1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen The Memories

Discussion in 'Fiction' started by debridementist, Jun 21, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Permisi suhu...
    Ane numpang posting salah satu cerpen ane yang udah lama tersimpan rapi di laptop ane (sekitar 3 tahun yang lalu)
    Walaupun ceritanya fiksi namun based on true story (my own story)
    Mohon dibaca yah suhu-suhu...
    Ane juga menantikan komentar & kritikannya

    - The Memories -

    Suasana begitu ramai.
    Sepanjang yang aku lihat, dipenuhi oleh lautan manusia.
    Beberapa dari mereka tampak sedang bergegas menuju destinasinya. Seorang pria berumur sekitar 30 tahun, berparas cukup tampan dan berbadan tegak, terlihat sedang menyeret kopernya yang berukuran sedang di depanku. Pria itu mengenakan kemeja pantai berwarna kuning cerah yang dikombinasikan dengan celana pendek berbahan kain bermotif kotak-kotak putih-kuning. Sepintas ia melihat ke arah papan penunjuk jalan dan kembali melanjutkan perjalanannya. Tak memerlukan waktu yang lama sampai akhirnya ia menghilang di tengah-tengah kerumuman orang.
    Aku menghela nafas.
    Lalu membetulkan ranselku yang berukuran cukup besar.
    Kemudian melangkahkan kedua kakiku dengan kecepatan pelan.
    Mencoba menikmati pemandangan manusia disekitarku. Melihat mereka berinteraksi dengan kegiatan masing-masing, cukup untuk membuatku sedikit tersenyum atau menaikkan kedua alis mataku.
    Tampak sebuah keluarga sedang menikmati makan siangnya di salah satu restoran siap saji yang berada di sebelah kiriku. Seorang anak laki-laki yang diperkirakan berumur sekitar 7-8 tahun terlihat sedang dimarahi oleh ibunya akibat menjatuhkan minuman sodanya. Sedangkan sang bapak mengucapkan sesuatu kepada istrinya yang dibalas dengan tatapan jengkel sang istri. Sang bapak pun kembali melanjutkan aktifitasnya dengan menyuapi anak perempuannya yang berumur sekitar 5-6 tahun.
    Aku sedikit termenung.
    Sebuah kenangan kembali berputar diingatanku.
    Kenangan yang terjadi setahun yang lalu. Di tempat yang sama dan di restoran yang sama. Bahkan kejadiannya hampir menyerupai kejadian yang dialami oleh keluarga itu.

    ***​

    “Sudah aku bilang berapa kali sih, kalau mau mengerjakan sesuatu tuh hati-hati !”, omel seorang wanita kepadaku sambil sibuk mengeringkan tumpahan minuman soda di atas meja akibat kecerobohanku dengan beberapa tissue.
    Aku hanya senyum cengengesan dan mencoba membantu wanita itu.
    Sang wanita mendelik ke arahku, “hentikan senyumanmu itu... terlihat seperti orang bodoh tahu tidak sih...”. Ia tetap mengomeliku sambil terus melakukan kegiatannya itu. Setelah dirasakannya cukup kering, ia memanggil pramusaji untuk mengelapnya dengan kain basah agar tidak lengket.
    “Haduh... kamu tuh yah... sudah tua tapi kelakuannya masih seperti anak kecil...”, lanjutnya menatapku lekat-lekat setelah pramusaji melakukan tugasnya dan meninggalkan kami berdua.
    Aku masih tersenyum kecut.
    Entah kenapa, wajah wanita itu terlihat beribu-ribu kali lebih cantik ketika sedang marah. Aku sudah pernah beberapa kali mengatakannya tapi ia tak pernah menganggapnya serius. Oleh karena itu, setiap kali ia marah akibat tingkahku atau kecerobohanku, aku malah merasa tambah gemas terhadapnya. Mungkin bisa dianggap sebuah kelainan, tapi telah menjadi semacam adiksi bagiku melihatnya marah terhadapku. Aku dengan senang hati melakukan beberapa tingkah konyol dan kecerobohan yang membuatnya naik pitam.
    Selanjutnya, aku bisa menikmati pemandangan indah itu sepuas hatiku.
    “Kamu cantik...”, gumamku terlontar begitu saja dari bibirku.
    Sang wanita terdiam kemudian menatapku dengan pandangan tak percaya.
    “Jangan harap rayuan gombalmu itu mempan terhadapku !”, sahutnya namun dengan kedua pipi terlihat mulai merona merah.
    Senyumanku mengembang.
    “Aku tidak sedang mencoba merayumu...”.
    “Tidak usah menghidar... kamu baru saja melakukannya”, lanjutnya sambil mengambil sepotong kentang goreng dan menggigitnya. Aku tahu. Ia melakukan itu untuk menutupi salah tingkahnya.
    Aku pun menggenggam tangan kirinya yang bebas di atas meja dengan lembut.
    “Dengarkan aku, sayang... “, gumamku lembut. Tatapan wanita itu bergantian antara aku dengan tangannya yang digenggam olehku.
    “Aku tak tak tahu harus berbuat apa untuk menyakinkanmu. Tapi ketika kau mengrenyitkan kedua alis dan keningmu, atau menajamkan tatapanmu ke aku, atau cara kamu mengembungkan kedua pipimu saat kamu sedang mengomel, itu membuatmu beribu-ribu kali lebih cantik dari pada biasanya. Percayalah...”, aku mengakhirinya dengan senyuman tulusku.
    Wanita itu menarik tangannya dan mengambil gelas minuman sodanya yang masih utuh. Kemudian menegaknya hingga setengah. Rona merah yang telah menghiasi kedua pipinya kini memenuhi kedua telinganya.
    “Gombal !”, sahutnya namun dengan suara yang lemah.
    Aku menyenderkan tubuhku pada sandaran kursi. Tatapanku tak teralihkan dari makhluk cantik di hadapanku ini. “No, i don’t...”.
    “Yes, you are...”.
    “Trust me... you are the most beautiful woman in the world. Even when you’re angry with me...”.
    “Jadi kamu berharap kalau aku terus memarahimu ?”.
    Aku pun menggeleng sambil tertawa lepas.
    Beberapa orang yang berada di sekitar kami langsung menatpku dengan tatapan ingin tahu.
    “Yang kuharapkan adalah dirimu sepenuhnya...”, ujarku sambil bangkit dari tempat dudukku.
    “Mau kemana ?”, tanyanya dengan tatapan yang mengikuti gerakanku.
    “Aku mau beli minuman lagi. Mau nitip ?”.
    Wanita itu menggeleng.
    “Aku harap kamu tidak menjatuhkannya lagi...”, sahutnya.
    Aku tersenyum kecut sambil berlalu ke meja pemesanan.


    ***​

    Sebuah pengumuman yang berasal dari pengeras suara menyadarkanku dari lamunanku. Mengembalikan diriku ke dunia nyata. Dunia sesungguhnya di mana jiwa dan ragaku hidup di dalamnya. Bukan hanya kenanganku.
    Entah sudah berapa puluh orang yang berlalu lalang melewati diriku yang berdiri diam mematung. Beberapa dari mereka ada yang menatapku dengan pandangan heran. Selebihnya hanya berlalu dengan acuhnya. Aku pun kembali melanjutkan langkahku menuju ke pelantaran parkir bandara.
    Sebelumnya aku menyempatkan diri untuk melihat keluarga itu untuk terakhir kalinya. Kini sang istri dan anak laki-laki mereka tengah sibuk menikmati makanan mereka. Sedangkan sang ayah masih sibuk menyuapi anak perempuannya.
    Aku melirik jam tangan yang tersematkan di pergelangan tangan kiriku. Waktu menunjukkan pukul 13:20 WITA. Aku pun mempercepat langkah kakiku. Berharap kalau temanku yang telah menyediakan waktunya untuk menjemputku tidak menungguku terlalu lama. Dengan langkah yang sedikit terburu-buru, aku melewati serangkaian toko souvenir yang terdapat di sebelah kananku. Beberapa penjaga toko mencoba untuk menawarkan barang dagangannya kepadaku. Aku pun menolaknya sambil melirik ke arah mereka dan tersenyum kecil kepada mereka sampai tiba-tiba seseorang menabrakku dari arah depan.
    “Aduh !”, terdengar pemilik suara orang yang menabrakku.
    Suara wanita.
    Aku terkejut untuk beberapa saat. Ditambah ketika aku merasakan cairan panas memenuhi kaosku di bagian dada. Aku pun mundur beberapa langkah sambil mengusap-usap kaosku dengan kedua tanganku. Berharap kalau, apapun cairan itu, tidak merembas terlalu banyak ke dalam kaos. Sedangkan mulutku sibuk meniup-niupkan udara agar dadaku tidak terasa terlalu terasa panas.
    Tapi tampaknya cukup telat.
    Ada noda hitam yang cukup lebar di kaos putih polosku.
    Sepertinya noda kopi.
    Aku pun menatap wanita yang berada di hadapanku.
    “Maaf... kamu tidak apa-apa ?”, tanyaku yang masih belum yakin apakah aku yang menabraknya apa dia yang menabrakku.
    Wanita itu membalas tatapanku dengan tatapan panik dan merasa bersalah.
    “Aduh, mas... maafkan saya, mas... saya benar-benar minta maaf...”, sahutnya terburu-buru sambil berusaha mengeluarkan sesuatu dari tas jinjingnya.
    “Tak apa-apa kok...”, gumamku sambil kembali mengusap-usapkan noda di kaosku. Berharap kalau noda itu memudar namun sepertinya tindakanku sia-sia. Tanpa basa-basi, wanita itu segera membantuku mengeringkan kaosku dengan sapu tangannya yang baru saja dikeluarkannya dari tas jinjingnya.
    “Maafkan saya yah, mas... sungguh, saya benar-benar tak sengaja...”, tambahnya masih dengan nada yang terburu-buru. Mungkin ia takut kalau aku memarahinya.
    “Sudah-sudah, mbak. Tak apa-apa kok...”, ujarku mencoba menenangkan wanita itu dan membuat gestur dengan tanganku agar dia menghentikan aktifitasnya.
    Wanita itu berhenti mengelap kaosku dengan sapu tangannya.
    Kini ia menatapku.
    Masih dengan tatapan rasa bersalahnya.
    “benar tidak apa-apa, mas ?”, tanyanya menyakinkan. Wanita itu mengrenyitkan dahinya dan menggigit bibir bawahnya. Entah kenapa ekspresinya itu mengingatkanku kepada seseorang. Seseorang yang memiliki ekspresi yang sama dengan wanita itu ketika ia merasa bersalah.
    Aku tersenyum kecil kepadanya.
    “Percayalah... aku tidak apa-apa. Satu-satunya yang apa-apa itu ya kaosku ini...”, sahutku berusaha melontarkan lelucon agar wanita itu sedikit bisa merasa tenang.
    Pandangan wanita itu beralih dari wajahku ke kaosku lalu kembali ke wajahku.
    “Saya benar-benar minta maaf, mas... saya tadi terburu-buru untuk menjemput temanku yang dari tadi sudah menungguku...”, lanjutnya menjelaskan. Namun kini ia terlihat lebih tenang ketika tahu aku tidak memarahinya.
    Aku mengangguk mengerti.
    “Ya... baiklah... aku mengerti...”, gumamku sambil mencoba mengamati wajah wanita itu. Cukup cantik menurutku. Kemungkinan usianya sekitar 23-24 tahun. Aku menyukai rambut hitamnya yang panjang dan dibiarkan tergerai bebas serta kedua bola matanya yang berwarna cokelat muda. Terlihat indah dan mententramkan ketika dikombinasikan dengan kulit sawo matangnya yang eksotik. Terlihat halus dan sangat terawat.
    “Sepertinya aku harus mengganti bajuku...”, ujarku lagi.
    Wanita itu mengangguk setuju. “Iya, mas... pasti terasa lengket. Soalnya tadi aku cukup banyak menaburkan gula kedalamnya...”.
    Aku tersenyum kecut.
    “Baiklah... kalau begitu aku ke toilet dulu. Kamu juga harus menjemput temanmu, bukan ?”, kataku akhirnya. Wanita itu kembali mengangguk. “Ah, iya mas...”, beonya. “Sekali lagi... saya benar-benar minta maaf...”.
    “Iya... sudah dimaafkan dari tadi, kok...”.
    Entah kenapa tiba-tiba kami sama-sama tertawa ketika aku selesai mengatakannya.
    Kami pun berpisah menuju arah yang berlawanan. Wanita itu kembali melanjutkan perjalanannya dengan tergesa-gesa. Sepertinya temannya sudah menunggunya cukup lama. Aku pun melanjutkan perjalananku menuju toilet ketika wanita itu menghilang di antara kerumuman orang.
    Kopi yah...

    ***​

    “Yaaaang... kopinya sudah jadi apa belum ?”, tanyaku tanpa sedikitpun mengalihkan perhatian dari televisi di hadapanku yang kini sedang menyiarkan berita tentang demo kenaikan BBM.
    “Tolong sabar sedikit yah... bisa kan !?”, sahut suara seorang wanita dari arah dapur yang terdengar cukup keras sampai ruang keluarga tempat aku berada saat ini. Senyumanku pun melebar. Membayangkan ekspresi wajahnya saat ini.
    Aku pun mengambil remote control dari meja di depanku lalu beberapa kali mengganti channel televisi. Berusaha mencari acara yang cukup menghibur bagiku.
    Aku segera menghentikan pencarian ketika sampai di salah satu channel televisi yang sedang menayangkan acara kartun favoriteku. Lalu menikmatinya sambil beberapa kali tertawa akibat tingkah tokoh kartunnya yang cukup lucu bagiku.
    Tak lama kemudian seorang wanita datang dari arah dapur. Membawa secangkir kopi yang digenggam oleh tangan kanannya. Ia pun menyerahkan cangkir kopi itu padaku.
    “Terima kasih, ya...”, gumamku sambil menatapnya dan menerima cangkir kopi itu. Aroma kopi kegemaranku langsung tercium oleh hidungku. Begitu wangi dan menggoda selera. Aku pun menyeruputnya dan menikmatinya ketika cairan kopi itu memenuhi rongga mulutku dan masuk ke dalam kerongkonganku.
    Wanita itu memperhatikan tingkahku sambil duduk di samping kananku.
    “Aku heran deh... kenapa sih kamu begitu menyukai kopi ?”, tanyanya penuh selidik.
    Aku meliriknya sembari menaruh cangkir kopi itu di meja di depanku. “A Simple answer... because it have a great taste...”.
    Wanita itu mengangkat kedua alisnya. Aku tahu kalau jawabanku tak cukup kuat untuk memenuhi rasa penasarannya. “Still... i don’t get it...”, gumamnya sambil menyenderkan tubuhnya di sofa berwarna gading yang terasa sangat empuk dan nyaman.
    “Jangan dipahami... tapi dirasakan...”, sahutku kembali menyeruput kopi itu.
    Wanita itu menghela nafas. Tanda menyerah. Ia selalu melakukannya apa bila menyerah atau mengalah bila sedang berdebat denganku.
    Dan...
    Wanita itu mendelik ke arahku.
    Yup... aku sudah hafal dengan semua tingkah lakunya dan kebiasaan ekspresinya.
    “Sejujurnya, aku tak masalah dengan kegemaranmu minum kopi... tapi bisa tidak untuk tidak merepotkanku membuatkan kopi untukmu !”, gerutunya.
    Senyumanku melebar.
    Ekspresi yang sangat menggemaskan.
    “Lalu... siapa lagi yang harus kupinta untuk membuatkan kopi untukku ?”.
    “Kamu bisa membelinya ! sudah banyak kan gerai kopi yang kualitasnya sudah diakui di seluruh dunia...”, sahutnya.
    Aku menggeleng-geleng.
    Kembali menyeruput kopi sebelum membalas perkataan wanita itu.
    “Mahal...”, kataku sekenanya.
    “Alasan... kamu pasti memintaku untuk membayarnya !”.
    Aku pun tertawa lebar. Cukup keras suara tawaku sehingga menggema di seluruh ruangan yang cukup luas namun saat ini hanya ada kami berdua di ruangan ini. Wanita itu menatapku dengan pandangan heran.
    Aku kembali menatapnya lekat-lekat.
    “Aku tahu itu... harus kuakui, cukup banyak gerai kopi dengan berbagai merek ternama yang kualitasnya tak perlu diragukan lagi. Bahkan cukup untuk menaikkan gengsi apa bila kita membeli produk kopi itu...”, jelasku terhenti sebentar untuk menyeruput kopi kembali. “Tapi percayalah padaku... tak ada satu pun kopi di dunia ini yang selezat dan senikmat kopi buatanmu...”.
    Wanita itu melengos.
    “Gombal !”.
    Senyumanku melebar.
    Aku pun melingkarkan tangan kananku dan menyentuh pundak kanannya dengan lembut. Lalu menarik tubuhnya untuk menyender di pundak kananku. Wanita itu segera mencari posisi yang nyaman di tubuhku. Pilihannya jatuh ketika ia menyenderkan kepalanya di dadaku. Kini kedua tangannya memeluk tubuhku.
    Sedangkan aku menyenderkan pipiku di kepalanya.
    “Aku tak sedang menggombal. Apakah aku pernah menggombal kepadamu ?”.
    Wanita itu mengangguk. Gesekan rambutnya terhadap dadaku cukup menggelitikku.
    “Ya... bukan pernah lagi... kau selalu menggombal di setiap kesempatan...”, jawabnya setengah berbisik.
    Aku kembali tertawa.
    “Tapi percayalah... menurutku, kopi buatanmu adalah kopi terbaik yang pernah kunikmati sepanjang hidupku. Logikanya, aku tak akan pernah memintamu untuk terus membuatkannya kalau rasa kopi buatanmu aneh...”.
    Wanita itu tertawa kecil.
    “Aku percaya dengan sesuatu hal kecil yang sering diremehkan oleh banyak orang namun sebenarnya hal kecil itu begitu indah bila orang menyadarinya...”.
    “And... what is that ?”.
    “Bila aku pergi ke gerai kopi, mereka membuatkan aku kopi karena aku telah membayarnya. Tapi kau membuatkan aku kopi karena kau mencintai dan menyayangiku. Cinta dan rasa kasih sayang lah yang telah membuat rasa kopi itu jauh lebih nikmat dibandingkan kopi berkualitas tinggi yang dijual di gerai kopi manapun...”.
    Wanita itu tertawa ketika aku selesai mengatakannya.
    “Ge’er kamu ! aku membuatnya karena aku terpaksa...”, lanjut wanita itu setelah selesai tertawa.
    “Terpaksa saja terasa nikmat apa lagi ikhlas...”, sahutku.
    Kami pun sama-sama tertawa.


    ***​

    Sosok seorang pria berperawakan kurus namun cukup tinggi telah memasuki medan penglihatan kedua mataku. Pria itu terlihat sedang celingak-celinguk mencari sesuatu. Di sampingnya terdapat papan iklan setinggi dada orang dewasa. Papan iklan yang berisikan foto sebuah hotel bintang lima yang cukup terkenal di Bali. Lengkap dengan promosinya, dan terlihat cukup menyakinkan.
    Aku pun bergegas menghampiri pria itu.
    “Menunggu lama, Bim ?”, tanyaku ketika berada sudah cukup dekat dengannya. Pria yang bernama Bima itu segera menatapku dan tersenyum riang. “Ah ! akhirnya kau kutemukan juga... kukira kau tersesat...”, jawabnya.
    Kami pun saling berjabat tangan dan berpelukan.
    “Harus kukoreksi, aku yang menemukanmu...”, ujarku.
    Bima tertawa. “Ya lumayanlah... sekitar setengah jam aku menunggumu di sini. Aku tak berani pindah tempat dari sini. Takut kita saling pas-pasan di jalan...”, lanjut Bima dengan logat Bali yang kental.
    Aku mengangguk.
    “Yah... thanks anyway... sudah meluangkan waktumu untuk menjemputku...”.
    “You are welcome my, friend... that’s what friend are for...”.
    Kami pun sama-sama tertawa.
    Bima pun menginspeksi diriku selepasnya tertawa. “Hanya itu saja bawaanmu ?”, tanyanya sambil menunjuk tas ranselku. Aku mengangguk. “Aku tak akan lama disini... besok sore aku harus kembali ke Jakarta. Bos tak mengizinkan aku meninggalkan pekerjaan di hari Senin...”, jawabku menjelaskan.
    Bima pun mengangguk mengerti.
    “Baiklah... Lalu ?”, tanyanya lagi sambil menatapku dengan pandangan meminta pendapat.
    “Kurasa sebaiknya aku bergegas ke hotel. Mengistirahatkan tubuhku sejenak sebelum kelilig-keliling Bali...”, sahutku.
    Bima kembali mengangguk.
    “Yup, untuk itulah aku di sini menjemputmu kan ? Baiklah, parkiran mobilku tak jauh dari sini. Dan yah kuharap kau tak keberatan berpanas-panasan sejenak. Asal kau tahu, sudah beberapa bulan terakhir Bali cukup panas. Tampaknya musim kemarau telah tiba. Cukup menjengkelkan memang. Tapi bagi turis, ini merupakan suatu berkah...”, ujar Bima sambil menuntunku menuju tempat parkir mobilnya.
    “Tentu saja... pantai identik dengan musim panas...”, ujarku sembari mengikuti langkah Bima. Kami berjalan berdampingan. Bima lebih tinggi beberapa centimeter dariku. Hari ini ia mengenakan kemeja lengan panjang bermotif garis-garis hitam-putih vertical yang dikombinasikan dengan celana bahan hitam serta sepatu fantovel. Tampaknya ia sempat ke kantornya terlebih dahulu sebelum menjemputku. Kulitnya terlihat hitam akibat terbakar oleh matahari. Sedangkan rambut hitamnya yang dipotong cepak, mempertegas kemaskulinannya.
    Bima ada sahabat semasa kuliahku dulu.
    Dia tipe teman yang bisa diandalkan di dalam berbagai situasi.
    Dari masalah ekonomi, akademik, bahkan sampai masalah asmara.
    Ah, yah...
    Asmara...

    ***​

    “Nih perkenalkan...”, ujar Bima sambil menunjuk seorang wanita di sebelah kanannya. “Junior semasa SMU dulu...”.
    Aku menatap wanita itu.
    Iapun menatapku kembali dengan pandangan penuh kepercayaan diri yang tinggi.
    “Yudha...”, gumamku sambil menyodorkan tangan kananku kepada wanita itu. “Kunti...”, balas wanita itu seraya menyambut tanganku. Kami pun bersalaman untuk beberapa saat.
    Bima menatapku dengan senyumannya yang khas. “Jujur saja... aku baru bertemu dengannya hari ini... Setelah hampir 3 tahun kuliah di sini, ternyata baru tahu kalau kita sama-sama kuliah di sini...”, jelas Bima sambil tertawa.
    Aku mengangguk mengerti.
    “Kuliah di jurusan apa yah kalau boleh tahu ?”, tanyaku melanjutkan basa-basi sambil menyeruput teh botol yang kupesan beberapa saat yang lalu.
    “Broadcasting... 2001”, jawab Kunti yang kini sedang duduk di hadapanku. “Industri, 2000. Sama seperti Bima...”, sahutku sambil menunjuk Bima. “Sama-sama satu kosan, sama-sama satu kamar, sama-sama satu ranjang, bahkan kalau ke kamar mandi selalu bersama-sama. Kita berdua sudah seperti saudara kembar bak pinang dibelah dua yang tak bisa dipisahkan...”, cerocosku.
    Bima tersenyum kecut. Sedangkan Kunti menaikkan kedua alisnya
    Lalu ia melirik ke arah Kunti, “tentang yang sama-sama satu ranjang dan ke kamar mandi selalu bersama-sama, tak usah didengarkan...”, bela Bima.
    Kunti pun mengangguk kecil.
    Ditatapnya kembali aku dengan pandangan penuh selidik.
    “Sepertinya wajahmu tak asing deh... Sepertinya aku pernah lihat sebelumnya. Entah di mana... Yang pasti wajahmu tak asing bagiku...”, ujarnya.
    Aku tersenyum kecut. “Yang pasti kau tidak pernah melihatku di alam mimpimu, kan ?”.
    Bima tertawa mendengarnya. “Aku kira aku mengerti maksudmu... asal kamu tahu saja, Yudha cukup terkenal di kampus kita ini, terkenal dengan si biang onar...”, ujarnya ke Kunti.
    Aku melengos.
    Sepertinya aku tahu apa yang akan dikatakan pria itu.
    Sedangkan Kunti tampak antusias mendengarnya walau ia tak menunjukkannya secara eksplisit. “Kau pernah dengar peristiwa gempar di perpustakaan kampus kita seminggu yang lalu ?”. Kunti mengangguk, “tentu saja. Aku ada di perpustakaan saat peristiwa itu terjadi. Semua penghuni perpustakaan langsung heboh dan teriak-teriak tak karuan ketika melihat sekumpulan tikus putih memenuhi perpustakaan...”.
    Bima menunjukku sambil tertawa.
    “Ini dia biang keroknya... gara-gara dia menjatuhkan box binatang percobaan milik anak Biologi yang berisi tikus putih, jadinya semua tikus itu kabur...”.
    Aku kembali melengos.
    “Dan ia menjatuhkannya di perpustakaan...”, sambung Kunti sambil sempat melirikku namun kembali menatap Bima beberapa saat kemudian.
    Bima mengangguk. “Dan kamu tahu siapa pelakunya yang membuat semua ikan di kolam depan mati ?”.
    Kunti menunjukku tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.
    Bima menepuk kedua tangannya. “Gara-gara dia secara tak sengaja menjatuhkan sebotol minyak tanah ke dalamnya...”.
    Aku menyenderkan diri di senderan kursi.
    Pasrah mendengar pembicaraan mereka berdua yang sedang membicarakan seseorang tepat di hadapan orang yang dibicarakan. Sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal atau mengkorek-korek telingaku dengan jari.
    “Dan... Aku tak tahu apakah kau tahu atau pernah mendengarnya atau tidak... Tapi anak ini pernah membuat panik satu kampus gara-gara meledakkan satu bungkus petasan mercon. Sampai-sampai banyak orang mengira kalau kampus kita sedang diledakan oleh teroris...”.
    Kunti tertawa lebar ketika mendengarnya.
    Dan diam-diam aku memperhatikan semua ekspresinya. Ekspresi ketika ia tertawa atau ekspresi wajah penasarannya. Entah kenapa ada sesuatu yang membuatku tak bisa memalingkan wajahku darinya.
    “Ya... Aku pernah mendengarnya... Dari temanku. Kalau tak salah kejadiannya semester yang lalu bukan ?”, ujar Kunti mengklarifikasi.
    Bima mengangguk antusias. “Itu sebabnya ia masuk ke DPO semester lalu dan foto wajahnya terpasang di mading seluruh kampus...”.
    Mereka berdua tertawa lepas.
    Aku hanya bisa tersenyum kecut.
    Karena kejadian itu aku kena skors selama 1 minggu.
    Selesai ketawa, tiba-tiba Kunti menatapku. Entah kenapa kali ini pandangan matanya lebih bersahabat. Bibirnya sedikit melebar sehingga menunjukkan lesung pipinya. Harus aku akui kalau dia cukup cantik. Rambut hitamnya yang dibiarkannya terurai hingga batas punggung menambah kecantikannya yang natural.
    “Jujur saja... ini baru pertama kali untukku...”, ujarnya kepadaku.
    Aku memberikan ekspresi wajah meminta penjelasan kepada wanita itu.
    Kunti mengangguk kecil sambil memiringkan kepalanya. “Aku baru beberapa menit mengenalmu dan sudah mengetahui beberapa tingkah kekonyolanmu. Dan aku yakin pasti masih banyak lagi cerita yang seperti itu... Hanya saja, selama ini pria yang baru berkenalan denganku tak akan melakukan seperti itu...”.
    “Menceritakan kisah kebodohannya di awal perkenalan ?”, tanyaku memastikan.
    Kunti mengangguk mantap. “Yah... mereka lebih memilih untuk menjaga image dari pada menceritakan kebodohannya...”.
    “Sebentar... Harus kukoreksi... Dia yang menceritakan kebodohanku kepadamu...”, sahutku sambil menunjuk Bima sedangkan Bima hanya tertawa lebar.
    Kunti tersenyum simpul. “Pasti dia punya alasan sendiri kenapa melakukannya. Alasan yang bagus mungkin...”.
    Aku mendelik ke arah Bima.
    Sedangkan Bima pura-pura menatap keadaan sekitarnya. Menghiraukan pandanganku. Aku kembali menatap Kunti, “tapi tidak bagiku...”.
    Sedangkan Kunti tertawa melihat sikapku. “At least... ini mempercepat waktuku untuk dapat mengetahui siapa kamu sebenarnya. Yah... walau tidak semuanya...”.
    Aku tersenyum kecut. “My stupidity... That’s all i have...”.
    Kami bertiga pun tertawa bersamaan.


    ***​

    “Kamu yakin ?”, tanya Bima.
    Pandangannya menuju tajam ke arahku. Mencoba berspekulasi dan menyakinkan. Entah untuk dirinya sendiri atau diriku. Yang pasti aku menangkap pandangan itu sebagai rasa kekhawatiran terhadapku saat ini.
    Aku membalas menatapnya.
    “Tentu saja, Bim... bukankah ini memang alasan utamaku datang ke Bali ?”.
    Bima terdiam. Pandangannya masih terpaku ke arahku. Aku berusaha menghiraukan pandangannya itu dengan menyibukkan diri. Menaruh tas ranselku di sofa berukuran besar yang menghiasi ruang utama kemudian mengambil remote control dari meja persegi panjang yang terbuat dari batu marmer di depan sofa itu.
    Aku menyalakan televisi dan menaruh kembali remote control itu. Tidak memperhatikan acara apa yang sedang ditayangkan. Aku tak peduli. Yang aku mau hanyalah suara-suara yang dapat mengalihkan pikiranku.
    Lalu aku beranjak ke jendela geser yang menuju ke beranda kamar. Seketika angin menghempas masuk ketika aku menggeser jendela ke dua sisi yang berlawanan. Cukup kencang dan berhasil mengibar-ngibarkan gorden serta rambut hitamku yang mulai tumbuh panjang tak tertawat.
    Aku menatap ke arah luar.
    Pemandangan yang ditawarkan dari sudut beranda ini benar-benar indah dan menarik. Pemandangan eksotik pantai Seminyak yang bisa dikatakan masih asri dibandingkan dengan pantai Kuta. Lengkap dengan birunya langit yang terpampang luas tak terhingga di atas sana. Aku menatap ke sebuah titik. Titik di mana birunya laut bercampur dengan birunya langit.
    Orang menyebut titik itu sebagai garis Cakrawala. Garis yang menghubungkan langit dengan bumi. Membuat mereka seakan-akan dekat namun terpisah jauh.
    Seperti apa yang kurasakan saat ini.
    Aku membalikkan tubuh dan kembali menatap Bima.
    “Aku baik-baik saja... Aku yakin itu. Kau tak usah khawatir...”, ujarku mencoba menenangkan sambil menyenderkan tubuhku ke dinding beranda. Entah kenapa, suara deburan ombak dan hembusan angin cukup untuk menenangkan hatiku.
    Aku tersenyum ke arah Bima.
    “Aku... Hanya perlu sendiri... Itu saja”, lanjutku.
    Bima menghela nafas.
    “Aku tahu itu... Aku hanya...”, Bima menghentikan ucapannya. Sepertinya ia sedang menimbang-nimbang apakah akan melanjutkan apa yang ingin diucapkannya atau tidak. “Baiklah... Hubungi aku bila kau perlu apa-apa. Tak perlu sungkan... Kau mengerti ?”, ucap Bima yang sepertinya memilih untuk tidak mengucapkannya.
    Aku mengangguk. “Tentu saja... Aku tak akan sungkan untuk merepotkanmu...”.
    Bima tertawa renyah mendengarnya. “Kalau begitu, aku pergi dulu... Istirahatkanlah tubuhmu sejenak, okay ?”, sahut Bima sambil berlalu menuju pintu keluar.
    Aku kembali mengangguk. “Sure, I will...”.
    “See you soon...”, ujar Bima sambil membuka pintu itu lalu melangkah keluar dari kamar hotelku ini. Begitu terdengar suara pintu menutup kembali, entah kenapa rasa kesunyian kembali menyelimutiku.
    Aku menghela nafas kuat-kuat.
    Menatap ke seluruh sudut ruangan. Di ruang utama ini hanya terdapat mini kitchen set dan seperangkat sofa beserta televisi berukuran raksasa. Semuanya persis seperti yang ada di dalam ingatanku. Tak ada yang berubah sedikitpun. Aku pun melangkahkan kaki menuju pintu yang menghubungkan antara ruang utama dengan ruang tidur. Aku membukanya dan memasukinya.
    Dan...
    Yah, tentu saja.
    Semuanya tetap sama. Tak ada yang berubah sedikitpun. Sama seperti saat pertama kali aku melihatnya satu tahun yang lalu. Tempat tidur ukuran king size lengkap dengan kelambunya terletak di sebelah kanan dari pintu masuk. Terlihat begitu nyaman dan empuk.
    Membuatmu tak rela untuk bangun meninggalkannya setelah berbaring di atasnya. Di hadapannya terdapat televisi yang berukuran lebih kecil, meja hias serta lemari pakaian. Sedangkan di sisi yang berseberangan dari tempat tidur terdapat kamar mandi dengan bath tube berukuran raksasa yang membuatmu sangat nyaman ketika berendam air panas di dalamnya.
    Aku berjalan menuju tempat tidur dan duduk di tepinya.
    Pikiranku begitu kosong saat ini. Begitu kosong sampai aku tak tahu harus melakukan apa. Sepertinya, aku benar-benar harus istirahat saat ini.
    Aku pun merebahkan tubuhku ke tempat tidur. Membentangkan ke dua tanganku sedangkan pandanganku terpaku ke atap tempat tidur yang terbuat dari kayu. Lalu akhirnya memejamkan kedua mataku.
    Ya...
    Aku benar-benar merasa lelah saat ini.

    ***​

    Kunti menatapku dengan tatapan tajam seakan-akan hendak menginterogasiku atas kesalahan-kesalahan yang sudah kuperbuat. Hanya saja, kedua sudut bibirnya melebar. Itu menggagalkan kesan angker yang hendak ditunjukkannya. Aku tahu kalau saat ini ia sedang senang namun berusaha menutup-nutupinya dengan perasaan tidak senangnya.
    “Coba tolong kau jelaskan padaku...”, ujarnya dengan penekanan suara. “Kenapa kau melakukan ini padaku ?”, lanjutnya meminta penjelasan. Dan aku pun kurang mengerti apa yang ditanyakannya saat itu.
    Memangnya aku sudah melakukan apa terhadapnya...
    Rasanya aku tak melakukan kesalahan sedikitpun terhadapnya...
    “Maksudnya ?”, tanyaku dengan ekspresi wajah bingung.
    Kunti mengembungkan kedua pipinya dan memutar kedua bola matanya.
    “Dengar yah... Seingatku, baru tadi pagi aku masih berada di kamarku ketika kamu datang. Dan siang ini aku sudah berada di Bali, di dalam sebuah kamar hotel mewah, hanya dengan membawa pakaian yang saat ini kukenakan serta dompet. Bahkan aku sedang berpikir kalau aku sedang diculik olehmu !”.
    Aku tertawa kecil.
    Dan berhasil mendapat cubitan di kedua pipiku akibatnya.
    Aku mengerang kesakitan sambil mengusap-usap kedua pipiku yang mulai terasa panas. “Lagi pula kok protesnya kenapa baru sekarang sih ? kenapa tidak tadi waktu di bandara atau di pesawat ?”, tanyaku.
    “Itu karena aku masih shock dan speechless !”, sahutnya.
    “Kok tadi waktu makan di bandara tidak protes ?”, tanyaku lagi
    “Itu karena aku sangat kelaperan gara-gara kamu tidak memberikan aku kesempatan untuk sarapan !”, sahutnya lagi.
    Aku menaikkan kedua alisku. Aku sangat yakin bila ia menerima jawaban dariku seperti apa yang ia ucapkan tadi, ia tak akan menerima. Tapi bila ia yang mengucapkannya, mau tak mau aku harus menerimanya.
    “Sekarang jawab pertanyaan dariku !”, serunya dengan nada mengancam.
    Membuatku mau tak mau mengangguk mengiyakan.
    “Pertama... Bagaimana kita bisa bertahan hidup di Bali sedangkan pakaian dan peralatan lainnya kita tak bawa ?”.
    “Kita tinggal membelinya... Aku yakin Bima tahu toko yang menjual pakaian murah...”, jawabku sekenanya. Kunti menahan nafas kuat-kuat untuk mencegah tidak meledak emosinya setelah mendengar jawabanku itu.
    “Kedua... Aku belum minta izin untuk hari Sabtu ke kantor. Sedangkan saat ini lagi akhir bulan. Aku harus mengatakan alasan apa coba untuk kantor ?”.
    “Telepon temanmu, Desy. Bilang saja kalau kau sedang sakit. Nanti aku minta surat keterangan sakit ke dokter di dekat rumahku”, jawabku lagi yang kukira itu adalah jawaban yang cemerlang. Namun lagi-lagi Kunti menahan nafasnya kuat-kuat. Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau ia tak puas dengan jawabanku.
    “Ketiga... Kamu dapat uang dari mana untuk membiayai semua ini coba !? Pesawat kelas eksekutif, sewa kamar hotel bintang lima selama dua hari, belum lagi biaya-biaya lainnya di tempat wisata !!! Oh, yah... aku belum memasukkan biaya makan dan biaya untuk membeli pakaian serta peralatan lainnya !!!”, wajah Kunti mulai memerah. Sedikit lagi emosinya akan meledak.
    Aku pun hanya tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Aku tahu kalau aku akan memerlukan usaha lebih keras untuk meredam emosinya. Aku pun segera memegang kedua pundak Kunti sambil menatapnya lekat-lekat namun penuh kehangatan dan kasih sayang. Kunti terlihat sedikit kaget ketika aku melakukannya.
    “Dengarkan aku sayang... Aku tahu kalau aku telah bertindak bodoh karena sudah mengajakmu secara tiba-tiba, tanpa memberi tahumu terlebih dahulu, ke Bali. Tapi percayalah... Aku melakukannya untuk kita berdua...”, aku menghentikan ucapanku dan berjalan menuju ke jendela geser yang mempertontonkan keindahan pemandangan pantai Seminyak. “Kalau dipikir-pikir, kapan terakhir kita jalan-jalan berdua ?”, aku kembali menatap Kunti.
    Ia tak menjawabnya. Hanya diam mematung.
    Sedangkan kedua lengannya terlipat defensif.
    “Kapan kita terakhir bersenang-senang rekreasi ke luar kota hanya berdua ? Setelah lulus kuliah kita telah disibukkan oleh pekerjaan masing-masing. Aku tahu itu tak bisa dihindari. Tapi... Aku rasa kita perlu waktu dimana kita bisa dengan bebas meluangkan waktu untuk kita berdua... Bebas dari beban pekerjaan... Bebas dari stresnya kehidupan... Bebas dari tuntutan ini-itu... Saat di mana hanya ada kita berdua...”.
    Wajah Kunti mulai mereda.
    Rasanya perkataanku barusan berhasil meredakan emosinya.
    Aku pun menggeser jendela itu dan melangkah keluar menuju beranda. Saat itu bau pantai mulai tercium di hidungku. Sedangkan hembusan angin menggelitik kulitku. Dari kejauhan suara deruan ombak terdengar seakan-akan mengajakku untuk bermain dengannya. “Jadi... Kuharap kau menikmati liburan yang sengaja kupersiapkan untuk kita berdua...”.
    Kunti berjalan mendekatiku.
    Wajahnya sudah terhiaskan sebuah senyuman yang tulus. Sedangkan rambut hitam panjangnya mulai berkibar-kibar ketika ia tiba di beranda. Kunti menyenderkan tubuhnya ke pundakku dan memeluk lenganku.
    “Pertanyaan terakhir...”, gumamnya setengah berbisik.
    “Apa itu ?”.
    “Kita berdua akan tidur di mana ?”.
    Aku tertawa lebar mendengarnya. “Ya tentu saja di tempat tidur !”, jawabku.
    “Aku seranjang denganmu ?”, tanyanya sambil menatapku meminta penjelasan. Aku mengangguk. Sedangkan dia menggeleng. “Aku di ranjang. Kamu di sofa !”.
    “Sadis !!!”, seruku kecewa.
    Dia tersenyum lebar melihat kekecewaanku itu.
    “Baiklah... kamu boleh seranjang denganku tapi dengan satu syarat !”.
    “Apa itu ?”.
    “Dilarang ngorok !!!”.
    Aku kembali tertawa.
    “Tapi kalau sambil pelukan, boleh donk...”.
    Kunti tertawa. “Dasar yah, cowok ! Otaknya selalu mesum...”.
    “Wajar kan ? Toh aku pacarmu...”.
    “Tapi belum suamiku...”.
    Kami berdua pun tertawa bersama.


    ***​

    Sore itu, angin bertiup cukup kencang.
    Cukup kencang namun entah kenapa itu justru membuatku terasa nyaman dan tentram. Jujur saja aku sangat menyukainya. Ketika hembusan mereka mengelus setiap pori-poriku, menyapu setiap helaian rambutku, mendesir di setiap inchi tubuhku, lalu berlalu dengan bebas menuju tempat yang tak bertuan.
    Kau tak dapat dapat melihatnya tapi kau dapat merasakannya.
    Dia datang membawa kenangan lama dan pergi bersama kenangan yang baru.
    Aku memejamkan kedua mataku. Menghirup udara dalam-dalam melalui hidungku dan melepaskannya secara perlahan-lahan melalui mulutku. Mencoba berkomunikasi dengannya melalui indera pendengaran dan perasaku.
    Aku kembali membuka mata beberapa saat kemudian. Lalu menyenderkan tubuhku pada senderan kursi kayu. Kini pandanganku menyapu ke arah laut. Saat ini matahari mulai terbenam. Dan pantai Seminyak adalah salah satu tempat yang terbaik untuk menikmati matahari tenggelam di Bali.
    Aku hanya terdiam sambil mengagumi keindahannya.
    Gradasi warna yang ditawarkan begitu menakjubkan. Dari biru, ke kuning, ke jingga, lalu ke merah. Semula di mana warna biru mendominasi angkasa, kini warna jingga dan merah telah merenggut singgasananya.
    Di tambah suara deburan ombak, alam telah menunjukkan keharmonisannya melalui ketiga indera kita. Menatap lukisan alam yang menakjubkan, mendengar alunan suara alam yang menenangkan, dan merasakan belaian alam yang menyejukkan.
    Sepintas, sebuah pemandangan telah mencuri perhatianku. Dan memaksaku untuk tersenyum. Dari arah bibir pantai, aku melihat siluet dua oang yang sedang berjalan menyelusuri bibir pantai.
    Kedua orang itu adalah sepasang kekasih.
    Mereka berjalan sambil saling menggenggam erat kedua tangan mereka. Sesekali sang pria menghentikan langkahnya dan menunjuk ke suatu arah. Dan sesekali terlihat sang wanita menertawakan sesuatu. Mereka berjalan semakin menjauh dari pandanganku. Sampai akhirnya mereka menjadi titik kecil yang tertelan oleh siluet alam yang menyelimutinya.
    Detik kemudian, aku melihat sepasang kakek-nenek yang sedang duduk tak jauh dari tempatku berada. Mereka duduk berdampingan menghadap ke arah pantai. Sang kakek terlihat sedang membicarakan sesuatu sambil melingkarkan tangan kirinya di pundak sang nenek. Lalu sang nenek tertawa dan mereka pun tertawa bersama.
    Pemandangan yang sederhana namun terlihat sangat mesra.
    Aku menghela nafas panjang.
    Sang matahari terlihat semakin tenggelam jauh di ufuk Barat. Seakan-akan memberitahu kepada semua penghuni bumi bahwa hari akan selesai.
    Aku pun merogoh kantung celanaku dan mengeluarkan kotak berukuran kecil berwarna merah hati serta berbahan beludru. Aku menatapnya lekat-lekat dan membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah cincin.
    Cincin yang terbuat dari emas putih dengan bentuk yang sangat sederhana. Hanya terdapat sebuah permata berukuran kecil tanpa hiasan lainnya. Sebuah cincin yang sederhana namun terlihat elegan. Persis seperti apa yang diinginkannya.
    Cincin itu sepasang.
    Satu lagi telah tersematkan di jari manis tangan kiriku.
    Dan, yah...
    Seharusnya cincin itu saat ini juga telah tersematkan di jari manis tangan kirinya.
    Aku terdiam mematung.
    Lalu melepaskan cincin itu dari kotaknya dan mengangkatnya setinggi garis kedua mataku. Memutar-mutarnya dengan kedua jariku. Cincin itu memantulkan sinar yang indah ketika menerima sinar matahari dari kejauhan sana. Sedangkan permatanya memperlihatkan warna pelangi di setiap sudutnya.
    Satu tahun yang lalu, aku melamarnya di sini.
    Di tempat yang sama...
    Di meja yang sama...
    Dan di waktu yang sama...
    Dan ia menerimanya dengan suka cita serta memperlihatkan kebahagiaan yang amat sangat yang terpancarkan di wajahnya. Bagi kami berdua, itu adalah kenangan yang sangat indah. Yang tak akan pernah bisa terlupakan.
    Dan seharusnya, hari ini kami melangsungkan akad nikah serta pesta pernikahan.
    Seharusnya hari ini menjadi hari kebahagiaan kami di antara hari bahagia kami lainnya yang telah menghiasi kehidupan kami.
    Seharusnya hari ini kami mengucapkan sumpah dan janji suci nan sakral untuk saling setia dan saling membahagiakan satu sama yang lainnya.
    Seharusnya hari ini, di kedua wajah kami, terhiaskan senyuman dan gelak tawa bahagia.
    Tapi sepertinya Tuhan mempunyai rencana lain.
    Rencana yang sungguh diluar dugaan kami dan melenyapkan semua impian manis yang telah kita bina dan kita pelihara selama ini.
    Kematian telah menjemputnya.
    Sebulan yang lalu Kunti mengalami kecelakaan.
    Sebuah bus telah menabrak mobil yang dikendarainya dan menghancurkannya hingga berkeping-keping. Tepat di hari di mana kita akan melakukan pemotretan untuk foto pre wedding.
    Kunti mengalami trauma yang cukup parah.
    Aku mengingatnya. Dan sampai saat ini masih terngiang-ingang di kedua telingaku. Serta memenuhi seluruh otakku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkannya. Tapi semakin kuat aku mencoba, semakin kuat kata-kata itu terdengar.
    Kata-kata terakhir menjelang kematiannya.
    Di dalam kesekaratannya, ia membuatku berjanji satu hal yang tak mungkin sanggup aku penuhi. Tapi aku harus berusaha sekuat tenaga untuk bisa menyanggupinya dan memegang teguh janji itu.
    Malam itu ia berkata, “apapun yang terjadi... kamu jangan sekali-sekali menangisi kepergianku. Aku tak akan memaafkanmu apa bila aku melihat ada sebutir air mata yang menghiasi kedua bola matamu. Kamu janji ?”.
    Aku mengangguk dalam kesedihan.
    Aku mengiyakan janji itu.
    Entah kenapa mulutku tak bisa berkata tidak.
    Tapi aku tak boleh menyesalinya.
    Saat ia menghembuskan nafasnya yang terakhir aku hanya terdiam. Walau sebagian dari diriku dan jiwaku hancur serta pergi bersamanya, aku mencoba menahan air mataku ini.
    Ketika semua orang memandikan dan mengkain kafankan jenazahnya, aku hanya bisa mematung sambil mengepalkan kedua tanganku erat-erat. Menggigit bibirku sampai berdarah. Dan memaki-maki hatiku untuk tegar dan kuat.
    Dan saat aku melakukan adzan di telinga kanannya ketika jenazahnya telah ditaruh di liang lahat, aku berusaha untuk menguatkan suaraku agar tak terdengar gemetar. Aku berusaha semampuku untuk menahan air mataku. Berusaha untuk terlihat tegar di depan keluarganya dan keluargaku.
    Dan di setiap hari ketika malam menjelang, aku mati-matian untuk tidak mengingatnya. Mencari kesibukkan agar pikiranku teralihkan dari kenangannya. Aku menegak alkohol untuk melupakannya. Aku memukul-mukul sesuatu agar rasa sakit bisa mengalihkan perasaanku. Aku melakukan segala cara untuk bisa melupakannya.
    Tapi...
    Tampaknya aku tak bisa melakukannya.
    Aku tak bisa melupakan semua tentangnya.
    Cara tersenyumnya. Cara ia memutar kedua bola matanya. Cara ia menggembungkan ke dua pipinya. Cara ia tertawa. Cara ia mendelik. Tatapan tajamnya. Tatapan mesranya. Kebiasaan buruknya. Kebiasaan baiknya. Keluh kesahnya. Semuanya tentang dirinya.
    Aku tak bisa melupakan semuanya.
    Aku begitu kesal. Begitu marah. Begitu frustasi. Begitu sedih.
    Yang bisa kulakukan hanyalah menyalahkan Tuhan. Mengapa Ia begitu tega mengambil Kunti dariku. Mengapa Ia begitu tega membiarkan nasib ini menimpa kami berdua. Ia telah memisahkan kami ketika kami sedang dalam bahagia.
    Aku tahu kalau Ia mempunyai seribu cara dalam kemisteriusannya mengatur hidupku. Aku tahu di setiap kesulitan yang Ia berikan pasti berujung pada kebahagiaan. Aku tahu semua itu. Hanya saja, aku tetap tak bisa merelakannya.
    Aku memejamkan kedua mataku.
    Dan menggenggam erat cincin itu dengan kedua tanganku.
    Dalam kegelapan aku merasakan kedua mataku mulai berkaca-kaca. Aku tahu aku tak boleh membiarkannya. Aku sudah berjanji pada Kunti.
    Tapi...
    Kurasa aku tak bisa menahannya lebih lama lagi.
    Kurasa hanya menangis yang bisa kulakukan.
    Melimpahkan semua kesedihan dan kekesalan pada sebuah tangisan.
    Aku merasakannya.
    Merasakan ketika air mata jatuh dari kedua mataku dan mengalir melewati kedua pipiku.
    Air mata itu terasa hangat.
    Oh, Kunti...
    Maafkan aku yang tak bisa menepati janjiku padamu.
    Kuharap kau tak sedang memarahiku di alam sana.
    Aku pun merelakan diriku dalam kepasrahan. Menutup wajahku dengan kedua mataku. Menutupnya erat-erat sehingga aku merasakan air mata ini hanya untuk diriku sendiri.
    Semakin lama air mataku mengalir semakin deras.
    Diikuti oleh isakan tangisku yang tak bisa lagi kubendung.
    Aku tak tahu apakah aku akan merasa lebih baik setelah menangis.
    Tapi yang pasti, aku berjanji bahwa ini adalah tangisan yang pertama dan terakhir kalinya yang kulakukan. Jadi biarkanlah aku menangis sepuas hatiku.
    Biarkan air mata ini menjadi bukti kesedihanku yang telah kehilangan orang yang sangat kucintai dengan segenap jiwa dan ragaku.


    - Fin -
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    mumpung lagi ada sedikit waktu senggang :nongol: komen dulu ah
    sebelum nya maaf :maaf: format tullisan nya terlalu rapat :keringat: jadi agak sulit bacanya, terutama saat kejadian masa lalu nya si MC. :dead: saya nda bisa baca benar2 karena tulisannya terlalu rapat dan dimiringin. saya suka pusing klo baca tulisan miring2 gt. mungkin lebih baik kalau diberi jarak antar paragraf dan dialog2 nya ya, supaya terlihat lebih enak dibaca
    jadi untuk masalah plot agak sulit saya untuk komentar karena saya nda bisa baca dengan lengkap (saya skip tulisan yang dimiring2in soal nya. ini bukan salah kamu kok, memang mata saya yang rewel) :keringat: saya komen apa yang saya dapat saja ya. dan maaf lagi :maaf: klo mungkin komennya agak panjang :nangis: jangan bilang saya bawel yah (kok malah saya jadi curhat :ngacir:)

    untuk penulisan kalimat2nya sendiri nggg... gmn yah... :puyeng: bingung juga bilang nya. nda salah sih, makna nya cukup mudah dimengerti, tapi... ada kesan seperti dibikin untuk panjang2in cerita. jadi agak sedikit menimbulkan kesan bosan saat membacanya
    seperti rangkaian 3 kalimat ini
    menurut pendapat saya saja sih... seharus nya bisa dibuat dalam bentuk kalimat2 yang lebih singkat dan padat.

    lalu mata saya sedikit kelilipan waktu baca kalimat ini
    mungkin struktur nya bisa sedikit diperbaikin, saya baca nya sampai 3 kali untuk tahu maksud nya

    dan.. ngg.. segitu saja deh. seperti nya sudah kepanjangan
    di akhir kata

    keep on writing :top:

    :peace: semoga komentar saya membantu
     
  4. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    makasih, suhu atas kometarnya...
    bener, suhu...
    itu juga yang jadi masalah buat ane.
    padahal di wordnya jarak space antar kalimat itu 1.5.
    tapi ane gak tau kalo disini, gimana cara ngaturnya.
    makanya ane bingung...

    anyway, untuk yang di italic itu sebenarnya untuk menunjukkan kalau cerita itu past time.
    dan karena disini jarak antara kalimatnya gak bisa diatur, jadi terlalu dempet sehingga gak enak diliat sama mata.
    ane harus akui itu.

    dan untuk kalimat emang awalnya gak sepanjang itu.
    tapi waktu itu ane edit untuk dikirim ke sebuah majalah yang syaratnya minimal 15 halaman.
    jadinya ane panjang-panjangin.
    dan jujur, ane sendiri juga kadang-kadang bingung bacanya setelah ane panjang-panjangin.
    huehehehehehehehe...

    santai aja suhu...
    komentar suhu gak ada apa-apanya dibanding komentar dosen ane.
    tapi cukup mewakilkanapa yang saya keluhkan juga
    huehehehehehe...

    anyway, trims suhu
     
  5. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    bzzzt... tinggal kasih enter manual aja kalau di sini kan, ga usah bingung. soalnya di word ada automatic line spacing, di sini nggak. makanya harus dikasih enter sendiri biar ga terlalu unbearable pas dibaca. dan tetep terkesan rapi.

    Ke ceritanya.... uwaghjsadihewdnwqohwq. Bertele-telenya keterlaluan banget swt. setengah cerita saya bacanya ngeskip gara-gara apa yang diceritain berasa terlalu repetisi, tanpa kerasa poinnya apa. Present-Past-Present-Past, and the story go on with this same boring pattern. AGH!! dari awal saya baca ni cerpen, saya udah tau si cewek bakalan mati. Judulnya aja memories. Ugh. Mana presentnya kayak nggak ngejelasin apa-apa. Saya belum dapet apa point si cewek di present yang nabrak "aku" muncul.

    penulisannya... haaa... kayak yang tante nanananabubu~~ bilang, kesannya dipanjang-panjangin. Banyak banget kalimat nggak efektif yang bertabur kata nggak perlu. Kalau mau dipanjangin bikin kalimat yang bervariasi. Daripada jadi terkesan bertele-tele kayak gini. Trus tanda bacanya pas nulis dialog masih aneh. Katanya banyak yang diulang dan bikin pembaca jadi cepet capek. Sigh.

    Herannya, ada juga kalimat terlalu singkat yang kurang mendeskripsikan apa-apa. Contohnya di awal cerita. 'Suasana begitu ramai' dan titik. ...trus? gw harus bilang apa? WAW!?#dilempar
    sebenernya sih nggak masalah kayak gitu juga. Tapi mendingan bagian yang kayak begini yang dipanjangin daripada kalimat lain yang udah cukup jelas tanpa situ panjangin juga.:swt:

    keseluruhan, idenya sih bagus. Zzz... Yawn... ngantuk. @_@#yaiyatengahmalem

    me out.
     
  6. s3mar M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 16, 2012
    Messages:
    1,012
    Trophy Points:
    112
    Ratings:
    +287 / -0
    halo kk, ikut komen ya :hmm:
    overall, saya menikmati ketika membaca ceritanya. emosinya okelah :ogtop:
    pembeda "reality" sama "lamunan" yang berupa format italic juga bagus tuh, jadi pembaca tahu ini lagi nyeritain apa. :unyil:
    setuju ama komentar2 sebelumnya, banyak kalimat yang terlalu dipanjang-panjangin. coba lain kali kalimatnya lebih padat lagi, yang penting inti kalimatnya dapet :hmm:
     
  7. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    mantab suhu !!!
    soal yang bertele-tele, emang ane rasa juga begitu.
    alasannya udah ane jelasin diatas.
    kisah originalnya sebenarnya hanya 10 halaman.
    tapi, karena suatu sebab jadinya harus dipanjangkan menjadi minimal 15 halaman dan 5000 kata.

    tentang masa sekarang gak jelasin apa-apa, sebanarnya dijelasin di versi yang lebih panjang.
    mbak-mbak yang nabrak tokoh utama itu jadi tokoh penting. begitu juga dengan temannya.
    tapi yang ane posting disini adalah yang versi cerpennya dengan modifikasi yang udah ane jelasin

    okay...
    untuk kalimat "Suasana Begitu ramai".
    kan untuk penjelasaanya di jelasin di kalimat dibawahnya "Sepanjang yang aku lihat, dipenuhi oleh lautan manusia. Beberapa dari mereka tampak sedang bergegas menuju destinasinya. Blablalabla...".

    Mungkin harus di post versi originalnya kali yah untuk membandingkan.
    Huehehehehehehehe.
    Anyway, makasih suhu atas komentarnya !!!

    Last... untuk kata suhu yang "si cewek bakalan mati".
    beliau memang sudah meninggal, bro.
    beliau mantan ane dan calon istri ane.
    dan namanya bukan si cewek, tapi Kunti.
     
    Last edited: Jun 22, 2013
  8. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Terima kasih suhu atas komentarnya.
    Sebenarnya masalah yang kalimat bertele-tele itu juga dikeluhkan sama penulisnya sendiri (which is ane)
    Tapi karena suatu sebab yang mengharuskan minimal 15 halaman dan 5000 kata, ane jadi memperpanjang kalimat-kalimatnya.

    Trus pertanyaan yang lain, "kenapa gak ceritanya aja yang dipanjangin dari pada kalimatnya yang malah bikin bingung ?".
    itu karena ane keukeuh scene-nya hanya sampai itu untuk versi cerpennya.
    kalo cerita versi panjangnya ada tersendiri tanpa modifikasi kalimat yang bertele-tele.

    last, terima kasih untuk menyempatkan waktu membaca posting ane
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.