1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other The Twisted Minds Of LuciferScream

Discussion in 'Fiction' started by LuciferScream, May 14, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. LuciferScream Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 15, 2011
    Messages:
    137
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +864 / -0
    hell ooo

    welcome to my fan page. feel free to ask, discuss & criticize anything that relates to me or my story.



    genre yang suka gw tulis gore atau apapun yang mempunyai kejutan di tengah atau akhir ceritanya (twist)
    seringnya gw suka menulis cerita yang membuat satu atau semua tokoh dalam cerita gw mengalami kesialan atau sesuatu yang tidak menyenangkan.
    cheers.
     
    Last edited: Aug 11, 2013
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. LuciferScream Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 15, 2011
    Messages:
    137
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +864 / -0
    Anyway, ini cerita paling pertama dan kedua yang gw tulis sekitaran taun 2008 - 2009. kalo ada kesalahan teknis dalam menulis mohon dimaklum karna ga di edit2 lagi. kedua ceritanya ada sedikit hubungan. tokoh utama di cerita kedua adalah ilmuwan yang bertanggung jawab atas kejadian di cerita pertama.

    Aku berlari menuruni tangga setelah mendengar suara kaca pecah di lantai satu. pasti si bodoh Nigel, adik laki-lakiku satu satunya yang berumur 8 tahun. Aku bersumpah untuk memukulnya kali ini. Sial!

    Aku mendobrak pintu kamar adikku dengan keras, "Hei bodoh! kali ini aku benar-benar akan menghukummu!!." Pria kecil itu mengacuhkanku. “Dengarkan kakakmu Nigel Jackson!!” aku menaikkan nada bicaraku.

    Nigel yang berdiri didepan televisi sama sekali tidak menghiraukan teriakanku. Remote yang digenggamnya terjatuh disamping kaki mungilnya. Mulut kecilnya merintih pelan dan mengerang lirih. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, aku segera menghampiri dan membalikkan badannya.
    "Mereka nyata, kak! mereka nyata!" ujar Nigel sedikit berteriak, matanya merah dan basah oleh air matanya yang deras mengucur.

    Aku yang kaget dengan ekspresi Nigel tidak mengucapkan sepatah katapun. Tanganku digenggamnya dengan cepat dan menariknya ke arah depan televisi. "Lihat!" tangan Nigel menunjuk ke arah televisi. Aku yang masih terpaku mulai menyimak berita di tv.

    “Pada pukul 20.00 Kota Georgia resmi dikarantina oleh pihak militer. Secara tidak terduga, kesalahan genetik pada vaksin rabies sudah sampai pada tahap yang sangat mengerikan. Semua akses masuk dan keluar diblok oleh pihak militer hingga waktu yang tidak ditentukan..”

    Belum sempat aku memproses berita yang kusaksikan, Nigel mematikan tv dan mengajakku melihat keadaan di luar jendela.

    Dan apa yang aku lihat benar-benar di luar bayanganku, sepanjang mataku memandang, kerumunan manusia bungkuk menutupi matanya sambil mengerang menyeramkan. Mereka berkeliaran dan berlari tanpa arah, tidak sedikit manusia yang saling bertabrakan dengan tembok atau mobil, mengakibatkan pecahnya kepala mereka. Ya, sepertinya mereka adalah zombie! untuk beberapa saat pemandangan ini membuatku terpatung, hingga teriakan NIgel menyadarkanku.

    "Kita tidak akan pernah menang kak, aku takut!, mereka persis seperti didalam game kak!! Dan sekarang aku melihatnya di tv!" ujar Nigel panik sambil menangis.

    "Hei dengar! jangan jadi pengecut! bersikaplah seperti seorang Robert Neville yang bertahan sendirian di New York, ingat film favoritku kan? I Am Legend?" aku menggenggam bahu Nigel dengan erat. Nigel yang masih menangis menganggukkan kepalanya pelan. "setidaknya mereka bukan mahluk dari neraka NIeg."

    Jujur saja, saat ini aku sama takutnya dengan adikku. Aku tidak ingin membuat suasana menjadi lebih buruk, jadi aku harus bersikap menjadi kakak yang benar untuk saat ini –meskipun aku hampir mengompoli celanaku sendiri.

    Aku mengendap-endap ke ruang tamu dan mengintip ke arah jendela yang pecah. Beruntung, pecahan itu hanya sebesar bola basket. Samar-samar aku melihat bayangan orang-orang didepan rumahku. mereka mengerang dan berteriak lirih. Aku menarik Nigel agak keras, mengajaknya berlari ke arah dapur untuk mengambil Shotgun tua yang selama ini tersimpan di peti besar.

    Aku melempar shotgun ke arah Nigel, tangan Nigel yang mungil berusaha menangkapnya, dia berhasil, namun aku lupa Shotgun itu beratnya lebih dari 3 Kg. Nigel tidak kuat menahan bebannya, Shotgun itu jatuh dan terbelah menjadi dua bagian. Salahku.

    Aku mengambil Shotgun ini dengan erat, senjata kami satu-satunya yang tersisa. Terasa sangat berat jika dalam keadaan panik seperti ini, ditambah dengan tanganku yang berkeringat banyak, benar-benar sulit untuk fokus. Nigel berdiri disampingku memegang sekotak peluru shotgun. Aku menatapnya sebentar, dan mengelus kepalanya pelan.

    Suara kaca yang pecah itu terdengar lagi, hanya saja sepuluh kali lipat lebih keras. aku yakin, kali ini mereka berhasil memecahkan seluruh kaca ruang tamu. Erangan mengerikan itu terdengar semakin dekat. Diikuti dengan suara pecahan kaca, lampu-lampu yang kubiarkan menyala didepan ruang Tv satu-persatu mulai mati. Aku benar-benar ketakutan.

    Sesosok laki-laki tua muncul dihadapanku dengan bola mata berwarna putih. Tanpa pupil. Putih total, dia mengerang keras dan menutup matanya. Sesaat kemudian, dia berlari kearah kami. sebelum aku sempat menarik pelatuk, listrik kami padam seketika. Dan hal yang mengherankan, aku tidak mendengar erangan menjijikan lagi. Sepertinya aku berada di dunia yang berbeda.

    Aku menahan nafasku yang memburu. Saat ini jantungku berdetak sangat kencang, dan aku sempat khawatir jika para mahluk itu bisa mendengarnya. Kuseka keringat dingin yang mengucur deras di dahiku. Nigel meringis ketakutan, aku menutup mulutnya dengan tanganku. Keadaan disini sangat gelap, sampai-sampai aku tidak dapat melihat tanganku sendiri.

    "Tenang Nieg, Bersyukurlah toko kita memiliki Genset, cadangan untuk keadaan genting seperti ini. Sebentar lagi listriknya pasti akan kembali normal." aku berbisik.

    Benar saja, satu persatu lampu kami kembali menyala, diikuti suara berdengung. sosok lelaki aneh itu terlihat lagi. dia membungkuk menutupi matanya dan berteriak lagi. Tanpa berfikir lama, kali ini aku langsung menembaknya tepat di punggungnya, mendorong dia sejauh dua meter. Nigel memekik pelan, dan memberiku peluru selanjutnya.

    Dengan panik aku me-reload shotgun tua ini, beberapa kali peluruku jatuh karena tanganku basah oleh keringat dan gemetar. Kali ini tiga orang laki-laki melompat dari kaca ruang tamu dan berlari ke arah kami. Nigel berteriak-teriak, aku tidak mendengar apa yang dikatakannya, aku terlalu sibuk untuk mendengarnya saat ini. Satu tembakanku merubuhkan dua dari mereka. sedangkan zombie yang satu terlalu gesit untuk kutembak, dia berlari ke arah Nigel dengan sangat cepat. Gawat!!

    Satu meter sebelum menabrak Nigel, zombie itu merubah arahnya berlari. Dan targetnya sekarang adalah lampu neon dibelakang kami yang diseruduknya dengan mantap. Aku dan Nigel refleks menutup wajah karena percikan kaca dan ledakannya lumayan besar. Mahluk itu tidak bergerak setelah kepalanya menabrak tembok, dan meninggalkan luka menganga di dahinya.

    Nafasku masih berantakan dari kejadian barusan, aku merangkak ke arah jendela di sebelah kanan kami dan mengintip keadaan diluar. Kali ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Lututku mendadak lemas. Dengan tangan yang menutupi matanya, mereka berlari ke arah rumah kami sambil berteriak kesetanan, seakan-akan satu kota ini menyerang kami. Aku tidak main-main, jumlah mereka mengalahkan kerumunan terbanyak yang pernah kau lihat di stadion sepakbola.

    Erangan mahluk-mahluk itu membuat nyaliku semakin ciut. Aku mendengar ratusan, tidak, mungkin ribuan mahluk itu berteriak teriak di sekeliling rumah kami. Aku mendekap Nigel yang semakin bergetar ketakutan. Mahluk-mahluk itu mulai masuk kedalam rumah melalui pintu depan, mereka sangat banyak. Dan jendela disamping kami mulai pecah. Tangan-tangan yang kelaparan itu menggapai-gapai ke arah kami, seakan tidak memerdulikan tangannya yang sobek oleh pecahan kaca.

    "Aku mencintaimu Nieg" aku mengecup dahi Nigel lembut, dan mengeluarkan dua tabung gas besar dari lemari dibelakang kami. Nigel menatapku miris, dan mengatupkan bibirnya yang bergetar menahan tangis. Dengan kepayahan, Nigel membantuku dengan ikut menarik peti berisi peluru shotgun.

    Aku bukan pengecut, apalagi seseorang dengan pandangan pesimis. Terkadang kita harus merelakan sesuatu yang kita cintai untuk bertahan hidup. Dalam kasusku, aku tahu aku tidak mungkin menang. Dan aku tidak rela mati ditangan mahluk-mahluk itu. Setidaknya aku ingin memberi sedikit pelajaran terhadap mereka sebelum aku mati. Dan kapanpun kau mencoba bersikap realistis, hal yang pahit pasti akan terjadi..

    Sekarang semuanya terasa berjalan begitu lambat. Semua mahluk itu berteriak dan menutupi matanya sambil berlari ke arah kami. Aku mendekap Nigel yang memelukku dengan sangat erat.

    Aku mengarahkan moncong Shotgun pada tabung gas itu. Dan menarik pelatuknya.

    ***

    "Matikan seluruh barang elektronik! Jangan sampai ada cahaya sedikitpun! mereka tidak berbahaya selama keadaan gelap gulita! tunggulah sampai esok hari, kami akan mengevakuasi secepatnya." Beberapa helikopter militer itu berputar-putar di kota Georgia dengan terus mengulang pesan yang sama.

    Sesaat kemudian, ledakan besar terlihat di kejauhan, meninggalkan awan berbentuk jamur di udara. Sedangkan helikopter militer yang terbang di dekatnya oleng karena terhempas gelombang ledakan yang besar.


    Namaku Raymond Calderoz Valdares. Seorang Ilmuwan Brazil berumur 28 tahun yang tinggal di Indonesia. Bandung, lebih tepatnya. hampir 4 tahun aku melakukan research project atas permintaan perusahaanku di sini. bersama-sama dengan beberapa ilmuwan lainnya, kami meneliti beberapa spesies tumbuhan langka yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan medis.

    Banyak hal yang terjadi selama 4 tahun bermukim di kota yang dingin ini. masalah pekerjaan yang menumpuk, penelitian yang gagal, sampai masalah percintaan yang rumit. Ya, percintaan. Sebuah hal yang tabu bagiku untuk diceritakan pada orang lain.

    Tia Salvador. Nama seorang malaikat yang aku cintai dengan seluruh hidupku. Kami bekerja di perusahaan yang sama, namun berbeda divisi. sudah 7 tahun kami berpacaran, semenjak dari Brazil hingga berlanjut di kota ini. Syukurlah pada saat aku diperintahkan ke Bandung, Tia juga mendapat tugas yang sama. Satu-satunya hal yang memisahkan kami hanyalah kesibukan dari pekerjaan ini.

    Malam ini kami berencana pergi bersama, dan ini kesempatan yang langka. Seperti biasa aku suka mengajaknya ke bukit bintang. Sebuah tempat dimana bintang dan cahaya lampu dari pemukiman penduduk menyatu, membentuk lautan cahaya yang membentang luas. Aku suka tempat ini, begitu juga dia. Aku selalu menganalogikan bahwa lautan cahaya yang kita lihat, adalah jumlah cinta kita yang tak terbatas. Ya Tuhan, aku benar-benar mencintainya.

    #​

    Dan disinilah kami, di tempat favorit kami, duduk dibawah pohon besar di salah satu sudut bukit bintang. memandang langit yang berkilau, dan menikmati sejuknya udara malam mengisi paru-paru kami.

    "Aku tidak pernah bosan memandang langit ini." Ujarku memecah keheningan.

    Tia memandangku teduh dan tersenyum, "Aku tahu apa yang membuat kau tidak pernah bosan, ... " Tia menghentikan kalimatnya.

    "Apa?"

    "Aku ingin tahu jawabanmu terlebih dahulu."

    "Entahlah, kurasa cahaya, dan kesunyian ini, mereka benar-benar membuatku lupa dengan segala masalah pekerjaanku." Aku mengangkat bahuku

    "Hanya itu?" Tia menekuk alisnya.

    Aku tertawa kecil. "Tentu saja tidak, hal yang paling membuatku nyaman adalah karena aku bisa ada disampingmu. Untuk kemarin, saat ini, dan kuharap selamanya." Aku terdiam sejenak, "bagaimana denganmu?"

    Tia menatapku dan bergumam pelan "Ray, tidak ada hal lain yang membuatku merasa berarti di dunia ini selain bersamamu."

    Untuk kesekian kalinya, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini. Ada sesuatu di dalam dada ini yang meledak. Perlahan, ledakan ini membuat semacam atmosfir aura hangat yang nyaman diantara kami, inilah saat yang tepat. Aku akan melamarnya.

    "Tia, tanggal 14 Februari nanti..." aku mengelus pipinya pelan. "Menikahlah denganku"

    Tia diam beberapa saat sebelum menjawab, hal selanjutnya yang kusadari, air matanya jatuh mengalir di pipinya, dan dia terisak menangis di pundakku.

    Aku tidak mengerti arti tangisan ini, entah sebuah pertanda baik atau buruk. Yang aku lakukan hanya memeluknya dan mendengar suara tangisnya yang pilu.

    Malam itu Tia tidak memberi jawaban atas lamaranku. Dia menangis cukup lama, dan memintaku untuk mengantarnya pulang. Aku tidak tahu harus berbuat apa, disatu sisi aku harus menjadi pelindungnya, dan disisi lain aku memerlukan kepastian. Aku tidak suka dengan segala keabsurd-an ini. aku akan menghubunginya.

    Sebelum aku mengambil ponsel, ada pesan masuk. Tia. Isi pesannya sangat singkat, dia memintaku untuk tidak menemuinya lagi dan memberi tahu bahwa dia tidak bisa bersamaku lagi. Berkali-kali aku membaca isi pesan tersebut karena aku tidak pecaya dengan apa yang kulihat, tapi semakin aku membacanya, aku semakin yakin bahwa dia sedang menghancurkan hidupku.

    Aku mencoba menghubunginya, namun sudah kuduga dia mematikan ponselnya. Aku duduk dan berfikir sejenak, apa yang harus aku lakukan. aku benar-benar tidak bisa berfikir jernih. Aku merebahkan tubuhku di kasur dan terlelap.

    Esok harinya aku pergi menuju rumah Tia, butuh waktu yang cukup lama untuk sampai disana karena jaraknya yang jauh. Tapi aku tidak peduli, sampai ke neraka pun akan kususul dia hingga semuanya jelas. Sebaiknya dia punya alasan yang masuk akal telah membuatku kecewa sedemikian besar.

    Aku mengetuk pintu rumahnya dan berdiri disana cukup lama. Aku tahu dia ada didalam, aku melihatnya saat dia mengintipku di jendela. Sudah satu jam dia membiarkanku berdiri diluar rumahnya.

    "Aku hanya ingin mendengar sebuah alasan" Ujarku dengan nada yang agak keras. "Jangan biarkan aku tersiksa seperti ini Tia, aku mohon!" Suaraku yang bergetar rupanya meluluhkan Tia untuk membuka pintu.

    "Kau ingin alasan?" Ujar Tia dingin.

    "Ya."

    Tia beranjak kedalam dan meninggalkanku.

    Belum pernah aku melihatnya dengan mimik muka seserius ini. Jantungku berdegup kencang, berfikir apakah aku pernah melakukan kesalahan fatal padanya. Sejauh ini, yang kuingat hanya pada saat Tia menemukan majalah FHM di lemariku. Bahkan setelah itu kami membacanya berdua. Kufikir, terlalu konyol jika ini dijadikan alasan.

    Sesaat kemudian, Tia kembali dengan sebuah map berwarna coklat.
    "Maafkan aku Ray, tidak ada cara yang mudah untuk mengatakannya" Ucap Tia lirih. Matanya kembali berkaca-kaca.

    Aku paling benci momen seperti ini. Kau bisa menyayat tubuhku perlahan atau menabur garam di lukaku, apa saja. asal jangan kau berikan Tia yang menangis dihadapanku. Aku merasa gagal dan tidak berguna.

    Aku mengambil map yang diberikan Tia dan membukanya, diam beberapa saat sebelum mengeluarkan isi map tersebut.

    "Berjanjilah kau akan meninggalkanku setelah kau melihat map itu Ray," Ujar Tia terisak.

    Aku tidak menjawab pertanyaan bodoh itu, mana mungkin aku mau menyerahkan hidupku hanya demi map ini. Aku mengeluarkan semua isi map tersebut.

    Foto seorang remaja laki-laki tampan. Banyak sekali. Dan beberapa berkas yang tak kubaca. Aku melemparkan foto-foto itu ke meja. Kini aku tahu, dia menemukan sosok laki-laki lain. lebih muda, dan lebih tampan. Selamat Ray, kau baru saja kehilangan hidupmu.

    "Kau lebih mencintainya kan?" Meskipun sulit, aku berusaha menekan suaraku agar terdengar kuat. Saat ini setiap detik terasa sangat menyakitkan, meleburkan perasaanku satu persatu hingga musnah.

    Pertanyaanku dijawab dengan tangisnya yang semakin keras. Aku bingung harus berbuat apa.

    "Kau tahu satu hal yang membuatku berarti didunia in Tia?" Suaraku bergetar menahan tangisku yang hampir meledak. "Bisa mencintai seorang wanita sempurna sepertimu adalah segalanya bagiku."

    "Tidak Ray, aku sama sekali tidak sempurna." Ucapnya terbata-bata. "Kau salah, aku tidak mencintai pria itu, aku hanya mencintaimu, sedari dulu dan selamanya."

    "Lalu apa yang salah denganku? kemarin kau bilang bahwa kau tidak mau menemuiku lagi! lalu kau memberiku foto seorang remaja tampan yang kau sangkal sebagai pacar barumu! dan sekarang kau bilang kau mencintaiku?! Kalau kau berusaha mempermalukanku, KAU BERHASIL TIA!!" Emosiku memuncak. dipermainkan seperti ini bukan hal yang sepele bagiku. Aku berbalik dan beranjak pergi.

    "Aku tidak mungkin mencintai diriku sendiri Ray!!" Ujar Tia dibelakangku.

    Aku berbalik dan mengernyitkan alisku.

    "Tolong baca ini."

    Tia menyerahkan berkas dalam map yang tadi tidak kubaca. Kata demi kata kubaca dengan perlahan, mencoba menangkap maksud dari semua ini. Hingga akhirnya aku mengerti, nama laki-laki dalam foto itu, dan nama Tia memiliki banyak kesamaan, Martian Salvador dan Tia Salvador. Ya, tentu saja nama mereka sama, karena mereka memang orang yang sama.

    "Apa maksud semua ini?" Aku bertanya seolah-olah aku tidak mengerti. faktanya, aku mengerti. hanya saja aku menyangkal semua fakta yang ada. Dan berharap semua ini hanya lelucon.

    Tia mengusap matanya yang merah "Kau tahu maksudnya Ray, aku tidak perlu menjelaskannya lagi"

    "TIDAK! AKU PERLU KEJELASAN DARI SEMUA INI!!" Aku kaget dengan ucapanku sendiri yang membentak wanita, tidak, pria yang selama ini kucintai.

    "AKU SEORANG TRANS RAY!! BAGIAN MANA YANG KAU TIDAK MENGERTI?" Tia membalas bentakanku. "Sembilan tahun yang lalu aku mengoperasi wajah dan..." Tia berhenti sejenak "...Semua ini. Dua tahun kemudian aku bertemu denganmu yang mencintaiku. Tapi perasaanku padamu nyata, Ray."

    Meskipun aku sudah tahu kenyataan yang sebenarnya dari berkas tadi. Ternyata lebih menyakitkan jika mendengarnya dari mulut Tia sendiri. Aku merasa seperti orang bodoh. Tujuh tahun aku mengenalnya menjadi tidak berarti lagi bagiku setelah mengetahui fakta ini. Aku baru benar-benar mengenalnya satu menit yang lalu.

    "Tinggalkan aku Ray, bukan aku yang pantas menjadi pendamping hidupmu." Suara Tia berangsur-angsur tenang, sesekali dia masih terisak.

    "Aku tidak tahu harus berkata apa." aku menarik nafas panjang. "Yang aku tahu, perasaanku padamu selama ini juga nyata. Selama tujuh tahun ini adalah waktu terbaik dalam hidupku, dan aku tidak peduli jika kau seorang Trans atau monster sekalipun. Aku tetap mencintaimu, Tia. sekarang dan selamanya"

    Kali ini aku berlutut dihadapannya. "Menikahlah denganku."

    Senyum Tia mengembang dan tangisnya meledak, dia memelukku dengan sangat erat. "Ya, Ray. Aku mau menikah denganmu" bisiknya padaku.

    #​

    Sampai saat ini aku tidak pernah menyesali keputusan yang kuambil bersama Tia. Mungkin kau akan tertawa mendengar kisah cinta kami yang sangat konyol. Tapi kami sendiri tidak pernah menertawakan hal ini, apalagi menganggap semua ini sebagai lelucon. Jika kau bertanya apa alasanku?

    Aku cinta Tia. Itu saja.
     
    Last edited: May 14, 2013
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    wuoh, agan lucifer bikin fanpage :sembah:

    hmm, belum ada yang baru tapi. baca neon dulu ah. komen menyusul :ngacir:

    -------------------------------------------

    Ara, ceritanya gimana ya? setting dapet, nice. Plot, feeling, penokohan, err, no.

    Secara setting, ini bagus. Setting di us dengan serangan zombie, well, asik deh. Meskipun temanya udah umum tapi ane masih suka cara situ ngebawain settingnya. Apalagi deskripsi rasa takut n gorenya, sasuga :top:

    Plot, ini dia yang ane ga demen. Intinya tentang perjuangan survive kan ya? tapi ini semua terjadi terlalu tiba-tiba. Tiba-tiba ada zombie depan rumah, nyerbu rumah, swt. Harusnya kan si Nigel n kakaknya itu udah persiapan pergi ato ngungsi kemana gitu begitu ada kek gini. Ini malah diem di rumah.

    Trus pembuka ceritanya agak, gimana yaa? si kakak blah bloh n ga tau apa-apa tentang zombie apocalypse kan ya? ane kira awalnya ini setiingnya zombie apocalypsenya ngedadak. Eh, taunya ia malah udah siap perang, kek yang zombie apocalypsenya udah dari jauh2 hari.

    Feelingnya juga, agak dipaksain n ga dijelasin (ato digambarin) lebih jauh kenapa si kakak tiba-tiba mentally prepared for war. Adeknya sih, lumayan.

    Penokohan, aneh (meski lebih aneh yang gadis itu bernama nadia, anyway). Dari pembuka itu, awalnya ane kira si kakaknya bakal shock gitu pas tau ada zombie on your lawn. Tapi ini, rasanya si kakak udah siap perang, baik physically ato mentally. Oh, well. Intinya sih dapet, Cuma deskripsinya aja yang kasar.

    Saran ane diperhalus lagi gan, terutama mengenai plot n penokohan.

    Keep going :top:
     
    Last edited: May 15, 2013
  5. LuciferScream Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 15, 2011
    Messages:
    137
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +864 / -0
    ^ makasi uda baca fairyfly, sebenernya cerita ini dari sebuah game writing di forum sebelah si, dikasih suatu plot dan kita disuru nulis lanjutannya. yah kalo ga dikasi tau awalnya emang ga akan ketauan plotnya si. anyway, kelemahan terbesar gw emang di penokohan si, beberapa kali emang pada komplain soal sikap tokoh2 di cerita yg gw tulis. masukan dan kritiknya diterima dengan baik, terima kasih ya :)

    ***

    Jadi ini salah satu dari 2 cerpen yang di ikutin ke sebuah lomba berjudul antologi benci, tapi karena yang ini ga lolos ya akhirnya gw post disini, mohon komentar dan kritiknya apa yang kurang dari cerita ini. anyway kesulitan dalam lomba ini cerpen yang ditulis ga boleh ada kata benci di dalamnya.

    Rutinitas

    4 Februari, 2013
    Lama-lama aku muak juga, sikap sombongnya yang selangit benar-benar membuatku ingin muntah. Kalau saja orang tuanya bukan atasanku, mungkin dari dulu aku sudah membenamkan wajahnya dengan bantal ini. Membungkam wajahnya hingga biru hanya untuk membuat mulut iblisnya terkatup selamanya. Cih!!

    Jadi dia baru saja membual pada teman-temannya tentang rencana bulan madu kami ke Alaska. Yang sebenarnya aku sendiripun tidak pernah membicarakan apalagi merencanakannya. Alaska? Yang benar saja...

    Dan sekarang aku hanya bisa mengutuk keputusan bodohku. Seharusnya aku menuruti apa yang dinasihati temanku untuk tidak cepat-cepat bertunangan dengannya hanya demi jabatan yang kudapat.

    Sial!! Kenapa aku baru menyadarinya sekarang.

    8 Februari, 2013
    Hari ini si gendut tolol itu berulah lagi. Dia pikir dia siapa?! Seenaknya membentak dan merendahkan orang lain. Jujur saja, aku tidak suka melihat sikap pemimpin yang norak, sok jago, merasa paling superior dengan jabatannya.

    Demi Tuhan, jika aku berhasil melampaui posisinya suatu hari nanti, hal yang paling pertama kulakukan adalah merekomendasikan degradasi posisi si gendut pada dewan direksi. Posisi cleaning service bahkan kurasa masih terlalu mewah untuk orang dengan moral binatang seperti itu.

    Sampai saat ini aku masih ingat dengan jelas ketika office boy di kantorku disiram dengan kopi panas di wajahnya oleh si gendut sialan, dan itu terjadi hanya karena dia salah membawakan pesanan kopi yang diminta.

    Dan saat ini semua orang di kantorku membicarakan sikap calon mertuaku. Seakan-akan aku berkomplot dengan si gendut, beberapa rekan kerjaku memandangku jijik, melempar tuduhannya padaku secara tidak langsung. Brengsek!!

    Kalau babi diperbolehkan untuk dikurbankan, aku akan menjadi orang pertama yang mendaftarkan si gendut itu.

    11 Februari, 2013
    Tidak adakah tempat di dunia ini yang benar-benar nyaman untuk ku tempati?

    Semua orang di rumah ini kehilangan kemampuan berkomunikasi dengan normal, tidak ada lagi yang bisa berbicara selaiknya orang biasa. Setiap kalimat yang terucap selalu menjadi tanda seru dengan huruf kapital. Kecuali adik lelakiku yang berusia 10 tahun. Dia masih selalu ceria dengan sifatnya yang menyenangkan. Ironisnya, dia sering menjadi korban tidak bersalah, dan sering dibentak sampai dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh kami. Ya, aku juga sering menyiksanya secara verbal. Aku tahu itu salah, tapi akupun tidak dapat menolong diriku sendiri untuk menahan amarahku.

    Entahlah, kurasa semua ini akibat sampah yang memenuhi otakku dari rutinitas membosankan yang membuatku tertekan.

    Dan hal lain yang tidak kalah memuakkan selalu berulang setiap hari. Aku yang selalu terkena imbasnya karena harus merasakan pagi yang menyiksa. Ketika biasanya orang-orang dapat menikmati hangatnya matahari ditemani secangkir kopi panas yang mengepul, aku dipaksa harus mendengarkan ‘obrolan wajib’ kedua orang tuaku yang saling berteriak satu sama lain.

    Hal sepele seperti menikmati pagi hari bagiku adalah sebuah hal rumit yang sulit kudapatkan.
    Satu lagi, hal yang membuatku semakin mencintai hidupku yang ‘SEMPURNA!!’
    .
    14 Februari, 2013
    Tunangan bajinganku berulah lagi kali ini, dia memintaku untuk membelikan sebuah tas ternama yang menurutku harganya tidak masuk akal. Dia beralih jika aku tidak membelikannya maka dia tidak mau memenuhi kebutuhan biologisku lagi.

    Kau pikir aku hanya bisa tidur denganmu saja?! Tolol!!

    Sifatnya yang merasa bak Dewi Athena ini patut diberi pelajaran. Sepertinya dia sangat bangga dengan tubuh semampainya yang terlihat indah dari luar itu. Ya, kalau saja semua orang tahu lipatan lemak di perut dan pahanya yang disembunyikan dengan susah payah, mereka pasti akan menertawakan dan mencibirnya.

    Tapi untuk saat ini aku masih menuruti keinginannya, aku harus sedikit bersabar demi keuntunganku juga. Tidak lain karena malam ini aku membutuhkannya untuk melepaskan nafsu yang sudah memuncak ini.

    Tapi, hanya kali ini.

    20 Februari, 2013
    Malam ini kejutan yang kuhadapi sangat luar biasa, ketika aku sampai dirumah, aku hampir tidak mengenali rumahku sendiri. Keadaannya sungguh sangat berantakkan, awalnya kupikir rumahku menjadi korban perampokan, tapi ketika aku menemui adikku yang sedang menangis di kamarnya, aku baru menyadari bahwa ini semua hasil dari perselisihan orang tuaku yang bertengkar hebat. Waw! Sungguh sebuah kejutan yang kunantikan sejak lama.

    Keduanya kini pergi entah kemana, aku tidak peduli. Hanya satu yang masih mengganggu pikiranku. Sebuah luka lebam di mata sebelah kanan adikku. Aku bertanya siapa yang melakukannya, namun seperti biasa, dia tidak mau memberi tahuku.

    Baiklah, hanya masalah waktu saja dik, aku akan membalaskan lukamu sepuluh kali lipat lebih menyakitkan..

    2 Maret, 2013
    Siang tadi temanku ber andai-andai, bagaimana dia akan mati-matian mengejar sebuah tombol ‘reset kehidupan’ jika memang benar-benar ada. Dan dia akan memberikan segalanya, termasuk istri dan anaknya jika tombol itu nyata.

    Sementara aku hanya tertawa mendengar hal itu, dan ketika aku menulis buku harian ini aku jadi tertawa lagi, betapa manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Selalu kekurangan dan mencari apa yang tidak dimilikinya.

    Aku sendiri tidak tertarik jika seandainya tombol reset itu ada di hadapanku. Karena dari awal aku memang tidak pernah tertarik dengan kehidupanku. Menjalani sampai saat ini saja aku sudah muak, apalagi memulainya dari awal.

    4 Maret, 2013
    Ingin sekali rasanya aku menuliskan satu saja hal positif yang terjadi dalam keseharianku, namun tampaknya hal itu tidak pernah bisa kutemui dalam hidupku. Entah dosa apa yang diperbuat leluhurku sehingga aku yang harus mengalami kesialan hidup di lingkungan yang menyiksa batin ini.

    Jadi 2 bulan yang lalu aku diminta menyelesaikan sebuah rancangan proyek oleh perusahaanku. Dan selama ini aku bersusah payah mengkalkulasi perhitungan skala bangunan yang akan berdiri di kota ini, terkadang aku harus terjaga hingga pagi karena deadline sempit yang diberikan.

    Aku berhasil menyelesaikannya. Sialnya, aku diharuskan untuk mempresentasikannya pada atasanku terlebih dahulu, si gendut. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti bagaimana caranya dia berhasil menduduki jabatan setinggi ini. Aku bertaruh dukun yang dipakainya pasti kesaktiannya melebihi Eyang Subur.

    Dan sudah bisa ditebak, rancangan yang kususun dengan susah payah dimentahkan dalam hitungan detik olehnya. Bahkan dia hanya melihat gambar bangunan itu tanpa mendengar penjelasanku atau membaca deskripsinya sebelum melempar map biru itu ke dadaku.

    Saya tidak suka, ujarnya sinis.

    Benar-benar tua bangka brengsek!!

    15 Maret, 2013
    Semakin hari aku menjalani hidup yang monoton, tidak ada hal yang dapat membuatku benar-benar bersemangat, tunangan cantik yang besar kepala, bos gendut yang angkuh, orang tua yang bersikap kerdil. Sebuah lingkaran setan yang memenjarakan dan membunuhku perlahan-lahan.

    Aku tidak bisa keluar dari lingkaran ini, kecuali aku memusnahkan semuanya dan keluar dari sini selamanya.

    Tunggu, memusnahkan?

    Hmmmm…

    20 Maret, 2013
    Aku punya ide menarik, Rencananya aku ingin mengumpulkan semua kenalanku di rumah ini pada sebuah pesta. Pesta apa belum kuputuskan, namun sepertinya aku akan berdalih bahwa ini sebuah pesta pre-wedding.

    Ya, aku akan melamar tunanganku nanti, dan daftar utama yang harus hadir adalah kedua orang tuaku, si gendut calon mertuaku, dan tunanganku tentu saja. Sisanya boleh siapa saja. Yang penting keempat orang itu harus hadir dalam pestaku nanti..

    22 Maret, 2013
    Tunanganku berteriak kegirangan ketika aku menyampaikan niat untuk melamarnya minggu depan, dia meneteskan air mata haru dan memelukku, Cih!! Aku tidak sudi membalas pelukannya. Aku hanya membalasnya dengan tepukan ke punggungnya.

    Hal yang sama ketika aku memberi kabar pada kedua orang tuaku. Mereka menangis dan senang pada saat yang bersamaan. Aku tidak mengerti, kenapa mereka begitu emosional pada anaknya yang selama ini mereka acuhkan. Kalau ini untuk menarik rasa simpatiku, mereka tidak berhasil.

    Sedangkan si gendut tidak se-ekspresif itu, dia hanya menganggukkan kepalanya yang bulat dan menjanjikan kedatangannya padaku.

    Bagus! Rencanaku hampir sempurna!!

    25 Maret, 2013
    Entah sejak kapan, namun sepertinya hatiku sudah mati. Aku tidak lagi merasakan simpati. pada semua hal. Pacarku, orang tua, pekerjaan, lingkungan sekitarku. Bahkan aku tidak yakin masih memiliki air mata yang bisa kuteteskan.

    Malam tadi, ketika aku pulang dari sebuah tempat, aku memacu kecepatan motorku di atas batas kecepatan normal, dari sisi jalan di hadapanku ada seorang pengamen entah gelandangan yang tiba-tiba menyebrang tanpa menoleh ke arahku. Sebenarnya aku bisa saja dengan mudah menghindar atau sekedar mengerem untuk membiarkannya lewat dengan selamat. Tapi aku punya ide lain yang lebih menarik. Sepertinya menyenangkan jika aku memberinya sedikit pelajaran.

    Aku memutar gas di tangan kananku dengan maksimal, membuat mesin motorku meraung lebih kencang. Ketika aku melintas di belakang orang itu aku menendangnya hingga terjerembab ke depan.

    Aku menoleh ke arah kaca spion dan melihatnya tersungkur di atas aspal yang kasar. Aku tidak peduli jika dia terluka parah atau mati sekalipun. Aku meninggalkannya di jalanan yang kosong.

    Biarlah itu menjadi pelajaran untuknya. Lagipula aku memang tidak pernah suka dengan keberadaan makhluk sosial kelas rendah seperti itu, mereka hanya membuat kota ini berantakkan dan kotor.

    Sebaiknya lain kali dia menggunakan jembatan penyebrangan yang ada, itupun kalau dia masih hidup

    Oh iya, ada yang menarik dari perjalananku hari ini, ternyata membeli sodium sianida tidak sesulit yang kubayangkan. Yah, walaupun aku harus pergi cukup jauh ke pesisir kota, tapi aku mendapatkannya dengan harga yang pantas.

    1 April, 2013
    Aku bersikeras untuk memasak semua keperluan untuk makan malam pada pesta ini sendirian, bahkan pembantu di rumahku tidak ku izinkan untuk membantu dan kusuruh pergi bersama adikku. Aku beralasan, ingin memberikan kesan yang tidak terlupakan.

    Tentu saja, bagaimana mungkin makan malam terakhir bagi mereka ini bisa dilupakan begitu saja. Hahahaha..

    Aku menaburkan sianida pada hampir setiap makanan yang ada di hadapanku, dan agar rasanya tidak kentara, aku sengaja memasukkan bubuk beracun itu pada saus dan bir agar rasa pahitnya berbaur sempurna.

    Rencananya, setelah mereka selesai memakan semua hidangannya, aku akan memberi tahu semua orang bahwa mereka telah memakan racun paling mematikan dalam dosis tinggi, dan semuanya akan mati dalam waktu kurang dari setengah jam.

    Membayangkan wajah mereka yang panik saja darahku sudah berdesir. Aku sudah tidak sabar.

    Oh iya, kalau kalian membaca catatan ini berarti aku sudah mati, aku meninggalkan catatan ini sesaat sebelum acara makan malam yang kurencanakan. Sekarang Ibuku sudah memanggil dari lantai bawah. Semua orang sudah hadir, dan sepertinya acara makan malamnya akan segera dimulai.

    Sebenarnya aku ingin sekali menuliskan kejadian yang akan terjadi secara langsung, mendeskripsikan bagaimana wajah para manusia rendah itu tercekik sianida. Sayangnya itu tidak mungkin, tapi satu hal yang pasti, mereka dan aku akan mati malam ini.

    Dan mungkin, saat ini aku sedang menjalani rutinitas baruku di neraka.

    Oh! hampir saja aku lupa, selamat hari April Mop.

    ***

    Trivia= tulisan ini mengandung beberapa unsur curhat penulis didalamnya. *kaburr
     
    Last edited: May 17, 2013
  6. LuciferScream Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 15, 2011
    Messages:
    137
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +864 / -0
    hell oo guys,
    jadi ceritanya daripada ilang entah kemana, mendingan karakter yg gw buat ini dipost disini juga buat kenang-kenangan, hehe.

    - Battle Of Realms HxH 2013 Character

    [​IMG]
    Nama:
    Akero Kaoze – The Wind

    Umur:
    Tidak ada yang tahu pasti. Namun dilihat dari fisiknya yang kecil, sepertinya dia belum mencapai 20 tahun.

    Fisik:
    Tubuhnya kecil dan kurus, tinggi badannya sekitar 160 cm / 50kg

    Outfit:
    Akero mengenakan pakaian kain yang biasa digunakan para petapa di negeri timur. Baju dan celana berwarna abu yang longgar memudahkannya untuk bisa bergerak dengan leluasa ataupun ketika ia masuk ke dalam kondisi trance saat sedang bermeditasi. Topeng kayu menutupi hampir seluruh bagian kepalanya, kecuali mulut dan hidungnya. Di belakang tengkuknya terdapat semacam benda berbentuk kipas berwarna hijau gelap. Beberapa orang yang melihat, meyakini bahwa itu adalah sisik naga omega-shenron yang dibunuh oleh jurus genkidama seorang legenda.

    Dua sabit berukuran raksasa tidak pernah ia tinggalkan, mengingat pada masa ini peperangan antar daerah dan monster iblis masih berkeliaran dengan bebas, Akero memilih untuk selalu tetap waspada. Dibalik lengan bajunya terdapat tiga cakar besi yang dapat dengan mudah digenggamnya jika keadaan mendesak dan memaksanya bertarung dengan tangan kosong.

    Semenjak diasingkan, Akero tidak pernah mempunyai teman kecuali seekor burung gagak yang selalu terbang di dekatnya atau bertengger di bahunya.

    Kepribadian:
    Seperti petapa pada umumnya, Akero mengejar ketenangan spiritual dalam hidupnya, dia jarang berbicara kepada siapapun. Dia menyukai keheningan, kedamaian, dan ketiadaan. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bermeditasi di dalam sebuah gua di puncak gunung tersunyi.

    Masa lalunya yang kelam membuatnya memilih mengasingkan diri dari kehidupan duniawi. Dan hal ini menjadikannya apatis terhadap banyak hal.

    Kemampuan bertarungnya yang luar biasa adalah buah dari hasil latihannya di dunia astral selama bertahun tahun.

    Kemampuan:

    Hanya tersisa satu hal yang membatasi kemampuannya untuk berbaur dengan angin, wujud fisiknya. Seakan-akan ia adalah perwujudan fisik dari angin, Akero dapat dikatakan 'menguasai' angin.

    Melompat, bergerak, dan bertarung seakan-akan angin yang berhembus, Akero melakukannya sesunyi dan secepat angin.

    Akero hampir tidak pernah mengeluarkan suara ketika dia bergerak dan bertarung. hal ini menguntungkan untuk membunuh dalam silent mode.

    Tropical Wind
    Akero dapat mensummon hembusan angin badai dalam skala maksimal (saat ini) 300km/h dari arah manapun ia kehendaki. termasuk dari arah bawah apabila terdapat retakan tanah yang cukup dalam. Akero hanya mempunyai kuota sejumlah 300km/h angin. jika kuota habis, Akero tidak dapat mensummon jurus ini hingga ia bermeditasi mengumpulkan cakranya lagi..

    The Twin Schyte
    Dua sabit besar dan cakar besi di kedua tangannya adalah senjata utamanya. Bahan senjata ini tidak diketahui pasti, ukurannya yang besar, lentur namun amat tipis sempat dicurigai berbahan dasar seng. Tapi mengingat bobot dan ketajamannya yang luar biasa, hal ini segera terbantahkan.

    Dikombinasikan dengan gerakannya yang sangat cepat, Akero dijuluki Sang Angin oleh satu-satunya prajurit kerajaan yang selamat dari tragedi pembantaian seribu manusia. Dan tragedi itu dilakukan oleh Akero seorang diri dengan hanya membawa satu sabitnya saja.

    -> Hell Moon. Akero akan menyatukan kedua sabitnya di bagian yang datar, sehingga membentuk lengkungan tajam. Untuk menyerang, Akero bisa melemparkannya dan senjata ini dapat kembali pada sang pelempar (seperti boomerang)

    -:> Hell Tornado; Akero dapat membuat sabitnya berputar cepat pada porosnya seperti gangsing, ditambah dengan kekuatan elemen anginnya, Akero akan membuat sebuah pusaran angin topan dengan sabitnya yang berputar secara acak ditengahnya. Angin ini berwarna perak dan menyedot apapun yang dekat dengannya. Semua benda yang masuk kedalamnya hampir pasti akan hancur tercincang oleh sabitnya.

    -> Theta controller, Akero dapat mengendalikan semua senjatanya tanpa menyentuh, hal ini dapat dilakukannya hanya apabila dia bermeditasi dalam kondisi Theta. Dia akan duduk bersila ditengah pusaran tornado yang melindunginya, sementara senjatanya akan bergerak sesuai keinginannya.


    The Claw
    Ketika sabitnya tidak ada, Akero menggunakan dua cakarnya yang tersimpan di balik lengan bajunya. dikombinasikan dengan serangan cepat, Akero adalah combatant yang dapat bertarung baik secara dekat ataupun jauh.

    Radar Defense
    Akero dapat mendeteksi serangan yang masuk ke dalam ‘radar’nya dengan merasakan perubahan angin yang terjadi di sekitarnya. Jika serangan itu tidak terlalu hebat, Akero dapat dengan mudah menghindarinya.

    Radar ini memiliki blind spot di belakang tengkuknya.

    Zen Mode
    TBA

    Kelemahan:

    Zenbreaker
    Apabila Akero diganggu pada saat dia sedang bermeditasi, Akero akan mengamuk tidak memperdulikan apapun disekitarnya kecuali memberi pelajaran pada hal yang mengganggu meditasinya.

    Fisik
    Perawakan Akero yang pendek dan kecil menjadi salah satu kelemahan fatal dalam pertarungan. Meskipun ia bergerak dengan cepat, namun satu hantaman telak pada bagian yang krusial dengan tenaga penuh dan kecepatan yang cukup sepertinya dapat membuatnya tidak sadarkan diri.

    Blind spot
    Seorang temannya di klan hyuga mengajari Akero tentang Blind spot yang terdapat pada tengkuknya. Serangan pada titik ini tidak mungkin terdeteksi dan akan sulit dihindari. Maka dari itu Akero menutup blind spotnya dengan sisik naga di tengkuknya, melindunginya dari serangan musuh pada titik ini.

    Apatis Totalis
    Sikapnya yang apatis terhadap banyak hal dapat merugikan hidupnya, ia akan terus bertarung dan tidak peduli jika tubuhnya hancur remuk, kehabisan darah, ataupun mati.

    Api
    Akero akan kesulitan jika musuhnya menggunakan api sebagai senjatanya. elemen anginnya akan memperburuk keadaan sehingga dia harus bertarung menggunakan kemampuan bertarung tanpa dibantu oleh elemennya sendiri

    Realms:
    Bumi – Sebuah negara di benua timur.

    Faksi
    Hero – Hal yang masih menjadi misteri bagi Akero sendiri, mengingat ia pernah membantai seribu manusia di negerinya. Dan sebuah desa di Timur jauh.

    Kehidupan Sebelum Turnamen:
    Tidak banyak yang mengetahui masa lalu Akero. Di tempat saat ini dia menetap, tidak ada seorang pun yang tahu darimana pemuda ini berasal. Bahkan wajah aslinya pun tidak pernah ada yang melihat.

    Dulu pernah ada sebuah rumor beredar di tempat Akero sedang singgah. Rumor itu mengatakan bahwa Akero adalah seorang anak yang dikutuk dan diasingkan oleh klan nya sendiri.

    Keesokan harinya, desa itu hancur. Beberapa orang yang selamat bersaksi bahwa mereka merasakan dan melihat terjangan angin berkilat-kilat keperakan, diikuti oleh suara besi beradu yang memekakkan telinga. Seakan-akan sebuah pusaran raksasa yang berduri, angin itu menarik semua benda yang berada di dekatnya dan melebur habis apapun yang masuk ke dalamnya.

    “Selamat datang di IRSS Chekov, Aku adalah Kaichou dari kapal ini dan kalau kalian merasa tidak ingin diperintah oleh anak kecil sepertiku,” Clive meninju udara dan tiba-tiba sebuah retakan dimensi terbentuk, retak dari tempat tangannya memukul sampai lantai tempatnya berhenti, “Bertindaklah seperti orang dewasa, oke?”

    Sunyi.

    “Yang jelas!” Suara Clive kembali membahana sementara retakan itu memulihkan diri, “Kalian bisa melakukan apapun di café ini, kami juga menyediakan ruang pribadi untuk kalian dengan gelas coklat dari Papa sebagai kuncinya. Ada pertanyaan?” Tanya gadis kecil itu dengan senyuman ramah.

    Beberapa orang yang masih tampak kebingungan melontarkan berbagai macam pertanyaan dengan ragu-ragu, sebagian besar bertanya tentang tempat ini dan alasan mereka ‘diculik’. Tidak sedikit yang tampak apatis dengan kejadian ini, mereka hanya mendengarkan penjelasan Clive dengan seksama.

    Termasuk seorang pemuda berperawakan kecil disudut ruangan. Tidak ada yang memperhatikannya, dua sabit besar yang disandang di punggung dan seekor burung gagak di bahunya tampaknya tidak cukup mencolok untuk menarik perhatian orang-orang di ruangan saat ini. Topeng kayu bercorak cakaran binatang menutup sebagian besar wajahnya hingga sulit untuk melihat ekspresinya saat ini. Pria itu bernama Akero Kaoze, Sang Angin dari Timur.

    “Baiklah, karena semuanya sudah kusampaikan, dan sekarang aku capek. Silahkan beristirahat di kamar masing-masing. Aku akan memberitahu jika ada perkembangan lebih lanjut. Para pelayan akan mengantarkan kalian,” Clive mengibaskan rambut birunya dengan kedua tangannya. “Sampai jumpa!” tiba-tiba tubuh Clive dikelilingi cahaya emas yang melesat secara vertikal, dan tubuhnya menghilang bersamaan dengan cahaya yang menyilaukan tersebut.

    Keadaan di ruangan ini cukup ganjil, aura yang menyelimuti tempat ini masih terlalu asing bagi semua orang. Dan keheningan singkat itu dipecah setelah sebuah pintu besar di ujung ruangan terbuka secara sistematis.

    Dua barisan manusia dengan nomor di wajahnya memasuki tempat ini dengan kaku. Mereka membawa sebuah map yang diserahkan pada masing-masing peserta.

    Manusia dengan nomor wajah 66 memberikan mapnya pada Akero, “Tuan Akero, kamar anda bernomor enam puluh enam. Semua fasilitas sudah tersedia di kapal ini. Selamat datang.” Ujarnya datar.

    “Dimana tempat yang sepi? Atasanmu menunda waktu meditasiku.” ujar Akero.

    “Tuan Akero, semua fasilitas sudah tersedia di kapal ini. anda dapat menemukan fasilitas apapun hanya dengan komando suara pada elevator molecular beam kami. Ikuti aku, letaknya di ujung koridor ruangan ini.”

    Nomor enam puluh enam berjalan mendahului Akero dan berhenti di depan sebuah tabung berwarna putih transparan dengan cahaya biru yang menyelimuti kedua sisinya. Di atasnya tertulis EMB.

    “Setelah pintu tertutup, pastikan anda menyebutkan tujuan anda, setelah itu secara otomatis mesin ini akan mengurai molekul tubuh anda untuk disusun kembali secara utuh pada tempat tujuan anda.”

    Pintu itu berdesis ketika Akero memasuki tabung tersebut, Akero menganggukkan kepalanya pada manusia bernomor, menandakan terima kasih.Nomor enam puluh enam membungkuk hormat hingga pintu tabung itu menutup kembali, dan pergi berlalu.

    Akero menyapu pandangannya ke seluruh bagian tabung ini. semua kemajuan teknologi ini tentu saja menjadi sangat asing baginya yang hidup jauh sebelum di masa ini. Setelah puas, Akero mulai membuka map yang diberikan manusia bernomor tadi. Map itu berisi denah lokasi dan data diri semua orang ‘terpilih’.

    Akero merasa ia harus mempelajari hal penting ini, terutama data diri peserta di kapal ini, bagaimanapun juga, ia tetap merasa waspada pada lingkungan barunya. Alih-alih menyebutkan lokasi tujuannya, Akero duduk bersila di dalam tabung itu dan mulai mempelajari secara singkat data diri dari para peserta.

    Setelah cukup lama Akero membaca dokumen-dokumen tersebut, akhirnya ia sampai pada halaman terakhir. Ozehron – Egg Trainer.

    “Tupai? cih, yang benar saja!” Akero meremas kertas itu tanpa membacanya. Ia merasa semua ini sudah menjadi lelucon yang sangat tidak lucu, karena secara tidak langsung ia merasa bahwa kekuatan dirinya dan semua orang di kapal ini mungkin berada tidak jauh dengan kekuatan seekor tupai hutan dari antah berantah.

    Akero beranjak dari tempat duduknya dan merapikan baju abu-abunya. “Bawa aku ke tempat meditasi.”

    “Tempat meditasi, terletak di lantai teratas ruangan rekreasi. Tempat ini memiliki beberapa bagian di dalamnya, termasuk padang rumput dan hutan tropis buatan yang cukup luas dan sepi. Jika anda ingin mengunjungi tempat ini, silahkan konfirmasi kembali.” ujar sebuah suara robot wanita dari tabung itu.

    “Ya, bawa aku kesana.”

    Sesaat kemudian, rasa menggelitik merayapi seluruh tubuh Akero, dan secara luar biasa, sedikit demi sedikit bagian tubuh Akero melebur menjadi cahaya bersama udara menjadi partikel kecil yang hilang disedot pipa di sekeliling tabung itu.

    Proses yang sama terjadi terbalik ketika Akero telah sampai di tabung ruang rekreasi. Rasa menggelitik masih menjalar ketika Akero keluar dari tabung tersebut. Dan saat ini dihadapannya terbentang sebuah padang rumput yang seakan tanpa batas. Cahaya matahari menembus melewati sela daun pepohonan yang tumbuh cukup rimbun, suara burung yang berkicau dan sungai kecil yang bercabang di hadapannya membuatnya tersenyum.

    “Aku tidak tahu sihir apa yang mereka pakai. Tapi aku suka tempat ini.” gumamnya. “Kigu, bermainlah sebentar, jangan terlalu jauh.” Akero mengelus dada burung gagak yang bertengger di bahunya, seolah Kigu mengerti, burung itu terbang sambil berkicau parau.

    Akero berjalan menyusuri padang rumput ini, udara yang sejuk dan bersih benar-benar membuatnya merasa seperti ada di kampung halamannya sendiri.

    Cukup lama ia mencari sebuah tempat yang menurutnya cocok untuk dijadikan tempat bermeditasi. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah bongkahan batu datar yang cukup besar. Di belakangnya terdapat sekumpulan pohon bambu yang berbaris rapi. Ia memutuskan tempat ini akan menjadi tempat meditasinya selama ia berada di kapal ini.

    ***

    [00.44.59.]

    Akero meletakkan kedua sabit besar di hadapannya dan duduk bersila. Ia mulai melemaskan semua persendiannya dan menarik napas dengan teratur. Bermeditasi telah menjadi sebuah kewajiban bagi Akero, selain untuk menenangkan diri, dalam meditasinya Akero melakukan Astral Projection. Sebuah proses dimana ia melepaskan ruh kesadarannya untuk berkelana di dimensi yang lebih atas dari dimensi dunia ini. Disanalah ia memperoleh semua kemampuannya dalam menguasai angin dan juga jurus-jurusnya.

    Belum sempat Akero mencapai kondisi Alpha, -kondisi yang dibutuhkan untuk masuk kedalam kondisi fokus pada meditasi- sebuah suara langkah kaki berlari mengusiknya dari arah belakang. ia mengetahui itu karena suasana di hutan ini yang cukup sepi.

    Akero beranjak dari tempat duduknya sambil mengambil senjatanya. Ia menghadap ke arah barisan pohon bambu di belakangnya dan menggenggam kedua sabitnya erat-erat. Bersiap menghadapi situasi terburuk.

    Suara orang berlari itu semakin dekat,

    “ABSOLUTE BARRIER!” Teriak orang di balik barisan pohon bambu itu, sesaat kemudian terdengar suara logam beradu yang melengking dan suara kayu yang patah.

    Tanpa Akero duga, sebuah benda melesat menembus barisan pohon bambu di hadapannya. Akero tidak dapat melihatnya dengan jelas, namun ia dapat menghindari benda tersebut. Kecepatannya telah berkurang akibat menembus pohon bambu, menjadikannya mudah untuk dihindari.

    Akero melihat benda tersebut masih meluncur teratur dibelakangnya. Namun yang aneh, benda itu melayang tanpa pernah jatuh ke tanah. Benda pipih yang sebelumnya melayang dengan posisi horizontal, kini benda itu berdiri. Melayang perlahan, menunjukkan keutuhan bentuknya secara vertikal.

    Noda darah terlihat jelas menghiasi hampir setiap bagiannya, Kedua sisinya berkilat perak terkena sinar matahari, bagian ujung yang hampir menyentuh tanahnya sangat runcing. Sementara di bagian atasnya terdapat genggaman dengan beberapa ornament. Sebuah pedang, tapi jelas ini bukan pedang biasa. Selain pedang itu bergerak sendiri, ukurannya ternyata sangat besar. Melebihi tinggi badan Akero.

    Tanpa berlama-lama Akero melemparkan salah satu sabitnya ke arah pedang itu melayang dan melemparkan sabit yang satunya lagi ke arah suara orang di balik pohon bambu. Kemudian Akero melompat ke belakang untuk menjaga jarak dari kedua pendatang asing tersebut.

    Sabitnya mengenai pepohonan bambu terlebih dahulu karena jaraknya yang lebih dekat. Sabit itu berhasil memangkas pepohonan tersebut sekitar sepanjang sepuluh meter, menjadikannya sependek lutut. Akero melihat seorang pria berambut hitam bertelungkup tidak jauh dihadapannya. Posisinya sepertinya menyelamatkannya dari sayatan sabit Akero.

    Tidak lama terdengar suara berdenting, sabit Akero yang lain telah menemui sasarannya, pedang misterius yang melayang. Akero menoleh dan terkejut melihat pedang itu utuh dan hanya bergoyang menahan serangan yang baru saja diterimanya. Sementara sabitnya menancap di tanah di sisi pedang itu.

    Akero terdiam keheranan, senjata kebanggaannya gagal membelah target, sebuah pedang.

    Akero mengeluarkan cakar besi di kedua tangannya, ia bersiap menyerang target terdekat yang bisa ia jangkau, pria itu. Akero melompat cukup tinggi dan mengambil ancang-ancang untuk menghunjamkan cakarnya pada pria yang baru saja berdiri.

    “Tunggu! tunggu!” pria itu mencoba memberi isyarat pada Akero, namun kecepatan Akero sudah tidak bisa di kurangi pada saat seperti ini.

    Pria itu terkejut namun masih bisa mengeluarkan sebuah perisai kuning transparan di tangan kirinya, perisai dan cakar itu beradu, memuntahkan percikan api di sekitarnya. Serangan Akero berhasil dimentahkan perisai tersebut. Akero terjatuh berguling ke samping.

    “Dasar bodoh!, kenapa kau menyerangku?!” Pria itu mengibaskan lengannya dan perisai itu menghilang.

    “Jangan konyol, kau yang menyerangku terlebih dahulu!” Akero bangkit dan memasang kuda-kuda menyerang.

    “Menyerang? Aku tidak pernah menyerang siapapun.”

    “Jadi kau bilang melemparkan pedang raksasa itu bukan meyerang heh?” Akero menunjuk pedang yang melayang jauh di sampingnya.

    “Percayalah bukan aku yang menyerangmu, justru aku yang diserang oleh pedang, bukan, orang yang mengendalikan pedang itu. Aku berlari karena ia terus mengejarku, terlebih lagi, aku memang tidak bisa menyerang”

    Akero diam sesaat, perkataan pria tersebut, perisai di tangan kirinya, dan juga penampilannya pernah ia lihat.

    “Kau, Albino-the absolute defense?” Tebak Akero.

    “Albiero. Dengar, aku tidak akan berlama-lama disini, aku akan pergi. Pemilik pedang itu telah membunuh banyak orang di lantai bawah ruangan ini, penampilannya menyeramkan! hampir seluruh tubuhnya diperban. Kupikir dia orang yang baik, namun tiba-tiba ia berubah menjadi seperti hewan buas dan mulai mengamuk.”

    “Canon Maxwell.”

    “Apa?” Tanya Albiero

    “Pria yang kau maksud, bernama Canon. Ia salah satu peserta yang memiliki kekuatan paling berbahaya di antara para peserta lainnya.” Ujar Akero sambil mengamati pedang yang melayang menghampiri mereka

    “Darimana kau tahu namaku dan nama pemilik pedang itu? siapa kau?”

    “Map yang tadi diberikan berisi informasi tentang semua orang dalam kapal ini termasuk informasi tentangku, kau dan Canon.Namaku Akero Kaoze,” Akero mengangkat satu tangannya ke atas dan menangkap satu sabitnya yang terbang ke arahnya. “Sang Angin dari negeri Timur. Dan ya, aku bisa mengendalikan angin.”

    “Baiklah, aku harus segera pergi.” Albiero menepuk pundak Akero dan bersiap meninggalkannya.

    “Kau tidak bisa kemana-mana Alb, ruangan ini tertutup. Dan akses keluar masuk hanya melalui tabung EMB dari arah kau datang tadi.” Ujar Akero “Denah lokasi ada pada map.”

    “Siaaaal!! Seharusnya aku memeriksa map itu dulu sebelum meninggalkannya di kamarku!” Albiero meninju telapak tangannya sendiri. “Tadi aku berhasil kabur dari pembantaian Canon, dan masuk kedalam EMB, kukira dia tidak melihatku, tapi ternyata dia berhasil mengikutiku sampai sini.”

    Albiero dan Akero terdiam sesaat.

    “Tidak ada jalan lain Alb,”

    “Apa?”

    “Kita harus melawannya.”

    “Tidak mungkin, kita tidak akan menang.”

    “Jangan pesimis, kau bisa bertarung?” Tanya Akero

    “Tidak.”

    “Sial...”

    [00.38.07]

    Sesosok pria berbalut perban terlihat berjalan di kejauhan mendekati Akero dan Albiero dengan perlahan. Pakaian putihnya seperti tercemar cairan lengket berwarna hitam, pria itu mengangkat satu telunjuknya ke udara, tiba-tiba pedang misterius di belakang mereka melesat dengan cepat di udara dan kembali pada pemiliknya. Kini pedang raksasa itu melayang di belakang pria tersebut.

    “Aku tahu ada lebih dari satu entitas super disini, bertarunglah denganku, XAXENON MAXWELL - HERO OF ALL HEROES!!” Xaxenon mengangkat kedua tangannya ke atas, seakan-akan dia sedang menyanjung dirinya sendiri.

    “Xaxenon? Kau bilang namanya Canon?” Albiero mengernyitkan alisnya dan menatap heran pria kecil disampingnya.

    “Ya, aku salah sedikit, maksudku Xaxenon. Sekarang diamlah dan fokus!”

    “KAU TIDAK PANTAS MENYANDANG GELAR ITU XAX!! HERO TIDAK PERNAH MEMBUNUH MANUSIA TIDAK BERDOSA!!” Teriak Albiero. “SESEORANG AKAN MEMBALAS KELAKUAN BRUTALMU ITU!!”

    “Alb,” panggil Akero

    “Ya?”

    “Kau tahu, semua panca indera Xaxenon mati? Itu artinya dia tidak bisa mendengar apapun selama hidupnya. Termasuk paragraf yang kau teriakan barusan.”

    “Dan informasi itu ada di map?”

    “Ya.”

    “…” Albiero menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Baiklah, aku akan diam sekarang”

    “Ada satu kekuatan yang sangat berbahaya dari orang ini Alb, kalau aku tidak salah mengingat, Xaxenon mampu menyegel semua indera mahluk hidup yang berada dalam jangkauan sphere nya. Sebaiknya kau bersiap menggunakan tangan kananmu untuk menghalau serangan tersebut. Kekuatan tangan kananmu hanya berlaku untukmu?”

    “Untuk saat ini begitu, aku tidak bisa menggunakan kekuatanku untuk melindungi orang lain. Maaf”

    “Ini akan sangat merepotkanku, bahkan Radar Defense ku tidak akan dapat merasakan perubahan angin yang terjadi jika inderaku mati.” Akero melompat mundur beberapa langkah untuk mengambil sabit yang tertancap di tanah.

    Xaxenon terlihat seperti sedang mengumpulkan sebuah kekuatan yang luar biasa, tanah di sekitarnya bergelombang.dan berderak. Pedang raksasa itu berputar cepat melindungi Xaxenon. Tidak lama kemudian, sebuah lengkungan berbentuk gelembung hitam keluar dari tubuh Xaxenon, perlahan namun pasti gelembung hitam itu semakin membesar. Albiero dan Akero melihat pemandangan yang mencekam tersebut tanpa berkata-kata. Void Sphere, sebuah kutukan pemusnah indera makhluk hidup.

    Albiero menyingsingkan lengan panjang jaketnya dan mulai membentuk sebuah gerakan menulis di udara dengan tangan kanannya. Setelah tangannya bersinar berwarna hijau. Albiero menghantamkan kepalannya ke tanah di hadapannya. “ABSOLUTE BREAKER!”

    Tiba-tiba, tubuh Albiero mengeluarkan ledakan cahaya hijau yang kemudian berpendar lemah menyelimuti seluruh tubuhnya. Berbeda dengan kemampuan tangan kirinya, yang mampu menahan sebagian besar serangan fisik, kemampuannya yang satu ini memungkinkan Alb untuk menetralisir seluruh kekuatan non-fisik yang menyerangnya.Membuatnya kebal terhadap racun, hingga membuatnya kebal terhadap serangan manipulasi.

    “Hei, Alb!” Akero melemparkan sebelah sabitnya ke arah Albiero. Sabit itu menancap disisi Alb. “Aku tahu kau tidak bisa menggunakan kedua kekuatanmu secara bersamaan, gunakan itu untuk bertahan dari serangan Xax.”

    “Bagaimana dengamu?” Alb mencabut sabit yang ternyata lumayan berat.

    “Entahlah, mustahil jika aku harus bertarung melawannya tanpa indera sama sekali. Aku akan mencari cara bertarung yang cocok, atau mungkin mencoba masuk kedalam kondisi terbaikku, Theta State.”

    Gelembung hitam Xaxenon kini menelan Alb dan Akero, kekuatan Alb menghalau serangan pembuka ini dengan mudah. Berbeda dengan Akero yang langsung merasakan malfungsi pada keseluruh inderanya, dan sekarang Akero tidak dapat melihat, mendengar, mencium wewangian, hingga merasakan sentuhan pada kulitnya.

    “Ini Kekuatan yang menyeramkan Alb. Dengar, aku akan berusaha mengalihkan pedang raksasanya, jika Xax terlihat lengah dan jauh dari pedangnya, cobalah untuk menyerangnya sesekali.”

    “Hei! aku hanya bisa bertahan, jika disuruh bertarung, aku tidak bisa!” Ujar Alb menanggapi.

    “Dan jangan coba-coba kau jawab pernyataanku tadi! karena saat ini aku sudah tidak bisa mendengar apapun lagi.”

    Alb menggeram kesal.

    Akero menggenggam satu sabitnya dengan kedua tangannya, dan perlahan lahan ia memutar dirinya semakin cepat hingga terlihat seperti gasing yang berputar. Suara berdengung yang cukup memekakkan telinga terdengar keseluruh penjuru ruangan ini. Tidak cukup sampai disitu, tiba-tiba angin mulai berkumpul di sekeliling Akero, membentuk sebuah pusaran angin raksasa. Inilah salah satu jurus andalan Sang Angin, Hell Tornado

    Xaxenon mengangkat tangan kirinya, mendeteksi perubahan aura di sekitarnya. Tangannya berhenti dan menggantung cukup lama ke arah tornado Akero.

    “Benda apapun itu, tidak akan bisa membuatku bergerak dari sini.” Ujar Xaxenon sambil terkekeh.

    Albiero bersiaga, menjaga jarak aman dengan Xax. Dia menggenggam sabit raksasa Akero dalam posisi bertahan. Alb dapat merasakan tanah di sekitarnya bergetar, bahkan beberapa bebatuan dan benda-benda kecil lainnya tersedot kedalam pusaran angin raksasa tersebut. Ia berusaha dengan kuat agar tubuhnya tidak ikut tercincang kedalamnya.

    Tornado itu bergerak mendekati Xax, perban yang menyelimuti tubuhnya berkibar-kibar. Xaxenon, yang indera perasa dan pendengarannya lumpuh, tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang mendekatinya. Ia hanya mengandalkan instingnya yang terlatih. Karena itulah ia menggerakkan jarinya dan memerintahkan pedangnya untuk menyerang tornado Akero.

    “Wodotta, habisi benda itu!” Xax menunjuk ke arah tornado Akero.

    Pedang Wodotta melesat memasuki pusaran berwarna perak tersebut. Bertarung dan beradu dalam percikan api dan suara yang memekakkan telinga.

    Albiero tidak dapat melihat dengan jelas ke dalam pusaran tersebut, ia hanya bisa melihat kilatan cahaya dan suara logam yang beradu. Tanpa membuang waktu, Alb mulai mengendap mendekati Xax yang berdiri tanpa perlindungan.

    Setelah dirasa cukup dekat, Alb mengambil ancang-ancang untuk melempar sabit Akero ke arah Xax, namun Alb ragu, ia khawatir serangannya akan gagal dan ia tidak mau menyia-nyiakan satu-satunya senjata yang digenggamnya.

    Alb mengambil sebuah batu di dekatnya dan melempar sekuat tenaga ke arah Xax, arahnya tepat, namun Xax mengelak dengan mudah. Sebagai seseorang yang panca inderanya tidak berfungsi, Xax memiliki insting yang luar biasa.

    “Jangan bodoh, serangan seperti itu tidak akan pernah bisa menyentuhku.” Xax menoleh ke arah Alb.

    Tangan Xax tiba-tiba bergetar hebat, seluruh perban yang menutup tangannya lepas. Kulit berwarna putih pucat terlihat membungkus tangan yang kurus itu. Ia merentangkan jarinya ke atas tanah disisinya yang berderak hebat, tanah itu membelah dan membuat retakan yang cukup banyak.

    Seberkas sinar ungu menyelimuti tangan Xax, Alb dapat melihat bebatuan tajam, besar dan kecil keluar dari retakan tanah. Batuan itu berkumpul dan menempel menjadi satu dalam genggaman Xax.

    Xaxenon menggenggam sebuah tombak batu raksasa.

    “Kau akan mati.” Xax tersenyum

    Alb bergidik, aura yang dipancarkan manusia bertaring di hadapannya sangat menyeramkan. Untuk saat ini, ia kehilangan keyakinannya untuk dapat keluar dari tempat ini hidup-hidup.



    [00.29.58]

    Xaxenon melempar tombaknya ke arah Alb. Beruntung, akurasi Xax buruk, tombak batu itu menancap mantap di sisi belakang Alb sejauh dua meter. Alb menoleh ke arah senjata yang hampir saja menembus badannya, kini tombak itu kehilangan bentuknya dan satu-persatu bebatuannya terjatuh.

    Alb memaksakan kakinya yang bergetar untuk berdiri lebih tegak. Ia telah memutuskan akan menyerang Xaxenon. Dalam keadaan terdesak seperti ini, sabit Akero terasa begitu berat. Ia mengayunkan dan melemparkan sabitnya sekuat tenaga dengan kedua tangannya.

    Sekali lagi, Xax menghindar. Sabit yang dilemparkan Alb terbang menjauh dibelakang Xax. Alb tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya pada wajahnya.

    “Hanya seperti itu? kuajari cara menyerang yang baik itu seperti apa.” Xax menjentikkan jarinya yang diselimuti cahaya ungu.

    Tiba-tiba bebatuan yang berada di belakang Alb terbang menuju Xax dengan serentak, menghantam, menggores dan menembus beberapa bagian tubuh Alb yang tidak dilindungi apapun. Alb tersungkur kedepan setelah sebuah batu terbesar menghantam kepalanya dari belakang.

    Bebatuan itu kini membentuk sebuah gada raksasa seukuran pedang Wodotta di tangan Xax. Xaxenon bersiap menghantamkan senjatanya ke arah Albiero. Namun yang ia tidak sadari, Akero telah menghentikan Hell Tornado sesaat sebelumnya. Dan sebagai bayaran Xaxenon yang mendapatkan kebebasan menggunakan kekuatan tangannya, Akero mendapatkan indera penglihatannya kembali.

    Napas Akero memburu, pakaiannya compang-camping. Pertarungan dengan pedang Wodotta ternyata membutuhkan usaha yang berat. Terlihat beberapa bagian tubuhnya sobek dan terluka. Mengeluarkan darah yang tidak sedikit. Di sampingnya, pedang Wodotta terbelah menjadi tiga bagian. Sementara sabit Akero retak.

    Akero merapatkan jari telunjuk dengan jari tengahnya, kemudian menunjukkan tangan kanannya ke arah Xaxenon. Sambil terengah-engah, ia berbisik “Tro... Tropical.. Wind..” Akero mengangkat tangan kanannya ke atas kemudian kebawah dengan cepat, seolah menarik lalu membanting sesuatu yang sangat berat.

    Dari dalam tanah tempat retakan Xax berpijak, suara berdesis bersautan, tiba-tiba sekelebat angin yang kencang menerpa dan melemparkan pria berbalut perban itu ke langit.

    Tropical Wind, Salah satu kemampuan Akero yang dapat memanggil angin badai tropis dari sisi manapun. Kekuatan yang cukup dahsyat. Hanya saja Akero baru bisa memanggil angin badai sejumlah 300 km/h. dan ia baru saja menghempaskan Xax dengan kekuatan 200 km/h.

    Xax terbang bebas cukup tinggi, kemudian, tubuhnya didorong oleh kekuatan yang sangat besar, Membawanya meluncur dengan cepat ke arah bebatuan di bawahnya. Suara yang mengerikan terdengar ketika kepala Xax membentur sebuah batu besar, kini leher Xax terlipat dengan cara yang tidak lazim. Seharusnya dia mati, tapi tidak ada yang tahu.

    [00.22.35]

    Void Sphere Xax kehilangan kekuatannya, semua Indera Akero pulih secara bersamaan. Ia berlutut kesakitan, menopang tubuhnya dengan sebelah tangannya. Indera perasanya telah mengembalikan rasa sakit yang selama ini tidak dirasanya.

    “Alb..” Akero segera bangkit dan memaksa tubuhnya untuk berjalan. Menghampiri teman barunya yang mungkin sudah tewas.

    Akero membalikkan tubuh Alb dan melihat kepalanya penuh oleh darah. Di sekujur tubuhnya terdapat lubang-lubang kecil yang mengeluarkan darah. Akero tidak yakin jika orang di hadapannya masih hidup.

    “Minumkan ini pun.”

    Akero terkejut mendengar suara dari belakangnya, ia menarik cakar besi dari balik bajunya dan menengok ke belakang tapi ia tidak menemukan siapapun.

    “Aku dibawah pun.”

    Akero melihat ke bawah dan menemukan sosok mahluk kecil yang mengenakan topi dan pampers biru. “Siapa kau!?” Akero berjongkok dan mengarahkan cakarnya ke arah leher mahluk itu.

    “Nyuwaaa!!! Aku hanya ingin membantu pun! Kenapa kau mengancamku?!” Seru mahluk itu terkejut. “Aku.. aku Ozehron. Aku bukan orang jahat pun, aku mempunyai obat untuk mengobati temanmu pun”

    “Ozehron?” Akero berusaha mengingat nama itu sejenak, kemudian ia menyadari bahwa mahluk di hadapannya adalah tupai sialan yang diundang ke kapal ini. “Lakukan apa yang kau bisa, jangan macam-macam atau aku akan menjadikanmu tupai panggang.”

    “Puun.” Ozehron mengeluarkan sebuah ramuan berwarna pink dari dalam pampersnya dan menuangkan isinya pada mulut Alb.

    Tiba-tiba, seseorang turun dari langit dengan guncangan yang dahsyat pada tempatnya berpijak. Seorang pria dengan rambut cepak menatap tajam ke arah manusia dan satu tupai yang ada di hadapannya.

    “Mangsa empuk.” Pria itu menyeringai dan mulai menggerakkan kedua tangannya di udara.

    Potongan bambu yang sebelumnya ditebas oleh Akero kini melayang di udara dengan cepat, mengarahkan ujungnya yang runcing kepada mereka bertiga, Akero yang tidak menduga serangan tiba-tiba ini berhasil menangkis sebagian besar serangan yang mengarah padanya dan Albiero. beberapa bambu yang tidak tertebas berhasil menggores paha dan kakinya. Sementara Oz berlindung di balik sebuah benda yang berbentuk seperti buah pinus raksasa yang muncul secara tiba-tiba.

    “Lumayan...” Seraya menyunggingkan senyumnya, pria itu melancarkan serangan kedua, kali ini ia melemparkan gumpalan berwarna biru gelap dari pergelangan tangannya bertubi-tubi ke arah Akero..

    Akero bersusah payah menghindar, ia menahan satu serangan bola tersebut dengan sabitnya, namun seketika itu juga sabitnya perlahan membeku dan berubah menjadi es. Akero melempar sabitnya dan mengeluarkan senjata keduanya, cakar besi.

    Disamping Akero, buah pinus Oz tiba-tiba berputar cepat. Bagian atasnya yang berwarna coklat gelap mengeluarkan gerigi yang tajam. Pinus itu melesat menyerang pria misterius tersebut. Bola biru yang dilemparkan pria itu tidak menjadikan pinus besar itu menjadi es.

    Pria itu melompat menghindari, namun kecepatan pinus itu dapat menandinginya dan tetap mendesak pria itu kemanapun ia menghindar. Ketika pria itu melompat agak tinggi, percikan listrik tercipta dari pinus itu.

    “Kena kau!!” Oz menepukkan kedua telapak tangannya, dan dalam sekejap, listrik yang menyerupai halilintar menyambar pria itu, menghantarkan listrik dengan voltase yang hanya diketahui oleh Oz. Pria itu jatuh terjerembab dengan tubuh yang berasap.

    “Siapa dia pun?” Oz memberi isyarat agar pinusnya berhenti berputar.

    “Aku tidak tahu.” Jawab Akero terengah-engah.

    Pria itu bergerak, bangkit perlahan. Jaket army hijau yang dipakainya gosong dan masih terbakar di beberapa bagian, wajahnya tidak sama lagi, karena saat ini dipenuhi oleh luka bakar yang mengerikan.

    “Hahahaha..namaku Sylar, dan aku menginginkan kemampuan kalian,” kali ini ia menatap Oz “hei tupai, kekuatanmu boleh juga. Tetapi kekuatanku masih jauh diatas kekuatan kalian.”

    Perlahan-lahan, luka bakar di wajahnya berangsur-angsur hilang. Semua daging wajah yang terkoyak dan terbakar sembuh dengan sendirinya.

    Akero dan Oz menatap tidak percaya.

    “Tidak mungkin pun..” suara Oz bergetar. “Aku melepaskan listrik sebesar 5000 volt pun.”

    “Tidak ada yang tidak mungkin di tempat ini.” bisik Akero “Bahkan tupai sepertimu bisa berbicara. “

    “Aku bukan tupai! aku lemur pun.”

    [00.14.51]

    :”Di perjalanan tadi aku menemukan sesuatu, oleh-oleh untukmu topeng!” Sylar merentangkan satu tangannya ke belakang, di kejauhan. Terlihat sabit Akero mendekat dengan cepat. Dengan kemampuan telekinesisnya, Sylar dapat dengan mudah mengendalikan benda yang terlihat olehnya.

    Mungkin karena ukuran oz yang kecil dan sulit untuk di serang, maka Sylar mengincar Akero. Ternyata kecepatan sabitnya yang berputar cukup sulit untuk dihindari Akero, terlebih luka di sekujur tubuhnya menyulitkannya untuk bergerak leluasa seperti biasanya.

    Oz bergegas untuk membantu Akero, ia memerintahkan telurnya untuk menyerang Sylar, sekali lagi pinus itu berputar dengan cepat mencoba mengganggu konsentrasi Sylar.

    Usahanya tampak berhasil, Sylar sibuk menghindari serangan pinus tersebut. Akibatnya, putaran sabit Akero melemah dan kecepatannya berkurang. Akero yang melihat kesempatan ini tidak menyia-nyiakannya. Ia melompat dan hampir meraih sabitnya.

    Tanpa diduga, sabit yang terlihat tanpa kendali itu berputar cepat dengan seketika dan melesat ke bawah secara vertikal, menebas lengan kiri Akero hingga putus.

    “Aaahhkk!!” Akero mendarat di atas kedua kakinya. Baju abunya kini berubah warna menjadi merah darah. “Si.. siaaal.” Sabitnya menancap tepat disisinya.

    Oz terperangah melihat kejadian tersebut, telur pinusnya masih mengejar Sylar, namun karena jarak yang telah melebihi tujuh meter, Oz kehilangan kekuatannya untuk mengendalikan pinus tersebut. Pinusnya berhenti bergerak dan berubah menjadi ukuran normal.

    Sylar menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil melihat Akero kesakitan.

    Oz bergegas berlari menghampiri Akero “Aku punya obat pun,” ia mencari sesuatu di dalam pampers birunya. “Walaupun tidak bertahan lama, tapi ramuan ini bisa menghilangkan rasa sakit pun.”

    Akero menghabiskan cairan berwarna hitam tersebut dalam sekali teguk. “Aku akan menghabisinya.”

    “Tapi tanganmu pun?”

    “Aku butuh bantuanmu, setelah kau mengambil pinusmu kembali, tetaplah berada di dekatku dan jangan lepaskan hingga waktunya tiba.”

    “Waktu apa pun?”

    “Kau akan mengetahuinya nanti. Sepertinya kau cukup pintar.”

    Akero mencabut sabit dengan satu tangannya yang tersisa. Tangan kirinya berhenti mengeluarkan darah. Mungkin khasiat dari ramuan yang diberi Oz sebelumnya. Akero mulai menggenggam erat sabitnya dan mulai memutar badannya, dengan dibantu oleh kekuatan anginnya, Akero berputar cepat menyerupai gasing yang tajam.

    Diluar dugaan Oz, Akero menjauh dari medan pertarungan, ia mengarahkan dirinya ke arah pepohonan di dekat hutan, menebas berbagai macam pohon dan mencincangnya menjadi bongkahan tajam dan serpihan kecil

    Sylar mengamati dari kejauhan, mempelajari sekaligus mengagumi teknik Akero, ia tidak sabar ingin segera menguasai kemampuannya. Sambil menghampiri Akero, ia melempar bola es dari tangannya, hanya saja kali ini dia melemparkannya dengan ukuran yang agak besar.

    Bola es itu mengenai pohon di hadapan Akero. Merubahnya dengan segera menjadi pohon es. Hal ini membuat Akero menghentikan putarannya. Ia melihat ke sekeliling, hutan yang porak poranda ini dirasa telah cukup untuk menjalankan rencananya.

    “ Apa yang kau rencanakan, eh?” Tanya Sylar.

    “Membunuhmu.” Jawab Akero dingin.

    “Kapanpun kau siap.” Sylar mengangkat kedua tangannya ke samping dan melayang rendah.

    Di dekat kakinya, Akero melihat oz sudah menggenggam pinus ditangannya. Oz menatap Akero dan menganggukkan kepalanya mantap.

    “Jika ini tidak berhasil, kita akan mati.”Ujar Akero berbisik. Ia merapatkan telunjuk dan jari tengahnya lagi, bersiap mengeluarkan jurus terakhir sebelum staminanya habis.

    “Tropical Wind!!” Akero mengibaskan telunjuknya dari kiri ke kanan dengan cepat.

    Tidak lama kemudian, suara bergemuruh datang dari arah belakang Akero. Disusul oleh hempasan angin yang kencang.Akero menancapkan sabitnya dalam-dalam pada tanah sebagai pegangan agar tidak terbawa angin.

    Semua potongan kayu dan benda yang berada di sekitar Akero terbang melesat ke arah Sylar. Tidak terkecuali Oz, ia tidak menyangka Akero akan mengeluarkan Angin yang begitu besar. Oz yang masih menggenggam pinusnya ikut terbang bersama bongkahan tajam dan potongan kayu menuju Sylar dengan cepat.

    Sylar cukup terkejut melihat pemandangan dihadapannya, ribuan benda kecil melesat ke arahnya dengan kecepatan 100km/h. Sylar yang memiliki kemampuan Rapid Cellular Regeneration merasa percaya diri ia bisa menahan serangan kecil namun banyak itu.

    Satu persatu potongan kayu menghantam setiap bagian tubuh Sylar, tidak sedikit yang menusuk menembus badannya. Oz berpikir cepat dan mengarahkan pinusnya ke arah paling vital dari tubuh Sylar, kepala.

    Dibantu oleh kekuatan angin Akero, pinus Oz yang kecil melesat bagai peluru. Oz melepaskan pegangannya sesaat sebelum pinusnya menembus mulut Sylar, kemudian Oz membuat ukuran pinus itu menjadi besar lalu pinus raksasa itu berputar dengan geriginya di dalam mulut Sylar. Kejadian yang begitu cepat, bahkan Sylar tidak mampu berteriak kesakitan ketika seluruh kepalanya hancur terlumat oleh pinus seorang lemur.

    Sementara Oz terbang terbawa angin entah kemana.

    Sylar tergeletak tidak berdaya, tidak ada yang tersisa dari kepalanya yang hancur. Sementara Akero terbaring tidak jauh dari situ. Mungkin dia juga mati karena telah kehilangan banyak darah.

    Kilatan cahaya emas muncul secara vertikal pada hutan berdarah ini, dua sosok muncul secara tiba-tiba dari balik cahaya tersebut.



    [00.00.00]

    “Papa, kita terlambat!” Clive berteriak histeris. Ia melihat keadaan hutan yang asri ini menjadi kacau tak berbentuk.

    “Ya, tapi kita akan menemukan para petarung yang masih bertahan.” Jawab pria berbadan besar tersebut.

    Ia mengambil sekop yang tersampir di punggungnya dan menghunjamkannya pada tanah di bawahnya. Mengirim gelombang hitam ke seluruh permukaan ruangan ini. Tidak jauh dari situ, di dua tempat yang terpisah, dua sosok tubuh melayang tidak berdaya.di udara

    “Merekalah yang selamat, Jemput mereka Clive.”

    “Baik papa!”

    Clive menjemput para petarung yang selamat dan meninggalkan ruangan itu dengan kilatan cahaya emas.

    Tidak ada yang tahu siapa yang dijemput oleh Clive. Setidaknya untuk.saat ini pernyataan tersebut belum terjawab…

    -end

    Pada sebuah pagi yang tenang, di puncak gunung Enzou, pelataran kuil Ryuudou. Beberapa saat yang lalu, Clive-sang kaichou kapal antariksa IRSS Chekov- menteleportasi seorang lelaki di tempat ini, dan meninggalkan pria yang terbaring tak sadarkan diri itu sendirian. Akero Kaoze sang Angin dari Timur.

    Sunyi, satu-satunya suara yang terdengar ialah deru angin yang berhembus lembut di kuil ini. Sementara di kejauhan, terlihat seekor burung terbang dengan tergesa-gesa menuju pelataran kuil, Kigu-burung gagak peliharaan Akero.

    Kigu mendaratkan cakarnya dengan perlahan di dada Akero, seolah mengerti tuannya tidak sadarkan diri, Kigu mengibas-ngibaskan sayapnya dan mematuk topeng Akero berulang kali. Sambil sesekali mengeluarkan suaranya yang parau.

    Benarlah pernyataan bahwa burung gagak adalah hewan terpandai di bumi, karena usahanya menyadarkan tuannya berhasil, Akero bergerak lemah kemudian duduk, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling sambil meningkatkan kewaspadaannya di tempat yang asing ini.

    Akero berada di sebuah pelataran luas yang dikelilingi oleh tembok berbatu putih, di tengahnya terdapat bangunan utama yang menjulang cukup tinggi. Dan di belakang tembok itu, tampak pepohonan besar berdiri berderetan mengelilingi tempat ini dengan kokoh.

    “Dimana ini?” Gumam Akero sambil mengelus kepala Kigu.

    Akero bangkit dan berjalan menuju bangunan utama di belakangnya. Dua tiang besar berwarna merah menyangga sebuah palang bertuliskan ‘KUIL RYUUDOU’, tepat di bawahnya tampak sebuah lonceng logam raksasa yang sudah berkarat. Dilihat dari bentuk dan keadaannya, lonceng ini pasti sudah berusia puluhan tahun.

    Samar-samar, Akero teringat akan pertarungan hidup-mati yang telah merusak sabitnya, hingga memutus lengan kirinya. Dan ia tidak yakin apakah semua itu hanya mimpi atau kenyataan, karena saat ini lengan kirinya masih ada dan ia sedang meremasnya kuat-kuat, memastikan itu adalah tangan aslinya.

    Belum pulih semua ingatan Akero akan kejadian yang telah menimpanya, tiba-tiba sebuah benda meluncur dari langit dan mendarat di sisi Akero, sebuah tabung yang berwarna biru, benda itu setinggi lutut Akero. Dia bersiaga dan menjaga jarak dengan benda itu.

    Tabung itu berdesis dan mengeluarkan semacam asap, kemudian bagian teratas tabung itu terbuka dan mengeluarkan hologram dengan ukuran yang cukup besar.

    Kini hologram itu menampilkan gambar seseorang yang pernah ia lihat, Tsuki. “Aku tidak akan berbasa-basi.” Hologram Tsuki mulai berbicara, “Ini adalah tempat pertarungan ronde pertamamu. Kau diharuskan mengalahkan musuh yang sudah kutentukan. Peraturannya sederhana, bunuh, buat menyerah atau buat lawanmu pingsan hingga tidak mampu bertarung dan kau akan menang menuju ronde selanjutnya. Kau dan lawanmu harus menjaga sebuah pilar putih yang akan kukirimkan, jika pilar itu hancur, kau akan kehilangan nyawamu begitu pula lawanmu. Dan jika kau menang dan berhasil menjaga kuil dan gerbang utama dari kehancuran, aku akan memberikan hadiah. Oh ya, satu lagi, sebaiknya kau tidak menggunakan serangan jarak jauh, hal itu akan sia-sia.” Tsuki menyeringai “Senang melihatmu bertahan dari ujian informal tahap pertama. Semoga angin menyertaimu, Akero!”

    Kemudian tabung itu menutup dan melesat cepat ke langit dengan suaranya yang berdesis hingga hilang dari jangkauan pandang Akero.

    Dengan bermacam pertanyaan yang muncul dalam benaknya, Akero duduk bersila membelakangi lonceng besar, menghadap gerbang utama yang dimaksud Tsuki. Sebuah gerbang raksasa yang terletak di pijakan teratas dari tangga yang berjumlah ribuan. Mungkin ujung dasar tangga itu sampai hingga kaki gunung ini.

    Jika memungkinkan, memusatkan pikiran pada alam bawah sadar sebelum bertarung adalah hal pertama yang akan Akero lakukan. Hal ini ia lakukan agar bisa bertarung semaksimal mungkin. Dengan meditasinya, ia bisa memperoleh cakranya secara penuh. Karena itu, ia mulai menutup kedua matanya dan mulai berkonsentrasi.

    Dalam kondisi puncak meditasinya, Akero mendengar suara lonceng di belakangnya berderak perlahan, mengeluarkan bunyi berdecit kemudian berdentang keras-keras. Akero mulai mengembalikan kesadarannya dan membuka matanya perlahan. Ia tahu lonceng itu bergerak sendiri, karena ia tidak merasakan aura orang lain di dekatnya, mungkin ini isyarat dari Tsuki bahwa pertarungan akan segera dimulai.

    Tidak lama kemudian, seorang gadis kecil berpakaian seragam sekolah muncul secara tiba-tiba, dia berdiri agak jauh di depan Akero. Perawakannya kecil,rambutnya yang berwarna perak terlihat mencolok dengan pita merah di kepalanya.

    Tiba-tiba lantai disamping Akero terbuka, lalu memunculkan sebuah pilar mekanis berwarna putih dari dalamnya, Pilar itu berhenti bergerak ketika tingginya menyamai badan Akero. Dan hal yang sama terjadi juga dengan pilar gadis itu. Tentu saja pilar gadis itu lebih pendek, menyamai posturnya yang kecil.

    “Halo!” Sapa gadis itu sambil melempar senyuman ramah.

    Akero menatap gadis berseragam itu dari balik topengnya lekat-lekat.

    “Aku Stellia Scarlet, tuan Blackz mengirimku kemari untuk bertarung denganmu. Apa kau yang bernama Akero?” Tanya Stellia sambil mengibaskan rambutnya yang tergerai.

    ‘Lawanku adalah anak ini? yang benar saja..’ gumam Akero dalam hati.

    “Hmm.. Kau tidak bisa berbicara ya? Baiklah kalau begitu, aku anggap kau adalah lawanku, mari kita bertarung.” Kali ini Stellia membungkukkan badannya pada Akero, memberi hormat.

    Akero sedikit terkejut melihat sikap Stellia yang cukup santai menghadapi pertarungan ini, kemudian Akero membungkukkan badannya juga dan menaruh kedua sabit besarnya di dekat pilarnya.

    “Aku tidak akan bermain-main meskipun kau adalah anak kecil.” Ujar Akero sambil memasang kuda-kuda bertarungnya.

    Hal terakhir yang ia lihat sebelum Stellia menghilang dari tempatnya berdiri adalah senyumannya yang sangat manis. Akero terhenyak karena sekarang Stellia menghilang. Dalam hitungan detik, radar defense Akero mendeteksi perubahan angin secara tiba-tiba di belakangnya, Ketika Akero menoleh, Stellia sudah melompat sambil menghunuskan pisau kecil ke arah kepalanya. Serangan yang tidak mungkin dihindari karena gerakannya yang cepat. Pisau itu telak menusuk dahi Akero.

    Untuk mengurangi tekanan pisaunya, Akero menjatuhkan dirinya dengan berguling ke belakang. Sudah jelas bahwa serangan ini berujung kematian mutlak bagi Akero apabila ia tidak mengenakan topeng kayunya. Karena saat ini pisau Stellia menancap di bagian dahi topeng Akero.

    “Waaah, kau beruntung! Hampir saja kau mati.” Stellia menggelengkan kepalanya sambil berkacak pinggang.

    Akero mencabut pisau itu dan melemparnya kuat-kuat ke arah Stellia. Arahnya tepat, namun pisau itu menembus tubuh gadis itu dan menancap pada tiang kayu di belakang Stellia.

    “Ya ampun, jangan bilang kau tidak tahu serangan jarak jauh tidak akan berpengaruh pada pertarungan ini.” Stellia terkikik dengan suara khas anak kecilnya.

    Akero tahu itu, hanya saja ia ingin memastikan bahwa apa yang disampaikan Tsuki sebelumnya adalah kenyataan. Sekarang ada satu hal lagi yang harus Akero uji kebenarannya. Pilar yang terhubung dengan nyawa para petarung.

    Akero bergerak cepat ke belakang menuju pilar Stellia, ketika dirasa cukup dekat, Akero menggores pilar mekanis itu menggunakan cakar besinya dengan cepat. Pilar itu mengeluarkan percikan api dengan hebat, kemudian secara perlahan pilar itu bergerak turun sedikit. Pada saat yang hampir bersamaan, Stellia berteriak kesakitan, Akero melihat gadis itu reflex memegangi pipinya sebelum ia kembali menghilang.

    Akero bersiaga, dengan cepat ia bergeser dari tempatnya. Benar saja, Stellia muncul tidak jauh dari tempat Akero berdiri tadi. Ia mengibaskan pisau kecilnya secara acak. Akero yang sudah berdiri di luar jangkauan Stellia menatapnya penuh rasa penasaran. Luka di pipi Stellia sama persis dengan goresan yang ia buat pada pilar tersebut. Akero tersenyum, bukan karena apa yang disampaikan Tsuki adalah kenyataan, tapi karena ia mengetahui, bahwa pertarungan pertamanya ini akan menjadi hal yang sepele.

    “Jadi, kemampuanmu hanya berteleportasi saja?” ujar Akero dengan nada mengejek.

    Stellia mengelap pipinya yang berdarah dengan syalnya. “Enak saja! aku juga bisa mencabut nyawa, tahu!” kali ini raut wajahnya berubah cemberut.

    “Oh iya aku lupa, dengan pisau dapurmu itu ya?” Akero berusaha menahan tawanya.

    “Kau…” geram Stellia sambil mengambil sesuatu dari belakang rok sekolahnya, pisau yang lain. Sekarang ia menggenggam pisau di kedua tangannya.

    Akero menggelengkan kepalanya tidak percaya, gadis ini terlalu ‘hijau’ untuk bertarung dengannya. Rentetan kejadian selanjutnya sudah bisa ia tebak. Stellia akan menghilang dan menyerangnya dari arah belakang. Akero sengaja menyimpan cakar besi di balik lengan panjangnya dan mengepalkan tangan kosongnya kuat-kuat, bersiap menyarangkan pukulannya di wajah gadis itu.

    Stellia menghilang, dan sesuai dugaan Akero, ia muncul di belakangnya sambil menghunuskan kedua pisaunya. Malang baginya, Akero sudah bersiap dengan kepalan tangan kanannya. Jika berhubungan dengan kecepatan dan kelincahan gerak, sudah jelas bahwa Akero jauh lebih unggul dibanding Stellia. Karena itulah tinju Akero telak menghujam wajah Stellia terlebih dahulu. Menghempaskan tubuh gadis mungil itu jauh beberapa meter ke belakang.

    Stellia mengerang lemah, dengan kesusahan ia berusaha untuk kembali berdiri di atas kedua kakinya yang gemetar. Wajah manisnya kini dihiasi dengan darah yang mengucur dari kedua lubang hidungnya. Ketika Stellia bersiap menyerang lagi, ia terkejut, karena sekarang giliran Akero yang sudah hilang dari tempatnya.

    Hal selanjutnya yang Stellia rasakan adalah hantaman keras pada belakang kepalanya, tanpa ia sadari Akero telah mengirim kepalan tangannya dengan kekuatan penuh dari arah belakang Stellia. Sekali lagi, gadis itu tersungkur di atas lantai batu yang kasar ini.

    “Menyerahlah.” Ujar Akero sambil berjalan menghampiri Stellia. “Aku bisa membunuhmu kalau kau berkeras untuk bertarung.”

    Stellia tidak menjawab, bahkan ia tidak bergerak dari posisinya yang tengkurap. Satu-satunya gerakan yang terlihat adalah napasnya yang terengah-engah. Rambut perak dan wajah manisnya sudah ternoda oleh darahnya sendiri.

    Akero berjongkok di dekat Stellia dan mengamati gadis itu dari dekat, sayang sekali wajah manisnya harus menjadi seperti ini. Kemudian ia teringat akan pisau kecil yang Stellia ambil dari belakang roknya. Tanpa ragu, Akero memeriksa bagian pinggul Stellia dan menemukan sebuah tempat pisau yang diikat seperti sabuk pada bagian bokongnya. Akero melepas tempat pisau tersebut dan membuangnya jauh –jauh. Stellia masih terpejam, napasnya masih memburu. Ia tidak pingsan, hanya saja hantaman Akero telah membuat kepalanya didera pusing yang meledak hebat.

    “Hei, aku tahu kamu masih hidup. Jangan buang waktuku disini.” Akero beranjak dari tempatnya dan mendekat ke arah kepala Stellia. “Menyerah sekarang atau kau akan jauh lebih menderita.”

    “Ti.. ti.. tidak.. akan.. pe.. pernah.” Jawab Stellia terbata-bata.

    Akero memandang Stellia yang terkapar di hadapannya dengan datar. Ia menggelengkan kepalanya perlahan sebelum mengayunkan kakinya berkali-kali dengan keras ke arah wajah Stellia tanpa ragu.

    Stellia berteriak kesakitan, dengan panik ia melindungi wajahnya dengan sebelah tangannya.

    “Keras kepala.” Gumam Akero.

    Pilar Stellia kembali bergerak kebawah dan berhenti ketika mencapai tengahnya. Akero kini menyadari, gerakan pilar tersebut sepertinya menunjukkan sisa waktu hidup dari para petarung.

    Melihat lawannya sudah tidak berdaya menghilangkan minat Akero untuk berlama-lama berduaan dengan Stellia. Ia berniat untuk segera mengakhiri lelucon ini. Akero mengeluarkan cakar besi dari sebelah tangannya dan menghampiri Stellia Scarlet, sang finalis Heretic yang ternyata sangat lemah.

    Akero menarik paksa baju Stellia hingga merobek seluruh bagian kancing seragam sekolahnya, kemudian Akero memaksanya berdiri. Dengan kesusahan, Stellia berdiri dengan limbung, bahkan ia menggenggamkan kedua tangannya pada lengan Akero agar ia tidak terjatuh ketika rambut peraknya dijenggut dengan kasar.

    Kulit putih yang mulus di balik seragam sekolah Stellia berbanding terbalik dengan keadaan wajahnya yang babak belur. Walaupun Akero tidak tertarik dengannya, namun ia sedikit menikmati pemandangan di hadapannya saat ini.

    “Ini kesempatan terakhirmu, menyerah atau mati?” Akero menempelkan ujung cakar besinya yang tajam ke arah leher Stellia.

    “Ver.. veri.. veritas..”Stellia berbisik.

    “Apa?” Akero mendekatkan telinganya ke arah wajah Stellia, namun tiba-tiba Akero menjatuhkan Stellia. Ia jatuh berlutut dan memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Saat ini, semua ingatan masa lalu Akero, mimpi buruk dan kenyataan pahit yang telah dilupakan, kembali muncul secara bersamaan dalam pikirannya. Akero tahu Stellia yang telah memanggil semua ingatan ini kembali.



    Ia teringat ketika ibunya menyuruhnya menyelamatkan diri di dalam hutan yang terlalap api.

    “Akero, lari! jangan kembali lagi! cari tempat perlindungan, ibu menyayangimu...”

    Akero masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi ketika ibunya menangis dan mendorongnya, ia berlari sambil terisak. Sesekali ia melihat ke belakang, namun yang ia lihat hanya kobaran api yang mengejarnya.



    Ingatan lain berkelebat, memaksa Akero mengingat kembali masa kecilnya, ketika ia menyaksikan teman-teman, dan penduduk desanya diikat pada tiang yang berderet di tanah yang lapang. Akero kecil yang ketakutan bersembunyi di balik semak belukar. Ia tidak memiliki keberanian atau kekuatan untuk menolong teman-temannya. Dan hal yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya kembali berulang dalam ingatannya. Para prajurit kerajaan menyiram mereka dengan sebuah cairan kemudian menyulut api, dalam hitungan detik, api menjalar dengan cepat dan melahap semua yang ada di lapangan itu, membakar manusia-manusia tidak berdaya yang terikat pada tiang. Mereka menggeliat kesakitan dan menjerit-jerit. Sambil menangis, Akero kecil berusaha meniup dan mengipasi kobaran api tersebut dari jauh agar bisa memadamkan apinya, namun sudah jelas, ia tidak akan bisa menyelamatkan ratusan manusia yang sedang dipanggang hidup-hidup.



    Veritas, kemampuan Stellia untuk membaca kenyataan dan masa lalu seseorang. Selama Stellia menggunakan kekuatan ini, korbannya akan kembali mengingat peristiwa yang dibaca oleh Stellia dan ingatan ini akan muncul kembali layaknya sebuah ingatan yang baru saja terjadi.

    Akero terengah-engah, ada setetes air mengalir di pipinya, mungkin keringatnya yang mengucur atau mungkin air matanya. Yang jelas saat ini tubuh Akero bergetar, mengingat semua masa lalunya secara bersamaan bukanlah hal yang mudah baginya. Semua usaha mengasingkan diri, mencari ketenangan, dan berdamai dengan masa lalunya selama bertahun-tahun, kini dirusak dalam sekejap oleh Stellia Scarlet sang Shinigami kecil.

    Akero tidak menyadari, kini Stellia sudah berdiri di sampingnya, rambut peraknya berubah menjadi merah scarlet, ia menggenggam sabit besar dengan gagang hitam yang mengarah pada kepala Akero.

    “Anima.. Fractorem..” Stellia mengayunkan sabit besarnya ke arah Akero yang berlutut di hadapannya, namun tiba-tiba dari arah sampingnya bola api meluncur menuju Stellia dengan cepat. Stellia tidak mau ambil resiko, ia menghindar dengan menteleport dirinya jauh ke samping pilarnya sebelum serangannya mengenai Akero.

    Pandangan mata Stellia yang kosong menatap sosok wanita yang menyerangnya, “Siapa kau?”

    “Sebut saja aku teman dari pria ini, Rieke Wrinn.” Rieke berjalan menghampiri Akero dengan menggenggam api yang berbentuk pedang. “Kau tidak apa-apa Akero?”

    Akero menatap sosok wanita yang sedang mengulurkan tangannya itu. Dalam sekilas Akero mengingat wajahnya, ia memang salah satu peserta dari faksi Heroes. “Jangan ganggu pertarunganku!” Akero menepis tangan Rieke kasar.

    “Hei! Aku baru saja menolongmu! Dasar tidak tahu terima kasih!” Rieke mengelus pergelangan tangannya yang baru saja ditampar Akero.

    “Kalau kau ikut campur lagi, aku akan memenggal kepalamu.” Sorot mata Akero yang berkilat dari balik topeng terlihat dengan jelas oleh Rieke. Mengirimkan aura pembunuh yang belum pernah ia rasakan.

    “Brengsek!” Rieke mundur perlahan dan kembali berjalan menuju musuhnya yang sedang terkapar di sudut kuil ini.

    Stellia yang berdiri di hadapan Akero bukanlah orang yang sama dengan Stellia yang sebelumnya, selain rambutnya yang berubah warna, sorot mata Stellia kini kosong dan wajahnya yang lebam tidak menunjukkan ekspresi apapun, ia juga menggenggam sabit besar yang bergagang hitam dan panjang, Grim Reaper-senjata utama Shinigami Stellia.

    “Aku baru melihat masa lalumu yang menyedihkan, bahkan sampai saat ini keberuntunganmu masih menyertaimu, ya?” Ujar Stellia datar.

    Akero tidak menjawab. Ia menggerakkan jarinya dan memanggil sedikit angin untuk menerbangkan dua sabit besarnya yang disimpan dekat pilar miliknya. “Aku bersumpah, kau tidak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup.” Akero menangkap dua sabitnya yang melayang ke arahnya, kali ini ia bersungguh-sungguh untuk menghabisi nyawa gadis keparat ini.

    Stellia merapatkan genggaman kedua tangannya pada sabitnya, ia kembali menghilang dan menyerang dari arah belakang Akero. Ayunan sabitnya tidak secepat ketika ia mengayunkan pisaunya, ukuran Grim Reaper yang besar dan berat itu telah mempengaruhi gerakan lincahnya. Akero menahan serangan Stellia dengan schyte di tangan kanannya. Tanpa Akero duga, serangan Stellia cukup keras, ia tergeser beberapa sentimeter dari tempatnya berdiri. Pertemuan kedua sabit besar itu menghasilkan percikan api dan suara logam yang beradu nyaring.

    Akero berbalik dan mencoba menebas Stellia dengan schyte di tangan kirinya, Akero berputar dengan sekaligus, Stellia sudah pasti akan terbelah menjadi dua bagian jika saja ia tidak berpindah tempat sesaat sebelumnya. Dalam ayunan senjatanya, Akero tidak menemukan sosok targetnya, hanya sabit besar Stellia yang masih mengapung di udara.

    Sepersekian detik kemudian, sebuah pukulan keras menghantam titik buta Akero, tengkuknya. Akero terjerembab kasar ke lantai di depannya. Belum sempat Akero menyadari keberadaan Stellia, kini gadis itu sudah berdiri di hadapannya menggenggam Grim Reapernya kembali.

    “Anima Fractorem!” Stellia menghujam gagang senjatanya ke arah kepala Akero, dengan kepayahan Akero berguling dan menghindari serangan Stellia yang bertubi tubi membentur lantai di sekitarnya.

    Dalam kondisi terdesak seperti itu, Akero menyempatkan untuk merapatkan kedua jari di tangannya dan mengibaskannya ke arah Stellia yang berdiri di depannya. “Tropical Wind!”

    Sesaat kemudian hembusan angin badai menghempas Stellia dari hadapan Akero, melemparkan tubuhnya jauh ke belakang. Akero yang masih terbaring juga terseret tidak terlalu jauh dari tempatnya.

    Bersamaan dengan turunnya kedua pilar mereka, Akero bangkit berdiri, ia melihat ke lantai di sekitarnya, pukulan Stellia telah mengakibatkan lantai berbatu putih itu berlubang cukup dalam. Di dalam benaknya ia sedikit kagum dengan meningkatnya kekuatan dan berubahnya kepribadian gadis ini dalam sekejap.

    Stellia yang saat ini terbaring mulai bangkit berdiri, ia mengambil sabitnya. Rambut merahnya makin menguatkan senyumnya yang menyeramkan, “Kau hebat, tapi sayang sekali kekuatanmu itu sudah tidak bisa menyelamatkan penduduk desamu yang sudah mati.”

    Akero terdiam, mengeratkan giginya kuat-kuat. Ia tidak sanggup lagi menahan emosinya yang bergejolak. Dan satu-satunya hal yang dapat meredam emosinya saat ini ialah membunuh Stellia secepatnya.

    Akero merentangkan kedua tangannya yang menggenggam sabit di udara, ia berbisik “Hell Tornado.”

    Entah darimana datangnya, pusaran angin tiba-tiba berkumpul menyelimuti sang angin dari Timur, Akero mulai memutar dirinya, dan seolah-olah melebur dengan angin, sosok Akero hilang di dalam pusaran tersebut, digantikan oleh kilatan sabit peraknya yang berputar secara acak di dalam tornado itu.

    Stellia Scarlet, sang shinigami kecil tidak menyangka Akero dapat melakukan hal seperti ini, ia mencoba menggerakkan badannya namun pusaran tornado itu menyeretnya sedikit demi sedikit, hingga puncaknya Stellia tidak dapat menahan tarikan angin tersebut, ia melepaskan Grim Reapernya yang berat, melesatkan senjata utamanya menuju pusaran angin Akero yang berdengung-dengung memekakkan telinga. Saat ini sudah hampir pasti senjata Stellia akan hancur tercincang oleh twin schyte Akero.

    Stellia menyilangkan kedua lengannya di hadapan kepalanya yang tertunduk, mencoba melindungi wajahnya dari serpihan-serpihan batu yang berterbangan, ia bertahan sekuat tenaga agar tidak terseret ke dalam pusaran angin tersebut. Namun tiba-tiba semua kegaduhan itu hilang. Tidak ada suara, tidak ada angin. Hanya kesunyian.

    Shinigami kecil menengadahkan kepalanya untuk melihat apa yang terjadi. Namun seketika itu juga ia terhenyak, karena di hadapannya saat ini, sesosok pria dengan mata berkilat berdiri dengan aura membunuh yang menusuk. Akero Kaoze.

    Tidak ada belas kasihan, tidak ada ampun. Sebuah kesalahan fatal karena telah mengingatkan Akero pada masa lalunya. Stellia berdiri dengan pasrah ketika Akero bertubi-tubi menghujamkan kedua cakar besinya dengan kecepatan yang luar biasa ke seluruh bagian tubuh Stellia, bahkan tidak ada yang bisa melihat gerakan kedua tangan Akero yang menembus tubuh shinigami kecil itu berulang kali.

    Ketika Akero menghentikan serangannya, Stellia jatuh berlutut di hadapannya. Pilar shinigami kecil turun dengan cepat dan berhenti pada sepuluh sentimeter terakhir. Kini, selain wajah yang lebam dan darah yang mengucur, tubuh Stellia dipenuhi oleh lubang yang tak terhitung jumlahnya, begitu pula pakaian Akero yang berubah merah pekat karena terciprat oleh darah Stellia.

    Akero mengangkat satu tangannya ke atas, menangkap sabit besar miliknya yang sekarang sudah dalam genggaman tangan kanannya.

    Semua kenangan buruknya, ingatan pedihnya akan masa lalu yang menyayat dan menyiksa hidupnya, yang tidak terbalaskan, ia salurkan melalui serangan terakhir ini. Ayunan sabit penuh amarah, menancapkan ujung sabit Akero yang lancip di tengah rambut Stellia yang merah scarlet, merobek kepalanya dan menembus sampai ke dagunya hingga akhirnya menghujam lantai berbatu putih di bawahnya.

    Akero Kaoze sang angin dari Timur, telah menghukum sang pencabut nyawa yang berdosa di hadapannya. Tidak ada penyesalan, tidak ada belas kasihan. Dalam benaknya ia berpikir telah melakukan hal yang benar, memusnahkan entitas hina yang bahkan tidak pantas menyandang gelar pencabut nyawa sekalipun.

    Seiring dengan ditelannya pilar Stellia ke dalam bumi, tubuh Akero disinari cahaya biru dari angkasa, samar-samar ia melihat Rieke yang terbaring di ujung pelataran kuil ini, ia berteriak memanggil namanya memohon pertolongan, sementara di belakang Rieke berdiri seorang pria sedang menodongkan semacam pistol di tangannya.

    Akero memalingkan wajahnya tidak perduli. Ia tidak pernah tertarik untuk menolong Rieke. Bersamaan dengan hilangnya tubuh Akero, suara letusan senjata terdengar menggema di keheningan Kuil Ryuudou, menutup hari yang berdarah di puncak pegunungan ini.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.