1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Memories - A Trilogy of Short Stories

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Apr 17, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Memories - A Trilogy of Short Stories (Partially Remake)

    Partially Remake :onfire:

    karena ada banyak plothole n typo, ane benerin lagi n ane ganti judulnya dengan tulisan Remake. mudah2an masih pada mau baca ya :onegai:

    jadi ceritanya ane mau iseng bikin cerpen yang ngegambarin tiga setting berbeda, tapi plotnya (dicoba) dibuat nyambung.mudah2an aja berhasil :swt:
    yosh, hajimeyo :lalala:

    Chapter 1
    Sousuke's Story : Rainbow


    Operasi?”

    Aku mengangguk.

    Wajah Tomoe tampak murung saat aku memberitahu padanya apa yang terjadi di rumah sakit. Dokter Takuya bilang bahwa terapi yang kulakukan selama ini tidak pernah benar-benar menyembuhkanku, dan satu-satunya jalan bagiku untuk sembuh adalah operasi.

    Sejujurnya aku tak mau melakukannya. Aku merasa sudah sehat. Secara umum, tak ada yang salah dengan kondisi tubuhku. Aku masih bisa bekerja dan masih bisa melakukan aktivitasku di rumah dengan baik – mengepel lantai, menyapu halaman, semuanya masih bisa kukerjakan. Aku tak mengerti mengapa dokter, lalu bos dan teman-temanku di kantor amat bersikeras menyuruhku untuk melakukan terapi dan pengobatan tetek bengek lainnya. Belum lagi Kanae, tetangga sebelah rumah yang cerewet. Ia selalu datang setiap hari untuk mengecek apakah aku sudah minum obatku atau belum. Alih-alih terbantu, aku merasa kesal. Pil-pil pemberian dokter Takuya rasanya pahit bercampur asam. Aku yakin pil-pil itu terbuat dari apa yang seharusnya menjadi racun serangga. Dan sialnya, Kanae selalu memaksaku untuk meminum obat-obat itu.

    Satu lagi alasan yang membuatku tidak mau melakukan operasi itu adalah kata-kata temanku. Ia pernah bercerita bahwa dari setiap operasi medis yang berhasil, kemungkinannya hanyalah satu banding dua. Artinya, hanya 50% dari setiap pasien yang menjalani operasi medis yang berhasil selamat. Aku sebetulnya tak terlalu peduli jika aku mati, tetapi jika aku tak selamat, Tomoe pasti amat kesepian.

    Tomoe masih memasang wajah murung, berbaring di ranjangnya dengan piyama putih bergaris. Jemari tangannya masih menggenggam erat sebuah sapu tangan yang kuberikan padanya saat bermain di taman ria enam bulan lalu. Entah kenapa aku tak suka pada sapu tangan itu. Sangat tak suka, meskipun Tomoe tak pernah melepaskannya dari genggamannya.

    Kembali kutatap wajah Tomoe yang tak berubah. Tetap murung dan sedih. Kutarik napas dalam-dalam.

    “Aku takkan menjalaninya, Tomoe. Aku akan menghentikan pengobatanku, agar aku bisa lebih lama bersamamu.” Kataku sambil beranjak duduk disamping tempat tidurnya. Wajah Tomoe tampak basah dan pucat oleh keringat.

    “Kau harus melakukannya, Sousuke.” Tomoe menjawab dengan suara yang hampir habis karena lemas. “Kau harus sembuh, agar kau bisa terus hidup. Ingatlah semua mimpi-mimpimu.”

    “Mimpi-mimpiku, hidupku, semua itu takkan berarti tanpamu, Tomoe.”

    Mungkin aku berkata gombal, tapi hanya itulah yang kuinginkan kini – terus berada disamping Tomoe. Pada upacara pernikahan kami pun, kami berjanji untuk selalu menemani dan selalu bersama dalam suka maupun duka, dan dalam sehat maupun sakit. Aku punya alasan kuat untuk terus bersama Tomoe.

    “Satu-satunya yang kuinginkan kini hanyalah bersamamu.” Kataku lagi.

    Tomoe diam sesaat, batuk, dan kembali diam menatapku dalam-dalam dengan pandangan mata khawatir. Napasnya tampak tersengal menahan rasa sakit yang beberapa bulan terakhir ini menerpa tubuhnya. Ah, damn! Jelas sudah. Aku takkan menjalani operasi itu. Lebih baik aku menghabiskan uangku untuk mengobati Tomoe.

    Tomoe sendiri selalu bersikeras bahwa ia baik-baik saja. Ia tidak pernah sadar bahwa ia merupakan pembohong yang buruk, dan aku tak suka melihatnya pura-pura sembuh. Hanya dengan melihat wajahnya saja aku tahu bahwa ia sakit keras – dan semakin lemah setiap harinya. Bagiku, itu semua mengerikan. Melihat seseorang yang kau sayangi terbaring lemah di tempat tidur tanpa bisa melakukan apapun, kurasa itu hal terburuk di dunia ini.

    “Uhuk, uhuk,” Tomoe kembali batuk selama beberapa saat, sebelum kembali berbicara perlahan, “Sousuke, kau harus melakukan operasi itu, kau—“

    “Jangan bicara lagi, Tomoe. Sudahlah, istirahatlah.” Aku memotong cepat, merapikan selimutnya yang terlipat di beberapa bagian. “Aku ingin kau sembuh.”

    “Lalu kau sendiri bagaimana?”

    “Aku bisa melalui ini semua. Aku…aku sudah sembuh.” Jawabku tersenyum. Meski jujur ada sedikit rasa takut yang tak bisa kujelaskan saat kuucapkan kata-kata itu, namun aku terus-menerus meyakinkan diriku bahwa aku sudah sembuh. Ya, aku sudah sembuh. Seperti yang kukatakan sebelumnya bahwa aku bisa bekerja, bisa menjalani kehidupanku, dan bahagia. Apalagi yang kutakutkan?

    Rambut Tomoe yang panjang sepunggung tampak basah oleh keringat dan menutupi sebagian wajahnya. Perlahan kembali kuusap rambutnya kebelakang, dan melihat sang gadis yang menatapku lugu diatas tempat tidur, aku tak tahan untuk mengecup keningnya, membuat Tomoe tersenyum kecil.

    “Sousuke, kau tahu? Kau pembohong yang buruk.”

    “Menurutmu begitu?”

    Masih tersenyum, Tomoe mengangguk. Ia tak sadar betapa ia lebih buruk dariku dalam urusan bohong membohong. Konyol. Haha.

    Aku tertawa kecil sambil terus mengelus rambutnya, sama seperti yang biasa kulakukan saat aku menonton bioskop bersamanya, atau membaca buku di taman, atau bermain di tepi pantai, atau saat aku memeluknya erat-erat.

    “Tomoe, percayalah padaku. Kita bisa melaluinya. Kau harus sembuh agar kita bisa terus bersama.”

    Tomoe tetap diam. Wajahnya lugu menatap langit-langit sambil tersenyum kecil.

    “Kurasa tak ada jalan bagi kita untuk bersama, Sousuke. Salah satu…uhuk, uhuk,”

    “Tomoe, sudahlah. Percayalah padaku.” Sejujurnya aku tak suka mengulang kata-kata, namun Tomoe selalu keras kepala.

    “Sousuke, kau juga sudah tahu, kan? Salah satu dari kita harus pergi,” Tomoe masih menatap langit-langit. Jemariku perlahan berusaha menggapai tangannya. Dapat! Aku berhasil menggenggam telapak tangannya yang kini mulai terasa dingin.

    Tomoe terkesiap, menoleh padaku, dan tersenyum lucu. Dapat kurasakan genggaman tangan yang erat darinya.

    “Dan jika perpisahan itu terjadi,” Tomoe kembali bicara ini itu tentang perpisahan. “Aku ingin kau yang terus hidup.”

    “Jangan bicara macam-macam, Tomoe.” Meskipun aku amat geram, aku tetap berusaha tersenyum sebisaku. Tomoe kembali menggeleng saat aku kembali mengatakan padanya untuk percaya padaku, bahwa kami masih bisa melalui semuanya dan terus bersama. Aku tak menyerah dan terus berusaha menghiburnya, tapi Tomoe juga tak mau mengalah.

    “Kau ini selalu keras kepala, Tomoe. Tak bisakah kau percaya padaku sekali ini saja?”

    “Sousuke,” Tomoe kembali memasang wajah lugunya. Jemarinya menggenggam telapak tanganku makin erat, dan diluar dugaanku, ia mengecupnya. Aku terpaku melihatnya, terenyuh. Segera saja kurangkul tubuh mungilnya.

    “Sousuke, aku selalu percaya padamu. Tak pernah sekalipun aku meragukanmu. Hanya saja…”

    “Hanya saja apa, Tomoe?”

    Napas Tomoe tersengal saat berusaha menjawab pertanyaanku, dan ia baru tenang setelah aku melepaskan pelukanku darinya. Kuberikan ia segelas air minum agar ia tenang. Ada semacam perasaan perih saat kulihat Tomoe berusaha bangkit dari tidurnya dengan amat lambat, lalu meminum air dengan susah payah, berhenti sesaat untuk bernapas, batuk, dan kembali minum. Ia bahkan tak bisa meminum segelas air dengan lancar.

    “Tomoe, tak ada perdebatan lagi. Kau harus sembuh. Aku akan menghentikan pengobatanku dan fokus untuk kesembuhanmu. Bagaimanapun aku ingin kita tetap bersama.”

    “Sousuke,“

    Tomoe tampak berusaha untuk tetap terjaga dan fokus pada apa yang ia ingin katakan. Tangan kanannya memegangi dadanya yang mungkin terasa amat sakit.

    “Sousuke, kau sendiri sudah tahu bahwa itu tidak mungkin, bukan?”

    Aku menyibak rambut panjangku kebelakang, menarik napas panjang saat Tomoe kembali berusaha berkata bahwa kami tak bisa bersama lagi.

    “Kau seharusnya menerima kenyataan yang ada, Sou—“

    “Kita bisa tetap bersama, Tomoe!”

    Aku membentak. Hilang sudah kesabaranku dengan sikap keras kepalanya yang tidak pernah berubah semenjak kami bertemu pertama kali di SMA. Dan mungkin karena bentakanku yang terlalu keras, Tomoe kini tampak terkejut. Terlebih kini aku menatapnya dengan mata yang hampir terlempar keluar.

    Kini napasku tak beraturan, penuh dengan rasa kesal padanya. Meski kemudian, rasa kesal itu perlahan berubah menjadi penyesalan saat kulihat Tomoe menundukkan kepalanya perlahan. Isak tangisnya terdengar samar-samar ditelingaku.

    Tetapi aku enggan meminta maaf. Aku ingin ia menyadari apa kesalahannya. Akh, tidak. Ia tidak salah. Yang kuinginkan adalah ia bisa mengerti apa yang kuinginkan.

    Tomoe memalingkan wajahnya, menatap ke arah meja dan menyimpan gelas yang kini sudah kosong. Sambil melakukannya, ia juga menatap sebuah miniatur bianglala yang berdiri di meja.

    Ia tersenyum sesaat. Diputarnya miniatur bianglala tersebut, dan ia tersenyum makin lepas. Kurasakan kini ia kembali menggenggam jemariku. Aku tersenyum, dan sambil kini beranjak duduk persis di sampingnya, kutempelkan kepalaku di kepalanya. Tak lama, Tomoe memeluk tubuhku hangat, dan menaruh kepalanya di pundakku.

    “Ingat saat terakhir kali kita naik bianglala, Sousuke?”

    “Tomoe, jangan ajak aku kesana lagi. Itu…itu mengerikan.”

    Tubuhku masih gemetar. Aku masih tak tahan dengan sosok drakula, zombie, dan werewolf yang ada di rumah hantu terkutuk itu. Rumah hantu terkutuk! Sialan! Aku harap para pemeran hantu di rumah hantu itu juga ikut terkutuk, menjadi sama seperti zombie yang bahkan tak bisa bicara. Memalukan, memang. Aku takut oleh sosok yang bahkan sulit bicara itu.

    “Tomoe?”

    Tomoe menoleh, tersenyum. “Kau bilang apa, Sousuke?”

    Tomoe sama sekali tak mendengarkanku. Ampun, gadis itu. Percuma saja aku mengeluarkan tenaga untuk memelas dan memohon yang baru kulakukan.

    “Bisa kau ulangi lagi”

    “Apa?”

    Tomoe menunjuk telinganya, dan menggeleng, dan tersenyum. Sepasang earphone tampak menutupi lubang telinganya. Aih, sejak kapan earphone itu terpasang? Kurang ajar. Tomoe pintar sekali menggoda perasaanku jika sudah menyangkut hal-hal kecil seperti ini.

    Didorong rasa kesal, segera saja aku menghampirinya. Tomoe diam saat aku meraih pipinya. Terkejut.

    “Kau tahu, Tomoe? Kau sangat cantik malam ini.”

    Tomoe menatapku dalam-dalam, dan perlahan kuulurkan jemariku makin dalam, makin dalam ke lehernya. Ia masih diam melongo, terlebih saat kini kudekatkan wajahku ke wajahnya hingga aku bisa merasakan desah napasnya.

    “Sousuke?”

    Aku tersenyum. Tomoe perlahan menutup matanya, mengira aku akan menciumnya untuk pertama kali. Dugaannya salah karena kemudian kuarahkan jemariku ke telinganya. Kucabut earphonenya yang masih menggantung.

    “Hei!”

    Berhasil. Hahaha. Ia takkan bisa lagi berpaling saat aku berbicara. Kusimpan earphone itu di saku mantelku – aku takkan mengeluarkannya lagi.

    “Sousuke, kembalikan dong.”

    “Hei, Tomoe, kau dengar apa yang kubilang tadi?”

    “Ya, aku dengar! Kembalikan earphone itu! Sousuke!”

    “Kalau kau dengar, coba ulang.”

    “Urgh,” Tomoe menggerutu. “Ayo kembalikan!”

    Tomoe berusaha meraih earphone yang ada di saku mantelku, namun aku segera meraih kedua lengannya sebelum ia meraih apa yang ia inginkan. Tomoe diam saat kini kami berdiri berhadap-hadapan, lagi.

    “Tomoe,”

    Tomoe terkunci. Ia diam tak bisa bergerak, atau lebih tepatnya enggan bergerak. Kurasa ia ingin menikmati momen-monen romantis ini.

    “Y…ya, Sousuke?”

    Aku tersenyum kecil. “Kau cantik.”

    Wajah Tomoe memerah, dan ia tersenyum kecil. Namun beberapa saat kemudian ia segera melepaskan diri dari genggamanku. “K…kau bilang apa? Ini kan tempat umum. Bodoh!”

    Aku tersenyum menang. Kuacak-acak rambut Tomoe yang kini tampak cemberut.

    Di arah timur dari tempat kami berada, sebuah bianglala raksasa yang amat cantik tampak berdiri kokoh. Setiap ruangan di bianglala tersebut memiliki lampu yang bercahaya berwarna-warni bila tampak dari luar. Tinggi bianglala itu mungkin sekitar seratus meter. Siapapun bisa melihat seluruh kota dan langit luas dari puncak bianglala itu.

    Aku tersenyum. Saat kutarik tangannya yang hangat, Tomoe tampak makin terkejut. Lebih terkejut dari saat aku mengatakan padanya bahwa ia cantik.

    “Kita mau kemana?” Tanyanya. Aku menunjuk ke arah bianglala sambil terus berlari. “Bianglala, Tomoe. Kita akan melihat bintang-bintang.”

    “Bintang-bintang?”

    Aku mengangguk.

    Tomoe sering bercerita bagaimana almarhum ayahnya dulu bekerja di observatorium, dan Tomoe kecil selalu diajak ayahnya melihat bintang-bintang saat malam tiba. Kadangkala ia teringat akan ayahnya, dan jika itu terjadi, tempat yang tinggi adalah tempat paling pas baginya untuk menenangkan diri. Menurutnya, tempat tinggi merupakan tempat terdekat untuk berada dekat dengan bintang-bintang di langit luas – tempat yang bisa membuatnya tenang. Aku ingin ia berada dalam kondisi setenang mungkin saat aku melamarnya.

    Ya, melamarnya.

    Aku sudah lama mengenal Tomoe. Sudah tujuh tahun. Aku tak menyangka sebuah hubungan yang awalnya kukira akan selesai dalam tiga bulan terus bertahan hingga tujuh tahun. Makin lama berada dekat Tomoe, aku makin menyadari bahwa ia amat berarti bagiku. Belahan jiwaku, begitu yang kurasakan dalam diri Tomoe. Karenanya, aku berniat untuk melamarnya malam itu, agar kami bisa terus bersama.

    ***

    Ada aku, Tomoe, dan seorang lainnya dalam bianglala yang kami naiki. Bianglala ini berputar perlahan, membawa kami makin keatas. Aku tak keberatan dengan adanya sang penumpang misterius. Jaraknya dengan Tomoe dan aku berada cukup jauh, jadi kurasa tak ada masalah jika aku berbicara dengan nada normal untuk meyakinkan Tomoe agar bisa menjadi istriku. Aku yakin sang orang ketiga tak bisa mendengar suara kecilku saat aku melamar Tomoe, selama aku tak berteriak, tentunya.

    Jantungku berdebar kencang saat kusadari bahwa langit penuh bintang sudah tampak dari jendela dihadapan kami, namun Tomoe tampak rileks, tersenyum lepas sambil menatap keluar jendela seolah tanpa beban. Di saku mantelku, tanganku bergetar hebat, menggenggam erat-erat sebuah kotak cincin berwarna merah marun. Dan hanya tinggal menunggu mulutku memanggil namanya bagi cincin emas ini untuk tampil dihadapan Tomoe. Aku begitu gugup, sampai-sampai dapat kurasakan tanganku basah oleh keringat. Kutarik napas dalam-dalam, mengaturnya sedemikian mungkin agar aku merasa nyaman. Hirup, buang. Hirup, buang. Sekali lagi kutatap Tomoe yang masih tersenyum melihat langit.

    “Tomoe, ada yang ingin—“

    “Langit yang indah.”

    “Eh?”

    Tomoe terus terpaku menatap langit penuh bintang itu. “Hei, Sousuke, terima kasih kau sudah membawaku naik bianglala ini. Aku merasa…amat nyaman.”

    “Oya?”

    Tomoe menoleh padaku dan mengangguk tersenyum. Ia beranjak perlahan dan menarik lenganku, berusaha agar aku bisa menatap pemandangan langit bercahaya bersamanya. Saat aku berdiri disampingnya, kurasakan kepalanya menyentuh pundakku.

    Dan perasaanku menjadi semakin campur aduk, meski kini Tomoe menggenggam erat jemariku dan terus membenamkan kepalanya. Ah, momennya telah tiba! Bisikku dalam hati. Itu merupakan momen yang pas! Momen yang pas untuk berkata, “Tomoe, menikahlah denganku.”


    Maka kukumpulkan keberanianku. Sekali lagi kukumpulkan itu semua.

    “Tomoe,”

    “Hmm?”

    Tiba-tiba saja napasku tercekat. Sialan! Bagaimana aku mengatakan ini padanya aku juga tidak tahu. Kanae sudah menawarkan dirinya untuk membuat semacam teks bagiku agar aku bisa lancar melamar Tomoe, tapi karena kebodohanku, aku malah menolaknya.

    “Tomoe, aku…ah, begini. Aku…”

    “Kau mau bilang apa?”

    Jane dikalahkan oleh macan, macan dikalahkan oleh Samson, dan Samson dikalahkan oleh Jane. Tidak, bukan itu yang mau kukatakan. Yang baru terlintas di pikiranku tadi adalah peribahasa yang menggambarkan bahwa lelaki bisa mengalahkan macan dengan kekuatannya, tetapi akan selalu kalah oleh wanita. Baru saat ini aku menyadari peribahasa itu benar. Ini semua memalukan. Aku yang sehari-hari terkenal lepas dalam berbicara kini malah bernyali ciut dan kaku dihadapan gadis lemah tak berdaya ini. Sialan! Sialan!

    “Aku…aku…”

    Tomoe menaikkan kembali kepalanya dan menatapku lugu untuk sesaat, untuk kemudian tersenyum. Kurasakan ia menggenggam jemariku makin erat.

    “Lamaranmu kuterima, Sousuke.” Suara lembutnya terdengar ditelingaku, dan itu benar-benar membuatku terkejut.

    “Kau bilang apa?”

    “Bodoh kau. Tidak memakai earphone tapi minta diulang. Haha.” Tomoe tertawa malu-malu sesaat sebelum ia berbisik. “Lamaranmu kuterima, Sousuke.”

    Deg!

    Jantungku seakan berhenti berdetak. Entah apa yang terjadi dengan hatiku, namun napasku rasanya kini terasa akan meledak. Yang pasti aku merasa amat bahagia mendengar kata-kata Tomoe yang terus terngiang ditelingaku kini. Kami saling menatap satu sama lain.

    “Memangnya aku mau melamarmu? Percaya diri sekali.”

    “Lalu itu apa? Di saku mantelmu?”

    “Earphone.”

    “Masa?”

    Aku tak menjawab. Kutatap wajah Tomoe yang lugu, tersenyum padaku. Aku tersenyum balik. Selang beberapa saat kemudian kami tertawa konyol, amat lepas seperti anak-anak.

    Puas tertawa, kupasangkan sebuah cincin di jari manisnya. Kudapati Tomoe menahan isak tangisnya yang berat, meski air matanya menetes juga saat perlahan kumasukkan cincin berlapis emas itu ke jari manisnya.

    “Hei, Sousuke,”

    “Ya?”

    Tomoe tersenyum, menatapku bahagia. “Terima kasih.”

    Dan tanpa aba-aba Tomoe segera menabrakkan tubuhnya padaku, dan memeluknya erat-erat. Rasanya hangat sekali saat ia membenamkan kepalanya di dadaku. Kuelus rambutnya perlahan, menuruni punggungnya yang terbalut mantel tebal. Salju turun tiada henti di bulan-bulan ini dan membuat cuaca dingin, namun kami merasakan kehangatan tersendiri malam itu.

    “Mulai sekarang, tolong kau jaga aku baik-baik.” Katanya perlahan. Aku mengangguk, dan kuyakin ia bisa merasakannya, anggukanku.

    “Janji?”

    Aku kembali mengangguk, dan kukecup keningnya perlahan. Untuk pertama kalinya aku mengecupnya.

    ***

    Aku masih memeluk tubuh Tomoe erat-erat, saat kemudian kudapati sang pria asing memandangi kami. Beberapa saat kemudian ia berdiri, bergerak perlahan. Seketika wajahku berubah pucat saat ia mengeluarkan tangannya yang selama ini tersembunyi dari tangannya. Sang orang asing, tak kusangka ia menggenggam sebuah pistol di tangannya.

    Kulepaskan pelukanku dari Tomoe, membuat Tomoe sedikit keheranan.

    “Sousuke?”

    Aku tak menjawab dan terus menatap sang pria asing dengan kaku. Tomoe yang ikut penasaran menoleh padanya. Suara napasnya yang terkejut dapat kudengar beberapa saat kemudian.

    “Sembunyi dibelakangku, Tomoe!”

    “Sousuke, dia…”

    “Cepat!”

    Segera saja Tomoe berlari dan menyembunyikan dirinya dibalik punggungku. Tubuhku gemetar bukan main saat sang pria misterius tersenyum menakuti kami. Dan pistol yang digenggamnya, kini moncong benda itu mengarah ke tubuhku.

    “Mau apa kau?” Teriakku.

    “Jangan bergerak. Tetap tenang dan ikuti perintahku jika kalian berdua ingin hidup!”

    Andai sang perampok hanya berbekal pisau, aku mungkin masih bersedia untuk melawannya meskipun bermodalkan nekad. Bagaimanapun aku tak rela dirampok seperti ini, apalagi Tomoe ada bersamaku dan ikut menjadi korban. Namun karena yang digenggamnya adalah sebuah pistol, aku hanya bisa diam.
    Dengan kasar, ia meminta kami berdua mengeluarkan seluruh isi dompet kami dan seluruh barang berharga yang kami miliki saat itu. “Cepat, bangsat!” Teriaknya.

    Merasa terdesak dan terancam, aku terpaksa menurut. Tomoe tampak ketakutan dan gugup, hingga aku harus berbisik padanya agar ia bisa membongkar isi dompetnya.

    “T…tapi…”

    “Lakukan saja, Tomoe!” Bisikku. “Kita bisa mencari uang lagi, tapi nyawa kita hanya satu.”

    Tomoe tampak sedih. Perlahan ia melepas jam tangannya, lalu mengeluarkan dompetnya. Ragu-ragu ia melakukannya.

    “Lebih cepat, Goblok! Lebih cepat!” Teriak sang perampok saat Tomoe berusaha mengeluarkan telepon genggamnya dari dalam tasnya, membuat Tomoe bernapas gemetaran. Tak terima Tomoe diperlakukan seperti itu, refleks suaraku meneriaki balik sang perampok. Dan teriakanku baru berhenti saat sang perampok menodong kepalaku dengan pistolnya.

    “Heh, Anj—g, kau tidak benar-benar teriak padaku kan?” Katanya mengancam. “Satu kata lagi keluar dari mulut kotormu, kau akan menjadi mayat!”

    Aku diam seketika, menatap tajam mata sang perampok yang melotot padaku. Masih sambil menodongkan pistolnya ke arah kami berdua, sang perampok menjarah semua barang kami yang telah kami kumpulkan dihadapan kami : telepon genggam, dompet, jam tangan, bahkan kalung Tomoe yang menjadi hadiah di ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga kemarin juga terpaksa ia sodorkan.

    “Cuma segini?”

    Aku mengangguk. Tak ada lagi yang kumiliki kecuali baju yang kami pakai. Malas-malasan sang perampok menarik semua barang yang kami sodorkan. “Bangsat. Miskin sekali.” Katanya kemudian, dan kata-kata kasar terus terlontar dari mulunya, seperti “Bangsat,” “goblok,” “pelacur,” dan sebagainya. Sekali lagi ia menatap kami saat semua barang kami sudah dimasukkan kedalam tas punggung yang ia genggam.

    “Hei, apa itu?”

    Sang perampok berteriak amat keras, menatap Tomoe tajam. Tomoe sendiri amat terkejut. Kembali kudengar napas Tomoe yang tercekat ketakutan. Aku membeku saat menatap sang perampok yang dengan bersungut-sungut berjalan ke arah Tomoe dan menarik paksa lengannya.

    “Lepaskan aku!”

    “Kau punya cincin emas tidak bilang-bilang, eh?”

    “Lepaskan aku, sialan!” Tomoe meronta-ronta. “Aku takkan memberikan cincin ini padamu! Lepaskan aku. lep—aaaaa!”

    Sang perampok menarik rambut Tomoe hingga ia berteriak kesakitan. Aku tak bisa tinggal diam lagi. Sialan! Aku harus melawan.

    Segera saja kuterjang sang perampok. Kucoba melepaskan tangan kasarnya dari Tomoe sambil berteriak, “Preman anj—g! Lepaskan tangan harammu, dasar setan!”

    Kami masih bergumul, dan aku sedikit lega saat Tomoe berhasil keluar dari cengkramannya meski sambil memegangi rambutnya yang sakit. Namun demikian, sebuah benturan keras terasa mengenai kepalaku beberapa saat kemudian. Pistol yang digenggam sang perampok, ia menghantam kepalaku hingga aku pusing dibuatnya. Kurasakan darahku mengucur deras dari keningku.

    “Sousuke!” Tomoe yang ketakutan dan panik tampak merangkak ke arahku. Sang perampok berhasil menghalangi langkahnya. “Berikan cincin itu!” Teriaknya. Dapat kusaksikan wajah Tomoe yang membelalak kaget. Ia gemetar, ketakuan.

    Dan aku merasa amat bodoh karena tak bisa melakukan apapun. Terlebih saat sang perampok kembali menjambak rambutnya.

    “Aaaaa!”

    Teriakan Tomoe terdengar amat menyakitkan. Kucoba memaksakan diri untuk bangkit, namun tubuhku tak mau berkompromi.
    Tomoe masih meronta-ronta, berusaha lepas dari cengkraman sang perampok. “Berikan, pelacur! Kau dengar tidak?” Teriak sang perampok.

    “Apa saja boleh kau miliki, asal jangan cincin ini!” Teriaknya. “Lepaskan aku! Sousuke, tolong aku!”

    “Dasar wanita jalang!”

    Ayo bangkitlah, lelaki tidak berguna! Gerutuku pada diriku sendiri. Dan baru saja aku berhasil bangkit, saat kemudian kutatap moncong pistol sang perampok mengarah padaku. Mataku membelalak, kaget.

    “Sousuke!”

    Duar!

    Sebuah letupan senjata terdengar. Seluruh tubuhku dibuat kaku dan gemetar hebat saat suara letupan senjata itu menggema. Dan semuanya tampak bagai sebuah mimpi saat kini mataku menangkap sosok Tomoe yang tiba-tiba saja tampak dihadapanku, menghalangi peluru yang akan menerjang tubuhku.

    “Ahk…”

    Jantungku berdebar hebat saat kudapati Tomoe roboh ke lantai dengan darah mengucur deras dari dadanya. Sang perampok, ia menembak Tomoe. Ia berusaha membunuh orang yang amat kusayangi di dunia ini. Ia…

    “Tomoe!”

    Suaraku parau, bercamur dengan jerit tangisku yang entah sejak kapan muncul. Segera kuhampiri sosok Tomoe yang terkapar di tanah. Ia masih hidup! Meski kini ia bernapas dengan berat.

    “Tomoe! Tomoe!”

    “Sou…suke…”

    Aku sadar bahwa aku masih menyimpan selembar sapu tangan di saku bajuku, jadi segera saja kukeluarkan sapu tangan itu.

    “Tomoe! Tetap denganku. Bertahanlah!”

    Luka Tomoe tak berhenti mengeluarkan darah meski kini aku telah menekan luka itu kuat-kuat. Sementara itu sang perampok segera menghampiri Tomoe, meraih tangan Tomoe dengan kasar, dan merebut cincin emas yang masih menempel di tangannya, yang kuberikan padanya sebagai tanda bahwa ia bersedia menikah denganku.

    “Akan lebih mudah kiranya jika si pelacur ini langsung memberikan cincin ini padaku.”

    Kata-kata sang perampok membuat hatiku panas dan ingin berontak, namun untuk suatu alasan aku tak bisa bergerak sama sekali. Aku amat takut, bukan oleh sang perampok tetapi oleh kondisi Tomoe yang terus meredupkan matanya.

    Kabin bianglala yang kami naiki tiba di dasar, dan sang perampok dengan lincahnya segera berlari, menerjang beberapa pengunjung, dan menghilang. Beberapa orang yang mendapati Tomoe terkapar segera berteriak panik. Beberapa ada yang membantuku menghentikan pendarahan Tomoe.

    “Tomoe, bertahanlah…”

    Tomoe masih bernapas dengan berat saat ia meminta maaf padaku – entah mengapa ia meminta maaf. Aku terus menekan lukanya dan menggenggam jemarinya, terus bersamanya hingga matanya benar-benar tertutup. Darahnya berhenti mengalir beberapa saat kemudian, pertanda jantungnya tak lagi berdetak.

    Itu semua, aku amat tak percaya itu semua terjadi begitu saja. Semuanya terasa seperti sebuah mimpi.

    ***

    “Dan kau juga ada disana bukan? Di rumah sakit saat kau melihat jenazahku, lalu upacara pemakamanku. Sousuke…”

    Aku memegangi kepalaku kuat-kuat. Merasa tak sanggup mendengar kata-kata Tomoe, aku menangis terisak, terlebih saat Tomoe kembali berkata bahwa ia bukanlah sosok yang nyata.

    “Aku hanya bayang-bayang yang hidup di alam pikiranmu. Kau tahu aku tidak nyata, bukan?”

    Aku mengangguk. Ya, Tomoe tidak nyata. Ia kini hanyalah makhluk imajinasi yang terus muncul dihadapanku, menemaniku setiap waktu. Semua yang kami lalui, semuanya semu. Kami tak pernah benar-benar menikah. Aku hanya membayangkan sosoknya yang menikah denganku – sebuah mimpi yang tak tercapai.

    Meskipun begitu aku tak ingin lepas dari imajinasiku itu. Itu semua begitu indah, hingga aku tak mau menghilangkannya meskipun itu salah.

    “Tomoe, aku ingin terus melihatmu, bahkan jika hanya ilusi dirimu…”

    Tomoe tersenyum kecil, dan kembali merebahkan kepalanya di pundakku. Aku menlingkarkan tanganku mengelilingi punggungnya dan mengelus rambutnya perlahan. Saat aku bertanya padanya kenapa ia tak menyerahkan cincin emasnya pada sang perampok, ia hanya menunduk, muram. Perlahan ditatapnya jari manisnya. Cincin itu tak ada lagi disana.

    “Aku tak tahu kenapa, Sousuke. Tetapi, cincin itu amat berharga bagiku. Bahkan jika aku harus menukarnya dengan nyawaku, aku rela.”

    “Kenapa?” Tanyaku lagi, namun Tomoe tak lagi menjawab. Kuulang kembali pertanyaan itu. Tomoe tetap tak menjawab.

    Perlahan akupun bangkit berdiri, menatap langit luas. Langit itu penuh bintang, sama seperti yang kulihat saat aku dan Tomoe berada di bianglala itu.
    Dan perlahan, kurasakan sebuah sentuhan hangat melingkari punggungku. Tomoe, ia membenamkan wajahnya di punggungku.

    “Sousuke, ini permintaanku,” katanya kemudian. “Aku ingin kau sembuh. Kumohon, jalani operasi itu, Sousuke.”

    Berat sekali bagiku untuk menjawab permintaannya. Operasi Mnemonicide, itu yang dokter Takuya katakan kemarin pagi. Dengan operasi itu aku bisa sesegera mungkin “membunuh” Tomoe, menghapuskannya dari ingatanku. Dan alasan kenapa ia sakit selama ini adalah akibat terapi yang kujalani, yang sedikit demi sedikit membunuh Tomoe. Tetapi aku tahu Tomoe adalah sosok yang kuat. ia terus bertahan dengan terapi yang kujalani. Akh, tidak juga. Mungkin itu karena aku bersikeras menolak pengobatanku, karena yang kuinginkan kini hanyalah bersama Tomoe. Aku masih tak ingin menghapuskan kenangan kami berdua. Banyak sekali hal-hal indah didalamnya. Saat-saat ketika kami bertemu untuk pertama kali, makan es krim bersama, menonton bioskop, kami memiliki masa-masa menyenangkan yang tak terhitung.

    “Sousuke, jauh di lubuk hatimu, kau juga ingin sembuh, kan?”

    Kurenungkan seluruh hidupku yang hancur selama ini. Bosku yang sudah hampir memberiku surat PHK, teman-temanku yang makin menjauh, tetanggaku yang menganggapku gila. Akh, hidupku berantakan. Dan, ya. Hatiku mengatakan bahwa aku harus terus berjalan. Aku harus menjalani kehidupanku sebaik mungkin, dan itu semua demi Tomoe juga.

    “Saat kau sembuh nanti, aku ingin kau terus berjalan maju, Sousuke. Kau harus tetap hidup.”

    “Akan sangat berat tanpamu, Tomoe.”

    Tomoe merengkuh tubuhku kian erat. “Aku tahu.”

    Suara serangga di pekarangan luar mulai terdengar nyaring. Ayam-ayam mulai berkokok. Pagi sudah mulai menjemput, dan waktu bagi kami untuk bersama semakin menyempit.

    “Kau jangan takut, Sousuke.” Tomoe kembali berbisik. “Kelak, kau akan selalu bisa menemukan Tomoe-Tomoe lain dalam hidupmu. Tetapi kau hanya punya
    satu kehidupan.”

    Aku mengangguk. Tomoe benar, aku hanya punya satu kehidupan. Dengan atau tanpa Tomoe, aku sadar bahwa aku harus terus hidup.

    Perlahan aku melepaskan diriku dari pelukan Tomoe. Kutatap kembali wajahnya – mungkin untuk terakhir kalinya.

    “Berjanjilah kau akan terus hidup, Sousuke.”

    Aku mengangguk, tersenyum sebisaku. Tomoe membalas senyumanku dengan senyuman yang amat lepas, meski dengan mata berbinar. Ia kembali membenamkan kepalanya di dadaku.

    “Aku akan merindukan masa-masa saat kita bersama, Tomoe.”

    “Ya,” Tomoe mengangguk, terisak. Perlahan, aku kembali memintanya untuk tetap bersamaku. “Untuk sisa malam ini saja, Tomoe, tetaplah bersamaku.”

    Ia mengangguk.

    “Sousuke, setibanya di rumah, ingatlah untuk minum obat dalam botol-botol ini. Kau akan segera pulih kalau kau tak lupa minum obat.”

    Seorang gadis muda mengenakan mantel cokelat tampak dihadapanku, mengingatkanku untuk tak lupa minum obat. Sebelumnya ia menjemputku di rumah sakit, dan berada di dalam taksi yang sama denganku. Aku tak tahu siapa dia, tapi kurasa ia hanyalah seorang suster yang mengantarkanku ke rumah. Ada banyak sekali obat-obatan yang ia berikan padaku. Pill, kapsul, akh, banyak sekali.

    Saat kudapati kami berdiri di sebuah rumah kecil yang asri, gadis itu berbisik. “Nah, kita sudah sampai. Kau sudah pulang.”

    Aku menatap melongo ke rumah kecil itu. Interiornya, lampu, pot bunga yang berjajar di pekarangan, sebuah pohon kecil, semuanya.

    “Kau ingat semua ini, Sousuke?”

    Aku menggeleng. “Aku benar-benar punya rumah ini ya? Nyonya…”

    “Kanae,” jawab sang gadis ramah.

    Ia membuka kunci pintu utama dan mengajakku masuk ke rumah yang ia bilang sebagai rumahku. Ada semacam perasaan aneh saat aku menginjakkan kaki di rumah ini. Aku merasa pernah melihat semua pemandangan ini: lampu gantung, meja makan dari kayu yang tersusun rapi, dan TV besar dengan sofa didalamnya, juga komputer di sudut ruangan. “Saat kau di rumah sakit, aku membersihkan rumah ini. Maaf jika aku masuk tanpa izin.”

    Sebetulnya sang gadis tak perlu meminta maaf, karena aku sama sekali tak tahu tentang rumah ini.

    “Jika ini rumahku, lalu…”

    “Ah, kau periksa kamarmu, ayo.” Potong sang gadis. Aku hanya bisa mengangguk-angguk bodoh saat sang gadis menarik tanganku dan mengajakku ke depan sebuah pintu kayu yang unik. Dihadapan pintu kayu itu terbentang sebuah tulisan : Sousuke & Tomoe.

    “Tomoe?” Aku bertanya-tanya mengenai tulisan yang terpampaang di pintu tersebut. Tulisan itu amat lucu, terbuat dari kertas karton biru tua yang dihiasi titik-titik putih. Mirip seperti…langit berbintang.

    “Siapa Tomoe?” Tanyaku pada sang gadis. Ia tersenyum dan berbalik menatapku.

    “Bukan siapa-siapa,” jawabnya sambil membuka pintu. Dan mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku merasakan kehadiran seseorang lain – selain sang gadis yang mengantarku – yang ada di kamar ini.

    “Kau tak apa-apa?” sang gadis bertanya saat aku menatap isi kamar ini keheranan. Aku menoleh padanya, dan ia tersenyum.

    “Kau jangan memaksakan diri, Sousuke. Istirahatlah dulu.” Kata sang gadis lagi. “Aku akan ke dapur dan membuatkanmu segelas teh.”

    Tanpa berkata apapun lagi, sang gadis segera beranjak menjauh, menuju dapur yang terletak beberapa langkah setelah ruang dimana TV berada. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam kamar.

    Sebuah kamar yang indah. Aku duduk di ranjangnya, diam. Tampak dihadapanku sebuah jendela besar yang menampilkan pemandangan pekarangan hijau di depan rumah yang tak seberapa luas, tetapi cukup asri. Yang lebih menenangkanku, aku bisa melihat langit luas dari sini.

    Disamping ranjang tempatku duduk berdiri sebuah meja kayu unik, yang diatasnya kudapati sebuah miniatur bianglala dan sebuah sapu tangan bersih. Kuputar miniatur bianglala itu perlahan. Lucu, kurasa aku pernah melihat bianglala itu di suatu tempat. Tapi mungkin cuma perasaanku saja.

    “Sousuke, tehnya sudah siap!”

    “Ya, baiklah.” Jawabku. Kembali kutatap bianglala kecil itu.

    Bianglala yang indah.

    (Masih) memohon masukan, madu, dan cabe nya. tapi jangan pedes2 yah :oggomen:

    Next Chapter will be Kanae's Story :hmm:
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Apr 20, 2013
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :keringat: akhirnya, kelar juga bacanya. ceritanya cukup menyentuh, yang membuat saya sedikit terharu itu sikapnya Kanae yang bener2 terlihat seperti sahabat setia.
    alurnya agak sedikit membingungkan sih karena ada beberapa ketidak selarasan yang saya tangkap.
    klo dari yang saya baca alur ceritanya jadi: part 2 --> part 1 --> part 3 (CMIIW :peace:)

    hal2 yang membuat saya sedikit bingung:

    pertama, yang muncul dalam pikiran saya sewaktu kelar baca part dua adalah: kapan Sousuke menikah dengan Tomoe?? kan Tomoe uda mati waktu Sousuke kelar melamar dia di bianglala. tapi pas di part 1 disebutkan
    kedua, waktu kelar baca semuanya, pertanyaan yang ada dalam pikiran saya: Tomoe sakit apa ya?? trus itu ceritanya Sousuke karena operasi gt jadi hilang ingatan ya??

    bagi saya ceritanya cukup bagus, dengan membuat alur yang memang nda lurus gt aja juga cukup menarik :hehe: karena saya suka tipe tulisan yang saat membaca juga harus sambil berpikir. tapi ada sedikit menimbulkan rasa bosan ketika saya membaca dialog2 di luar inti cerita yang terlalu panjang (mungkin karena saya tipe orang yang kurang suka cerita bertele2 ya :hehe:)

    :peace: segitu aja de, klo lagi mood tulis panjang2 dilanjut lg :hehe: semoga membantu
     
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    thanks udah mampir agan bubu. hm iya nih gan, pas ane baca2 lagi kok banyak bolong2 ya? sedih, kurang teliti pas proofread :hiks:

    pertama, buat wedding, sebenernya itu ga ada, n cuma khayalan Sousuke aja.
    kedua, buat chapter, itu sebenernya flashback.
    ketiga, sousuke ilang ingatan kenapa n tomoe sakit apa, akan dijelaskan di chapter 2 :hehe:

    tar pas update chapter 2 ane bakal sekalian update remake buat chapter 1 deh :peace:
     
    Last edited: Apr 19, 2013
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Update Chapter 2

    Chapter 2
    Kanae's Story : Ungranted Wish

    “Operasi Mnemonicide terus mengundang kontroversi dan menjadi topik pembicaraan hangat di masyarakat. Disaat dunia kedokteran amat antusias mempelajari operasi yang baru ditemukan di abad ini, masyarakat justri semakin menentang karena operasi ini dinilai sebagai operasi illegal yang menyalahi aturan alam. Melaporkan langsung dari kantor perdana menteri, tampak beberapa saat lalu perdana menteri baru saja selesai menyampaikan permintaan resmi kepada dinas kesehatan untuk segera turun tangan menghadapi konflik yang makin mengarah ke konflik sosial ini. Kembali kepada anda di studio, Haruka.”

    “Ya, terima kasih dan selamat bertugas kembali, Ayaka. Berita selanjutnya. Saudara, pagi ini kembali terjadi demonstrasi besar-besaran menolak dilakukannya Operasi Mnemonicide oleh para aktivis yang semakin hari, jumlahnya semakin besar. Sudah sejak malam mereka terus berdemonstrasi di depan gedung dewan pemerintah di Tokyo. Mereka beralasan bahwa operasi tersebut sudah menyalahi aturan alam, aturan dimana manusia mengingat semua yang dialami semasa hidupnya. Demonstrasi ini berakhir dengan bentrok saat polisi mencoba membubarkan paksa para demonstran yang dianggap memicu kerusuhan. Akibat demonstrasi ini dilaporkan bahwa beberapa orang mengalami luka-luka, termasuk didalamnya enam orang aktivis dan dua orang polisi. Situasi di lapangan tampak mencekam, ada banyak sekali lemparan batu, pecahan kaca, dan bahkan selongsong peluru di sekitar lokasi. Petugas medis dikabarkan telah turun tangan—“

    Pet!

    Berita di TV itu masih berkutat soal kontroversi Operasi Mnemonicide. Aku sudah mendengarnya berkali-kali, dan itu membosankan, jadi kumatikan saja TV Toshiba layar lebar itu.

    Ini masih jam delapan pagi, dan tampaknya libur kali ini akan kembali menjadi hari libur yang menjemukan.

    Aku menatap langit-langit yang luas, berusaha menentramkan diriku yang kini menggeliat, sedikit mengantuk. Beberapa saat kemudian aku beranjak, meraih segelas teh hangat yang kubuat bahkan sebelum aku mandi pagi. Teh itu terletak di meja di samping jendela. Saat aku meraihnya, sinar matahari langsung masuk menembus jendela dan menerpa mataku hangat.

    Tak banyak aktivitas yang tampak diluar sana. Jalanan sepi, lengang. Sesaat aku berpikir untuk kembali tidur, tetapi mataku terus terjaga.

    “Sousuke…”

    Perlahan, bibirku bergerak mengucapkan namanya saat kulihat pagar rumahku yang dicat putih. Ia tidak menghampiriku kali ini, tidak seperti hari-hari biasanya saat ia dengan ceria membuka gerbang, menghampiriku, menungguku di teras rumah untuk berangkat kerja bersama. Dan meskipun kami tidak bekerja di tempat yang sama, kami masih bisa menaiki bus yang sama untuk mencapai tempat kerja.

    “Haah, Sousuke bodoh.”

    Bingung dengan apa yang mau kulakukan, aku beranjak kembali ke kamar. Kudapati beberapa majalah berserakan di meja belajar di samping ranjangku. Duh, sial. Berantakan sekali. Tampaknya aku harus lebih disiplin dengan barang-barangku, maksudku, aku ini seorang gadis, dan seorang gadis sudah selayaknya memiliki kamar yang rapi.

    Baru saja aku akan membereskan majalah-majalah tersebut saat rasa isengku muncul. Sebuah majalah tampak menarik perhatianku. Ah, mungkin tak ada salahnya membaca dulu sebelum membereskannya. Lagipula, ini hari libur. Aku punya banyak waktu luang untuk membereskannya nanti.

    Kuambil sebuah majalah berjudul “The Science Monthly” yang kubeli kira-kira dua tahun lalu. Sampul majalah itu sudah usang, terlipat disana sini dan robek di beberapa bagian. Tapi siapa peduli dengan sampul? Isi majalahnya masih bagus. Lembaran demi lembaran majalah itu kubuka, hingga aku tiba pada sebuah artikel yang menarik perhatianku.

    Operasi Mnemonicide, itulah judul artikel yang kubaca.

    Operasi Mnemonicide merupakan sebuah metode operasi yang ditemukan oleh seorang dokter dari Inggris bernama Walter Scott, bekerja sama dengan beberapa ilmuwan antarnegara. Termasuk didalamnya adalah Imai Takuya, nama seorang dokter rumah sakit yang kini melambung tinggi karena beberapa operasi Mnemonicide yang berhasil dilakukannya. Namun sosoknya juga kontroversial karena ia amat bersikeras menolak bila operasi ini dihapuskan. Wajar bila ia menolak, pikirku. Ia kan penemunya.

    Operasi Mnemonicide memungkinkan sang dokter untuk menghilangkan ingatan pasiennya, dan pengobatan ini amat berguna untuk menyembuhkan orang yang menderita depresi dan sakit jiwa. Sebelum adanya metode ini, pengobatan depresi dan sakit jiwa memerlukan waktu berbulan-bulan melalui terapi yang melelahkan, dan hanya beberapa pasien yang berhasil melaluinya. Sisanya berhenti ditengah jalan dan tetap mengalami masalah dengan otak mereka. Dengan adanya operasi ini, ingatan buruk seseorang akan dengan mudah dihapuskan melalui sebuah alat supercanggih dan sebuah ********** bagi pasien berupa sebuah tempurung besi yang menempel di kepala. Setelah sistem alat pendukung menyala, sang dokter tinggal menekan tombol operate, dan memori seseorang akan dengan mudah terhapuskan dari ingatannya. Efek sampingnya, sang pasien mengalami kemungkinan 50% untuk lupa semua sesuatu yang telah ia alami sebelum menjalani operasi.

    Dan hal terakhir inilah yang memicu perdebatan di masyarakat. Beberapa orang memang kembali bahagia saat mendapati orang terkasih mereka kembali ceria, lepas dari penjara pikiran yang mengurungnya. Di lain pihak, beberapa yang lain mendapati bahwa orang yang mereka harapkan sembuh tidak pernah kembali sama seperti sebelumnya. Mereka berubah menjadi orang lain. Dan dua tahun kemudian, saat ini, operasi Mnemonicide baru menuai akibat yang ditimbulkannya : pro kontra dan konflik sosial di masyarakat.

    Tetapi, akh, kenapa aku harus peduli pada semua itu? Aku lupa tujuanku semula bahwa aku harus membereskan majalah-majalah ini. Ah, sial! Segera saja kututup “The Science Monthly” yang baru saja kubaca. Kuambil beberapa majalah lainnya. Kurapikan, dan kuletakkan di tempat yang seharusnya.

    Pagi yang menjemukan.

    ***

    “Ckrek.”

    Pintu gerbang itu kututup dan kukunci rapat-rapat. Kuharap tak ada pencuri yang masuk – rasanya sih takkan ada. Lagipula aku tak memiliki banyak barang berharga. Apa yang bisa dicuri dari rumah mungilku ini? TV? Aku bisa membelinya lagi dengan gajiku. Dan jika seseorang nekad mengambil TV, tetangga-tetanggaku pasti akan melihatnya dan segera meneriakinya maling. Jadi kurasa rumahku aman.

    Kutatap kembali rumahku dalam-dalam, rumah kecil dengan pekarangan yang dipenuhi rumput dan pepohonan kecil. Pintu rumahku tampak lucu, terbuat dari kayu jati kokoh yang tebal. Sejenak aku melongo, tersenyum. Aku ingat bagaimana lelaki itu, Sousuke, sering mengetuk pintu untuk meminjam beras di malam hari. Sousuke itu, gajinya bulanannya memang cukup meski tak terlalu besar, tapi pengeluaran bulanannya luar biasa. Karenanya aku jadi sering memberinya pinjaman beras. Dan meskipun ia jarang sekali membayarnya, aku tak keberatan. Aku senang hanya dengan bertemu dengannya di depan rumah, dan mengobrol satu dua hal dengannya. Ia seringkali bercerita mengenai gadis yang disukainya, Tomoe, dan bagaimana rencananya untuk segera meminangnya. Suatu hari aku pernah menawarkan diri untuk membuatkan naskah lamaran yang bagus, meski ia menolak.

    Sayangnya, aku tak pernah mau mengakui bahwa hatiku seringkali perih saat ia menceritakan banyak hal tentang Tomoe. Aku selalu menyembunyikannya, rasa sakit itu. Aku takut ia membenciku jika aku sampai menunjukkan rasa kesalku. Dan aku amat mahir dalam hal itu hingga Sousuke menganggapku teman yang paling enak untuk diajak bercerita tentangnya.

    “Hei, Kanae,” suatu hari ia bertanya padaku.

    “Hmm?” Jawabku lugu.

    “Kenapa kau baik sekali padaku?”

    Saat pertanyaan itu terlontar dari mulutnya, aku tak mau menjawab. Aku segera mengalihkan perhatiannya dengan menawarkannya segelas teh, yang kemudian diakhiri oleh gelak tawa saat kami kembali bercanda. Saat malam sudah makin larut, Sousuke akan pulang kembali ke rumahnya yang berada tepat disebelah rumahku. Di depan gerbang,
    ia akan melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tidur.

    Kini rumah Sousuke tampak usang tak terawat. Pekarangannya telah ditumbuhi rerumputan liar yang tingginya mencapai setengah meter. Sebuah kursi di teras rumah juga telah berdebu, sepanjang yang kuingat.

    “Sousuke, setibanya di rumah, ingatlah untuk minum obat dalam botol-botol ini. Kau akan segera pulih kalau kau tak lupa minum obat.”

    Ah, ya. Itu yang kuucapkan saat aku memapahnya pulang dari rumah sakit dua tahun lalu. Aku memang sedih karena ia tak ingat apapun tentangku, namun satu hal yang melegakanku saat itu adalah bahwa ia bisa kembali berjalan maju, kembali memulai hidup baru meski ia tak ingat apapun tentang aku, tentang Tomoe, atau bahkan tentang dirinya. Kubantu ia bangkit. Kujelaskan bahwa ia bekerja di sebuah perusahaan di Kota Sapporo, di tempat yang tak jauh denganku. Ia percaya semua yang aku ucapkan, termasuk ketika kujelaskan padanya bahwa Tomoe tak pernah ada dalam kehidupannya. Kukatakan semua itu agar ia bisa lebih tenang, lebih bisa menjalani kehidupannya dengan baik, dan yang terpenting, agar aku bisa berada lebih lama dengannya.

    ***

    Jalanan yang kulalui sepi, lengang. Aku terus berjalan. Kemana aku akan pergi akupun belum tahu pasti. Aku tak biasa jalan-jalan sendiri. Biasanya Sousuke yang menentukan kemana kami akan pergi, dan aku selalu setuju dengannya, dan mungkin hanya perasaanku saja, tapi setiap tempat yang kami tuju pastilah amat menyenangkan.

    Ya, semuanya menyenangkan saat bersamanya.

    Kini aku merasa kesulitan menentukan arah kemana harus pergi. Langkah kakiku, bagaimanapun, kini membawaku ke sebuah pemberhentian bus. Entah untuk alasan apa aku menunggu bus kota.

    “Kanae!”

    Seseorang memanggilku dari samping. Seorang lelaki seusiaku, berambut pendek dengan tubuhnya yang tinggi. Ia berlari, kikuk. Perlahan aku memincingkan mataku. Aku benar-benar terkejut saat kudapati sosok itu melambaikan tangannya padaku, karena aku tahu betul sosok itu! Ya, aku tahu siapa dia! Untuk beberapa saat kami saling menatap dari kejauhan, dan aku amat senang saat melihatnya tersenyum bahagia padaku.

    “Sousuke!”

    Lelaki itu bergerak makin dekat, dan kini berada dihadapanku, menatapku dengan senyum lepas, senyum yang hanya ditampakkan oleh seseorang yang melepas kerinduan pada seseorang yang amat dirindunya.

    Tetapi senyumku perlahan memudar, karena kini aku tersadar dari lamunanku. Dan lelaki yang tampak dimataku kini, ia bukanlah Sousuke.

    “Kau bilang apa sih? Siapa itu Sousuke?”

    Tubuhku kembali lemas. Dia bukanlah Sousuke. Sejak tadi aku hanya bermimpi di siang bolong. Lelaki itu, dia sama sekali bukan Sousuke.

    “Kojirou?”

    “Ya, tentu. Aku Kojirou. Ko-ji-rou, haha.”

    Dia Kojirou, teman satu kantorku. Sadar bahwa ia bukan Sousuke kembali membuatku murung.

    Ia bertanya padaku kemana aku akan pergi, dan kujawab dengan sebuah gelengan kepala. Kojirou kembali berkata, kini menanyakan apakah aku sehat atau tidak. Kukatakan padanya bahwa aku baik-baik saja, dan ia percaya.

    “Kau mau ke pusat kota?” Tanyanya lagi. Merasa tak punya alternatif jawaban lain, aku mengangguk.

    Bus yang kami tunggu tiba sekitar dua menit kemudian. Kojirou masuk lebih dulu setelah sebelumnya bercerita banyak hal. Nada bicaranya yang gentle, ah, ia benar-benar pria yang baik. Di kantor, ia selalu bisa diandalkan saat aku butuh pertolongan. Bukan itu saja, ia juga selalu berbaik hati membelikanku makanan jika aku lupa membawa bekal, atau membayarkan tiket bus kala kami pulang kerja. Ia amat baik. Ia…terlalu baik.

    Tapi untuk suatu alasan aku tak bisa membalas semua kebaikannya itu. Aku selalu menolak saat ia mengajakku makan atau menonton film bersama, atau saat ia mengajakku pergi ke taman bermain. Aku lebih senang berada di rumah, sendirian dan memikirkan keadaan tetangga sebelahku, Sousuke.

    Dan saat kakiku mulai melangkah masuk, aku kembali ingat bagaimana Sousuke selalu menarik tanganku saat aku naik bus. Setiap aku menggenggam tangannya, itu adalah saat-saat yang menyenangkan. Meski hanya beberapa saat saja, itu menyenangkan.

    Hal menyenangkan lainnya di dalam bus adalah saat aku dan Sousuke bercerita banyak hal. Ia pernah bercerita bagaimana bosnya yang kikuk malah menjadi bahan candaan para karyawan di kantor, atau bagaimana pesta ulang tahun perusahaan berakhir dengan kebakaran kecil di aula. Banyak kebodohan kecil yang menjadi hal-hal lucu, yang menjadi indah dan menghiasi kehidupannya.

    Operasi Mnemonicide benar-benar menolongnya. Ia kembali ceria dan bersemangat, dan aku amat bersyukur dengan itu semua. Terlebih, ia tak lagi ingat tentang Tomoe. Tanpa Tomoe di pikirannya, aku bisa lebih leluasa berada di dekatnya.

    Tentunya aku juga tak mau kalah dalam bercerita. Kuceritakan padanya berbagai hal lucu di kantorku, dan semua itu kadangkala diakhiri oleh gelak tawa keras yang menggema di dalam bus ini, membuat beberapa penumpang terganggu. Suatu hari didalam bus, seorang nenek duduk dihadapan kami yang sedang asyik tertawa terbahak-bahak sambil menggebuk satu sama lain. Alih-alih marah, sang nenek berkata pada kami bahwa kami adalah pasangan serasi, dan bahwa kami harus segera menikah. Aku tentu terkejut dan panik, namun Sousuke segera meraih kepalaku dengan lengannya dan membenamkannya di pundakku.

    “Tentu, nek. Kami kan pasangan serasi, haha!”

    Aku tahu Sousuke hanya bercanda kala itu, tapi bila aku diberi kesempatan sekali lagi, aku ingin sekali kembali ke masa itu.

    “Kanae!”

    Suara itu terdengar amat menyentak, hingga aku kembali kealam sadarku. Segera aku menoleh ke arah kiri, tempat dimana Kojirou berdiri dan menggenggam handle yang menggantung di langit-langit. Kami berdiri karena tak ada lagi tempat duduk kosong.

    “Anu, kau dengar apa yang kubicarakan tadi?”

    Aku melongo. Aku sama sekali tak tahu apa yang Kojirou katakan semenjak kami menaiki bus. Ia kemudian menatapku khawatir. Tangannya menyentuh keningku beberapa saat kemudian.

    “Kau pasti sakit, Kanae. Istirahatlah.”

    Aku menggeleng, tersenyum. “Aku nggak apa-apa kok.”

    “Yakin?”

    “Mmm.” Aku mengangguk berulang-ulang sambil tersenyum layaknya anak tanpa dosa. “Jadi, sampai mana kita tadi, Kojirou?”

    “Iya, kau tahu, saat bos menyuruhku lembur, aku…” Kojirou terus bercerita banyak mengenai pekerjaannya. Aku terus tersenyum, sesekali tertawa.

    Aku sama sekali tak tahu apa yang ia bicarakan. Aku tak mau tahu.

    Suasana pusat kota tampak berbeda dari kondisi di depan rumah. Tempat ini sangat ramai, begitu ramai sehingga telingaku terganggu oleh bisingnya kendaraan yang lewat atau suara obrolan orang-orang disekitarku.

    “Jadi, kau mau kemana?”

    Aku tersenyum, menggeleng. Aku mengartikan gelengan kepala itu sebagai tidak tahu, tapi Kojirou mungkin mengartikannya sebagai rahasia. Kojirou membalas senyumanku dengan penuh semangat.

    “Kau ini, main rahasia-rahasia saja. Haha.” Katanya. Masih kubalas kata-katanya dengan sebuah senyum kecil. Kojirou memandangi wajahku dengan sebuah senyum bahagia.

    Untuk sesaat kudapati tangannya berusaha meraih rambutku. Aku bisa saja membiarkannya meraih rambut ikalku dan mengelusnya, tapi tubuhku menolak. Aku mundur
    kebelakang secara refleks dan menampik tangan Kojirou.

    Kojirou tampak kecewa dengan sikapku, namun karena sikapnya yang gentle, ia malah meminta maaf. Aku mengangguk-angguk bodoh dan meminta maaf pula. Ada sedikit perasaan menyesal karena aku tak memberikannya kesempatan bahkan untuk menyentuh rambutku, tapi bagaimanapun aku tidak mau.

    “Kanae, mungkin setelah gajian nanti kita bisa nonton bersama.”

    “Akan kupertimbangkan.” Jawabku. Kojirou tersenyum kecut. Mungkin ia sudah tahu bahwa aku akan kembali menolak tawarannya.

    Ia melambaikan tangannya beberapa saat kemudian, pertanda kami berpisah disini. Aku melakukan hal yang sama saat ia melangkah pergi ke arah yang berlawanan dengan yang aku tuju. Saat sosoknya menghilang dari pandangan, aku berbalik, menatap langit, dan menghela napas panjang. Kembali timbul sedikit penyesalan dan rasa tidak enak pada Kojirou, tetapi kemudian aku kembali berpikir, kenapa pula aku harus menyesal? Setiap orang berhak memilih kepada siapa ia akan menyukai seseorang, dan pilihanku bukanlah dia.

    “Aku sendirian lagi.” Gumamku dalam hati. Kutatap langit siang hari itu. Terik, juga amat cerah. Langit siang hari yang biru dengan awan putih seperti kapas. Sebuah pesawat terbang tampak di kejauhan, mirip seperti burung yang terbang jauh. Mungkinkah Sousuke ada di pesawat itu? Tanyaku dalam hati.

    Aku tersenyum tak lama kemudian, dan kembali menatap trotoar yang dipenuhi orang-orang. “Saatnya maju, Kanae.” Gumamku dalam hati. “Saatnya kembali melangkah…”

    Trotoar tempatku berjalan amat ramai, penuh sesak oleh orang-orang yang lalu lalang. Meskipun begitu aku tetap merasa kesepian. Terlebih, ada sesuatu yang tidak mengenakkanku disini. Perasaanku mengatakan bahwa berjalan-jalan di trotoar ini akan menjadi hal yang buruk.

    ***

    “Kanae?”

    “Ya?”

    “Operasi Mnemonicide itu, menurutmu bagaimana?”

    Aku tak begitu mengerti apa yang Sousuke tanyakan, sebuah pertanyaan yang melambung setahun lalu saat aku berjalan-jalan dengannya di trotoar ini. Kukatakan padanya bahwa aku tidak begitu peduli dengan operasi Mnemonicide. Semua orang boleh memilih apa yang terbaik untuk kehidupannya, jawabku.

    “Begitu ya?”

    “Memangnya kenapa, Sousuke?”

    Sousuke menatapku dengan wajah serius, membuatku sedikit bergidik.

    “Sousuke?”

    “Aku tak tahu kenapa, tapi kurasa, seharusnya operasi Mnemonicide tak boleh ada.”

    Aku diam, melongo. Meskipun Sousuke amat tidak suka operasi Mnemonicide sejak dulu, baru kala itu ia menanyakan hal itu padaku. Mengapa ia tak suka operasi itu aku tak tahu pasti, bahkan hingga kini.

    “Hee, jadi kau peduli pada politik sekarang? Kau bilang semua politisi itu pembohong. Jangan-jangan kau akan jadi salah satunya, haha.”

    “Kau ini,” ia menggerutu saat aku menggodanya, dan kembali menatap kedepan dengan wajah cemberut. Sikapnya itu benar-benar membuatku gemas, dan andai saja aku punya keberanian lebih, aku amat ingin menggenggam tangannya. Tapi tanganku terus tersembunyi dibelakang tubuhku, saling menggenggam antara jemari kanan dan jemari kiri.

    “Ah, Sousuke, hari ini kita mau makan dimana?”

    Biasanya ia akan segera membalas pertanyaanku soal makanan, namun kali ini ia tetap diam. Saat aku melirik wajahnya, hal yang tampak dimataku adalah pandangan matanya yang terus menatap tajam, seolah ada sesuatu didepan matanya yang mengganggunya. Waktu itu aku tak tahu aia apa yang ia tatap, atau yang ia pikirkan.

    Hari itu adalah hari dimana pertama kalinya aku melihat pandangan matanya yang terus menatap sesuatu yang ada jauh di pikirannya, dan jujur itu membuatku khawatir.

    “Kau kenapa Sousuke?”

    “Kanae,” jawabnya perlahan. “Operasi Mnemonicide itu, suatu hari nanti aku akan menghapuskannya.”

    Aku menaikkan kepalaku dan menatapnya dalam-dalam. Hatiku kembali bertanya-tanya mengenai apa yang membuatnya amat membenci operasi Mnemonicide, bahkan semenjak ia pertama kali tahu tentang operasi tersebut. Kucoba menenangkannya, namun ia tak pernah bisa berhenti memikirkan operasi Mnemonicide itu. Dan aku menjadi semakin khawatir saat ia kembali bilang, “Operasi Mnemonicide itu, itu merupakan tindak kejahatan.”

    “Kau pikir begitu?”

    “Kau juga berpikiran hal yang sama, kan?” Ia bertanya padaku dengan nada yang lebih tinggi, hingga aku kembali takut dibuatnya.

    Dan hari-hari setelahnya kulalui dengan perasaan khawatir. Sousuke kerap kali membicarakan mengenai Operasi Mnemonicide di setiap waktu saat kami bersama, entah itu saat berada di dalam bus, saat ia menungguiku di teras rumah, atau di saat kami bermain bersama. Dan pandangan mata Sousuke tak pernah berubah semenjak hari itu.
    Pandangan mata yang selalu melihat jauh kedepan, tanpa menghiraukan kehadiranku disampingnya.

    Di trotoar ini, mataku menutup. Semuanya tampak begitu semu. Kenyataan dan imajinasi, semuanya semu. Setahun lalu aku masih bersamanya. Kini aku berjalan sendirian.

    Sousuke tak pernah tahu betapa aku merindukannya. Ia tak pernah mengerti betapa aku hanya ingin bersamanya.

    ***

    Hari sudah sore, dan matahari sudah mulai terbenam. Tampak daun-daun berguguran dari sebuah pohon di pojokan sebuah taman kecil. Dibawah pohon tersebut, sebuah kursi panjang dari kayu terbentang. Sepasang muda-mudi tampak duduk dibawahnya, murung. Sang lelaki berwajah mirip Sousuke, dan sang wanita berambut panjang ikal, sama sepertiku.

    Ah, ini pasti khayalanku lagi. Kedua orang itu, itu memang Sousuke dan aku enam bulan lalu. Kenangan itu kembali terulang.

    “Bilang padaku kau tak akan—“

    “Aku akan melakukannya, Kanae!”

    Perasaanku amat terhenyak saat mendegar bahwa Sousuke memutuskan bergabung dengan salah satu media massa yang merekrutnya untuk menjadi wartawan. The Social Life, nama perusahaan media massa itu. Aku sudah bilang padanya berkali-kali mengenai media itu yang kerap dicap anti pemerintah.

    Sambil menyibak daun kering yang jatuh menimpa rambutku, kembali aku mencoba meyakinkan Sousuke untuk tidak pergi. “Kau tahu, Sousuke, dua orang wartawan yang meliput kejadian demonstrasi kemarin sore juga dipukuli polisi dan tentara.”

    “Ya, aku tahu. Itu harga dari sebuah perjuangan.”

    Aku merasa terdesak oleh tekadnya, tapi ini belum berakhir. Bagaimanapun aku tak ingin ia berubah lebih jauh. Aku ingin ia menjadi seperti Sousuke yang selama ini kukenal.

    Enam bulan terakhir, Sousuke sering menulis kritik pedas di media massa yang isinya menentang pemerintah melakukan Operasi Mnemonicide. Semua tulisannya menggugah masyarakat untuk semakin waspada mengenai apa yang diakibatkan oleh operasi yang menurut Sousuke merupakan kejahatan itu. Berkat tulisannya pula, semakin hari semakin banyak saja demonstrasi yang terjadi. Kerusakan terjadi dimana-mana, namun Sousuke tetap pada pendiriannya.

    Dengan kesibukannya yang baru ini juga, aku menjadi semakin jauh dengannya meski rumah kami bersebelahan. Ia tak lagi menungguiku untuk berangkat kerja, tak lagi berangkat dengan bus yang sama, dan tak lagi bermain ke taman, atau ke restoran, dan semacamnya. Suatu hari aku kembali bertemu dengan sang nenek yang menyuruh kami menikah. Ia masih ingat denganku. Melihatku yang hanya sendiri, ia bertanya apa yang terjadi dengan Sousuke.

    “Tidak apa-apa, ia hanya sedang lembur.” Jawabku tersenyum. Sang nenek turun bus tak lama kemudian.

    Bila libur tiba, aku sering menyusul Sousuke ke rumahnya dan mendapati ia asyik dengan komputernya. Ia bahkan lupa dengan kondisi tubuhnya. Saat aku menyapanya dan menyiapkan sekedar teh untuknya, ia hanya berterima kasih tanpa melirik ke arahku sedikitpun. Dan bila aku memutuskan untuk diam di sampingnya berjam-jam sambil membereskan barang-barangnya, hal-hal yang ia katakan padaku hanyalah bahwa ia yakin perjuangannya akan membawa hasil.

    “Apa yang benar menurutmu, Sousuke…” kataku perlahan, “belum tentu benar di mata orang lain…”

    “Aku tahu itu, Kanae. Tapi ini keputusanku.”

    Sekali lagi kulihat dari dirinya sebuah pandangan mata yang tajam. Berbulan-bulan aku melihat pandangan mata itu, dan berbulan-bulan pula aku berusaha mengembalikan Sousuke menjadi seperti yang kuinginkan – sosok pemuda yang ramah, ceria, dan optimis.

    “Aku tak mau sesuatu terjadi padamu.”

    “Takkan ada yang terjadi padaku, Kanae. Percayalah.” Jawabnya optimis. Untuk sejenak aku tak menemukan kata-kata yang pas untuk menampiknya. Alih-alih, pikiranku kini melayang jauh, membayangkan bagaimana jadinya bila Sousuke benar-benar berubah. Satu-satunya hal yang kusyukuri adalah bahwa aku sadar bahwa aku masih bisa melihatnya setiap hari. Ia mungkin takkan memiliki jadwal kerja yang rutin sepertiku, atau naik bus yang sama denganku. Tetapi setidaknya aku bisa menunggunya saat malam tiba, melihatnya, dan bicara satu dua patah kata dengannya. Meski itu menyakitkan.

    “Kanae,” masih menatap ke kejauhan, Sousuke menjawab. “Kelak, saat mesin penghilang memori itu sudah kuhancurkan, aku ingin lebih lama berada denganmu. Jadi, maukah kau menunggu?”

    Aku sedikit terhenyak oleh kata-katanya. “Menunggu…”

    “Menungguku kembali, tentu.”

    “Memangnya, kau takkan berada di Sapporo?”

    “Kau bercanda ya?” Ia tertawa kecil. “The Social Life tak punya kantor redaksi di Sapporo, Kanae. Aku akan pergi ke Tokyo. Tiket pesawat sudah kudapat, dan besok aku akan berangkat.”

    Bak petir di siang bolong, hatiku amat terkejut, tak percaya. “Besok?”

    “Ya, besok.” Tegasnya.

    “Tapi, bukankah besok…”

    “Memangnya ada apa besok?”

    Aku tak bisa menyelesaikan kata-kataku. Napasku terlanjur tercekat di tenggorokan, menahan segala sesuatu yang muncul tiba-tiba. Sousuke amat bodoh. Besok ulang tahunku, dan ia sudah berjanji akan merayakannya bersamaku.

    Tetapi kini semuanya berbeda. Dan aku sadar takkan ada lagi kata-kataku yang bisa mengubah tekadnya.
    Aku menghela napas. Sore itu, aku menyerah. Semua perjuanganku takkan ada gunanya lagi. Tekad Sousuke takkan bisa kulawan. Yang bisa kulakukan kemudian hanyalah menatap jauh ke langit senja, dan bepikir bagaimana semua ini tidak adil bagiku. Aku yang selalu peduli padanya, selalu memperhatikannya, selalu mencintainya, kini hanya mendapatkan rasa sakit seperti ini.

    “Kuharap kau mengerti dengan—“

    “Aku mengerti, Sousuke.” Jawabku tersenyum dengan mata berbinar. Kutahan napasku sedemikian rupa agar isak tangisku tak keluar, meski kemudian aku tak bias menahannya juga. Isak tangisku terdengar olehnya.

    “Kanae, kau baik-baik saja?”

    “Ya, Sousuke. Aku baik-baik saja. Aku…aku…”

    Sore itu aku tak dapat lagi memasang wajah manisku didepannya. Aku harus jujur dengan diriku, bahwa aku amat sedih harus kehilangannya.

    “Kanae,” Sousuke tampak berusaha menghiburku. “Ada apa?”

    Masih dengan isak tangis di mataku – yang kuseka sedemikian rupa agar tak terjatuh lebih deras, aku menjawab. “Tidak…tidak ada apa-apa…”

    “Kau yakin?”

    Tidak. Aku tidak yakin. Aku terus menangis sore itu. Dan untuk beberapa saat setelah aku dapat mengendalikan diriku, barulah kupasang sebuah senyum kecil padanya. Senyum yang amat kupaksakan.

    “Kau tahu, Kanae? Kau bisa genggam tanganku jika kau merasa sedang kacau.” Sousuke mengulurkan telapak tangannya. “Kita bisa pulang bergandengan tangan.”

    Kutatap telapak tangan itu – telapak tangan yang amat ingin kugenggam sejak dulu. Aku menghirup napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Terima kasih. Tapi, kurasa aku baik-baik saja.”

    Keesokan harinya, Sousuke pergi ke Tokyo, jauh dari tempatku berada, Hokkaido.

    ***

    “Ckrek.”

    Aku tiba di rumah. Gerbang depan sudah kututup. Hari sudah malam hingga dapat kudengar suara serangga yang bersahut-sahutan dari pekarangan depan. Aku suka pekarangan depan rumah. Dari sana, aku dapat melihat langit luas.

    Setelah mandi, aku segera ganti baju dan kembali menonton TV.

    “Pemirsa, saat ini baru saja terjadi insiden berdarah di Tokyo. Para demonstran yang berunjuk rasa di depan kantor pemerintah dinilai telah meresahkan warga dan membahayakan keamanan negara. Tentara dan polisi dipersilakan menggunakan kekerasan untuk menghalau para demonstran. Melaporkan langsung dari tempat kejadian, tampak suasana yang masih mencekam di sekitar kawasan kantor pemerintah. Beberapa polisi dan tentara tampak berjaga-jaga dengan persenjataan lengkap, sedangkan para demonstran berjaga dengan balok kayu dan senjata seadanya. Menurut mereka, kini mereka berjuang bukan lagi semata-mata demi dihapuskannya operasi Mnemonicide, tetapi juga demi membebaskan teman-teman mereka yang ditawan tentara. Petugas medis terus berdatangan demi mengantisipasi—“

    TV itu masih menyala. Aku tak lagi berniat menontonnya, tapi aku tak mematikannya malam itu. Alih-alih, aku membaringkan diriku diatas sofa, menatap langit-langit, menghela napas dalam-dalam.

    Kuingat satu hal bahwa Sousuke pernah memberikanku sebuah nomor telepon yang bisa kuhubungi saat aku butuh sesuatu. Kukeluarkan telepon genggamku dari tas dan kucari kontak dengan nama “Sousuke” yang sebetulnya kutulis dengan nama “Sou-chan.”

    Tuuuuttt…

    Tuuutt…

    Tuutt…

    Tak ada jawaban. Sia-sia. Akh, bukankah aku sudah mencobanya selama enam bulan ini, kenapa pula aku mencobanya lagi hari ini? Aku betul-betul bodoh. Dungu. Idiot. Segera aku beranjak, mematikan televisi, dan kembali berbaring.

    Sousuke…

    Kau sedang apa?

    Bagaimana keadaanmu sekarang?

    Kau tahu kenapa aku selalu baik padamu, Sousuke? Karena aku mencintaimu.

    Aku mencintaimu. Aku ingin selalu ada bersamamu, selamanya…


    Tak terasa air mataku menetes. Napasku juga sesekali terisak. Sousuke, sebenarnya ia ada dimana?

    Malam turun semakin larut. Esok hari aku harus kembali bekerja. Aku tahu ini akan sulit, tapi suatu hari nanti, aku ingin bisa kembali tersenyum lepas. Aku ingin senyum selepas mungkin, sama seperti saat pertama kali aku bertemu Sousuke di kota ini, yang tak pernah ia ingat.

    Dan dengan hanya Sousuke di pikiranku, aku terus menangis. Hingga tanpa kusadari aku telah tertidur lelap.

    masih menunggu kritik dan sarannya :peace:

    Last Chapter : Tomoe's Story. ditunggu ya :lalala:
     
  6. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    huuffff :swt: kelar juga bacanya. hmm... gmn ya, waktu baca ini rasanya cukup nyambung dengan Sousuke's part. secara menyeluruh okelah, penyampain ceritanya juga sudah tersampaikan. untuk feel cerita juga lumayan lah

    yang disayangkan dalam bagian Kanae ini terkesan terlalu bertele2, jadi cukup menimbulkan rasa bosan pas bacanya :maaf: tapi itu juga mungkin karena saya tipe orang yang kurang suka dengan tipe penulisan yang terlalu detail dan berulang-ulang sih. mungkin sebaiknya bila ditambahkan sedikit konflik seperti di Sousuke's part (ada perampok gt2 lah) jadi bisa menimbulkan rasa ketertarikan dan penasaran sedikit

    dari segi penulisan sendiri terlihat sudah jauh lebih baik daripada yang sudah2 :top: ada sedikit2 kesalahan tp pasti akan segera teratasi kok klo sering2 diasah.

    segitu aja de :peace: semoga membantu
     
  7. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    anoo, pas ane baca lagi kok agak bikin mata sakit juga ya? haha thanks nih agan bubu.

    mengenai konflik sendiri, hmm sebenernya ane emang pengen naekin feelingnya si kanae sih, jadilah di chapter 2 cuma nyeritain kanae galau :peace:

    terlalu bertele-tele ya? duh, penyakit nih :swt: entah kenapa kalo nulis romance pasti bingung naikin feelnya (lebih sering nulis action soalnya) jadi aja dibikin bahasa yang mungkin level tinggi dan kaku agar feelnya dapet. eh ternyata masih belum ya :swt:

    anyway, last chapter masih on progress. ditunggu ya :lalala:
     
  8. serafim M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 9, 2012
    Messages:
    1,244
    Trophy Points:
    127
    Ratings:
    +874 / -1
    komen buat yang chapter 1:

    alurnya kayak gimana sih gan??? klo misalnya flashback kok eemmm...gimana ya yang jelas saya sebagai pembaca bingung
    di part 1 mereka berdua sama-sama sakit terus akhirnya tiba-tiba tomoe udah mati??
    tapi fell-nya :top: dapet gan palagi yang part 1

    chapter 2 masih dibaca :belajar: :peace:
    -----
    komennya klo udah baca full aja masih bingung sama jalan ceritanya :peace:
     
    Last edited: Apr 24, 2013
  9. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    iya gan itu flashback. hmm keknya kurang kalimat penghubung ane jadi agak membingungkan ya :swt:

    anyway, tar baca juga ch 3 ya gan mudah2an ada perubahannya :peace: thanks gan :oghormat:
     
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    akhirnya chapter 3 beres juga, asem, setengah bulan tarsok :swt:
    hope you all enjoy it (just...hope :hmm: )

    Chapter 3
    Tomoe's Story : Until the very end of the Dream


    Tap…tap…tap…

    Begitu kosongnya tempat ini sampai-sampai dapat kudengar sendiri suara ketukan langkahku yang menyaru di udara. Kabut mengapung tipis, dingin. Jarak pandang buram, lima meter sejauh yang kulihat. Berkali-kali aku memincingkan mata hanya untuk tahu ada apa didepan, meski jujur saja tak ada hal menarik yang bisa kulihat. Semuanya begitu gelap, begitu kosong. Tak ada apapun disini kecuali onggokan besi-besi tua yang merupakan sisa-sisa dari apa yang seharusnya menjadi wahana taman bermain.

    Kekhawatiran terbesarku sekarang adalah bahwa aku tak bisa sampai di bianglala setinggi seratus meter di timur. Semua wahana di taman bermain ini boleh saja hancur tak bersisa, tetapi untuk bianglala itu, akh, kuharap wahana itu masih utuh. Aku amat ingin berada disana. Meski aku harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan, aku harus sampai di sana.

    Kurekatkan cardigan biru yang menempel di tubuhku kuat-kuat, dan makin kuat saat angin malam menyibak rambutku sampai mengapung. Wuzz, suaranya terdengar jelas ditelinga. Mataku menutup saat debu mulai beterbangan menghajar keduanya. Tetapi kakiku sendiri, keduanya terus melangkah tanpa henti. Dan rasanya aku sudah berjalan selama setahun penuh, saat kurasakan angin berhenti bertiup.

    Aku menoleh ke timur. Jauh dihadapanku, sebuah bianglala besar berdiri tegak.

    Menyadari bahwa bianglala itu masih ada disana, aku menghela napas lega. Meski tampak aneh bagiku saat kudapati benda besar itu tak berputar, tak bercahaya, dan tak berpenumpang. Ditambah dengan langit gelap berkabut sebagai latar belakangnya, kini sosok bianglala itu malah tampak menyeramkan, jauh dari kesan menyenangkan.

    Aku menatapnya, bianglala itu. Sesaat senyumku hilang karena yang kuinginkan adalah melihat bianglala itu kembali ramai oleh canda tawa.

    Terutama canda tawa kami, aku dan dia.

    ***

    “Kriik…kriik…”

    “Nggg…”

    Kubuka mataku perlahan. Semua yang ada dihadapanku kini tampak buram, dan berangsur-angsur jelas setelah beberapa kali mataku kukerjipkan. Ruangan tempatku berada tak berubah sama sekali – sebuah ruangan yang cukup kecil bagi seorang pasien, namun bersih sehingga aku merasa nyaman didalamnya. Jauh diluar, suara jangkrik terdengar bersahut-sahutan diantara rerumputan.

    Bianglala itu, lagi-lagi aku bermimpi tentangnya. Ini mungkin sudah ke lima puluh kalinya, atau mungkin ketujuh puluh atau malah ketujuh ratus kalinya semenjak pertama kali aku bermimpi tentang bianglala itu. Akhir dari mimpi itu selalu sama : bianglala yang mati, kekosongan, dan aku yang ada disana, sendirian. Tapi, akh, aku tak mau berlama-lama membahas mimpi, jadi segera aku bangun. Sejenak aku menggeliat, menetralkan otot-otot tubuhku yang kaku. Krek…krek…beberapa bagian tubuhku berbunyi. Satu lagi tidur yang nyenyak.

    Disampingku terhampar sebuah tempat tidur pasien. Sou tertidur lelap diatasnya, masih tak sadarkan diri. Ini sudah hari ke-30 semenjak ia dinyatakan koma. Para polisi itu memang biadab, seharusnya mereka tak memukulinya.

    Sou menjadi korban kerusuhan di Tokyo sebulan lalu. Aku ada bersamanya saat ia meliput kerusuhan yang terjadi akibat protes menentang operasi mnemonicide. Beberapa polisi yang melihat Sou tahu bahwa perusahaan tempat Sou bekerja – The Social Life – merupakan musuh pemerintah, dan karenanya mereka semua memandang Sou sebagai musuh juga. Ibarat suku-suku pedalaman yang memangsa buruannya, para polisi biadab itu berlarian ganas begitu melihat Sou. Mereka berteriak, mengumpat, dan mengejar Sou dengan mata memburu. Sou yang bingung dan ketakutan berusaha bersembunyi di sebuah sudut jalan, meski akhirnya seorang polisi menemukannya. Tanpa menunggu aba-aba, polisi-polisi lainnya datang dan langsung memukuli Sou dengan baton – terkadang menendang dan bahkan ada pula yang meludahinya. Sou sudah berkali-kali meminta ampun, tapi tak ada satupun dari aparat itu yang mendengarkan. Aku tak tinggal diam dan berusaha melindungi tubuh Sou dengan punggungku, tetapi baton-baton itu tetap mengenai tubuh Sou. Para polisi baru meninggalkannya setelah Sou tak sadarkan diri ibarat seonggok mayat, penuh darah.

    Aku berteriak panik, memanggil petugas medis untuk datang. Dalam sepuluh menit pertama tak ada seorangpun yang menyadari keberadaan Sou, sebelum akhirnya seorang petugas yang teramat kikuk menghampirinya. Kubentak dia karena ia pun tak tahu apa yang harus dilakukan sebagai seorang unit medis reaksi cepat. Ia terus saja melongo gemetaran tanpa melakukan apapun, seolah hari itu adalah hari pertamanya bertugas. Beberapa rekannya datang tak lama kemudian, dan rasa sesak memenuhi dadaku saat melihat tubuh Sou yang penuh darah dimasukkan ke dalam ambulan.

    Sou dibawa ke rumah sakit ini dan langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Selama sebulan setelahnya ia masih belum juga sadarkan diri. Bagaimana kondisi pastinya aku juga tak tahu. Ia mungkin akan bangun besok, atau mungkin saja sepuluh tahun lagi. Mungkin juga ia takkan pernah bangun lagi, aku tak tahu. Yang jelas, aku sudah memutuskan bahwa aku akan menunggunya hingga akhir. Aku ingin terus bersamanya.

    Jauh disudut ruangan, sebuah jam kecil berdiri diatas meja kayu. Tik…tok…tik…tok…suaranya masih terdengar jelas. Ini jam empat pagi. Diluar sana kabut tipis masih menutupi rerumputan. Aktivitas di rumah sakit ini juga masih belum terlihat.

    Tik…tok…tik…tok…

    Untuk setiap detik yang berdetak, aku amat ingin melaluinya bersama Sou. Untuk suatu alasan pula, aku masih tak bisa – dan tak mau – meninggalkannya.

    Kutatap Sou dalam-dalam. Ah, ia begitu lucu saat sedang tertidur. Dan dengan perban tebal yang menutupi kepalanya, ia lebih mirip penarik becak daripada pasien rumah sakit. Haha, rasanya aku jadi ingin mencubit pipinya atau meninju wajahnya.

    Lalu, tanpa kusadari, tanganku mengayun. Jemariku mulai bermain dikepalanya, rambutnya, dan beberapa saat kemudian aku jadi amat ingin berbisik padanya. Segera saja kudekatkan bibirku ke telinganya. Dapat kurasakan beberapa helai rambutku jatuh terurai, menyentuh wajahnya yang tenang.

    “Selamat pagi, Sou.” Bisikku.

    ***

    “…Melaporkan langsung dari kantor pemerintah, saudara, pagi ini Perdana Menteri menginstruksikan agar penggunaan Operasi Mnemonicide dihentikan untuk sementara di seluruh Jepang. Perundingan lebih lanjut antara dinas kesehatan dan pihak-pihak terkait akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Dinas kesehatan sendiri sebelumnya menyatakan belum menerima jika operasi Mnemonicide tak lagi digunakan, meskipun mereka menyatakan siap menerima apapun keputusan yang diambil perdana menteri. Kembali kepada anda, Haruka.”

    “Terima kasih atas laporan anda, Ayaka. Beralih ke berita selanjutnya. Saudara, menyusul bentrok yang terjadi tiga hari yang lalu…”

    TV di lobby berbunyi nyaring. Ada tiga orang yang berdiri didepannya, melongo dengan mulut terbuka dan berkata, “Woohh.” Salah seorang lainnya malah berteriak-teriak, “Berhasil! Hore, perjuanganku berhasil!” Ia kemudian berjingkrak-jingkrak di tengah ruangan seperti orang gila. Seorang lelaki yang baru saja masuk ke lobby melihatnya risih, seolah bertanya, “Kamu anak siapa?”

    Dulu aku memang menginginkannya - operasi penghapusan ingatan itu - agar Sou bisa terbebas dari dilemma dalam hidupnya, tapi kenyataannya, karena operasi ini pula sekarang Sou menjadi koma. Ketidaksukaannya kepada operasi mnemonicide memang cukup beralasan. Jauh di lubuk hatinya, Sou mungkin merasa dendam karena operasi itu merenggut satu-satunya kenangan antara aku dan dia. Mungkin saja.

    Setelah dua tahun berlalu, aku baru menyadari bahwa ternyata aku juga masih menginginkan Sou ada di sampingku. Dan lucu, kini aku malah ingin ia kembali mengingatku. Lalu, aku juga ingin semua hal yang telah kulalui bersamanya membekas dalam ingatan Sou. Dan aku juga ingin Sou bisa kembali tersenyum kala mengingat hari-hariku bersamanya.

    Dan juga…

    Dan juga…

    Kuurutkan semua keinginanku satu per satu, hingga dari semua keinginan yang ada, aku berkesimpulan bahwa yang sebenarnya kuinginkan adalah hidup seperti dulu, kembali ke masa-masa saat kami masih bisa tertawa bersama.

    “Hei, hei, kau tahu tidak?”

    “Apa?”

    Dua orang perawat berjalan perlahan, amat pelan, dan berhenti sejenak di depan kamar Sou ini. Aku menoleh pada keduanya. Yang satu berambut panjang terikat, dan yang satu lagi bertubuh tinggi semampai. Aku ingat keduanya sama-sama pernah mengunjungi kamar ini.

    “Kau mau bilang apa?” Tanya sang perawat berambut panjang, dan temannya menjawab dengan sebuah pertanyaan pula.

    “Iya, kau tahu tidak tentang hantu wanita itu?”

    “Hantu?”

    “Ya, ya, kabarnya dokter Goro pernah lihat. Hantu wanita, wajahnya pucat dan mulutnya mengeluarkan darah. Terus, dadanya, hii, di dadanya…”

    “Ada apa di dadanya?” Potong sang perawat berambut panjang.

    “Iya, di dadanya ada noda darah yang banyak, seperti bekas luka tusuk atau luka tembak.” Sang perawat bertubuh tinggi menjelaskan dengan antusias, dan sang perawat berambut panjang tak kalah antusias mendengarkan.

    “Oya? Terus, bagaimana?”

    “Iya, dan juga,” ia berbisik perlahan. “Hantu itu ada di kamar ini.”

    “Masa?”

    Kutatap kedua perawat itu lugu saat keduanya berbalik menatapku. “Hii, ngeri.” Jawab sang perawat berambut panjang kemudian, bergidik. Keduanya pun segera berjalan menjauh.

    Menatap keduanya, aku tersenyum kecil, meski sebetulnya perasaanku sakit karena obrolan mereka. Kuraba tubuhku di area dada perlahan. Darah masih mengucur deras dari sana. Darah akibat tembakan sang perampok dua tahun lalu. Menyedihkan, memang. Hidup yang kusimpan sebaik mungkin agar aku bisa terus bersama Sou hilang hanya oleh sebuah peluru. Ini, tak adil.

    Tetapi semuanya sudah terjadi dan aku tak bisa menolak kenyataan. Kini aku memutuskan untuk terus berada disisinya. Selama aku masih bisa berada disini, aku akan terus berada disampingnya.

    Sesaat aku memutuskan bangkit dari tempatku duduk dan berjalan ke arah lorong rumah sakit, jauh dari kamar Sou. Melewati sebuah jendela besar lima menit kemudian, tampak dimataku bayang-bayang semua benda dihadapan kaca besar itu. Semua benda, kecuali aku sendiri. Haha, hantu sepertiku mana punya bayangan? Tanyaku dalam hatiku yang perih. Ya, jika aku bahkan tak bisa melihat wujudku sendiri, bagaimana dengan Sou? Ia takkan bisa melihatku. Ia takkan pernah tahu bahwa aku selalu ada disampingnya.

    Dan tanpa kusadari, perlahan bibirku kembali memanggil namanya.

    “Sou…”

    Aku masih melamun saat kemudian suara seseorang kembali terdengar. Yang membuatku terkejut adalah ketika aku mendengar suara itu amat familiar di telingaku. Sebuah balasan hangat.

    “Tomoe.”

    Suara itu terdengar hangat, ibarat suara seorang kekasih yang memanggil orang yang amat disayanginya. Aku yang tersentak segera berbalik.
    Tampak dihadapanku kini seorang lelaki yang menatapku lugu. Pakaian seragam putih-putih khas pasien rumah sakit tampak membalut tubuhnya. Kepalanya terikat oleh secarik perban tebal. Ia menatapku dan tersenyum lega.

    Dugaanku benar. Sou, ia yang menjawab. Sou berdiri dibelakangku sambil menatap dalam-dalam padaku yang masih berdiri kaku, terkejut. Maksudku, bagaimana mungkin ia bisa tahu aku ada disini? Dan bagaiman ia bisa melihatku dan memanggilku?

    “Sou?”

    “Ya, ini aku Tomoe,”

    Jawabannya membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Ia bahkan bisa mendengar suaraku. Ini aneh. Amat aneh.

    “Ternyata benar, isu hantu di kamarku ini, itu kau.” Katanya kemudian sambil berjalan mendekat. Aku hanya bisa diam melongo menatapnya.

    “Kau bisa…bagaimana bisa kau melihatku?”

    Hanya itu yang bisa kutanyakan, meskipun masih ada beberapa pertanyaan lain di benakku. Kenapa ia bisa melihatku? Kenapa ia bisa berdiri disini? Dan bagaimana ia bisa mendengar suaraku? Aku tak sempat menanyakannya, karena jantungku kini berdebar kencang, membuat bibirku kaku.

    Sou berjalan perlahan, mendekatiku. Tiba dihadapanku ia mengacak-acak rambutku hingga berantakan.

    “Kau kenapa sih? Seperti orang kesetanan begitu?”

    Bodoh. Idiot. Aku memang setan, dasar idiot! Umpatku dalam hati. Dan kini, meski aku merasa amat senang karena bisa melihatnya lagi, aku masih penasaran dan ingin kembali bertanya padanya mengenai apa yang terjadi. Karena ini semua terlalu tiba-tiba.

    “Kau…”

    Hanya itu yang bisa terlontar dari bibirku perlahan, saat kemudian kulihat beberapa perawat tampak panik berlarian sambil berteriak, “Aku butuh dokter! Cepat! Ruang 204!”

    Apa? Ruang 204? Itu ruang dimana Sou berada! Apa yang terjadi?

    “Ah, ruanganku ya?”

    “Sou, ada apa?!” Tanyaku tidak kalah panik, tetapi Sou hanya tersenyum.

    “Mungkin sudah tiba saatnya.”

    “Eh?”

    Sou tersenyum dan segera meraih tanganku. “Ayo, Tomoe!” katanya penuh semangat. Aku yang kebingungan hanya bisa menurut saat ia membawaku berlari.

    Sou mengajakku kembali ke kamarnya. Didepan pintu kamar itu kini berdiri seorang gadis berambut ikal yang menghadap pintu dengan wajah gelisah. Ia menggenggam kedua telapak tangannya di depan dadanya, berdoa penuh harap dengan mata terpejam dan napas sesegukan. Ah, gadis itu. Aku sering melihatnya menunggui Sou juga selama sebulan terakhir, dan terkadang ia juga tertidur disamping ranjang Sou. Aku tahu ia memiliki perasaan pada Sou, sama sepertiku. Kadang aku malah cemburu padanya.

    Baru saja kami akan masuk ke kamar Sou, saat Sou kemudian menatap gadis itu dan tersenyum, dan berbisik perlahan. “Kanae, terima kasih untuk semuanya.”

    “Sou…” aku berkata lirih, masih tak mengerti apa yang ia bicarakan. Sou menoleh padaku dan kembali tersenyum.

    “Ayo.”

    Ia mengajakku masuk ke kamarnya, dan aku amat terkejut ketika kulihat Sou masih ada disana. Beberapa perawat mengelilinginya, membantu seorang dokter yang menyiapkan defibrillator – alat kejut jantung yang lebih mirip dua buah setrika bagiku.

    “Tekanan 200, clear?”

    “Clear.”

    Sang dokter menaruh dua setrika itu di dada Sou, membuat tubuhnya terlempar ke udara. Belum ada reaksi. Sou masih tak bergerak.

    “Tambah jadi 300!” Kata sang dokter lagi.

    “Segera, dok. 300 clear.”

    Kembali sang dokter menekan dada Sou dengan defibrilator itu, namun tak ada reaksi. Disamping Sou, sebuah alat kardiogram menunjukkan garis lurus statis, dengan suara lurus tanpa jeda. Sang dokter mencoba sekali lagi, berharap Sou masih bisa selamat.

    “Clear?”

    “Clear.”

    Dicobanya sekali lagi, namun hasilnya tetap sama. Sou tak bergerak, kaku. Dokter itu kemudian menatap Sou dengan tatapan pasrah, sementara seorang perawat geleng-geleng kepala.

    “Dok?”

    “Catat waktu kematian.” Kata sang dokter lagi. Seorang perawat dihadapannya segera melakukan perintah sang dokter.

    “Waktu kematian, 04.55. Sudah dikonfirmasi.”

    Sang dokter kemudian menutupkan selembar kain ke seluruh tubuh Sou.

    Aku menatap semua itu dengan wajah pucat, ngeri. Melihat orang yang berharga bagi kita mati begitu saja ternyata begitu mengerikan, bahkan bagi hantu sepertiku.

    Tetapi tidak bagi Sou. Ia tampak tersenyum lega.

    “Sou…”

    “Ada apa, Tomoe?” Ia bertanya dengan nada halus. Sebetulnya aku ingin kembali bertanya padanya banyak hal, tetapi kuurungkan niatku. Alih-alih aku malah menggeleng dan menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.”

    Ya, semua pertanyaanku tak ada artinya lagi. Semuanya sudah jelas. Sou sudah mati, dan yang berbicara padaku kini adalah sosoknya yang sudah jadi hantu, sama sepertiku. Dalam wujud hantu ini, akhirnya kami bisa kembali bersama. Syukurlah.

    Sou tersenyum, lembut, sama seperti bagaimana ia sering tersenyum padaku dulu. “Aku kembali, Tomoe.” Katanya perlahan.

    “Mmm,” aku tersenyum. “Selamat datang kembali, Sousuke.”

    Ia kembali mengacak-acak rambutku, memainkan jemarinya di rambutku dan membuatku tersenyum geli.

    “Sekarang kita bisa terus bersama.”

    “Mmm.” Aku mengangguk.

    Kanae masuk tak lama kemudian. Dengan mata sembab dan dipapah seorang perawat, ia merebahkan diri di samping tubuh Sou yang sudah kaku tak bernyawa. Isak tangisnya kemudian terdengar jelas dari balik tubuhnya yang gemetar. Ia terus memanggil-manggil nama Sou, meski tahu bahwa Sou sudah tak mungkin lagi mendengarnya.

    “Kau tahu, Sou,” kataku lirih, menatap sang gadis dalam-dalam. “Ia gadis yang baik. Aku sempat berpikir bahwa ia akan bisa menjadi istrimu seandainya kau tetap hidup.”

    Sou mengangguk perlahan dan terus menatap Kanae. Gadis itu terus menangis sambil menggenggam erat kain yang menyelimuti tubuh Sou. Tanpa bisa berkata apapun lagi, Sou berbalik perlahan, berjalan menjauh meninggalkan Kanae. Aku mengikutinya.

    “Tinggal satu hal lagi yang mesti kita lakukan, Tomoe.”

    “Eh?” Aku tertegun. Kini kami sudah bersama, dan rasanya tak ada lagi yang perlu dilakukan. “Apa itu?” tanyaku lagi.

    “Kau pernah bermimpi tentang bianglala, kan?”

    “Ah, ya. Bagaimana kau tahu?” Tanyaku.

    “Aku memimpikan hal yang sama.”

    Aku tertegun sejenak. Mimpi paralel, paralel dream, kukira itu hanyalah sebuah dongeng. Kutanya Sou bagaimana bisa ia memimpikan hal yang sama denganku.

    "Entahlah, mungkin...takdir?" Jawabnya, dan mendengar jawabannya itu aku tak berminat untuk bertanya lebih jauh lagi.

    “Mimpi yang aneh,” kataku kemudian. “Di akhir mimpi itu hanya ada aku dan bianglala itu. Rasanya seperti…”

    “Mimpi yang belum selesai?”

    “Ya, ya.” Aku menjawab antusias. Sou tersenyum.

    “Sekarang, kita akan pergi ke akhir mimpi itu.”

    Lagi-lagi ia mengeluarkan statement yang aneh. Kutanyakan padanya bagaimana bisa aku mencapai akhir mimpi itu? Bukankah mimpi tak bisa ditentukan oleh kita? Tanyaku.

    Tetapi Sou hanya tersenyum.

    “Pejamkan matamu.”

    “Hah?”

    “Ya,” jawab Sou tanpa ragu. “Pejamkan matamu.”

    Aku tertawa ragu-ragu. pejamkan mataku? Ini konyol.

    “Sou, aku tak tahu apakah aku harus…”

    “Percayalah padaku, Tomoe.” Katanya sekali lagi dengan mantap. Dan menatap matanya yang tajam dan senyumnya, aku tak bisa membantah. Sebuah keyakinan kuat di matanya membuatku mengangguk dan menurut.

    “Kau percaya padaku?”

    “Ya.”

    Sou menggenggam tanganku kian erat, dan aku membalasnya dengan genggaman yang sama.

    “Tetap bersamaku. Percayalah padaku.”

    “Aku percaya padamu, Sou.”

    Aku masih memejamkan mata kuat-kuat, dan tersenyum. Terus tersenyum.

    “Kau masih bersamaku?”

    “Ya.”

    "Kau percaya padaku?"

    "Mmm."

    entah mengapa, mendengar semua kata-katanya yang lembut, aku merasa sangat bahagia. Lalu, untuk beberapa saat kemudian dapat kurasakan sebuah kecupan yang mendarat di keningku. Lembut dan hangat. Kecupan itu sudah lama tak kurasakan. Sebuah kecupan yang dua tahun lalu menjadi awal perpisahan kami, kini kembali.

    "Aku mencintaimu, Tomoe."

    "Ya, Sou." Jawabku mengangguk. "Aku juga mencintaimu."

    Tak lama setelahnya Sou kembali berbisik, “Sekarang buka matamu.”

    Dengan sebuah senyum geli, aku mengangguk, menurut. Saat mataku membuka, semua yang ada dihadapanku kini berubah.

    ***

    “Waaaaa…”

    “Haha…”

    Aku kini berdiri di sebuah taman bermain yang sangat ramai, penuh orang-orang lalu lalang. Canda tawa, semuanya bercampur menjadi sebuah aura kebahagiaan yang besar. Semua yang tampak dihadapanku, ini semua seperti mimpi—mimpi yang sering kualami. Hanya saja, ini lebih hidup.

    “Tomoe!”

    Sou memanggilku dari belakang. Ia tersenyum lebar dan segera menarik tanganku.

    "Sousuke, ini..."

    Sousuke mengganggam tanganku kuat-kuat dan kembali berteriak ditengah senyumnya yang kian lebar, “Ayo, ikut aku Tomoe!”

    Ia membawaku lari ke arah timur, ke tempat dimana bianglala yang ada di mimpiku berada. Seketika tawaku meledak. Terlebih saat kemudian kulihat bianglala itu perlahan memancarkan cahaya terang, berputar dari satu kabin ke kabin lainnya, hingga kemudian seluruh kabin bianglala itu memancarkan cahaya yang teramat terang.
    Disekelilingnya kembang api warna-warni meledak. Semua orang yang melihatnya terpana. Beberapa bersorak dan bertepuk tangan. Bianglala itu, kini tampak begitu hidup.

    “Ayo!” teriak Sou girang.

    “Ya.”

    Tanpa mempedulikan semua di sekeliling kami, aku dan Sou terus berlari sambil tertawa gembira.

    Dan entah keajaiban apa yang kemudian membuat ribuan orang berdiri disekitar bianglala itu, memberi jalan pada aku dan Sou. Mereka semua bersorak riang, menatap pada kami berdua dan bertepuk tangan riuh, bersorak, memberi semangat agar kami segera masuk ke dalam kabin. Jalan yang akan kami lalui kini dihiasi karpet merah dan taburan pita warna-warni.

    “Selamat yaa!”

    “Ayo, naiki bianglala itu!”

    “Go go go, yahoo!”

    Itu semua menyenangkan. Semua orang yang melihat kami, semuanya tampak bahagia. Sejenak aku terpana melihat semua itu sebelum kemudian Sou kembali menarik tanganku.

    “Ayo, Tomoe!”

    “Ya!”

    Kami kembali berlari sambil tertawa lepas, ibarat anak kecil tanpa dosa. Kami terus berlari diiringi sorak sorai orang-orang disekeliling kami, mengucapkan selamat.

    Tiba di kabin, seseorang sudah menunggu kami. Seorang gadis.

    “Kanae?”

    Berbeda dari sebelumnya, kini raut wajah gadis itu tampak amat bahagia. Ia tersenyum lepas saat membuka pintu kabin.

    “Ayo, segeralah naik, kalian berdua.”

    Sou mengangguk dan segera masuk. Aku menyusulnya. Kanae, ia melambaikan tangannya saat kemudian pintu kabin ini menutup, masih dengan senyumannya yang begitu lepas.

    Dan beberapa saat kemudian, saat kabin ini bergerak perlahan keatas, semua orang berteriak gembira. Ribuan siulan, tepuk tangan, ucapan selamat dan doa mengiringi kami berdua saat kabin ini naik.

    Selang beberapa saat kemudian, semua dihadapan kami tampak kecil. Suara orang-orang menghilang dari telinga kami. Semuanya memudar.

    Aku bahagia, Sou. Ini akhir mimpi yang indah. Terlalu indah.

    “Tomoe, lihat.”

    Aku menoleh saat Sou menunjukkan padaku apa yang ia lihat. Jutaan bintang yang tersebar di langit.

    “Indah sekali, Sou.”

    “Mmm.”

    Aku masiih menikmati pemandangan itu, saat kemudian Sou kembali menggenggam jemariku.

    “Sou?”

    “Tomoe, maukah kau menikah denganku?”

    Ia mengeluarkan sebuah cincin dari saku mantelnya. Sebuah cincin yang sama persis dengan apa yang ia beri padaku dua tahun lalu. Tanpa menunggu apapun lagi, ia segera memasukkan cincin itu ke jari manisku.

    “Jadilah istriku, Tomoe.”

    Aku mengangguk, tersenyum lepas. “Ya, Sou.” Jawabku.

    Sou tersenyum dan segera merangkul tubuhku. Menikmati bintang-bintang di langit luas, aku berbisik.

    “Sou,”

    “Ya?”

    Aku merekatkan tubuhku di pelukannya. Menatap jutaan bintang di langit, aku berbisik perlahan.

    “Terima kasih.”

    sumpah ini, dreamy banget :swt:

    ane ngerasa ini bakal dicabe abis2an. selain karena tulisannya terlalu mengayun dan bertele-tele, ini...rada melenceng dari apa yang ane pikiran ane sebelumnya.

    tapi ga tau kenapa ane seneng pas tulisan ini beres. ga tau kenapa, mungkin karena akhirnya tarsok bisa dilewati dengan sebaik2nya kali ya? ato mungkin karena ini hasil 100% yang bisa ane bikin? hehe.

    anyway, thanks buat yang udah mau mampir. bagi yang mau memberi kritik, saran, cabe, cabe ijo, ato indomie cabe ijo, monggo dipersilakan :peace:
     
    Last edited: May 7, 2013
  11. serafim M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 9, 2012
    Messages:
    1,244
    Trophy Points:
    127
    Ratings:
    +874 / -1
    eh?? :kaget:

    udah ada lanjutan nya

    subscribed dulu deh
    komennya belakangan :peace:

    ----
    udah selse baca :keringat:

    tapi masih bingung sama chapter 1, itu adegan nya pas si Tomoe udah jadi hantu kah??

    trus soal kalimat yang ini:
    menurut ane nggak pas soalnya yang diceritakan adalah hantu, masa hantu jangtungnya masih berdetak??

    dan setelah baca dari awal sampe akhir ane dapet 1 kesimpulan: fell-nya dapet!!! :terharu: baik adegan yang sedihnya sih Tomoe n Sou, galau-nya si Kanae, maupun adegan happy ending yang so sweet banget itu
     
    Last edited: Jun 14, 2013
  12. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    thanks lagi buat komennya serafim san :peluk:

    btw, di chap 1 tu, maksudnya Tomoe cuma khayalan Sou aja sih. hmm, mungkin agak maksa juga ya :bloon:

    eh, tapi beneran feelnya dapet nih? haha, senangnya :yahoo: soalnya baru pertama bikin sweet romantic kek gini :hihi:

    meunggu komentar selanjutnya :oghormat:
     
  13. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    ano.. em..

    bilang aja itu sousuke sakit psikosis(istilahnya), biar langsung ngerti semua kenapa ceritanya kek gitu. secara pembaca harus mengkondisikan dirinya psikosis juga untuk mendalami pemahaman karakternya.

    mnemonicide itu istilah membunuh mnemonic yang ada di otak kita, cara kita untuk mengingat sesuatu. entah kok dipake jadi operasi menghilangkan ingatan ama lalat-san :hehe:

    dulu pernah ada sih operasi ini saat dark age dalam dunia kedokteran walau bukan itu nama operasinya. dan dipakai untuk mengobati orang sakit jiwa, hasilnya tidak hanya ilang ingatan, tapi juga longor seperti bayi. itu lah mengapa tehnik itu jadi terlarang karena seakan-akan membunuh otak.

    Sisanya bagus, penulisan fellnya nangkap. :top:
    hanya saja karena dia psikosis, ane jadi gak kasihan ama sousuke.

    sweet romantic :maling: thriller nih ane bilang.
     
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    thank you bang veny. hmm ini komen pertama bang veny di fict ane keknya :lalala:

    ih waw, istilah apaan tu bang psikosis? ane malah baru denger :haha:

    ane bikin rada bertele2 buat twist sih tadinya, hmm tapi jadi banyak yang kurang nangkep maksudnya juga ya :iii:

    eniwei, thanks bang veny komentarnya. btw reason belum ane baca lagi huhu sori ya bang :hiks:
     
  15. venysilvia M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 28, 2012
    Messages:
    268
    Trophy Points:
    77
    Ratings:
    +333 / -0
    malah gak tau psikosis :keringat: tapi malah uda bisa bikin cerita psikosis yang bagus :haha:

    sebenarnya ini bukan komen pertama komentarin fic peri lalat, tapi kedua.. pertamanya di lonje :lalala: (kalo masih ingat :haha: tapi yang itu meteorid si :malu:)

    ah gak papa, dah mau ngomentarin kemarin masalah organisasi aja udah :makasih-g: banget.

    lagian kita disini kan nyari enjoy buat baca-baca :peace:. jangan gara-gara buru-buru baca fict ane ntar lalat-san jadi gak enjoy :ngacir:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.