1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Dilucia ~ First Half

Discussion in 'Fiction' started by Grande_Samael, Mar 27, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Salam sejahtera wahai penghuni SF fiction!

    Pertama-tama, saya ingin memperkenalkan apa itu Dilucia. Dilucia adalah sebuah proyek serius (niatnya sih begitu) yang ingin saya tamatin untuk pertama kalinya. Rencananya mau buat dwilogi, sedangkan progress sampai sekarang baru buku satu sekitar 60%. Karena itu saya mohon bantuannya, minta pendapat yang sejujur-jujurnya dari teman-teman SF fiction. Jadi misalnya jelek saya jadi tahu kejelekannya dan bisa diperbaiki. :hahai:

    Ceritanya sendiri mengambil tema fantasi, mengenai 32 protagonist yang diadu dalam suatu turnamen oleh sosok misterius.

    Jadi, tanpa berpanjang lebar lagi, selamat membaca! :peace:



    Daftar Isi

    Chapter 0
    Chapter 1
     
    Last edited: Mar 27, 2013
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Chapter 0

    Fajar belum juga menyingsing, namun suasana kastil sudah begitu ramai. Ratusan pejabat mengurus berbagai hal penting, ribuan pekerja menyiapkan barang-barang, dan puluhan ribu prajurit sedang menyusun barisan di halaman kastil. Tidak ada satu pun yang menganggur, kecuali sang putri yang masih meringkuk di balik selimut.

    Namun sang putri bukannya masih tidur. Hal itu terbukti ketika seorang pria berbicara padanya dari sudut tempat tidur.

    “Putri Elena,” bisik pria itu yang berbaju kotak-kotak merah dilapisi jaket hitam. Ia memandang lembut ke arah tumpukan selimut yang melapisi sang putri melalui kedua bola mata hitamnya. “Sebentar lagi kami berangkat. Tidakkah anda ingin mengucapkan salam perpisahan pada Yang Mulia Raja?”

    Sang putri tidak menjawab. Namun dari suara napasnya yang berat dan tidak teratur, pria itu tahu jika sang putri tidak tertidur. Takut membuat sang putri terganggu, pria itu memutuskan untuk bangkit.

    “Kalau begitu izinkan hamba undur diri,” pinta pria itu, lalu berbalik ke arah pintu keluar. Rasa penyesalan dan khawatir tampak terlihat di wajahnya.

    “Garu,” tapi tiba-tiba sang putri memanggilnya dengan suara bergetar, tepat sebelum pria itu meraih kenop pintu. “Tak bisakah kau cegah ayah untuk pergi?”

    Pria itu, Garu, berbalik dan mendapati sang putri berbicara dari balik selimutnya.

    “Putri Elena,” jawab Garu penuh hormat. Buru-buru ia mendekati tempat tidur dan berlutut menghadap sang putri. “Ini adalah pertempuran terakhir, di mana kemenangan atau kekalahan akan menentukan masa depan kerajaan... Tidak, tapi seluruh dataran. Yang Mulia Raja bersikeras untuk memimpin peperangan dengan tangannya sendiri.”

    “Tapi kau adalah tangan kanan raja,” kata sang putri tidak terima. “Pimpin peperangan ini untuknya!”

    “Tapi ini keinginan Yang Mulia Raja sendiri...”

    Sang Putri seharusnya mengerti dengan situasi genting yang tengah mereka hadapi. Namun jiwanya masih begitu rapuh dan egois. Ia tetap tak bisa menerima jika ayah yang paling ia sayangi harus mempertaruhkan nyawa di medan perang, meski itu untuk masa depan jutaan manusia penghuni dataran ini.

    “Tapi hamba janji, hamba akan melindunginya,” lanjut Garu sambil menempelkan telapak tangan kanannya di dada. “Hamba adalah tangan kanan raja. Hidup hamba adalah untuk Yang Mulia Raja. Kapanpun bahaya datang, hamba siap untuk mati menggantikan beliau.”

    Mendengar kesungguhan dalam setiap kata yang diucapkan Garu, kekerasan hati sang putri pun terkikis. Pelan-pelan ia membuka selimut yang menutupi dirinya, kemudian bangkit dengan mata yang sembab karena air mata. Meski begitu ia masih terlihat begitu cantik dengan rambut pirang dan mata birunya.

    “Garu, kau bersumpah?” tanya sang putri dari atas ranjang.

    “Tentu saja,” angguk Garu.

    “Tapi... Aku juga tak ingin kehilangan dirimu...”

    Mendadak Garu tertegun mendengarnya. Perang terakhir yang akan ia hadapi ini sangat berbahaya. Ia sendiri tidak yakin jika bisa pulang dengan selamat. Dan memikirkan hal itu membuat dada Garu terasa perih. Apa jadinya jika ia kembali ke hadapan sang putri dalam peti mati.

    “Hamba... bersumpah,” ujar Garu dengan gigi tererat, lalu ia menatap sang putri penuh keyakinan. “Hamba tak akan mati. Dan hamba akan membawa kemenangan bagi umat manusia.”

    Pernyataan Garu bagai semburan udara hangat musim semi bagi sang putri. Tiba-tiba saja seluruh resah dan gundah menghilang dari hatinya, berganti dengan keyakinan. Semua pasti akan baik-baik saja.

    “Garu..!”

    Dengan perasaan yang membuncah, sang putri melompat dan tempat tidur dan memeluk Garu begitu erat. Awalnya Garu terkejut, tapi segera ia membalas pelukan sang putri penuh kehangatan.

    “Percayakan semua pada hamba dan seluruh ksatria kerajaan. Kami pasti akan kembali dengan selamat. Yang Mulia Raja akan membawa kemenangan dan kejayaan bersamanya...”

    Selepas itu, sang putri tetap tidak mau mengucapkan salam perpisahan pada raja. Ia tak sanggup melihat ayahnya pergi ke medan perang. Namun ia juga yakin, jika sang ayah akan kembali dengan selamat.

    Ketika cahaya matahari pertama menyinari kastil, seluruh prajurit sudah siap untuk terjun ke medan perang. Secara teratur mereka bergerak maju dalam barisan melewati kota. Menjelang sore, mereka sudah berada di padang ilalang di luar kota. Di bawah siraman hujan musim dingin, mereka berhadapan dengan legiun kegelapan yang telah menanti.

    “Lihat mereka, dapatkah kalian menghitung jumlah mereka?” sang raja bertanya pada para jendral yang berada di sebelahnya. Sementara Garu terus mengamati dari belakang sang raja.

    “Mustahil,” jawab salah satu jendral. “Tidak mungkin aku dapat menghitung jumlah penghuni neraka.”

    “Itu benar. Tapi apa itu membuat kalian takut?”

    “Mustahil,” jawab jendral lainnya. “Jika aku takut, siapa lagi yang akan melindungi para wanita dan anak-anak di balik dinding kerajaan?”

    Lantas sang raja tersenyum melihat keberanian para jendralnya. Kemudian ia mencabut dan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

    “Kalau begitu, berjayalah para ksatria Nusantara! Hancurkan seluruh kegelapan dan sekali lagi kita bawa kedamaian di tanah ini! Sebagai perisai terakhir dataran ini! Kalau bukan kita, tidak akan ada lagi yang bisa melenyapkan mereka, para penghuni neraka terkutuk!!”

    Spontan seluruh prajurit menyambut seruan sang raja. Mereka meraung-raung, berteriak, menghentak-hentakkan senjatanya. Seakan kemenangan sudah mereka dapatkan. Bahkan bumi pun terasa bergetar.

    Tapi kemudian terdengar suara sangkakala dan raungan-raungan lain dari seberang sana, suara jerit dan teriakan penghuni neraka. Sepertinya mereka bereaksi terhadap semangat membara para prajurit kerajaan, sekaligus pertanda bahwa perang akan dimulai.

    Garu pun menarik pedangnya, sebuah pedang putih bersih seputih tulang. Lalu ia menggenggam tali kekang kudanya dengan tangan kiri. Apapun yang terjadi, Garu sudah bertekad untuk melindungi raja di hadapannya hingga titik darah penghabisan. Demi janjinya pada sang putri. Dan demi dirinya sendiri.

    Akhirnya sangkakala perang pihak manusia dibunyikan.

    “SERANG!!!”

    Di suatu waktu, di suatu tempat, di suatu dunia, sebuah perang sengit mungkin tengah berlangsung. Tapi di suatu waktu yang lain, di suatu tempat yang lain, di suatu dunia yang lain, mungkin kehidupan sedang berlangsung normal tanpa kerisuhan apapun. Mungkin juga sedang terjadi suatu kejadian besar, namun bukan perang pertumpahan darah yang mengerikan.

    Seperti suatu perlombaan tingkat dunia yang sebentar lagi akan dimulai. Atau upacara penyembahan dewa yang dilakukan setelah musim panen. Atau hanya seorang yang sedang berusaha keras menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Atau... bahkan tidak terjadi apa-apa, hanya angin sepoi yang bertiup ringan.

    Tapi itu bukan masalah. Ini tidak ada hubungannya dengan perbedaan-perbedaan itu. Karena Fantasos melakukannya secara acak. Ia menarik mereka tanpa memandang waktu, tempat, atau apa yang sedang terjadi. Semua tersedot ke dalam satu dimensi yang sama.

    “Selamat datang di Dilucia~” sapa sosok itu, sesosok misterius dengan baju zirah perak berkilauan yang menyelimuti tiap jengkal tubuhnya. Jubah beludru warna merah menjuntai dari bahunya, membuatnya tampak gagah membahana.

    Berdiri pada satu titik pada satu waktu, hanya ada satu sosok itu, tapi di hadapannya ada begitu banyak orang, atau makhluk, yang bertanya-tanya. Namun mereka tidak bisa saling melihat atau merasa satu sama lain. Sosok misterius itu pun tampak berbicara pada salah satu, meski di saat bersamaan ia menghadapi banyak.

    “Di mana ini?” tanya seorang pria dengan pelindung kepala burung elang.

    Sudah kukatakan sebelumnya kan? Selama datang di ‘Dilucia’,” ujar sosok itu dengan sedikit penekanan, “Perkenalkan, namaku Fantasos.

    Tidak seperti pria sebelumnya, pada ruang berbeda dan waktu yang sama, seorang anak laki-laki berambut jingga berteriak histeris.

    “Ini di mana? Ini di mana?” awalnya Fantasos mengira jika anak itu bertingkah seperti anak kecil yang kehilangan ibunya, tapi kemudian pandangannya berubah saat anak itu melanjutkan, “Pertandingannya sudah mau dimulai!”

    Dan masih ada banyak tanggapan, juga pertanyaan, walau ada pula yang hanya diam mematung seperti tak peduli. Atau bahkan tertidur.

    Tapi buaya hijau besar itu berbeda. Ia meraung dan langsung menerjang Fantasos dengan pedang bengkok raksasa, yang ternyata dapat ditangkis dengan mudah.

    “Jadi dunia paralel itu benar-benar ada?” entah mengapa pemuda itu terlihat sangat senang. Mungkin ada hubungannya dengan jaket hitam bertuliskan ‘klub supranatural’ yang ia kenakan.

    “Apa maumu?” akhirnya seorang pria berambut pirang melontarkan pertanyaan yang ditunggu-tunggu Fantasos.

    Aku membawa kalian kemari untuk mengikuti sebuah turnamen yang kuadakan.”

    “Jadi ada yang lain?” tanya seorang pria kurus paruh baya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang mulai beruban.

    Aku membawamu dan lawan-lawanmu bukan dari berbagai daerah, tapi dari berbagai dunia yang berbeda. Mungkin kau akan bertanya, mengapa aku melakukan ini? Anggap saja ini sebagai hiburan bagiku.

    “Kau pikir aku adalah seorang penghibur?!” raung galak seorang pria bermantel bulu gagak sambil beradu pedang dengan Fantasos.

    Tenang saja, aku sudah menyiapkan hadiah istimewa untuk pemenangnya. Dan jangan takut, kalah bukan berarti kau akan mati atau akan terjadi hal buruk lainnya. Siapapun yang kalah akan dipulangkan ke asalnya.”

    “Cherry... mau... pulang...” seorang gadis kecil dengan pakaian pesta hanya terisak-isak mendengar semua perkataan Fantasos.

    “Aku tidak mau menunggu sampai kalah, pulangkan aku sekarang!” bentuk seorang gadis sambil mengacungkan pistol usang pada Fantasos.

    Hahahahahahaha, kalian benar-benar bersemangat!” Fantasos melepas tawanya penuh kepuasan. “Bagaimana kalau langsung saja kita mulai putaran pertama dari turnamen ini?

    “Hei, tapi jangan suruh aku bertarung... Aku hanyalah manusia biasa,” ujar seorang pria bekacamata hitam dengan entengnya. “Aku bukan olahragawan atau pegulat tangguh.”

    Tenang, peraturan putaran pertama ini mudah. Kalian akan kukirim ke sebuah kota mati, yang mana di tempat itu kalian bisa saling membuat pertandingan. Jenis pertandingan dan kondisi kemenangan terserah persetujuan kalian. Namun ingat, tantangan hanya bisa dilakukan satu lawan satu. Siapapun yang kalah akan tereliminasi. Tidak ada batas tempat dan waktu. Putaran pertama berakhir saat setengah dari kalian gugur.

    Apa semuanya cukup jelas?” Fantasos mengakhiri sambil memperhatikan seorang gadis yang semenjak tadi terus tertidur pulas.

    Entah bagaimana tanggapan orang-orang itu. Entah apakah mereka setuju, menolak, atau justru mempertanyakan hadiah yang dimaksud.

    Tapi yang jelas pria itu, Garu, tengah berdiri menatap Fantasos penuh kemarahan. Pedangnya sudah siap di tangan, dan tubuhnya masih basah oleh air hujan. Namun seluruh kawan maupun lawannya tak lagi terlihat di manapun, hanya ada Fantasos di hadapannya.

    “Cepat... kirim... aku... kembali...” geram Garu putus-putus. Tak bisa ia bayangkan, bagaimana bisa ia berada di tempat asing yang dipenuhi kegelapan sementara perang akhir tengah berlangsung. Apakah sang raja baik-baik saja? Apakah kemenangan bisa didapatkan? Semua itu membuat kepala Garu serasa mau pecah.

    Maaf, tapi putaran pertama akan segera dimulai.

    Emosi Garu langsung memuncak. Dengan satu tolakan kaki ia melesat ganas ke hadapan Fantasos. Tapi ksatria berbaju zirah perak itu dapat menangkisnya dengan satu gerakan pedang yang indah.

    Jadi, jika tak ada lagi yang kau, dan kalian inginkan,” Fantasos memberi jeda sejenak. “Selamat berjuang di turnamen ini, wahai tiga puluh dua yang terpilih!!
     
  4. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Chapter 1

    Garu memandang kosong pada sebuah jalan lebar yang tak berpenghuni. Permukaannya terbuat dari bata putih yang sudah pecah-pecah dan berlubang. Terdapat banyak bangunan – atau lebih tepatnya ‘puing’ bangunan – di sepanjang jalan itu. Semua terbuat dari bata putih seperti kapur.

    Inikah yang disebut kota mati?

    Bahkan rumput pun tidak tumbuh di tempat ini.

    Tapi Garu sama sekali tidak peduli dengan hal itu. Seharusnya, saat ini Garu tengah berada di medan perang dan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi sang raja. Jika mendadak ia pergi ke tempat antah berantah seperti ini, ia merasa gelar ‘tangan kanan raja’ tak pantas lagi ia sandang.

    Garu pun berpikir, sambil menatap ke arah langit biru. Sama sekali tak ada awan yang terlihat di sana. Juga tidak terlihat matahari. Aneh, benar-benar aneh. Jika tak ada matahari, mengapa hari bisa seterang ini?

    Namun mendadak Garu teringat akan sesuatu. Bukankah siapapun yang kalah akan langsung dipulangkan?

    Semangat Garu langsung bergelora. Tanpa menunggu lagi, ia berlari menuju salah satu puing bangunan tertinggi di dekatnya. Dengan lihai Garu mendaki puing-puing itu hingga ke puncak. Tidak sulit baginya, dan dari sana ia dapat melihat ke berbagai arah. Selain itu, dari sana ia bisa melakukan hal lain yang sangat membantu.

    “Siapapun, aku ada di sini!!! Cepat kemari dan tantang aku!!!”

    Garu berteriak dan terus berteriak, berharap setidaknya ada satu orang yang berada di dekatnya. Sambil melakukan itu, Garu menyadari ternyata kota mati ini cukup luas, dengan dinding-dinding kota yang jauh di sana. Lalu ada sebuah menara tinggi di tengah kota. Mungkin jika Garu ke sana, ia bisa mendapat jarak pandang yang lebih baik.

    “Hei, kau yang di sana!”

    Baru saja Garu hendak turun, seseorang memanggilnya. Garu langsung mencari sumber suara barusan dan menajamkan pandangannya, menyusuri tiap puing yang mungkin menutupi orang itu.

    “Aku di sini!”

    Orang itu berteriak lagi, dan Garu mendapati seorang pemuda berpakaian serba abu-abu tengah memanjat menaiki salah satu puing bangunan di sebelah sana. Tas jinjing jingga yang ia bawa terlihat cukup merepotkan, tapi akhirnya ia berhasil. Sebagai perayaan, ia memperbaiki posisi topi jingganya, baru kemudian berseru pada Garu.

    “Namaku Dikin! Dikin Hayaku!” teriak pemuda itu. “Ayo kita bertanding!”

    Akhirnya tiba juga apa yang ditunggu-tunggu Garu. Dengan lantang Garu menjawab tantangan Dikin..

    “Namaku Garu! Tunggu aku! Aku akan segera ke sana!”

    “Tidak perlu!” balas Dikin cepat. “Tunggu sebentar!”

    Kini giliran Dikin yang meminta Garu untuk menunggu. Sebenarnya Garu sudah ingin turun dan berlari menuju Dikin, tapi niatnya hilang saat melihat Dikin mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Dengan penglihatannya yang tajam laksana elang, Garu dapat melihat Dikin memegang sebuah potongan kertas kecil berwarna putih.

    Kemudian Dikin mengapit kertas itu dengan dua jari – telunjuk dan tengah. Setelah itu, Dikin terlihat fokus menatap Garu, lalu memasang posisi siap melempar.

    “Garu, tangkap kartu pos ini!” teriak Dikin.

    “Kartu... Kartu apa?”

    Namun Dikin tidak mau repot-repot menjelaskan. Ia langsung melesatkan kertas putih – yang ia sebut kartu pos – itu ke arah Garu. Benda itu pun berputar-putar cepat menembus angin, dan Garu segera menangkapnya.

    Dengan heran Garu memperhatikan kartu pos itu. Kelihatannya tidak ada yang berbahaya. Tidak juga ada aura sihir yang memancar darinya. Tapi sedetik kemudian, Garu terkejut bukan main saat Dikin tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

    “Hai!” ujar Dikin dengan jari telunjuk kanan menempel di bibir.

    Secara refleks Garu langsung mengambil jarak dan bersiap untuk mencabut pedangnya. Otomatis Dikin ikut panik menyaksikan itu.

    “Tunggu, tunggu! Jangan serang aku!”

    “Apa kau penyihir?” tanya Garu dengan tatapan penuh curiga.

    “Tentu saja bukan,” jawab Dikin cepat. “Ini adalah teknologi.” Lalu Dikin membungkuk dan mengambil kartu pos yang terjatuh saat Garu bergerak mundur tadi. “E-post card. Membuatmu dapat melakukan perpindahan partikel saat kau tempelkan kartu pos dan materai. Senjata andalan Brigade Pos.”

    “Apa yang kau katakan?” tukas Garu terheran-heran. Ia sama sekali tidak bisa menangkap semua yang dijelaskan Dikin. Dikin sendiri tampak heran.

    “Apa kau tidak pernah menggunakan jasa pos?”

    “Ah, entahlah,” jawab Garu cepat-cepat. Ia teringat pada hal penting yang ingin ia lakukan sebelumnya. “Bagaimana dengan pertandingannya? Ayo kita bertanding!”

    “Oh ya, benar juga!” Dikin juga tampak baru tersadar. “Maaf, aku selalu bersemangat jika sudah berbicara tentang pos.”

    “Ya, tidak apa. Jadi, pertandingan apa yang ingin kau lakukan?” tanya Garu kembali dengan tidak sabar. Karena ia berniat untuk kalah, jadi pertandingan apapun tidak masalah baginya.

    “Sebentar,” jawab Dikin sambil menyilangkan kedua tangannya. Dahinya tampak berkerut di bawah topi jingga dengan logo sayap putih itu. “Aku selalu bangga pada kecepatanku. Bagaimana jika kita adu cepat?”

    “Adu cepat? Dalam hal apa?”

    “Bagaimana kalau...” Dikin menoleh-nolehkan kepalanya, melihat ke sana kemari. “Bagaimana jika kita lomba cepat, bukan lari, menempuh jarak dari ujung sana ke ujung sana?”

    Garu memperhatikan ke arah yang ditunjuk Dikin. Dari persimpangan jalan hingga ke persimpangan lainnya. Dengan kemampuan aneh yang dimiliki Dikin, Garu yakin jika ia akan kalah dalam lomba adu cepat biasa.

    Tapi, apa Garu akan terlihat bodoh jika menerima tantangan yang sudah jelas dikuasai Dikin? Hal itu sempat terlintas dalam pikiran Garu. Namun ia langsung mengusir pikiran itu. Bodoh atau tidak, Garu harus segera kembali ke medan perang.

    “Setuju!” jawab Garu kemudian. “Pemenangnya adalah yang dapat menempuh target jarak paling cepat!”

    Dikin tampak senang mendengarnya. Yah, memang seharusnya begitu.

    Bersamaan dengan itu tiba-tiba saja muncul sebuah biri-biri kecil yang melayang di antara Garu dan Dikin.

    Pertandingan adu cepat dari ujung jalan ke ujung jalan telah ditetapkan. Pemenangnya adalah yang dapat menempuh target jarak paling cepat. Pada kedua peserta diharap segera mengambil posisi masing-masing untuk memulai pertandingan ini.

    Bersedia?

    Siap...

    Yak!

    Biri-biri itu telah memberikan aba-aba. Pertandingan pun secara resmi dimulai. Dikin sudah bersiap di posisinya, begitu juga Garu. Tapi, tidak ada satu pun dari mereka yang mulai berlari.

    Hingga beberapa saat kemudian.

    “Mengapa kau tidak menggunakan kekuatanmu?”

    Dikin terlonjak kaget saat Garu menanyakan hal itu. Ia langsung gelagapan mencari alasan untuk menjawab. Karena, sebenarnya, motivasinya dalam pertandingan ini tidak berbeda dengan Garu.

    Dikin Hayaku seorang anggota Brigade Pos di dunianya. Tugasnya adalah mengantarkan surat tiap pagi buta sebelum matahari terbit. Dan pada suatu hari, tiba-tiba ia dibawa ke tempat aneh sebelum sempat menyelesaikan tugas mengantar surat. Bagi Brigade Pos, kegagalan mengantar surat sebelum matahari terbit adalah sesuatu yang fatal dan dapat mencoreng harga diri seluruh brigade. Karena itulah semenjak putaran pertama dimulai, hanya kekalahan yang ada di pikiran Dikin.

    Sampai akhirnya ada seorang pria yang berteriak-teriak meminta tantangan.

    “Hei... Dikin!”

    “Kau sendiri mengapa tidak berlari?!” jawab Dikin spontan dengan nada yang meninggi. Ia tidak mau kalah begitu saja.

    “Aku...” Garu terdiam, sepertinya pria itu juga tidak tahu harus menjawab apa.

    Maka Dikin tersadar akan sesuatu. Dengan hati-hati, Dikin bertanya, “Jangan-jangan sejak awal kau juga berniat untuk kalah?”

    Awalnya Garu tampak terkejut. Ia menatap Dikin dengan tidak percaya, barulah kemudian menghela napas berat.

    “Aku harus kembali... Ada yang harus kulakukan,” kata Garu dengan nada yang seolah menunjukkan bahwa urusannya sangat penting, jauh lebih penting daripada urusan Dikin.

    “Memangnya kau saja yang punya urusan,” Diki bicara dengan nada yang semakin tinggi. “Kehormatan seluruh Brigade Pos akan tercoreng jika aku sampai gagal!”

    Sejak awal, Dikin mengabdikan hidupnya dalam brigade itu. Baginya, hidup dan matinya Brigade Pos sama dengan hidup dan matinya sendiri. Mungkin orang asing seperti Garu tidak mengerti, tapi Dikin tidak bisa terima jika ada orang yang meremehkan pekerjaannya. Seperti yang akan dilakukan Garu.

    “Apa akan ada yang mati jika kau sampai gagal?”

    Sontak seluruh aliran darah Dikin terasa naik ke kepala. Baginya, Garu benar-benar tidak mengerti apa-apa.

    “Apa kau tahu betapa pentingnya informasi?” sambar Dikin menggebu-gebu. “Apa jadinya jika informasi terlambat diberikan? Mungkin terdengar sepele, tapi jia dibiarkan begitu saja, bisa terjadi hal – “

    “Seluruh penduduk kerajaan bisa musnah jika kami kalah perang!” Garu memotong dengan nada membentak kasar. Nampaknya ia juga sudah mulai emosi.

    Dikin pun terdiam.

    Perang?

    Dikin hanya pernah melihat hal itu di dalam buku sejarah. Sudah puluhan tahun perang tidak terjadi, dan Dikin sama sekali tidak tahu seperti apa perang itu. Yang jelas, semua orang tua yang Dikin kenal tidak pernah mau mengingat apa yang terjadi selama perang berlangsung.

    Rasa bersalah segera menghinggapi Dikin. Kini pemuda itu tak tahu lagi yang mana yang lebih penting, yang mana yang harus diutamakan. Antara kehormatan Brigade Pos atau nyawa penduduk kerajaan tempat Garu berasal.

    “Bagaimana jika kita lakukan pertandingan lain?” tanya Garu memecah keheningan.

    “Apa pertandingan yang sebelumnya bisa dibatalkan?” Dikin melirik ke arah sang biri-biri terbang, tapi makhluk itu hanya bergeming.

    “Entah, tapi sekalipun tidak bisa... Kita buat kesepakatan sendiri,” ujar Garu sambil menatap Dikin dalam-dalam. “Pemenangnya boleh mengalah dalam pertandingan resmi!”

    “Aku jelas tidak mungkin menang pada adu cepat jarak dekat seperti ini,” ujar Garu menjelaskan. “Karena itu kita buat lintasannya lebih panjang. Lihat menara tinggi di sana? Siapapun yang bisa menyentuh pintu masuk menara itu pemenangnya!”

    Dikin menelan ludah mendengar penjelasan Garu. Ya, Garu tahu. Dikin mungkin menyelesaikan lintasan lomba sebelumnya dengan sekali lemparan kartu pos. Tapi pada lintasan panjang dan berkelok-kelok, Dikin harus membidik dan melempar berkali-kali. Mungkin Garu akan memiliki kesempatan jika terus berlari tanpa henti.

    “Bagaimana?” tanya Garu sedikit mendesak. Biar bagaimana pun ini adalah satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan Garu. Karena kelihatannya tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah begitu saja.

    “Uh... Yah... Baiklah....” jawab Dikin akhirnya.

    “Lemah sekali...” ujar Garu dingin. Entah mengapa ia tak bisa menghadapi lawan yang tak bersemangat seperti itu. “Apa hanya segitu semangat seorang anggota Brigade Pos yang terhormat?”

    Bagaikan saklar dalam diri Dikin, dua kata itu selalu membangkitkan semangatnya.

    “Garu, kau akan tahu kehebatan Brigade Pos!”

    “Ya, tunjukkanlah,” kini Garu merasa lebih baik. “Kita ambil jalan memutar agar tidak menyentuh garis akhir yang resmi!”

    “Baik,” jawab Dikin menyusul Garu. “Bagaimana dengan aba-abanya?”

    “Kita hitung bersama-sama. Pada hitungan ketiga.”

    Kini kedua orang itu bersiap dalam posisinya masing-masing, menghadap ke sebuah gang kecil. Dari situ mereka sama-sama tidak tahu lagi harus mengarah ke mana, tapi mungkin itu adalah salah satu faktor yang membuat pertandingan ini menjadi adil.

    “Kau siap? Kita mulai hitungannya.”

    “Mulai saja.”

    “Baik. Satu...”

    “Dua...”

    “Ti... ga!”

    Garu langsung melesat begitu aba-aba selesai dibunyikan. Ia menyusuri gang sempit itu bagaikan hembusan angin.

    Di sisi lain, Dikin melemparkan kartu posnya ke atas, bukan ke depan. Karena itu, detik berikutnya ia sudah ada di atap sebuah puing bangunan. Lalu ia mengernyitkan matanya untuk melihat menara tinggi yang menjadi sasarannya.

    “Aku pasti bisa!” bisik Dikin pada dirinya sendiri sambil mengeluarkan kartu pos baru dari dalam tasnya. Kemudian langsung saja ia melesatkan kartu pos itu jauh-jauh lewat di atas puing-puing bangunan. Sebelum kartu pos itu mendarat, Dikin mengeluarkan benda lain dari kantung bajunya, sebuah kertas kecil berwarna biru. Saat Dikin menjilat kertas kecil itu, mendadak tubuhnya sudah berada di dekat kartu posnya yang tiba-tiba berhenti melesat.

    “Kehormatan Brigade Pos dipertaruhkan di sini!” bisik Dikin lagi sambil mengerluarkan kartu pos berikutnya.

    Kembali ke bawah sana, Garu tengah berlari secepat-cepatnya menyusuri gang melewati puing. Berkali-kali Garu ingin mencoba naik ke atas puing-puing, tapi rasanya mustahil melaju di atasnya. Namun lama kelamaan pikiran buruk mulai mendatangi Garu. Ia semakin merasa ragu bisa mengalahkan Dikin, apalagi ia sama sekali tak bisa melihat Dikin di mana pun.

    “Sial,” gumam Garu sambil melompati tumbukan bata putih di depannya. Kemudian ia menoleh ke atas, menatap menara yang masih berdiri kokoh di antara puing-puing bangunan. “Kalau begini aku bisa...”

    Namun Garu segera mengusir pikiran itu jauh-jauh. Kekalahan bukanlah pilihan baginya untuk saat ini, ketika masa depan seluruh kerajaan sedang dipertaruhkan.

    Dengan terpaksa Garu menggunakan cara itu.

    “Gejolak Darah!!!”

    Baru saja Dikin hendak melemparkan kartu pos berikutnya, tapi tiba-tiba ia merasakan suatu aura yang membuat bulu kuduknya berdiri. Bersamaan dengan itu, ia mendengar suara teriakan dari arah belakang sana. Mungkin itu Garu yang sudah putus asa. Atau...

    Dikin terbelalak saat melihat sosok Garu yang muncul dari balik puing dan melesat dengan kecepatan di luar akal sehat manusia biasa. Asap tipis kemerahan tampak keluar dari wajah dan kedua tangannya, juga dari tiap sela lubang pakaiannya.

    “Manusia tidak mungkin – “

    Teringatlah Dikin pada turnamen apa ini sebenarnya. Fantasos yang mengatakannya sendiri bahwa mereka berasal dari dunia yang berbeda. Sama halnya dengan Garu yang tak mengerti apapun mengenai pos, Dikin terkejut bukan main melihat kecepatan Garu yang di luar kewajaran.

    “Aku, tidak boleh kalah!” Dikin meneriakkan keharusan itu pada dirinya sendiri dan langsung melesatkan kartu posnya jauh ke depan. Ia menunggu hingga kartu pos itu mencapai jarak yang tepat dan segera menjilat kertas kecilnya – materai.

    Dalam sekejap Dikin telah menempuh jarak yang cukup jauh, tapi ternyata Garu sudah hampir mencapai jarak yang sama dengan kecepatannya.

    Setidaknya ia harus melewati banyak hambatan di bawah sana, itulah yang dipikirkan Dikin sambil membidik sasaran berikutnya. Tanah lapang. Tidak ada hambatan atau apapun bagi Garu hingga mencapai menara di seberang sana. Sekarang, semua resmi menjadi adu cepat yang sesungguhnya.

    “Huh!” Dikin berdecak sambil mengambil ancang-ancang. Karena kali ini ia tidak perlu mencari puing untuk berpijak, maka yang perlu dilakukan hanyalah melempar kartu posnya jauh-jauh. “Terbanglah!!!”

    “Terbanglah!!!”

    Seseorang berteriak begitu Garu berhasil melewati tumpukan puing terakhir dan sebuah tanah lapang terbentang di hadapannya. Kemudian ia menyadari ada sebuah kertas putih kecil yang melesat jauh ke depan. Kartu pos Dikin.

    “Sialan!!!”

    Tanpa membuang waktu Garu mempercepat langkahnya – yang sebenarnya sudah sangat cepat. Puing-puing penghalang sudah tidak ada, maka Garu hanya perlu berlari secepat-cepatnya hingga ke menara besar yang berada di seberang tanah lapang ini.

    Namun tiba-tiba sosok Dikin sudah muncul di depan sana, dan langsung mengambil ancang-ancang untuk melemparkan kartu pos berikutnya.

    “Aku tidak boleh kalah!!!” Lagi-lagi Garu berteriak nyaring meski itu tidak akan menambah kecepatannya. Ia hanya terus berlari tanpa henti, hingga titik maksimal di mana Garu merasa seperti terbang.

    “Aku... harus menang!!!” Dikin juga tidak mau kalah dan langsung melempar kartu pos di tangannya.

    Tapi, kesialan menerpa pemuda itu.

    Tepat ketika Dikin melempar kartu posnya, Garu lewat di sebelahnya dengan kecepatan tinggi. Pergerakan Garu menciptakan dorongan angin luar biasa yang sedikit mengubah sudut lemparan kartu pos, menyebabkan benda itu melesat ke arah yang salah.

    “Kau curang!”

    Garu sudah tidak peduli lagi apapun yang dikatakan Dikin. Lagipula ia melakukan hal itu bukannya dengan sengaja.

    Dikin terpaksa mengeluarkan kartu pos yang baru, dan melesatkannya sekuat tenaga. Tapi, mendadak perasaan itu membuncah di dadanya.

    Ia akan kalah.

    “Heaaa!!!” raung Garu bersemangat di depan sana. Bahkan setelah Dikin berpindah tempat, Garu masih belum bisa terkejar.

    Kapten pernah bilang, kesungguhanlah yang akan menentukan siapa anggota Brigade Pos terbaik. Tapi, betapapun bersungguh-sungguhnya aku, mengapa ia tak terkejar?

    Sekuat dan sejauh apapun Dikin melempar kartu posnya, Garu terus memperlebar jarak. Seakan semuanya telah ditentukan.

    Apa ia jauh lebih bersungguh-sungguh?

    Di tengah keputusasaan, kini Dikin hanya bisa melempar seadanya.

    Kalau begitu, mungkin untuk kali ini...

    Hanya dalam beberapa langkah, Garu akan menyentuh pintu menara yang terbuat dari besi raksasa.

    ...sebaiknya aku menyerah saja.

    Dan tiba-tiba, pandangan Garu menjadi gelap tepat sebelum ia berhasil menyentuh pintu besi di depannya.

    Garu membuka mata dan mendapati Dikin berdiri di sebelahnya. Terengah-engah, Dikin bertumpu pada pintu besi itu. Sepertinya Garu hilang kesadaran beberapa saat akibat penggunaan Gejolak Darah yang berlebihan.

    “Aku kalah...”

    Kalah tetap kalah, Garu harus mengakui hal itu.

    “Tidak...” Dikin menggeleng. “Jika kau tidak terjatuh, kaulah pemenangnya!”

    “Aku terjatuh, memang karena hanya sampai di situ kemampuanku,” jawab Garu. Ia tidak pasrah, tapi berlapang dada. “Kaulah pemenangnya.”

    “Tapi – “

    “Kenapa? Kupikir kau berjuang mati-matian untuk tidak kalah?”

    Dikin pun terdiam mendengar perkataan Garu. Memang ia ingin menang, tapi dalam hati kecilnya, kehormatannya, ia tidak bisa menerima kemenangan seperti ini.

    “Kembalilah,” ujar Garu sembari mencoba bangkit, tapi rasa pusing menyergapnya dan ia nyaris kembali terjatuh kalau bukan karena Dikin yang menangkapnya. “Selesaikan tugasmu.”

    “Garu...”

    “Aku akan menemukan jalan lain,” kata Garu. “Aku adalah tangan kanan raja, aku selalu menemukan jalan lain.”

    Tidak ada alasan lagi bagi Dikin untuk menolak. Kemenangan sudah ia dapatkan berdasarkan perjanjian. Seharusnya, tak ada yang perlu ia proteskan.

    “Baiklah.”

    Maka begitulah, Dikin menopang Garu dan mereka mulai berjalan menuju titik akhir pertandingan berdasarkan kesepakatan resmi. Tapi kekuatan Garu segera pulih dan tak lama kemudian ia mampu berjalan dengan kedua kakinya sendiri.

    Selama perjalanan, mereka juga mulai membicarakan banyak hal. Mulai dari dunia mereka masing-masing, sampai tentang apa yang sedang mereka lakukan ketika Fantasos menariknya. Dikin sempat ragu ketika mendengar bahwa dunia Garu tengah berada dalam situasi perang. Tapi Garu kembali meyakinkan pemuda itu. Seorang tangan kanan raja tidak pantas menarik kembali kata-kata yang telah dilontarkan.

    Sementara itu, di atas menara tertinggi di kota mati itu, terdapat seorang pria. Ya, ia pria karena bertelanjang dada, dan dadanya rata. Namun sebuah pelindung kepala burung elang bermata satu menutupi kepalanya. Dengan gagah ia berdiri di pinggir atap, memandang jauh ke seluruh penjuru kota.

    “Oh, ternyata aku keduluan!” tiba-tiba seseorang berkata dari belakangnya. “Sudah lama berada di situ?”

    Tapi pria berpelindung kepala burung elang itu diam saja.

    “Hei, hei, jangan diam begitu,” ujar pria itu yang merasa tidak diladeni. Tapi ia tidak marah, malah tetap ramah. Ia terlihat sangat bersahabat meski penampilannya kurang ramah dengan kacamata hitam dan anting, juga rambut pendek yang dibuat berdiri. “Apa yang kau lihat?”

    Pria itu ikut berdiri di sebelah pria berpelindung kepala burung elang, dan mendapati dua sosok di kejauhan yang sedang berjalan menjauh.

    “Apa mereka sedang bertanding?” tapi akhirnya pria itu bosan juga. “Hei, katakan sesuatu! Atau kau ini patung ya?”

    Entah pria itu berhasil mencairkan hatinya atau apa, akhirnya pria berpelindung kepala burung elang itu menoleh.

    “Begitu caramu bicara pada dewa?”

    Pria itu pun melongo. Tapi ia segera mengendalikan keadaan, lalu mengulurkan jabatan tangannya.

    “Hahaha, kau lucu! Perkenalkan, namaku Gen!”

    “Kau memintaku untuk menjabat tangan kotormu?”

    Gen terdiam.

    “Ah, sudahlah,” Gen sendiri yang memecah keheningan. “Bagaimana kalau kita segera bertanding? Menurutmu, pertandingan apa yang cocok untuk manusia sepertiku?”

    “Kau tahu posisimu, tapi masih berbicara lancang pada dewa,” ujar pria berpelindung kepala burung elang itu. “Tapi berterima kasihlah, karena setidaknya keberadaanmu akan sedikit berguna.”

    “Eh... Apa maksudmu?”

    “Aku baru saja berpikir... Apa aku perlu bertanding untuk memenangkan ini... Ataukah ada cara lain.”

    Tiba-tiba saja bulu kuduk Gen terasa merinding. Hawa dingin segera menyergap tubuhnya, dan ia terpaku menyaksikan mata burung pria di depannya. Begitu mengancam dan menyiratkan kengerian.

    Lalu pria berpelindung kepala burung itu mengangkat sebelah tangannya.

    “Setidaknya cobalah untuk memanggilku dengan benar. Akulah Horus, dewamu.”

    “Loh, dia masih menunggu di sana?!” seru Dikin ketika melihat biri-biri kecil yang tengah melayang di titik akhir pertandingan resmi.

    “Huh, sepertinya ia tidak mudah bosan,” timpal Garu.

    “Hahaha, baiklah kalau begitu,” Dikin berhenti dan menatap Garu “Aku duluan!”

    “Tidak masalah,” jawab Garu. “Pergilah!”

    Dengan mata berbinar-binar, Dikin melepas topi jingganya sebagai tanda penghormatan Brigade Pos. Kemudian Garu melangkah mendekati biri-biri kecil yang masih setia menunggu.

    Teeet!!!

    Terdengar suara terompet yang memekakkan telinga.

    Pertandingan selesai. Pemenangnya adalah Garu!

    “Huh, padahal aku kalah, tapi malah menang,” celetuk Garu sambil memperhatikan sang biri-biri yang mendadak hilang menjadi asap. Kemudian Garu berbalik ke arah Dikin. “Selamat berjuang!”

    Kemudian selimut cahaya segera melingkupi tubuh Dikin. Pemuda itu terkejut, tapi kemudian mengerti apa yang sedang terjadi. Langsung ia mengangkat topinya tinggi-tinggi sebagai salam perpisahan.

    Garu pun tersenyum. Entah bagaimana muncul sedikit rasa senang dalam hatinya. Walau hanya satu, ia telah berhasil menyelamatkan seseorang...

    Mungkin...

    Karena tiba-tiba Garu melihat suatu sorot yang mengerikan dari mata Dikin.
     
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    huwooo, baru liat agan grande serius, atuut :takut:

    nyimak dulu ah, masih lum fit buat baca panjang2 nih, komentar (dan cabe pedas) menyusul (maklum harga cabe lagi mahal sekarang) :ngacir:
     
  6. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    what???

    uh...

    ya sudah, cepat sembuh dan fit ya, supaya bisa jualan cabe lagi... :hahai:
     
  7. frick M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    May 1, 2008
    Messages:
    3,641
    Trophy Points:
    177
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +2,734 / -0
    Skor: 8/10

    Eh Jakfic udah lewat ya? #plak
    ----SPOILER dikit
    Eee... ceritanya bagus, gw suka ketika membaca ceritanya terasa mengalir. Yang agak mengganjal cuma pas pertemuan dengan Fantasos. Penggambaran karakter Fantasos dan suasana pertemuannya kurang berasa. Kalo menurut gw sebaiknya dibuat lebih dramatis lagi soalnya kan di bagian ini konfliknya naek drastis.
    Selain itu sudah oke, minus beberapa detil dan typo. Adegan pertempuran masih bisa lebih bagus lagi, tapi yang kayak gitu memang susah dalam fict. :<

    Sori kalo gak terlalu banyak membantu, komentator masih amatir. :malu
    Ditunggu lanjutannya :ngacir:
     
  8. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :matabelo: keren, ide ceritanya jg mantap (meskipun rasanya perna baca ide cerita yang mirip kek gini entah dmn :hiks: otak lg susah diajak mikir)

    kesan pertama yang saya dapat setelah membaca semuanya adalah: kocak :lol: di mana seorang panglima tangan kanan raja bertanding melawan tukang pos, tanding lari pula. kemudian muncul dewa Horus yang juga ternyata jadi korban orang iseng a.k.a Fantasos.

    kesan kedua yang saya dapat adalah alur ceritanya yang mengalir cukup cepat. bagi saya pribadi sih, hal itu akan menarik untuk cerita yang pendek. tp klo untuk novel rasanya lebih baik dibuat agak lambat ya (selera pribadi sih ini)

    kesan ketiga adalah deskripsi yang agak minim. terumata deskripsi yang menggambarkan perasaan dari orang-orang yang menjadi korban Fantasos, sehingga suasana kesal atau tegang atau yang lainnya kurang berasa (mungkin ini yang dimaksud frick-senpai ya :peace: CMIIW) karena saat itu hanya digambarkan hal-hal apa saja yang dilakukan oleh orang-orang di sana.

    :peace: segitu dulu, semoga membantu.

    :maaf: sebenarnya masih ada yang berasa janggal tp entah di mana. :maaf: otak lg nda bisa diajak mikir
     
  9. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    makasih dah mampir :maaf:

    pertemuan awal dengan Fantasos itu memang bikin saya pusing 7 keliling (lebay)... pasalnya saya bingung gimana membuat scene di mana fantasos menjelaskan peraturan pada mereka semua, karena otomatis reaksi dari tiap peserta beda. awalnya saya cuma buat scene fantasos ma Garu, tapi rasanya kurang afdol karena ini turnamen... :hahai:

    enaknya gimana ya..?

    huhuhu adegan pertempurannya tar saya edit2 lagi...

    makasih juda uda mampir :maaf:

    dibuat agak lambat #catat

    ah, pertemuan dengan fantasos... apa saya hapus aja ya bagian itu...

    apa yang janggal..???
     
  10. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :maaf: baru inget apa yg terasa janggal. di kalimat:

    :???: kartu pos nya kan uda dilempar, gimana cara nya tempelin lagi?

    untuk pertemuan dengan Fantasos, (ini pendapat pribadi lho) klo menurut saya jgn dihilangkan tapi di kembangkan lagi karena ada potensi bagus untuk membuat pembaca memahami situasi para peserta yang "diisengin" sama Fantasos :hmm: pendapat pribadi sih

    :hehe: yang ditempel di kartu pos bukannya perangko ya?

    :peace: segitu ajah, semoga membantu
     
  11. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    oh iya, perangko... hohohoho...

    ga terlalu detail kujelasin sih, jadi cara nempelin perangkonya itu dengan menjilatnya. saat perangko dijilat, otomatis tubuh Dikin teleport ke dekat kartu pos, sementara perangkonya otomatis nempel di kartu post :hahai:

    yeah yeah... akan kupikir2 lagi gimana ngembanginnya... pusing nih mau menggunakan pendekatan seperti ada @.@
     
  12. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :nongol:

    Bertahan ya :peace:

    Saia udah baca dan ini yang terlintas dalam pikiran saia:

    1. Flow cerita ini sudah pecah sejak chapter 0. Kenapa? Karena di chapter 0 part 1 pembaca baru saja mulai mengenal siapa si tokoh utama (Garu, diambil dari Garuda ya :fufufu: ), bagaimana sifatnya dan hubungannya dengan tokoh2 lain, tapi begitu part 2, semuanya buyar karena tiba2 part ini seperti balik ke part 0 aka prolognya prolog (krn ini kan baru prolog :hehe: ). Lanjutannya part 3 juga ga membantu, karena rasanya semua seperti diputar balik dan POV3 beralih fokus ke Fantastos, yang notabene karakter baru (dugaan saia juga sebagai final boss :fufufu: ). Kenapa tidak dilanjutkan dari POV3 Garu yang pas lagi perang tau2 aja udah dilempar ke dunia lain? Ini akan lebih menarik karena pembaca jadi diajak lebih dekat dengan Garu (karakter utama kan? :peace: ) dan juga diajak menyelami lebih dalam perasaan dan pikiran2 si Garu.

    Part 7 juga bikin flow putus, karena tiba2 scene berpindah ke 2 karakter yang benar2 baru dan belum pernah sama sekali berinteraksi dengan 2 karakter yg lagi hangat2nya beraksi (aka Garu dan Dikin). Padahal kan scene harusnya masih milik Garu dan Dikin. Kalau mau pindah ke Gen dan Horus, sebaiknya setelah scene lomba Garu dan Dikin selesai. Ini akan membawa pembaca ke pengenalan tokoh2 lain dalam game punya Fantastos ini + memperumit plot.

    2. Name sense yang (maaf) buruk. Dikin Hayaku? Ok...bukannya menggurui, tapi kalau membuat nama tokoh, tolong dipikirkan asal-muasal bahasanya dan (mungkin) budaya yang melatarinya. Dikin = nama Indonesia? + hayaku = nama jepang (artinya 'cepat2' kan?). Terkesan seperti asal buat dan jadi menghilangkan kesan serius cerita ini.

    3. Absurd. Memang masih di bab2 awal dan ada rasa penasaran waktu membacanya, tapi...kenapa tahu2 ada lomba lari2?! Dan sikap Garu terasa terlalu-menerima dengan-lapang-dada-hal-absurd-yang-terjadi-pada-dirinya. Ga banyak tanya, ga banyak protes, ga pake bingung2, yang justru ga masuk akal karena orang (setangguh apapun mentalnya) klo lagi asik perang dibawa kabur ke lomba geje begini, pastinya uring2an. Apalagi karena Garu kayaknya berdedikasi amat tinggi kepada raja (dan kerajaannya), ga mungkin dia ga muring2 terus dan (harusnya) bawaannya pengen pulang sepanjang awal cerita.

    4. Meski begitu, saia suka dengan ide kemampuan Dikin teleport pake kartu post yang dilempar + materai yang dijilat. Itu bener2 original dan saia sama sekali ga pernah kepikiran yang kayak begituan :top: dan sorot mata misterius si tukang pos ini bikin part terakhir jadi bener2 cliffhanger :top:

    Maaf klo jadi kepedesan, switch cabe-man saia lagi :onfire: soalnya :elegan:
     
    Last edited: Mar 28, 2013
  13. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Uwagh, terima kasih agan red atas petuahnya!

    1. itulah yang saya bingungin... saya ingin membuat kesan si Fantasos ini ngobrol ke semua pesertanya. jadilah saya buat part 2 dan 3 itu >.< klo di versi awal sih emang cuman ceritain Garu, terus si fantasos juga ngobrolnya ma Garu doang... kayaknya itu lebih baik ya... cuman, rasanya ada peraturan-peraturan yang kurang relevan klo cuman diterangin ke Garu seorang... =A=

    terus sejauh ini sebenernya saya bikin banyak banget plot putus lho... =A= maksud hati sih saya ingin buat cerita yang sorotannya pindah-pindah. cuman klo satu sorotan satu chapter bisa kepanjangan bisa kependekan. contohnya part 7 itu, klo saya buat di chapter baru pun sebenernya saya emang cuma pengen ngeluarin secuil bagian itu... gimana yah baiknya...

    2. wkwkwkwk ah ketahuan... kebanyakan nama yang saya bikin memang asal-asalan...

    3. lomba lari itu tergantung kesepakatan sih... bener juga yah, absurd >.<

    4. kyaaa makasih juragan ~~(>.<)~~

    sekali lagi makasih petuahnya... kalau bisa tolong diberi sekali lagi ya... :maaf:
     
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    anoo, agan Grande, sory ane baru bisa komentar nih ^^

    hmm, sebelumnya ini merupakan great story n bikin penasaran, tapi idem ama agan red, adegan balapannya rada2 gimana gitu. n ane sedikit idem juga ama agan tetembubu, pace nya kecepetan :hmm:

    tapi ini menarik kok, n ane pribadi nunggu lanjutannya :top:

    sori nih baru bisa komen, tumbang seminggu lebih :hiks:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.