1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Sepercik Maaf dari Prajurit Ali

Discussion in 'Fiction' started by NodiX, Apr 6, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +921 / -0
    Prajurit Ali
    Genre:
    Drama/Psychological (agak fantasy dikit, dikit aja, tapi biarlah)
    SEPERCIK MAAF DARI PRAJURIT ALI

    TAHUN-TAHUN sebelum ‘45 ditandai dengan tahun-tahun penuh perjuangan. Tumpah darah dan napas terakhir adalah manifestasi dari rasa cinta dan kebanggaan Tanah Air yang telah lama terbelenggu perunggu Belanda. Kita hanya tak tahu bagaimana rasanya bergelut dengan angan-angan pejuang sebelum ’45. Terutama saat masa-masa Belanda meneror setiap petak Bumi Pertiwi.

    Ali merasakannya, tepat mengalir di urat nadinya. Ia dapat merasakan semangat patriotismenya mengalir di pergelangan tangannya, kembali ke lengan, dan berdenyut tepat di dada kirinya. Walaupun degup jantungnya telah melemah, dan napasnya telah semakin berat dan pendek, ia tetap menghargai semangat patriotismenya itu. Loyalitasnya kepada sang Merah Putih tak akan tercoreng, hanya karena ia membuka mulutnya malam ini.

    Tiga pria berperawakan sedang dan berwajah barat tengah berdiri di hadapannya. Mereka berseragam Belanda, dan sama sekali tak menunjukkan sikap ramah kepada pribumi sepertinya. Tangannya diikat di tangan kursi. Beserta kakinya berkeringat, tatkala mencium kaki kursi dengan tali yang juga diikat kuat di sana. Satu-satunya cara untuk meloloskan diri adalah dengan meminta seseorang melepaskan pengikat di pergelangan. Tapi tak akan ada yang bersedia melakukan hal itu. Ia kesepian; pejuang yang sendirian di lini terdalam musuh adalah mimpi buruk bagi seorang prajurit sepertinya.
    Sekarang mereka tengah berusaha membuatnya membuka mulut, menyiksanya dengan segala hal mengerikan yang mereka miliki. Ia tengah berjuang melawan rasa sakit itu sendiri. Ia percaya, bantuan Yang Maha Kuasa selalu ada untuk kaum teraniaya seperti dirinya.

    ***

    Di suatu lembah yang tenang, beberapa pria berseragam tengah duduk menikmati kopi mereka. Udara malam bertiup tenang dan hening, tak ada jangkrik berdering. Tapi bagi setiap telinga yang sudah lama terlatih, akan segera tahu di balik ketenangan yang terlalu tenang seperti ini, selalu saja tersirat bahaya yang disiapkan untuk mengejutkan mereka. Maka berbaring malaslah senjata di pundak masing-masing, dengan bayonet tajam yang mengarah ke langit hitam berawan.

    Api unggun membara di tengah pos itu. Dan para tentara kita tengah duduk melingkarinya. Satu per satu menyeruput kopi mereka, bergantian, berirama. Seakan sudah terjadwal siapa yang terdiam dalam keheningan dan siapa yang memecah heningnya dengan suaranya menghirup kopi. Di antara kelima pria itu, hanya yang termudalah yang tak menyentuh bibirnya ke gelas logam yang ada di tangannya. Wajahnya murung sekaligus cemas, perpaduan yang tak lazim untuk pejuang berani mati sepertinya.

    “Kau tak apa-apa, Ali?” tanya Kapten Marfazi yang menatapnya dengan alis berkerut.

    Cepat mata Ali berdelik. Ia langsung menatap wajah kaptennya dengan sikap setengah canggung.

    “Tidak, pak. Tidak sama sekali. Saya hanya mencoba menghargai keheningan,” ia menyeruput kopinya dengan perasaan canggung.

    “Sebaiknya kau tidak menghargainya—tapi mengawasinya. Belanda tak pernah bersuara ketika menyergap kita dengan taring mereka. Selalu begitu.”

    Ali mengangguk. Itu terdengar lebih seperti perintah daripada saran. Dan anggukan Ali adalah bentuk dari kepatuhannya sebagai seorang bawahan.

    ***

    Pergelangan tangannya yang terikat di tangan kursi bergetar dan memberontak liar ketika suara kulit terbakar mendesis di telinganya. Rasa panas itu telah membakar kulit dadanya, hingga membuat saraf perasanya meleleh, tak dapat merasakan apa-apalagi selain rasa nyeri terbakar.

    “Kau masih tak ingin berbicara?” seru petugas Belanda itu dengan bahasa mereka sendiri, namun Ali cukup berpendidikan untuk mengerti bahasa Belanda.

    Pejuang muda itu hanya tersengal-sengal, di dadanya sudah penuh bekas sengatan besi terbakar. Ia baru mendapatkan satu tanda malam ini, dan ia yakin mereka akan melakukannya lagi besok, hingga tak ada ruang di seluruh permukaan tubuhnya. Tetapi sebagai bentuk pengabdiannya sebagai rakyat Indonesia yang baik, ia tak akan membiarkan musuhnya memiliki kesempatan menang atas tanah negerinya sendiri.

    Ali menggeleng kepalanya. Dan malam itu dihabiskannya dengan menerima pecut bengis dari Belanda.

    ***​

    Satu per satu tentara yang menjaga pos di lembah itu mengambil jatah tidur mereka, sedang dua atau tiga yang lain mengambil tugas jaga. Mereka akan tertidur tak lebih dari satu jam, kemudian berganti peran untuk menjaga sedang yang lain mengambil tidur. Jika saja tanda-tanda kemunculan Belanda tertangkap walaupun itu adalah salah sangka, mereka tetap akan membangunkan kawan-kawan mereka, bersiap dengan senjata masing-masing yang menempel di ketiak, dan berlindung di balik benda-benda padat dan keras. Sedangkan satu orang mengawasi sekitar dari atas. Suasana malam akan merugikan mereka, mengingat pemandangan lembah itu tak ada apa-apa selain gelap yang pekat. Maka mereka akan mematikan api unggun. Dengan demikian, kedua belah pihak sama-sama diuntungkan oleh kegelapan. Tapi masalahnya yang terjepit adalah tentara-tentara Tanah Air itu, yang tengah menjaga pos yang posisinya sangat vital sekaligus rawan.

    Si ahli medis Juanta baru saja jatuh terlelap. Menyusul si penembak jitu Taris dan Sersan Mila (ia seorang pria, hanya namanya saja yang mirip wanita. Karena itu ia lebih senang disebut Cak Mi, panggilan olok-olokan untuknya sewaktu kecil. Lebih sedap didengar daripada nama seorang wanita). Ali menggantikan Juanta, karena ia sama sekali tak dapat memejamkan matanya sejak tadi. Memang Juanta pernah mengatakan pemuda itu memiliki luka yang sangat parah di dada kanan atasnya, mungkin itu yang membuatnya tak bisa tertidur.
    Dari belakang ia menyapa Kapten Marfazi yang tengah melamun dalam kesendiriannya. Kapten itu menolak untuk diganti shift berjaga.

    Sapa Ali dibalas dengan senyum oleh kapten, kemudian ia kembali dalam lamunannya. Mereka tak berbincang. Dalam lamunannya kapten asyik memainkan bara api unggun dengan sepotong ranting. Sedangkan Ali, biarlah pemuda itu membiarkan dingin udara malam membekukan air yang ada di dalam gelas besi.

    “Sebaiknya kau meminumnya segera,” gumam Kapten, matanya tak bergerak dari lidah api di hadapannya. “Kalau tidak lidahmu akan sekejap kelu karena dinginnya.”

    “Saya tak akan meminumnya, pak,” Ali tersenyum, kemudian dari dalam sakunya, ia mengeluarkan sehelai sapu tangan bersih. Dengan perlahan ia mencelupkan sapu tangan itu ke dalam gelas, dalam hitungan milidetik setelah dicelupkan, sepotong kain itu telah menyerap air sedingin es.

    Ali membuka kancing seragam cokelat kremnya. “Rasanya lebih baik,” ia mendesah lega ketika menempelkan kain dingin itu ke permukaan lukanya.

    “Juanta pernah menceritakan sedikit tentang lukamu itu,” Kapten Marfazi mulai mengangkat pembicaraan. “Apa benar seburuk itu?”

    Ali hanya tersenyum mendengar pertanyaan sang kapten, sambil mengangguk pelan mendukung jawabannya. “Lukanya sering terbuka,” ada jeda saat tiba-tiba Ali mendesis sakit untuk sesaat. “Saya masih ingat dulu saat ia hendak menjahit luka ini. Saya menolak untuk dijahit, dan ia memukul wajah saya dengan dua bogemnya. Kemudian ia mendesak lagi, dan saya memilih mati ketimbang dijahit. Saat itu ia mengeluarkan semua sumpah serampah yang ia ketahui, lengkap dengan bahasa daerah yang sama sekali tak saya kenal.”

    Bersamaan dengan suara percik api ia tertawa kecil.

    Kapten Marfazi tersenyum, sekedar mengikuti irama.

    “Saya dapat merasakan kecengangan klise di matanya setiap kali ia memandangi saya. Sepertinya pria itu masih mengira kalau saya dapat berjalan dengan benar adalah sebuah mukjizat yang datang langsung dari Tuhan.”

    “Tapi itu sudah lama,” kapten mencoba mengulang ucapan Juanta di kepalanya. “Jika dulu kau sudah dijahit, seharusnya lukamu sudah mengering sekarang.”

    “Memang seharusnya begitu. Tapi saya lebih memilih terus merasakan sakit daripada dijahit.”

    “Memang apanya yang salah kalau harus dijahit?”

    Tentara muda itu terdiam. Matanya berbinar-binar. “Tak ada. Sama sekali tak masalah.”

    Kemudian ia mendesis, dilanjutkan oleh erangan yang cukup keras ketika ia menekan lukanya. Mendengar hal itu, Kapten Marfazi langsung terdiam untuk beberapa saat. Keadaan kembali hening.

    “Saya tahu apa yang akan anda tanyakan selanjutnya,” tiba-tiba suara Ali memecah keheningan. “Bukan luka ini yang membuat saya terjaga semalaman.”

    “Lalu apa?”

    “Mereka terlalu sering menanyakan masalah ini. Dan setiap pertanyaan itu saya jawab dengan kata maaf.”


    “Kau tak ingin membicarakannya?”

    Ali mengangguk, seraya melepaskan sapu tangan itu dari dadanya. “Saya minta maaf, Kapten.”

    Segenap rasa maklum dicurahkan lewat tatapan mata sang kapten kepada bawahannya. Ali hanya tersenyum saat memeras kain basah yang kini samar-samar telah ternodai darah.

    Gresekh-gresekh. Suara nyaring semak belukar berdesis di kesunyian malam langsung membangunkan kewaspadaan Kapten dan bawahannya itu. Mereka menoleh ke tebing, dan mendapati sayup bongkahan kerikil yang jatuh dari atas. Sambil berbisik awas, Kapten memerintahkan Ali untuk membangunkan yang lain, lalu memberikan gerakan isyarat kepada tiga pria yang masih berat membuka matanya. Tangannya liar bergerak, jemarinya sigap membentuk tanda yang unik. Mereka masih dapat membacanya di dalam terpaan sinar jingga api unggun; KITA DAPAT MUSUH.

    Ali langsung memadamkan api unggun dengan air perasan kainnya.

    ***​

    “Bicaralah!” pekik tentara Belanda itu, tepat di sebelah telinga Ali. Tak ada jawaban, si pribumi masih tetap bungkam. Tentara asing itu berjalan mundur, dan mendapati wajah pemuda yang mereka sekap telah habis babak belur oleh bogem mereka sendiri, merunduk saat ia tak memiliki tenaga lagi untuk mendongak.

    “Bicaralah atau kau akan menyesal,” desis orang Belanda yang lain. “Kami telah menyekap semua kawan-kawanmu. Mereka semua terlalu bodoh sebab memilih untuk menutup mulut. Kelak dari neraka mereka akan menyesal, sebab seluruh keluarga yang kalian miliki akan kami binasakan. Air matamu akan menguap oleh panasnya api neraka.”

    Dengan segenap tenaga yang tersisa, Ali mengangkat kepalanya yang terasa berat. Kemudian ia tersenyum sinis kepada musuhnya. Ia bergumam, dan salah seorang tentara Belanda yang memimpin tak mengerti ucapannya. Bukan karena suara yang tak jelas, tetapi karena ia tak mengerti bahasa Indonesia.

    “Apa katanya?” tanyanya dengan aksen Belanda yang dalam.

    “Katanya, ‘kalianlah yang akan pergi ke neraka!’”

    Tubuh Ali yang penuh luka dan memar langsung diguyur dengan seember penuh air, yang terasa asin di lidahnya. Sedetik kemudian, ia berteriak seperti orang gila merasakan setiap luka di sekujur tubuhnya terbakar api yang tak nampak.

    ***​

    Sersan Mila dan Kapten Marfazi sudah bersiap di dalam pos mereka. Sedikit perlindungan dari kantung pasir, akan menghadang peluru yang hendak menembus torso hingga kaki mereka. Taris sudah menyusup ke tempat yang lebih tersembunyi, mengambil tempat yang tinggi. Kegelapan telah menyembunyikannya, dan ia masih menginginkan yang lebih terselubung. Dengan demikian, jika ia harus melepaskan sebutir peluru dari senapannya, ada kemungkinan musuh melewatkan bunga api senjatanya dan ia yakin posisinya aman untuk kali berikutnya.

    Sedangkan Ali dan Juanta mengambil sayap kiri, berlawanan arah dengan kapten dan sersan. Mereka berkomunikasi sambil berbisik-bisik, karena itulah suasana malam yang dingin langsung membuat tulang mereka terasa ngilu saat merasakan ketegangan yang mengencangkan denyut jantung mereka. Di kejauhan, telinga Kapten Marfazi dapat mendengar bisik-bisik musuh, hanya saja ia tak dapat merangkainya dalam bahasa yang ia pahami.

    Suara yang kemudian ia dengar adalah suara benda terhempas di tanah. Sekejap ia langsung meloncat dari posisi sigapnya, begitu juga dengan Mila. Ledakan granat memang cukup jauh dari mereka, akan tetapi mampu memporak-porandakan baris pertahanan kantung pasir yang mereka miliki. Suara ledakan itu kemudian disusul oleh berondongan senjata dari tebing di atas mereka. Ali dan Juanta terkesiap, langsung berbalik dan mencari posisi baru sebab arah berondongan itu berasal dari sisi kapten.

    “Apa ada yang terluka?” seru Juanta saat ia menjatuhkan tubuhnya ke tempat perlindungan Kapten Marfazi dan Sersan Mila. Ali mengambil posisi lebih depan, lebih menguntungkan untuk membalas berondongan musuh. Bunga-bunga api di atasnya nampak jelas sebagai posisi yang empuk. Sialnya, ketika Ali melepaskan tembakan musuh-musuhnya, maka ialah sasaran yang lebih empuk.

    Beruntung Taris ada di sana untuk melindungi Ali yang tengah di serbu habis-habisan oleh terjangan peluru musuh. Satu per satu tubuh terjatuh dari atas tebing, berjungkir tak keruan hingga menghempas keras menghantam tanah di bawah. Ali yang berada paling depan dapat merasakan debu-debu turun dari atas, membuat hidungnya yang telah sibuk menghirup letusan bubuk mesiu tersedak-sedak oleh partikel kecil dari pecahan batu itu.

    Cukup lama mereka melepaskan tembakan mereka ke arah musuh. Akan tetapi tujuan mereka bukanlah untuk merobohkan lebih banyak tubuh lagi. Tetapi melindungi Prajurit Ali yang gegabah mengambil titik yang rawan. Kapten Marfazi telah lelah menyeru kepadanya untuk mundur dan mencari tempat yang aman, tetapi pemuda itu keras kepala. Ia tetap berada di tempat yang cukup terbuka sebab menurutnya tempat itu sangat tepat untuk menjatuhkan lawan yang ada di atas.

    “Anak bodoh!” umpat sang kapten. Ia menoleh ke arah Sersan Mila yang tengah sibuk melontarkan peluru saat Ali yang sangat rentan terhadap serangan itu tengah mengisi pelurunya. “Cak Mi, susul anak itu! Bawa dia kemari!”

    Sersan Mila tak mempertanyakan perintah kaptennya. Ia langsung melompat ke luar dari perlindungannya saat musuh tengah sibuk mengisi peluru. Kapten Marfazi dan Juanta memberondong peluru ke arah musuh, hal itu ditunjukkan agar mereka tak dapat keluar dari perlindungannya dan membidik sesosok yang tengah melaju di tengah lapangan, sangat rentan terhadap tembakan.

    Kapten dapat merasakan bunyi ‘klik’ yang menandakan peluru dalam magasinnya habis. Sedetik kemudian, Juanta merasakan hal yang sama. Untuk sesaat keadaan menjadi hening. Yang terdengar hanyalah gema senapan yang mengisi malam di setiap jeda yang berirama.

    Juanta dapat mendengar dua orang bersikukuh di sisi Ali. Ia mengintip, mendapati Ali tetap teguh pada posisinya. Cak Mi yang memang pendiriannya tak dapat membujuk orang lain, bahkan yang lebih muda darinya, tak dapat berbuat banyak. Kemudian ahli medis tersebut disontakan oleh sebuah granat meledak, hampir meletuskan tubuh Mila dan Ali kalau saja mereka tak berlindung dan berpegang teguh pada daratan di bawah mereka.

    Yang terdengar kemudian adalah keheningan kembali. Bahkan Taris tengah sibuk dengan senapannya yang sudah mulai kosong. Lalu suara berondongan peluru terdengar lagi. Dengan terburu-buru Kapten Marfazi mencari-cari magasin untuk senjatanya, kemudian mengokangnya ketika sudah terisi benar.

    “Cak Mi? Cak Mi! Kau tak apa?” tanya Kapten yang sadar bahwa musuh tengah mengincar kedua pria empuk di sana. Kemudian ia melepaskan berondong yang lagi-lagi diperuntukkan untuk melindungi bawahannya. Juanta langsung ikut menembak tepat setelah ia mengokang senjatanya.

    “Tak apa, Kap!” balas Mila, yang bersembunyi di balik dinding pembatas setinggi tiga meter dengan suara lantang. Beberapa saat kemudian ia aktif kembali, menembak saat berondong musuh tak lagi menekannya.

    ***​

    SAMPAI FAJAR MENYINGSING mereka masih berbaku tembak. Akan tetapi kali ini pihak Indonesia memiliki sebuah keuntungan yang cepat dirasakan oleh Kapten Marfazi—Taris. Pria bermata elang itu dengan sigap menghabisi musuhnya dengan cepat, ketika sinar matahari melenyapkan tirai gelap dimana Belanda menyembunyikan sosok mereka.

    Rasa lega mengisi paru-paru Taris saat ia menekan pelatuknya saat itu. Itu adalah yang terakhir, batinnya. Sesosok tubuh berseragam Belanda langsung terjatuh, dan kawan-kawan Taris langsung memberondonginya untuk memastikan ia tak lagi bernapas.

    Kapten Marfazi langsung bangkit dari perlindungannya, Juanta menyusulnya dari belakang. Mereka dengan cepat memungut senjata-senjata musuh yang tergeletak di tanah, mengumpulkan senjata-senjata itu dalam gendongan mereka.

    Tangannya memeriksa saku-saku mayat musuhnya dengan seksama. Mendapati beberapa butir peluru yang masih bisa digunakan, dan beberapa cocok dengan senjatanya. Sisanya merupakan peluru senjata-senjata musuh. Ia tersentak ketika mendapati sebuah pekik panjang yang memanggil namanya. Sersan Mila, dari kejauhan, menyoraki namanya dengan penuh semangat, hingga kerongkongannya mengering dan urat-urat menonjol di permukaan lehernya.Tetapi ia hanya terdiam. Bukan karena tak peduli atau karena gengsi. Tetapi ada sebuah kekuatan mistis yang menyuruhnya untuk diam di sana. Udara yang seharusnya sudah menghangat malah semakin mendingin, seluruh bulu kuduknya kembali menegak seperti saat bulan purnama masih bersinar di atasnya. Ada sesuatu perasaan yang salah, mengganjal di hatinya, saat ia melihat Juanta dengan cepat melepaskan seluruh senjata yang ia pungut, berlari ke arah Cak Mi yang wajahnya telah berubah pucat. Dan ia masih terdiam, walaupun angannya terus berseru agar ia segera melangkahkan kakinya, ia tetap terdiam. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Malu kepada Taris yang dari atas tebing, berlari panik, hingga terjungkir balik dan berguling-guling hingga tubuhnya menghempas tanah, tetapi tetap melanjutkan larinya walaupun kaki kirinya terkilir dan tak bisa berlari dengan benar.

    Juanta melompat ke arah Cak Mi, Taris menyusulnya beberapa saat. Wajah kedua tentara itu berubah sama pucatnya dengan si sersan ketika mendapati Ali tengah berbaring di perlindungannya. Cak Mi baru saja menyadari cairan darah yang membasahi baju seragam pemuda itu.

    “Sialan!” dengus Juanta yang mendapati peluru bersarang di perut Ali.

    Melihat wajah-wajah panik kawan-kawannya, Ali hanya tersenyum. Napasnya sudah tersengal-sengal, ajalnya hampir menjemput. Tapi Juanta tak akan menyerah. Peluru mungkin menghantam organ di perutnya, akan tetapi tidak sampai membuatnya mati dalam hitungan jam. Penanganan medis yang intensif akan menyelamatkan nyawa pemuda itu.

    “Bertahanlah, kawan. Aku akan mengeluarkan pelurunya. Kau akan bertahan hidup,” dokter lapangan itu membuka kantung medisnya yang menggantung di sabuk, mengambil penjepit yang langsung diberikan kepada Sersan Mila, dan memerintahkannya untuk merebus penjepit itu dengan air panas. Kemudian, dengan lebih tergesa lagi, ia mengeluarkan benda lain dari dalam kantung itu. Seperangkat alat bius, yang langsung membuat senyum Ali sirna dan matanya terbelalak seperti burung hantu.

    “JANGAN!” serunya di tengah ringisan rasa sakitnya. “JANGAN SUNTIK SAYA DENGAN BENDA ITU!”

    “Jangan bodoh!” geram Juanta, dongkol. “Rasanya akan lebih parah lagi jika kau tak kusuntik dengan benda sialan ini!”

    “Jangan,” suara Ali meminta lembut, kemudian ia mengerang menahan rasa sakitnya. Matanya sudah mulai berkunang-kunang. “Ja ... jangan suntik saya dengan obat bius!”

    “Ini hanya meringankan sakitnya, kau anak tolol! Kalau kau tidak mau maka aku akan tetap mengeluarkan pelurunya dari perutmu, dan kuyakin rasanya akan sangat sakit seperti saat kau tertembak!”

    Dari belakang, muncul sosok Kapten Marfazi yang jika dilihat lurus ke wajahnya, maka satu orang tak akan menemukan ekspresi apa-apa.

    “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar.

    Juanta tak menjawab. Ia sibuk dengan otaknya yang terpelintir. Maka Taris mengambil kewajiban untuk membalas pertanyaan kaptennya itu.

    “Ali tak ingin dibius pak.”

    “Tak ingin dibius?” Kapten Marfazi mengerutkan alisnya. Dari balik pos, muncul Sersan Mila yang telah membawa panci rebusan penjepit logam. Juanta mengenakan sarung tangan lateksnya, dan Mila membantunya mengambil penjepit itu dari dalam panci.

    “Kapten, kapten, tolong saya, kapten. Saya tak ingin dibius!”

    Dari pelupuk matanya, tak terbendung lagi air mata. Di dalam erangan dan rintihannya, Ali menangis terbata-bata, merengek untuk tak dibius seperti anak kecil menolak suntikan pertamanya.

    Dengan penuh rasa prihatin yang terpancar dari sorotan matanya yang baru saja berubah, Kapten langsung mengambil jongkok di sebelahnya. Memegang erat salah satu tangan pemuda itu yang telah bersimpah darah.

    “Kau tak akan dibius. Aku berjanji padamu,” ujar Kapten pelan. Suaranya menyejukkan. Untuk sesaat Ali tak bergeming. Ia menangis dan membiarkan bibirnya bergetar mengeluarkan rintihan yang memiris hati. Bola matanya yang membesar seperti burung hantu, menatap kaptennya, memelas. Berharap Kapten Marfazi bisa menjaga kata-katanya sendiri.

    Suara rintihan itu berubah menjadi teriakan yang panjang, tepat ketika Juanta memasukan logam penjepit ke dalam luka Ali. Mencari-cari logam yang bersarang di dalam perutnya. Walaupun Juanta telah berusaha untuk tetap selembut mungkin menangani luka pemuda itu, namun tetap saja, bagi Ali, seekor singa tengah mencabik-cabik lukanya. Ia menggeliat seperti cacing terbakar, Taris dan Mila tahu mereka harus memegangi tubuh pemuda itu karena Juanta tak akan bisa bekerja jika tubuh Ali tak bisa terdiam.
    Beruntung Kapten Marfazi ada sekedar untuk menenangkannya. Tangan Ali tak henti-hentinya meremas kuat tangan kaptennya saat ia tak mampu menahan sakit yang meresahkan seluruh saraf perasanya itu.

    “Ia menolak lagi untuk dibius,” gumam Juanta, dari pelipisnya meluncur peluh-peluh keringat.

    “Apa yang kau katakan?” tanya Taris penasaran.

    “Waktu itu saat kami bertugas di kompi yang sama di Jawa Timur. Ali terluka di dadanya, namun menolak untuk dijahit. Aku baru sadar bahwa sebenarnya yang ia takutkan adalah jarum suntik.”

    “Mengapa, Ali? Mengapa kau menyia-nyiakan tubuhmu dengan kesakitan yang begitu berat?” tanya Kapten dengan nada getir.

    Sambil menahan sakit, Ali berusaha melempar pandangannya dari sorotan mata Kapten yang membuat hatinya miris. Namun ia tak bisa. Air matanya malah menderas lebih perih lagi. Ia mencoba untuk menggeliat lebih liar lagi, namun tak bisa. Tubuhnya dikekang kuat oleh tangan Taris dan Mila.

    “Obat-obatan itu...” Juanta menemukan peluru di dalam perutnya, langsung mencabutnya keluar. Ali mengerang panjang. Rasa sakitnya membuatnya memutus kata-katanya. Hingga akhirnya ia mengambil napas panjang seperti yang disarankan Kapten, lalu berusaha untuk fokus kembali. “Obat-obatan itu membuat saya mengalami mimpi buruk. Semakin hari semakin nyata! Saya tak ingin dibebankan oleh mimpi itu!”

    Kemudian tangisannya berubah dari tangisan lelaki menjelang maut menjadi tangisan anak kecil yang kehilangan orang tuanya di tengah-tengah festival. Kapten Marfazi menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, membuatnya tak segan dan tak malu untuk menangis seperti itu.

    “Saya bermimpi ... mereka ... mereka! Arrgghh!” tubuhnya mulai gemetar. Mulai saat ini napasnya terdengar sangat berat. Ia terengah-engah. Juanta membantu Taris dan Mila untuk memegangi tubuh pemuda itu. “Mereka ... Belanda ... menyergap kita dan memaksa kita untuk bicara! Kalian ... hah... hah... arrgghh! Kalian semua sudah tewas karena MENUTUP MULUT kalian!”

    Geliat dan gemetar tubuh Ali semakin menjadi-jadi. Ketiga tentara itu hampir kewalahan menjaga tubuhnya agar tak membuatnya semakin menderita lagi.

    “Aarrggh! Sialan! Sialan! Anjing! ANJING! ARRGGHH!!!”

    Getaran di tangan Ali seakan membawa pesan miris kepada Kapten, yang tak sengaja membiarkan air matanya mengalir membasahi pipinya. Juanta yang seharusnya lega mendapatkan peluru di perut Ali keluar malah tambah panik lagi. Pemuda itu berubah lebih liar!

    “Mereka menyiksa saya hingga saya memohon untuk MATI saja! Arrggh! Tolong saya, KAPTEN! TOLONG SAYA!” matanya melotot ke arah Kapten, yang lirih balik kepadanya.

    Kapten Marfazi menggeleng. “Tak ada yang bisa kulakukan untukmu, nak. Tak ada...” sesalnya.

    “Anda tahu anda bisa melakukan ... melakukan sesuatu Kapten! Hah, hah, hah ... anda tahu anda bisa mengakhiri kesakitan ini!”

    Pria yang seharusnya mengambil keputusan bijak itu malah menangis. Ia langsung menaruh kepala Ali dalam dekapannya, gemetar pemuda itu langsung hilang, meninggalkan ketiga tentara lain dengan mulut menganga.

    “Kau tak akan melakukan hal itu, kan Kap?” tanya Mila cemas.

    “Jangan bertindak bodoh, Pak. Ia masih bisa kita selamatkan!” cegah Juanta.

    Kapten Marfazi tak menghiraukan bawahannya yang lain. Ia hanya tersenyum kepada Ali, dan Ali—di dalam rasa sakitnya—berusaha untuk mengenyahkan rintihannya dan membalas senyum sang kapten.

    Maka Kapten mengeluarkan pistol dari dalam sakunya. Ketiga bawahannya langsung panik luar biasa. Mereka hendak menghentikan kapten mereka, akan tetapi tak ada yang berani merebut pistol itu; moncongnya sudah terlanjur mencium ubun Ali.

    “Kapten, jangan dengarkan dia, kapten! Ia tengah terguncang, kita masih bisa menyelamatkan nyawanya!” seru Juanta lagi.

    Dan Taris menambahkan. “Kapten, jika kau benar-benar ingin menembak Ali, maka kami meminta anda untuk mempertimbangkan hal ini secara manusiawi terlebih dahulu!”

    Marfazi langsung tertegun. Ia mendongak, dan matanya yang berair menatap ketiga bawahannya silih berganti.

    “Kalian mempertanyakan sisi kemanusiaanku sekarang? Apa kalian pernah mendapati seorang yang menderita seperti ini?”

    Tak ada yang menjawab. Hening.

    “Ia adalah pemuda yang sangat mencintai Tanah Airnya; tetapi trauma oleh obat bius membuatnya mengalami mimpi yang ia sendiri tak bisa lari darinya. Di setiap harinya, kau dapat merasakan kecemasan anak ini saat ia terjaga—penyiksaan di mimpinya masih terbayang jelas di kepalanya, dan ia memilih untuk menahan sakit fisik daripada sakit di mimpi itu, karena itulah aku tahu mimpi itu bukanlah mimpi biasa. Mimpi itu lebih menyakitkan daripada luka di dadanya, atau lubang di perutnya! Dan kalian mengira membiarkan pemuda ini hidup dengan mimpi seburuk adalah hal yang manusiawi?”

    Tak ada yang menjawabnya lagi. Ketiga pria itu seakan memakan lidah mereka sendiri, tak ada yang berani menjawab sang Kapten. Lalu Kapten Marfazi menatap kepada Ali lagi, berusaha kembali ke dalam senyumnya yang sempat hilang tadi.

    “Kukira aku mengerti apa yang kau rasakan, nak. Kau sungguh tangguh menghadapi siksaan semu mereka. Tadinya aku sempat menukar posisi denganmu. Di sini, di kepalaku. Aku dapat merasakan keterbatasanku hampir mereka raih. Hampir mereka cengkram dan hampir mereka cabik tanpa ampun.

    “Kepalaku terus bergumam untuk lari dari mimpi buruk itu, karena aku tahu, setiap insan manusia memiliki keterbatasan kita sendiri, titik dimana kita tak akan tahu apa yang terjadi selanjutnya jika mereka dapat membuat kita melewatinya.”

    Ia menghela napas. “Bukankah hal ini yang kau tunggu sejak dulu nak? Mengakhiri mimpi burukmu? Karena kau takut kau mengkhianati negaramu walau hanya dalam mimpi?”

    Ali mengangguk pelan dan gemetar. Kemudian senyum sirna saat ia mengatakan dengan lirih kembali:

    “Maafkan saya, Kapten. Hah, hah ... maafkan saya,” getarnya.

    "Tak apa, nak," kata Kapten dengan nada menyejukkan.

    Kemudian prajurit itu memandangi ketiga rekannya yang lain. “Juanta, Cak Mi, Taris ... saya sangat berharap ... kalian dapat me—memaafkan saya...”

    Sersan Mila menetes air matanya haru. Ia mengerti penderitaan Ali kini lewat penjelasan sang Kapten. Taris menyusul, tetapi pria itu hanya merundukkan kepalanya, mengheningkan cipta di dalam angannya. Sedangkan Juanta, pria itu hanya mendengus geram dalam benaknya. Ia tak merelakan kepergian Ali begitu saja, namun tak bisa berbuat apa-apa dengannya.

    “Kapten...” suara lirih Ali merintih dalam. Matanya membalas tatapan getir Kapten. Mereka saling beradu pandang dalam suasana yang memilukan itu. “Kapten...”

    Kapten Marfazi memejamkan matanya. Siapapun pria yang ada dalam posisinya tak akan berani melihat wajah pemuda yang ada di tangannya itu. Terlalu perih untuk dilihat. Harus diakui, sang kapten sendiri baru pertama kali bertemu dengan seseorang seperti Ali. Ia baru pertama kali mendapati betapa ganjilnya rasa cinta Tanah Air yang kemudian berubah menjadi sebuah beban yang terus menghantui benak seorang pemuda yang malang ini. Mungkin di dalam angannya, ia menyesal satu regu dengan seorang prajurit bernama Ali. Dan ia menyesal mendengar sepercik maaf dari prajurit Ali.

    "Kapten..."

    Suara itu mengulang merdu di telinga sang Kapten. Kemudian, terdengar sayup-sayup burung-burung berkicau di atasnya. Seakan membentuk melodi saat matahari baru saja menyingsing. Sekejap dunia berubah sempit, namun asing dan mengundang dengki saat ia membuka matanya dan—

    DOR!!!

    Prajurit Ali tewas di suatu pagi yang memilukan. Kepalanya yang berlubang tengah terbaring tenang di dekapan tangan sang Kapten.
     
    Last edited: Aug 22, 2016
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. cornellex Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 23, 2011
    Messages:
    247
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +19 / -0
    keren gan..... ane malah sempet ngira klo yg kenyataan itu yg si ali di interogasi... :top:

    prononsiasi juga lumayan.... walaupun ada beberapa kata agak ganjil
    karakternya masih kurang penekanan, tapi ya namanya juga cerpen.......


    seandainya agan ada waktu sebaiknya diubah jadi cerita panjang aja.....


    overall nilainya menurut ane sekitar 8,5 lah :cerutu:

    terus berkarya gan...

    salam idws :cool:
     
  4. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +921 / -0
    tq komennya om

    malah saya mikir bagusnya kalo dikonvert jdi screenplay untuk short aja
     
  5. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +921 / -0
    scene pas Cak Mi bujuk Ali buat mundur
    [​IMG]
    berantakan sekali gambaran saya:hahai:
     
  6. ivan245 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 20, 2009
    Messages:
    296
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +14,655 / -0
    Bagus! Ceritanya benar-benar keren dan engaging

    Tapi... lagi-lagi endingnya bro... (kamu laki kan?) Eksekusinya kurang memuaskan. Biasanya kalau akhir mengharukan lebih kuat kalau deliverynya simpel (misalnya pakai oneliner). Trus, menurutku akan lebih bagus kalau ada epilog.

    Itu opiniku sih. Keep writing! i'm your fan already. :D

    nb: btw, kamu kurang konsisten dalam penulisan sfx. Di awal kamu italic gresek-gresek, tapi kemudian kamu ada tulis 'klik'. Kalau aku pribadi, lebih suka kalau tidak ada sfx sama sekali.

    nnb: gambarmu..... -________-
     
    Last edited: May 14, 2013
  7. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +921 / -0
    maksudnya one liner itu pas penutupnya apa keseluruhan endingnya?:bloon:
    Apa karena ada paragraf panjang di atas kata "DOR!!" yang bikin om serek? Malah saya sisipin paragraf itu supaya gak terasa hambar endingnya.

    untuk sfx, saya sisipin karena cerpen ini rada-rada ke arah action di banding cerpen saya yang lain, kayaknya gak bakat pake sfx :rokok:

    wogh fan, :hahai:
    macem artis aja ada fans nya:hahai:

    gambar saya, ada apa? :nongol:
     
    Last edited: Apr 29, 2014
  8. ivan245 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 20, 2009
    Messages:
    296
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +14,655 / -0
    Yap, persis. Paragraf di atas 'dor' lumayan merusak ritme membaca. Saya lebih suka cerita diakhiri dengan 'dor'. Klimaks. Kalau misalnya terasa kurang konklusif, bisa ditambahin epilog.

    Oneliner kan penggunaannya lebih ke momentum. Terserah gimana caranya, asal meledak di benak pembaca. Kalau saya, lebih suka Ali punya last words keren, ketimbang cuma 'kapten... kapten...'

    Gambarmu kayak coretan anak SD. :peace:

    Btw aku bawel amat nih, padahal sendirinya juga masih payah nulis :hahai:
     
  9. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +921 / -0
    oh, jadi itu ya:hahai:
    kalo dipikir-dipikir bnr juga si om ini:cerutu:
     
    Last edited: Apr 29, 2014
  10. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +921 / -0
    Revisi - 29/07/2013
     
    Last edited: Jul 29, 2013
  11. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +921 / -0
    Update - 22/08/2016
    ini film pendek adalah proyek pertama bagi saya yang bener-bener nge-"karya", gak asal jadiin bwt tugas terus kumpul. Di sini saya berperan sebagai penulis naskah dan editor offline. Jadi ini screenplay short pertama saya yang bener-bener diproduksi. Ngomongin soal editingnya, mohon maaf kalau filmnya kerasa kayak belum jadi walaupun ini adalah hasil akhirnya. Ini karena saya terlalu banyak bermain dan eksperimen buat cutting-nya (ada yang kena dan ada yang gagal). Padahal ini pengalaman editing pertama saya. Akhirnya proses post produksinya molor, dan kordinasi dengan editing onlinenya juga jadi agak kacau.

    btw, sundul dulu tritnya, udah tenggelam entah dimana
     
  12. pokkap Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Aug 2, 2012
    Messages:
    22
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +2 / -0
    wah boleh juga cerpennya, lanjutkan!
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.