Ling, dia langsung menyadari tujuan gadis itu menerbangkannya setinggi itu.

    Dia bisa melihat seluruh isi kerajaan dari atas sini. Istana yang seolah bertabur permata dan memancarkan cahayanya sendiri, mahluk-mahluk kastil yang tampak sibuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan mereka yang sangat tidak lazim, dan lukisan Ling yang bersinar mengelilingi tembok istana. Lukisan yang bagaikan hidup dan bergerak memantulkan ceritanya sendiri.

    Benar-benar pemandangan terindah yang pernah dilihatnya.

    Tepat saat itu juga sebuah panah melesat dengan cepat dan menghancurkan sayap pelangi yang menempel di punggungnya. Sayap yang membuatnya tetap berada di angkasa.

    Daniel tidak memiliki waktu untuk panik karena panah itu bukanlah satu-satunya panah yang melesat ke arahnya. Berpuluh-puluh panah lain melesat ke arahnya dari menara penjaga yang berada di ujung jauh istana. Menara yang sama dengan menara yang memberinya firasat buruk.

    Tak satupun dari panah itu yang mengenainya memang, tapi dia yakin kalau bagaimanapun juga nasibnya akan tamat saat itu. Bagaimana tidak? Tanpa sayap pemberian Ling, tak ada lagi yang dapat menerbangkannya ke angkasa dan dia kini sedang terjun bebas ke arah susunan bata yang menutupi jalan utama kerajaan itu.

    Daniel menutup matanya dengan cepat. Membiarkan pikirannya membawanya ke kenangan-kenangan terdahulunya. Ke kehidupan normalnya di dunianya yang juga normal. Siapa yang benar-benar menyangka saat akhirnya dia menemukan dunia ajaib yang tak pernah ia bayangkan, saat itu jugalah hidupnya akan berakhir.

    Nasibnya jelas sangat buruk.

    †††

    Daniel memandangi sekitarnya dengan bosan. Entah sudah berapa lama dia berdiri di tempat itu menunggu gilirannya untuk mendaftar. Bodoh sekali dia mengira kalau dia bisa menyelesaikan seluruh urusan daftar ulang ini hanya dengan datang lebih pagi. Lihat saja hasilnya, dia justru menghabiskan sepanjang paginya hanya untuk menunggu.

    Selembar kertas yang tertiup angin jatuh ke dekat kakinya.

    Daniel memandangi kertas itu sejenak sebelum kemudian mengerutkan dahinya. Kertas itu jelas bukan sampah, karena gambar yang ada di atas kertas itu jelas-jelas adalah gambar yang dibuat dengan teknik yang jelas tidak asal-asalan.

    “Hei, Karin! Mapmu terbuka tuh! Kertas-kertasnya ada yang terbang!” seruan seseorang dan antrian jalur SNMPTN langsung menarik perhatiannya.

    Daniel langsung mengarahkan pandangannya ke arah asal suara itu dan menemukan dirinya terperangah. Riesling. Gadis itu ada di sana. Sibuk mengumpulkan kertasnya yang berjatuhan sambil menunggu antrian untuk mendaftar masuk ke universitas yang sama dengannya.

    Sekali lagi ia melirik kertas yang ada di tangannya. Gambar seorang gadis berbaju zirah yang memegang penggorengan raksasa tergores dengan indah di atasnya. Jelas merupakan gambaran yang dibuat oleh gadis itu.

    “Hei, kau menjatuhkan ini?” tanya pemuda itu dengan mengerahkan seluruh keberanian dalam dirinya.

    Gadis itu mengangkat kepalanya dengan bingung. Ling. Gadis itu jelas-jelas Ling. Sekalipun sekarang ia berkacamata, dan tidak ada penggorengan raksasa yang tergantung di punggungnya, tapi Daniel yakin kalau gadis itu adalah Riesling. Gadis yang memberinya salah satu mimpi terindah dalam hidupnya.

    “Thanks, Dansou!” ujar gadis itu singkat sambil mengambil kertas yang disodorkan olehnya itu dan kemudian berjalan pergi mengikuti para pendaftar jalur SNMPTN lainnya.

    Daniel menatap kepergian gadis itu sambil mengulum senyumnya. Entah bagaimana tapi sekarang dia tidak lagi merasa bosan menunggu gilirannya. Dia tidak akan sempat merasa bosan, karena dia tahu bahwa sekalipun dia dan Ling ada di dunia nyata, tapi mereka pasti bisa menciptakan dunia ajaib mereka. Dan kali ini, dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya hanya untuk memandangi dunia ajaib mereka itu.

    -Fin-

    Catatan: Ini bukan buat lomba sih, hanya sekedar tantangan. Tantangan untuk membuat cerita romance dengan menjadikan member-member grup kepenulisan LCDP sebagai karakter ceritanya hehehe ... jadi yah, kalau ada anggota LCDP pasti senyam senyum ngebacanya.

    [​IMG]



    “Selamat ulang tahun, Reve!”

    Sambutan itulah yang kudapatkan begitu aku jatuh tertidur. Bagaimana aku bisa tahu bahwa aku tertidur? Karena aku tidak ingat aku pernah bangun, atau tepatnya aku hanya tiba-tiba berada di tempat seperti ini. Tempat bernuansa pelangi aneh yang jelas bukan kamarku. Tempat yang jelas memancarkan suasana bahwa aku sedang bermimpi. Lucid dreaming? Kurasa begitu. Aku memang selalu berada dalam keadaan sadar saat aku bermimpi, hanya saja saat mendengar sambutan itu aku langsung tahu bahwa ada yang berbeda dengan mimpiku kali ini.

    “Halo! Apa kau mendengarku?” pertanyaan yang terlontar dari penyambutku seketika mengembalikan perhatianku padanya.

    Dia adalah seorang gadis bertubuh kecil dengan pakaian serba hitam. Baik kemeja, dan rok panjangnya yang mengembang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai hingga sepinggang, dan wajahnya yang tenang tampak tidak sesuai dengan usianya yang mungkin baru berumur sekitar sembilan sampai sepuluh tahun. Aku tak pernah melihat gadis itu sebelumnya. Hal yang jelas mengusik pikiranku, karena aku tidak biasanya bermimpi tentang hal-hal yang tak pernah kulihat.

    “Hei, kau sadar tidak sih?” tanyanya lagi. Kali ini dari nada suaranya, tampaknya dia mulai hilang kesabaran dengan tingkahku. Sungguh anak perempuan yang aneh.

    “Aku sedang bermimpi, jadi bagaimana mungkin aku sadar?” tanyaku seraya melontarkan seulas senyum ramah kearahnya. Gadis itu langsung memutar bola matanya. Cukup membuatku terkejut, karena biasanya saat aku mengatakan hal seperti itu mimpiku akan pudar dan berganti dengan mimpi lain sesuai keinginanku, tapi kali ini mimpiku tidak berubah. Aku tidak bisa mengendalikan mimpiku, jadi apa ini benar-benar lucid dream?

    “Reve, namamu berarti mimpi, apa kau bingung mengapa kali ini kau tak bisa mengendalikan mimpimu?” pertanyaan yang seketika keluar dari mulut gadis itu langsung membuatku tertegun. Tidak pernah ada orang yang mengakui bahwa aku sedang bermimpi di dalam mimpiku. Apa sebenarnya yang sedang terjadi saat ini? Apa aku sadar?

    “Siapa kau?” tanyaku akhirnya. Seulas senyum dingin seketika muncul di wajahnya.

    “Namaku Yuan. Aku adalah penyulam mimpi,” ujarnya seraya menunjukkan dua buah jarum yang biasa digunakan seseorang untuk menyulam.

    “Penyulam mimpi?” secara tidak sadar aku mengulangi kata itu sementara Yuan yang mendengarnya hanya tersenyum.

    “Selamat ulang tahun, Reve dan turut berduka cita! Di usiamu yang ke dua puluh ini, kehidupanmu akan berakhir.”

    Aku membuka mataku dengan cepat.

    Sekujur tubuhku terasa dingin. Kata-kata gadis itu kembali terngiang di telingaku, “... di usiamu yang ke dua puluh ini, kehidupanmu akan berakhir.”

    Apa maksudnya semua itu? Apa aku akan mati? Tapi itu hanya mimpi, kan? Sesuatu yang terjadi dalam mimpi tidak mungkin—

    “Reve, kau harus menghentikan kebiasaanmu yang senang melompat dari satu mimpi ke mimpi lainnya!” gerutuan bernada dingin itu seketika memotong pikiranku. Gadis itu masih berada di sampingku. Aku memang tidak lagi berada di ruangan bernuansa pelangi, tapi gadis itu masih berada di sana. Berada dalam jarak yang sama. Berdiri tepat di samping sosok ibuku yang tertidur kelelahan di atas sofa.

    Tunggu dulu! Di mana aku sebenarnya? Sofa? Ibuku tidak pernah tidur di sofa! Tidak, ibuku bahkan sudah tidak pernah tidur di kamar yang sama denganku lagi sejak aku berumur lima tahun. Jadi kenapa dia bisa berada di tempat ini?

    “Jangan kaget dulu, ini juga hanyalah mimpi,” kata-kata gadis itu kembali menarik perhatianku. Aku langsung menatap tajam matanya. Menuntut penjelasan dari segala hal ini, tapi seperti sebelumnya gadis itu hanya tersenyum. Senyum memuakkan yang membuatku semakin membencinya. Gadis itu jelas sedang mempermainkanku.

    “Ini memang hanya mimpi, tapi ini juga adalah cerminan keadaanmu saat ini. kau berada di rumah sakit,” tegasnya pelan sambil menunjuk ke arahku. Bukan lebih tepatnya ke arah ranjangku.

    Aku tak berani melakukannya, tapi rasa penasaranku terlanjur memaksaku melihat ke arah yang di tunjuk gadis itu.

    Di sana, di tempat seharusnya hanya ada bantal kosong tempat kepalaku berbaring tadi, kepalaku masih mengisi tempatnya. Mataku masih tertutup, dan sebuah masker oksigen menutupi hidung dan mulutku. Aku menatap langsung ke arah tubuhku yang sekarat.

    “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku masih setengah tak percaya.

    “Pengalaman keluar dari tubuh. Kalau tidak salah itulah istilah yang digunakan untuk menjelaskan keadaan ini, sekalipun bagiku istilah itu tidak benar-benar tepat sih, karena sebenarnya ini juga hanyalah mimpi,” ujar gadis itu tenang sambil dengan tenangnya berjalan mendekatiku.

    “Apa maksudmu?”

    Gadis itu menatapku sejenak sebelum kemudian menarik tanganku dan menyeretku turun dari ranjang. Kini aku benar-benar dapat melihat tubuhku secara sepenuhnya. Tubuhku yang berada dalam keadaan termenyedihkan yang dapat kuingat.

    Tiba-tiba saja dunia serasa berpusar. Kamar rumah sakit, tubuhku, dan ibuku seketika lenyap digantikan dengan pemandangan ruang kelas yang langsung membuatku terkesiap. Aku kini berada di ruang kuliahku, dan seperti sebelumnya aku juga bisa melihat tubuhku, tapi aku tidak dalam keadaan sekarat.

    Diriku yang kulihat saat ini sangat sehat. Aku tampak tertawa, bersenda gurau dengan teman-temanku. Di depanku, di atas meja, laptopku menyala dan layarnya menampilkan halaman situs yang sedang kukunjungi. Aku tertegun sejenak melihat pemandangan ini. Ini jelas mimpi, tapi di lain sisi pemandangan ini juga sangat familiar. Ini adalah pemandangan kehidupanku beberapa minggu yang lalu. Aku ingat jelas hal itu karena tanggal yang tertera di laptopku jelas menunjukkan tanggal dua minggu sebelum ulang tahunku.

    “Ini hanyalah mimpi,” ujar gadis itu tenang. Aku tak dapat mempercayainya tentu saja, tapi aku juga tidak dapat menerima bahwa apa yang kulihat saat ini adalah kenyataan. Maksudku, bagaimana mungkin aku bisa berada di masa lalu? Dan bagaimana mungkin ini bukan kenyataan?

    “Yuan, itukah namamu, tadi?”

    Gadis itu mengangkat kepalanya sejenak saat aku menyebut namanya. Seperti yang kuduga, aku sama sekali tak pernah melihat gadis itu sebelumnya, tapi gadis itu sendiri mengakui bahwa ini adalah mimpi jadi, tidak ada yang aneh dengan hal ini, kan? Maksudku bisa saja aku melihatnya di televisi, atau berpapasan dengannya di jalan dan aku hanya tidak bisa mengingatnya.

    “Kau bilang kau adalah penyulam mimpi? Apa sebenarnya yang akan kau lakukan denganku?” tanyaku pelan sambil kembali tersenyum. Berusaha menyingkirkan pandanganku dari pemandangan sekitarku yang ganjil.

    Gadis itu menatapku dengan mata kosongnya selama beberapa saat, “Kau memang tidak peduli dengan kehidupanmu, ya? Apa kau tak merasa menyesal kalau kau akan mati?” tanyanya dingin. Aku hanya bisa membalasnya dengan tetap tersenyum.

    “Kehidupan dan kematian hanyalah siklus biasa yang terjadi di dunia ini. Aku mati, itu adalah kenyataan yang menyebalkan, tapi aku juga tidak dapat memaksakan kehendakku untuk tetap hidup, kan? Jadi bukankah lebih baik aku menerimanya dengan tangan terbuka?”

    Gadis itu tetap menatapku tanpa mengatakan apapun. Tangannya masih menggenggam tanganku, tapi kini seperti juga kata-katanya, tangannya juga terasa ikut membeku. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi ini hanya mimpi. Dia mengatakan padaku kalau ini hanya mimpi, jadi aku tidak perlu merasa takut. Betul, kan?

    “Pekerjaanku adalah memanen mimpi terindah dalam kehidupan seseorang dan merajutnya menjadi sebuah jubah mimpi. Jubah ini selanjutnya akan kubawa ke tokoku, dan jika ada yang menyukainya mereka akan membelinya dariku,” ujar gadis itu dingin seraya mengalihkan tatapannya dari hadapanku dan menatap lurus jauh ke depannya.

    “Hei, Reve, kapan kamu mau nerbitin bukumu? Bukannya penggemarmu udah banyak?” suara salah satu temanku seketika mengalihkan perhatianku ke arahnya. Di depan kami berdua, seorang pemuda jangkung tampak menatap layar laptopku dengan penuh semangat.

    Dalam pemandangan ini, aku dan teman-temanku sedang memperhatikan suatu situs. Situs itu adalah situs kepenulisan, dan aku sedang menunjukkan karyaku pada teman-temanku. Aku cukup bangga dengan karya itu. Pembacaku menyukainya, dan mereka memberiku banyak dukungan agar aku mau melanjutkannya. Teman-temanku sendiri mengatakan bahwa cerita itu bagus, tapi ada sesuatu di dalam cerita itu yang membuatku merasa malu. Aku tak ingin orang-orang mengetahuinya, karena itulah saat pertanyaan itu terlontar ke arahku, aku merasakan tubuhku bergetar ketakutan.

    Kudengar diriku tertawa mendengar pertanyaan temanku tadi. Tanganku tampak dengan cepat menutup layar laptopku dan menyingkirkan wajah temanku itu dari hadapanku.

    “Cerita itu harus selesai dulu sebelum aku bisa menerbitkannya, bodoh!” gerutuku sambil mengacak-acak rambutnya. Sungguh suatu pernyataan palsu yang kulontarkan hanya untuk menutupi rasa sakit hatiku.

    “Hei, kenapa kau tak menerbitkannya? Cerita sebagus itu bukankah akan menarik perhatian banyak penerbit?” tanya Yuan tiba-tiba yang langsung membuatku menatap tajam wajahnya. Perasaan dalam diriku seketika bergejolak dan entah mengapa aku merasa sangat marah. Aku bukan seorang pemarah, tapi entah mengapa setiap kata yang keluar dari mulut gadis itu seolah memancingku untuk meledak.

    Seulas senyum dingin kembali terlukis di wajah gadis itu, “Itu adalah salah satu impianmu. Benar, kan?”

    Pertanyaan itu seolah menerobos masuk ke dalam hatiku dan memecahkan gelembung emosi yang sempat berkembang di kepalaku. Genggamanku pada lengannya perlahan melonggar dan mulutku yang sudah separuh terbuka seketika terasa kaku. Aku kehilangan kata-kata. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kukatakan pada gadis itu, karena saat itu, aku juga sudah mengetahui, bahwa aku tak lagi bisa menulis.

    Kata-kata yang kulontarkan pada temanku tadi hanyalah sebuah tameng sekaligus penyemangat bagi diriku yang telah kehilangan kemampuan untuk menulis. Tidak ada lagi kata yang dapat kurangkai. Tidak ada lagi ide yang dapat kujalin menjadi cerita. Aku ingin menulis, tapi aku tak lagi bisa melakukannya. Karyaku bukanlah karya yang bagus. Kelemahan yang kututupi dengan beribu rangkaian kata itu akhirnya muncul juga di hadapanku, dan setelah itu, semua usahaku terasa sia-sia. Tanganku berhenti mengetik, dan kepalaku berhenti merangkai kata. Aku benar-benar tak lagi bisa menulis.

    Perlahan, tanpa kusadari, setetes air mata mengalir dari ujung mataku. Yuanlah yang menyadari hal itu, dan gadis itu jugalah yang menangkapnya dengan salah satu ujung jarinya yang dingin. Aku langsung menatapnya dengan tajam, tapi gadis itu sama sekali tak peduli. Tangannya tiba-tiba saja sudah bergerak dengan cepat dan mengalirkan air mataku ke ujung salah satu jarum sulamnya. Secara ajaib air mata itu seketika berubah menjadi benang perak.

    Yuan sama sekali tidak berhenti di sana. Tangannya dengan cepat melilitkan benang itu di jarumnya dan melemparkan salah satu ujungnya ke arah laptopku. Benang itu juga dengan ajaib tersambung ke laptopku, dan dengan keajaiban yang sama pula laptopku terburai menjadi rajutan benang. Seolah memang pada dasarnya benda padat itu adalah gulungan benang yang dirajut menjadi laptop. Tidak perlu menunggu lama, di tangan Yuan, benang-benang itu kini telah tergulung dalam satu gulungan besar. Gulungan benang perak berkilau yang terlihat mempesona. Aku benar-benar tak pernah melihat gulungan benang seindah itu sebelumnya.

    “Impianmu indah, tapi ini saja tidak cukup, aku harus mencari mimpimu yang lain!”

    Kata-kata Yuan kembali menyentakkanku, tapi kali ini ia tak lagi membuatku terlalu terkejut. Gadis itu kembali menarik tanganku dan lingkungan sekitar kami kembali berubah, namun mataku tetap terpaku pada gulungan benang di tangannya. Gulungan itu adalah mimpiku, dan bukan hanya sekedar mimpi, tapi juga impian terindahku. Warna peraknya yang berkilau benar-benar mencuri perhatianku. Aku tak peduli dengan kata-kata gadis itu, aku juga tidak peduli di mana kami berakhir sekarang. Yang kuinginkan adalah gulungan benang itu kembali ke tanganku. Kembali menjadi bagian dari diriku. Gulungan itu membuatku menyadari sesuatu dan aku tidak bisa melepaskannya begitu saja.

    “Kau akan segera mati. Apa lagi arti mimpimu ini di tanganmu?” kata-kata dingin itu seketika menghentikan tanganku yang entah sejak kapan sudah bergerak ke arah gulungan benang itu.

    Aku menatapnya sejenak sebelum kemudian menghela nafas dan meletakkan ujung jariku di atas gulungan benang impianku. Keadaan sekitar kami kembali berubah, tapi kali ini tempat yang kami datangi bukanlah ruang kelas atau kamar rumah sakit, kami kini berada di kamarku. Kamar tempat aku menghabiskan hampir dua puluh tahun kehidupanku. Ini mimpiku, aku yakin tentang hal itu sekarang dan karena hal itu, aku bisa mengendalikannya.

    Mimpiku lagi-lagi tetap menampilkan diriku, tapi yang kulihat sekarang bukanlah sosok diriku yang sudah dewasa. Sosok yang meringkuk di pojok kamarku adalah sosok kanak-kanakku yang menangis sesenggukan sambil menatap ke arah pintu kamar.

    Mataku tampak kosong, sekujur tubuhku dipenuhi luka cambuk, dan air mata tak berhenti mengalir di wajahku. Suara-suara bentakkan terdengar dari luar kamar. Menuntut diriku untuk segera membukakan pintu, tapi aku tetap bergeming. Mulutku terkatup diam seribu bahasa, sekalipun begitu dalam hatiku, aku sudah tahu apa yang kuinginkan.

    “Apa kau tahu bahwa saat aku sekecil itu aku menginginkan kematian?” tanyaku datar sambil mengusap lembut kepala sosokku yang dulu.

    Yuan sama sekali tak menjawab. Gadis itu menatap lurus kearahku sambil tetap menggenggam erat gulungan benang mimpiku. Aku tersenyum ke arahnya. Sesuatu dari apa yang telah kulihat entah bagaimana memberi satu pencerahan di ingatanku.

    “Aku selalu bertengkar dengan ibuku,” ujarku pelan akhirnya.

    “Beliau tak pernah menyukai kenyataan bahwa aku senang menulis cerita, beliau mengatakan bahwa apa yang kulakukan adalah sia-sia, dan selalu berusaha menghalangi usahaku untuk menulis.

    “Tapi aku senang menulis. Aku begitu cinta dengan dunia kepenulisan, hingga rasanya setiap kali aku mengetahui bahwa ada yang menyukai karyaku, keinginan hidupku semakin kuat. Aku jadi menginginkan kehidupan. Aku menginginkan kehidupan di mana aku dapat melihat karyaku diterbitkan dan menjadi buku yang dibaca banyak orang.

    “Tapi ibuku tetap tak menyukai hal itu. Ia berusaha membanting laptopku hari itu. Laptop yang berisikan semua karya yang berhasil kutulis.

    “Kami berada di lantai dua rumahku saat itu, dan karena aku ingin menyelamatkan laptopku, kakiku seketika melompat tanpa menyadari bahwa aku berada terlalu dekat dengan tangga.

    “Aku ingat merasa sakit, tapi setelah itu aku tidak dapat mengingat apa-apa lagi. Aku merasa diriku tertidur, tapi kemudian aku bertemu denganmu. Siapa yang dapat menyangka bahwa kehidupan memang dapat berakhir sesingkat itu,” ujarku lagi sambil menatap sosok kecil diriku.

    Suasana sekitar kami kembali berubah. Kami kembali di kamar rumah sakitku dan aku kembali menatap sosok sekarat diriku yang entah mengapa tak lagi tampak semenyedihkan sebelumnya. Kali ini dalam hatiku aku tahu bahwa kehidupanku memang akan benar-benar berakhir.

    Yuan menyentuhkan ujung jarum sulamnya ke tubuhku, dan perlahan aku merasakan tubuhku berpijar. Benang-benang berwarna keemasan dengan nuansa pelangi keluar dari tubuhku dan Yuan seperti sebelumnya, dengan cepat menggulung benang-benang itu.

    “Impianmu, bukanlah sekedar menulis. Kau memiliki impian yang jauh lebih besar dari itu, kan?” tanyanya seraya terus menggulung. Lingkungan sekitarku seketika berpijar dan ikut berubah menjadi benang yang terus tergulung. Saat itulah aku tahu bahwa waktuku sudah tiba. Inilah akhir perjalananku.

    Aku tersenyum sambil menatap dirinya,“Impianku adalah, menginginkan kehidupan. Aku ingin menjadi penulis karena dengan menulis aku bisa bertahan dan menjaga semangat hidupku.”

    Gadis itu membalas senyumku. Kali ini bukan dengan senyuman dingin menyebalkan yang menyembunyikan cemooh, tapi senyuman tulus yang terasa hangat.

    “Apa kau mau mengucapkan selamat tinggal?” tanyanya pelan seraya menuntunku kearah sosok ibuku.

    Aku mengangguk, dan menghampiri tubuh wanita yang melahirkanku itu. Aku tahu bahwa aku sudah banyak melakukan kesalahan pada wanita itu, dan sekalipun ia selalu memperlakukanku dengan keras, aku tahu, bahwa jauh di dalam hatinya ia sangat mencintaiku.

    “Maaf, aku tak dapat memenuhi seluruh harapanmu, Ma,” bisikku pelan sambil memberikan satu pelukan terakhir yang dapat kupaksakan padanya.

    Wanita itu seketika membuka matanya dan selama beberapa saat pandangan kami bertemu, tapi semuanya sudah berakhir. Mataku hampir tak dapat melihat apa-apa lagi. Tubuhku sudah habis tergulung menjadi benang, begitu juga seluruh sisa pemandangan di sekitarku. Sayup-sayup kudengar suara Yuan di dalam kepalaku. Suara yang memberikan ketenangan dalam jiwaku.

    “Impianmu telah terkabul, dan karena itulah impianmu itu adalah impian yang jauh lebih indah dari impian-impian yang pernah terpikirkan di kepalamu.”

    Aku tak begitu merasakannya, tapi aku tahu bahwa diriku tersenyum. Keletihan luar biasa menyerang tubuhku. Aku menutup mataku, menarik nafas panjang, dan membiarkan hembusan nafas terakhir itu keluar dari tubuhku. Mimpi, kurasa aku bermimpi lagi setelah semua itu berlalu, tapi mimpi kali ini begitu indah hingga aku tak keberatan untuk tetap tidur. Aku membiarkan perasaan tenang menyelimuti diriku. Membiarkan pikiranku terbang ke tempat di mana impianku membawanya.

    †††

    Yuan menatap rajutan barunya dengan puas. Sebuah jubah berwarna keemasan indah dengan pinggiran perak yang menampilkan nuansa pelangi. Mimpi Reve memang bukan mimpi terindah yang pernah dilihatnya, tapi jubah yang berada di tangannya itu juga tidaklah buruk. Cukup cantik malah.

    Gadis itu baru akan memajangnya di etalase saat seorang malaikat mendarat di depan tokonya. Cahaya yang terpancar dari sosok berkilau itu tampak redup, jubahnya tercabik, dan tubuhnya dipenuhi luka, tapi tetap saja wajah lembut yang terpancar dari balik tudung kepalanya menunjukkan betapa suci dan sempurnanya sosok itu.

    “Uriel!” seru Yuan cepat seraya melangkahkan kakinya dan menyambut sosok pelanggan kesukaannya.

    Malaikat itu tersenyum. Sayapnya dengan cepat terlipat rapi di belakang tubuhnya, dan sambil merentangkan tangan ia menerima sambutan Yuan. Ia mungkin memang baru mengalami sesuatu yang berat, tapi apapun itu, hal itu tidak menghentikan dirinya untuk memperlakukan setiap mahluk di sekitarnya dengan ramah dan penuh kasih.

    Yuan menuntun malaikat itu masuk ke tokonya sebelum kemudian dengan bangga memamerkan jubah mimpi Reve ke hadapannya. Malaikat itu menyentuh permukaan kainnya dengan khidmat. Seketika itu juga seluruh lukanya lenyap, dan cahayanya berpendar semakin terang.

    “Iblis berusaha mendahuluiku untuk mencapai tokomu, dan aku harus bertarung dengannya untuk memperebutkan benda ini, namun setelah aku menyentuhnya, aku tahu bahwa usahaku tidak sia-sia. Aku akan mengambil jubah ini. Sebagaimana jubah ini menyembuhkan lukaku, jubah ini juga pasti mampu untuk menyembuhkan duka manusia”

    Yuan hanya tersenyum saat ia mendengar pernyataan Uriel itu. Ia menganggukkan kepalanya dan dengan penuh pengertian, membungkus jubah itu sebelum menyerahkannya kembali pada Uriel.

    Malaikat itu mengusap kepalanya dengan lembut dan kemudian meletakkan pembayarannya di atas etalase sebelum melayang pergi. Terbang meninggalkan tempat itu untuk melaksanakan tugasnya. Meninggalkan Yuan yang menatap kepergiannya dengan senyuman.

    Gadis itu kini menatap ke dalam kristal di atas etalasenya. Kristal yang menjadi pembayaran untuk jubah mimpi yang tadi berhasil dijualnya. Sekilas memang kristal itu tampak seperti kristal biasa, namun bagi Yuan, kristal itu tak akan pernah terlihat biasa. Gadis itu menyentuhkan ujung jarumnya ke benda itu, dan seketika itu juga kristalnya bersinar, memancarkan pantulan cerita yang tersimpan di dalamnya.

    Dalam cerita kali ini, kristal itu menampilkan sosok seorang seorang wanita yang sedang menangisi kematian putranya. Uriel muncul di belakang wanita itu, dan dengan lembut membuka bingkisan jubah yang tadi dibungkus Yuan beberapa saat yang lalu.

    Jubah keemasan itu seketika terkembang lebar. Menutupi tubuh si wanita. Memberikan kehangatan dan ketenangan pada hati yang tersentuh olehnya.

    Duka memang masih meliputi hati wanita itu, namun dalam sekali lihat Yuan tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bagaimanapun juga wanita itu mengasihi putranya, dan sekalipun ia tidak memahami mimpi putranya, melalui jubah itu, Yuan tahu bahwa wanita itu akan mencoba mencari tahu makna dibalik kehidupan putranya. Hal itu memang sulit dilakukan, tapi setelah ia berhasil menemukannya, ia pasti dapat melanjutkan hidupnya dengan lebih baik. Kehidupan yang harus dijalaninya, demi putranya yang menginginkan keinginan untuk hidup.

    Sambil menarik nafas panjang, Yuan menghirup pantulan cerita dari kristal itu. Gadis itu kemudian menutup matanya dan membiarkan pikirannya kembali terbang. Memburu mimpi-mimpi lain yang dapat dirajutnya menjadi jubah.

    -Fin-


    Catatan: Cerita ini sebenarnya enteri Fantasi Fiesta 2012 kemarin. Secara resmi cerita ini dapat dilihat di: http://kastilfantasi.com/2012/07/jubah-mimpi-reve/

    [​IMG]

    Silahkan dibaca dan dinikmati, mo dicabe juga boleh-boleh aja ahahaha--saya gak anti cabe kok. Semoga dapat menghibur!

    [​IMG]
     
    Last edited: Jul 30, 2013
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    ga ada yang mau first blood di tritnya mbak Oren kah? >_<
    kalau gitu saya aja yang pertamax ya:tampan:

    welp. saya baru baca satu cerpen pertama. Jadi cuma bisa komentarin yang itu >.<

    As expected of sepuh. Penulisannya rapi banget. Kata-katanya juga--more or less--enak dibaca. Biarpun ada kalimat yang menurut saya bisa diganti menjadi lebih enak, mungkin dengan nambahin kecap atau ngurangin garem?#ignorethis. Dan cerpennya lumayan menarik. Sayangnya terlalu pendek buat dinikmatin lebih jauh >_<. Dan saya, terutama, suka pas adegan si cewek ngejelasin kenapa dia suka buku(biarpun sebenernya subjektif sekali pendapat dia#plak), memberikan kesan avid reader buat si cewek tapi tetap normal(mungkin karena saya kebanyakan baca fic dengan tokoh freak, saya setengah berharap ceweknya lebih maniak daripada ini:haha:).

    Satu-satunya yang saya nggak suka dari ni cerpen adalah bagian terakhirnya. Ray mulai baca buku, dan dia langsung bisa mengerti makna dari kata-kata si cewek tadi. Gimana bisa? padahal sebelumnya dia menganggap membaca itu membosankan. Eh baru baca buku satu udah langsung berubah pikiran:swt: kalau misalnya cuma mulai berupah pikiran sih no prob. Tapi nggak langsung nyamain level si cewek yang dengan very lebaynya bilang buku itu surga lah :E
    Just my opinion :>

    terakhir, sasuga sepuh:sembah:

    jadi inget lagu Your Favorite Book >w< dengan cerita versi lebih normal ._.
     
    Last edited: Jul 25, 2013
  4. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    :nongol: eh ada yang mampir :oghoho:
    makasih!!! :ogcute:
     
  5. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    neh masih berani bilang nubi :piso:

    kualitas penulisannya dah bagus begitu, isi gambar lagi.

    tumben mbak merp gak ngasi cabe pedes :ngacir:

    saran dariku : berhati-hati memakai tanda seru (!) pada akhir kalimat.
     
    Last edited: Jul 25, 2013
  6. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    :nongol: eh ada yang mampir lagi :oghi:
    tanda seru apa ya? :ogbingung:
    tapi makasih hehehe
     
  7. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    sasuga sepuh. tulisannya bener2 enak dibaca

    2 cerpen awal

    surga buku
    ga beda jauh dari cabe onna berkata, karena mungkin cerpen ini dibatasin pendek makanya penyelesaiannya juga kilat ya :oghoho:

    benere plot ceritanya ga beda jauh seperti hal itu :ngacir:

    note : ga jelek, cuman sasaran pembacanya aja yang ga cocok dengan umur gw yang dah bangkotan :haha:

    Silent Night

    anooo itu cerita tercopas 2 kali
    simpel, sederhana, cerita romance yang suasana romancenya minim,
    cerita yang berakhir kesedihan tapi kesedihan nuansanya kurang terasa
    :ngacir:

    sepenggal cerita kehidupan chris
     
  8. Prinza Members

    Offline

    Joined:
    Jul 29, 2013
    Messages:
    6
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +1 / -0
    wah.. aku ikut baca ya.. bolehkan?? hehehe..
     
  9. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    Soal tercopas dua kali *membungkuk dalam* terima kasih ... saya sama sekali tidak sadar ahahahahaha :oghoho:
    untuk komentar yang surga buku saya gak gitu banyak komentar ahahaha, karena emang itu sangaaaaat pendek. Saya sendiri sebel ngeliatnya wkwkwkwk
    Waktu bikin bisa nulis ampe mo 3000 kata-an lebih, tapi langsung inget ... ceritanya hanya boleh 1000 kata, jadi akhirya dipangkas abis, dan tara ... *udahlah iklasin aja Faye ehehehe*

    untuk Silent Night

    saya tergoda untuk bikin tag line macam 500 days of Summer: "This is a story of boy meets girl, but you should know upfront, this is not a love story."
    "Boy meets girl. Boy falls in love. Girl doesn't."
    ehehe

    silahkan :oghi:
     
    Last edited: Jul 30, 2013
  10. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    hmmm gw ga ngerti mana yang kategori cerita boy meets girl bedanya dengan love story

    tapi cerita ini ada pertemuan, ada jatuh cinta, ada penolakan.... tapi bukan cerita cinta :iii:

    coba di beri pencerahan bagaimana itu bentuk cerita boy meets girl dan bedanya dengan love story maklum saya minim pengetahuan sastra tulis menulis... cumann asal jeplak nulis baca :oghoho:
     
  11. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    :oghoho:
    ndak maksud saya tergoda untuk bikin tag line macam 500 days of Summer itu soalnya di endingnya dia bilang:
    "This is not a love story. This is a story about love."
    hahahaha *maksudnya klo nonton 500 days of Summer pasti ngeh*
     
  12. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    oo pantes, lom tau nonton pilm itu :elegan:
     
  13. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    gak mau tak kasi tahu :hehe:

    ntar kesannya nge guruin :ngacir:

    yah itu saja. keep writing :elegan:
     
  14. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    menunjukan harus komplet atu, jangan pake misteri :hehe:

    lagian kan menunjukan bukan menggurui, kasih masukan dan pendapat mengenai tata tulis sapa tau ntar terjadi diskusi dan nemu kata mufakat

    ingat sila ke 4 Pancasila :elegan:
     
  15. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    *baca ulang dari awal ampe akhir* kayanya saya tau deh ... soal kelebihan make tanda seru di beberapa tempat ya? "!!!"
    hehehe--iya nih kelebihan

    gk papa kok lumayan akhirnya saya priksa-priksa lagi :oghoho:
     
  16. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    atut dimaharin << kakang Giande :takut:

    em.. Persatuan Indonesia? :bloon:

    kelebihan sih tak papa.

    cuman kalo make tanda seru saat orangnya lagi tidak tegas atau tidak teriak ya kenapa gak dititikkan saja? kesannya jadi gak sopan padahal orangnya sedang ngomong sante2 :ngacir:

    beberapa orang mungkin tidak sadar karena hal itu hanyalah sesuatu hal yang tidak penting. tapi kalau tidak diperhatikan ya.. ane tahu kok bang irene kan sudah sesepuh, pasti tahu maksud ane :ngacir:

    racikan bumbunya jadi kacau.
     
  17. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    huh? :iii:
    bukannya emang lagi teriak dan tegas--penegasan.
    ntar cek lagi deh
    makasih
     
  18. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    kalo emang uda begitu sih.. ane juga gak bakal tulis tidak tegas atau tidak teriak!

    ^^
    contoh perkataan ane yang di atas jadi gak sopan.

    ya.. mungkin juga yang salah ane :nangis:

    suka memakai maksud di dalam kalbu.

    kabuur.. :ngacir:
     
  19. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    nggak lah kan blom tentu juga saya bener--wong eyd saya kadang masih ngawur kok ... haha
    saya juga ngerasa banyak salah di beberapa tempat kok jdi saya brterimakasih klo ada yg mo lurusin
     
  20. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    musyawarah mencapai mufakat :peluk:

    kan ini gunanya saling merview, saling diskusi antar penghuni :hehe:

    jadi ga perlu malu2 atu kasih petunjuk, wangsit, komentar pedas, dll :hehe:
     
  21. serafim M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 9, 2012
    Messages:
    1,244
    Trophy Points:
    127
    Ratings:
    +874 / -1
    enak banget dibaca n alurnya juga rapi :top:

    baru baca yang "surga buku" aja sih


    lanjut baca yang lain ah :belajar:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.