1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen We Can Always Meet

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Feb 19, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Project Baka To Test ane hentikan sementara, mentok banget :gigits:
    btw, ini cerpen apa bukan ya? rada2 panjang soalnya :ogbloon:

    Robbie…

    Ingatkah kau tentang hari itu? Rumah sakit, taman bunga, dan salam perpisahanmu?

    ………

    Robbie…

    Kapan kita bertemu lagi?

    ***​

    “Blam!”

    Ia membanting pintu besi itu keras-keras dan segera menahannya dengan tubuhnya. Hanya berselang beberapa saat, ribuan dentuman keras terdengar dari arah belakang pintu itu. Blam! Blam! Ribuan tangan-tangan lapar menggedor-gedor pintu dengan ganas. Para kanibal buas itu benar-benar ngotot. Mereka tak tahu kapan harus berhenti dan terus saja mengejar kami sejak kami keluar dari kantor polisi yang dibakar masal demi memusnahkan sebagian dari mereka.

    “Mary! Ambil sesuatu! Pintu ini takkan bertahan lebih lama!”

    Aku tahu, Robbie. Tapi apa? Yang tampak dihadapanku hanyalah kegelapan – jika bukan nyala api yang besar di kejauhan. Ini ruangan terbuka, tak ada apapun disini.

    “Mary!”

    Aku masih melirik ke kiri dan ke kanan dengan panik. Pandangan mataku liar, mencari sesuatu yang entah apa itu, untuk dijadikan palang pintu. Tak menemukan apapun, aku bersorak. “Robbie, tak ada apapun disini. Aku tak bisa melihat dengan jelas.”

    Robbie makin menguatkan tubuhnya dan mulai berteriak sambil mengejangkan otot-ototnya. Sesaat kemudian baru kusadari bahwa linggis yang sudah dua hari ini kugenggam juga bisa menjadi kunci darurat. Engsel pintu segera kuhalangi oleh linggis tersebut, membuat pintu itu kembali tak bisa terbuka – setidaknya untuk beberapa waktu.

    “Tahan disini, Mary!” Robbie segera berlari dan mulai meraba-raba, mencari sesuatu di kegelapan. Aku hanya bisa menuruti perintahnya. Kira-kira semenit kemudian – yang bagiku terasa seperti setahun – ia kembali tampak dihadapanku dengan mendorong sebuah lemari tua. Bagaimana cara dia menemukan lemari tua tersebut aku tak tahu pasti.

    “Arrgghh!” Mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mendorong lemari tersebut ke arah pintu, Robbie bersorak. Seluruh ototnya mengejang. Meski Robbie sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, lemari itu bergerak amat lamban.

    “Robbie, cepat!” Jeritku. Engsel pintu besi ini sudah hampir roboh, dan jika itu terjadi, tamatlah riwayat kami.

    Robbie terus berteriak. Cukup lama baginya untuk membawa lemari itu ke depan pintu sementara aku menahannya.

    “Mary, menyingkir dari situ!” Teriaknya tak lama kemudian. Aku menurut dan segera pergi. Hanya beberapa saat saja setelah engsel pintu itu roboh, dan lemari itu tiba di posisi yang seharusnya. Berhasil, para monster itu terkunci. Pintu ini takkan bisa didobrak.

    “Bangsat! Mayat ********! Brengsek!” Untuk beberapa saat, Robbie mencaci maki tak karuan.

    Aku bernapas terengah-engah, menjatuhkan diri dan duduk diatas lantai. Hari yang amat melelahkan. Semenjak kantor polisi tempat kami mengungsi diserbu para mayat hidup, kami tak bisa menemukan tempat sembunyi lagi. Beberapa orang yang kami temui tak mau berbagi tempat tinggal, dan itu memuakkan. Di dunia yang kacau balau ini, kepercayaan menjadi sesuatu yang amat mahal. Kini, sudah dua hari kami tak tidur hanya untuk menghindari kejaran para mayat itu, sebuah terror tiada akhir.

    Puas mengutuk, Robbie segera merebahkan diri disampingku. Suara napas panjangnya dapat dengan jelas kudengar. Sementara dari kejauhan dapat kudengar suara teriakan ketakutan, raungan mayat-mayat hidup, atau suara senapan yang berbunyi. Hanya dengan mendengarnya, seluruh tubuhku gemetar. Itu semua mengerikan! Aku tak ingin lagi mendengar semua itu!

    Robbie melirik jam tangannya. “Dua jam lagi, Mary.” Katanya. “Dua jam lagi kita akan keluar dari kota terkutuk ini.”

    Aku tak menjawab.

    Sehari tiga kali helikopter patroli SAR akan menyisir seluruh kota, mencari penghuni yang selamat. Dua jam dari sekarang, patroli pertama akan mengudara. Meskipun begitu aku hanya bisa duduk diam dan menangis.

    Robbie bangun tak lama kemudian. Mungkin karena melihatku yang terisak, kini kurasakan tangannya merayap melingkari pundakku. Ia juga mendorong kepalaku agar jatuh di pundaknya.

    “Semua sudah selesai, Mary. Tenanglah.”

    Aku menggeleng dan tetap tak bisa berhenti menangis. Aku tahu Robbie akan selamat, tetapi tidak denganku. Bekas gigitan di telapak tangan kiriku takkan mengizinkanku keluar dari kota ini hidup-hidup.

    “Kita akan selamat, Mary.”

    “Bukan kita…” aku berkata lirih, membuat Robbie melirik padaku dengan mata bertanya.

    “Kau…”

    “Maksudmu?”

    Aku melepaskan diri dari tangan Robbie yang masih membelai rambutku, dan bergerak menjauh.

    “Mary?”

    “Jangan dekati aku, Robbie!” Teriakku, dan sontak itu membuat Robbie terkejut. “Kau akan pergi sendiri.”

    “Mary! Apa maksudmu?” Robbie yang makin penasaran terus berjalan mendekat, membuatku kian panik dan terus menjauh.

    Sesaat kemudian ia berhasil menggenggam tanganku. Kurasakan perih yang luar biasa saat Robbie mencengkram tanganku kuat-kuat, membuatku meringis perlahan dan menggigit bibir bagian bawah. Robbie mencengkram tanganku tepat di tempat dimana bekas gigitan itu ada.

    Ia tampak amat terkejut untuk beberapa saat. Dan saat ia menoleh ke arah tanganku, barulah ia sadar mengapa aku tak bisa keluar dari kota ini.

    “Mary…”

    Aku tak kuasa untuk kembali menahan tangis, dan mengangguk. “Aku terinfeksi, Robbie. Aku takkan bisa keluar dari sini.”

    Perlahan Robbie melepaskan genggaman tangannya dan berjalan menjauh, masih dengan mata tak percaya. Aku menarik kembali tanganku yang terluka, yang kini kugenggam perlahan. Sesaat kemudian aku menundukkan kepala. Di pikiranku berkecamuk berbagai hal.

    “Pergilah…Robbie. Menjauhlah, sama seperti yang kau lakukan dulu…”

    Tanpa melihat Robbie kembali, aku berjalan perlahan menuju tepian atap gedung. Mobil rusak, api, mayat-mayat hidup, polisi dan tentara yang kewalahan, serta warga sipil yang disantap hidup-hidup tampak amat kecil dihadapanku. Diujung gedung ini kurasakan angin berhembus kencang, membuat rambutku yang terurai sebatas punggung berkibar kuat. Sekali lagi, dan mungkin untuk terakhir kalinya, kutatap wajah Robbie yang melongo menatapku.

    “Aku mencintaimu, Robbie…”

    Akan sangat menyakitkan bagiku untuk terjun dari gedung bertingkat ini, tapi jika aku tidak mati karena jatuh, aku juga kelak akan mati oleh penyakit ini.

    Aku menghirup napas panjang. Tinggal satu langkah lagi, dan semuanya selesai. Waktuku di dunia sudah selesai.

    “Mary!”

    Terdengar Robbie berteriak, dan berlari ke arahku. Namun semua sia-sia saja karena aku sudah melangkahkan kakiku.

    Semuanya sudah usai.

    Sudah selesai…

    Akhir yang tak terlalu buruk…

    ***​

    “Mary!”

    Kurasakan sebuah cengkraman yang kuat menahan tubuhku, dan itu menyelamatkanku. Robbie menggenggam pergelangan tanganku erat, membuatku terkatung-katung di udara.

    “Mary, kau idiot! Jangan lakukan itu, bangsat!”

    Melihat wajah Robbie yang amat tak menginginkanku mati, juga menyadari betapa mengerikannya berada di udara seperti ini, niatku untuk mengakhiri hidupku menjadi kandas. Kini kugenggam erat tangan Robbie dengan seluruh kekuatanku. Takkan kulepaskan.

    Dan Robbie juga tak mengendurkan kekuatannya. Ia menarikku keatas sekuat tenaga, dan berhasil. Kini kami berdua kembali berguling diatas atap. Jantungku berdebar kencang, sementara Robbie menarik napasnya sambil sesekali tersengal. Jauh di pintu masuk, suara raungan lapar dan pintu yang dihantam berkali-kali terus terdengar.

    “Robbie, maafkan ak-”

    Sebuah pukulan mendarat di pipiku dengan keras. Robbie menamparku kuat-kuat, membuatku amat tersentak.

    “Kau pikir aku akan senang dengan kepergianmu, hah? ********! Goblok! Apa yang ada di otakmu? Aku tak mau kehilanganmu! Aku masih ingin bersamamu!”

    Ia mengumpat dengan berbagai macam makian yang membuat telinga maupun hatiku menjerit, dan yang paling menyakitkan adalah kata-katanya yang terakhir. Mendengarnya, aku tak tahan untuk kembali menangis.

    “Kau pikir…”

    “Sudah, hentikan!” Jeritku, dan segera aku memeluknya kuat-kuat. “Aku mencintaimu, Robbie. Aku melakukan hal yang selama ini selalu kau lakukan padaku!”

    Perlahan, tangan Robbie mulai mengitari punggungku dan membelai rambutku.

    ***​

    “Satu jam lagi, Mary.”

    “Mmm.” Aku berbisik sambil terus meletakkan kepalaku di pundak Robbie. Tanganku tetap menggenggam lengan Robbie yang terasa amat hangat. Para kanibal yang masih menggedor-gedor pintu itu tak lagi kami pedulikan. Aku yakin pintu itu takkan terbuka.

    “Robbie,”

    “Ya?”

    Kucengkram lengan Robbie makin kuat. “Tiga tahun terakhir bersamamu benar-benar sangat menyenangkan.”

    Robbie tersenyum, dan tak lama kemudian ia mengecup keningku. Aku merasa amat nyaman saat bibir Robbie menyentuh kulit keningku, meskipun kini seluruh tubuhku terasa dingin dan mengigil.

    “Maafkan aku jika semuanya harus berakhir seperti ini.”

    “Semuanya belum berakhir, Mary,” katanya lagi. “Jangan bicara seolah kau akan meninggalkanku hari ini,”

    “Aku harusnya sudah meninggalkanmu. Sudah sejak lama…”

    Kuceritakan padanya saat-saat dimana kami bertemu pertama kali melalui sebuah pertemuan yang unik, sama seperti yang biasa kutemui di film drama. Saat-saat dimana situasi masih amat normal, tanpa mayat hidup, tanpa kepanikan disana-sini, bagi kebanyakan orang mungkin itu merupakan saat-saat yang sempurna untuk memulai kehidupan. Bagiku, untuk mengakhiri.

    Sudah sejak kecil aku mengidap hemophilia. Aku terpaksa berhenti sekolah saat aku masih di sekolah dasar karena aku tak kuat lagi bergerak. Ayah sudah meninggal, dan ibu hanya sesekali datang menjengukku. Dalam kondisi itu, kurasa hidup dan mati takkan terlalu berbeda. Aku tak pernah takut akan kematian kala itu – sesekali aku malah mengharapkannya.

    Hingga seorang lelaki seusiaku datang ke rumah sakit itu, hanya gara-gara salah makan, lucu sekali.

    Kami bertemu melalui perkenalan yang singkat, hanya karena ranjang kami bersebelahan. Ia menceritakan berbagai macam hal yang ia alami di luar sana, dan itu amat membuatku penasaran akan dunia luar. Darinya, aku mengenal apa itu senyum, apa itu tertawa, dan apa itu bahagia. Tiga hari kemudian, saat ia pulang ke rumah, aku juga menyadari apa arti kehilangan. “Jika kita memejamkan mata kita, kita bisa selalu bertemu,” Itulah kata-kata perpisahan yang ia ucapkan padaku.

    “Aku tak pernah menyangka kau akan datang kembali seminggu kemudian. Saat semua orang tampaknya sudah menyerah dengan keadaanku, hanya kau yang selalu datang menemaniku. Kau tahu, aku amat bahagia…”

    Sejak saat itu aku menjadi amat takut akan kematian, dan aku amat menginginkan hidup. Harapan mulai muncul untukku, dan harapan itu semakin menguat setiap kali Robbie datang menjengukku. Aku ingin hidup. Aku ingin terus ada disamping Robbie. Meskipun dokter yang menanganiku mengatakan bahwa umurku takkan lebih dari satu tahun, aku amat ingin menikmati masa-masa itu bersama Robbie. Dan sejak saat itu juga, aku mulai mengenal Tuhan, karena sejak itulah aku berdoa – doa yang benar-benar datang dari lubuk hatiku – untuk pertama kali dalam hidupku.

    “Hei Robbie,”

    “Hm?”

    “Aku rindu kue ulang tahunku. Rasanya sungguh manis,” kataku sambil mengenang blackforest yang dihiasi lilin dengan angka sembilan belas, yang ia beli untukku dengan hasil gaji pertamanya. Meskipun aku dilarang mengonsumsi makanan yang terlalu manis, namun kue itu tetap kumakan dengan lahap. Lagipula itu merupakan kue perayaan ulang tahun pertamaku – setidaknya itulah yang kuingat. Prediksi dokter yang menyatakan bahwa aku akan meninggal kurang dari setahun terbukti salah. Tuhan mengabulkan doaku, dan aku amat bersyukur. Betul-betul aku bersyukur.

    “Andai kau ingat betapa belepotannya mulutmu waktu itu,”

    “Kau yang sembarangan menyumpal mulutku,”

    “Agar kau cantik,” candanya, membuatku membenamkan kepalaku kian dalam ke pundaknya. Sejenak, semuanya tampak berputar dihadapanku. Tenggorokanku gatal. Jalan napasku tiba-tiba saja amat terganggu, membuatku batuk beberapa kali. Robbie menatapku sambil menyiagakan senjatanya, tapi aku masih bisa tersenyum.

    “Aku masih manusia, Robbie,” kata-kataku membuat Robbie tersenyum dan memelukku erat.

    “Aku tahu.”

    “Apa wajahku tampak seperti mayat hidup?”

    Kurasakan Robbie menggeleng. “Hanya pucat sedikit.”

    “Pucat…ya?”

    Robbie membenamkan kepalaku makin erat. “Tetaplah bersamaku,”

    Aku mengangguk.

    Kembali kuceritakan padanya berbagai macam hal, terutama saat-saat dimana setahun lalu ia mengajakku berjalan-jalan di taman di depan rumah sakit. Untuk pertama kalinya ia mengatakan padaku bahwa ia ingin terus ada disampingku. Ia mencintaiku, dan ingin agar aku mencintainya juga. Dan meskipun aku belum pernah tahu bagaimana rasanya dicintai lelaki, aku amat senang. Aku juga masih bisa merasakan hangat bibirnya saat ia mengecup bibirku untuk pertama kali di taman itu. Rasanya, saat itu aku ingin waktu berhenti.

    “Hei, Mary,” katanya kemudian sambil mendorongku, dan menatap wajahku dalam-dalam.

    “Ya?”

    “Apa aku menyakiti perasaanmu? Apa kau sudah memaafkanku?”

    Aku menunduk sesaat, untuk kemudian kembali membenamkan wajahku di dadanya.

    Enam bulan berselang semenjak Robbie menyatakan cintanya padaku, dan tiba-tiba saja ia berhenti menjengukku. Tak ada kabar, tak ada pesan, tak ada jejak darinya sama sekali. Meski begitu aku tetap menunggunya, karena aku yakin Robbie akan datang. Dan tepat sebulan lalu, ia kembali menjengukku. Hanya saja, ia datang bersama seorang gadis yang mengaku sebagai tunangannya.

    Apalagi yang bisa kulakukan selain menangis?

    Robbie mengatakan bahwa ia terpaksa melakukannya karena desakkan orang tuanya yang menginginkan ia menikah dengan wanita normal. Ia juga bilang bahwa ia akan terus mencintaiku meskipun tak bisa bersamaku. Ia tetap berjanji akan membiayai pengobatanku, karena menurutnya, kesembuhankulah yang terpenting. Robbie terus mendoktrinku bahwa aku harus sembuh, melanjutkan hidupku, dan menemukan hal-hal yang kelak membuatku bahagia. Kembali ia berjanji akan terus mencintaiku. Saat itu aku sama sekali tak ingin mendengarnya. Itu semua menyakitkan.

    Sore itu, Robbie mengucapkan selamat tinggal. Saat ia melangkah keluar kamar, aku kembali kepada kenyataan bahwa Robbie bukanlah untukku. Aku tak bisa memilikinya, karena aku hanyalah orang yang tak sempurna dimatanya. Aku merasa amat bodoh saat ia mengelus-elus rambutku sebelum melangkah pergi.

    Dalam kondisi itu seorang suster berteriak-teriak panik, mendorong seorang pasien diatas ranjang beroda yang awalnya kukira merupakan korban tabrak lari. Malam harinya, aku tak mau makan, tak juga aku mau untuk tidur. Kondisiku memburuk. Aku hanya ingin menyakiti diriku sendiri. Tak lagi kupedulikan obat-obatan yang masih tergeletak di meja makan.

    Beberapa saat kemudian seorang suster tiba-tiba muncul di depan pintu. Untuk menghindari tegurannya, aku segera pura-pura tidur. Namun demikian, tak kudengar suara langkah kaki khas sang suster, melainkan hanya suara kaki yang diseret diatas lantai. Dan beberapa saat kemudian, teriakan rasa takut.

    Aku segera berbalik, dan tampak dimataku sang suster yang menjulurkan tangannya padaku disertai raungan dan wajah penuh darah. Aku bergidik, ketakutan. Beberapa orang sepertinya – yang kemudian dinamai sebagai mayat hidup – segera melahap para pasien yang tersisa di ranjang di sekitarku.

    Robbie muncul tak lama kemudian dengan menggenggam sebuah pistol. Beberapa suara tembakan terdengar dengan jelas.

    ***​

    Matahari sudah terbit.

    Aku mengerjipkan mataku. Rasanya sedikit silau saat sinar matahari yang hangat bergerak masuk menembus retina. Terdengar suara beberapa helikopter yang meraung-raung di angkasa, membawa pasukan-pasukan SAR militer yang bersenjatakan lengkap. Kutatap deretan helicopter tersebut, banyak sekali.

    “Robbie, sudah tiba saatnya.” Bisikku sambil berdiri. “Matahari masih akan terbit besok. Ini mungkin yang terakhir bagiku, namun kau harus tetap hidup.”

    Robbie tak menjawab dan hanya memelukku erat, dan aku masih bersyukur aku masih bisa menyadari hal itu, meski tubuhku kini sudah tak bisa merasakan sentuhan tubuhnya.

    Sesaat setelah melepaskanku, Robbie merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari saku tersebut. Dibukanya kotak itu perlahan. Didalamnya terdapat dua buah cincin emas yang tampak mengkilat.

    “Mary,”

    Kurasakan napasku terhenyak. Aku betul-betul terkejut.

    “Aku ingin kau menikah denganku.”

    “Robbie…”

    Tanpa menunggu apapun, Robbie segera memakaikan cincin itu ke jari manisku. Ia lalu mengecup keningku dalam-dalam, dan kembali memelukku.

    “Aku mencintaimu, Mary,”

    Aku tersenyum bahagia, mengangguk.

    “Aku tahu kau selalu mencintaiku.”

    Sebuah helikopter mendarat tak lama kemudian, membuat kami saling melepaskan diri. Beberapa tentara turun dan mengamankan area. Sang komandan segera turun dari helikopter dan menghampiri kami berdua. Melihat tanganku yang sudah tergigit, ia menggeleng.

    “Tak bisa membawanya,” ia mengacungkan telunjuknya padaku. “Sudah berapa lama ia tergigit?”

    Robbie mengatakan sesuatu pada sang komandan, tapi aku tak bisa mendengar kata-katanya dengan jelas. Semua di sekelilingku terasa berputar kembali, dan telingaku juga terasa berdengung. Tiba-tiba saja aku dapat merasakan suara detak jantungku sendiri yang makin melemah. Tubuhku kini terasa amat dingin, jauh lebih dingin dari yang kurasakan sejam yang lalu.

    “Ro…bbie…”

    Robbie menoleh, dan dengan panik ia mengguncang-guncang tubuhku. Samar-samar, kembali kudengar sebuah suara.

    “-ry!”

    “Robbie,” suaraku amat parau. Kurasa aku tak bisa bertahan lebih lama.

    Tampak mata Robbie yang berbinar, menatap sang komandan, dan menunduk dalam-dalam sambil menangis. Sang komandan masih menatapnya dengan kedua tangan menggantung di pinggangnya.

    “Akan kulakukan.” Robbie kembali berkata. “Aku sendiri yang akan melakukannya.”

    Sang komandan mengangguk perlahan, menghela napas, dan menepuk pundak Robbie. “Aku turut menyesal, nak.”

    Masih terisak, Robbie mengangguk perlahan. Ia menyeka air matanya sebelum kembali menatapku dan tersenyum. Perlahan ia membisikkan sesuatu di telingaku.

    “Sampai bertemu lagi, Mary.”

    “Ya.” Kataku. Kembali sebuah senyum mengembang di wajahku.

    “Aku mencintaimu.”

    “Aku juga mencintaimu, Robbie,”

    Lalu Robbie mengecup keningku untuk terakhir kali. Sesaat, kami saling membalas senyuman sebelum kemudian Robbie mengacungkan pistol yang digenggamnya tepat di depan kepalaku.

    “Aku akan merindukanmu,”

    Aku tersenyum.

    “Jika kita menutup mata kita, kita akan selalu bertemu.”

    Hal yang terakhir kulihat darinya adalah senyumnya, sebelum kemudian aku menutup mata, penuh kedamaian. Wajah Robbie tampak amat jelas meski kini mataku tertutup. Wajah Robbie yang selalu kusayangi, dan yang selalu menyayangiku.

    Itulah hal terakhir yang kuingat, sebelum kemudian sebuah logam kecil memukul keningku dengan kekuatan maha dahsyat.

    ***​

    Robbie…

    Ingatkah kau tentang hari itu? Rumah sakit, taman bunga, dan salam perpisahanmu?

    Meskipun kini kita terpisah jauh, aku akan setia menunggumu disini, di alam penuh kedamaian ini.

    Karena kau kekasihku, Robbie.

    Karena aku mencintaimu…
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. frick M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    May 1, 2008
    Messages:
    3,641
    Trophy Points:
    177
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +2,734 / -0
    Masih bisa dibilang cerpen kok.
    :hmm:

    Bagus, cukup bikin :terharu:
    Mary yang jadi bego di awal2 bikin :haha:
     
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    thanks gan. Wah, padahal ane niatnya dapetin thrill di awal2 tuh, n ga ada maksud bikin si Mary nya keliatan bego :XD:

    menunggu komentar selanjutnya :lalala:
     
  5. xacteer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Feb 14, 2011
    Messages:
    135
    Trophy Points:
    32
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +17 / -0
    wah, cerpen zombie. Kalo dibikin prequel atau sequelnya mungkin tambah seru nih.. :D
     
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    sekuel dan prequel? Hmm, ditunggu gan =D
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.