1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen The Virus

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Mar 11, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    hmm, terinspirasi dari salah satu komen di cerpen ane sebelumnya, We Can Always Meet, mungkin ini versi prequelnya. tapi, bisa juga bukan sih, oh, whatever :swt:

    “Namanya Tyler Garcia, professor dari Harvard University. Aku bekerja dengannya sudah hampir lima tahun. Beliau benar-benar seorang jenius.”

    John terus bercerita mengenai koleganya di tempat dimana ia bekerja kini – suatu tempat di pedalaman Afrika. Meski aku bosan mendengarnya, aku harus menahan diri demi sebuah headline di The Daily Scientific News. Sudah jenuh aku mendapatkan namaku terpampang di halaman tengah buletin lokal murahan, dengan bos murahan, dan gaji yang murah pula. Berita-berita tentang pemanasan global, ancaman badai, dan profil benda-benda luar angkasa mungkin sudah terlalu umum bagi kebanyakan orang, dan itulah yang selama ini kubuat : artikel murahan. Kini aku ingin reputasiku naik, dan dengan menelusuri temuan Professor Garcia, aku yakin bisa mendapatkannya. Setidaknya, aku lima puluh persen yakin, karena kenyataannya editorku sangat pilih-pilih. Jika ia sudah suka dengan seseorang, sebut saja Michael, ia akan lebih memperhatikan artikel buatannya ketimbang buatanku. Sableng. Editor murahan.

    “Konferensi pers akan dimulai empat jam lagi. Anda bisa ikut kami melihat-lihat fasilitas terbaru kami kalau anda mau, tuan Owl.”

    “Oh, ayolah John, jangan terlalu formal denganku,” kataku. “Kau kan rival sekolahku dulu, panggil saja aku Joseph.”

    John tersenyum kecil. “Bukan rival, tetapi sahabat baik.” Jawabnya. “Aku masih dalam jam kerja. Sudah kewajibanku menjaga situasi tetap formal.”

    “Ahaha, kau ini sama saja seperti dulu.”

    John tersenyum. “Jadi, bagaimana tuan Owl? Ini bisa jadi berita bagus untukmu.”

    “Mungkin besok, John.” Sanggahku. “Aku butuh istirahat dan konsentrasi untuk konferensi pers nanti.”

    John tampak sedikit kecewa dengan jawabanku, tapi ia hanya bisa mengangguk. Tiba didepan gerbang masuk bertuliskan “The Hoover Corp.”, kami berpisah.
    “Kabari saja staff kami jika anda butuh sesuatu, tuan Owl.” Katanya. Aku mengangguk.

    “Dan jika anda butuh jemputan, anda tahu nomor telepon saya, kan?” Candanya. Meskipun begitu John tetap menyodorkan sebuah kartu bertuliskan namanya. John Steel, staff researcher. “Semoga hari anda menyenangkan.” Katanya lagi.

    “Terima kasih, tuan professor doctor Steel.” Kataku tersenyum, menggoda. John membalas senyumanku sambil menepuk punggungku pelan dengan telapak tangannya.

    John masih sama seperti dulu. Lembut, santun, berwibawa. Terjun ke dunia penelitian malah makin membuatnya beradab, tidak sepertiku.

    Ia mulai berjalan berbalik arah. Beberapa orang yang memakai jas laboratorium segera menghampirinya sambil membawa catatan-catatan yang tersusun diatas papan clipboard.

    Jujur saja, aku amat terkesan dengan pelayanan yang diberikan perusahaan farmasi ini. Bukan hanya menghasilkan obat-obat berkualitas, pelayanan mereka terhadap para tamu juga sangat sempurna. Jamuan makan siang dan fasilitas antar jemput, bagi para wartawan sepertiku ini adalah surga. Di Inggris, kadang aku malah harus menambal ongkos naik bis untuk membuat liputan.

    The Hoover Corp mendapat reputasi yang baik akhir-akhir ini. Setelah berhasil menemukan obat untuk mengobati berbagai jenis kanker, kini rumor yang berkembang menyatakan bahwa perusahaan itu telah menemukan obat untuk melawan Ebola, penyakit yang masih menjadi momok menakutkan di Afrika. Pengumuman resmi akan berlangsung empat jam lagi, dan aku bangga bisa berada disini meski hanya sebagai reporter kacangan.

    Hotel Macata, hotel tempatku menginap, jaraknya hanya sekitar satu mil dari fasilitas farmasi berlantai tiga ini – yang entah kebetulan atau apa, tampak amat kontras dengan kondisi hutan lebat dan pemukiman padat juga kumuh disekelilingnya. Dengan sisa waktu empat jam, kuputuskan untuk berjalan kaki menuju kesana. Aku ingin tahu bagaimana rasanya berjalan kaki ditengah rimbunnya pepohonan di Afrika. Unik. Tanah tempatku berjalan belum diaspal, dan bukannya risih, aku malah menyukainya.

    Beberapa warga lokal tampak disekitarku. Beberapa tersenyum dan menyapaku ramah dengan Bahasa Inggris yang seadanya, seperti “Hello Mister,” atau “Good Day,” atau malah “Bonjour,” namun kebanyakan hanya lewat dan acuh. Tak lama aku berjalan, sebuah pemandangan menarik perhatianku – seorang kakek-kakek yang menjulurkan kedua tangannya ke langit dan berteriak-teriak. Dibelakangnya seorang wanita kribo paruh baya tampak menggoncang-goncangkan tubuh sang kakek, dan berteriak-teriak. Penasaran, aku segera menghampiri keduanya.

    Sang kakek berbicara dengan bahasa lokal yang sama sekali tak kumengerti artinya. Aku segera menyahut, “Hei, kakek, apa yang anda lakukan?”
    Namun sang kakek tak menjawab. Ia terus menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berteriak-teriak. Kulitnya yang hitam legam tampak mengkilat.

    “Halo? Kakek?”

    “Dia tidak berbicara bahasa Inggris,” Sang wanita yang menemaninya kemudian menyahut dalam bahasa Inggris yang amat kumengerti. “Maafkan aku, apa pamanku mengganggumu?”

    “Tidak juga,” kataku. “Apa yang terjadi? Mengapa ia menari seperti ini?”

    “Ia tidak menari. Ia berdoa.”

    “Berdoa?”

    “Kambing-kambing kami, semuanya mati tadi pagi. Pamanku bilang bahwa iblis sedang berjaya dan mengutus pasukan Babutu.”

    “Babutu?”

    Sang wanita mengernyitkan dahinya. “Sepasukan simpanse yang menyerang siapapun dengan buas, termasuk manusia, untuk dijadikan makanannya.”

    Aku tertawa geli, entah karena mendengar nama makhluk itu yang lucu atau karena diluar dugaanku, ternyata orang-orang Afrika ini masih tertinggal jauh dari peradaban. Disaat orang-orang sudah mulai berbicara melalui hologram, orang-orang ini masih percaya dengan makhluk mitologi. Mereka benar-benar polos.

    “Apanya yang lucu?” sang wanita menyahut. Aku segera berhenti tertawa.

    “Nyonya, di dunia ini tidak ada naga, tidak ada Pegasus, tidak ada phoenix. Lalu apa yang membuat anda percaya makhluk itu ada?”

    “Apa maksud anda?”

    Aku berhenti tertawa dan berdehem. “Nyonya, belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan keberadaan makhluk-makhluk legenda seperti itu, bukan?”

    Pertanyaanku dijawab dengan tatapan sinis sang wanita. “Tuan Inggris,” katanya kemudian. “Anda baru tahu sedikit tentang Afrika.”

    Aku terhenyak, tertegun. Merasa telah menyinggung perasaan sang wanita, aku segera meminta maaf, yang dibalas sang wanita dengan mencibir setengah menggerutu. Sementara itu sang kakek terus berteriak-teriak ke langit tiada henti. Benar-benar tak waras.

    Sebagai permintaan maaf, aku menyodorkan kartu namaku. Karena masih diacuhkan, kukeluarkan dari dompetku dua lembar uang satu Euro. Sang wanita masih cemberut meski kemudian ia menyambar uang tersebut.

    Begitulah cara kami, orang Inggris, bernegosiasi.

    ***

    Jepretan kamera terus tampak di aula yang cukup lega ini saat Professor Garcia berjalan menuju podium. Diluar dugaanku, ternyata ia tak begitu tua. Dari wajahnya kutaksir usianya baru pertengahan 30-an. Sejenak ia meminum air dari gelas kecilnya sebelum memberikan keterangan bahwa ia dan timnya telah menemukan obat untuk penyakit Ebola.

    “Konsep dasar dari obat ini adalah semacam virus pada fosil manusia purba yang baru kami temukan di sebuah gua di Sierra Leone. Kami sempat menguji coba virus tersebut pada simpanse percobaan, dan hasilnya sangat memuaskan. Para simpanse yang tidak diberi virus kondisinya makin melemah dan mati karena Ebola, sedangkan mereka yang kami suntikkan virus tampak tetap sehat.” Ia berdehem sejenak, dan tepuk tangan riuh terdengar.

    Salah seorang wartawan, seorang gadis muda, mengacungkan tangan dan berdiri. “Professor, bagaimana cara kerjanya sehingga virus itu bisa menyembuhkan penyakit Ebola?”

    “Ah, pertanyaan yang bagus,” Professor tersenyum. “Virus yang kami namai Type-36 ini bekerja dengan memakan virus yang menyerang tubuh, sehingga yang tersisa hanyalah virus kanibal yang menurut perkiraan kami, akan dengan mudah ditumpas oleh sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tak ada lagi penyakit yang tersisa. Benar-benar bersih.”

    “Menurut perkiraan? Anda tampaknya tak yakin?”

    “Sebetulnya untuk tahun ini, obat ini masih dalam tahap penelitian. Kami masih akan terus menyempurnakannya. Rumor yang berkembang sudah menyebar terlalu dini, dan itu amat mengganggu. Karena itulah aku menyelenggarakan konferensi pers ini untuk memberikan keterangan resmi.”

    “Professor, mari kita kesampingkan masalah rumor dan fokus pada obat yang anda temukan.” Seorang lelaki berkacamata disampingku berteriak lantang. Meski sangat tidak sopan mendoktrin professor seperti itu, professor tak bergeming dan hanya diam. “Mengenai obat itu sendiri, adakah efek sampingnya?”

    “Sejauh ini hanya lelah. Para simpanse yang kami beri virus ini tampak kelelahan untuk beberapa saat, dan keesokan harinya mereka kembali aktif dan lincah, bahkan lebih lincah dari sebelum diberi Type-36.”

    Was, wes, wos, terdengar beberapa decak kagum dari para audiens.

    “Professor, terkait rumor yang beredar di masyarakat bahwa ada beberapa simpanse yang menyerang ternak-ternak mereka, apakah menurut anda hal ini ada kaitannya dengan simpanse percobaan yang dikabarkan lepas dua hari yang lalu?” Seseorang bermata sipit dengan aksen Inggris yang terbata-bata juga ikut bertanya, dan pertanyaannya membuatku cukup terkejut. Rumor serangan simpanse yang baru kudengar tadi siang ternyata sudah beredar bahkan sampai ke kalangan wartawan. Terlebih, aku baru tahu jika ada simpanse percobaan yang lepas.

    “Tidak, tidak, tak ada hubungannya sama sekali,” jawab sang Professor. “Kami memang kecolongan mengenai simpanse percobaan tersebut, tapi semua orang melakukan kesalahan, bukan? Kami akan pastikan bahwa simpanse-simpanse yang lepas itu akan kami dapatkan secepatnya. Lagipula, serangan Babutu…” Professor jenius ini juga tahu tentang Babutu, “itu hanyalah rumor yang tidak didasari fakta ilmiah.”

    Beberapa pertanyaan kembali bermunculan, namun aku tak begitu tertarik untuk menyimaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang kususun hampir semuanya sudah diajukan para wartawan lain, dan aku hanya tinggal menulis keterangannya saja.

    Sesi konferensi pers sore itu diakhiri secara mendadak saat John tiba-tiba muncul dengan wajah tegang, dan masih dengan wajah tegang pula ia membisikkan sesuatu pada sang professor. Begitu mendengarnya, sang professor buru-buru meninggalkan aula dengan panik. Beberapa wartawan memasang wajah penasaran, gelisah, dan beberapa jelas-jelas bertanya apa yang terjadi.

    Tidak denganku. Aku baru akan melakukan hal yang sama saat tiba-tiba kudengar suara John yang memanggilku dari kejauhan. Anehnya, kini ia memanggilku dengan nama depanku.

    “Ya ampun John, kau sedang dalam jam kerja.” Kataku saat John tiba dihadapanku.

    “Maafkan aku, Joseph,” katanya panik. “Joseph, ini darurat…”

    “Bicaralah yang tenang, John.” Kataku menggerutu. Dari kejauhan tampak dua orang yang memakai pakaian formal dan jas hitam menahan laju Professor Garcia dengan paksa. Ketiganya terlibat pembicaraan yang tak terlalu mengenakkan. Aku berusaha melihat lebih jelas, namun lalu-lalang orang-orang amat mengganggu.

    “Siapa mereka, John?”

    “FBI.”

    “FBI?” tanyaku keheranan. “Apa yang dilakukan FBI disini?”

    “Konspirasi tingkat tinggi.” Ia menoleh dengan panik pada agen-agen FBI yang kini menyeret Professor Garcia. Beberapa wartawan penasaran dengan apa yang terjadi, dan segera saja lampu blitz kamera beterbangan. Petugas keamanan segera menghalangi para wartawan dan mengusir mereka, meskipun para wartawan itu tetap saja ngotot. Suasana menjadi gaduh.

    “Dengarkan aku, Joe. Amerika, mereka memaksa kami menghentikan produksi karena…”

    John berhenti sejenak, membuatku bertanya, “Karena apa, John?”

    “Mereka menganggap organisasi kami teroris, John. Mereka mengetahui insiden lepasnya para simpanse ini, dan dengan alasan tersebut mereka berusaha menutup perusahaan kami. Aku yakin sebenarnya mereka hanya ingin menguasai asset kami.”

    Aku semakin kebingungan dengan perkataan John. Apa hubungannya perusahaan farmasi ini dengan tindakan terorisme?

    “Virus yang ditemukan professor, sebenarnya virus itu sangat berbahaya. Virus itu bisa mengubah perilaku inangnya menjadi ganas, menjadi kanibal! Dengan dalih itu, mereka menuduh kami membuat senjata biologis. Meski kami berusaha menutupi kenyataan itu sedemikian rapat, tapi dengan lepasnya para simpanse percobaan kami, situasi menjadi buruk. Akh, sial!” John mengutuk. “Kenapa semuanya bisa jadi begini?”

    Aku geleng-geleng kepala. “Aku tak mengerti, John.”

    “Joe, jika virus ini jatuh ke tangan Amerika, apa yang akan terjadi dengan dunia ini? Kau tahu apa yang mereka lakukan dengan virus flu burung atau SARS, bukan? Kau sebar virusnya, dan kau ciptakan obatnya. Untung besar! Si kaya bertahan hidup, si miskin digiring ke surga. Begitulah Amerika!”

    “John, itu belum terbukti benar. Lagipula, kenapa kau beritahu itu padaku? Aku wartawan. Apa kau tak takut aku akan angkat bicara?”

    “Lalu pada siapa aku harus bicara? FBI? Hanya kau yang bisa kupercaya, Joe, itulah sebabnya aku mengundangmu kemari.”

    Aku menghela napas panjang sambil garuk-garuk kepala. “Baiklah. Kau mau aku melakukan apa?”

    John merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak besi kecil. “FBI akan memeriksa seluruh staff di perusahaan ini, dan jika itu terjadi, maka virus ini juga akan jatuh ke tangan mereka. Aku tak mau itu terjadi. Sekarang, aku minta tolong padamu Joe. Kau bawalah sampel vir…” John memotong sejenak, dan kembali meneruskan kata-katanya di waktu hampir bersamaan. “…sampel obat ini. Hanya ini yang bisa kuselamatkan. Kami tahu ini akan terjadi, dan kami sudah menyiapkan scenario terburuk.”

    “Kalian gila!” Kataku. “Kau mengirimku kesini untuk menjadi kurir? Apa sebenarnya yang-“

    “Pilihan apalagi yang kami punya?” potong John. “Orang-orang bergantung pada kami untuk bisa terus hidup.”

    Aku menghela napas panjang, tak menyangka keadaan akan menjadi seburuk ini. “Apa skenario yang kalian siapkan?”

    John menatap ke langit-langit, sedikit sedih, namun ia kembali menatapku.

    “Kami akan menghancurkan fasilitas ini Joe. Kami juga sudah siap memusnahkan semua sampel yang ada. Agen-agen rakus Amerika itu takkan mencurigaimu karena kau hanyalah wartawan. Professor Garcia mungkin akan ditahan untuk sementara, tapi tidak dengan para staffnya.”

    Aku menghela napas panjang, sebal, tak suka. “Baiklah, lalu?” kataku ogah-ogahan.

    “Besok subuh, temui aku di danau Tumbi, sebelah selatan hotel tempatmu menginap. Professor telah bilang padaku untuk meneruskan penelitian dan mengambil alih tugasnya secara rahasia. Aku harus meneliti virus ini lebih lanjut, Joe.”

    Kembali aku menghela napas. “John, dengarkan aku, kawan. Jika virus ini memang berbahaya, mengapa tidak dimusnahkan saja?”

    “Dan menghancurkan harapan banyak orang akan obat yang bisa mengembalikan kehidupan mereka? ah, tidak Joe.” Ia kembali menggeleng. Dari raut wajahnya aku sadar ia amat jengkel dengan pertanyaan-pertanyaanku, meskipun ia tahu aku hanya ingin memastikan semuanya aman.

    “Joe, kau tahu kan? Seumur hidupku aku ingin mendedikasikan hidupku untuk kemanusiaan. Demi kehidupan dan kesehatan orang-orang.”

    “John, kau bukan Tuhan. Hidup dan mati manusia hanya Tuhan yang menentukan.”

    “Ini bukan saatnya berdebat, Joe! Kau mau melakukannya atau tidak? Itu saja!” John berkata kesal, sedikit berteriak. Aku sebetulnya tidak ingin melakukannya, tapi melihat kekacauan yang semakin menjadi, ditambah beberapa agen FBI yang juga muncul dari pintu masuk, aku mengulurkan tanganku.

    “Berikan padaku!”

    John menepuk kotak besi itu ke tanganku. “Terima kasih, Joe. Ingat, besok subuh, danau Tumbi, selatan hotel Macata.”

    “Ya, ya, aku mengerti.”

    Kini jelaslah sudah bagiku bahwa perusahaan ini tak sekuat apa yang terlihat dari luar. Kesampingka masalah konspirasi, perusahaan ini bahkan tak mampu mengendalikan keamanan kelinci percobaannya. Akibatnya malah lebih hebat lagi. Konspirasi tingkat dunia, dan kau tahu apa? Aku terlibat didalamnya. Betapa kini aku telah menjadi orang VIP.

    John kembali mengatakan sesuatu yang membuatku makin hilang simpati. “Aku sudah mengontak pasukan milisi FFA untuk mengendalikan situasi dan mengamankan para simpanse yang lepas.” Katanya, merujuk pada milisi Freedom For the African, yang biasa kukenal dengan sebutan FFA. Sudah setahun lebih, FFA menjadi headline di kolom berita internasional.

    “Apa yang kau lakukan dengan teroris?”

    “Percayalah padaku, Joe. FFA bukan teroris. Aku tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi disini dibandingkan kau!”

    Dan John segera melangkah menjauh. Beberapa anggota FBI menghentikannya. Dengan pikiran kalut, aku segera keluar dari aula itu. Rekan-rekanku sesama wartawan tak ada yang mengikutiku. Mereka masih asyik meliput berita, yang kupikir juga akan menjadi headline yang bagus – bahkan lebih bagus daripada rencana awal tulisanku.

    Tapi itu pulalah yang menyelamatkanku. Karena kemudian, di perjalanan kembali ke hotel, beberapa orang bersenjata menyerbu fasilitas tersebut. Aku hanya berdiri terpaku saat kemudian kudengar rentetan letupan senjata dari gedung itu. Beberapa wartawan keluar bersimbah darah, tapi aku yakin kebanyakan dari mereka tewas.

    Itu membuatku ngeri! Aku tak mau melihatnya lagi! Segera aku berlari menjauh.

    ***

    Rentetan suara senapan kembali terdengar dari kejauhan, dan tampak dari jendela hotelku beberapa nyala api di berbagai tempat, termasuk fasilitas The Hoover Corp. yang kini terbakar habis. Selepas aku pergi, milisi FFA menyerbu tempat itu, membuat kontak senjata dengan agen-agen FBI, dan membakar fasilitas tersebut. Logikaku menyatakan bahwa dengan terbakarnya fasilitas itu, tak ada bukti yang bisa diklaim oleh pemerintah Amerika, dan karenanya Amerika tak bisa mengambil keuntungan dari virus tersebut. Nun jauh di Amerika sana, CIA akan menganggap insiden tersebut sebagai serangan teroris.

    Kini aku mengerti kata-kata John. FFA bukanlah orang-orang jahat. Itu pulalah yang muncul di pikiranku saat aku keluar dari hotel. Kudapati seseorang yang menenteng senjata laras panjang menegurku. Dari model senapannya, aku tahu itu senapan Rusia. Awalnya aku terkejut, namun diliuar dugaanku, ternyata pria berkulit hitam itu sangat ramah. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama David Mbaba, tapi aku bisa memanggilnya Dave.

    “Jadi Dave, bagaimana situasi diluar sana? Kabarnya kalian melakukan kontak senjata dengan FBI?”

    “Ya, cukup menyenangkan.” Aku tak mengerti bagaimana sebuah kontak senjata bisa menyenangkan baginya. Ia mengeluarkan sekotak rokok dari saku kemejanya, menyulutnya sebatang. “Anda mau?” tawarnya, tapi aku menjawab bahwa aku tidak merokok.

    “Dave, aku ada ide bagus,” ujarku sambil terus berjalan. Kini kami mulai menembus hutan yang cukup lebat, sehingga suara langkah kaki kami kini berbaur dengan nyanyian serangga dan kera-kera liar. “Bagaimana kalau kau yang antarkan kotak besi ini pada John, sementara aku mencari taksi ke bandara dan pulang ke Inggris?”

    “Ide yang bagus,” jawabnya. “Sayangnya aku ditugaskan untuk menjaga keselamatan anda,” Dave mengokang senjatanya, dan entah mengapa ia segera berbalik. Terdengar suara letupan senjata tak lama kemudian. Aku menutup telinga, berteriak, dan menunduk. Dan saat aku berbalik tampak dimataku tiga ekor simpanse yang tertembus peluru tepat di kepalanya.

    “Gila!” Spontan aku berteriak. “Apa itu?”

    “Babutu, tuan Owl. Itu semua simpanse hasil eksperimen.”

    “Ya Tuhan. Berapa banyak simpanse yang lepas?”

    “Tuan Steel bilang sepuluh, dan akan terus bertambah.”

    “Apa maksudnya bertambah?”

    “Sesuatu tentang infeksi, gigitan, saliva, atau semacamnya. Aku tak begitu peduli sih. Lagipula aku dibayar sebagai milisi, bukan peneliti.”
    Aku bergidik. “Setelah kupikir-pikir lagi kurasa aku tidak jadi mencari taksi. Itu ide buruk.”

    “Tentu,” jawab Dave, dan ia mengajakku basa-basi. “Bayangkan, Tuan Owl, andai saja virus ini jatuh ke tangan orang-orang Amerika, apa yang akan terjadi? Beruntung Tuan Steel bertindak cepat. ”

    Kami tiba di tepian danau Tumbi tak lama kemudian. John belum ada, dan suasana tampak sangat sepi. Dave bersiul perlahan, beberapa kali. Beberapa saat setelahnya sosok-sosok bersenjata mulai bermunculan, entah darimana. Aku sedikit bergidik, ngeri. Tapi menurut John mereka bukanlah orang-orang jahat.

    “Joe,” seseorang menyapaku, dan bukan orang yang asing. “Syukurlah kau selamat.”

    “John, itu kau?” sosok John tampak samar-samar terlihat. Hanya ketika ia berjarak dua meter dariku barulah aku tahu ia betul-betul John.

    “John, kau tak apa-apa? Apa yang terjadi dengan yang lainnya?”

    “Mati,” ujar John muram. “Professor mati saat berusaha kabur, ditembak FBI. Staff lainnya tak bisa keluar hidup-hidup dari bara api. Hanya aku dan orang-orang ini yang selamat.” John menunjukkan padaku beberapa staff lain. Aku tampak kecewa untuk sesaat.

    “Kau sampai melakukan ini semua, John?”

    “Aku melakukan hal yang benar untuk kemanusiaan.”

    Aku diam sejenak, dan masing-masing dari kami terlibat lamunan dalam. John kembali berkata tak lama kemudian. “Joe, sebentar lagi FBI akan tiba disini. Apa kau bawa barangnya?”

    “Ya, John.”

    Aku segera membongkar tasku dan mengambil benda yang dimaksud. Sebuah kotak besi dengan panjang sepuluh sentimeter dan berdiameter sekitar dua sentimeter.

    “Ah, ya, ini. Terima kasih, Joe.”

    Aku mengangguk. “Apa rencanamu selanjutnya?”

    John tersenyum. “Rencanaku, Joe?”

    Aku tertegun bingung. Sebuah letupan senjata terdengar tak lama kemudian, membuat punggungku terasa begitu sakit. Aku jatuh, tersungkur ke tanah. Baru pertama kali kurasakan rasa sakit sedemikian hebat.

    John tersenyum menang melihatku meringis kesakitan.

    “John…”

    “Joe yang malang. Kasihan sekali kau.” Ia tersenyum sinis, menatapku dengan tatapan jahat.

    “Ke…kenapa? Bukankah kita…”

    “Teman?” John kembali berkata, masih tersenyum sinis. “Bukan, Joe. Kita Rival, dan kau tak pernah bisa menang dariku.”

    Sebuah helikopter kemudian tampak mendekat dari kejauhan, dan mendarat. “Tuan, konsumen kita sudah datang!”

    “Kita lakukan transaksi di dalam helikopter! FBI akan datang beberapa saat lagi!”

    Aku tak bisa bergerak. Aku ingin menghentikannya, bedebah itu! Tapi, aku tak bisa bergerak.

    Seseorang tampak keluar dari helikopter. Dari balutan bajunya bisa kubilang ia jenderal tentara, dan kaus dalamnya yang berwarna putih dengan garis-garis biru, akh, dia orang Rusia.

    “Tuan Medvedev, tentunya anda sudah lihat sendiri keganasan virus ini, bukan?” John melindungi kepalanya dari hembusan angin yang diakibatkan putaran baling-baling helikopter tersebut sambil bersorak kepada sang jenderal Rusia. Ia menyalaminya. “Ini baru simpanse, dan jika virus ini diinjeksikan kepada manusia, anda bisa menjadi Tuhan.”

    Sang jenderal menjawab sambil tersenyum, “Barang yang bagus. Manhattan akan hangus dalam seminggu dengan senjata ini.”

    “Ya tentu.”

    “Baiklah, tuan Steel. Kau bawa barangnya?” Orang itu berteriak.

    “Ya, tuan!” John berteriak.

    “Berikan padaku!”

    “Berapa banyak yang mau kau beri padaku?”

    “Lima milyar Dollar AS?”

    “Tawaran yang bagus, tapi aku masih akan menaikkan harganya. Dan bagaimana jika kita lakukan transaksi di dalam helikopter? FBI akan kemari dalam sepuluh menit.”

    Perlahan, aku mendapatkan kekuatanku untuk kembali merayap. Meski mataku tak bisa lagi menangkap bayangan John, atau jenderal Rusia itu, atau milisi FFA, aku tetap tak menyerah untuk bergerak. Beberapa saat kemudian kurasakan sebuah kaki yang menempel di punggungku. Di kepala bagian belakangku, ujung laras senapan terasa begitu dingin.

    “Haruskah kubunuh dia?”

    “Tak perlu!” John berteriak. “Biarkan dia mati dengan perlahan. Jangan sia-siakan peluru kita.”

    Sang Afrika menendang kepalaku dan mencibir, “dasar budak liberalis!”

    Aku mengerang, kecil. Mataku terasa makin tertutup saat kemudian helikopter itu mengapung, terbang menjauh. Dan saat itu aku merasa bahwa itulah akhirnya, akhir dari semua cerita hidupku.

    “Sebelah sini!”

    Samar-samar, dari kejauhan kudengar seorang wanita berteriak sambil mendekat padaku. Wanita itu, wanita yang sebelumnya kutemui dan mengatakan sesuatu tentang Babutu. Ia dan beberapa orang desa menghampiriku dan membalut lukaku. Aku tak ingat apa-apa lagi setelahnya. Tubuhku terasa lemas sekali.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.