Cerpen Tempat Latihan yang Sepi

Ini cerpen kedua saya, mohon komentarnya

Spoiler: buka

Tempat Latihan yang Sepi​

“SEPI ya?”

Itu adalah pertanyaan yang paling aku benci. Ada seorang gadis yang selalu menanyakan hal tersebut padaku setiap jam setengah 4 sore pada hari selasa dan jum’at. Ia menanyakan dengan wajah datar dan seolah-seolah tak memerlukan jawaban. Karena sebelum aku sempat menjawab, dia sudah pergi meninggalkanku.

Terkadang aku berpikir bahwa dia tidak kreatif karena ia selalu menanyakan hal yang sama berulang-ulang kali. Apakah dia tidak mempunyai hal lain yang bisa dikatakan padaku selain kata “Sepi ya” tersebut. Aku sungguh jengkel kepadanya, memang saat ini dojang ku (red: tempat latihan taekwondo) sedang sepi yang latihan karena banyak yang mengundurkan diri menjadi peserta. Tapi kenapa ia selalu mengungkit-ungkit itu. Taukah ia bahwa sebagai sabeum (red: pelatih), aku juga sedih dan kesal karena kami kekurangan anggota. Walaupun dojang kami sepi, aku tetap rajin melatih mereka dengan giat. Bahkan aku sudah datang setengah jam lebih awal dari jadwal latihan sebelum muridku latihan karena sebenarnya latihan dimulai pada pukul 4 sore. Tapi apa yang dia lakukan?. Dia menanyakan hal tersebut berulang-ulang ketika aku sedang mempersiapkan peralatan untuk latihan di lapangan dimana tempat kami biasa berlatih. Dan yang paling membuatku sebal adalah ia menanyakan itu tanpa membutuhkan jawaban dengan ekspresi datar. Padahal kalau ia memang sedikit kreatif bisa saja ia menanyakan “Kapan kalian ikut pertandingan?” atau “Sejak kapan kamu menjadi pelatih disini?”

*

Ia selalu mengucapkan itu sebelum murid-muridku datang. Murid-muridku adalah mahasiswa di salah satu PTN di daerahku. Dan aku adalah alumnus, senior dan pelatih mereka. Aku masih ingat saat pertama kali aku masuk ke dojang ini 7 tahun lalu saat menjadi mahasiswa baru. Dulu anggota dojang kami banyak dan pernah mencapai puncak keemasan dengan memenangkan kejuaraan daerah dan nasional. Tapi saat ini, kami kekurangan anggota dan hanya fokus ke kejuaraan tingkat daerah saja. Dan gadis itu selalu menanyakan kata tabu dalam dojang ini yaitu “Sepi ya?”.

Tahukah ia, bahwa aku telah mencurahkan segala sesuatu di dojang ini?. Aku bergabung dengan dojang ini sejak aku mahasiswa baru hingga aku lulus dan menjadi guru. Bahkan dengan murid yang hanya 15 orang ini, aku tetap semangat melatih mereka. Aku terus memacu semangat mereka dengan mangatakan “Siapa yang mendapatkan juara satu di kejuaraan berikutnya akan mendapatkan hadiah dari sabeum!”. Meskipun juara satu jamanku dulu adalah hal biasa untuk diperoleh tapi luar biasa untuk jaman muridku. Aku selalu ingin mendengarkan hal lain dari mulutnya. Bukan hanya ungkapan basa-basi yang membuatku marah.

*

Ia sebenarnya memiliki wajah yang manis dengan memiliki tubuh yang cukup tinggi dikalangan wanita. Bahkan banyak teman dan muridku yang dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya terhadap gadis itu. Tapi aku berbeda pendapat dengan mereka, aku berkesimpulan kalau ia hanya gadis pengganggu yang hanya bisa merusak mood seseorang dengan menanyakan hal yang tidak aku suka. Pernah aku ingin mencoba meramaikan lagi dojang ini dengan cara promosi untuk menarik murid baru tapi aku terlalu lelah untuk hal itu. Aku ingin pensiun untuk melatih taekwondo dan hanya menunggu waktu yang tepat untuk mewarisi dojang ini ke salah satu asisten pelatihku.

Naman gadis itu adalah Indah, ia adalah mahasiswi yang mengikuti UKM Tari. UKM Tari memiliki tempat latihan yang berada dekat dengan kami berlatih dan ia selalu menyempatkan dirinya untuk menegurku dengan kata-kata tidak kreatifnya tersebut. Kata muridku, ia adalah mahasiswi tingkat 3 dari jurusan akuntansi.

*

Sore itu ketika aku sedang memasang sabuk hitamku, ia datang seperti biasa dan menegurku.

“Sepi ya?”

Aku mengernyitkan dahi sambil memandangnya. Aku bangkit dan menjawab pertanyaannya.

“Kenapa kau selalu menanyakan hal tersebut?”

Ia tidak menjawab dan ia terus melangkah untuk pergi.

“Hei, kenapa kau tidak menjawab. Pertanyaan itu telah merusak mood latihanku.”

Ia tidak menjawab.

“Kau pikir tidak sedih menjadi pelatih yang mempunyai sedikit murid? Bahkan aku selalu memikirkannya. Kenapa dojangku tidak seramai saat aku pertama kali masuk dulu. Kenapa mahasiswa sekarang banyak yang tidak loyal terhadap dojang ini. Mereka hanya mendaftar diawal dan lebih dari setengahnya yang mengundurkan diri untuk berlatih setelah dua bulan. Taukah kau beban itu?. Taukah kau kesedihanku? Bahkan aku melatih disini tanpa honor atau uang imbalan karena aku memang menyukai dunia ini, dunia dimana aku pernah meraih mimpi menjadi yang terbaik bersama teman-teman. Tapi apa yang kau lakukan?. Kau telah merusak soreku dengan pertanyaan tidak pentingmu!”.

Ia tetap diam dan membuatku jengkel.

“Kenapa kau diam?. Apakah kau hanya bisa menanyakan hal membosankan tersebut?”

Ia berbalik sambil menangis.

“Kenapa kau yang menangis?. Bukankah aku yang seharusnya tersinggung dengan pertanyaanmu selama setengah tahun ini?”

“Maaf, aku memang yang salah.”katanya.

“Jelas, kau yang salah.”jawabku.

Ia pun duduk dipinggir lapangan sambil menyeka air matanya.

“Aku tahu bahwa kau sebenarnya kesal dengan pertanyaan monotonku. Aku tau hal tersebut. Tapi apakah kamu tau bahwa sebenarnya aku menanyakan hal tersebut agar kau mengatakan bahwa tempat latihan ini memang sepi dan menawariku untuk bergabung dan berlatih bersamamu. Aku sebenarnya ingin bergabung sendiri tapi aku malu tidak berbakat dan ingin diajak duluan olehmu. Aku terkesima saat kau mempraktekkan tendangan berputar kepada murid-muridmu dan sejak saat itu aku menyukaimu. Aku menyukai caramu melatih mereka, aku suka caramu tertawa saat bersama mereka dan aku menyukaimu yang terlihat jantan saat menggunakan seragam itu. Tapi aku tidak berani untuk mendekatimu secara normal malah menanyakan hal yang menurutmu tidak penting. Dan yang membuatku makin sedih adalah ketika akhirnya kau menjawab pertanyaanku dengan amarah seperti barusan”

Aku tidak bisa berkata apa-apa.

“Tapi kau juga yang salah. Kenapa kau tidak merespon pertanyaanku itu. Tapi terima kasih, berkat amarahmu akhirnya kau tahu bahwa aku menyukaimu. Menyukaimu sejak setengah tahun lalu saat pertama kali aku menegurmu. Maaf aku mau pergi, karena aku ada latihan tari terlebih dahulu. Maaf mengganggu dan terima kasih telah mendengarkan.”

Dia pun akhirnya pergi sebelum aku sempat membalas pernyataannya.

*
Selepas dia pergi, aku termenung akan kesalahanku. Ia sebenarnya hanya ingin mengurangi jarak dan mencoba untuk mendekatkan diri padaku. Tapi aku terlalu cuek untuk menyadari itu. Mungkin hal ini membuat aku berpikit terbuka, terbuka akan keadaan disekitarku terutama terhadap orang-orag yag memperhatikanku. Dia sudah mengungkapkan isi hatinya dan inilah waktunya mengungkapkan isi hatiku. Aku akan mengungkapan setelah aku menyelasaikan latihan sore ini. Apakah ini akan berlanjut ke babak baru? Atau hanya akan berlanjut ke jalan buntu?. Yang pasti aku harus mengungkapan hal yang ada dipikiranku.

*

Musim Panas, di bulan Agustus 2012

Tamat

 

Hai, IDWS Mania! Mohon bantuannya supaya IDWS berkembang dengan ikuti sosial media kami di:
Discord Forum IDWS - Facebook IDWS - Instagram IDWS - Twitter IDWS