1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Coronation (Total Remake~!)

Discussion in 'Fiction' started by red_rackham, Mar 21, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :nongol:


    Setelah menimbang2 banyak kemungkinan, pada tahun 2012 saia melakukan remake ulang konsep draft novel Coronation saia.

    Konsep yang semula adalah pure low-fantasy, kini berubah menjadi action sci-fi (dengan tambahan perkuatan bumbu politik dan konspirasi).

    Mungkin akan banyak yang protes ini sangat mirip dengan Guilty Crown, silahkan saja protes dan postingkan protes2 anda ke thread ini :elegan:

    Dan kalau ada yang nemu plot-hole, inconsistency, typo, dan lain2, silahkan berbagi disini (bwat reference saia dan pembelajaran buat yang lain :peace: )

    Logo Coronation..jpg

    Pembuka Pt.0
    Chapter 1: Parade Bencana Pt.1 Pt.2 Pt.3
    Chapter 2: Pilihan Hidup Pt.1 Pt.2 Pt.3 Pt.4
    Chapter 3: Tembok Tinggi

    -Page under constructions-
     
    Last edited: May 1, 2013
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Pembuka

    “Satu-satunya cara supaya Indonesia dapat maju di kancah perang teknologi masa kini adalah dengan menguasai teknologi lebih dari bangsa lain! Sebagai seorang presiden, saya mencanangkan tahun ini sebagai tahun dimulainya Revolusi Teknologi Indonesia!”

    -Potongan pidato presiden pada perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2028-
     
  4. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 1 : Parade Bencana

    Chapter 1 : Parade Bencana

    “Dengan kemajuan teknologi kira saat ini, tidak mungkin Indonesia bisa tertinggal dalam perlombaan ekonomi dengan bangsa lain! Jadi jika saya terpilih sebagai presiden, akan saya pastikan Indonesia tercinta menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Bersatu Indonesia, bersama kita maju!”

    Suara gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai mendadak meledak di lapangan utama kota Ternate, ketika Ivan Ratulangi mengakhiri pidato kampanyenya. Ribuan massa pendukung partai Indonesia Bebas Bersatu, partai yang mengusungnya sebagai calon presiden dalam pemilu 2070 ini, tampak dipenuhi semangat. Mereka semua terdengar mengelu-elukan nama Ivan sambil mengibarkan bendera-bendera mungil berwarna coklat keemasan berhiaskan peta wilayah Indonesia yang dirangkul oleh dua tangan, lambang partai Indonesia Bebas Bersatu, atau Inbastu.

    Ekspresi puas jelas terlihat di wajah Ivan yang sekarang sibuk melambaikan tangan ke arah pendukungnya dari atas podium tinggi, tempatnya menyampaikan pidato. Sementara itu di dekatnya berdiri seorang gadis berambut coklat yang mengenakan seragam kebanggaan partai Indonesia Bebas Bersatu. Dia adalah Renadya Swastika, seorang gadis muda yang memegang posisi sebagai sekertaris pribadi Ivan. Sama seperti masyarakat yang berkumpul di lapangan luas itu, ekspresi wajah Rena juga menunjukkan kegembiraanya karena melihat ketua partainya menyampaikan pidato dengan penuh semangat.

    Sambil memeluk sebuah komputer tablet transparan di kedua tangannya, Rena memandang ke segala arah. Dari podium tempatnya berdiri saat ini, dia bisa melihat jelas bagaimana ekspresi gembira tampak terukir jelas di wajah-wajah mereka yang berkumpul dalam acara kampanye ini. Semuanya tampak antusias dan tidak sabar untuk menyaksikan bagaimana calon yang mereka banggakan itu akan bertanding dalam ajang duel Coronation, atau Penobatan, yang menjadi bagian dalam sistem pemilu saat ini.

    Maklum saja, sejak mengalami perubahan besar-besaran di tahun 2060, sistem pemilu di Indonesia saat ini jauh lebih unik dan menarik dibandingkan sebelumnya. Jika dulu pemilu hanya merupakan ajang pertarungan politik diantara para calon pemimpin Indonesia, kini pemilihan umum juga menyisipkan sebuah duel fisik dengan menggunakan senjata canggih yang disebut Throne. Dalam duel itu, para calon pemimpin akan bertarung dengan Throne masing-masing untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia. Mereka akan saling serang untuk melumpuhkan lawan atau menghancurkan Corona, atau mahkota lawan, untuk dapat maju ke babak berikutnya.

    Aneh dan terdengar masuk akal, tapi itulah sistem pemilihan umum yang berlaku di Indonesia saat ini.

    Selama beberapa saat, Rena terus memandangi sosok Ivan yang berdiri di depan sambil terus melambaikan tangan ke arah para pendukungnya. Tahun ini pria kelahiran Manado itulah sosok calon pemimpin akan mewakili partai Inbastu untuk maju dalam pemilu, dan Rena benar-benar berharap Ivan berhasil bertahan sampai naik tahta sebagai presiden.

    “Bagaimana? Semuanya lancar?”

    Sebuah suara dari belakang membuat Rena terkejut. Dengan cepat dia berbalik dan berhadapan dengan seorang pria berkulit coklat gelap dan berambut jabrik. Pria itu tidak lain adalah Herman Syahputra, seorang motivator sekaligus rekan kerja satu partai dengan Rena. Seperti biasanya, Herman terlihat mengenakan jas rapih lengkap dengan dasinya, hanya saja dasinya itu terlihat konyol karena bermotif polkadot. Sekilas pandang pria itu tidak terlihat seperti orang penting di partai Inbastu, berbeda dengan Rena yang terlihat rapih dengan seragam coklat khas partainya. Seperti kebanyakan wanita pengurus partai Inbastu lainnya, Rena mengenakan blus coklat dan rok belah samping yang berwarna senada dengan bajunya. Tapi tidak seperti seorang sekertaris pada umumnya, yang seringkali mengenakan riasan tebal, Rena hanya mengenakan riasan tipis pada wajahnya sehingga dia terlihat biasa-biasa saja.

    “Sejauh ini sih lancar,” sahut Rena sambil memandangi layar tablet yang sedari tadi dia peluk, komputer tipis itu tampak menampilkan jadwal kegiatannya dan kegiatan ketua partainya. Setelah membaca tabletnya sejenak, Rena lalu mengalihkan pandangannya ke arah Herman . “Ngomong-ngomong sedang apa kau disini? Bukannya di acara ini kau tidak punya tugas khusus?”

    Herman tersenyum sambil mengangkat bahunya.

    “Iseng,” sahutnya singkat. “Hari ini aku tidak banyak kerjaan di kantor, jadi daripada bengong, lebih baik aku datang kesini.”

    Rena menghela nafas mendengar ucapan Herman . Berbeda dengan pria itu, dirinya hampir selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan. Posisinya sebagai sekertaris ketua partai membuatnya harus selalu siap bertugas kapanpun, dan harus siap berada di sisi Ivan, terutama di saat-saat seperti ini.

    “Enaknya yang tidak punya kerjaan,” gumam Rena iri.

    “Enaknya yang digaji besar,” balas Herman sambil nyengir lebar. Dia lalu menepuk bahu Rena yang kini mencibir ke arahnya. “Sudahlah, jangan protes dulu. Tuh pak Ivan sudah selesai berpidato. Sana temui dia.”

    Herman lalu mendorong punggung Rena, membuat gadis itu terhuyung sejenak ke depan, beruntung dia tidak sampai jatuh. Sambil melotot ke arah Herman yang masih nyengir ke arahnya, Rena berjalan menghampiri Ivan.

    “Pidato yang bagus, pak.” Rena berkata sambil tersenyum ke arah ketua partainya itu.

    “Terima kasih. Ini juga berkat catatan kecil yang kau berikan sebelum aku mulai.” Ivan membalas perkataan Rena sambil menunjukkan secarik kertas di tangannya. “Kau memang ahli dalam urusan seperti ini.”

    Rena merasa gembira karena dipuji oleh orang yang selama lima tahun ini menjadi idolaya. Sejak dirinya direkrut oleh partai Inbastu sebagai pegawai administrasi, Rena tidak pernah mengira kalau karirnya akan melesat cepat hingga dia bisa mendapatkan posisi sebagai sekertaris ketua partai. Selama bekerja sebagai sekertaris Ivan, Rena mengenal pria itu sebagai orang yang berwibawa dan tegas, meskipun harus diakuinya kalau kadang-kadang Ivan bisa bersikap misterius dan penuh rahasia.

    “Rena, setelah ini kita ada rapat dengan pemimpin wilayah Maluku dan aku butuh bantuanmu lagi.” Ivan kembali bicara sambil mengambil kacamata hitam dari balik jasnya. “Persiapkan dirimu.”

    Sambil mengangguk penuh semangat, Rena menjawab. “Siap!”

    “Bagus! Ayo, jangan menunggu lagi,” balas Ivan sambil tertawa kecil. Pria itu lalu mulai berjalan ke arah belakang podium, tepatnya ke arah sebuah mobil mewah yang sudah terparkir di dekat sana.

    Tentu saja Rena tidak cuma diam di tempat. Begitu Ivan berjalan meninggalkan podium, dia langsung menghampiri seorang panitia acara dan memberi instruksi singkat tentang apa yang harus dikerjakan selanjutnya. Setelah itu barulah dia berjalan menghampiri mobil yang ditumpangi oleh Ivan. Tapi ketika dia bermaksud untuk naik ke dalam mobil itu, kaca jendela mobil diturunkan oleh Ivan.

    “Ah...untuk kali ini kurasa kau harus ikut mobil lain, Rena. Disini sudah penuh.” Ivan bicara sambil melongokkan kepala dari jendela mobilnya. Memang benar, di dalam mobil itu sudah duduk seorang lelaki lain yang tampak asing bagi Rena. Dia tidak tahu siapa lelaki itu, tapi sepertinya dia dan Ivan punya urusan penting.

    “Baiklah, aku mengerti. Aku akan naik mobil lain.”

    Rena membungkuk singkat, kemudian berjalan ke arah mobil yang ada di belakang mobil ketua partainya. Tapi sayangnya mobil itu juga sudah penuh penumpang. Setelah menghampiri dua mobil lainnya, akhirnya Rena menemukan sebuah mobil partainya yang masih agak kosong. Satu-satunya penumpang di mobil itu adalah Herman, dan Rena tidak begitu suka duduk berdua dengan lelaki nyentrik itu. Terutama karena Herman senang sekali menggodanya dan berusaha membuatnya marah.

    “Kenapa tampangmu jadi begitu? Ayo naik!” Herman rupanya menyadari kalau Rena jelas-jelas enggan untuk duduk bersamanya, tapi dia tidak mau ambil pusing dan langsung membukakan pintu untuk gadis itu. “Sudah, jangan pilih-pilih, nanti kau ditinggal oleh rombongan.”

    Meskipun enggan, akhirnya Rena masuk ke dalam mobil itu dan duduk di samping Herman , yang langsung cengar-cengir ke arahnya. Ini membuat Rena mulai merasa tidak nyaman.

    “Sudah pak sopir, ayo kita berangkat!” Rena berseru pada sopir mobilnya.

    Sesuai instruksi Rena, sopirnya langsung menyalakan mobil dan segera berusaha menyusul iring-iringan kendaraan yang sudah melaju agak jauh di depan. Ketika mobil yang ditumpangi Rena dan Herman mulai melaju, sebuah mobil patroli polisi yang mengawal di be-lakang langsung mengikuti sambil menyalakan sirine. Tapi suara sirine mobil polisi yang khas dan nyaring itu membuat Rena merasa agak terganggu.

    “Bisa tidak kita suruh polisi dibelakang sana untuk mematikan sirenenya?” Dia bertanya pada Herman yang kini duduk santai sambil membuka sekaleng minuman ringan, yang dia ambil dari mini-bar di bawah kursinya.

    “Kenapa?” tanya Herman sambil meneguk minumannya.

    “Rasanya tidak enak kita menggunakan fasilitas pengawalan seperti ini,” gumam Rena sambil menoleh ke belakang. “Padahal kita kan bukan pejabat negara.”

    “Ralat, kita ‘belum’ jadi pejabat negara,” sahut Herman dengan entengnya. “Kalau pak Ivan berhasil jadi presiden, bukannya tidak mungkin satu diantara kita dapat posisi tinggi di pemerintahan. Jadi menteri misalnya?”

    Omong kosong, protes Rena dalam hati.

    Tapi sebenarnya ucapan Herman itu memang ada benarnya. Dulu perbuatan seperti yang dikatakan Herman itu memang dilarang, tapi saat ini keadaan sudah berubah. Karena proses menjadi seorang presiden sekarang melibatkan duel fisik, yang terkadang menyangkut pertaruhan nyawa, banyak yang merasa wajar sang presiden terpilih memiliki hak untuk menunjuk sendiri beberapa pejabat yang dia inginkan.

    Memang sejak terjadinya peristiwa Agustus Berdarah di tahun 2056, segalanya berubah di Indonesia. sejak kelompok pemberontak bersenjata Throne bernama Korps Revolusi Indonesia berhasil menyerbu dan menguasai 7 kota penting di Indonesia, sistem pemerintahan di negara ini berubah drastis. Terutama setelah terjadi kekacauan politik akibat presiden saat itu, beserta beberapa orang penting pemerintahan lainnya, terbunuh akibat tidak mampu lari atau mempertahankan diri. Sementara itu yang tersisa justru sibuk melindungi dirinya sendiri sambil memperebutkan kursi kekuasaan yang sedang kosong, alih-alih mengatasi situasi darurat yang melanda negeri. Melihat orang-orang yang duduk di pemerintahan justru saling ‘makan’ ketika rakyatnya menderita dibawah tekanan para pemberontak, pandangan masya-rakat terhadap sosok pemimpin berubah.

    Ketika pemberontakan berhasil dihentikan dan para pelakunya ditumpas setahun kemudian, tepatnya di tahun 2057, pemerintah darurat mengesahkan undang-undang pemilihan baru yang memastikan pemimpin bangsa selanjutnya adalah orang yang benar-benar siap secara mental dan fisik. Sistem pemilihan baru yang dikenal luas dengan nama asingnya, yaitu Coronation, dianggap akan mampu menyingkirkan munculnya para oportunis dan calon pemimpin gadungan yang sebenarnya tidak sanggup memimpin negara, tapi dianggap mampu karena dukungan finansialnya yang kuat. Anggapan itu memang sudah terbuki pada Coronation pertama yang digelar di tahun 2060, dan dimenangkan oleh calon dari partai Energi Pembaharu Indonesia, atau Enpindo.

    “Kira-kira apa pak Ivan bisa menang tahun ini?”

    Pertanyaan Herman langsung membuat Rena terbangun dari lamunannya. Dia menoleh dan memandangi rekannya itu selama beberapa saat.

    “Kurasa begitu,” ujar Rena ragu. “Tapi kudengar tahun ini lawan-lawannya sangat berat. Tidak hanya siap secara politik, mereka juga siap secara fisik untuk tahap duel nanti.”

    “Yah...benar juga sih,” balas Herman sambil mengangguk. “Diantara lawan-lawan pak Ivan nanti, kurasa yang paling berat itu dari partai Enpindo.”

    “Rendra Pangestu?” balas Rena.

    “Ya. Dia,” jawab Herman singkat. “Selain masih mudah dan brilian, kudengar dia juga punya Throne yang kuat. Konon kemampuannya setingkat dengan para elit di Detasemen 219. Rasanya sulit untuk menang tahun ini.”

    Rena terdiam sejenak. Dia memang sudah mendengar bahwa calon dari partai Enpindo itu memiliki kemampuan tempur yang tinggi, dan menjadi favorit untuk memenangkan Coronation tahun ini. Tapi dia juga tahu kalau Ivan, calon dari partainya itu, juga bukan lawan yang enteng. Ivan memiliki Throne tangguh yang diyakini Rena bisa mengalahkan lawan-lawan tarungnya dalam duel nanti.

    “Jangan pesimis dulu,” bantah Rena sambil mengetukkan jarinya di atas komputer tabletnya. “Pak Ivan pasti menang!”

    “Mudah-mudahan sih begitu,” sahut Herman sambil meremas kaleng minumannya yang sudah kosong. Dia lalu menatap pergelangan tangan Rena selama beberapa saat, kemudian menunjuk ke arah gelang perak yang melingkar disana. “Ngomong-ngomong, Throne-mu sudah selesai di tune-up?”

    Rena mengangkat pergelangan tangannya dan menunjukkan sebuah gelang logam miliknya itu. Gelang itu terlihat berkilat dan menunjukkan alur guratan-guratan halus di permukaannya.

    “Sudah, dan tentu saja sekarang Throne-ku itu berfungsi lebih baik dari sebelumnya,” jawabnya sambil tersenyum. “Saat ini Abarone dan aku memiliki nilai sinkronisasi diatas 65 persen!”

    Herman menaikkan sebelah alisnya, kebiasaannya ketika dia merasa kagum dengan sesuatu. “Hee...itu bagus sekali,” ujarnya. Dia lalu mengalihkan pandangannya ke arah gelang perak, yang juga melingkar di tangannya. “Aku dan Beluga saja hanya bisa sampai tingkat 43 persen.”

    Rena tersenyum puas mendengar kalau dia lebih baik dalam menangani Throne miliknya, ketimbang Herman . Sejak ditemukan oleh peneliti Amerika di tahun 2042 dan dikembangkan oleh Indonesia di tahun 2050, Throne menjadi sistem persenjataan dan perlindungan diri paling efektif di dunia. Dengan menggabungkan teknologi nano-robotik, sistem kendali dengan pikiran, dan energi kristal Dithylium, Throne lahir sebagai mesin tercanggih yang pernah diciptakan manusia sampai saat ini. Khusus di Indonesia, Throne legal dipergunakan oleh warga sipil, selama mereka mematuhi hukum ketat yang mengatur masalah penyalahgunaan senjata tersebut.

    Sebagai petinggi di sebuah partai politik, wajar saja kalau warga sipil seperti Rena dan Herman memiliki sebuah Throne untuk melindungi diri. Terutama karena partai yang berlaga dalam Coronation seringkali melakukan kecurangan dengan melukai, atau bahkan membunuh kader atau calon dari partai lawannya. Walaupun konon ada partai lain yang berbuat curang, Rena tahu dan yakin partai Inbastu tidak akan melakukan hal semacam itu. Setidaknya dia akan memastikan itu tidak terjadi tanpa sepengetahuannya.

    Rena baru saja ingin bicara lagi pada Herman , namun tiba-tiba saja mobil yang mereka kendarai berhenti secara mendadak dan membuat keduanya tersentak ke depan.

    “Ada apa?!” Herman berseru pada sopir mobilnya.

    “Maaf pak, ada orang yang tiba-tiba saja lari ke tengah jalan!” balas sopir itu sambil mengelus dadanya, jelas dia juga kaget setengah mati.
    Rena yang juga mendengar penuturan si sopir langsung memandang ke depan. Ternyata memang benar ada seorang pria kekar yang berdiri di tengah-tengah jalan. Ketika melihat sosok pria itu, Rena segera tahu ada yang tidak beres.

    “Siapa orang gila itu?” tanya Herman sambil memicingkan matanya. “Ngapain dia lompat ke tengah jalan begitu?”

    “Tidak tahu pak,” jawab si sopir kebingungan.

    Sekali lagi Rena merasakan firasat buruk, anehnya pada saat yang sama gelang logamnya juga terasa menggelitik. Rasanya seperti Throne miliknya itu meminta untuk digunakan secepatnya.

    “Bagaimana ini?” tanya Rena sambil mengusap gelang di pergelangan tangannya.

    “Tenang,” jawab Herman . Dia lalu menunjuk ke belakang dan melihat kalau petugas polisi yang mengawal di belakang, kini sudah keluar dari kendaraannya. “Biarkan mereka yang mengurus ini, kau tidak perlu khawatir.”

    Sejenak Rena merasa lega karena melihat dua orang polisi berjalan melewati mobilnya dan menghampiri orang gila yang masih berdiri di tengah jalan itu. Sayangnya kelegaannya itu tidak berlangsung lama, karena pria misterius itu tiba-tiba mengangkat sebelah tangannya. Sedetik kemudian tubuh pria itu seolah bersinar karena dibungkus oleh kabut perak yang muncul entah dari mana. Setelah itu, tiba-tiba saja tubuh sang pria misterius sudah terbungkus oleh pelat-pelat baja tebal dan sebuah meriam tank besar bertengger dengan kokoh di belakang pundaknya. Kini orang gila misterius itu sudah berubah menjadi tank berjalan yang tampak menakutkan.

    Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pria itu mengarahkan meriam pundaknya tepat ke arah mobil yang ditumpangi Herman dan Rena.

    “Throne?!” seru Rena tidak percaya.

    “Keluar dari mobil, SEKARANG!” Herman berseru sambil membuka pintu mobil dan melompat keluar dengan cepat.

    Sayangnya seruan Herman ditanggapi lain oleh Rena, alih-alih keluar dari mobilnya, dia malah mengacungkan sebelah tangannya ke depan. Gelang perak yang ada di tangannya langsung mengeluarkan pendaran lembut berwarna biru muda. Sambil memusatkan pikirannya pada sebuah perintah yang tertanam di otaknya, Rena berseru nyaring.

    “Bangkitlah, Abarona!”

    Bersamaan dengan seruannya itu, gelang di pergelangan tangan Rena hancur menjadi serpihan debu berkilau. Bagaikan sihir, debu-debu itu lalu berputar di depannya sambil perlahan-lahan terbentuk menjadi sebuah perisai raksasa. Itulah Abarona, Throne pribadi yang dimiliki Rena. Tanpa menunggu Throne itu terbentuk, Rena sudah merogoh ke balik blus yang dikenakannya dan menanamkan sebuah kristal merah ke dalam perisai raksasa itu.

    Ternyata keputusannya itu tepat.

    Sebelum Abarona sepenuhnya terbentuk, si pria-tank-berjalan yang berdiri di depan mobil sudah keburu menembakkan meriamnya.

    Dan kemudian...hal terakhir yang dilihat Rena adalah kobaran api yang tiba-tiba saja memenuhi pandangannya.

    ϕ ϕ ϕ
     
  5. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :matabelo: sasuga red-sensei, cerita dan penulisannya keren banget, mudah dicerna. bagi2 dikit dung skill nya :hihi:

    ada beberapa pertanyaan yang waktu baca tiba2 terlintas di kepala saya.
    1. itu sistim pemilu yang baru kan uda pake duel fisik, pesertanya disaring berdasarkan apa ya? apakah pesertanya hanya dari orang yang didaftarkan dengan usungan dari suatu partai politik? atau dipilih dulu beberapa orang oleh rakyat?

    2. dalam pidato ivan ada kata2 'Jadi jika saya terpilih sebagai presiden' seolah2 untuk menjadi presiden itu harus dipilih, hal ini bisa menjawab mengapa ivan berpidato untuk kampanye. tapi di paragraf 5 dikatakan bahwa pemenang pemilu ditentukan oleh duel fisik. dalam hal ini rasanya cukup aneh klo ia melakukan kampanye untuk menarik simpati dari rakyat, ato mungkin ia hanya berpidato di daerah asalnya saja untuk mendapat dukungan dan semngat ya?

    di kalimat pertama:
    paragraf 5:
    ada spasi sebelum titik:
    kurang spasi
    kurang huruf n
    bukan kata baku, bakunya 'sekretaris'
    ref: http://kamusbahasaindonesia.org/sekretaris
    :peace: segitu dulu, semoga membantu. maaf belum sempet tulisin semuanya :maaf: klo ada waktu dilanjut lg

    :peace: sampai saat ini baru ada pertanyaan itu aja sih yang terlintas, semoga membantu
     
  6. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :top:

    1. Pertanyaan penting (sekaligus susah dijawab krn masih saia konsep detail yg begini2annya :lol: ).

    Coronation diikuti oleh 8 calon pemimpin yang secara resmi ditentukan oleh Komisi Pemilihan Pemimpin, setelah melalui seleksi yang sangat ketat.

    Delapan calon pemimpin diberikan Corona khusus yang menandakan bahwa mereka berhak dan pantas mengikuti Coronation. Corona khusus tersebut juga memberikan kemampuan tambahan pada Throne yang mereka miliki.

    Komisi Pemilihan Pemimpin melakukan upgrade terhadap Throne para calon pemimpin, atau memberikan Throne pada calon pemimpin yang belum memilikinya.

    Masa kampanye dalam Coronation berlangsung selama 4 bulan. Ini adalah masa duel politik dan popularitas antar calon pemimpin. Pada masa ini, para calon pemimpin dilarang menyerang calon pemimpin lainnya. Pelanggaran akan membuat sang calon pemimpin kehilangan haknya dan akan dihukum berat sesuai Undang-Undang Anti Penyalahgunaan Throne. Namun pelanggaran yang sering terjadi adalah partai pendukung atau simpatisan para pemimpin saling serang atau berusaha membunuh calon pemimpin lawan.

    Masa duel fisik yang berlangsung selama 1 bulan. Pada masa ini, para calon pemimpin melakukan duel terjadwal dengan calon lainnya di stadion khusus. Dalam duel ini, Throne boleh digunakan untuk melukai atau bahkan membunuh lawan. Meskipun tidak ada hukuman bagi calon pemimpin yang membunuh calon lainnya, biasanya pemimpin yang melakukan ini akan mengalami penurunan popularitas.

    Tahap terakhir adalah penobatan dan penyerahan Corona pimpinan negara oleh presiden/pemimpin Indonesia saat itu. Upacara penobatan dilaksanakan secara terbuka dan disaksikan oleh puluhan ribu warga Indonesia.

    2. Wew...hanya 1 kata tapi bikin perubahan makna yang guedhe. Di file versi saia udah saia ubah, thanks :top: . Intinya sih para calon presiden ini harus tetap tebar pesona, visi, misi, dsb. Soalnya kan percuma klo dia naik tahta (aka jadi presiden), tapi ga ada yang dukung malah maunya pada berontak terus :onfire:
     
  7. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Wooow seru... meski tema bertarung untuk kekuasaan udah sering, tapi karena dibungkus dengan latar belakang yang unik (negara Indonesia) jadi terasa seru XD. Yang terasa janggal sih itu, kan pemilihan pemimpin pake pertarungan, ngapain cari pendukung segala... Klo emang pemimpin yang menang nantinya bisa ga dapat dukungan and mengakibatkan pemberontakan, ya berarti di situ ada kelemahan sistem dan seharusnya sistem itu ga bisa diterapkan. Sama aja kan klo misalnya yang menang yang pendukungnya dikit gimana?
     
  8. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :ehem:

    Seperti yang dijelaskan di atas:
    Ada banyak peraturan yang membatasi dan mengikat para calon pemimpin. Salah satunya (yang saia pikirkan) adalah mirip2 dengan yang berlaku saat ini, yaitu umumnya berada dibawah sokongan partai besar (atau koalisi partai2 kecil), dan partai2 pendukungnya itu harus mengikuti aturan berikut (masih dicomot dari undang2 pemilu yg berlaku saat ini):
    kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan; <-- tapi blom saia telaah lagi...malas baca dokumen UU :fufufu:

    Jadi rasanya sih walo pemimpin dari partai yg kurang diminati yg menang, ga akalan sampe terjadi pemberontakan deh (walo itu bagus jg bwat twist :elegan: ). Soalnya kan berdasarkan pola politik yg saia amati saat ini, klo ada orang kurang populer yg menang, bisa jadi 2: ada yg berusaha menggali2 kesalahannya atau yang kalah mendekati orang itu demi 'bagi2 kue'

    Cuma memang konsep dalam Coronation ini masih saia rombak dan perkokoh terus, soalnya masih banyak potensi plot-hole dlm konsep detail dunia politiknya (yang masih saia pelajari, krn saia bkn orang ahli politik :peace: ). Jadi, thanks sudah bertanya :top:
     
  9. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 1 : Parade Bencana

    Parade Bencana Part 2


    Ketika kesadarannya kembali, tahu-tahu Rena sudah terbangun di atas aspal jalanan yang terasa panas membara. Sekujur tubuhnya terasa nyeri seperti baru dipukuli oleh sesuatu. Awalnya dia bingung dan bertanya-tanya kenapa dia tiba-tiba saja berbaring di tengah jalan, terlebih karena dia sedang terkubur dibawah rongsokan besi dan karet yang terbakar.

    “Hei! Bangun!”

    Sebuah suara asing membuat Rena mengerang dan berusaha memutar tubuhnya, sayangnya itu membuat rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Dengan susah payah Rena akhirnya melihat seorang lelaki misterius berpakaian putih sedang berjongkok di depannya. Lelaki itu tampak sibuk menarik tubuh Rena yang masih setengah tertimbun, sambil mengabaikan fakta bahwa timbunan itu masih panas membara.

    Dengan heran, Rena memandangi lelaki itu dengan seksama. Tadinya dia mengira lelaki yang berusaha menolongnya itu Herman, tapi ternyata bukan. Pakaian yang dikenakannya itu jelas-jelas berbeda sama sekali dengan rekan satu partainya itu.

    “Siapa...?” tanya Rena lirih.

    “Jangan banyak tanya, ayo bangun!”

    Sambil bicara, lelaki itu menarik tubuh Rena dengan sebelah tangan dan memaksanya keluar dari tumpukan besi yang menimpa tubuhnya. Rena mengerang ketika lengannya ditarik paksa. Meskipun hanya dengan satu tangan, ternyata si lelaki misterius itu dengan mudah berhasil mengeluarkan Rena.
    Segera setelah dirinya terbebas dari beban berat yang menghimpitnya tadi, Rena berusaha bangkit dan terdiam. Dia segera menyadari bahwa dia sedang duduk di dekat rongsokan mobil yang dia tumpangi tadi. Mobil mewah buatan Eropa itu kini sudah berubah jadi onggokan besi membara.

    “Apa yang terjadi!?”

    Rena menjerit sambil menutup mulutnya. Dia masih bingung karena syok. Dengan cepat Rena memandang ke segala arah dan tertegun sejenak melihat sebuah perisai logam raksasa berdiri tegak tidak jauh di hadapannya. Perisai yang sejatinya berwarna putih susu itu, kini berwarna kehitaman akibat terkena ledakan. Rena segera mengenali perisai itu sebagai Abarona, Throne miliknya. Seketika itu juga dia ingat apa yang baru saja terjadi, dia tadi ditembak dengan meriam tank oleh seorang pria misterius. Untungnya Rena sempat mengeluarkan Abarona, kalau tidak dia pasti sudah mati. Berkat kekuatan perlindungan dari Throne miliknya itu, dia tidak mengalami luka serius meskipun sudah ditembak dengan meriam dan terkubur dibawah rongsokan mobil yang terbakar.

    Ketika berhasil mengingat kejadian yang baru menimpanya, Rena buru-buru memandang ke depan, tepatnya ke arah orang yang tadi menembak mobilnya. Dia terkejut ketika mendapati pria-tank-berjalan tadi sudah terkapar tidak bernyawa di tengah jalan. Di sekelilingnya terlihat beberapa orang petugas berseragam hitam, sedang mengacungkan senjata-senjata canggih. Tubuh para petugas itu tampak diselimut oleh rompi logam dan sebuah makhota merah melayang rendah diatas kepala masing-masing.

    Detasemen 219! Rena berseru lega dalam hati.

    Sebelumnya dia tidak pernah begitu gembira melihat para petugas dari satuan Anti-Penyalahgunaan Throne, tapi saat ini dia senang orang-orang itu ada di dekatnya. Sepertinya tadi para petugas Detasemen 219 segera bertindak cepat setelah si pria-tank-berjalan menembak mobil Rena. Kalau melihat dari kondisinya, orang yang tadi nekat menyerang menggunakan Throne itu sudah mati. Genangan darah tampak terbentuk disekitar tubuh pria kekar itu, sementara pelat-pelat baja yang melindungi tubuhnya sudah berlubang-lubang seperti bekas diterjang peluru.

    “Kau tidak apa-apa?”

    Perkataan itu langsung menyadarkan Rena, bahwa dia tidak sendiri. Dengan segera dia menoleh dan menatap tepat ke arah wajah lelaki misterius yang tadi menyelamatkannya. Lelaki itu balas menatap ke arahnya dengan kedua matanya yang berbeda warna. Dengan segera Rena menyadari kalau wajah pria itu dihiasi bekas luka melintang di mata kirinya yang berwarna keemasan. Dia juga dengan cepat menyadari kalau pria itu juga hanya memiliki satu tangan.

    “Ku...kurasa tidak...” Rena akhirnya menjawab pertanyaan lelaki misterius di hadapannya itu. “Siapa kau?”

    “Saga,” balas lelaki itu singkat. Dia lalu berdiri dan membalikkan badannya. “Sebaiknya kau segera menyingkir dan pergi ke dokter. Walau tidak terluka parah, memar dan luka bakar ringanmu itu sebaiknya segera diobati.”

    Segera setelah mengatakan itu, Saga berjalan meninggalkan Rena yang masih terduduk diam di tengah jalan.

    “Tunggu dulu! Jangan pergi!”

    Rena berseru sambil berdiri, tapi karena tubuhnya masih lemas, dia langsung jatuh tersungkur di atas aspal. Tanpa bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa melihat sosok Saga yang berjalan menjauh dan segera menghilang diantara kerumunan warga Ternate yang mulai berkumpul dekat tempat kejadian. Ekspresi wajah mereka tampak bercampur antara penasaran, takut, dan iba. Sambil menggeram pelan dan mengerahkan segenap tenaganya, Rena akhirnya berhasil berdiri, meski sambil terhuyung-huyung. Dia lalu memandang berkeliling dan menyadari kalau trotoar jalan utama kota Ternate itu sudah dipenuhi warga yang datang untuk menonton. Tapi diantara mereka, Rena juga bisa melihat ada warga yang terluka, mungkin akibat ledakan atau akibat pertarungan antara si pria-tank-berjalan dengan anggota Detasemen 219.

    Aduuh...kenapa bisa jadi seperti ini?!

    Sambil menyingkir dari rongsokan mobilnya, Rena menjangkau ke atas kepalanya, tepatnya ke arah sebuah mahkota logam berwarna coklat keemasan yang melayang rendah di atas sana, yang tidak lain adalah sebuah Corona, bagian dari sistem Throne yang tadi dia gunakan untuk mempertahankan dirinya. Mahkota di atas kepalanya itu langsung berpendar seiring dengan sentuhan tangan Rena. Corona itu lalu berubah bentuk kembali menjadi gelang perak di pergelangan tangan gadis itu. Pada saat yang sama, perisai raksasa yang berdiri tegak diantara reruntuhan mobil Rena langsung terurai jadi serbuk perak yang bertebaran di udara.

    Selama sejenak Rena merenungi kejadian yang baru saja menimpanya itu. Dia tidak habis pikir. Tadinya dia mengira hari ini akan jadi hari sibuknya seperti biasa dan tidak pernah membayangkan akan terjadi kejadian menakutkan seperti ini.

    Tanpa sadar, dadanya terasa sesak dan dia ingin menangis.

    “Rena!”

    Untunglah suara panggilan dari Herman langsung membuat Rena mengurungkan niatnya untuk menangis. Dia tidak mau terlihat konyol di hadapan rekannya itu. Sambil mengusap matanya, dia berbalik ke arah Herman.

    Pria dengan setelan jas itu kini tampak kusut dan berantakan. Jas yang biasanya rapih itu kini robek-robek dan terlihat kotor bukan main. Debu dan tanah menghiasi tubuh dan sebagian wajah Herman.

    “Kau tidak apa-apa?!” seru Herman sambil bergegas menghampiri Rena. Dia lalu berputar sekali di sekitar gadis itu dan memeriksa tubuh Rena dengan seksama, dan tentu saja itu membuat Rena merasa risih.

    “Apa-apaan sih!” geram Rena sambil mendorong Herman agar menjauh darinya. “Aku tidak apa-apa! Abarona menyerap sebagian besar ledakan, jadi aku tidak terluka parah.”

    Herman langsung mengusap dadanya dan menghela nafas lega.

    “Syukurlah kau masih hidup,” ujarnya sambil tersenyum tipis. Dia lalu melirik sejenak ke arah rongsokan mobil yang tadi dia tumpangi. “Sayangnya sopir kita tadi tidak bernasib baik...”

    Seketika itu juga Rena merasa lehernya tercekat. Dia baru menyadari itu dan merasa amat bersalah karena tidak bisa melindungi sang sopir. Padahal Rena memiliki Throne yang khusus dibuat sebagai alat perlindungan dan seharusnya dia bisa menyelamatkan nyawa sopir yang tidak bersalah itu. Tapi dia tidak melakukan itu dan justru sibuk menyelamatkan dirinya sendiri.

    Meskipun sebenarnya dia tidak bersalah atas kematian sopir mobilnya itu, Rena tidak bisa menyingkirkan pikiran bahwa dialah penyebab terbunuhnya pria itu. Dalam sekejap, emosi yang tadi berusaha dia tahan, kini langsung mencuat ke permukaan.

    Tanpa bisa membendung emosinya, Rena mulai menangis tanpa suara.

    ϕ ϕ ϕ

    Short part :nikmat:
     
  10. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    ya sama-sama kk! :top:

    wih, chapter 2 nya juga menarik, gaya bahasa dan struktur kalimatnya sangat nikmat dan mudah diserap... saya sendiri masih bingung ni bikin kalimat yang enak dan sedikit pengulangan kata.

    tapi ngomong-ngomong itu rombongan capresnya uda pada pergi duluan ninggalin Rena ya? kasian amat ditinggal sendiri, sampe-sampe yang nolongin malah pria misterius...


    btw minta komentarnya juga dong untuk (calon) novelku :hahai:

    http://forum.indowebster.com/showthread.php?t=404180
     
    Last edited: Mar 27, 2013
  11. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 1 : Parade Bencana

    Parade Bencana Part 3

    “Jadi siapa sebenarnya orang yang mencoba membunuh kami tadi?”

    Rena bertanya pada seorang petugas polisi di hadapannya. Saat ini dia sedang berada di rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan medis. Meskipun berkeras bahwa luka-lukanya tidak serius, tapi Herman terus mendesaknya agar pergi berobat ke rumah sakit. Tidak lama setelah dia mendapatkan perawatan dengan injeksi Nanites Penyembuh, dua orang petugas polisi menghampirinya untuk meminta keterangan. Rena tentu saja menceritakan apa yang terjadi padanya, termasuk kemunculan seorang lelaki bertangan satu misterius yang menariknya keluar dari rongsokan mobilnya.

    “Maaf, tapi kami masih belum tahu pasti.” Polisi yang menanyai Rena menjawab sambil mematikan layar komputer tablet di tangannya. “Tapi yang jelas Throne yang digunakan pelaku tidak dijual bebas di Indonesia. Tipe seperti itu hanya boleh digunakan oleh tentara angkatan darat.”

    “Begitu?” gumam Rena. “Bagaimana dengan Saga, lelaki bertangan satu yang menyelamatkanku tadi?”

    “Sekali lagi maaf, kami belum mendapat keterangan lebih lanjut mengenai jati dirinya,” jawab petugas polisi itu lagi. “Tapi kami pasti akan menghubungi anda kalau ada informasi baru mengenai kasus ini.”

    Rena mengangguk sambil berterima kasih.

    “Kalau begitu kami permisi dulu,” ujar polisi itu lagi.

    Setelah merasa mendapatkan informasi yang cukup, dia dan rekannya segera berjalan keluar dari ruang perawatan dan meninggalkan Rena yang masih duduk termenung di pinggir dipan rumah sakit. Sembari memandangi luka-luka ringannya mulai tertutup berkat injeksi Nanites Penyembuh yang dia dapatkan tadi, dia tidak berhenti memikirkan kejadian menakutkan yang baru saja menimpanya tadi.

    Ketika Rena sedang sibuk berpikir, seorang perawat masuk ke dalam ruangan dan memberitahunya bahwa dia sudah bisa pulang. Tapi perawat itu meminta Rena untuk kembali ke rumah sakit besok, terutama jika dia merasakan ada reaksi alergis dari injeksi yang diterimanya. Setelah mengisi sebuah formulir, Rena bergegas keluar ruangan dan kemudian meninggalkan rumah sakit dengan mengenakan bis umum. Sebenarnya dia bisa saja memanggil sebuah taksi untuk mengantarkannya langsung ke rumah, tapi gara-gara kejadian tadi, dia jadi takut naik mobil.

    Di dalam bis yang dia tumpangi, Rena terus mendengar orang-orang bicara soal peristiwa penyerangan yang menimpa konvoi kendaraan partai Inbastu. Ternyata beritanya sudah menyebar luas, maklum saja, di era teknologi tingi saat ini informasi bisa tersebar ke seluruh penjuru dunia dalam waktu sepersekian menit. Tapi perkembangan teknologi juga menyebabkan sistem persenjataan semakin canggih, seperti halnya Throne yang dimiliki Rena serta yang digunakan oleh pria asing yang mencoba membunuhnya tadi siang.

    Dia lalu memandangi gelang logam yang melingkar di pergelangan tangannya. Dalam kondisi tidak dipakai, Throne hanya akan berbentuk seperti sebuah gelang perak biasa. Namun ketika digunakan, nano-robot atau nanites yang tersimpan di gelang itu akan merakit ulang bentuk Throne beserta sistem kendalinya yang berbentuk mahkota, atau Corona. Kemudian dengan menggunakan energi yang berasal dari kristal Dithylium, keseluruhan sistem Corona dan Throne itu akan bekerja dengan efektivitas yang tergantung dari tingkat sinkronisasi dengan penggunanya.

    Ketika mengingat-ingat kejadian tadi siang, Rena kembali merinding.

    Dia benar-benar beruntung karena bertindak pada saat yang tepat, hingga berhasil selamat. Kalau tidak, mungkin saat ini dia sudah dikuburkan di pemakaman yang terletak jauh di lereng gunung Gamalama sana.

    “Pemberhentian selanjutnya, halte Distrik 28. Silahkan periksa barang bawaan anda, jangan sampai tertinggal di dalam bis. Terima kasih.”

    Suara pengumuman itu membuat Rena tersadar dari pemikirannya. Dia buru-buru berdiri dan keluar dari bis, tepat ketika pintunya terbuka. Dengan langkah cepat, Rena berjalan menuju ke arah rumahnya yang berada di sebuah kawasan pemukiman lama di sisi utara kota Ternate. Matahari sudah mulai terbenam dan cahaya temaram dari lampu jalanan membuat suasana terasa sedikit mencekam. Sambil mempercepat langkahnya, Rena menyusuri jalanan yang selalu dia lalui setiap pagi, dan tidak lama kemudian dia sampai di depan rumahnya.

    Tidak seperti kebanyakan rumah di pemukiman itu, rumah milik Rena terlihat mungil namun memiliki halaman yang cukup luas dan ditumbuhi berbagai macam tanaman hias. Sebuah kolam ikan kecil juga terlihat tertata rapih di dekat bangku taman yang terbuat dari besi.

    Sekilas tidak terlihat ada pagar pembatas di sekitar rumah itu, tapi begitu Rena melangkah melewati halaman rumahnya, sebuah layar holografis langsung muncul di pintu depan rumah itu. Nyaris tanpa berpikir, Rena meletakkan tangannya di layar itu dan membuka pintu. Segera setelah masuk ke dalam rumah, Rena merebahkan tubuh di sofa ruang tamunya.

    Dia merasa lelah sekali dan proses penyembuhan dengan terapi injeksi Nanites Penyembuh selalu membuatnya mengantuk. Sebenarnya tidak baik baginya untuk tidur di ruang tamu seperti ini, tapi dia sudah tidak peduli. Tubuhnya sudah terlalu lemas untuk digerakkan, jadi tanpa pikir panjang, Rena menutup kedua matanya dan langsung jatuh tertidur.

    Sayang dia tidak bisa menikmati istirahat dengan tenang, karena tiba-tiba saja dia mendengar suara nyaring dari halaman depan rumahnya. Meskipun tengah tertidur, tapi Rena langsung terbangun mendengar suara gaduh itu.

    Apa itu?! serunya panik sambil duduk dan memandang ke segala arah. Dia lalu menyadari bahwa seluruh sudut rumahnya gelap gulita, seperti ada yang baru saja mematikan seluruh lampu rumahnya.

    “Nyalakan lampu!” Rena berdiri sambil berseru dan menepukkan tangannya dua kali, tanda bagi komputer pengatur rumahnya untuk menyalakan lampu. Tapi tidak ada yang terjadi, rumah kecil itu masih gelap total.

    Mati lampu? gumam Rena dalam hati. Dia lalu meraih ponsel di saku blusnya dan menyalakan layar holografis ponsel itu sebagai penerangan. Walaupun tidak terlalu terang, setidaknya kini dia bisa melihat sedikit lebih jelas dalam kegelapan yang nyaris pekat ini.

    Rena baru bermaksud untuk memeriksa sakelar listrik rumahnya, tapi dia lalu melihat sesuatu yang berkilat dari sudut matanya. Meskipun tidak terlihat dengan jelas, tapi Rena dengan mudah menyadari benda itu mirip sebilah sebilah pedang...dan benda itu kini sedang melesat ke arahnya.

    Tanpa pikir panjang, Rena melompat menghindar, hanya untuk membentur tembok dengan keras. Untung yang membentur tembok adalah pundaknya, bukan kepalanya. Meskipun sempat menjerit kesakitan, Rena bergegas bangkit karena tahu dia sedang diserang oleh seseorang atau sesuatu.

    “Siapa itu?!” Sambil berseru panik, Rena menyapukan layar ponselnya ke arah penyerangnya. Cahaya temaram dari layar itu langsung menimpa sang penyerang dan memperlihatkan wujudnya.

    Rupanya orang yang menyerangnya itu adalah seorang pria kekar dengan jenggot tebal yagn tampak tidak terawat. Kedua matanya terlihat buas ketika dia memainkan sebilah golok panjang dengan kedua tangannya.

    “Cih! Meleset!” Pria berjenggot itu meludah ke lantai dan memutar senjatanya. Dibawah sorot layar ponsel Rena, golok tajam itu membuat kilatan cahaya yang menakutkan. “Yang ini pasti tidak meleset!”

    Tanpa peringatan pria itu mengayunkan senjatanya lagi ke arah Rena. Tapi karena sudah menduga akan diserang lagi, Rena berhasil menghindari serangan itu. Golok penyerangnya itu menebas tembok beton dan meninggalkan goresan dalam di sana. Melihat serangannya meleset lagi, pria yang menyerang Rena langsung mengumpat keras, sementara targetnya itu sudah melarikan diri keluar rumah.

    Siapa itu?! Kenapa dia mau membunuhku?! Rena menjerit panik dalam hati selagi dia membuka pintu dan menghambur ke halaman depan rumahnya. Tapi sesampainya disana, dia terperanjat karena melihat ada tiga orang asing sudah menunggunya diluar. Mereka semua tampak beringas, terutama karena masing-masing dari mereka membawa sebuah senjata tajam.

    “Loh? Kok dia lari keluar?”

    “Asik! Mangsa!”

    “Sini manis...main dengan abang!”

    Ketiga orang asing itu langsung menyapa Rena dan mulai berjalan mendekatinya. Tentu saja Rena tidak tinggal diam, dia bergegas menoleh ke arah lain dan mencari jalan untuk melarikan diri dari kepungan mereka. Sayangnya dia tidak sempat melakukan apapun, karena sebuah rantai logam tiba-tiba saja melesat dan melilit sebelah tangannya. Dengan satu sentakan kuat, rantai itu menariknya hingga dia terlempar ke belakang dan jatuh terlentang di atas rumput.

    Rena memandangi rantai yang membelit di kakinya itu dengan ngeri. Pandangannya lalu beralih ke arah datangnya rantai dan melihat sosok pria berjenggot yang kedua lengannya kini dibungkus pelindung logam. Tangan kanan pria itu tampak memegangi rantai yang melilit tangan Rena, sementara tangan kirinya memegangi sebuah golok yang panjang, tebal dan tajam. Melihat itu, Rena semakin ketakutan karena sepertinya orang yang berhasil menangkapnya itu tengah mengenakan sebuah Throne.

    “Ketangkep juga kau!” Si pria berjenggot berseru senang sambil menarik rantainya dengan kasar, membuat tubuh Rena tersentak dan terseret beberapa meter. “Nah, sekarang diamlah, biar kematianmu enggak terlalu menyakitkan.”

    Rena berontak sekuat tenaga, tapi rantai yang melilit tangannya itu benar-benar erat, hingga tidak tidak bisa melepaskan diri. Selain itu setiap kali dia berontak, pria berjenggot yang menangkapnya itu selalu menarik rantainya dengan kuat, hingga membuat Rena tersentak dan jatuh.

    Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin! Rena menjerit dalam hati selagi empat orang penyerangnya itu bergerak mendekat. Mata-mata mereka tampak buas dan jelas ini tidak akan berakhir hanya dengan pembunuhan semata.

    “TOLONG!!”

    Akhirnya Rena menjerit sekuat tenaga, berharap ada yang mendengar dan berusaha menolongnya. Sayangnya hari sudah malam dan rasanya tidak akan ada tetangga yang mendengar teriakannya, terutama kalau rumah-rumah mereka dibatasi tembok-tembok yang tinggi dan tebal.

    Ternyata keempat orang yang menyergap Rena menyadari hal itu. Mereka tadi sempat kaget ketika mendengar suara jeritan Rena yang cukup keras, tapi kini mereka tengah tersenyum senang karena tidak ada yang mengindahkan jeritan minta tolong itu.

    “Menjeritlah sesukamu, manis, toh tidak akan ada yang dengar.” Si pria berjenggot bicara sambil tersenyum, memperlihatkan barisan gigi yang tidak rapih dan berwarna kekuningan. “Sudah...menyerah saja!”

    “Benar...ini nggak terlalu sakit kok,” timpal seorang rekan pria itu sambil menjilat bibirnya. “Eh...ngomong-ngomong kau cantik juga...”

    Rena semakin ketakutan mendengar ucapan orang-orang itu. Dalam hati dia berdoa agar mereka langsung membunuhnya saja dan tidak melakukan hal lain kepadanya.

    “Ayo, jangan lama-lama bos! Sini biar kusikat dia!” Rekan si pria berjenggot lainnya langsung berkomentar sambil memainkan sebilah celurit di tangannya. Dia lalu berdiri di depan Rena dan mengangkat senjata itu diatas kepalanya. “Da~dah!”

    Tanpa bisa berbuat apa-apa lagi, Rena hanya pasrah dan menutup matanya, berharap kematiannya tidak terasa terlalu sakit. Tapi alih-alih mendengar dirinya sendiri menjerit kesakitan, dia malah mendengar jerit kesakitan dari pria di depannya.

    Perlahan-lahan Rena membuka matanya dan melihat seorang lelaki berpakaian serba putih berdiri di hadapannya. Meskipun dia tidak memperlihatkan wajahnya, tapi Rena bisa mengenali kalau lelaki itu adalah Saga, orang yang menyelamatkannya dari rongsokan mobil dalam serangan tadi siang. Saga berdiri tegak di samping Rena, sementara pria bercelurit tadi sudah terkapar tidak sadarkan diri.

    Walaupun merasa lega karena ada yang datang menolongnya, tapi Rena merasa heran, bagaimana lelaki itu bisa datang tepat pada waktunya seperti ini?

    “Hei! Siapa kau, keparat?! Jangan ganggu kalau ga mau mati!” Si pria berjenggot yang mengenakan Throne langsung berseru pada Saga. Sambil mengibaskan sebelah tangannya, pria itu menarik kembali rantai yang tadinya melilit lengan Rena. Tapi Saga sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, dia malah menatap ke arah lawannya dengan tatapan datar, nyaris tanpa emosi.

    “Siapa aku tidak penting,” sahut Saga dengan tenang. “Yang jelas, berhentilah mencoba membunuh gadis ini. Dia tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa.”

    Si pria berjenggot terdiam sejenak kemudian memicingkan matanya sambil mengangkat tangan kirinya yang terbungkus pelindung logam. Selama sejenak pria itu sengaja memamerkan Throne miliknya kepada Saga.

    “Dengar, aku enggak peduli kau siapa. Tapi kalau kau nekat menghalangi kami, kau bakalan menyesal!” Tanpa peringatan, pria itu mengayunkan tangannya ke arah Saga. Sebuah rantai logam langsung meluncur keluar dari tangan logam itu.

    Saga sudah menduga dia akan diserang. Begitu lawannya menembakkan rantai ke arahnya, dia berputar menghindar kemudian berlari maju dan menghantam dagu lawannya itu dengan sebelah tangan. Meskipun hanya dengan satu tangan, tapi kekuatan pukulannya itu sanggup membuat pria kekar berjenggot itu terlempar ke belakang dan jatuh tidak sadarkan diri.

    Selesai melumpuhkan satu lawannya, dia berbalik ke arah satu-satunya lawan yang tersisa.

    “Bagaimana? Mau terus?” tanya Saga sambil menujuk ke arah pria lusuh yang kini berdiri ketakutan. Sayangnya pria itu tidak lantas lari, dia malah berteriak keras seperti orang gila sambil menerjang ke arah Saga. Tentu saja itu tindakan konyol, karena satu tendangan keras dari sepatu berlapis baja yang dikenakan Saga langsung membuat pria itu tidur nyenyak.

    “Nah...beres.” Saga bergumam sambil berbalik dan menghampiri Rena yang masih terbaring di atas rumput. “Kau tidak apa-apa?”

    Rena terdiam memandangi sosok lelaki di hadapannya itu. Dia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan orang itu, terlebih dia tidak pernah membayangkan kalau Saga akan menyelamatkan nyawanya dua kali.

    “Ti...tidak...” Rena menjawab sambil berdiri perlahan-lahan. Dia lalu membersihkan rumput dan tanah yang menempel di pakaiannya, setelah itu barulah dia mau menatap ke arah Saga. “Terima kasih karena telah menyelamatkanku...dua kali. Aku sama sekali tid...”

    “Kenapa tidak menggunakan Throne-mu?” Saga memotong perkataan Rena selagi dia memeriksa salah seorang yang mencoba membunuh gadis itu. “Aku tahu kau punya sebuah Throne. Walaupun bentuknya perisai, benda itu kan bisa digunakan untuk mempertahankan diri. Kenapa tidak dipakai?”

    Rena melongo mendengar ucapan Saga. Benar sekali, dia memang memiliki sebuah Throne. Tapi karena panik dan ketakutan, Rena sampai lupa untuk menggunakan alat canggih itu untuk memblea diri. Menyadari hal itu, dia rasanya ingin sekali mengubur kepalanya dalam tanah karena malu dan merasa dirinya amat sangat bodoh.

    “A...aku...”

    “Panik. Takut. Itu wajar,” potong Saga lagi. Dia lalu mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam saku salah seorang lawannya. “Sepertinya kau ini populer sekali ya. Dua kali dalam sehari ada yang mencoba membunuhmu. Pastinya kau ini orang penting.”

    Sekali lagi Rena dibuat melongo oleh perkataan Saga.

    “Apa?!” balasnya spontan.

    Saga berbalik dan memandang heran ke arah Rena. “Kubilang kau pasti orang penting karena sudah ada dua kali percobaan pembunuhan terhadap dirimu,” ujar Saga sambil memainkan ponsel yang dia temukan tadi.

    Rena hanya bisa terdiam. Dia sama sekali tidak mengerti apa maksud Saga. Orang penting? Rena memang bisa digolongkan sebagai orang penting di partai Inbastu, terutama karena posisinya sebagai sekertaris ketua partai. Tapi dia tidak pernah membayangkan ada yang akan mencoba membunuhnya. Rasanya tidak masuk akal!

    “Itu tidak mungkin!” bantah Rena sambil berjalan menghampiri Saga. “Siapa yang ingin membunuhku dan untuk apa?”

    Saga mengangkat bahunya.

    “Entahlah,” sahutnya enteng. “Siapapun dia, orang yang ingin kau mati itu punya koneksi yang bagus dengan para perompak di perairan Ternate. Coba lihat ini.”

    Sambil bicara, Saga mengangkat sebuah pin logam yang bergambarkan seekor ikan yang ditusuk dengan tombak oleh sosok seperti hantu. Rena mengenali pin itu sebagai lambang salah satu kelompok perompak yang selama setengah tahun ini sangat meresahkan warga Ternate. Mereka terkenal sangat kejam karena tidak segan untuk membunuh penumpang kapal yang dibajak, dan juga terkenal licin karena keberadaan mereka sangat sulit dilacak, bahkan oleh angkatan laut sekalipun.

    “Hantu Laut,” gumam Rena sambil menutup mulutnya karena ngeri. “Itu lambang perompak sadis yang sering beraksi di perairan Ternate...”

    Saga tersenyum tipis mendengar penuturan Rena. Dia lalu memainkan pin yang dia pegang sejenak sebelum akhirnya menyelipkan benda itu ke saku jaket panjangnya. Lelaki itu kemudian berdiri dan menoleh ke arah rumah Rena, yang saat ini masih gelap gulita.

    “Baiklah, aku butuh komputer,” ujar Saga sambil berpaling ke arah Rena yang tampak bingung. Sebelum gadis itu bertanya, Saga sudah menjelaskan maksud perkataannya. “Aku mau melacak orang yang mengirim para perompak ini untuk menghabisi nyawamu. Jadi, apa kau punya komputer?”

    Rena mengangguk kebingungan.

    “Bagus! Ayo, jangan buang-buang waktu!” Saga berkata sembari berjalan ke arah rumah Rena.

    Tanpa berkata apapun, Rena berjalan mengikuti Saga. Dia masih tidak tahu masalah apa yang sebenarnya sedang menimpanya ini. Tapi untuk saat ini, yang jelas dia ada dalam bahaya dan Saga berniat membantunya. Meskipun Rena masih tidak tahu siapa Saga dan apa alasan lelaki mau membantunya, tapi untuk saat ini dia harus percaya padanya.

    Selagi berjalan ke arah rumahnya, entah apa sebabnya Rena merasa dirinya sedang berjalan menuju ke kubangan masalah besar yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan itu membuatnya merasa semakin ketakutan.

    Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa terlibat urusan semacam ini?! keluh Rena dalam hati. Tapi dia memutuskan untuk tidak banyak berkomentar dan berjalan mengikuti Saga.

    Setibanya di dalam rumah, Rena mendapati kalau listrik di rumahnya masih padam. Setelah memeriksa kotak sekering di belakang rumah, dia mengetahui kalau para perompak yang berusaha membunuhnya tadi sudah memutus aliran listrik. Ternyata itu yang membuat semua sistem pengamanan di rumahnya tidak berfungsi, sehingga para penjahat itu bebas masuk tanpa memicu alarm anti-maling yang terpasang di sekitar rumah Rena.

    Setelah mengembalikan aliran listrik rumahnya, Rena kembali ke dalam rumah dan terkejut ketika mendapati Saga sudah duduk di depan komputer pribadinya. Entah bagaimana caranya, lelaki itu sudah menembus layar sandi yang biasanya muncul ketika komputer canggih milik Rena itu dihidupkan.

    Kini Rena tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati Saga mengutak-atik komputer miliknya itu. Lelaki itu tampak serius selagi jemarinya mengetikkan baris-baris perintah di keyboard holografis yang terpancar di atas meja. Tiga buah layar holografis yang melayang di hadapan Saga terlihat menunjukkan tiga hal yang berbeda. Satu layar terus menunjukkan baris-baris program yang tidak diketahui Rena, sementara dua layar lainnya tidak henti-hentinya membuka dan menutup berbagai jendela aplikasi.

    “A...apa yang kau lakukan?” Rena bertanya takut-takut pada Saga. Dia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang dikerjakan oleh lelaki bertangan satu itu.

    Saga berhenti sejenak dan menoleh ke arah Rena. “Mencari tahu siapa yang mengirim para perompak itu.” Dia lalu menunjuk ke arah ponsel milik salah seorang perompak, yang kini terhubung ke komputer milik Rena. “Dengan memanfaatkan rekaman panggilan di ponsel itu, aku bisa tahu siapa saja yang pernah menelpon si perompak itu.”

    “Bukannya kau tinggal lihat nama dan nomor yang tertera di rekaman itu?” tanya Rena lagi.

    “Maunya sih begitu,” jawab Saga. “Tapi siapapun yang mengirim para perompak ini tidak bodoh. Dia menggunakan nama sandi ‘bos’ dan nomornya ternyata sulit dilacak dengan cara biasa.”

    Mau tidak mau Rena merasa kagum dengan kemampuan Saga. Meskipun lelaki itu jelas-jelas cacat, tapi itu tidak menghalanginya untuk memiliki keahlian yang cukup mengagumkan. Setidaknya untuk saat ini dia tahu kalau Saga sepertinya adalah seorang ahli bela diri dan seorang hacker, atau peretas komputer. Ini membuatnya semakin penasaran dengan jati diri Saga.

    “Jadi...siapa kau sebenarnya?” tanya Rena penasaran.

    Saga berhenti sejenak, kemudian berpaling ke arah gadis di sampingnya itu dan mengangkat telunjuknya di depan muka.

    “Aku Saga, orang yang akan segera memimpin negeri ini,” ujarnya dengan nada serius.

    “Hah?” balas Rena spontan. “Siapa?”

    “Lupakan saja,” ujar Saga sambil berbalik menghadap komputer milik Rena. “Kau tidak usah memusingkan siapa aku. Lebih baik kau fokus dengan percobaan pembunuhanmu ini. Pikirkan siapa yang punya dendam padamu.”

    Meskipun kecewa, tapi Rena menuruti perkataan Saga dan berhenti bertanya selagi lelaki itu bekerja. Tapi tiba-tiba saja dia menyadari sesuatu.

    “Tunggu dulu! Kau bilang dua percobaan pembunuhan?” tanya Rena. “Kapan yang pertama?”

    Sekali lagi Saga berhenti sejenak, kemudian menoleh ke arah Rena. Dia seolah heran karena mendengar kalau Rena tidak menyadari kapan pertama kali gadis itu menjadi sasaran pembunuhan oleh seseorang.

    “Jangan konyol,” celetuk Saga. “Yang pertama kali tentu saja tadi siang, waktu ada orang yang menembak mobilmu dengan meriam tank di Throne-nya.”
    Rena terkesiap kaget.

    “Tidak mungkin orang itu mengincarku!” bantah Rena. “Orang itu gila! Pasti hanya kebetulan dia lari ke jalan tepat sebelum mobilku melintas!”

    “Kenapa kau begitu yakin?” tanya Saga sambil menatap lurus ke arah mata Rena. Sorot mata Saga yang berbeda warna itu membuat Rena merinding.

    “Kalau dia memang orang gila, mustahil dia bisa mengendalikan Throne-nya. Kalau dia ingin menghentikan parade kampanye, kenapa dia tidak mengincar mobil yang paling depan atau yang di tengah rombongan? Kalau dia berniat memastikan partaimu gagal mengikuti pemilu tahun ini, kenapa tidak langsung tembak saja mobil pimpinan partaimu?” Saga bicara sambil menarik poni rambutnya dan tersenyum tipis.

    Rentetan pertanyaan Saga membuat Rena tertegun. Dia sama sekali tidak memikirkan soal itu sebelumnya. Tadinya dia hanya mengira kalau orang yang menyerangnya tadi siang itu hanya sekedar menembak dengan membabi-buta, tanpa ada sasaran yang jelas. Tapi mendengar perkataan Saga, Rena mulai memikirkan kemungkinan kalau dia memang yang diincar dalam serangan itu.

    “Tapi kenapa?” gumam Rena lagi. Dia masih tidak percaya kalau dirinya memang benar diincar oleh seseorang. Sayangnya kejadian yang menimpanya berturut-turut dalam sehari ini membuktikan kalau itu memang benar.

    “Jangan tanya aku,” jawab Saga sambil kembali bekerja. Dia lalu berhenti sejenak dan tersenyum lebar sambil memandangi salah satu layar holografis di depannya. “Nah...selesai. Sekarang kita bisa lihat siapa dalang dibalik serangan tadi.”

    Saga lalu menekan sebuah tombol dan ketiga layar holografis yang tadi melayang di depannya itu mendadak menghilang, kemudian digantikan dengan sebuah layar besar yang menampilkan sebuah foto wajah seseorang.

    Begitu gambar itu muncul di udara, Rena tanpa sadar menutup mulutnya dengan kedua tangan dan berseru tertahan. Foto yang terpampang di layar itu tidak lain adalah foto Ivan Ratulangi, ketua partai Inbastu, partai tempat Rena bekerja dan mengabdi saat ini.

    “Mustahil!” serunya tidak percaya. “Ini tidak mungkin!”

    Rena melotot ke arah Saga sambil menunjuk ke arah layar holografis di sampingnya.

    “Jangan coba-coba membohongiku! Pak Ivan tidak akan melakukan hal semacam ini!” Rena membentak Saga sambil mengibaskan kedua tangannya. “Ini fitnah!”
    Saga menghela nafas, kemudian membalas perkataan Rena dengan nada datar, nyaris tanpa emosi.

    “Aku tidak bohong,” sahut Saga. “Orang bernama ‘bos’ dalam rekaman panggilan ponsel ini adalah Ivan Ratulangi. Rasanya tidak aneh kalau kubilang dialah orang yang menyuruh para perompak tadi untuk membunuhmu.”

    “Aku tidak percaya itu!” bantah Rena sambil setengah menjerit. “Pak Ivan tidak akan mencoba membunuhku! Dan kalau memang ini benar, apa alasannya?!”
    “Menurutmu apa alasannya?”

    Alih-alih menjawab, Saga justru melontarkan balik pertanyaan itu pada Rena dan membuat gadis itu terdiam seketika. Dia percaya bahwa ketua partainya itu tidak akan berbuat seperti ini padanya. Selama ini Rena tidak pernah membuat masalah dengan Ivan dan sebaliknya, sang ketua partai tidak pernah melakukan hal yang buruk pada Rena.

    “Aku...tidak...ini...kenapa...?” gumam Rena sambil berpegangan pada tembok. Mendadak kepalanya jadi berputar-putar karena syok.

    “Melihat reaksimu, sepertinya kau kenal dekat dengan orang ini.” Saga kembali bertanya pada Rena, yang masih sibuk menenangkan dirinya. Gadis itu mengabaikan pertanyaan Saga karena di dalam kepalanya sedang terjadi badai pertanyaan.

    Selama beberapa detik, Saga memandangi Rena yang kini tampak pucat karena sulit menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini dia kagumi ternyata ingin membunuhnya. Saga bisa memaklumi hal itu, tapi dia tidak bisa membiarkan Rena berlarut-larut kaget, syok, dan ketakutan. Dia butuh gadis itu untuk mencapai tujuannya.

    “Dengar, aku tahu kau sedang syok, tapi aku akan butuh bantuanmu,” ujar Saga sambil berdiri dan menghampiri Rena. “Aku ingin bertemu dengan orang yang bernama Ivan ini. Apa kau tahu dimana aku bisa menemuinya?”

    “Untuk apa?” tanya Rena lirih.

    “Aku punya urusan dengannya,” jawab Saga singkat. Dia lalu menatap sejenak ke arah Rena yang wajahnya terlihat sangat pucat. “Selagi aku mengurus urusanku, kau bisa menanyakan kebenaran ucapanku ini, langsung pada pria itu.”

    Rena memandangi Saga sejenak, dia sudah tidak tahu lagi harus mengatakan apa lagi. Segalanya terjadi begitu cepat dan dia tidak punya waktu untuk mempersiapkan diri.

    “Besok pagi akan kubawa kau menemuinya. Dia biasanya sudah datang pagi-pagi dan duduk di ruang kerjanya di lantai paling atas gedung kantor pusat Inbastu,” gumam Rena tanpa sanggup menatap Saga. Dia tidak mau lelaki itu melihat matanya yang berair karena mati-matian menahan tangisnya.

    Jawaban Rena membuat Saga tersenyum puas. Dia lalu menepuk pundak gadis itu dengan lembut dan kembali duduk di depan komputer. Tanpa berbalik, Saga berkata pada Rena yang masih bersandar di tembok.

    “Malam ini istirahatlah yang tenang. Kau butuh itu. Besok pagi kita akan sibuk, jadi jangan sia-siakan tenagamu.”

    Ucapan Saga membuat Rena menegakkan kepalanya dan memdang punggung lelaki itu. Saga bicara dengan santainya dan sekarang seolah-olah sudah menganggap dirinya sedang berada di rumah sendiri. Sebenarnya Rena tidak mau berada satu atap dengan lelaki yang tidak dia kenal seperti Saga, tapi kali ini dia tidak punya banyak pilihan selain mempercayai lelaki itu.

    “A...aku akan istirahat di kamarku...” Rena kembali bicara dengan nada lirih sambil berjalan perlahan ke arah kamar tidurnya. Kepalanya masih terasa pusing dan kedua kakinya terasa lemas, sehingga jarak yang dia tempuh ke kamarnya terasa seperti ratusan meter. Begitu sampai di dalam kamar, Rena membanting pintu hingga tertutup, kemudian melemparkan tubuhnya ke atas kasur.

    Sambil berbaring, Rena tidak henti-hentinya memikirkan soal rentetan kejadian yang menimpanya hari ini. Sulit dibayangkan bahwa pagi tadi segalanya masih normal dan baik-baik saja, tapi kini semuanya jadi kacau dan tidak terbayangkan olehnya.

    Tanpa sadar air mata mengalir di pipinya. Sembari menangis dalam diam, Rena berharap ini semua akan segera berakhir. Sayangnya dia tidak pernah tahu kalau parade bencana yang menimpanya hari ini adalah awal dari segala sesuatu yang akan terjadi selanjutnya.

    Rena tidak pernah tahu kalau pertemuannya dengan Saga akan mengubah takdir dan jalan hidupnya.

    ϕ ϕ ϕ
     
  12. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :matabelo: keren, twist nya bakal kompleks banget kek nya.

    waktu baca part 3 ini ada beberapa pertanyaan yang terlintas di kepala saya.
    1. itu temen2 satu partainya Rena kenapa nda ada yang jenguk dia di rumah sakit ya selain Herman? kesannya kayak nda ada yang peduli :onion-10: padahal orang-orang di bus aja uda pada tahu klo ada kejadian penyerangan di partai Inbastu.

    2. (ini pemikiran pribadi sih) alasan Rena untuk percaya sama Saga rasanya kurang kuat. Dalam pemikiran saya, Saga juga bisa saja menjadi pihak yang mencurigakan (mungkin lebih mencurigakan daripada Ivan), karena: 1. Saga selalu datang di saat orang lain belum sempat bertindak seolah-olah ia sudah berada di TKP dan tinggal menunggu saat2 untuk menjadi "Hero" (bisa aja para penjahat itu suruhan Saga). 2. Rena kan mengidolakan Ivan, apakah Rena dapat percaya begitu saja sama orang asing yang mengatakan Ivan mengincarnya, terlebih lagi setelah Saga mengatakan bahwa ia akan memimpin negeri ini.
    Dalam pemikiran saya (kalo saya berada dalam posisi Rena), Saga merupakan orang yang mengincar Ivan dengan mencari-cari celah dengan cara mendekati sekretaris Ivan yang nota bene mengetahui semua jadwal dan kebiasaan Ivan.

    :peace: hanya pemikiran pribadi sih, semoga membantu
     
  13. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :nongol:

    Sorry lama baru balas :swt:

    1. Hmm...berarti bagian ini harus di edit sedikit biar ada kesan klo anggota partai lainnya juga terlibat dan peduli dengan nasib si Rena dan Herman. Thanks karena udah nunjukin satu lagi plot hole :top:

    ..... tapi baru part ini aja potensi plot hole-nya udah bertebaran :madesu:

    2. Yep. Ini yang berusaha saia bangun di bagian ini, dimana si Rena yang awalnya ga percaya jadi percaya dengan si Saga. Posisi Saga yang terlihat kelewat misterius juga disengaja kok, supaya pembaca menduga2 siapa sih Saga sebenarnya :fufufu: Trus mudah2an twist (dan kejutan) di part selanjutnya bisa memuaskan anda :elegan:
     
  14. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    konspirasi.. konspirasi dimana2 :cambuk:

    masih awal cerita... ada misteri, ada pertempuran

    masih banyak teka - teki... terutama si Saga yang doyan ikut campur urusan orang nyelamatin sampe 2 kali :lalala:

    secara "kebetulan" bisa nongol di rumah Rena (atau sudah diikutin daritadi ya :hehe: atau mungkin mengikuti si hantu laut :tampan:)

    Throne itu itu umum kan? kenapa para bajak laut e ga pake Throne atau mungkin senjata api lain? Mengingat mereka itu perampok yang kejam. Masih pake golok tradisionil....biar greget begitu :???:

    mad dog mode
     
  15. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Konspirasi~! Konspirasi~! :lalala:

    Moga2 teknik onion-peeling yang lagi saia coba bisa berhasil :fufufu:

    :shock:

    Demn~! Baru nyadar flawed logic ini :madesu:

    *ngeles mode: ON :elegan:

    Tapi itu ada satu bajak laut yang pake Throne tuh, tp kelas rendah.
    Throne cukup umum, tapi regulasinya ketat dan ga semua orang boleh punya (dan sanggup beli tentunya). Jadi biarpun umum, ga terlalu banyak orang yang punya, kecuali orang2 kaya, penjahat profesional (macam hitman/asasin), petugas kepolisian (satuan khusus kayak Detasemen 219), tentara, bodyguard (ga semua, hanya yg berlisensi). En yang bisa dimiliki orang awam itu cuma yg kelas2 rendah (civilian grade).

    Dan emang kayak kata om Mad Dog: pakai pistol ga asik, kurang greget :cambuk:
     
  16. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 2 : Pilihan Hidup

    Pilihan Hidup part 1

    Ketika matahari terbit keesokan paginya, Saga terbangun perlahan-lahan dan dengan segera menyadari bahwa dia tidak tidur di tempat yang dia kenali.

    Lelaki itu mendapati dirinya sedang tidur di atas sofa sebuah rumah yang sama sekali asing baginya. Gaya interior rumah yang minimalis tampak sangat berbeda dari ruangan sempit dan agak berantakan yang biasa menyapanya setiap pagi. Sambil menguap dan meregangkan tubuh, Saga duduk dan matanya dengan segera terpaku ke arah layar holografis komputer yang masih melayang di udara.

    Semalam dia menghabiskan waktunya untuk menembus jejaring pengamanan yang melindungi gedung partai Inbastu. Dia berhasil membuat kunci elektronik duplikat yang membuatnya memiliki akses tertinggi dalam sistem keamanan gedung, sehingga dia bisa melumpuhkan beberapa bagian dari sistem tersebut. Ini semua harus dia lakukan untuk bisa menjalankan rencananya hari ini.

    Semoga semuanya berjalan lancar.

    Saga bergumam sambil berusaha merapikan pakaiannya yang terlihat agak kusut. Dia lalu berjalan menghampiri komputer milik Rena dan mencabut sebuah flash disk berbentuk kartu yang dia gunakan semalam. Selama beberapa saat dia menimang-nimang benda itu di tangannya.

    Di dalam kartu tipis itu tersimpan sebuah program khusus yang mampu mengelabui kebanyakan sistem pengamanan elektronik yang dijual di pasaran. Tentu program itu bukan jenis yang bisa dijual bebas, bahkan di pasar gelap sekalipun. Saga merasa beruntung karena mengenal baik orang yang membuat program dalam kartu itu.

    “Nah, saatnya membangunkan sang putri.” Saga bergumam sambil berjalan ke arah pintu kamar Rena. Selama beberapa detik dia memasang telinga untuk mengetahui apakah gadis itu sudah bangun atau belum, dan ternyata Rena masih tertidur pulas. Tidak terdengar suara apapun dari dalam kamar gadis itu.

    Begitu memutuskan bahwa Rena belum bangun, Saga langsung mengetuk pintu kayu kamar dengan keras. Ternyata suara ketukan itu ampuh untuk membuat Rena terbangun dari tidurnya, hanya saja reaksinya sama sekali tidak diduga oleh Saga.

    Sesaat setelah pintu kamar diketuk olehnya, Saga dikejutkan dengan suara dengung nyaring dan denting mekanis dari balik pintu. Bertahun-tahun mendengar suara itu membuat Saga melompat ke samping tanpa pikir panjang. Keputusannya tepat karena sebuah perisai raksasa mendadak menembus pintu dan menghancurkannya hingga berkeping-keping.

    “Wow!!” Saga berseru kaget sekaligus kagum melihat perisai berwarna putih mengkilat itu mendadak muncul di hadapannya. Dia langsung tahu kalau benda itu bukan perisai biasa, melainkan sebuah Throne. Dan dia sudah pernah melihat perisai itu sekali, waktu dia bertemu Rena untuk pertama kalinya.

    “Hei! Jangan mengeluarkan Throne-mu seenaknya, nanti ada yang terluka!” sambil tersenyum, Saga melontarkan protes pada Rena. Dia tahu kalau gadis itu pasti kaget mendengar ketukan keras di kamarnya dan memutuskan untuk menyerang sebelum membukakan pintu. Hal itu sebenarnya wajar saja, mengingat semalam dia nyaris dibunuh oleh sekelompok perompak.

    Sepertinya Rena mendengar seruan Saga, karena perlahan-lahan perisai yang memenuhi ambang pintu itu ditarik ke dalam. Sedetik kemudian Saga melihat kepulan debu berkilau keluar dari dalam kamar Rena, disusul dengan kemunculan sosok seorang gadis yang jelas terlihat kurang tidur. Kedua mata Rena tampak sayu dan rambut panjangnya yang biasa tertata rapi, kini terlihat berantakan. Sepertinya akan butuh banyak waktu sampai Rena bisa merapikan diri dan tampil dengan penampilannya yang seperti biasanya.

    Sayangnya Saga tidak berniat menunggu sampai Rena benar-benar siap. Begitu melihat gadis itu sudah bangun, dia langsung memberi isyarat padanya untuk segera bersiap dan pergi menemui Ivan, sesuai rencananya semalam.

    “Ayo cepat, waktu kita sempit. Kau harus segera membawaku ke hadapan Ivan,” desak Saga sambil berjalan ke arah sofa. Dia lalu mengenakan jaket yang tadi dia sampirkan di sandaran sofa dan kembali bicara pada Rena. “Aku tahu kau masih ragu dengan ucapanku, tapi semuanya akan hilang begitu kau bertemu dengan Ivan. Aku jamin itu.”

    Rena balas melotot ke arah Saga. Selama beberapa saat Saga mengira kalau gadis di hadapannya itu akan tiba-tiba saja menerjang maju dan menyerangnya. Tapi akhirnya Rena hanya menarik nafas panjang, membuangnya, kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya. Tidak butuh waktu lama sampai gadis itu muncul kembali dengan penampilan yang lebih layak.

    “Aku siap...” ujar Rena. Nada bicaranya terdengar lebih tegas, meskipun Saga masih menangkap ada keraguan dari caranya bicara. Setidaknya saat ini gadis itu lebih tenang daripada semalam, dan itu membuat Saga merasa lega.

    “Baiklah. Ayo kita berangkat!” ujar Saga sambil membuka pintu depan rumah. Dia lalu membiarkan Rena berjalan di depan, karena memang gadis itu lebih tahu jalan ketimbang dirinya. Maklum saja, Saga baru tiba di kota Ternate beberapa hari yang lalu dan tidak punya banyak waktu untuk jalan-jalan mengitari kota.

    Rena membawa Saga ke kantor pusat partai Inbastu dengan menggunakan bus kota. Sebenarnya dia bisa saja mengeluarkan mobil pribadinya dari garasi rumah, hanya saja Rena masih takut diserang selagi dia mengendarai mobil. Naik bus kota menurutnya jauh lebih aman karena ramai karena hanya orang yang benar-benar tidak waras yang akan menyerang sebuah bus penuh penumpang di jam-jam sibuk begini.

    Selama perjalanan, Rena dan Saga nyaris tidak bicara sama sekali. Kalau Rena sibuk melamun dan memikirkan rentetan kejadian kemarin, Saga tampak serius merencanakan apa yang akan dia lakukan hari ini.

    “Saga.” Rena akhirnya memulai percakapan, dia mulai tidak nyaman dengan suasana canggung diantara dirinya dan Saga. “Mungkin kau tidak mau menjawab pertanyaan ini, tapi aku ingin tahu...sebenarnya siapa kau ini? Dan apa urusanmu dengan pak Ivan?”

    Menanggapi pertanyaan Rena, Saga memandangi gadis itu selama beberapa detik. Dari sorot matanya, dia terlihat sedang menilai apakah gadis di hadapannya itu pantas untuk mendapat informasi mengenai jati dirinya. Meskipun masih ragu, akhirnya Saga memutuskan untuk sedikit mengupas siapa dia sebenarnya.

    “Aku sudah bilang kalau aku Saga, orang yang akan segera memimpin negeri ini.” Saga berhenti sejenak ketika melihat perubahan ekspresi di wajah Rena. Gadis itu jelas terlihat kecewa ketika mendengar kalimat itu terlontar sekali lagi dari mulut Saga.

    “Aku tidak main-main,” tegas Saga. “Aku akan segera memimpin Indonesia setelah mengalahkan semua calon presiden dalam Coronation di pemilu tahun ini.”
    Selama beberapa detik Saga berhenti bicara dan memandang ke sekelilingnya, seolah memastikan tidak ada orang mencurigakan yang akan mencuri dengar perkataannya. Dia lalu kembali bicara sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Rena.

    “Untuk itulah aku datang ke Ternate,” ujarnya lagi. “Untuk itulah aku ingin bertemu dengan Ivan Ratulangi. Aku tahu dia calon presiden dari partai Inbastu dan aku ingin menantangnya duel dengan Throne dan mengalahkannya!”

    Perkataan Saga membuat Rena terkejut. Dia menjauh dari Saga dan nyaris menyerukan pikiran yang mendadak terlintas di kepalanya. Beruntung Rena buru-buru menutup mulutnya, tapi kedua matanya masih tetap terpaku ke arah lelaki bertangan satu yang duduk di sampingnya itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalimat itu akan terlontar dari mulut Saga.

    Sambil menutupi mulutnya, Rena berseru pada Saga. “Jangan bercanda! Kenapa kau harus mengalahkan pak Ivan dan menjadi presiden selanjutnya?!”

    “Karena aku harus!” sahut Saga singkat. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela bis, tanda bahwa dia tidak ingin menjawab pertanyaan semacam itu lagi.
    Meskipun jengkel, untuk saat ini Rena tidak bisa berbuat apa-apa selain terdiam selagi kepalanya terus memikirkan perkataan Saga tadi. Sepanjang sisa perjalanan, baik Rena maupun Saga sama-sama terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

    Ketika mendengar suara pengumuman dari pengeras suara di dalam bis, Rena dan Saga bergegas turun dan berjalan kaki sejauh beberapa ratus meter hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah gedung pencakar langit. Walaupun tinggi gedung itu tidak seberapa dibandingkan dengan gedung-gedung lain di pusat kota Ternate, kantor pusat partai Inbastu itu tampak megah dengan sebuah landasan helikopter yang mengihiasi puncak gedung. Desain yang futuristis dan bersiku-siku menambah kemegahan gedung yang dibangun di lereng timur gunung Gamalama itu.

    Sambil berjalan melewati gerbang depan, Saga mengamati keadaan disekitarnya sejenak.

    Karena masih terlalu pagi, kantor itu masih terlihat lengang. Sebagian besar pegawai yang sudah datang sepagi ini adalah para petugas kebersihan, satpam, dan pesuruh kantor. Selain itu, ada beberapa orang kader partai yang berjalan keluar dari gedung dengan wajah muram seperti kurang tidur. Mereka sama sekali tidak mencurigai kedatangan Saga karena dia sedang bersama dengan Rena, yang memang memegang posisi penting dalam partai Inbastu. Orang-orang yang bertemu pandang dengan gadis itu langsung menyunggingkan senyum sambil menyapa dengan sopan.

    Rena tentu saja membalas sapaan itu sambil berusaha sekuat tenaga untuk terlihat normal, meskipun dirinya sedang bersama seorang lelaki misterius bertangan satu. Sekilas dia melirik ke arah pakaian Saga yang terlihat mencolok di tempat seperti ini. Tapi saat ini Rena tidak mau repot-repot mengomentari selera berpakaian lelaki itu, karena ada hal yang lebih penting yang harus segera diselesaikannya.

    “Ruang pak Ivan ada di lantai paling atas dan tidak semua orang punya akses kesana.” Rena menjelaskan pada Saga sambil berjalan ke arah sebuah lift.
    Saga memandangi Rena sejenak. “Dan kurasa kau termasuk orang yang punya akses ke ruang itu kan?”

    Rena mengangguk singkat, kemudian mengambil kartu identitas dari sakunya dan menempelkan benda itu ke panel elektronik yang menempel di samping pintu lift. Dengan diiringi suara denting lembut, pintu lift di depan Rena dan Saga terbuka lebar.

    “Luar biasa,” puji Saga sambil melangkah masuk ke dalam lift, diikuti oleh Rena. “Jadi kau ini orang kepercayaan Ivan?”

    “Begitulah...” balas Rena muram.

    Rasanya aneh mendengar bahwa Saga mengatakan Rena adalah orang kepercayaan Ivan, ketika pada saat yang sama dia seperti ingin disingkirkan oleh ketua partainya itu. Sungguh sebuah kenyataan yang benar-benar bertolak belakang.

    “Hei. Dengarkan aku.”

    Tiba-tiba Saga bicara dan mengalihkan Rena dari pemikirannya. Gadis itu langsung menoleh dan memasang tampang serius.

    “Aku tidak akan memaksamu membuat pilihan dan jangan biarkan orang lain juga mempengaruhi penilaianmu. Apapun yang kau dengar atau kau lihat nanti, gunakan hati dan pikiranmu untuk membuat keputusan.” Saga kali ini bicara dengan nada serius. Sekilas Rena melihat sorot mata lelaki itu berubah jadi sedikit lebih lembut.

    Saga mengangkat telunjuk di depan wajahnya. “Apapun pilihanmu nanti, aku akan menghargainya. Ingat itu,” ujarnya sambil tersenyum.

    Kali ini senyuman Saga terlihat tulus dan ini membuat Rena tersentak kaget. Entah kenapa jantungnya langsung berdebar-debar. Walaupun seharusnya dia mengatakan sesuatu pada Saga, tapi tiba-tiba saja Rena kehilangan kata-katanya. Gadis itu akhirnya mengangguk sekali dan memandang ke panel penunjuk lantai.

    Ternyata lift itu sudah hampir sampai di lantai paling atas. Dengan diiringi suara musik lembut, pintu lift itu terbuka dan menampakkan sebuah lorong lebar yang tampak anggun. Lantai lorong itu tampak dialasi dengan karpet berbulu yang mahal, sementara dinding-dindingnya dipenuhi pigura foto seorang lelaki yang sedang melakukan berbagai macam aktivitas.

    Rena tersenyum getir ketika dia melihat foto-foto itu, sambil berjalan menyusuri lorong. Melihat ekspresi Ivan di foto-foto yang dibingkai dengan pigura mahal itu, rasanya sulit dipercaya kalau orang dalam foto itu adalah seorang pembunuh. Ini membuat Rena semakin ragu kalau Saga semalam mengatakan yang sebenarnya, dia mulai curiga lelaki itu sengaja membuat sebuah fitnah agar bisa bertemu langsung dengan Ivan.

    Ketika pikiran itu terlintas di benaknya, Rena mendadak berhenti melangkah.

    “Ada apa?” tanya Saga sambil menoleh ke belakang. Ternyata dia sudah berada jauh di depan Rena dan sedang berdiri di depan sebuah pintu kayu yang tampak kokoh. Lengan lelaki itu sudah terulur ke depan, hendak memegang gagang pintu dan membukanya.

    Bagaimana kalau Saga hanya berbohong soal pak Ivan? Bagaimana kalau dia sebenarnya orang jahat yang ingin mencelakakan pak Ivan? Mendadak Rena berseru dalam pikirannya. Kenapa aku tidak memikirkan kemungkinan itu semalam!?

    Rena memandangi Saga sejenak.

    “Tidak...” jawabnya sambil menggelengkan kepala. “Ayo kita selesaikan ini.”

    “Tentu saja.”

    Saga membalas perkataan Rena sambil membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan.
     
  17. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 2 : Pilihan Hidup

    Pilihan Hidup part 2

    Begitu masuk, Saga langsung berhadapan dengan seorang pria yang duduk nyaman di seberang ruangan. Dia tidak lain adalah Ivan Ratulangi, ketua partai Inbastu. Pria itu segera menyadari kedatangan Saga dan langsung menyapa lelaki itu.

    “Selamat pagi. Siapa anda dan bagaimana anda bisa sampai ke lantai ini? Tidak semua orang punya akses lift sampai ke tempat ini,” ujar Ivan sambil mengamati sosok Saga dengan seksama. Kemudian pandangannya terpaku ke arah Rena yang berdiri di belakang Saga, selama beberapa saat ekspresi wajah Ivan berubah karena menyadari apa yang terjadi. “Oh. Jadi Rena yang mengantar anda sampai kesini. Silahkan! Silahkan masuk dan duduklah, setelah itu kita bisa bicarakan apa urusan anda denganku.”

    Alih-alih mengikuti perkataan Ivan, Saga melangkah maju sambil meletakkan tangan kanan di dada kirinya. Dengan diiringi suara denging lembut, tiba-tiba saja kabut perak berputar di sekitar lengan kiri jaket miliknya dan dengan perlahan membentuk sebuah tangan berwarna kehitaman. Begitu lengan itu muncul, pola-pola geometris yang berpendar lembut langsung menyala di sekujur tangan itu.

    Rena yang melihat kejadian itu langsung terpana. Dia tahu bahwa Saga baru saja mengeluarkan sebuah Throne yang berfungsi menggantikan tangan kirinya yang buntung. Begitu tangan kiri Saga muncul, Rena pun segera menyiagakan diri untuk menggunakan Throne miliknya. Dia masih tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh pria misterius itu selanjutnya.

    Ternyata tidak hanya Rena, Ivan juga menyadari hal itu dan langsung berdiri sambil meraih sesuatu di bawah meja kerjanya. Dalam sekejap mata, pria itu sudah menodongkan sepucuk pistol ke arah Saga. Rena terkesiap ketika melihat senjata itu tahu-tahu sudah ada di tangan ketua partainya.

    “Berhenti!” seru Ivan. “Aku tidak tahu siapa kau, tapi nampaknya kau punya niat tidak baik terhadapku. Jadi jangan bergerak, kalau tidak mau kutembak!”
    Melihat senjata di tangan Ivan, Saga berhenti melangkah. Tapi ekspresi wajahnya tidak berubah, dia sama sekali tidak terlihat takut walaupun berhadapan dengan sepucuk senjata api.

    “Jadi...kutanya sekali lagi, siapa kau!” Ivan berseru sambil mengayunkan senjatanya. Sekilas dia melirik ke arah Rena dan memicingkan matanya. “Kau juga! Kenapa kau membawa orang berbahaya seperti ini ke tempatku?!”

    Rena terkejut dengan seruan Ivan, tapi sebelum dia sempat mengatakan apapun, Saga sudah keburu bicara.

    “Apa kau tidak mengenaliku? Seharusnya berita kemenanganku di Sorong minggu lalu sudah sampai kepadamu.” Saga bicara sambil tersenyum penuh arti.
    Dalam sekejap ekspresi wajah Ivan berubah. Dia jelas-jelas terkejut dengan perkataan lelaki di hadapannya itu. Sambil mengatupkan rahangnya, Ivan perlahan-lahan bergerak menjauh dari belakang mejanya. Selagi berjalan, pandangannya tidak pernah lepas dari sosok Saga yang masih berdiri sambil tersenyum ke arahnya.

    Dari caranya bersikap, sepertinya Ivan memang mengenal siapa Saga, dan ini membuat Rena semakin penasaran.

    “Jadi kau Saga? Orang yang mengalahkan Edward Makatipu dari partai Bumi Perdamaian. Tidak kusangka kau akan muncul di tempatku secepat ini.” Ivan bicara dengan nada geram. Genggaman tangannya di gagang pistolnya jadi semakin erat, sehingga tidak heran kalau pistol itu meletus sewaktu-waktu. “Jadi informasi itu memang benar. Kupikir itu hanya berita bohong yang dibuat-buat media tukang gosip, tidak kusangka memang benar orang itu sudah gugur dalam pemilu tahun ini.”

    “Ya,” sahut Saga singkat. Dia lalu menunjuk ke arah Ivan. “Kau selanjutnya.”

    “Tunggu dulu! Apa maksudnya ini?!”

    Rena tiba-tiba bicara. Dia kebingungan dengan percakapan kedua orang di depannya itu. Rena memang mengenali nama Edward Makatipu. Orang itu adalah calon presiden yang diusung oleh partai Bumi Perdamaian, tapi Rena sama sekali tidak mendengar kabar bahwa orang itu sudah tersingkir dari pemilu tahun ini. Terlebih tidak ada satupun berita mengenai kejadian itu muncul di media massa.

    “Rena! Menjauhlah dari lelaki itu! Dia berbahaya!” Ivan langsung berseru pada sekretarisnya itu. “Dia sudah menyerang dan melukai seorang calon presiden dari partai lain! Dia bukan orang baik, dia penjahat!”

    Tanpa berpikir, Rena langsung melangkah menjauh dari Saga. Dia benar-benar kebingungan sekarang. Di satu sisi Saga adalah orang yang sudah dua kali menyelamatkan nyawanya, tapi di sisi lain Ivan mengatakan bahwa lelaki itu sudah menyerang calon presiden lain dan merupakan orang yang berbahaya. Tapi di saat yang sama, Saga sudah menunjukkan bukti bahwa Ivan adalah dalang dibalik serangan yang ditujukan kepada Rena, meskipun belum jelas tuduhannya itu benar atau tidak.

    Sebelum berpikir lebih jauh lagi, mendadak Rena menoleh ke arah Ivan dan bertanya dengan suara lantang, “kenapa anda ingin membunuhku?!”
    Karena tidak siap dengan pertanyaan itu, ekspresi wajah Ivan langsung berkerut karena kaget. Dia tidak menyangka sekretarisnya itu akan menanyakan pertanyaan semacam itu. Tapi dengan cepat Ivan berhasil mengatasi keterkejutannya dan kembali mengubah ekspresi wajahnya.

    “Apa maksudmu? Tentu saja aku tidak ingin membunuhmu. Untuk apa aku melakukan itu?” tanya Ivan sambil menyunggingkan senyum manis ke arah Rena. “Kau adalah sekretarisku, kau orang penting bagiku dan bagi partaiku. Kenapa aku harus membunuhmu?”

    Kali ini Rena dibuat tidak bisa berkata-kata. Dia masih belum tahu alasan kenapa Ivan mau membunuhnya, karena dugaan itu hanya berasal dari bukti yang ditunjukkan Saga semalam. Bukti yang bagi Rena belum teruji kebenarannya.

    “Ah...aku tahu!” Ivan berseru sambil menatap tajam ke arah Saga, masih dengan pistol teracung ke arah lelaki itu. “Itu pasti akal-akalan Saga untuk mempengaruhimu. Kalau begitu dia bohong! Jangan percaya padanya! Dia cuma ingin membuatmu bingung dan menentangku!”

    Sekarang Rena benar-benar bingung. Dia sama sekali tidak tahu siapa yang baik, siapa yang tidak. Tetapi tanpa sadar, dia bergerak semakin menjauhi Saga dan mulai mendekati Ivan. Biar bagaimanapun, Rena lebih mengenal ketua partainya itu ketimbang Saga yang baru dikenalnya semalam. Wajar saja kalau dia menanggap ucapan Ivan lebih bisa dipercaya dibandingkan dengan ucapan Saga.

    “Bagus...begitu...orang itu tidak bisa dipercaya. Apapun yang dia katakan kepadamu pasti cuma tipuan untuk membuatmu mau membantunya.” Ivan bicara sambil mengamati sosok Rena yang kebingungan. “Jangan percaya padanya.”

    Rena memandangi Ivan sejenak. Memang dibandingkan dengan Saga, dia lebih mempercayai Ivan yang sudah bertahun-tahun dikenalnya. Keraguannya mulai pudar, Rena kini mulai mempercayai ucapan Ivan.

    “Sudah kuduga kau masih berniat untuk mempermainkan gadis itu.” Tiba-tiba Saga bicara sambil mengambil sebuah kubus dari balik saku jaketnya, kemudian melemparkan benda itu ke tengah ruangan.

    “Rasanya setelah ini tidak akan ada yang ragu lagi,” ujar Saga lagi. Dia kembali memperlihatkan senyum misteriusnya.

    Tepat setelah Saga selesai bicara, sebuah layar holografis mendadak muncul di udara dan menampilkan sebuah video. Dalam video itu, terlihat jelas sosok Ivan yang sedang berbicara dengan empat orang lelaki bertampang sangar. Dari latar video itu, tampak bahwa mereka sedang berada di pelabuhan. Tumpukan peti-peti baja terlihat jelas di belakang kelima orang itu.

    “Jadi...kami harus melakukannya malam ini, bos?” tanya seorang pria dalam video itu.

    “Ya. Jangan sampai gagal. Ini kuberikan Throne untuk memastikan keberhasilan kalian. Jangan lupa, Rena juga punya sebuah Throne untuk melindungi dirinya. Dalam percobaan pertama, dia berhasil selamat berkat Throne miliknya itu,” ujar Ivan dalam rekaman video itu. “Jadi pastikan kalian bunuh dia sebelum benda itu sempat digunakan.”

    “Bos, kenapa sih kita harus bunuh dia?” Pria lain dalam video tiba-tiba bertanya. “Kan kita bisa culik dia dan kita jual ke negara lain. Kita bisa dapat duit banyak tuh!”

    “Jangan konyol!” bentak Ivan dalam rekaman video. “Aku ingin dia mati! Titik! Sekarang pergilah kalian!”

    “Siap, bos!”

    Bersamaan dengan seruan keempat orang sangar itu, video yang diputar oleh Saga berakhir. Kini layar holografis yang masih melayang di udara itu hanya menunjukkan sebuah simbol aneh yang melambangkan siluet seekor elang.

    Begitu video itu berakhir, Rena tidak mampu berkata apa-apa lagi. Dia benar-benar terkejut sampai nyaris tidak bisa berpikir. Pesan yang ditunjukkan dalam video itu benar-benar jelas dan tidak perlu dipertanyakan lagi.

    Ivan memang benar-benar ingin membunuhnya!

    Seketika itu juga, Rena berpaling ke arah ketua partainya itu dan berseru, “kenapa?!”

    Tanpa terduga, tiba-tiba saja Ivan tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya yang berat bergema di dalam ruang kerjanya yang luas itu.

    “Luar biasa. Sungguh luar biasa. Pekerjaan yang benar-benar patut dipuji.” Ivan bicara sambil tersenyum lebar, tapi kini senyumannya itu terlihat menakutkan. “Bagaimana caranya kau bisa merekam adegan itu? Padahal waktu itu sudah kupastikan di sekitar situ tidak ada kamera cctv pelabuhan.”

    Saga balas tersenyum tipis ke arah Ivan. “Kau tidak perlu tahu soal itu,” balasnya.

    Dia lalu menoleh ke arah Rena, yang kini menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajah gadis itu terlihat pucat karena syok mendengar pernyataan Ivan, yang secara tidak langsung, mengakui bahwa video yang baru saja diputar itu bukan tipuan.

    “Memang benar, aku yang memerintahkan orang untuk membunuh Rena,” ujar Ivan sambil tersenyum jahat. “Memangnya ada apa dengan itu?”
    Rena semakin syok mendengar ucapan ketua partainya itu. Kedua kakinya langsung terasa lemas dan rasanya dia ingin duduk di lantai dan menangis.

    “Kenapa?” tanya Rena lemah.

    “Karena dia tidak ingin hubungannya dengan para perompak Hantu Laut diketahui orang.” Saga menjawab pertanyaan Rena sambil menunjuk ke arah Ivan, yang tampak terkejut mendengar ucapannya. “Jangan menatapku seperti itu, aku sudah tahu semuanya. Tidak sulit mencari informasi seperti itu kalau tahu siapa yang harus dihubungi.”

    Ivan menggeram marah kepada Saga, sekilas dia melirik ke arah Rena yang terpaku di tempat.

    “Kalian ini menyusahkan saja,” gerutu Ivan sambil mendengus kesal. Dia lalu menegakkan tubuhnya dan menyipitkan matanya ke arah Saga. “Tapi usaha kalian percuma saja. Toh kalian akan segera mati!”

    Tanpa peringatan Ivan tiba-tiba saja mengalihkan pistolnya ke arah Rena dan menarik pelatuk. Rena yang terkejut tidak sempat berbuat apapun kecuali pasrah dan menerima ajalnya. Dia hanya berharap mati karena ditembak dengan pistol rasanya tidak terlalu menyakitkan.

    Tapi anehnya tidak ada suara letusan senjata terdengar setelah Ivan menarik pelatuk senjatanya. Pistol semi-otomatis berkaliber 9 mm itu sama sekali tidak menyalak dan melontarkan pelurunya.

    “Apa?!” Ivan terkejut bukan main dan beralih menodongkan pistolnya ke arah Saga, kemudian menarik pelatuk. Tapi hasilnya sama saja, tidak ada peluru yang melesat keluar dari senjatanya itu.

    “Apa-apaan ini?!” seru Ivan sambil terus berusaha menembakkan senjatanya.

    “Percuma saja.” Saga tersenyum lebar melihat Ivan yang kebingungan. Dia lalu mengangkat tangan kirinya yang berwarna hitam dengan hiasan pola geometris yang berpendar lembut. “Di hadapan Nexus, semua senjata api atau energi tidak bisa digunakan.”

    Sambil menunjuk ke arah Ivan, Saga kembali bicara dengan nada tegas.

    “Sekarang sebaiknya kau menyerah dan tunjukkan saja Corona-mu padaku. Aku hanya akan menghancurkan benda itu. Aku tidak ingin melukaimu.”

    Alih-alih mengikuti ucapan Saga, Ivan justru kembali tertawa lebar dan melemparkan pistolnya itu ke seberang ruangan. Dia lalu mengangkat sebelah tangannya dan memperlihatkan sebuah gelang logam yang melingkari pergelangan tangannya itu.

    “Menyerah?! Kau suruh aku menyerah?! Jangan harap!” bentak Ivan. “Aku masih punya Echidna untuk menghabisi kalian berdua!”

    Seiring dengan seruannya, gelang perak di tangannya itu langsung berpendar. Kabut perak mendadak muncul dan berputar di sekeliling tubuh Ivan sambil mulai membentuk siluet sebuah Throne. Hanya butuh waktu beberapa detik saja bagi nanites, yang tersimpan dalam sistem canggih itu, untuk merakit ulang Throne milik Ivan. Dalam waktu singkat, dua buah mangkok logam raksasa tampak melayang di masing-masing pundak Ivan, sementara dada dan leher pria itu terbungkus dengan jubah logam yang terlihat tebal dan kokoh. Pada saat yang sama, sebuah mahkota perak, Corona, muncul dan berputar perlahan sambil melayang di atas kepala Ivan.

    Kini sosok Ivan terlihat begitu perkasa dan menakutkan. Throne miliknya itu tampak sangat kokoh dan jelas bisa digunakan untuk mempertahankan diri. Tapi Saga tidak melihat ada senjata di mangkok raksasa atau di tubuh Ivan, sehingga sekilas Throne milik ketua partai Inbastu itu hanya berfungsi sebagai alat pertahanan diri, mirip dengan perisai raksasa milik Rena. Tapi dia tahu dugaannya itu pastinya salah.

    Dan memang benar Saga salah menduga. Ketika Echidna, Throne kebanggannya itu muncul, Ivan langsung berseru sambil mengadu kedua tinjunya. “Bersiaplah, bocah!!”

    Seolah memahami perkataannya, wujud Echidna tiba-tiba saja berubah. Seluruh permukaan dua mangkok raksasa yang ada di pundak kanan dan kiri Ivan langsung dipenuhi duri-duri tajam. Kini jelas sudah alasan kenapa Throne miliknya itu dia beri nama Echidna, atau landak. Wujud senjata itu kini benar-benar sesuai dengan namanya.

    Melihat perubahan wujud Throne lawannya, Saga langsung mendapat firasat buruk.

    “SERANG!!” Tanpa menunggu reaksi dari lawannya, Ivan langsung menembakkan duri-duri dari Throne-nya ke arah Saga dan Rena.
     
  18. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 2 : Pilihan Hidup

    Pilihan Hidup part 3

    Saga langsung melompat ke arah Rena dan menyambar tubuh gadis itu, tepat sebelum beberapa batang duri baja menghujam ke tempatnya berdiri. Telat sedikit saja, tubuh langsing Rena akan berubah jadi sate.

    Dengan ngeri Rena memandangi lubang-lubang di lantai akibat tertembus duri Echidna. Kekuatan tembakan Throne milik Ivan ternyata sangat kuat dan sanggup melubangi lantai beton dengan begitu mudah, sampai-sampai Rena bisa melihat ruang kantor di lantai bawah dari lubang-lubang itu.

    “Bangun!”

    Saga langsung menarik Rena yang masih terpaku di tempat. Dia menoleh ke arah lawannya dan terkejut bukan main karena Ivan tahu-tahu sudah menyerbunya lagi. Karena tidak sempat menghindar, Saga mendorong Rena sekuat tenaga hingga gadis itu terlempar jauh ke samping, kemudian berlari menghindari duri-duri logam yang ditembakkan lawannya itu. Beruntung duri-duri yang ditembakkan Ivan tidak terlalu banyak, sehingga Saga berhasil menghindari sebagian besar serangan itu. Tapi tetap saja itu tidak cukup dan beberapa buah duri mematikan dari Echidna masih meninggalkan luka-luka goresan yang cukup dalam.
    Rasa sakitnya membuat Saga nyaris terpeleset dan jatuh. Diapun berdiri terhuyung-huyung selama beberapa detik, sebelum akhirnya bisa menahan tubuhnya supaya tidak jatuh berlutut di lantai. Kalau itu sampai terjadi, maka riwayatnya akan tamat seketika.

    “Sial!” umpat Saga sambil menegakkan diri dan bersiap menghadapi Ivan lagi.

    “Kenapa? Kok diam saja? Kemana Throne-mu?” Ivan berbicara sambil menyipitkan matanya ke arah Saga. “Mana kemampuan orang yang sudah mengalahkan satu calon presiden itu? Mana?!”

    Saga tidak menjawab perkataan Ivan. Dia tahu dirinya baru saja membuat kesalahan dengan terlalu meremehkan lawannya. Mestinya dia tahu kalau lawannya itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang calon pemimpin Indonesia. Ivan tentu saja bukan orang yang lemah, sama seperti Edward yang dikalahkannya dulu. Di masa sekarang ini, tidak mungkin orang yang berfisik lemah dan tidak bisa bertarung menggunakan Throne, bisa bertahan mengikuti pemilu dan ajang Coronation.

    Sekali lagi kau harus ingat, jangan pernah meremehkan lawanmu, Saga! Saga memarahi dirinya sendiri. Perlahan-lahan dia menyiapkan diri untuk menggunakan Throne lain miliknya, dan dia yakin senjatanya itu akan bisa mengalahkan Ivan.

    Sayangnya Ivan sama sekali tidak berniat untuk membiarkan Saga melawan balik. Begitu melihat sikap Saga yang terlihat siap untuk bertarung, Ivan langsung menyeringai dan menyerang lagi dengan duri-duri Echidna miliknya.

    Saga tidak terkejut melihat serangan Ivan, tapi dia tahu dirinya tidak cukup cepat untuk menghindari semuanya. Namun sebelum dia sempat bertindak, tahu-tahu Rena sudah berlari ke depannya sambil membawa sebuah perisai raksasa, yang tidak lain adalah Throne miliknya.

    “Pertahanan, kekuatan penuh!” Rena memberi perintah pada Abarona, Throne miliknya itu sambil memposisikan diri sebagai tameng bagi Saga.

    Rentetan suara dentang logam terdengar nyaring, disusul suara dentum bertalu-talu ketika duri-duri yang ditembakkan Echidna dipentalkan ke sagala arah oleh Abarona. Rena menggertakkan giginya ketika menahan serangan itu. Dia tahu bahwa Throne milik ketua partainya itu memang kuat, tapi dia tidak mengira kekuatannya seperti ini sehingga lengan Rena dibuat nyeri karena menahan efek serangan dari Throne itu. Dia juga sempat terdorong ke belakang meskipun penggunaan Abarona sudah memberinya kemampuan fisik jauh diatas manusia biasa.

    Sambil terengah-engah, Rena menoleh ke belakang dan bertanya pada Saga, “kau tidak apa-apa?”

    Saga kaget melihat gadis itu tahu-tahu sudah mengeluarkan Throne dan bertindak sebagai tameng demi melindungi dirinya. Dia sama sekali tidak menyangka Rena akan melakukan hal itu.

    “Mundur! Ini berbahaya!”

    Saga berseru pada Rena, tapi gadis itu tidak menggubris perkatannya. Dia justru berdiri tegak dan menatap tajam ke arah Ivan yang juga terkejut melihat aksi nekatnya. Sekilas Rena terlihat sudah berhasil mengatasi syok serta rasa takutnya, meskipun sebenarnya saat melindungi Saga tadi, dia masih ketakutan setengah mati.

    “Jadi kau mau nekat melawanku juga? Padahal kalau kau diam saja, kematianmu tidak akan terlalu menyakitkan,” desis Ivan sambil memposisikan kedua mangkok logam berdurinya ke arah Rena dan Saga. Jelas dia berniat untuk menyerang lagi dengan menembakkan duri-durinya. “Nah! Diam dan matilah sekarang!”

    Sambil berseru, Ivan kembali menembakkan duri-duri logamnya ke arah Rena. Dengan sekuat tenaga dia memegangi perisainya dan menahan serangan ketua partainya itu. Tapi kekuatan tembakan itu ternyata lebih kuat dari sebelumnya, hingga membuat Rena terdorong ke belakang.

    Kuat sekali! Rena berseru panik dalam hati. Dia semakin ketakutan terutama ketika sebatang duri berhasil menembus pertahanan Abarona dan nyaris menusuk tubuhnya. Gadis itu terbelalak lebar melihat sebatang duri tajam mencuat keluar dari balik perisainya. Dia tahu Abarona tidak akan sanggup menahan serangan Ivan selanjutnya.

    “Sudah cukup. Saatnya membalas.”

    Rena terkejut mendengar ucapan Saga. Dia menoleh ke samping dan melihat lelaki itu menangkat tangan kirinya dan memejamkan matanya sejenak. Ketika membuka matanya lagi, mata kiri Saga yang tadi berwarna keemasan, kini berubah menjadi merah menyala. Pada saat yang sama, alur-alur geometris di tangan kirinya berpendar dengan warna merah.

    “Bangkitlah...Minotaur!”

    Sambil mengayunkan tangan kirinya ke samping, Saga berseru nyaring. Secara bersamaan sebuah kabut keperakan muncul dan berputar bagai tornado di kedua tangannya. Dengan diiringi suara denting dan ceklikan samar, sepasang sarung pelindung logam tersusun cepat di kedua tangan Saga. Bersamaan dengan itu, mesin-mesin jet kecil muncul dan merakit dirinya sendiri di siku dan pundaknya, sebelum akhrinya dilindungi oleh pelat logam tebal. Sebagai sentuhan akhir, sepasang tanduk logam muncul dan menghiasi masing-masing tinju Saga. Kini kedua tangan lelaki itu terlihat bagaikan sepasang banteng liar yang siap menerjang apapun. Ukuran sarung pelindung itu begitu besar, hingga membuat tangan saga terlihat nyaris tiga kali lebih besar ukuran normalnya.
    Begitu Minotaur, Throne spesial miliknya itu muncul, Saga mengadukan kedua tinjunya dan membuat suara dentum yang menggelegar. Suara itu begitu keras hingga membuat Rena melompat mundur, dan membuat Ivan terbelalak lebar.

    “Apa-apaan itu?!” Ivan berseru kaget sambil menunjuk ke arah tangan Saga yang diselimuti sarung pelindung. “Bagaimana bisa kau punya satu Throne lagi?! Ini mustahil!”

    Protes Ivan memang masuk akal. Tidak seharusnya seseorang punya lebih dari satu buah Throne dibawah satu Corona. Jumlah informasi yang dibutuhkan untuk merangkai sebuah Throne sudah sangat besar, sehingga satu set memori Corona seharusnya hanya mampu menampung data satu wujud Throne saja.
    Ivan lebih terkejut lagi ketika menyadari kalau sejak tadi, di atas kepala Saga tidak terlihat ada sebuah Corona yang melayang rendah disana. Seharusnya ketika seseorang mengaktifkan Throne miliknya, sebuah Corona yang berbentuk seperti mahkota logam akan melayang di atas kepala orang itu, sama seperti Strong Corona yang kini melayang di atas kepala Ivan.

    “Ini tidak masuk akal!” protes Ivan lagi, sembari menunjuk ke arah kepala Saga. “Apa sebenarnya kau ini?!”

    Saga tersenyum puas melihat ekspresi terkejut di wajah Ivan.

    “Bagaimana ya? Aku ini spesial.” Dia membalas perkataan lawannya sambil mengambil posisi siap menyerang. “Bersiaplah, sekarang giliranku!”

    Tanpa menunggu lawannya bereaksi, Saga menerjang maju sambil mengayunkan tinju besinya. Tentu saja Ivan tidak tinggal diam dan langsung menembakkan duri-durinya ke arah Saga. Sayangnya dengan kedua tangan yang berlapis pelindung logam, kini Saga bisa menepis serangan itu dengan mudah dan terus melesat ke arah Ivan. Karena tidak sempat menghindar, Ivan memutar salah satu perisai berdurinya untuk menahan serangan saga.

    Tinju Saga bertemu dengan perisai Ivan dan benturan kedua Throne ini menimbulkan suara dentum nyaring, yang kemudian diiringi gelombang kejut yang melontarkan lantai keramik di bawah kaki Ivan ke segala arah. Kaca-kaca jendela di sekitar ruangan Ivan juga langsung hancur berantakan dan serpihannya berterbangan ke segala arah.

    Sambil merapatkan giginya, Ivan menahan gempuran Saga dengan sekuat tenaga. Bagi Ivan, ini pertama kalinya dia dipaksa bertahan menghadapi kekuatan benturan seperti ini. Rasanya seolah-olah Throne kebanggannya itu akan menyerah dan hancur, tapi ternyata Echidna berhasil bertahan.

    Diluar dugaan, Throne itu keras sekali! Saga berseru kecewa dalam hati, ketika mengetahui serangannya gagal menembus pertahanan lawannya. Dia lalu melompat mundur untuk mempersiapkan serangan berikutnya, tapi diluar dugaannya Ivan tahu-tahu menerjang maju sambil mengarahkan mangkok perisai berdurinya.

    “Apa?!” Saga kaget dan bergegas melompat mundur. Sayangnya meski berhasil menghindar dari tusukan duri-duri itu, Saga gagal mempertahankan keseimbangannya sehingga dia terpental menembus pintu ruang kerja Ivan, kemudian jatuh terguling-guling di lorong yang menuju ke arah lift.

    Pandangan Saga langsung berkunang-kunang dan sekujur tubuhnya terasa sakit. Beruntung Minotaur memberinya kekuatan fisik seorang manusia super, kalau tidak beberapa tulangnya pasti sudah remuk akibat benturan tadi. Dia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah Ivan, yang kini sudah menembakkan duri-duri logamnya lagi.

    Karena lorong tempatnya berdiri sekarang terlalu sempit untuk manuver menghindar, Saga sudah siap untuk bertahan. Tapi tiba-tiba Rena kembali berdiri memposisikan diri sebagai tameng dan menahan duri-duri logam yang ditembakkan Echidna.

    Dengan mengabaikan keselamatannya, Rena menggunakan Abarona untuk melindungi Saga. Dia mengerahkan kemampuan pertahanan Abarona hingga titik maksimum dan berhasil menahan sebagian besar duri yang ditembakkan Ivan, meski kini ada beberapa buah yang menancap dalam di tubuh Throne yang berbentuk perisai itu.

    Begitu rentetan serangan Ivan selesai, Rena langsung menoleh ke belakang, tepatnya ke arah Saga yang masih berdiri di lorong, kemudian berseru nyaring, “Saga!”

    Bagaikan mengerti maksud Rena, Saga langsung menerjang maju dengan kecepatan tinggi ke arah Ivan. Dia kembali menghantamkan tinju logamnya ke arah lawannya itu. Tapi dengan mudah serangan itu juga berhasil ditahan oleh perisai mangkok milik Echidna, meskipun kali ini kekuatan serangan itu membuat Ivan terseret kebelakang.

    “Percuma, dasar bodoh! Kau tidak akan bisa menembus pertahanan Echidna-ku!” Ivan berteriak mencemooh, tepat ketika tinju Minotaur kembali berhasil ditahan oleh Throne kebanggannya.

    Tapi tentu saja Saga tidak bodoh dan sekedar mengulangi kesalahannya tadi.

    Tepat sedetik setelah serangan pertamanya berhasil ditahan, Saga mundur selangkah kemudian berputar sambil menjejakkan kakinya kuat-kuat ke lantai dan membuat lantai beton berlapis keramik itu hancur berantakan. Sembari memutar tubuh, dia mengerahkan serangan terkuat yang dimiliki Throne-nya itu. Pada saat yang bersamaan, pelindung logam di siku Minotaur langsung terbuka dan mesin-mesin jet di baliknya langsung menyala, diiringi suara deru nyaring yang memekakkan telinga.

    “TERIMA INI!”

    Saga meraung keras sambil menghantamkan tinju yang dipercepat dengan mesin-mesin jet itu ke arah perisai berduri Echidna. Dengan kekuatan yang luar biasa, tinju yang dilayangkan Saga menghancurkan perisai logam Throne lawannya dan kemudian menghatam tubuh Ivan dengan kekuatan setara hantaman sebuah truk.

    Tubuh Ivan langsung terlempar ke belakang dan menembus tembok beton, sebelum akhirnya berhenti setelah membentur dinding ruangan sebelah. Ivan yang sudah tidak sadarkan diri langsung terkapar tidak berdaya di lantai. Separuh Throne kebanggannya itu hancur akibat serangan barusan sementara dirinya sendiri mengalami luka serius. Kalau saja Echidna tidak menahan sebagian besar serangan Saga tadi, Ivan pastinya sudah mati sekarang.

    Rena yang menyaksikan semua itu hanya bisa terbelalak takjub. Dia tidak menyangka kalau Ivan, sang ketua partainya itu bisa dikalahkan dengan sangat mudah oleh Saga. Di saat yang sama, Rena tidak menyangka kalau lelaki bernama Saga itu sanggup mengalahkan seorang calon presiden. Padahal orang seperti itu memiliki Throne kelas tertinggi di Indonesia, dan juga bukan seorang petarung kelas teri.

    Beberapa kali Rena mengerjapkan mata karena masih tidak percaya dengan apa yang baru dia saksikan tadi. Dia lalu memandang ke arah Saga yang kini berjalan menghampiri sosok Ivan yang sudah tidak sadarkan diri. Melihat sikapnya itu, Rena mengira Saga akan lanjut menghabisi nyawa Ivan, terutama karena lelaki itu kini mengangkat sebelah tangannya yang terbungkus pelindung logam dan tampak bermaksud menghujamkan tinjunya ke kepala Ivan.

    Menyaksikan itu, Rena langsung berseru, “jangan!”

    Sayangnya seruan Rena terlambat menghentikan aksi Saga, karena dia sudah menghujamkan tinju besar bertanduknya ke arah Ivan. Hanya saja pukulan itu tidak diarahkan ke kepala ketua partai Inbastu itu, melainkan ke arah mahkota perak yang masih melayang di atas kepala Ivan. Pukulan itu dengan telak menghancurkan Strong Corona yang menjadi sistem kendali dari Throne milik Ivan. Begitu mahkota logam itu hancur, perisai berduri yang tersisa beserta jubah logam di tubuh Ivan langsung terburai menjadi serbuk perak berkilau yang bertaburan di sekitarnya.

    Sambil tersenyum puas, kini Saga menatap ke arah Rena yang balas menatapnya dengan tatapan ngeri.

    “Ayo, kita pergi dari sini!” Saga berseru sabil berjalan menghampiri Rena, sementara pelindung logam di kedua tangannya perlahan-lahan terurai menjadi serbuk berkilauan. “Polisi akan segera tiba dan...”

    Sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, mendadak Saga terdiam melihat pintu lift yang ada di ujung lorong mendadak terbuka. Dia langsung bersiap mengeluarkan Throne-nya lagi, begitu pula dengan Rena. Gadis itu langsung berbalik dan memposisikan perisainya dalam pose bertahan.
     
  19. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Chapter 2 : Pilihan Hidup

    Pilihan Hidup part 4

    “Apa-apaan ini?!”

    Rena terkejut bukan main melihat sosok yang melangkah keluar dari lift tidak lain adalah Herman, rekan kerjanya. Pria itu terbelalak lebar melihat kondisi ruangan yang hancur berantakan dan dipenuhi lubang-lubang bekas terjangan duri Echidna. Dia semakin terkejut ketika mendapati Rena yang sedang mengeluarkan Throne-nya, serta melihat sosok lelaki asing yang tubuhnya dihiasi luka-luka.

    “Rena?! Ada apa ini?!” seru Herman sambil melangkah majut, tapi dengan segera langkahnya terhenti ketika melihat sosok Ivan yang terkapar dari lubang di tembok. “P...pak Ivan?! A...aku bingung! Sebenarnya apa yang kalian lakukan disini?! Kenapa semuanya berantakan?! Kenapa...”

    “Akan kujelaskan nanti!”

    Rena buru-buru memotong perkataan Herman. Dia tahu rekannya itu pasti sedang kebingungan setengah mati, tapi Rena berharap Herman tidak langsung mengeluarkan Throne-nya dan mulai menyerang. Kalau itu sampai terjadi, maka segalanya akan semakin rumit dan bagi Rena.

    Mendengar perkataan Rena, Herman mengangkat kedua tangannya, tapi ekspresi wajahnya tidak berubah. Dia tetap menunjukkan ekspresi bingung campur curiga.

    “Oke...jelaskan dengan singkat dan masuk akal, atau aku terpaksa menggunakan ini.” Herman bicara dengan nada mengancam, sembari menggoyangkan tangan kanannya, tempat gelang perak Throne miliknya terpasang.

    Tanpa basa-basi, Rena menceritakan dengan singkat bagaimana Saga menyelamatkannya dari para perompak yang dikirim oleh Ivan untuk membunuhnya. Dia juga menceritakan sekilas mengenai pertarungan Saga dengan ketua partai Inbastu itu. Rena juga tidak lupa menjelaskan fakta dibalik serangan yang menimpanya dan Herman kemarin. Selagi bercerita, Rena terus memperhatikan perubahan raut wajah Herman, dan berharap rekannya itu memahami alasannya membantu Saga.

    “Oke...jadi pak Ivan bekerja sama Hantu Laut, perompak terkenal di Ternate ini? Dan dia ingin membunuhmu?” Herman berkomentar sambil memijit dahinya, tanda bahwa dia sedang bingung. “Tidak masuk akal.”

    “Kumohon! Percayalah padaku!” ujar Rena sambil melangkah maju. “Aku tidak bohong!”

    “Iya, aku tahu itu...tapi ini sulit dipercaya,” balas Herman sambil bersandar di tembok terdekat. “Lagipula apa buktinya?”

    “Ada video yang jelas menunjukkan Ivan sedang memberi perintah pada beberapa orang perompak untuk menghabisi nyawa Rena.” Saga tiba-tiba bicara sambil melemparkan kubus kecil ke arah Herman. “Data bukti lainnya ada di dalam sana dan kau boleh memeriksanya sendiri, atau memberikan itu ke polisi. Yang jelas sekarang aku harus pergi dari sini sebelum polisi datang. Aku tidak mau berurusan dengan mereka.”

    “Bagaimana denganku?!” tanya Rena. “Apa kau mau meninggalkanku begitu saja disini?”

    Setelah mengetahui bahwa ketua partainya ingin membunuhnya, dia merasa dunia yang dia kenal sudah tidak ada lagi. Rasanya juga percuma saja dia tetap berusaha mempertahankan kehidupannya yang sekarang, karena dia seperti sudah kehilangan tujuan hidup. Selama beberapa tahun terakhir ini, tujuan hidup Rena adalah mengabdi pada partai Inbastu, tepatnya pada Ivan, sosok yang dia kagumi. Namun ternyata sosok itu malah berbalik ingin menghabisi nyawanya.

    Rena merasa dikhianati oleh hidupnya sendiri.

    “Jadi apa maumu?” balas Saga, nyaris tanpa nada simpati.

    “Bawa aku pergi!” seru Rena. Dia lalu menoleh ke arah Herman yang jelas terkejut dengan keputusannya. Tapi keputusannya sudah bulat. Tidak ada gunanya dia tetap berada di sini sebagai anggota partai Inbastu. “Kalau aku tetap disini, tidak ada artinya bagiku. Aku sudah kehilangan tujuan hidupku setelah kau menunjukkan sosok Ivan sebenarnya padaku.”

    Saga memandangi Rena dengan seksama, dia bisa melihat kalau tekad wanita itu sudah bulat dari sorot matanya yang terlihat serius. Meski begitu, Saga tidak bisa begitu saja melibatkan Rena dalam bahaya yang lebih besar lagi.

    “Kau yakin?” tanya Saga. “Apa yang kulakukan ini bukan sebuah permainan, dan ini sangat berbahaya. Dengan berada bersamaku, kau akan diburu oleh para penegak hukum. Apa kau siap dengan itu?”

    Rena sekali lagi menoleh ke arah Herman, yang langsung menggelengkan kepalanya, tanda bahwa keputusan yang akan segera diambil gadis itu adalah sesuatu yang bodoh. Tentu saja Rena mengabaikan pendapat Herman. Karena biar bagaimanapun, dia sudah terlihat bersama Saga dan rekaman video cctv kantornya akan membuktikan bahwa mereka memang berkomplot untuk menyerang dan melukai Ivan, sang ketua partai Inbastu. Walaupun Rena memutuskan tinggal di kota Ternate, dia pasti akan dihukum berat karena itu, terlebih karena ada Throne yang terlibat. Hukuman bagi orang yang menyalahgunakan kekuatan Throne sama sekali tidak ringan, dan Rena sangat menyadari hal itu. Karenanya tidak ada bedanya kalau dia tetap tinggal dan menghadapi hukuman, atau pergi bersama Saga dan menghadapi bahaya lainnya.

    “Aku siap!” jawab Rena dengan mantap.

    “Bagus. Ayo kita pergi,” balas Saga. Tapi dia lalu terdiam karena melihat Herman masih berdiri di depan lift, seolah-olah pria itu berusaha menghalangi langkahnya. Saga sudah bersiap untuk mengatasi lelaki itu, kalau-kalau Herman memang berniat untuk mencegahnya melarikan diri.

    “Pukul aku,” ujar Herman tiba-tiba.

    “Apa?” tanya Saga heran. “Untuk apa?”

    “Kau sudah gila?” timpal Rena.

    Herman memandangi Rena sejenak, lalu menghela nafas.

    “Yang gila itu sebenarnya kalian berdua,” celetuknya sambil tersenyum. Dia lalu mengambil sebuah kunci elektronik kecil dari sakunya dan mengulurkannya pada Rena. “Ini kunci mobilku yang kuparkirkan di basement B2, blok E, kalian bisa menggunakannya. Tapi sebelum pergi, pukul dan buat aku pingsan.”
    Rena mengambil kunci itu dari tangan Herman, tapi dia masih tidak mengerti kenapa rekannya itu mau minta dipukul hingga pingsan.

    “Jangan banyak tanya! Pokoknya pukul saja aku!” desak Herman sambil berjalan mendekati Saga, dia lalu memiringkan kepalanya dan menawarkan pipinya untuk dipukul. “Ini biar Rena tidak dicurigai berkomplot denganmu, anggap saja kau memaksanya untuk membantumu, lalu kau culik dia. Pokoknya aku tidak mau dia terlihat sebagai tersangka! Kau paham maksudku?”

    Ucapan Herman membuat Rena tertegun. Dia tidak menyangka Herman akan memikirkan soal dirinya, dan ini membuat Rena merasa semakin bersalah pada rekannya itu. Ternyata Herman benar-benar mempercayai ucapannya, meskipun belum terbukti itu benar. Lelaki itu bahkan masih bersedia membantunya melarikan diri dan memposisikan dirinya sendiri sebagai korban.

    “Ayo, cep...”

    Herman baru setengah bicara, ketika Saga tiba-tiba menghantam perutnya dengan sekuat tenaga, membuat pria itu langsung tersungkur ke lantai tidak sadarkan diri. Rena yang melihat kejadian itu langsung berseru kaget dan memeriksa kondisi rekannya. Dia lalu melotot ke arah Saga yang tadi tidak segan-segan memukul Herman hingga pingsan.

    “Jangan cuma melotot, ayo kita pergi!” ujar Saga, dia lalu membuka pintu tangga darurat yang ada di sisi lain lorong. “Pakai tangga, jangan pakai lift.”

    Sambil membaringkan Herman ke posisi semula, Rena berdiri dan bergegas mengikuti Saga. Selai menuruni tangga dengan berlari, Rena mulai memikirkan bagaimana nasibnya nanti, terutama setelah memutuskan untuk mengikuti Saga entah kemana. Dalam hati dia masih bertanya-tanya bagaimana hidupnya bisa berubah seperti ini.

    Setelah beberapa kali hampir terpeleset dan jatuh dari tangga, akhirnya Rena sampai di basement kantor partainya, yang digunakan sebagai lahan parkir bawah tanah. Dengan segera dia mencari label yang menandakan blok-E, sekaligus mencari dimana Herman memarkirkan mobilnya. Tidak butuh waktu lama sampai Rena menemukan sebuah mobil city car biru yang dikenalinya sebagai mobil pribadi Herman.

    “Kau yang mengemudi.” Saga bicara sambil membuka pintu depan mobil. Berhubung Rena kini memandanginya dengan tatapan heran, dia langsung menunjuk ke arah tangan kirinya yang kini kembali buntung. “Aku tidak bisa menyetir mobil dengan tangan seperti ini.”

    Kali ini Rena tidak membantah dan segera masuk, kemudian menyalakan mesin mobil. Mesin mobil bertenaga Dithylium itu mengeluarkan suara derum halus ketika dihidupkan. Dengan cepat Rena menekan pedal gas dan membuat mobil itu melaju keluar dari lahan parkir bawah tanah gedung kantor partai Inbastu.

    Namun saat mobil yang dikemudikannya baru akan keluar gedung, Rena melihat mobil polisi sudah berada tepat di samping gerbang keluar. Ternyata polisi sampai jauh lebih cepat dari perkiraannya semula, Rena semakin takut lagi ketika melihat mobil van hitam dengan tulisan Detasemen 219 juga parkir di depan lobi kantornya. Dengan panik, dia langsung menoleh ke arah Saga yang duduk di sampingnya.

    “Bagaimana ini?!” serunya panik.

    “Terobos saja!” sahut Saga dengan entengnya. “Kita harus segera pergi ke pelabuhan rekreasi secepatnya. Ada yang sudah menunggu untuk membawa kita keluar dari Ternate.”

    Rena menelan ludahnya dan menarik nafas panjang, kemudian tanpa berpikir lagi, dia menginjak pedal gas mobilnya sekuat tenaga. Mobil kecil itu langsung melesat maju dengan diiringi suara decit ban yang nyaring.

    Seorang polisi yang berjaga di samping gerbang keluar gedung, sempat berlari ke depan palang pintu, berharap mobil yang tiba-tiba melaju keluar gedung itu mau menghentikan lajunya. Tapi Rena tidak berniat melakukan itu, hingga memaksa sang polisi melompat ke samping ketika mobil kecil milik Herman itu menerjang palang pintu hingga patah, kemudian melaju cepat di jalan raya kota Ternate.

    Tidak perlu dipertanyakan lagi, mobil yang dikendarai oleh Rena itu langsung diburu oleh mobil polisi. Dengan ngeri, Rena terus melirik ke arah kaca spion mobilnya untuk melihat deretan mobil polisi yang mendekat dengan cepat dari belakang. Dia beberapa kali mengambil manuver gila untuk menghilangkan jejak, tapi sejauh ini usahanya sia-sia. Biar bagaimanpun, sebuah mobil city car kecil tidak akan sanggup mengungguli kecepatan dan kemampuan manuver sebuah mobil polisi bermesin besar.

    “Bagaimana ini?! Lakukan sesuatu!” Rena berseru sambil memanting setir, membuat mobilnya berbelok dengan kecepatan tinggi hingga nyaris terlempar ke dinding sebuah warung makan yang ada di sisi jalan.

    Saga yang sedari tadi diam, kini melepas sabuk pengamannya. Dia lalu menempelkan tangan kanannya ke dada kiri sembari bergumam, “Bangkitlah, Libera.”

    Bersamaan dengan ucapannya, kabut perak kembali muncul dan nyaris membuat Rena panik karena kabut itu juga menghalangi pandangannya. Tapi sedetik kemudian kabut berkilau itu membentuk dua buah senapan serbu ringan dengan bentuk yang aneh. Bentuk senapan itu mirip dengan huruf Y, dengan sebuah silinder besar yang mencuat di bagian belakang. Pada saat yang sama, tangan kiri Saga kembali terbentuk dan kini kedua tangannya diselimuti oleh pelindung logam tipis yang berwarna coklat keemasan.

    “Apapun yang terjadi, jangan berhenti!” Saga berujar memperingatkan Rena. Sementara itu dia menurunkan kaca jendela dan membidikkan salah satu senjatanya ke arah mobil-mobil polisi yang mengejar dari belakang. Sebuah layar holografis muncul di depan mata Saga dan membantunya menentukan sasaran dengan tepat.

    “Tembakan gelombang kejut, kekuatan 70 persen.” Saga bergumam sendiri sambil menarik pelatuk senapannya itu.

    Sebuah tembakan energi langsung melesat ke arah mobil-mobil polisi di belakang, yang kini dengan panik berusaha menghindar. Sayangnya usaha itu sia-sia, karena begitu tembakan Saga mengenai salah satu mobil, mobil polisi itu langsung terhempas ke udara dan jatuh menimpa mobil lainnya. Efek gelombang kejut dahsyat yang ditimbulkan serangan itu membuat sebuah mobil polisi lepas kendali dan menabrak tiang listrik di tepi jalan, sementara satu mobil lainnya berputar tidak karuan di tengah jalan, kemudian berhenti dengan kap mobil yang mengeluarkan asap tebal.

    Dalam sekejap mobil-mobil polisi yang mengejar Rena dan Saga itu berhasil dilumpuhkan. Melihat itu, Rena hanya bisa melongo kaget dan memandangi Saga yang kembali duduk dengan santai sambil memasang sabuk pengamannya, sementara kedua senapannya kembali hancur menjadi serbuk berkilau.

    “Hei, jangan bengong! Kita belum aman!”

    Saga berseru memperingatkan Rena, yang langsung mengalihkan pandangannya ke depan dan membanting setir menghindari gerobak pedagang kaki lima yang diletakkan terlalu dekat ke tepi jalan.

    Sambil menelan ludah dan menenangkan diri, Rena kembali berkonsentrasi untuk mengemudi dan membawa mobil yang dikemudikannya itu ke arah pelabuhan rekreasi kota Ternate. Pelabuhan itu terletak tidak jauh dari pelabuhan utama, namun pelabuhan kecil itu biasanya hanya digunakan oleh orang-orang kaya untuk menambatkan kapal-kapal pesiar pribadi, atau yatch mereka. Beberapa orang juga menggunakan pelabuhan itu untuk menambatkan kapal-kapal cepat yang bisa membawa orang ke pulau Tidore, atau ke pulau lainnya di daerah Maluku.

    Tidak butuh waktu lama sampai Rena dan Saga berhasil sampai di pelabuhan itu. Mereka langsung meninggalkan mobil milik Herman di pinggir jalan dan berlari memasuki kompleks pelabuhan yang terlihat mewah itu. Beberapa orang yang kebetulan berada di pelabuhan itu sempat memandangi keduanya dengan tatapan heran, tapi mereka akhirnya mengabaikan keberadaan Saga dan Rena, meski keduanya jelas terlihat mencurigakan. Rena terus berlari mengikuti Saga hingga mereka akhirnya sampai di sebuah dermaga, tempat sebuah kapal pesiar mewah bersandar.

    Rena memandangi kapal itu sejenak. Sekilas bentuk kapal itu tidak berbeda dengan kapal-kapal mewah yang memang biasanya bersandar di pelabuhan rekreasi ini, meskipun ukurannya jelas lebih besar. Kapal itu tampak anggun dengan warna putih bersih, dengan hiasan garis merah dan hitam di lambung kapal. Melihat bentuk lambungnya, Rena menduga kapal ini menggunakan dua jenis mesin dan salah satunya kemungkinan adalah mesin jet, sehingga kapal jenis ini dapat melaju sangat cepat di lautan tenang. Di sisi kapal itu tercetak tulisan Varuna dengan cat warna emas, yang tidak lain adalah nama kapal mewah itu.

    “Kenapa bengong? Ayo naik!” Saga berseru pada Rena yang masih berdiri terdiam sembari mengagumi keindahan kapalnya. “Kita tidak punya waktu!”

    Tanpa banyak bertanya lagi, Rena mengikuti Saga dan naik ke atas kapal mewah itu. Anehnya ketika Rena naik melewati dek kapal, dia merasa seperti baru saja menembus suatu lapisan yang agak padat, hingga memaksanya menutup mata. Ketika membuka matanya lagi, dia terkejut bukan main melihat wujud kapal yang dinaikinya seolah-olah berubah total. Alih-alih melihat dek kapal pesiar mewah, dia justru melihat dek sebuah kapal sederhana yang terbuat dari metal. Sekilas pandang, bentuk dek itu mirip sekali dengan dek kapal pengintai milik angkatan laut, terlebih ketika dia melihat sebuah anjungan senapan mesin kecil di bagian belakang kapal.

    “Apa-apaan ini?!” seru Rena kebingungan, dia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. “Kenapa bentuk kapalnya jadi berubah begini?!”

    “Ilusi holografis,” sahut Saga sambil membuka pintu kapal. “Ayo masuk! Kita segera berangkat.”

    Rena mengerjapkan mata beberapa kali, baru kemudian bergegas mengikuti Saga dan menutup pintu di belakangnya. Begitu di dalam, ternyata interior kapal bernama Varuna itu jauh dari kesan mewah. Yang terlihat justru sebuah kapal sederhana namun terlihat kokoh dengan rangka baja tebal yang jelas terlihat di dinding dan langit-langit kapal. Ketika melihat bagian dalam kapal itu, Rena semakin yakin dia bukan berada di dalam yatch melainkan di dalam sebuah kapal perang kecil.

    “Farah! Kita harus segera berlayar, ada polisi dan Detasemen 219 yang mengejar kami di belakang!” Sambil berjalan menyusuri lorong sempit kapalnya. Dia lalu naik melalui sebuah tangga kecil dan sampai di anjungan kapal. “Kau dengar aku?!”

    “Aku dengar. Jangan teriak-teriak di dalam sini, berisik tahu!”

    Di dalam ruang kendali itu sudah duduk seorang gadis berambut coklat panjang, yang sepertinya baru berusia belasan tahun. Gadis itu duduk di atas sebuah kursi roda yang dilengkapi motor canggih, sehingga bisa digerakkan dengan tombol yang ada di sandaran tangannya. Begitu mendengar suara Saga, Farah langsung memutar kursinya dan menghadap ke arah lelaki bertangan satu itu.

    “Jadi kurasa rencanamu berhasil?” tanya Farah. “Ivan sudah kalah?”

    “Ya,” sahut Saga singkat. “Tapi sekarang polisi dan Detasemen 219 sedang mengejar kami dan mereka pasti akan segera sampai disini. Jadi sebelum ada yang mulai menembaki kita, sebaiknya kita sudah pergi jauh dari sini.”

    Farah menyipitkan matanya karena mendengar ada yang aneh dengan ucapan Saga.

    “Tunggu dulu...’kami’?” tanya gadis itu.

    Tanpa menjawab, Saga mempersilahkan Rena untuk masuk ke dalam anjungan kapalnya. Begitu gadis itu naik ke ruang kendali, Farah langsung melotot ke arah Saga.

    “Bisa jelaskan siapa orang ini?” tanyanya dengan nada ketus.

    “Renadya Swastika, mantan sekretaris ketua partai Inbastu. Sekarang dia ikut kita.” Saga menjawab pertanyaan Farah dengan santainya, dan mengabaikan tatapan bingung dari Rena serta tatapan jengkel dari Farah. “Ada masalah?”

    Farah mendengus ketika mendengar perkataan Saga.

    “Banyak! Tapi ini bukan saatnya berdebat. Aku mendeteksi ada benda terbang mendekat dengan cepat, kemungkinan helikopter atau lebih buruk lagi, pesawat pemburu.” Farah kembali bicara sambil memutar kursinya menghadap ke depan.

    Dengan cekatan gadis itu menekan sebuah tombol dan deretan layar holografis langsung muncul di hadapannya. Pada saat yang sama, dua buah pengunci baja muncul dari lantai dan mengunci roda-roda di kursi rodanya. Sebuah roda kemudi kapal juga muncul dari balik panel logam di lantai dan berhenti dengan posisi yang pas untuk di genggam oleh Farah.

    “Kita siap belayar,” ujar Farah sambil menekan beberapa tombol di keyboard holografisnya.

    Tidak lama kemudian terdengar suara dengung rendah yang membuat telinga Rena terasa geli. Dia juga merasakan ada getaran samar ketika mesin kapal canggih itu dinyalakan. Tidak lama kemudian, Rena melihat kalau kapal yang dia naiki itu perlahan-lahan bergerak menjauhi pelabuhan. Begitu kapal itu sudah berada cukup jauh dari dermaga, Rena melihat Farah menekan banyak tombol dan suara dengung rendah yang terdengar sejak tadi, kini berubah menjadi suara derum samar.

    “Pegangan, kita akan berlayar dengan kecepatan penuh!”

    Farah berseru pada Rena dan Saga, sambil menekan sebuah tombol di panel kendali kapalnya. Bersamaan dengan itu, Varuna melesat dengan kecepatan tinggi membelah lautan yang membentang di hadapannya. Sambil melaju, selubung holografis yang menyembunyikan wujud aslinya menghilang dan menampakkan sosok kapal perang canggih berlambung tiga. Dengan anggun, kapal itu melaju diatas lautan berombak dengan mulusnya, nyaris seperti sebuah mobil yang melaju di jalan raya, dengan kecepatan yang cukup untuk membuat seorang pelaut melongo kaget.

    Rena merasa takjub melihat kecanggihan kapal yang dia tumpangi itu. Dari jendela ruang kendali, atau anjungan kapal, dia bisa melihat kota Ternate yang berdiri megah di kaki gunung Gamalama. Kota metroplitan itu kini terlihat mungil dan mulai menghilang di cakrawala.

    Jauh di dalam hatinya, Rena merasa sedih karena dia akan pergi meninggalkan kota yang sudah dia tinggali selama bertahun-tahun itu, terlebih karena dia terpaksa untuk melakukannya.

    Untuk saat ini aku pergi, tapi suatu saat nanti aku pasti kembali!

    Rena bergumam dalam hati, sembari terus memandangi kota Ternate, yang kini sudah tidak terlihat lagi. Dia lalu memandang ke depan, ke arah kehidupan barunya yang akan segera dimulai.

    ϕ ϕ ϕ
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.