1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Tiga Mimpi

Discussion in 'Fiction' started by NodiX, Jul 2, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +922 / -0
    “RALPH STANLEY, kau didakwa atas kasus malapraktik yang kau terapkan kepada Marco Daffin, yang mana dinilai sebagai praktik yang bersifat radikal, yang mengantarkan pasienmu dalam kasus pembunuhan yang ke tujuh. Dengan segala pernyataan tertulis yang kau ajukan dalam surat izin praktikmu, kau bertanggung jawab atas pembunuhan terbaru yang dilakukan oleh Marco Daffin, yang mana akan menambah masa tahananmu, dari 12 tahun penjara menjadi hukuman penjara seumur hidup. Praktik sejenisnya di masa mendatang akan dilarang, beserta surat sertifikat yang dimiliki Mr. Ralph akan segera dicabut dalam waktu dekat,” pria berpostur kecil yang dimana ada label HAKIM di mejanya bersuara lantang dan tegas, serta merta kaku dan datar. “Demikian sidang ini berakhir. Selamat siang, semuanya.”

    Ia mengetuk palu, dan pria paruh baya yang dimaksud sebagai Ralph Stanley langsung bangkit. Ia mengenakan jas rapi berwarna biru tua, dengan dasi ungu terang. Seorang pengacara di sebelahnya menjabat tangannya, menaruh wajah iba di muka yang tebal itu. Setelah itu si pengacara bangkit, membawa kopernya dan pergi. Ralph sempat termangu melihat kemerlap kilat kamera yang menyambar-nyambarnya, mencabik dengan haus hanya untuk mendapatkan gambarnya. Tiba-tiba tanpa ia sadari, tangannya sudah ditarik oleh seseorang. Berdiri di depannya petugas polisi berjaket kulit, menyatukan kedua tangan Ralph untuk kemudian diborgol. Pria itu bangkit, keluar ruangan. Butuh lebih dari lima polisi untuk mengawalnya, antusiasme wartawan memang benar-benar menggila pagi itu.
    ***
    Sehari kemudian, koran seakan membawa peluh berita dari persidangan tersebut, mengambangkan gambar wajah Ralph yang tengah tersenyum kepada kamera.

    Tidak. Ia tidak tengah tersenyum kepada kamera. Ia bukanlah pria narsis yang hanya ingin senyumnya terabadikan di sebuah lembaran media massa yang dimana bisa saja bernilai historis di kemudian hari. Akan tetapi, dengan senyum itu, ia berharap pers membawakan berita kepada seseorang di luar sana, bahwa ia tak menyesal dengan hukuman yang ia terima. Bahwa apa yang hukuman yang ia dapat setimpal dengan hikmah yang ia dapat. Atau mungkin ia hanya berharap orang itu setidaknya berpikir demikian.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: May 1, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +922 / -0
    BAGIAN 1 - Marco Daffin
    BRIMWOOD hanya terdiam ketika kawan sekamarnya menggesek, sambil menertawai dalam hati sebuah catatan kecil yang ada di tangan kirinya dengan sebuah pena bertinta merah. Mungkin saja di atas ranjangnya Jack Louis terkulai lemah, namun Brimwood tahu mata kawan lamanya itu tak berpaling darinya sejak ia menyentuh ubin dengan jempol kakinya.

    “Cuaca sedang cerah di luar,” gumam Jack, pandangan matanya langsung dilempar ke arah sebuah kaca jendela hitam besar yang menggantung di dinding, yang mencerminkan wajah kedua lelaki itu dengan permukaan licinnya. Yang mana menjadi bahan pakuan tatapan dingin Brimwood.

    “Aku tak peduli pada cuacanya,” balas Brimwood, duduk diam di sisi ranjangnya dengan wajah tertekuk masam. Lelaki itu masih sangat muda. Dua puluhan. Akan tetapi perkara hidup yang membosankan membuatnya nampak lebih tua. Di tengah-tengah dengungan mesin motor mobil yang menyelinap melalui ventilasi kamar, ia mendesah perlahan. Nada suaranya langsung berubah sarkastik. “Persetan dengan cuaca hari ini. Hariku cukup buruk untuk mengetahui perkara basi di luar sana.”

    “Tenanglah, aku hanya mencoba untuk membangunkanmu dari ranjangmu, oke? Berangkatlah bekerja. Carilah uang. Jalanilah hidup. Kaum kapitalis tak akan menjejalkanmu uang begitu saja.”

    Dari ranjangnya, Jack menatap Brimwood perihatin. Lelaki itu pantas mendapatkan simpati. Ia memiliki sebuah pekerjaan, yang akan membuatnya kaya nantinya. Tapi sekarang mereka hanya dua lelaki yang tak sadar telah tersesat dalam arus kehidupan yang terus menggerus. Tiba-tiba saja mereka berada di sana, dua lelaki yang merasa himpitan masalah kehidupan sehari-hari merupakan beban berat yang harus mereka jinjing, tanpa tahu harus ke arah mana mereka berlari. Brimwood boleh saja menemukan arahnya sendiri, namun beberapa hari ini ia baru kehilangan hal tersebut.

    “Berengsek orang-orang di pengadilan itu, seenaknya saja mereka menunjukku sebagai pengacara Marco Daffin. Alih-alih menjadi pengacaranya, dibayar tiga kali lipat sebagai pengiringnya pun aku tak sudi!” keluh Brimwood.

    “Marco Daffin?”

    “Pembunuh berantai itu. Apa kau tidak mendengar beritanya?”

    Jack memonyongkan bibirnya sembari mengangkat tinggi kedua alisnya. “Telivisinya mati lagi. Apa yang kau harapkan?”

    “Sialan! Sudah tiga kali kutelepon tukang servis sialan itu!” dengus Brimwood sambil mengangkat kaki keluar dari ranjangnya. Kemudian, ia segera masuk ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Suara Jack masih terdengar di sana.

    “Hei, John, kau tahu apa yang dilakukan para pembunuh berantai itu di waktu senggang?”

    “Apa?”

    “Mereka mengoleksi jari korbannya dan menaruhnya perlahan di sebuah wadah yang aman. Sama seperti ibuku mengoleksi perangko-perangko langka yang dibelinya dari pelelangan.”

    “Aku yakin jari-jari itu disimpan untuk membantu mereka melakukan perhitungan,” guyon Brimwood ketika ia keluar dari kamar mandi, dengan handuk putih bersih yang digunakannya untuk mengeringkan wajahnya. Kali ini ia bergegas mendekat ke arah lemari. Dengan perlahan ia membuka pintu lemari itu, dan mendapatkan hal yang asing baginya. Lucu. Ia tak mengingat ia memiliki jaket kulit di sana. Dan ia pun tak ingat Jack memiliki jaket kulit seperti itu. Sempat ia berpikir kawannya itu membeli jaket kulit baru untuk berpergian di kala angin luar tak bersahabat dengan tubuhnya. Tapi bagaimana ia bisa membeli jaket jika ia sendiri tak memiliki pakaian yang cukup tebal untuk melindungi dirinya dari terik matahari sebagaimana yang Brimwood sarankan? Brimwood hanya menghela napasnya samar, dan memilih untuk membiarkan perkara sepele ini tetap tersembunyi di balik dinding. Ia menggeser jaket kulit itu, dan mengambil setelan jas yang menggantung di lemarinya.

    “Yeah, aku juga yakin bagi mereka jari-jari itu lebih bermanfaat daripada sempoa,” Jack tertawa kecil, mengambil jeda di antara tawanya. Kemudian, setelah tawanya reda, ia melepaskan kacamata bacanya dan menaruhnya di meja kecil di sebelah ranjangnya, bersamaan dengan catatan kecil dan pena bertinta merahnya. “Ceritakan kepadaku tentang kawanmu Marco Daffin ini. Apakah ia tipe pembunuh yang mengoleksi jari-jari korbannya untuk menghitung?”

    “Entahlah, Jack. Kurasa tak ada yang perlu kuceritakan. Hei, apakah doktermu sudah memeriksamu?”

    “Belum, tapi kuyakin ia akan datang jam sembilan nanti.”

    “Well, sepertinya kau akan segera baikan jika ia mendatangimu,” Brimwood mengenakan dasinya dengan gerakan sembrono dan buru-buru. Itu adalah kebiasaan buruknya yang tak bisa ia hilangkan begitu saja. Toh bagaimanapun cara dasi bergelantungan di lehernya, ia tetap saja nampak seperti pengacara kebanyakan. “Kau cepatlah sembuh. Aku tak sudi membayar semua tagihan-tagihan sialan itu. Dompetku lebih memprihatinkan daripada keadaanmu sekarang.”

    “Jangan kau tagih hal yang tak pasti seperti itu, kawan. Tapi aku akan sembuh segera. Kujamin itu,” gerutu Louis.

    “Sebaiknya kau benar, kalau tidak aku sendiri yang akan melemparmu keluar dari ranjangmu.”

    Jack Louis menerimanya sebagai lelucon. Padahal wajah Brimwood sama sekali tak mengundang tawa. Ia serius, akan tetapi seberapa besar Jack mencoba untuk menghentikan tawanya, ia malah akan tertawa lebih gelak lagi.

    Dasinya sudah terpasang. Kemejanya sudah rapi. Dan Brimwood langsung mengenakan jas berwarna kremnya. Ia mengeluarkan sepasang sepatu cokelat gelap dari dalam susunan rak, mengenakannya sembari duduk di atas ranjangnya sembari menyiulkan nada lagu kesukaannya.

    Tawa Jack makin lama makin terasa ringan, hingga akhirnya benar-benar berhenti. Kini ia menulis lagi, dengan kacamata menggantung di atas tulang hidungnya.

    Brimwood tak langsung berangkat kerja. Namun sekali lagi terpaku pada kaca jendela hitam besar yang ada di hadapannya sekarang. Entah mengapa, setiap kali ia melihat jendela itu, ia merasa awas. Matanya terus mencari-cari celah untuk menembus permukaannya yang licin. Namun di sisi lain terlalu gelap. Bahkan jika ia menerawang pun, masih tak tertembus sebab kaca itu memiliki ketebalan yang tak kurang dari tebal buku catatannya sendiri. Setiap kali ia menatapnya, maka kali itu pula muncul pertanyaan di benaknya, ada apa sesungguhnya di balik kaca itu. Sungguh bisa mati ia jika pertanyaan itu tak segera terjawab dalam benaknya.

    Kawannya yang tergeletak sakit itu pernah mengatakan bahwa ruangan di sebelah adalah gudang kosong. Mereka menaruh barang-barang tak berguna untuk disimpan di sana. Tapi bukan itu yang dikatakan Jack. Pernah ia bergurau tentang gudang sebagai tempat barang jarahan, atau tempat penculikan yang sering digunakan oleh para profesional. Katanya, seberapa keras seorang tahanan korban penculikan berteriak minta tolong, suaranya hanya akan memantul di dalam ruangan gudang itu kembali kepadanya. Sungguh ironis, tambahnya. Tapi Brimwood tak akan terlena dengan mudah dengan bualan macam itu. Malah bualannyalah yang terkadang melena alam khayal Jack.

    “Pernahkah kau merasa, setiap kali kau awas, ada yang memperhatikan gerak-gerikmu?” gumam Brimwood, matanya tak lepas dari jendela berkaca hitam itu. Yang ia lihat, hanyalah pantulan wajahnya sendiri.

    “Tentu. Aku adalah katolik yang taat. Aku yakin Ia selalu memperhatikan gerak—“

    “Bukan, bukan itu maksudmu. Sesuatu yang lebih kecil daripada Tuhan. Akan tetapi memiliki cukup kekuatan untuk mengendalikan hidupmu?”

    “Maksudmu pemerintah? FBI? CIA?”

    “Siapa tahu. Aku memiliki daftar untuk dicurigai. Tapi entah mengapa semakin aku memikirkan hal ini, maka semakin konyol kudapati diriku.”

    “Hei, b*jingan, apa kau bermimpi? Orang bodoh mana yang mengawasi gerak-gerikmu?"

    Brimwood hanya membalas Jack dengan senyum misteriusnya. “Hati-hati, kawan. Aku tak pernah bermimpi.”

    ***​

    Di ruangan kosong itu—kecuali sebuah meja dan asbak di atasnya, serta sepasang kursi yang saling berhadapan—Brimwood duduk menunggu. Tangannya menari-nari di atas permukaan meja kayu itu, menghasilkan ketukan berirama, sekedar untuk menghilangkan penat.

    Sesosok pemuda yang sebaya dengannya masuk lewat pintu yang baru saja di buka. Ia mengenakan baju tahanan, dan tangannya diborgol. Di belakangnya, ada seorang pria berseragam.

    “Itu pengacaramu,” ujar pria berseragam itu, kemudian pergi dan menutup pintunya. Ia menunggu di luar.

    Marco tersenyum, dan Brimwood mempersilahkannya duduk. Namun pria itu hanya berdiri kaku dimana polisi tadi meninggalkannya.

    “Aku telah membaca berkali-kali berkasmu. Namaku John Brimwood. Dan mulai sekarang aku yang akan menangani kasusmu,” Brimwood mengambil jeda. “Duduklah, agar kita bisa membicarakan hal ini.”

    “Kita tak akan membicarakan hal ini. Aku menginginkan pengacara yang lebih bagus darimu.”

    “Kau tak punya pilihan, duduklah!” perintah Brimwood setengah dongkol.

    Senyum itu langsung menghilang dari wajah Marco. Ia mengambil duduknya dengan wajah yang tertekuk. Antara marah dan muram, Brimwood tak bisa memastikan ekspresi di wajahnya.

    Brimwood mengambil jeda, memandangi wajah dingin Marco. Ia membayangkan enam korban yang dibunuh pria itu dengan sadis, dimanakah penyesalan yang seharusnya ada dimatanya?

    “Kau membunuh enam orang dalam tiga bulan terakhir. Tapi motif yang kau katakan sebelumnya sangat tak jelas dan tak kuat. Sekarang, Marco, jika kau ingin aku meringankan hukumanmu, kau harus jujur padaku.”

    “Aku tak ingin kau meringankan hukumanku. Aku ingin kau membebaskanmu.”

    “Tak bisa, kawan. Mereka sudah membuktikan kesalahanmu di lapangan.”

    “Tapi bukti-bukti itu akan lenyap bersamaan dengan mayat-mayat yang kubuang—mereka akan kembali ke asal mereka tanpa meninggalkan jejak dalam perkaraku dan saat itulah kau menyaringnya agar aku bisa segera bebas.”

    Brimwood mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?”

    Jeda mengundang keheningan. Untuk sesaat mereka saling bertatapan mata. Mata Marco, sangat misterius bagi Brimwood. Pria itu menyimpan banyak rahasia yang menarik untuk diungkap. Akan tetapi entah mengapa Brimwood tahu ia tak bisa menggapai rahasia itu. Tapi bukan itu yang membuat Brimwood tertarik sekaligus heran. Ada semacam kelebatan siluet yang mengundang perasaan ganjil di benak Brimwood ketika ia menatap mata pembunuh yang usianya sebaya dengannya. Perasaan ini bukanlah perasaan sepele yang dapat dibuang begitu saja—mungkin saja ia akan mengingatnya untuk waktu yang lama dan terkadang terganggu olehnya.

    “Mr. Brimwood—“

    “John, panggil aku John.”

    “Mr. John, apakah di dalam tidurmu—maksudku, di dalam mimpimu, kau menyadari bahwa kau sedang bermimpi, dan pada saat itu kau tahu semua yang kau lakukan tak berarti apa-apa ketika kau terbangun?”

    “Maaf, kawan. Tapi aku tak pernah bermimpi.”

    Mulut Marco menganga. Alisnya naik hingga saling bersentuhan satu sama lain.

    “Kau tak pernah bermimpi, sama sekali tak pernah?”

    “Seumur hidupku.”

    Sekejap Marco mengeluarkan senyum canggungnya. Ia bergerak tak karuan di atas kursinya, hingga akhirnya berdiri dan memberi salam.

    “Well. Kalau begitu aku tak memerlukan pengacara untuk mendampingiku di pengadilan. Terima kasih atas waktumu yang berharga, Mr. John. Selamat pagi.”

    “Kau tak akan pergi kemana-mana sebelum kita membicarakan semua ini. Kembalilah, berengsek!”

    Belum sempat Marco sampai ke pintu, ia kemudian menoleh ke arah Brimwood.

    “Kita sudah membicarakan ini, Mr. John. Kita sudah selesai. Aku ingin kembali ke selku.”

    “Tidak. Kau tak akan kemana-mana sebelum kau mengatakan kepadaku motifmu yang sebenarnya.”

    “Baiklah, jika itu bisa membantuku jauh darimu,” ia menghela napasnya. Membuat jeda. “Kau tahu, Mr. John? Kita semua tengah bermimpi. Kau dan aku, kita hidup di dalam dunia mimpi kita masing-masing. Alasan mengapa kita takut melakukan hal yang tak boleh kita lakukan, adalah karena kita tak sanggup menerima konsekuensinya di kemudian hari. Tapi Mr. John, tahukah kau semua hal itu akan lenyap ketika kau membuka matamu?”

    “Maksudmu kau membunuh enam orang karena kau percaya kau tengah bermimpi dan kau percaya, setelah kau terbangun semua akan baik-baik saja?”

    Marco tersenyum. “Bukankah itu yang kita lakukan jika kita sadar kita tengah bermimpi? Kita memiliki kontrol terhadap mimpi kita—lakukan apa yang kita ingkinkan dan semua akan kembali normal ketika kita terbangun di atas ranjang kita yang hangat.”

    Brimwood tak menjawab. Kemudian pintu ruangan itu terbuka, dan Marco digiring keluar oleh petugas polisi tadi.

    Ia sendirian lagi. Tapi kini ia tidak sedang menunggu. Ia mengeluarkan satu bungkus rokok, dan mengambilnya sebatang. Dengan kesal ia menyalakan pemantiknya. Tak menyala dalam percobaan yang pertama, kedua dan ketiga. Ia mendengus, dan pemantik itu sekejap menyala dengan jempolnya.

    Asap rokok berhembus, mengalir merdu keluar dari lubang hidungnya.

    “Sialan,” desahnya kepada asap rokoknya sendiri. “Psikopat gila sialan!”

    ***​

    “Semakin hari semakin banyak saja pembunuhan,” gumam John. Tangan kirinya memegang lipatan koran yang tengah ia baca dan tangan kanannya memegang burger yang potongannya tengah dikunyah dalam mulutnya.

    “Mereka tak terkendali, dan kota yang lembap ini adalah tempat yang sangat baik untuk perkembangan jamur seperti mereka,” balas seorang pria bertubuh gemuk dari dalam kios. Ia tengah menggelar koran dagangannya yang baru saja buka pagi ini. Jam tangan Brimwood menunjukkan pukul sembilan. Dan rasanya terlalu siang untuk membuka kios di pagi ini. Tapi ia sendiri mengerti jadwal Malbourne, pedagang tersebut. Pada jam-jam seginilah saat yang paling ramai jalan itu dilalui pejalan kaki. Brimwood tak ingin berdebat akan hal itu, akan tetapi ia meragukan insting Malbourne. Insting yang membuat pria gemuk itu tetap miskin selama bertahun-tahun.

    “Hei, Malbourne, aku sedikit kekurangan uang di sini. Bisakah kau menambah koran dan burger ini ke dalam kasbon?”

    “Tak masalah, John. Tapi ingat, ketika jas dan dasi itu membantumu untuk ‘riding the gravy train’, maka hutangmu akan bertambah dua kali lipat.”

    “Gravy train pantatku. Ini semua lelucon. Dasi ini, jas ini ... mereka bahkan tak pernah memberikan klien yang waras kepadaku. Kau tahu apa yang akan kulakukan? Aku akan membuka praktek hukum. Menjadi konsultan. Kemudian sukses dan berkeluarga. Tetapi sepeser pun aku tak punya!”

    “Kau tahu ini hanyalah benturan sesaat. Lagipula, tak mungkin semua klienmu itu tak waras. Katakan, siapa yang kau bela sekarang?”

    “Kau tak akan percaya jika aku mengatakannya.”

    Malbourne menghentikan aktifitasnya. Handuk kecil yang ada di tangannya langsung digantung di pundak kanannya.

    “Katakan, kawan. Jangan ragu. Penyakit jantungku belum begitu parah.”

    “Marco Daffin. Marco-F****NG-Daffin.”

    Malbourne terbelalak. Warna di wajahnya langsung lenyap, tergantikan warna pucat putih kertas. Ia maju tiga langkah, mencondongkan telinganya ke arah Brimwood. “Marco Daffin sang penjagal itu?”

    “B*jingan nomor satu di kota ini,” komentar Brimwood setengah tak acuh.

    “John! Kudengar ia adalah seorang kanibal!”

    “Jangan dengar omong kosong macam itu. Ia adalah seorang pembunuh psikopat, tetapi bukan berarti ia kanibal. Kau pikir ia siapa? Dr. Hannibal Lecter?”

    “Entahlah, tapi bisa saja ia murid si Lecter itu. John, apakah kau sudah meminta agar mereka menggantikan posisimu?”

    “No, no! Mereka tak akan memberikan kesempatan itu. Seberapa menyedihkan kau memelas pun mereka tetap tak acuh.”

    “Mengapa?”

    “Mengapa? Tentu saja karena mereka semua b*jingan. Mencari uang sebanyak mungkin dan melemparkan risikonya kepada John tak berguna ini. Persetan!” Dengan kesal Brimwood menendang udara kosong. Malbourne hanya mengerutkan keningnya ketika cahaya pagi menerpa wajahnya yang berminyak.

    “Kau percaya pada nasib, John?” tiba-tiba kata itu yang keluar dari mulut Mal, tanpa ia sadari, tetapi bisa sedikit menenangkan John.

    Untuk sesaat Brimwood tertegun. Berusaha untuk mengembalikan napasnya yang terengah-engah karena emosi. “Apa?”

    “Nasib.” Malbourne mengeluarkan sepasang kursi, mempersilahkan Brimwood mengambil satu dan yang sisanya untuknya duduk. Mata mereka mengamati alur lalu lintas, namun telinga dan bibir mereka diklaim oleh percakapan hangat dua pria di pagi hari itu.

    “Aku pernah memiliki seorang teman lama yang dikira gila oleh kebanyakan orang—termasuk diriku. Ia tak pernah berprestasi dalam pelajaran. Dan ia tak pernah terbuka kepada siapa pun. Ia memiliki pengalaman yang buruk saat kecil, dan aku adalah satu-satunya teman yang ia miliki. Menyedihkan jika mengingat masa lalu seperti itu, tapi aku ingat, ketika pernah ia berkata bahwa dirinya sendiri gila,” Malbourne tak mampu menahan gelaknya, sedang Brimwood hanya tersenyum melihat pria gemuk itu mengusap wajahnya yang berkeringat dengan handuknya sembari menunggu ceritanya berlanjut. Pria gemuk itu mendesah. “Masa-masa yang begitu sulit untuk dilupakan,” ia mengambil jeda sesaat. “Well, pada saat itu ia mengatakan, hampir mustahil untuk mengakui ketidakwarasan diri sendiri. Tapi ia melakukannya. Ia sadar ia tak dapat mengatakan apa yang ia pikirkan kepada orang lain, tetapi ia tahu persis apa yang ia harus katakan pada dirinya sendiri. Kemudian ia mempelajari dirinya sendiri, gangguan mental yang ia alami, dan lumba-lumba memberikan mukjizat, ia sekarang menjelma menjadi psikiater terkenal!”

    Brimwood mengangguk, seraya menyimpulkan senyum kecilnya.

    “Dan suatu hari,” jeda, suaranya terpotong. Sepertinya Malbourne tak mampu menyembunyikan rasa harunya. Tapi ia sebisa mungkin terlihat riang. “Suatu hari ... ia datang ke kiosku. Memberikan senyum terbaiknya dan membeli sebotol air mineral. Dengan wajah usang itu ia berkata, ‘Malbourne kawanku, aku sudah sukses sekarang. Bagaimana denganmu?”

    Ada kebanggaan yang tersirat di wajah Malbourne. Matanya berkaca-kaca saat ia mencondongkan dadanya.

    “Kemudian aku membalas, ‘persetan! Kios ini tak membawaku kemana-mana’. Lalu ia tak berkata untuk sesaat. Mengurai senyum lebar yang hanya membawa nostalgia masa lalu. ‘kau percaya pada nasib?’ tanyanya. Lalu kujawab, ‘ya’. Maka ia mengatakan jika aku percaya pada nasib, maka peganglah teguh prinsip itu. Akan tetapi jika aku tak percaya, maka aku harus menikmati perjalanan hidup ini tanpa harus melihat ke depan. Ia tak percaya pada nasib, dan ia tak memusingkan masa depan. Baginya hidup ini bukanlah tentang tujuan, melainkan petualangan yang ia alami ketika menjalaninya. Persetan, aku tak sependapat dengannya.”

    “Dan rentang jarak keberuntungan kalian sangat jauh,” komentar Brimwood, mengundang kikik kecil Malbourne.

    “Sure! Ia lebih beruntung daripadaku. Sedangkan aku tak maju-maju dengan kios kecilku ini,” ia menghela napas panjang. Brimwood kini merasakan kepedihan di hembusan napas pria itu. “Sering aku membayangkan diriku menutup kios ini, dan mencari pekerjaan baru. Tapi siapa yang mau menerima pria tak berpendidikan sepertiku? Mereka hanya memperlakukanku lebih buruk lagi. Dan aku berpikir ... jika aku menutup kios ini, aku hanya membohongi diriku sendiri, membohongi jawaban yang pernah kuberikan kepada kawanku itu dulu. Mungkin jika yang kujawab padanya waktu itu adalah ‘tidak tahu’, kita tak akan duduk di trotoar seperti ini.”

    “Dan kau menyesal?” tanya Brimwood berhati-hati.

    “Menyesal? Tentu saja tidak. Aku bukanlah seseorang yang langsung mengubah keluh kesahku menjadi bongkahan dendam. Aku percaya pada masa depan, pada nasib, ingat? Aku percaya di setiap aku mengawali hariku, masa depanku akan lebih cerah lagi,” baru kali ini wajah Malbourne nampak begitu cerah. Mata yang berkaca-kaca kini mulai berlinang, memandangi burung-burung di angkasa yang berkicau membawa kabar kosong kepadanya. Ia menangis, namun tak bersuara. Air mata itu hanya membawa kedongkolan bagi Brimwood.

    “Omong kosong! Jika kau hidup sekarang, maka esok hari adalah masa depanmu. Dan jika kau hidup di esok hari, maka esoknya lagi adalah masa depanmu. Kau akan terjebak dalam siklus itu, kawan, dan apa yang akan kau lakukan? Menunggu masa depan hingga ajal menjemput?”

    Malbourne merundukkan kepalanya, menyembunyikan air mata yang sudah terlanjur terkuak. Ia tak langsung menjawab Brimwood, melainkan menatapnya dengan tatapan yang begitu pedih. Amat menyayat. Hingga-hingga Brimwood menyesal mengeluarkan perkataan sarkastik tadi.

    “Mungkin saja. Mungkin saja aku akan menunggu masa depan hingga jantungku berhenti berdetak.”

    “Dengar Mal, bukan maksudku menyinggungmu—“

    “Jangan terlalu dipikirkan,” Malbourne menukas seraya mengusap air matanya dengan handuk yang ada menggantung di pundaknya. “Lagipula yang tadi itu tak lebih dari omong kosong.”

    “Oh, tidak seperti itu! Yang tadi itu cukup menarik. Jika seseorang menyanyakan hal yang sama kepadaku, maka aku akan menjawab ‘tidak tahu’.”

    “Oh, ya. Mengapa?” Malbourne mulai kehilangan daya tariknya terhadap percakapan yang dimulainya sendiri. Namun ia berusaha menyembunyikannya. Brimwood tahu itu.

    “Kupikir orang-orang yang percaya pada nasib hanya untuk mereka yang memiliki sikap idealis. Tuhan tahu persis aku bukan orang yang seperti itu. Dan juga, bukannya aku menginginkan masa depan, tetapi aku muak pada masa sekarang. Sekarang kehidupanku tengah terpuruk.”

    “Bersabarlah. Seperti yang kukatakan tadi, kau tengah mengalami benturan sesaat. Nanti juga semua akan berjalan lancar.”

    “Mungkin saja.”

    Kemudian keadaan menjadi hening. Malbourne mengusap-usap wajah dan tubuhnya yang berminyak karena sinar matahari pagi, sedang Brimwood asyik menghitung mobil yang lalu lalang di hadapannya. Mereka tak memiliki topik untuk diangkat menjadi percakapan kembali. Mati suri. Keadaan kala itu benar-benar mati suri.

    Hingga Brimwood teringat sesuatu yang tadi ingin ia katakan kepada Malbourne.

    “Kau tadi mengatakan kawanmu adalah psikiater terkenal?”

    “Ya. Tentu saja. Ia yang terbaik di negara bagian ini.”

    “Siapa namanya?”

    Dengan senyum yang tak tertahankan, Malbourne berkata dengan bangga, “Dr. Ralph Stanley.”

    “Kau pasti bercanda!”

    Pria gemuk itu berkikik. “Tidak, aku tak bercanda. Ialah orangnya.”

    “Kau anak haram! Mengapa tak kau katakan kepadaku sejak tadi? Ia adalah psikiater yang berada di urutan teratas di dalam daftar psikiater yang harus kutemui!”

    “Kau sedang membutuhkan psikiater?”

    “Tentu—maksudku, tadinya. Aku sudah menghabiskan uangku untuk tiga psikiater lainnya. Dengar, Mal, kawan kita Marco Daffin ini, ia memiliki gangguan mental yang membuat kepalaku pening sendiri. Psikopat aneh itu mengatakan sesuatu yang ganjil kepadaku, dan ketika tiga psikiater memeriksanya, mereka menyatakan ia sehat hanya dalam dua puluh menit dan menyatakan mereka sudah final dengan keputusan mereka. Anak-anak jadah! Kudesak pun mereka tak mau memeriksanya ulang.”

    “Kau menghabiskan uangmu untuk membayar para psikiater sialan itu?”

    “Tentu. Orang-orang pengadilan tak akan menerima pengacara yang tak ingin bermodal. Setidaknya seperti itu yang kutahu.”

    “Sialan. Sebaiknya kau mengunjungi Ralph, kuyakin ia dapat membantumu.”

    “Maaf kawan. Uangku benar-benar habis. Tak ada sisa untuk kawanmu itu.”

    “Datang saja kepadanya. Katakan bahwa kau memiliki klien gila dengan gangguan mental yang menarik untuk diteliti, juga katakan bahwa aku yang menyarankanmu mendatanginya. Jika ia menagih uang kepadamu, maka aku akan segera menghapus semua hutangmu, yang kuyakin jumlahnya dua kali lipat dari tarif praktek yang dikenakan Ralph.”
     
    Last edited: Jul 2, 2013
  4. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +922 / -0
    Bagian 2 – Ralph Stanley
    HAMPIR dua bungkus rokok habis ia hisap. Puntungnya memenuhi asbak di meja kecil yang sedatar dengan kursi yang tengah ia duduki. Brimwood mendapati dirinya terhibur melototi sosok-sosok berseragam polisi yang lalu lalang di hadapannya. Padahal ia sendiri tengah menunggu seseorang.

    Pengacara itu terbatuk-batuk pada rokok terakhirnya. Jam di dinding menunjukkan pukul empat sore. Lima jam sudah Dokter Ralph menanyai Marco. Mungkin saja ia senang dengan hal itu. Ia tahu kinerja Dokter Ralph tidak akan mengecewakan, ditambah dengan biaya kosong yang harus ia keluarkan. Akan tetapi, ia benar-benar lelah. Seharusnya ia sudah pulang tadi, atau makan siang. Namun ia takut jika ia tak ada saat Dokter Ralph selesai dengan tugasnya. Itu akan menjadi pengalaman yang tak nyaman baginya, sebab terkesan bahwa ia adalah klien yang tak tahu diri. Ia ingin melempar jauh imaji itu. Terutama jika ia tengah berhadapan dengan seorang profesional seperti Dokter Ralph Stanley.

    Sesosok pria paruh baya berkacamata dengan tubuh yang kurus dan rambut yang telah berubah abu, keluar dari ruang yang ditunggu-tunggu oleh Brimwood. Ia mengenakan sebuah kemeja putih bersih dengan jas biru laut yang membalutnya. Melihat sosok itu, mendadak tubuh Brimwood menjadi tegak, langsung menghampiri sosok itu.

    “Bagaimana Dok? Apa pendapat anda tentang psikopat itu?” tanya Brimwood dengan wajah penasaran.

    “Ia bukanlah psikopat,” jawab Dokter Ralph cepat, bernada ramah. “Kau lihat, Brimwood, pembunuh berdarah dingin yang kau maksud membunuh karena mereka tak memiliki empati kepada korban-korban mereka sehingga setiap pembunuhan yang mereka lakukan tak menimbulkan efek psikologis terhadap keseimbangan psikis mereka. Tapi Marco ini, ia memiliki guncangan di kepalanya. Ada semacam ide di kepalanya yang membuatnya melakukan pembunuhan tanpa merasakan penyesalan setelahnya. Ide yang mempengaruhi dan merosot empatinya kepada individu lain.

    “Begini saja. Aku ingin kau menemuiku dikantorku nanti,” ia mengeluarkan kartu namanya, memberikan kepada Brimwood dengan sopan. “Kita akan diskusikan lebih lanjut tentang hal ini.”

    Kemudian Brimwood terpaku pada kartu itu. Dokter Ralph hanya tersenyum. Beberapa saat kemudian, ia mohon pamit dan Brimwood menjabat tangannya. Lalu setelah saling membalas senyum, ia memulai langkahnya meninggalkan lorong itu. Meninggalkan Brimwood sendirian.

    ***​

    "Kau datang," sambut Dokter Ralph. "Masuklah!"

    Psikiater paruh baya itu membuka pintunya lebar-lebar, mempersilahkan pengacara muda yang kewalahan menahan dinginnya udara malam yang menggedor-gedor kulitnya dengan terlapiskan setelan jas krem. Ia menaruh tas jinjing kulitnya di sebuah meja kecil, kemudian Dokter Ralph mengajaknya masuk ke dalam ruang yang lebih dalam lagi. Sepi benar kantor itu. Ruangannya pun tak tertata mewah seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Kursi-kursi dan sofa adalah furnitur yang tak bermerek, berjejer di ruang tunggu yang sebenarnya sepi namun tertata sangat rapi dan hati-hati. Ada beberapa kembang dalam lorong yang semuanya berwarna dominan hijau, namun ada juga beberapa yang memiliki bunga berwarna biru dan merah. Dari ruangan yang cukup jauh dari ia berdiri, tercium bau pengharum ruangan yang amat menusuk hidung. Sempat Dokter Ralph menyadari cuping hidung Brimwood yang mengerut-ngerut, maka ia mempercepat langkahnya masuk ke ruangan pribadinya, kemudian menutup pintu ketika Brimwood melangkah masuk. Sepertinya Ralph terlampau khawatir dengan indra penciuman kliennya yang sangat sensitif.

    Dokter Ralph menyalakan AC ruangan itu dengan remote yang ada di mejanya, kemudian ia menarik sebuah kursi untuk dihadapkan ke arah mejanya. "Kau tak mengapa?"

    Brimwood langsung menghapus peluh yang mengenang di pelupuk matanya ketika ia sadar psikiater itu menyadari sesuatu yang salah dengannya.

    "Saya tak apa-apa. Hanya teringat nostalgia masa kecil ketika mengendus pengharum ruangan tadi," pengacara muda itu memegang kepalanya, seakan ada yang salah dengan benda itu. "Saya bahkan tak mampu mengingat tentang apa nostalgia itu. Yang saya ingat hanyalah aroma pengharum yang menusuk hidung saya saja. Boy! Saya yakin itu sudah lama sekali," ia sempat mengurai senyumnya, sembari tertawa kecil mendapati seberapa konyolnya dirinya mengingat hal yang tak penting seperti itu. Namun ia tak dapat menyembunyikan bola matanya yang berkaca-kaca. Ada gelombang emosional yang nampak dari situ.

    "Kau berasal dari Vichte City?" tanya Ralph, hendak berbasa-basi.

    "Ya. Saya yakin saya dari sana."

    "Duduklah," ajak Dokter Ralph. Mereka kemudian mengambil duduk mereka masing-masing. Psikiater itu duduk di kursi yang ada di belakang meja kerjanya.

    "Banyak hidung orang-orang tua Vichte City yang tak bisa lepas dari bau itu. Kau tahu, dulu aku sering bermain-main ke ruangan ayahku. Dimana bau pengharum ruangan itu amat pekat dan menyesakkan hidung. Jika kau datang ke sana untuk pertama kalinya, kuyakin kau akan segera mencari jalan keluar dengan mata berarir."

    Brimwood tertawa kecil. Dan psikiater itu hanya tersenyum di balik guratan keriputnya.

    Kemudian Ralph menghembuskan napas kuat-kuat. "Belasan tahun menghirup aroma itu membuatku tak bisa lepas darinya. Kau tahu, seperti rokok, obat-obatan, minuman."

    "Saya mengerti," balas Brimwood, sambil tersenyum. "Saya pun merasakan hal yang sama."

    Wajah Ralph menunjukkan keterkejutan. "Apa kau menggunakan pengharum yang sama di rumahmu?"

    "No, no. Maksud saya, saya tak ingin menggunakannya, hanya terasa pilu jika demikian. Anda tahu, aroma itu membangkitkan lagi memori masa kecil saya, tapi saya sama sekali tak memiliki gambaran tentang memori itu. Itu adalah perasaan tak menyenangkan yang ingin saya hindari."

    "Kau pasti menebak-nebak memori tersebut, namun kegagalan membuatmu merasa sedih? Entah mengapa kau mengingatkanku tentang mimpi yang akan kita bicarakan."

    Di balik dasi dan setelan rapinya, Brimwood mulai tersenyum canggung. Ia menarik kursinya maju, kemudian menatap mata dalam mata Dokter Ralph.
    "Semoga anda memaafkan sikap tak profesional saya. Tapi saya sedang tak ingin membicarakan masalah mimpi sekarang. Langsung saja kita masuk ke perkara Marco ini."

    "Aku menghabiskan lima jam waktuku di kantor polisi hanya untuk memastikan ia benar-benar mengatakan tentang mimpinya kepadamu, dan kau tak ingin membicarakan tentang itu?"

    “Bisa kita lompati saja masalah itu. Memang seberapa pentingnya masalah mimpi ini?”

    “Tentu saja penting! Tidakkah kau menyadari? Kau menyewa tiga psikiater, tak satu pun dari mereka yang bertahan lebih dari dua puluh menit ketika memeriksa Marco. Bahkan salah satu dari mereka berbisik kepada kawannya bahwa kau gila, aku tahu itu. Kau tahu mengapa mereka begitu?”

    “Karena mereka semua ********. Itulah jawabannya.”

    “Tidak, John! Semua ini karena Marco adalah aktor yang handal. Ia memiliki kharisma. Psikis yang tenang. Lidah yang licin. Dan mental yang luar biasa stabil. Aset berharga yang hanya dimiliki seorang psikopat untuk menyamarkan dirinya dalam sebuah komunitas.”

    Pengacara itu langsung memiringkan kepalanya. Alisnya berkerut, dan cukup lama kata-katanya tertahan di balik bibir. “Anda tadi mengatakan bahwa ia bukan seorang psikopat.”

    “Jangan di bawa serius, yang barusan hanya analogi.”

    Ia membuka laci mejanya, mengeluarkan sepasang gelas dan sebotol brandy. Dengan perlahan ia menuangkan brandy itu ke dalam gelas pertama, menyodorkan kepada Brimwood, dan menuangkan gelas lain untuk dirinya sendiri.

    “Jadi katakan, mengapa kau tak ingin membicarakan masalah mimpi?”

    Brimwood meneguk brandy-nya.

    “Saya hanya tak pernah bermimpi. Itu saja.”

    Dokter Ralph tercengang. Di atas kacamatanya, alisnya berkerut.

    “Kau tak pernah bermimpi?”

    “******** Marco itu hanya membuatku iri,” aku John Brimwood.

    Sesaat Dokter Ralph tak bergeming. Ia merundukkan kepalanya, mencoba untuk berpikir.

    “Brimwood ... apa kau tahu ada yang salah dengan kepalamu?” tanya Stanley berhati-hati.

    “Seperti apa?” tanya Brimwood.

    “Seperti kepala Marco. Tak ada yang tak pernah bermimpi. Mimpi adalah sesuatu yang alamiah, aktifitas bawah sadar yang tak bisa kau tolak ketika kau tengah terlelap. Jadi seharusnya kita membicarakan ini pelan-pelan, karena aku bersedia tak dibayar untuk meluruskan semua ini.”

    “Thanks, Dok. Tapi saya tak perlu kontrak untuk yang dua kali.”

    Wajah Dokter Ralph datar. Pandangannya lurus menusuk pengacara muda yang ada di depannya, yang tengah kikuk memainkan gelas di tangannya sebab ditatap oleh seorang psikiater sungguh membuatnya merasa tak nyaman.

    “Aku memaksa,” Dokter Ralph meneguk brandy yang ada di tangan kanannya.

    “Dengar, Dok—“

    Wajah Ralph Stanley langsung berubah kasar, suaranya terdengar lebih tajam. “Dengar saja penjelasanku! Kau tak akan merugi,” ia membanting keras kaki gelas ke permukaan meja, kemudian mengambil jeda seraya menghela napasnya. Brimwood yang diam tak bergeming dibuat skak mat olehnya.

    “Bagus,” desahnya sembari membaringkan punggungnya di sandaran kursi. “Aku mengerti kalau kau tak pernah bermimpi, John. Tapi sebagai profesional, kuharapkan kau mau mendengarkanku dan mengerti kondisi klienmu ini, kalau bisa kau juga mengerti kondisimu. Kau tak bisa maju ke pengadilan jika kau tak mengenal klienmu, karena kau hanya akan memberikan janji kosong yang tak bisa kau penuhi padanya.

    “Temanmu ini—“

    “Ia bukan teman saya,” potong Brimwood dengan nada dingin.

    Ralph tertegun sesaat untuk mencerna situasi. Ia merasakan ada benih kebencian di mata Brimwood, dan ia menyesal karenanya.

    “Klienmu ini,” koreksinya. “Ia memiliki semacam sugesti yang mempengaruhi keadaan psikisnya, bahwa ia tengah bermimpi walaupun ia sudah terbangun ke dunia nyata. Kau tahu itu, namun kau tak tahu seberapa kuat sugesti itu mengotori pikirannya. Jangan heran kalau ia tak akan mengenalimu keesokan paginya, sebab kepalanya akan mengira ia tengah menjalani mimpi baru, bukan hari yang baru. Dengan cerita baru seakan-akan dunia ini terbagi atas sekian banyak konflik paralel yang membangun dasarnya. Ia akan mengalami siklus itu secara terus menerus hingga ia secara sepenuhnya sadar dan memiliki keinginan untuk terbangun dari mimpi itu.”

    “Jadi kita harus mengetuk kepalanya atau semacamnya?” Brimwood mulai tertarik ke dalam topik ini, walaupun hawa yang ia bawa masih terasa dingin dan kaku. Akan tetapi Dokter Ralph tersenyum sendiri melihat kemajuan itu.

    “Tidak, bukan begitu,” Ralph sedikit memperbaiki arah. “Bukan kita yang mengetuk kepalanya, tapi kita harus membuatnya mengetuk kepalanya sendiri. KAU yang harus membuatnya mengetuk kepalanya sendiri.”

    “Yang benar saja! Mengapa harus saya yang melakukannya?”

    Ralph mulai melebarkan senyumnya. Kali ini nampak lebih ramah dan hangat. Ia melepas kacamatanya, dan mengusap wajahnya. Guratan keriput di wajahnya seakan sinar bersamaan dengan datangnya wajah riang itu. Sayang tak disambut hangat oleh sang pengacara.

    “Tidakkah kau tahu seberapa besar aku berusaha untuk mendapatkan kepercayaan Marco?”

    John terdiam. Tak menjawab. Matanya terpengarah ke bola mata Ralph yang pancarannya telah setengah meredup namun masih bisa dikatakan sehat. Bagaikan tersambar petir, sikap dingin Brimwood langsung melemah seraya matanya mulai berbinar-binar. Ada perasaan heran, terkejut dan terkesima yang bisa dibaca di wajah muda itu. Akan tetapi Ralph tak tahu apa yang harus ia simpulkan dari air mukanya.

    “Seluruh pengalamanku dan keahlianku kukerahkan untuk mendapatkan kepercayaannya, dan ia sama sekali tak menyerah kepada pendiriannya yang mirip belut itu.”

    “Itu karena ia hanya percaya pada udara kosong. Ia sendirian. Tak ada yang menyukainya dan tak ada yang ia suka.”

    “Tidak, John Brimwood. Ia tak sendirian. Ia masih memiliki seseorang yang ia percayai. Kaulah orangnya. Tidakkah kau sadar? Saat pertama kali kalian bertemu, ia rela menunjukkan sisi lemahnya kepadamu. Jika tidak maka kau tak akan mengunjungi empat psikiater berbeda untuk memeriksa kondisi mentalnya, bukan? Di mata dunia ia adalah serigala buas. Akan tetapi di hadapanmu ia hanyalah seekor anjing yang memelas untuk diberikan kehangatan. Ia menyukaimu dan mempercayaimu sejak pertama kali bertemu. Akan tetapi ia hanya menunjukkannya dengan caranya sendiri. Demi Tuhan, John, kalian sudah ditakdirkan untuk saling bertemu dan memperbaiki kekurangan satu sama lain. Tak ada yang kebetulan dari semua ini. Coba saja kau pikirkan, seseorang yang tak pernah jatuh dalam buaian mimpi bertemu dengan seorang yang terjebak di dalam alam mimpinya. Bagaikan dua kutub yang bersekutu. Yin dan Yang yang bersatu. Kurasa kesempatan untuk hal itu benar-benar mustahil.”

    “Sepertinya saya mulai memahami sesuatu yang spesial dari semua ini,” Brimwood tak melepaskan pandangannya dari bola mata psikiater itu. “Ketika saya menatap kedua belah matanya, saya merasakan ada hal yang berbeda yang tersirat di matanya.”

    “Apa itu?” tanya Dokter Ralph penasaran.

    Brimwood sekarang mulai tersenyum. Perasaan dingin yang menyengat bulu roma hilang entah kemana. Namun canggungnya, matanya malah mulai berkaca-kaca.

    “Deja Vu. Saya merasakan Deja Vu. Serasa saya menjalani kehidupan yang sudah berlalu. Serasa pernah bertemu dengannya entah dimana.”

    Ralph menyambut gejolak emosi positif Brimwood dengan gembira. Berpikir hal ini adalah sebuah kemajuan pesat.

    “Dan apa yang kau rasakan saat itu?”

    “Rasanya seperti berdiri di lapangan luas. Semuanya nampak hijau dan asri. Dada saya hampir meledak merasakan kepulan rasa bahagia masa kecil. Di tangan saya ada sebuah katapel, dan di kantong saya penuh bongkahan kerikil sebagai proyektilnya. Dan yang paling mengena, ada suara riang Marco di sana, mengajak dari kejauhan untuk ikut bermain bersamanya. Tapi saya tak dapat menemukan wajahnya dimana-mana. Semua yang tergambar hanya rerumputan hijau dan cakrawala biru. Pemandangan yang hanya bisa saya lihat di Vichte City. Dari sana saya terus yakin Marco berasal dari Vichte City juga. Namun entah mengapa ego saya yang terlanjur mencapnya buruk menolak perasaan itu mentah-mentah.”

    “Tak mengapa. Jika kau merasakan ada ikatan batin antara kau dan dirinya. Mulailah terbiasa dengan hal itu dan kau akan tahu kemana kau harus melangkah nantinya.”
    Hening. Brimwood berusaha untuk menahan tangisnya, namun peluh itu bercucur juga membasahi pipinya. Suaranya bergetar saat ia mencoba untuk menggerakan bibirnya yang gemetar.

    “Dan lucunya, saya melihatnya di mata anda juga,” kata-kata ini, dengan pembawaan yang emosional dan melodramatis, langsung menusuk telak dada kiri Ralph, hampir saja menghentikan denyut jantungnya. John Brimwood. Ya, John Brimwood. Pemuda pertama yang membuat Ralph Stanley membungkam mulutnya sendiri. Pemuda pertama yang menggetarkan seluruh bulu romanya. Pemuda pertama yang mengingatkannya kembali atas keraguan antara batas rasionalitas dan ketidakwarasan.

    “Anda ingin tahu apa yang saya rasakan, Dokter Ralph? Saya merasakan sebuah penyesalan yang dalam,” Brimwood mulai terisak-isak. Sedang Ralph Stanley berusaha sejantan mungkin menahan air matanya merembes keluar. “Saya membaringkan tubuh saya di sebuah ruangan gelap. Aroma pengharum menusuk hidung saya, hampir membuat saya terjaga semalaman. Dan ketika seseorang membuka pintu ... “ tangannya mulai bergetar ketika nada getirnya mulai menguasai seluruh tubuhnya. “Dan ketika seorang membuka pintu ... saya tahu saya tak sedang bermimpi tapi saya dapat merasakan kehadirannya yang semakin mendekat di antara tidur saya.”

    “Ia bertanya pada saya, ‘Bagaimana harimu, nak?’ Saya tahu kemudian bibir saya bergerak. Hanya saja saya tak dapat mendengar apa yang saya ucapkan. Itu adalah igauan yang aneh, namun tak dapat dipungkiri hal itu terjadi pada diri saya. Lalu udara di sekitar saya menjadi hangat. Saat itu saya tahu ia tengah tersenyum, membelai rambut saya dengan penuh kemesraan. Seperti mimpi, tapi saya tahu itu bukanlah mimpi. Lelaki itu seakan menunggu sepanjang hari untuk melihat saya tertidur dan berbicara dengan saya. Ia bertanya bagaimana hari saya, dan saya menjawab dengan berkata—entah kata apa yang keluar dari mulut ini. Dan ia membalasnya dengan suara lirih, ‘Ayah tengah berusaha, nak.’ Setelah itu ruangan itu menjadi dingin kembali, bersamaan dengan tangisannya yang menguasai keheningan. Saya tahu saya juga ikut menangis, tapi hanya dalam hati saya. Dalam tidur saya saya merengek, melirih, dan bergetir. Tapi ia tak tahu saya ikut merasakan kepedihannya. Yang ia tahu saya hanya tertidur di bawah naungannya.”

    Tentu Brimwood merasakan Deja Vu. Tapi ia tak tahu efeknya akan sangat kuat seperti ini. Udara AC sangat dingin, hampir membekukan setiap partikel udara di ruangan itu. Kemudian, entah ilmu sihir apa yang baru saja diucapkan, aroma pengharum itu langsung merembes masuk ke dalam ruangan. Apakah bau itu hanya semu? Tak nyata? Tapi Brimwood merasakannya. Aroma itu membawakan kenangan, atau mungkin saja kenangan yang membawa aroma itu. Mungkin untuk memperkuat suasana. Atau mungkin saja aroma itu hanya ada di kepalanya. Sebab sekarang ini, angannya tengah mengembara di sekitar ruangan gelap ayahnya.

    “Entah mengapa Deja Vu membawa kenangan itu kembali, hanya karena saya melihat mata anda,” ucapnya dengan lirih. Di hadapannya, Ralph hanya menggigit bibirnya sendiri, berusaha sebisa mungkin menyembunyikan matanya yang memerah dan berair.

    Lalu, karena angan Brimwood yang membawanya terlalu tinggi hingga ia melupakan dunia nyata, ia langsung melepaskan kata yang mengendap di dalam kepalanya. Kata yang langsung mengubah kembang-kembang di luar menjadi tak lebih dari bebatuan bisu.

    “Katakan, ayah, apa yang kukatakan waktu itu? Apa yang tengah kau usahakan?”

    Wajah Ralph langsung berubah. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Lelaki paruh baya itu merasakan ada kegugupan yang hebat di matanya, namun cepat sirna ketika ia mengenakan kacamatanya kembali.

    “Pulanglah,” ujar Dokter Ralph dingin, namun suaranya bergetar di kerongkongannya yang basah. “Pulanglah, aku akan menutup tempat ini segera.”

    “Dengarkan aku, kau ayahku bukan? Kau yang menungguku terlelap agar bisa berbicara denganku bukan?”

    “Aku tak tahu apa yang kau katakan, Brimwood. Kau melantur. Sebaiknya kau pulang dan menenangkan dirimu. Pertemuan ini selesai.”

    “Kau ayahku bukan? Kau ayahku? Ayahku?”

    Brimwood menuntut terlalu banyak. Walaupun ia hanya bertanya satu hal yang amat sederhana, namun ia terlalu banyak menuntut dari Ralph. Ingin Ralph mengangkat tubuhnya dari kursinya, kemudian mengatakan apa yang ingin ia katakan dan mereka akan berbagi kepedihan yang sama. Akan tetapi Ralph hanya bisu di balik kacamatanya. Sedang John menangis terbata-bata di hadapannya.

    “Jawab kau berengsek!” pekik Brimwood menggelegar, langsung membekukan suasana. Bahkan dengung AC dan suara lalu lalang kendaraan di luar pun berhenti. Hening. Yang terdengar hanya suara isaknya dan kebisuan Ralph.

    “Bukan. Aku bukan ayahmu,” jawab Ralph Stanley, namun ia tak memandang lurus ke mata Brimwood. “Pulanglah. Carilah dokter lain untukmu nanti, kau membutuhkan satu.”

    “Tidak, aku menginginkanmu yang menjadi doktermu.”

    “Dengar, anak muda, kau tak akan mendapatkan apa-apa dariku. Sekarang, itu pintunya. Kau bisa berjalan keluar sekarang. Pertemuan ini benar-benar selesai.”

    Brimwood tak membalas. Lelaki muda itu hanya diam di atas kursinya. Matanya yang berair dengan bara tak kurang dari lidah api yang tengah bergejolak itu masih berusaha menembus kacamata Dokter Ralph, namun sang psikiater paruh baya tak ingin membiarkan hal itu terjadi.

    “Kalau begitu saya akan segera keluar dari ruangan busuk ini,” umpat Brimwood dengan nada lirih. Ia mengusap air matanya dan bangkit dari kursinya. Langkahnya pelan menuju ambang pintu.

    Saat ia menapakkan kakinya keluar, ia masih sempat menoleh ke belakang. Pria paruh baya itu masih di belakang mejanya, merunduk dan menghindari kontak mata dengannya. Di dalam hatinya Brimwood mendesah dan meraung. Yang ia lihat hanyalah seorang ******** dingin yang telah melukai hatinya. Namun ia tak sempat melihat pria yang lelah menghabiskan malam sambil menangis tersedu-sedu ketika keluar dari kantor psikiater itu.
     
    Last edited: Jul 2, 2013
  5. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +922 / -0
    Bagian 3 – John Brimwood
    Pengacara muda itu berhenti di sebuah toko di pinggiran jalan yang lenggang. Pria gemuk yang seharusnya menjaga toko itu tengah membereskan dagangannya. Tak seperti biasanya, Brimwood tak menyapa pria gemuk itu. Ia hanya berdiri di sana, menunggu hingga Malbourne berbalik dan menyadari kehadirannya.

    “Brimwood? Apa yang? Mengapa kau nampak berantakan sekali?” Malbourne benar-benar terkejut ketika berbalik. Pengacara muda itu memang benar-benar berantakan. Dasinya tak terpasang dengan benar, melainkan hanya menggantung di pundaknya saja. Jasnya tak dikenakan olehnya, hanya menggantung di tangan kirinya. Rambutnya yang di pagi hari tersisir rapi, kini tak lagi mengesankan pria berintelek. Wajahnya sungguh muram. Malbourne mengira-ngira ada sesuatu yang salah dengan pemuda ini.

    “Mal, bolehkah aku berhutang satu botol bir saja?” pinta John dengan setengah asa.

    “Tentu. Jangan pikirkan hutang, nak. Yang satu ini gratis untukmu,” Malbourne langsung membuka pendinginnya, mengambil satu botol bir. Sedetik kemudian, Brimwood menegak air yang ada di dalamnya seperti orang yang terkena dehidrasi.

    “Kau tak apa-apa?” tanyanya cemas.

    Brimwood tak menjawab pertanyaan Malbourne. Ia hanya meminta botol yang lain ketika botol pertama habis ditegaknya. Tak ada alasan bagi Malbourne untuk kikir saat ini. Malah ia bersedia untuk tak menulisnya dalam kasbon. Pengacara muda ini benar-benar kacau, dan itu bukanlah pertanda yang baik, pikir Malbourne. Di dalam hatinya ia terus berharap hal ini tak ada sangkut pautnya dengan Ralph Stanley, kawan psikiaternya itu.

    “Pernahkah kau mempertanyakan kewarasanmu sendiri, Mal?” pertanyaan itu sungguh racauan, pikir Mal. Atau setidaknya ia berharap begitu. Sungguh berbahaya jika ia tetap melanjutkan topik itu.

    “Kau benar-benar tak tahu apa yang tengah kau tanyakan, kawan. Ini ambilah botol yang lain,” tawar Malbourne.

    Layaknya setan, Brimwood langsung meneguk habis botol keduanya. Bersiap untuk yang ketiga. Namun ia sedikit sempoyongan kala itu. Terlalu cepat untuk mabuk bagi seorang pemuda yang tangguh sepertinya.

    “Sebaiknya aku segera pulang dan langsung pergi tidur,” gumam Brimwood. “Badanku sudah tak sanggup lagi,” tambahnya.

    “Kau yakin kau tak apa-apa?” cemas Malbourne.

    “Ya. Aku tak apa-apa,” dusta Brimwood, seraya mengambil langkah kakinya di trotoar yang sesungguhnya sepi.

    Tepat setelah sosok Brimwood menghilang di persimpangan, telepon genggam Malbourne berdering. Merknya cukup terkenal, dan bisa dikatakan terlalu mahal untuk seorang yang miskin sepertinya.

    “Ya, Malbourne di sini.”

    “Mal, ini aku,” Malbourne tak perlu menanyakan namanya. Ia sudah tahu dari karakteristik suaranya yang membekas di kepala. “Kau sudah dengar kabar dari Ralph? Aku tak mendapat konfirmasi darinya. Dihubungi pun tak bisa,” cepat suara dari telepon genggam itu berkata di dalam sebuah nada yang mengambang dalam kepanikan yang samar.

    “Aku pun tak mendapatkan konfirmasi apa-apa,” sahut Mal, khawatir. “Tapi aku baru saja didatangi oleh kawanmu itu. Ia tengah dalam keadaan murung. Yang kukhawatirkan Ralph memecahkan pot bunganya lagi kali ini.”

    “Ralph? Tak mungkin. Ia sudah berjanji hari ini semuanya akan berjalan dengan lancar.”

    “Entahlah, Johnny. Tapi aku meragukan pria itu.”

    “Dengar, Mal. Ralph benar-benar sensitif jika mengenai hal ini. Sungguh sulit berada dalam posisinya sekarang. Tapi kujamin padamu, ia telah berusaha sebisanya.”
    “Baiklah, kau lanjutkan saja persiapannya hingga ia datang. Tapi jika Ralph menghubungimu untuk membatalkannya, kau batalkan saja. Tapi seperti kataku tadi, lanjutkan jika Ralph tak menghubungimu.”

    “Okay, tak masalah.”

    Kemudian panggilan itu terputus. Sambil menatap simpangan dimana Brimwood menghilang, Mal mendesah dalam hati. Di dalam hatinya ia terus berdoa, semoga saja hari ini adalah harinya.

    ***​

    Entah apa yang ada di pikirannya, namun berhenti di sebuah gang sempit bukanlah pilihan Brimwood. Ia tak tahu apa yang ia lakukan, hanya menyandar di dinding gang sepi yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya, kemudian perlahan merosot hingga bokongnya terjatuh di tanah.

    Seperti seorang pengemis ia duduk di pinggir gang. Tak ada siapa-siapa di sana. Yang hanya ia lakukan hanyalah meneguk perlahan birnya. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Ia tak bergerak dari duduknya. Birnya pun masih menggenang dalam botol. Ia mendesah ketika kepalanya benar-benar buntu. Ia tak mengerti apa yang terjadi padanya. Deja Vu itu benar-benar kuat. Ia memiliki perasaan optimis tentangnya. Dan Ralph, ia tahu pria paruh baya itu adalah ayahnya. Tapi mengapa Ralph harus berbohong?

    Ataukah ialah yang salah? Apakahmemang kepalanya yang tak beres? Jika benar ia salah, maka ia menginginkan seseorang untuk meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar salah. Dan ia menginginkan Ralph Stanleylah orangnya. Akan tetapi pria itu adalah seorang berengsek. Brimwood tak henti-hentinya memutar kembali kata-kata terakhir psikiater itu—Ralph mengusirnya tanpa alasan yang jelas!

    Kemudian ia menghela napas panjang. Untuk sesaat ia tak ingin memikirkan masalah ini. Ia meneguk sisa birnya, seraya menyanyi tak jelas dengan lirik yang benar-benar meracau. Suaranya parau dan lantang di keheningan malam. Seorang tuli pun dapat terbangun karenanya. Akan tetapi ia sedang tidak dekat dengan pemukiman. Yang hanya mendengar suara paraunya itu hanyalah jangkrik dan kodok-kodok yang memainkan orkestra malam, beserta tiga remaja riang yang mendekat ke arahnya.

    “Benar bukan?” sahut salah seorang dari tiga remaja itu yang perawakannya paling besar daripada yang lain. “Orang aneh itu pasti berada di sini!”

    Remaja yang kedua tersenyum menyambut tawa riang yang pertama. Sedang remaja ketiga tengah menahan kegugupannya di balik kacamata bundarnya.

    Brimwood menghentikan nyanyian paraunya, seraya melototi ketiga remaja itu silih berganti.

    “Aku sudah cukup melihatnya,” bisik yang ketiga, tak tahan dengan kegugupannya sendiri. “Sebaiknya kita pulang saja sekarang.”

    “Jangan jadi pengecut kau berengsek,” bisik remaja kedua setengah dongkol.

    Kemudian remaja berkacamata bundar itu terdiam. Ia berdiri di belakang kedua temannya. Untuk sesaat Brimwood tak mengerti perkara kehadiran tiga remaja itu, kemudian cepat ia menyadarinya, kalau mereka tengah menguji nyali.

    “Orang aneh, sudah berapa yang kau bunuh hari ini? Tiga? Empat?” tanya remaja pertama dengan nada sinis dan menantang.

    Brimwood tersenyum. Senyumnya bukanlah ditunjukkan untuk menghangatkan suasana, akan tetapi lebih tepat untuk membalas tantangan remaja itu.
    “Belum. Aku belum membunuh orang. Akan tetapi sebentar lagi akan menjadi tiga.”

    Mendengar hal itu remaja berkacamata bundar itu langsung dilanda ketakutan. Bukan inilah yang ia harapkan. Ia tak ingin menjadi korban pembunuhan di gang sepi, maka ia melangkah mundur perlahan, bersiap untuk berlari sekuat tenaga dan menghilang di kegelapan gang. Tapi di dalam angannya, ia masih sempat meragukan aksinya itu. Bagaimana jika kedua kawannya masih hidup sedangkan ia sendiri kabur? Seumur hidup ia akan dicap sebagai pengecut. Dan ia tak ingin hal itu terjadi di dalam dirinya. Ia ingin membuktikan dirinya dengan menghapus imaji itu dari dalam dirinya, bukannya malah memperkuatnya.

    “Kau ingin membunuh kami, berengsek? Heh? Coba saja!” remaja pertama mengeluarkan sebuah benda hitam legam dari sakunya. Sebuah revolver kaliber .44. Mainan yang ilegal untuk remaja seusianya.

    “Jadi kau menantangku?” geram Brimwood. Ia bangkit dari duduknya, menghadap ke arah tiga remaja labil itu. Botol yang ada di tangannya, langsung di hantam ke dinding yang tepat berada di sebelahnya. Pecah dan bersiap digunakan sebagai senjata untuk menusuk.

    “Mundur kau b*jingan, aku tak bermain-main dengan pistol ini,” gertak remaja itu, dengan pucuk revolver sudah mengarah ke dada kiri Brimwood.

    “Aku juga tak bermain-main dengan botol ini!” balas Brimwood tegas.

    Sejenak suasana hening malam mengambil alih. Memanaskan suasana di setiap pergantian detiknya. Remaja itu mulai goyah dengan bidikannya. Tangannya bergetar, dan kedua kawannya yang bersembunyi di belakang punggungnya sudah kehabisan nyali untuk tetap berada di situ. Maka ketika salah satu dari mereka mengambil langkah pertama, yang yang lainnya menyusul di belakang dengan kecepatan yang tak kalah dengan lari hiena. Meninggalkan remaja berpistol itu sendirian menghadapi Brimwood.

    “Pulanglah. Tak harus ada keributan sekarang,” Brimwood memberikan kesempatan, namun remaja itu tak bergeming. Kemudian ia melangkah maju perlahan. Pecahan botol di tangannya sudah siap menusuk, namun matanya awas terhadap serangan mematikan yang mungkin saja akan dilancarkan oleh remaja itu. Tak ada yang tahu apakah remaja itu mempunyai cukup nyali untuk menarik pelatuknya, akan tetapi Brimwood tahu ia harus berhati-hati.

    “Mundur, mundur! Atau kutembak kau!”

    Brimwood tak mengindahkan peringatan itu. Sebab ia masih tak melihat keberanian di mata remaja itu. Ia masih melangkah maju. Hingga jarak mereka begitu dekat, cepat tangan kiri Brimwood meraih pistol itu. Dan dengan kesiagaan yang mantap, ia mengarahkannya ke langit malam. Dan betul saja, remaja itu meresponnya dengan menekan pelatuknya, menggelagarkan raungan binatang buas yang baru saja terbangun dari lelapnya di malam itu.

    Setelah suara pistol itu mereda, Brimwood dengan kekuatannya yang lebih unggul segera merampas revolver tersebut. Remaja itu hanya sempoyongan dan terjatuh di tanah, matanya yang terbelalak menatap Brimwood dengan penuh ketakutan. Ia meminta pengampunan, dan Brimwood hanya menyuruhnya lari karena ia tahu tempat itu akan segera ramai mengingat suara tembakan mesiu akan cepat merambat di medium udara malam yang tipis dan dingin.

    Remaja itu langsung bangkit dan berlari ke arah yang berlawanan. Brimwood hanya terdiam menatapnya dengan penuh rasa jijik. Lalu, tanpa diduga-duga, remaja itu meneriaki angin malam, yang langsung mengejutkan Brimwood, sekaligus membuatnya geram.

    “Orang aneh itu ingin membunuhku! Orang aneh itu ingin membunuhku!”

    Anak kurang ajar! Betul-betul kurang ajar! Padahal John sudah memberikan kesempatan hidup untuknya, dan ia masih bisa merengek kosong seperti itu? Brimwood kali ini benar-benar panas. Revolver di tangan kirinya bergetar, gatal untuk diletuskan. Ia mencoba menahan amarahnya, namun tak bisa. Darah sudah terlanjur memenuhi ubun-ubunnya. Ia tak bisa menahan pitamnya naik hingga meletus keluar, bersamaan dengan dua ledakan peluru yang meluncur ke arah remaja itu.

    Seketika onggokan tubuh yang tengah berlari itu langsung terpelanting di gang sepi. Tewas tak bergerak hanya dalam beberapa detik.

    Di dalam keheningan malam, Brimwood dilanda kebingungan. Apa yang baru diperbuatnya? Ia baru saja menembak mati seorang remaja ingusan. Tapi ia merasa bingung bukan karena perasaan bersalah yang akan menghantuinya, bukan! Akan tetapi, yang ia bingungkan adalah, mengapa ia bisa seringan ini setelah melakukan hal tak waras macam tadi. Hanya terprovokasi sedikit, ia langsung meluncurkan dua peluru ke arah remaja labil yang tak mengerti siapa yang tengah dihadapinya.

    Lalu Brimwood memejamkan matanya. Mendinginkan kepalanya. Mencoba untuk tenang, menghilangkan kebingungan itu. Perlahan-lahan, ia mendapatkan intinya. Semuanya sudah jelas sekarang. Ia tak memiliki empati kepada remaja itu, itulah yang membuatnya terasa ringan seperti bulu. Empati tidak hilang begitu saja jika tiga orang bocah ingusan datang untuk mengejek dan menantangmu, tidak! Akan tetapi empati lenyap karena adanya sebuah ide yang lebih kuat. Sugesti yang bisa mengotori kepalanya dan merubahnya menjadi seorang pria yang telah kehilangan akalnya.

    ***​

    Seorang pria menunggu dengan sabar di kamar Brimwood. Ruangan itu penuh dengan darah. Ada dua kasur di sana, dan ia tengah duduk di salah satunya. Kasur yang lain, terbaring sebuah tubuh dengan termandikan darah di seprainya.

    Pria muda itu membawa kapak di tangannya.

    Pintu kamar terbuka. Berdirilah seorang pemuda yang telah lelah dengan penampilannya yang berantakan. Melihat pemandangan yang mengerikan di kamarnya, ia hanya tersenyum geli.

    “Kau mengerti benar bagaimana cara membuat kekacauan, heh?” komentarnya sambil terkekeh-kekeh.

    “Aku datang untuk membunuhmu, Mr. John,” ujar Marco Daffin dingin. Ia tengah mengenakan jas untuk menutupi baju tahanannya. Dan kapak yang ada di tangannya berlumuran darah. “Jangan bertanya mengapa, karena aku tak akan menjawabmu. Memintalah belas kasih seperti yang dilakukan temanmu. Maka aku akan membuatnya cepat.”

    “Bagaimana jika kita memainkan permainanku,” ia mengeluarkan revolver yang disimpan di balik jas, mengecek isi di dalam silindernya, sisa tiga peluru. “Memintalah belas kasih, maka aku tak akan membuat rasa sakit di dadamu.”

    Hari ini semakin menggila saja. Marco Daffin yang datang untuk membunuh Brimwood, malah diancam balik olehnya. Cepat Marco sadar, jika Brimwood tengah menggila seperti itu, maka ia tidak sedang bermain-main. Ia benar-benar serius. Ini adalah pengalaman yang seharusnya terhindarkan, dan entah mengapa, semuanya menjadi kacau begitu saja. Darimana Brimwood mendapatkan pistol itu? Pertanyaan itu membuat tangannya menggigil. Ia tak berkutik dengan kapaknya. Bulu romanya berdiri seperti tengah berhadapan dengan hantu penjaga pemakaman.

    “Dengar kawan, kau tak harus melakukan ini,” Marco mencoba menenangkan Brimwood. Sekarang imaji pembunuh berdarah dingin benar-benar hilang dari matanya. Yang hanya ia coba lakukan sekarang adalah, membuat Brimwood melepaskan pistol yang ada di tangannya.

    “Aku juga tak harus melewatkan hal ini,” balas Brimwood, senyumnya semakin licik saja. “Aku tak memiliki alasan untuk membunuhmu, dan aku juga tak memiliki alasan untuk membiarkanmu hidup. Tapi ketika aku membuka mataku, semuanya akan kembali seperti biasa. Tak ada yang dirugikan, bukan?”

    Marco tak bergeming. Tangannya bergetar memegang kapak berdarah itu, yang ia lepaskan ketika Brimwood menyuruhnya untuk menjatuhkan dan menjauhkan dari jangkauannya.

    “Dengar, John, ini bukanlah mimpi!” seru sebuah suara yang mengalami distorsi mengambil suasana tepat sebelum Marco membela dirinya, asalnya mungkin dari radio di dekat ranjang Jack. Brimwood cepat mengenalinya sebagai suara pedagang gemuk yang memberikannya kasbon secara murah hati, Malbourne. “Jika kau membunuh Marco sekarang, ia tak akan kembali keesokan harinya!”

    “Oh, boy! Aku tak dapat melihatmu, Mal,” seru Brimwood, ia mengarahkan bidik pistolnya ke segala penjuru, mencari-cari sesuatu yang tak pasti. “Tunjukkan dirimu!”

    “Kau tak tahu seberapa rusaknya kepalamu, nak,” Malbourne masih berusaha menenangkan Brimwood, dengan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Kau hidup dalam fantasimu, dalam mimpimu! Kau tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Setiap hari kau jalani dengan kisah-kisah baru, dan kami semua menjalani semua itu untuk melengkapi mimpimu! Kami melakukannya untuk mengobatimu, John. Kau sedang sakit, tapi kau tak perlu menyakiti orang lain dengan penyakit yang kau derita. Kau harus melawannya!”

    “Mal, kau b*jingan! Marcolah satu-satunya yang sakit di sini. Keparat itu baru saja membunuh Jack!” Brimwood seperti berbicara dengan angin kosong. Ia tak dapat melihat Mal dimana-mana.

    “Tidak, kawan. Kaulah Marco Daffin. Kau dan aku, kita hanya berganti peran,” Brimwood langsung membidik Marco. Jempolnya menarik palu, sekali saja pelatuk ditekan maka peluru akan meluncur. Hal itu membuat adrenalin Marco melompat hingga ke kerongkongan. Secara refleks membuatnya cepat menjelaskan suasana yang sebenarnya terjadi karena rasa panik sekaligus khawatir akan keselamatan dirinya juga kesehatan Brimwood. “Ralph mengatakan kami bisa menyembuhkanmu dengan membuatmu yakin bahwa kau tengah berada di luar lingkup mimpimu, Marco. Tapi kau harus menanamkan ide itu sekaligus melenyapkan ide sebelumnya yang membuat kepalamu berantakan!”

    “Oh, ya? Dan bagaimana kalian melakukannya?”

    Marco—John Brimwood yang sebenarnya—terdiam sesaat ketika kawannya yang mengalami gangguan mental tersebut berganti sorot matanya—lebih tajam lagi. Ia tahu jika ia mengatakan skenario yang telah mereka jalani selama ini tak akan mengubah apapun sebab ia tahu itu bukanlah sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi otak Marco, namun juga tak akan menjamin keselamatannya.

    “Kau datang kepadaku ketika aku berpura-pura akan membunuhmu,” Brimwood menelan ludahnya, berusaha setenang mungkin menjelaskannya kepada Marco. Pengacara itu tak akan mengingat hal ini keesokan harinya, sebab ia akan menjalani mimpi baru dan ingatannya akan kembali di pagi harinya. Mungkin esok ia akan menjadi seorang artis, polisi, penyanyi, seorang penulis, atau berandalan yang mencari nafkah dengan mengintimidasi pejalan kaki yang bisa ia temui. Tapi ia tak akan mengalami mimpi yang sama untuk kedua kalinya. Itulah mengapa Marco mengira ia tak pernah bermimpi. Karena kehidupan yang ia jalani adalah mimpi dan di setiap paginya, ia akan menjalani mimpi baru dan melupakan mimpi yang sebelumnya.

    “Lalu apa? Kau akan mengintimidasiku dan aku akan menyerah begitu saja?”

    “Tidak, tidak kawan. Di sinilah bagian tersulitnya. Kau akan meminta belas kasih dan meyakinkan diriku bahwa aku tak sedang bermimpi, menjelaskan apa yang telah kau pelajari dari pengamatanmu terhadap diriku juga penjelasan Ralph. Tekanan psikis yang kau alami akan membuatmu mengerahkan seluruh perhatianmu untuk meyakinkan diriku, dan pada saat yang bersamaan kau secara tidak sadar meyakinkan dirimu juga. Menurut Ralph itu adalah sugesti terkuat yang bisa diterima oleh setiap individu.”

    “Berapa lama kalian melakukan omong kosong ini? Sebulan? Setahun?"

    “Empat tahun,” kata itu langsung keluar dari mulut Brimwood, yang langsung mengingatkannya pada sesuatu yang sangat penting selama empat tahun ini, akan tetapi entah ia atau yang lainnya ingat pada hal penting tersebut. “Hari ini tepat yang ke empat tahun.”

    “Lalu mengapa aku tetap gila seperti ini? Apa kalian bekerja tak becus atau memang ini hanya mimpiku sendiri?”

    “Marco, dengarkan aku. Teknik ini pernah digunakan Ralph untuk menyembuhkan sakit mentalnya sendiri. Ia memberikan sugesti kepada dirinya sendiri, dan hal itu memang membuatnya sembuh,” sahut Malbourne dari balik speaker radio. “Kami hanya membutuhkan waktu. Keseimbangan psikismu sangat rentan! Sekali saja kau menyadari bahwa kau tengah bermimpi maka kau akan berubah menjadi seorang yang kalap seperti ini!”

    Marco hanya terkikik mendengar suara Malbourne. “Maksudmu, yang ini bukanlah pertama kalinya?”

    “Hal ini sering terjadi, setidaknya seminggu sekali. Tapi kau tak pernah muncul dengan pistol,” ujar Brimwood.

    Kikikan itu lenyap. Yang tersisa hanyalah senyum samar yang menandakan ia tengah kebingungan.

    “Marco, demi Tuhan, lepaskanlah pistol itu. Kau tak perlu melukai siapapun. Ini bukanlah kewajibanmu, kawan. Bukanlah kewajibanmu untuk mengikuti orang lain yang ada di kepalamu,” ujar Johnny dengan suara rendah dan sejuk. Ia masih saja berusaha untuk menenangkan Marco.

    Pengacara itu merundukkan kepalanya, namun bidiknya masih terarah ke Brimwood walaupun sedikit bergetar. Sayup-sayup keheningan datang dari luar pintu tempat Marco Daffin berdiri. Dan ketika ia mendongak, matanya sudah penuh dengan peluh.

    “Apa yang kau rasakan, Marco? Apa yang kau rasakan?”

    “Aku bingung,” aku Marco, suaranya mulai samar tersedan. “Seseorang tolong selamatkan aku dari keraguan ini.”

    “Kepalamu tak akan menelan mentah-mentah apa yang kukatakan kepadamu tadi. Tapi jika memang benar ada keraguan di benakmu, gunakanlah keraguan itu untuk melawan bisikan yang ada dikepalamu. Lepaskanlah pistol itu, kau tak akan mengingat hal ini esok paginya—maka tak ada yang perlu kau sesalkan. Aku berjanji. Aku akan berjanji akan memulainya dari awal lagi esok harinya, esoknya lagi, dan kemudian esok harinya. Kau pasti sembuh suatu saat, kawan.”

    Ingus yang mencair meluncur dari hidungnya, dan Marco mengerahkan punggung tangan kanannya untuk menahan ingus itu. Sedang tangan kirinya makin kacau membidik Brimwood, ia mulai menangis.

    “Aku melihat ketakutan di matamu,” lirih Marco. “Apakah kau memandangku sebagai sebuah sosok yang perlu ditakutkan seperti ini?”

    Brimwood tersenyum. Entah mengapa senyum yang tak pernah ia sunggingkan selama bertahun-tahun, datang kepadanya begitu saja malam ini.

    “Aku pernah mendatangimu di lapangan hijau yang ada di Vichte City, dengan katapel yang ada di tanganmu. Kau mengatakan itu adalah katapel buatan ayahmu dan kau tak bisa diam tanpa menyakiti orang lain dengannya. Saat kau menyadari sesuatu yang salah, kau bertanya apakah aku takut padamu. Lalu aku mengatakan apa yang kurasakan padamu waktu itu, dengan segala kejujuran yang kumiliki walaupun itu memalukan untuk dikatakan. Aku tahu kau tak akan menyakitiku dengan benda itu, tapi kehadiran katapel itu membuat nyaliku benar-benar kecut. Kau tersenyum, seraya mengatakan terkadang kita memiliki kelemahan yang terkadang sulit untuk dikatakan kepada orang lain, tapi entah mengapa kita mengatakannya kepada orang yang kita percaya. Mungkin itulah alasannya, karena aku percaya padamu. Aku percaya bahwa kelemahanku akan aman bersamamu, dan kelemahanmu akan aman bersamaku. Aku mengatakan apa yang kupikirkan kepadamu, lalu kau berkomentar, itulah artinya persahabatan.”

    “Tapi ini bukanlah sebuah katapel!” seru Marco dengan dada yang mulai sesak dengan lirihnya sendiri. Ada kegusaran di benaknya, mungkin kegusaran itu datang dari dusta Ralph yang telah terbukti dengan penjelasan Brimwood. Marco mengalami Deja Vu dimana ia bertemu dengan Brimwood di lapangan hijau dengan katapel di tangannya. Itu adalah pengalaman yang berharga baginya, dimana sepatah kata yang membuktikan eksistensi persahabatan yang pernah dirasakan olehnya. Begitu juga dengan Deja Vu yang ia alami saat menatap mata Ralph: sebuah bukti tentang keberadaan hubungan darah yang ada di nadinya.

    “Aku tahu, kawan. Itulah yang membuatku takut padamu. Tapi aku percaya padamu, kau tak akan menyakitiku. Kuharap kau percaya padaku juga,” ujar Brimwood. “Turunkan dan lepaskanlah pistol itu, Marco. Demi persahabatan kita selama ini, lepaskanlah,” pintanya.

    Marco menurunkan bidikannya, meletakkan kembali palu revolver itu.

    “Ini tak akan berhenti,” lirih Marco, hampir berbisik. Matanya kini memandangi pistol revolver di tangannya, keraguan itu masih ada di matanya. “Aku tahu di kemudian hari aku akan berubah menjadi lebih mengerikan lagi, lebih dari ini. Dan ketika aku berubah kalap, tak ada yang bisa kulakukan selain merepotkan dan mengintimidasi kalian. Ini adalah siklus yang tak akan pernah berakhir. Aku tak akan pernah keluar dari hal ini.”

    “Tidak, Marco. Kau akan keluar dari sini. Berikan kami kesempatan sekali lagi! Sedalam apapun kau terjebak di dalam lubang, kami akan berusaha menggalinya dan mengeluarkanmu dari sana!”

    “Terlambat, John. Keraguan ini lebih menyakitkan daripada duri yang menusuk jantungku. Aku hanya tak sanggup jika menemukan diriku tak bisa keluar dari lingkaran yang menyakitkan ini,” ia kembali menarik palunya, menempelkan moncong pistol itu ke bawah dagunya. “Selamat tinggal, kawan!”

    “Jangan!” Brimwood langsung mengambil langkah yang sangat lebar, berlari ke arah Marco. Namun ia tahu ia tak akan memiliki cukup waktu. Menekan pelatuk dibutuhkan waktu kurang dari setengah detik untuk melakukannya!

    Namun sebelum Marco menghabisi nyawanya sendiri, sebuah jarum tipis menancap di pangkal lehernya. Benda itu membuatnya terbelalak, lupa pada pistol yang ada di tangannya. Sedetik kemudian, ia langsung pingsan dan Brimwood ada di sana saat tubuhnya terkulai lemah dan hampir saja terjerembab ke lantai.

    Di belakangnya berdiri seorang pria gemuk dengan sebuah suntikan obat sedatif yang memiliki efek cukup kuat untuk langsung membuat orang yang diinjeksi tertidur seketika. Brimwood tersenyum dan mengatakan terima kasih dalam hatinya karena pria gemuk itu telah menghentikan Marco tepat sebelum ia mengakhiri semua ini dengan cara yang paling memilukan.

    ***​

    “Baringkan ia perlahan,” ujar Malbourne dengan nafas yang terengah-engah. Di depannya, Brimwood tengah membaringkan bahu Marco perlahan di ranjangnya, sedangkan Malbourne sendiri meletakkan kaki pemuda itu.

    “Hari ini yang paling buruk,” sambil duduk di ranjang Marco, Malbourne mendesah seraya mengusap keringat di wajahnya yang berminyak. “Sedikit saja kita lengah dan semuanya akan berakhir begitu saja.”

    “Terima kasih kepadamu,” ujar Brimwood ramah. “Sedetik saja kau terlambat maka ia sudah tak bernyawa sekarang.”

    “Tidak, Johnny. Kaulah yang melakukan semuanya. Kaulah satu-satunya orang yang dapat menenangkannya. Bahkan Ralph sendiri percaya kau dapat melakukannya.”

    “Aku tak bisa melakukannya, Mal. Aku dapat menyelamatkan diriku tapi hampir membuatnya terbunuh.”

    “Jangan salahkan dirimu atas hal ini, oke? Kau tak boleh menjalani sisa hidupmu dengan rasa bersalah seperti itu.”

    Tiba-tiba, di dalam jeda yang cukup panjang, sebuah suara menyahut bersamaan dengan bangkitnya sebuah sosok berdarah.

    “Apa semuanya sudah berakhir?” Jack Louis, yang seharusnya mati, kini telah bangkit dari kematiannya.

    “Kau anak haram jadah!” umpat Brimwood. “Sampai kapan kau akan tidur di sana, b*jingan?”

    “Hei, jangan salahkan aku. Bagaimana jika ia membunuhmu dan tahu kalau aku tengah berpura-pura mati. Tentu saja nyawaku akan ikut melayang!”

    “Berengsek...” Brimwood hendak menerjang Louis yang tengah bermain tolol di ranjang berdarah (memang nampak pekat dan berbau amis, tapi darah tersebut tidaklah sungguhan), namun tangan gemuk Malbourne cepat mencegahnya.

    “Sudahlah, jangan seperti kekanak-kanakan macam itu,” ia menyuruh Marco diam di tempatnya, juga menyuruh Jack Louis membungkam mulutnya.

    “Ralph tadi meneleponku. Ia akan datang sebentar lagi dan akan menjelaskan semua kegilaan ini.”

    Brimwood kemudian mengambil napas panjang, kemudian ikut duduk kembali di sebelah Malbourne, menunggu Ralph untuk menunjukkan batang hidungnya.

    ***​

    “Sialan kau, Ralph! Siapa orang-orang itu?” tanya Malbourne terkejut sekaligus khawatir melihat Ralph Stanley baru saja keluar dari sebuah mobil biru yang terparkir di depan rumah sewaan itu setengah menit yang lalu.

    “Mereka polisi,” jawab Ralph, dengan perasaan bersalah. “Aku tak punya banyak waktu, masuklah. Mereka akan ada di sana memastikan aku tak pergi kemana-mana.”

    “Apa yang terjadi?”

    Psikiater itu terdiam sesaat. Sedang dari tirai kegelapan, dua pasang mata terlatih menatapnya lekat. “Marco merebut sebuah pistol dari seorang anak yang dibunuhnya tadi. Dua kawannya langsung melaporkannya ke polisi ketika mendengar dua kali suara letusan senjata api, dan sepuluh menit kemudian mereka menemukan mayatnya.”

    “Ya Tuhan!” seru Mal. “Itu menjelaskan mengapa ia membawa pistol kemari!”

    “Apa ada yang terluka?” cemas Ralph.

    “Tidak ada,” jawab pria gemuk itu. “Tetapi ia hampir membunuh dirinya sendiri.”

    Mendengar hal itu wajah Ralph langsung pucat pasi. Kacamatanya pun tak dapat menyembunyikan gumpalan peluh di matanya. Dengan cepat ia melangkah masuk ke dalam ruangan itu, mendapati dua pemuda yang tengah menunggunya di sana, dengan seorang pemuda lagi yang ia khawatirkan keselamatannya tengah tidur tenang di sebuah ranjang.

    “Syukurlah,” desah Ralph lega. Air matanya berlinang di wajahnya.

    “Semuanya berantakan, Ralph,” sesal Brimwood. “Beruntung Malbourne dapat menghentikannya.”

    Ralph mengangguk, kemudian ia menghampiri Marco, anaknya. Brimwood yang duduk di ranjang memberikan ruang kepada psikiater itu. Malbourne tidak langsung masuk, melainkan terdiam di ambang pintu, menatap kawan lamanya dari sana.

    “Ini semua kesalahanku,” lirih Ralph, ia mulai tersedu sedan. “Aku tahu semua ini akan berantakan dan aku membiarkannya begitu saja.”

    “Mengapa kau melakukannya, Ralph? Kau hampir membuat kami terbunuh!” protes Jack.

    “Ya Tuhan, Jack, bisakah kau diam? Kau tahu hari apa ini?”

    “Sabtu?”

    “Bukan itu maksudku, tolol! Ini adalah hari terakhir yang tertera di surat izin terapi Ralph. Ini adalah kesempatan terakhir kita, dan aku tahu Ralph tak ingin menyerah begitu saja!” kemudian Brimwood menatap Ralph yang hanyut dalam isak tangisnya. Ia memelankan suara. “Sejak tadi aku tak henti-hentinya menaruh diriku di dalam posisimu, Ralph. Sungguh sulit untuk merelakan kesempatan ini. Aku akan melakukan hal yang sama jika menjadi dirimu.”

    “Terima kasih, John,” lirih Ralph, kemudian ia terdiam sesaat. “Bisakah kalian meninggalkanku sendiri.”

    Jack dan Brimwood saling menatap satu sama lain. Saling berkomunikasi lewat tatapan mata sekilas, kemudian cepat mereka bangkit ketika suara Malbourne memanggil mereka keluar.

    Sejenak bola mata Ralph yang basah berbinar-binar. Telapak tangannya mengusap mesra kening Marco, menyapunya hingga ke ubun-ubun. Kini ia tengah berusaha menahan isak tangisnya.

    “Bagaimana harimu, nak?” tanyanya dengan nada yang lebih tegar daripada sebelumnya.

    Untuk sesaat tak ada jawaban. Anaknya hanya memejamkan matanya dengan cuping hidung yang kembang kempis menghirup dan menghembuskan udara.

    “Aku tak tahu. Menurutmu bagaimana hariku?” desah sebuah suara lemah dari sebuah mulut yang hampir tertutup rapat.

    “Kau selalu tahu aku sedang berusaha. Berusaha untuk membentuk hari-harimu. Tapi nampaknya sekarang adalah kesempatan terakhirku untuk mencoba. Mereka akan menarikku, mendekamku, dan mencampakkanku dari dunia luar. Itu adalah konsekuensi yang harus kuterima jika sesuatu yang salah terjadi. Aku sudah berjanji kepada mereka tentang sebuah jaminan, dan mereka menuntut sebuah tanggung jawab. Dan sepertinya hari inilah tepatnya aku harus bertanggung jawab.”

    Seberapa pun Ralph mencoba, sedunya tetap saja meledak. Masih banyak kata-kata yang ia ingin curahkan di kesempatan terakhir ini, namun kesedihan telah menjauhkannya. Lebih jauh dari jeruji besi membentangkan dunia luar darinya.

    “Mengapa kau menangis, yah?” igau Marco. Sepertinya alam bawah sadar lebih peka terhadap kenyataan daripada kesadarannya sendiri. Itulah yang membuat Ralph lebih terasa dekat dengannya. Walaupun begitu, Ralph Stanley menginginkan hal yang lebih. Sesuatu yang lebih nyata, bisa digenggam, dan bisa untuk dikenang. Ia menginginkan anaknya sehat, dengan kerja kerasnya sendiri. Akan tetapi ia tahu bayangan itu telah hancur bersamaan dengan tangisnya ini.

    “Mereka ... mereka akan membawamu, nak. Mereka akan membawamu jauh dariku. Dimana mereka akan jarum suntik dan sebuah aktifitas repetitif adalah sebuah rutinitas. Oh Tuhan, kuharap mereka tahu apa yang mereka lakukan pada anakku.”
     
    Last edited: Jul 2, 2013
  6. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +922 / -0
    “KEMANA kau akan pergi, John?” tanya pria yang tengah sakit di ranjangnya.

    “Aku akan menjenguk iparku yang tengah dipenjara,” jawab Marco—yang pagi hari ini mengira dirinya Brimwood lagi—sambil mengusap wajahnya dengan handuk kecil. Ia berjalan ke arah lemarinya, dan terheran ketika mendapati dua pakaian yang ia dapat kenakan: setelan jas berwarna krem dan sebuah jaket kulit.

    “Jack, apa jas ini punyamu?” tanyanya sambil meraba-raba permukaan kainnya yang halus, berwarna krem. Sangat cocok untuk kulitnya, sebenarnya.

    Jack tahu kalimat ini. “Itu punya kawanku,” jawabnya. Tentu ia tak berdusta, sebab Marco memang kawannya, dan jas itu memang milik Marco. “Kemarin ia datang kemari untuk menitipnya di sini sebentar, sebab mertuanya tengah menginap di rumahnya dan ia tahu sang mertua sangat sensitif dengan jas mahal seperti itu.” Kini ia baru berdusta.

    Marco hanya mengernyitkan bibirnya, sambil menilai jas tersebut. “Kawanmu benar-benar memiliki selera yang bagus,” pujinya, sambil mengambil jaket kulit yang tergantung di dalam lemari itu.

    “Begitulah. Hei, aku tak tahu kau punya saudara ipar, siapa namanya?” tanya Jack.

    “Marco Daffin,” jawab Marco cepat. Ia merasa dongkol menyebut namanya itu, sebab ia tak tahu jika ia menyebut namanya sendiri.

    “Apakah ia tipe ipar yang tak-akan-berbagi-denganmu? Kau kelihatan kesal padanya.”

    “Tidak, kawan. Ia adalah tipe ipar yang akan-membunuhmu-jika-kau-macam-macam-dengannya. Ia adalah salah satu dari orang-orang yang mereka sebut pembunuh psikopat. B*jingan tengik, aku selalu berharap adikku tidak menikah dengannya.”

    “Maka aku harus berterima kasih padamu,” sahut Jack Louis.

    “Untuk apa?”

    “Mengalihkan mimpi burukku menjadi mimpi burukmu, John.”

    Marco mengeluarkan napas pendek, tertawa sesaat. “Tidak kawan. Ia bukanlah bagian dari mimpi buruk. Sebab aku tak pernah bertemu dengannya di mimpi. Bahkan bermimpi pun aku tak pernah.”

    Ia kemudian terdiam. Matanya tak sengaja menatap kaca hitam lebar di dinding, sedang Jack hanya berbicara sendiri di latarnya. Tak sengaja benaknya menebak-nebak ruang di seberang. Ada apakah gerangan di dalam sana?

    Sebenarnya, ada dua pria yang mengintipnya dari ruangan itu. Sebuah radio di sana terhubung dengan radio di kamar Marco. Salah seorang yang lebih muda, menyalakan bara rokoknya.

    “Berapa lama waktu yang kita punya?” tanya Brimwood. Ia tak khawatir bersuara keras di ruangan itu. Dari ruang gelap itu, nampak jelas Marco berdiri. Dan juga suaranya, tak akan bocor ke ruangan sebelah kecuali jika ia menekan tombol di radionya.

    “Entahlah. Dua jam. Tiga jam paling lama sebelum mereka menjemput Marco,” jawab Mal dengan suara datar, matanya tak lepas dari mata Marco yang terarah ke tempat mereka.

    Brimwood mendesah. “Kuharap Ralph menerima bingkisan kita dengan sukacita. Aku tak ingin mendengar kabar sedih dari pria malang itu.”

    “Ya. Kuharap juga begitu,” Malbourne tertegun sesaat, kemudian menghirup cangkir kopinya. “Kau tahu, Johnny, ada tiga mimpi yang sebenarnya pernah dialami oleh umat manusia.”

    Sebuah topik basa-basi, pikir John Brimwood. Ia tahu hal ini tak ada hubungannya dengan penyakit Marco. Sebab bergumam di waktu senggang adalah kebiasaan pria gemuk itu.

    “Mimpi yang pertama adalah mimpi yang kau alami ketika kau tertidur,” ia menjawab pertanyaannya sendiri saat tak mendapati suara yang menjawabnya, berpura-pura Brimwood tengah mendengarkannya dan ia sama sekali tak merasa dongkol akan hal itu. “Yang kedua, adalah mimpi yang kau alami ketika kau tengah berada di antara tertidur dan terjaga. Mereka sering menyebutnya The Twilight Zone. Nama yang cukup unik menurutku sebab serial TV favoritku memiliki nama yang sama.

    “Dan yang ketiga, mimpi yang kau alami saat kau terjaga. Mimpi yang paling mengerikan ketika kau tak bisa keluar darinya. Dan aku prihatin kepada kawan kita yang mengalaminya. Jujur, setiap doa yang kupanjatkan kepada Tuhan adalah meminta kesembuhannya. Sebab aku tak tega melihat Ralph menjalani sisa hidupnya dengan dukacita yang pelik, menderita ketika melihat anaknya terjebak dalam mimpi itu.”

    ***​

    Seorang pria gemuk dan berpostur tubuh pendek membuka kunci jeruji besi Ralph. Di balik seragam dan lencananya, suaranya terdengar berat.

    “Bangunlah, Ralph. Marco mengunjungimu.”

    “Marco?” Ralph yang baru saja terbangun dari ranjang besi, langsung mengusap matanya. Walaupun masih asing, pria itu berusaha terbiasa dengan ruang kecil di balik jeruji dengan ranjang yang menggantung dengan dua rantai di sudut kiri dan kanan yang terikat kuat ke dinding. Setelah menggeliat sesaat, ia mengenakan sepatu murahnya dan berjalan ke arah polisi gemuk itu.

    “Ya. Aku tak tahu apakah kalian masih memiliki izin untuk itu, tapi kurasa aku harus memberikanmu kesempatan untuk bertemu dengan anakmu untuk yang terakhir kalinya. Kau pria yang baik, Ralph. Dan kau pantas menerimanya.”

    Dari balik kacamatanya, tatapan sejuk Ralph sungguh berterima kasih. Kemudian, seakan mengerti betul makna tatapan tersebut, sang polisi membalasnya dengan sebuah anggukan. Mereka adalah kawan lama dan saling mengenal satu sama lain. Ralph sungguh beruntung memiliki satu kawan di kepolisian. Sungguh membuat hatinya meleleh lega mendapat kesempatan yang mungkin saja tak akan bisa diterimanya, untuk semasa sisa hidupnya.

    “Cepatlah. Sebelum mereka membesar-besarkan masalah ini,” ujar polisi itu dengan nada memerintah. Kemudian mereka keluar ruang tahanan, dan menyusuri lorong yang sepi. Polisi gemuk tersebut menoleh kanan kiri, di pagi hari kantor polisi tersebut masih lenggang benar.

    Mereka berhenti di ujung koridor. Polisi itu membuka pintunya, kemudian mereka masuk ke ruang pengunjung. Ruangan itu masih terbagi menjadi dua bagian yang terpisah dengan sebuah sekat kaca. Di setiap sisi sekat, berbaris kursi yang ditutup oleh papan bilik. Marco duduk di salah satu kursi di sisi lainnya.

    Ralph tersenyum melihat anaknya datang mengunjunginya. Bahkan ia hampir menangis di sana.

    “Marco Daffin?” suara Marco yang penuh dengan tanda tanya langsung menyerbu tepat ketika Ralph menempelkan telepon ke telinganya. Telepon tersebut, terhubung dengan telepon lainnya di sisi seberang. Dengan telepon itulah mereka berkomunikasi.

    “Ya. Aku Marco Daffin,” jawab Ralph sembari menyunggingkan senyumnya.

    Marco mulai tersenyum canggung. Ada sedikit kedongkolan yang tersirat di senyum itu.

    “Aku tahu kau bukan Marco Daffin. Dimana Marco Daffin?”

    “Oh ya? Darimana kau tahu aku bukan Marco Daffin? Pernahkah kau melihat wajahku sebelumnya? Pernahkah kau mendengar kabar bagaimana rupaku sebelumnya? Pernahkah kau mendengar berapa usiaku sebelumnya?”

    Marco terdiam. Kini senyumnya hilang. Mungkin di kepalanya, seribu utas tali saling melilit dan kerukut tak keruan. Ia berusaha menjawab pertanyaan Ralph, namun tak ada bayangan akan kata apa yang harus ia ucapkan.

    Ia mengenal persis pria itu. Entah siapa, tetapi wajah tersebut ada di benaknya. Ia hanya tak bisa mengingat. Tapi yang pasti, pria tua itu bukanlah Marco Daffin.

    “Kau lihat, nak? Kau tak akan menemukan jawabannya di kepalamu, sebab ada satu Marco Daffin di kepalamu, dan nama itu terkunci benar di sebuah peti yang dalam. Peti tersebut, hanya dapat terbuka untuk selama-lamanya jika kau benar-benar terbangun. Jika kau membukanya tanpa kunci yang benar, peti tersebut hanya akan tertutup keesokan harinya.”

    “Aku tak mengerti apa yang kau katakan,” aku Marco. Kepalanya benar-benar seperti kepala pecah sekarang. Pening serasa membelah otaknya menjadi dua bagian. “Demi Tuhan, jangan bertele-tele dan langsung saja katakan siapa kau dan mengapa mereka membawakanmu ketimbang Marco Daffin?”

    Ralph terdiam sesaat. Menatap dalam mata Marco. Sayang sekali pemuda itu tak menatap matanya balik, dan menyadari Deja Vu yang akan membawanya pulang ke sisi ayahnya. Ralph sungguh menyesalkan hal itu.

    “Apa kau percaya pada nasib, nak?”

    “Apa yang—“

    “Jawablah!” tegas Ralph. “Aku akan memberitahukanmu dimana kau dapat menemukan Marco Daffin setelah kau menjawab pertanyaanku.”

    Marco mendesah pasrah. Ia bertopang dahi, seraya menatap mata Ralph lekat-lekat.

    Ia langsung menangkap pengelihatan sekilas yang membuat matanya berbinar-binar. Ia sendiri bingung dengan tangkapannya tersebut.

    “Aku tidak tahu,” jawab Marco.

    “Tidak, itu bukanlah jawabanmu,” tegas Ralph, seakan-akan ia tahu kemana perbincangan ini akan berlanjut. “Tapi aku ingin mendengar alasanmu.”

    “Aku bukanlah seorang idealis namun di sisi yang lain aku tak ingin terus terjebak dalam masa kini. Itu saja.”

    “Tidak, nak. Itu bukanlah alasan yang sesungguhnya. Itu adalah alasan yang ingin kau katakan pada dirimu sendiri. Aku ingin kau menjawab sesuai instingmu. Jawaban apa yang pertama kali terlintas di kepalamu?”

    Marco tertegun. Matanya mulai berkaca-kaca, mungkin karena kenangan lama yang kembali lagi kepadanya.

    “Ya. Aku percaya pada nasib.”

    “Mengapa?”

    “Aku tak tahu. Kau bilang jawaban yang pertama kali terlintas di kepalaku. Dan ia tak datang bersamaan dengan alasannya.”

    Ralph tersenyum, dan Marco menyadari air mata yang sama dengan matanya di balik kacamata itu. “Kau bukannya tak tahu, tapi kau belum dapat mengetahuinya. Sebenarnya alasannya sudah ada di kepalamu. Dan seperti yang kukatakan tadi, alasan tersebut terbaring bersamaan dengan Marco Daffin di peti yang tersimpan aman.

    “Percayalah, nak. Kelak kau akan menemukan kunci yang tepat untuk membuka peti tersebut. Dan alasan mengapa kau tak ingin terjebak di masa kini, karena jauh di dalam kesadaranmu, dimana kau sendiri tak dapat menggapainya, ada sebuah doktrin yang mengatakan bahwa kau hidup bukan pada ceritamu sendiri. Kau menjalani cerita lain yang dibuat oleh kepalamu, dan kau telah menjalani lebih dari seribu cerita di pergantian harinya. Tapi, ada satu cerita yang pernah kau jalani, dan akan kau jalani kembali ketika kau membuka peti misterius yang ada di bawah kesadaranmu. Cerita yang akan mengungkap siapa Marco Daffin bagimu, untuk selama-lamanya.

    “Itulah alasannya mengapa kau percaya pada nasib. Karena secara tak sadar kau berharap akan membuka peti tersebut dengan kunci yang benar di masa mendatang.”

    Entah sadar atau tidak, kau percaya akan masa depan yang lebih baik, nak.

    “Dan jika kau sudah membuka peti tersebut dengan kunci yang benar,” lanjut Ralph, dengan air mata yang sudah tumpah di balik kaca matanya, “tolong kau datang lagi kemari dan ajaklah Marco Daffin bersamamu.”

    Ralph langsung menutup percakapan tersebut, menikmati kebingungan anaknya dengan mengurai sebuah senyum yang menentramkan.

    TAMAT​
     
    Last edited: Jul 2, 2013
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.