1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Dalam Hujan dan Air Laut

Discussion in 'Fiction' started by rextiza, Jan 27, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. rextiza Members

    Offline

    Joined:
    Jan 27, 2013
    Messages:
    6
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +0 / -0
    Aku menunduk menatap barisan alphabet di keyboard laptopku, mencoba mencari tambahan kata demi novel kelimaku yang sekarang ini sedang ditunggu-tunggu khayalak ramai. Bagaimanapun sukarnya, seorang Gadis Swastika tidak boleh mengecewakan penggemarnya yang sudah ribuan itu, toh?
    Kesuksesan keempat novelku sebelum novel yang ini kan sudah tidak diragukan lagi, masing-masing novel sudah pernah nangkring di best seller gramedia paling tidak selama berminggu-minggu. Kali ini seharusnya aku tinggal merepet, merem sambil mencari kata-kata yang seperti sebuah sungai di lumbung ideku. Novel-novel sebelumnya begitu, kok. Seperti mengalir begitu saja tanpa perlu dipoles sana-sini. Alami.
    Natural, kalau kata orang.
    Tapi, semakin aku mencoba berkonsentrasi menyusun kata-kata, kepalaku malah semakin berdenyut. Sepertinya malam ini bukan malam yang bagus untuk menulis. Sudah hampir dua jam pointer Microsoft word-ku berkedip-kedip tanpa memperoleh hasil yang pasti. Tidak maju, tidak juga mundur.
    Aku menghela nafas, memutuskan untuk menyerah. Mengangkat kepalaku dan melepaskan kacamata min 2-ku itu.
    Kupandangi tetes hujan dari kaca jendela di hadapanku. Sudah hampir 2 jam dan hujan deras itu tidak juga berhenti. Menyebalkan. Gara-gara bunyi hujan itu aku jadi tidak bisa berkonsentrasi. Menyebalkan.
    Sekarang, setelah berjam-jam menunggu dan hujan tidak juga sudi berhenti, apa coba yang bisa aku lakukan?
    Aku toh tidak bisa bersembunyi di kasur, menekan kepalaku keras-keras dengan bantal dan pura-pura tidak mendengar tetesan hujan yang berisik itu. Tidak bisa begitu kan, karena walaupun aku pura-pura tidak mendengar, aku tetap akan mendengar!
    Aku kan tidak mungkin bisa berpura-pura baik-baik saja pada diriku sendiri.
    Kalau di depan orang lain itu mungkin. Setiap hari malah, aku bisa bersandiwara, tersenyum dan bertindak seolah seisi dunia baik-baik saja. Tapi kenyataannya kan tidak begitu!
    “Gadis?”
    Aku menoleh kaget, mendapati Adipati sedang berdiri di ambang pintu, tersenyum sambil membawa sebuah gelas di tangannya.
    “Aku bawa susu hangat”
    “Matur nuwun.” Aku berangkat menerima segelas susu itu. Panasnya langsung terasa di kulitku yang sejak tadi kedinginan.
    Adipati berjalan pelan-pelan, lalu duduk di kursi depan laptopku, melongok sedikit ke layarnya yang kosong. “Gimana progress novel kamu?”
    Aku tidak menjawab, malah mengacungkan jari telunjukku ke atas. Maksudku : hujan, aku tidak bisa menulis kalau hujan. Ia mengerti, sepertinya begitu. Karena ia Cuma mendesah lalu menunduk menatap kaki telanjangnya.
    Ia lalu menggumam, merepet, tetap menunduk. Bibirnya komat-kamit mengucap kata-kata tidak jelas tentang editor, telepon dan deadline. Aku menatapnya terpana. Mengerti, sangat mengerti, tapi juga kaget.
    Kok dia tega mengucapkan kata deadline di saat-saat seperti ini? Katanya dia orang yang paling mengerti aku, mencintaiku?
    “Hujan.” Ucapku, berusaha tenang. “Hujan.”
    Dia diam. Kali ini pandangan matanya lurus menatap ke arahku. Menembusku. “Maksudku bukan sekarang saja. Kenapa kemarin-kemarin nggak kamu garap? Kalau dikerjain dari pertama kan nggak bakalan gini. Waktu udah mepet tapi masih nol besar.”
    Aku Cuma bisa membeku, mendengarkan kata-katanya dengan bibir terkatup rapat.
    “Kamu itu sadar nggak, Gadis? Kamu terlalu sombong. Naïf. Kamu menganggap keberhasilan kamu yang sebelumnya akan terus terjadi, walaupun kamu nggak berusaha sekeras sebelumnya. Tapi yang kayak begitu itu nggak ada, nggak eksis. Semua orang di dunia ini tahu, orang sombong hanya akan…” dia berhenti sejenak. Memejamkan mata, mungkin mencari kata-kata yang paling tepat untuk melukaiku. “Tenggelam.”
    Dan kalimatnya yang panjang itu diakhiri dengan kata-kata yang sangat kubenci.
    Aku tidak tahan lagi. Kupandangi dia dengan tatapan marah. Mukaku terasa panas, lagi basah karena air mata yang kuperintahkan untuk jangan mengalir, namun tidak patuh. Sudah pasti dia akan kuterkam dan kutusuk pisau lipat milik almarhumah ibu, kalau saja aku tidak ingat akan dosa dan penjara.
    Entah mengapa semakin hari aku semakin sadar kalau lelaki ini, yang berdiri di depanku, hatinya busuk. Busuk penuh ulat dan berbau bangkai. Kalau hati bisa berulat.
    Ia sengaja memilih kata-kata yang paling menyakitiku, membuatku menderita, membuatku cemas. Mentang-mentang ia tahu rahasiaku. Mentang-mentang ia tahu itu semua.
    “Kamu sengaja pilih kata itu untuk membuat aku nelangsa.” Ujarku akhirnya, setelah berkali-kali menelan ludah. Syukurlah suaraku terdengar tajam, tegar. Dan bukannya memelas. Mendengar kalimatku ia tersenyum, mendengus dari hidung dan menggelengkan kepalanya. Ia berjalan mendekatiku, membuatku mundur selangkah.
    “Yang memilih aku itu kamu, sayang. Aku memang mencintai kamu pertama kali, tapi kamu toh membalasnya.” Bisiknya di telingaku, membuat jantungku berdebar karena amarah. Kepalaku dipenuhi umpatan untuk laki-laki brengsek ini.
    “Pokoknya.” Dia akhirnya menjauhkan wajahnya dari mukaku. “Besok sore aku kesini lagi. Saat itu aku mau naskahmu sudah mencapai minimal satu bab. Kalau tidak…” ia menyeringai dan menatapku, melecehkan. Persis seekor anjing yang sedang mengancam mangsanya.
    Ia pun pergi setelah sengaja menggantung kata-katanya. Kudengar bunyi sedannya di antara deras hujan dan saat itu juga aku langsung menangis tersedu-sedu. Ia telah membuatku kalah telak. Sekarang aku tidak ada harganya, seperti budak yang cuma bisa manut bahkan ketika disuruh menjatuhkan diri ke sumur.
    Bunyi hujan di luar terdengar bertambah keras, seperti bersedia menambahi soundtrack agar drama hidupku lebih menyedihkan, seperti senang sekali melihatku menangis. Aku, Gadis Swastika, yang biasanya sudah rapuh dan terlalu sering menangis, sekarang harus menangis lagi. Dan bahkan lagi.
    Duh Gusti.
    Kesalahanku di masa remaja telah memporak-porandakan hidupku, semacam mimpi buruk harian yang terus berulang, membuat stress sampai ke tulang-tulangku.
    Sekarang setelah apa yang kupertahankan mati-matian itu berbalik menikamku, dan aku menyesal setengah mati, mimpi buruk itu toh sudah terjadi. Tidak akan berakhir kecuali aku mengakhirinya sendiri. mengakhiri hidupku.
    Akhirnya aku bangkit dari tangisku. Sebuah ide melintas di benakku. Tertatih, aku berjalan menyalakan laptopku dan mulai menulis. Persetan dengan hujan itu. Toh ini terakhir kali aku akan mendengarnya.

    *
    Untuk Ibu.

    Bu, apa kabar? Gadis kangen sekali sama ibu.
    Ibu sekarang sudah bahagia ya, di surga? Kata orang, kalau orang bunuh diri itu nggak akan masuk surga, neraka tempatnya. Tapi ibu kan baik sekali, Gadis selalu berdoa ibu akan bisa diampuni dan dimasukkan ke surga-Nya. Amin.
    Tujuan Gadis menulis ini, Gadis mau minta maaf. Maaf yang setulus-tulusnya. Sedalam-dalamnya. Gadis tau kesalahan Gadis nggak akan pernah bisa ibu maafkan, terlalu berat ya bu?
    Gadis terlalu tidak tahu diri, bukan begitu?
    Waktu itu Gadis cuma remaja kolokan enam belas tahun bu, Gadis benar-benar masih polos. Belum mengenal lawan jenis, apalagi cinta.
    Waktu ibu memperkenalkan Adipati pada Gadis untuk pertama kalinya, apa ibu masih ingat? Ibu dengan wajah berseri-seri menggandeng dia dan mengatakan kalau dia calon suami ibu.
    Sejak kematian ayah enam tahun sebelumnya, Gadis belum pernah melihat ibu tersenyum semanis itu. Cantik sekali. Karena itu Gadis langsung menyukai Adipati. Langsung setuju kalian berdua menikah, walaupun umur ibu dan dia terpaut jauh.
    Berapa ya, bu?
    Waktu itu ibu 42 tahun dan dia baru 26 tahun, ya kan?

    Gadis ingat sekali raut wajah ibu waktu Gadis bilang setuju soal pernikahan kalian berdua. Rasanya ada air mata juga yang menyelip di mata ibu, walaupun ibu sedang tersenyum lebar.
    Habis itu kita hidup bahagia kan,bu? Untuk sekitar dua tahun. sekitar itu.
    Adipati bisa jadi sosok yang sangat lembut kalau dia mau, bu. Saat ibu ke kantor untuk bekerja, cuma dia yang menemani Gadis di rumah. Dia yang mengajari Gadis matematika, fisika, kimia.
    Dia yang mengajak Gadis bermain dan nonton film-film komedi.
    Maaf sekali bu, tapi cuma dia yang ada di samping Gadis sewaktu Gadis butuh seseorang yang mengerti Gadis.
    Dan Gadis jatuh cinta ke dia, bu. Bukan sekedar cinta monyet, ini cinta yang benar-benar tulus.
    Gadis tau ini salah. Dia ayah Gadis, bukankah seharusnya begitu?
    Tapi bu, Gadis cuma remaja berusia delapan belas tahun waktu itu,belum stabil. Gadis berpikir kalau Gadis yang lebih pantas untuknya, lebih cantik, lebih muda.
    Gadis anak yang kurang ajar bu, maafkan Gadis. Ampuni Gadis karena pernah berpikir seperti itu.
    Tapi dia, Adipati, sepertinya jatuh cinta juga ke Gadis.
    Dia sering memandangi Gadis penuh sayang, tapi bukan sayang bapak ke anak. Lebih seperti sayang seorang kekasih. Dan Gadis tersanjung.
    Sampai saat itu. Sampai siang itu.
    Waktu itu ibu sedang kerja dan di rumah hanya ada Adipati dan Gadis, berdua. Waktu itu hujan deras, ibu ingat?
    Gadis dan Adipati tadinya hanya nonton saja film yang diputar di TV, tapi mungkin karena cuaca yang dingin, duduk kami mulai berdekatan.
    Entah siapa yang mulai, kami berdua mulai berciuman. Dia bilang dia mencintai Gadis. Dia cinta Gadis lebih daripada cintanya ke istrinya sendiri, ke ibu.
    Hujan membuat kami berdua tidak sadar kalau mobil ibu sudah terparkir rapi di garasi sejak setengah jam yang lalu. Demi tuhan, ibu pasti kaget melihat suami dan anak perempuan ibu sedang berciuman.
    Waktu Gadis dan Adipati sadar, semua sudah terlambat. Ibu sudah melihatnya, marah luar biasa. Tidak pernah Gadis melihat ibu semarah itu sebelumnya.
    Ibu tidak bilang apa-apa, cuma berlari keluar, tidak peduli akan hujan. Dan ibu langsung naik mobil, pergi tanpa sepatah kata-pun.
    Kami berdua mencari-cari ibu sepanjang hari, sepanjang malam. Tapi ibu tidak pernah kami temukan.
    Ibu baru bisa kami temukan seminggu kemudian. Polisi yang menemukan ibu, mayat ibu. Mayat ibu terapung di lautan dekat rumah nenek, timbul tenggelam dengan badan membiru. Kata mereka ibu bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut lepas.
    Air mata Gadis rasanya sudah mau kering. Terlalu pilu jika Gadis yang berada di posisi ibu. Terlalu tragis rasanya.
    Gadis secara tidak langsung sudah membunuh ibu, dalam hujan dan air laut. Menenggelamkan jasad ibu, setelah sebelumnya merobek-robek hati ibu. Gadis tidak akan pernah termaafkan, ya?
    Maafkan Gadis untuk tetap mencintai Adipati walaupun ibu telah mati untuknya. Gadis rasa waktu itu Gadis sudah buta. Buta akan kebusukan Adipati dan mau saja diajak berpacaran walaupun diam-diam. Bahkan Gadis mau menyerahkan kesucian Gadis untuknya.
    Tapi sekarang Gadis sudah tahu, bu. Adipati itu lelaki busuk. Ia mendekati ibu karena harta ibu, dan sekarang ia mendekati Gadis untuk alasan yang sama. Kalau Gadis tidak bisa memproduksi uang untuk menopang gaya hidup hedonisnya, dia akan ngamuk.
    Bu, sekarang Gadis sudah menyesal. Menyesal atas semua yang pernah Gadis lakukan, atas semua kebodohan Gadis di masa lalu. Tapi penyesalan selalu datang belakangan toh? Menyesal juga tidak akan ada gunanya.
    Pokoknya sekarang Gadis mau menebus kesalahan Gadis pada ibu dulu. Entah bagaimana caranya, biar Gadis tanyakan langsung saja sama ibu nanti.
    Ibu tunggu ya, sebentar lagi.
    Sebentar lagi.
    *
    “Halo?” sebuah suara di ujung telepon terdengar setelah beberapa saat. Ia adalah editorku, mbak Diana.
    “Mbak, ini aku Gadis. Siang ini datang ke rumahku ya mbak, ambil naskah cerpen terbaruku. Aku taro di laci kedua meja kerjaku, nanti mbak langsung ambil aja.” Ujarku. “Judulnya, ‘Untuk Ibu.’”
    “Loh, naskah novel kelima kamu gimana?”
    “Mbak baca aja dulu cerpenku. Kirimkan ke majalah apa saja. Terbitkan atas namaku ya mbak, ini penting sekali. Makasih.”
    Kututup telepon itu sebelum mbak Diana protes lebih jauh. Akan jauh lebih mudah kalau begini. Tidak perlu ada pertanyaan yang membutuhkan jawaban mendetail, karena aku sedang terburu-buru.
    Kulirik jam yang terpasang di dinding ruang keluarga. Pukul enam pagi. Aku bergegas keluar dan langsung berjalan menuju mobilku.
    Hujan masih turun, kali ini disertai guntur. Aku malah senang, kali ini aku tidak perlu pergi dalam sepi. Setidaknya kilat dan guntur akan menemaniku.
    Kukendarai mobilku dengan kecepatan menggila, dan berhenti di pinggir pantai tempat ibu bunuh diri.
    Aku melangkah keluar mobil, lalu berjalan mantap menuju pantai. Lalu air laut. Lalu lautan. Dan aku tidak berencana berhenti melangkah. Tiba-tiba saja hujan dan air laut kini menjadi temanku, bukan lagi musuh.
    Ibu, Gadis datang.


    The End

     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.