1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Story About Us

Discussion in 'Fiction' started by debridementist, Dec 20, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    permisi suhu-suhu forum Fiction...
    ane cuman mau numpang nampilin salah satu cerita ane.
    dibuatnya sih udah lama, tapi baru memberanikan post sekarang.
    ini cerita tentang ane dan sahabat-sahabat ane dan ini cerita kenyataan yang ada walau ada beberapa yang ane tambah-tambahin.
    kecuali tokoh pria dan wanita utama, semua orang yang ada bener2 ada di bumi (kalo gak percaya search aja di facebook).
    untuk setting waktu, ane mencoba pake real time.
    sedangkan untuk setting lokasi, ane menggunakan kota jakarta namun dalam bentuk fiksi. (jadi jangan bingung kalo ada tempat di sudut jakarta yang disebutin di cerita ini namun gak ada di aslinya). contohnya, jakarta di cerita ane itu di dataran tinggi kayak di ciater (padahal aslinya bukan)
    untuk alurnya sendiri, alur maju-mundur. karena memang saling berhubungan

    anyway, mohon dibaca dan ditunggu komentarnya yah !

    Sabtu, 09 Agustus 1997
    16:40 WIB

    Sore itu angin berhembus sedikit kencang dari pada biasanya.
    Di sayap kanan lapangan sekolah, puluhan daun kering yang sudah menguning terlihat menghiasi permukaannya. Jatuh berserakan tak menentu disekitar pohon Ek yang tumbuh menjulang tinggi di sepanjang sayap itu.
    Rex menghela nafas sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.
    Kedua matanya menyapu ke seluruh lapangan yang mulai terlihat sepi.
    Pandangannya menangkap sekitar 70 anak paskibra yang masih sibuk latihan baris-berbaris di lapangan utama. Beberapa minggu terakhir ini, mereka secara intensif latihan untuk acara White In Grey.
    Pandangannya terfokus pada seorang cewek yang berada dibarisan nomor 2 dari depan. Cewek itu terlihat serius dengan latihannya.
    Dapat dilihat dari raut wajahnya.

    Detik kemudian, pandangannya kembali menyapu sisi lapangan yang lainnya. Ditempatnya berada, yaitu di lapangan basket yang berada di sebelah kanan dari lapangan utama, selain dirinya masih ada 4 makhluk lainnya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing.
    2 diantaranya masih semangat untuk adu banyak-banyakkan memasukan bola. 1 orang terlihat sibuk menikmati mie ayam yang baru saja dipesannya dari kantin. Sisanya sedang asyik push up akibat kalah taruhan dengannya.
    Sebenarnya hal yang dipertaruhkan tidak terlalu penting.
    Cenderung konyol malah.
    Mereka mempertaruhkan siapa diantara mereka berdua yang memproduksi keringat paling banyak setelah latihan basket selama 2 jam. Dan sepertinya kalian sudah tahu siapa juaranya tanpa perlu dipublikasikan lagi.

    Setelah semua sisi lapangan diinspeksi olehnya, kini giliran langit yang kena target selanjutnya. Diatas sana, awan hitam mulai mendominasi. Bahkan gemuruh mulai terdengar samar-samar walau belum ada rintikan air hujan yang turun.
    Ia memejamkan kedua matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Merasakan udara segar yang mulai memenuhi angkasa. Bau hujan pun mulai tercium melalui indra penciumannya. Seketika rasa bebas memenuhi dadanya.
    Dan ia memanfaatkan setiap detik untuk menikmatinya.

    “Woi, Rex ! lagi ngapain elo disana !?”, seru seseorang diantara mereka menyadarkan Rex dari kegiatan khusyuknya. Rex segera melirik ke arah sumber suara itu, terlihat Okky sedang berjalan mendekatinya. Sepertinya pertandingannya dengan Bayu dalam banyak-banyakkan memasukan bola sudah selesai.
    Entah siapa yang menang.
    “Udah mau ujan nih… balik yuk !”, lanjut Okky setelah berada disampingnya.
    Rex mengangguk mengerti.
    Sebelum bergegas dari tempatnya, ia kembali menatap cewek itu.
    Kini dia sedang latihan simulasi formasi garuda.
    Tentu saja dirinya tak sadar kalau ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari kejauhan, ia terlalu sibuk dalam menjalankan latihannya. Konsentrasinya hanya untuk keberhasilannya dalam acara White In Grey nanti.

    Okky mengikuti arah pandangan Rex.
    Dan ia tahu siapa yang sedang dipandang oleh cowok itu.
    “Gue pikir dia hebat…”, gumam Okky.
    Rex berpaling ke sahabatnya itu dengan pandangan meminta penjelasan.
    “Ya… hanya dirinya, murid kelas 1, yang terpilih masuk tim inti. Selain itu langsung dapat posisi yang paling bergengsi lagi. Gue rasa, hanya dia yang mampu merubah tradisi lama paskibra. Pasti banyak anggota paskibra lainnya yang iri kepadanya”, jelas Okky.
    Rex mengangguk.
    “Gue rasa kata hebat gak cukup untuk mendiskripsikannya…”, gumamnya sambil berlalu dan melangkah menuju ke lainnya yang sudah menunggu mereka di sisi lapangan yang berlawanan. Okky pun segera mengikutinya, “bukannya itu juga berlaku untuk kita…”.
    Rex tersenyum.
    Angin itu berhembus kencang menyapu rambutnya yang agak panjang dan berantakan.
    “Yeah…”.

    ***
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Dec 20, 2012
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Jumat, 22 Desember 2006
    08:15 WIB

    Rex baru saja menyalakan rokoknya ketika telepon genggamnya berdering. Iapun segera merogoh-rogoh saku celana dan mengambilnya.
    Nama Bayu tertera di LCD teleponnya.
    “Kenapa, Sut ?”, jawab Rex.
    “Elo dimana Rex ?”, terdengar suara Bayu dari speaker telepon.
    Rex pun sibuk mencari-cari tanda keberadaan dirinya sekarang. Tatapannya terpaut pada papan warna kuning yang menempel di langit-langit tak jauh dari tempatnya berada.
    “Gw di terminal 2E bagian kedatangan, lagi duduk enak-enak di depan kios majalah “, jawab Rex sambil menghisap rokoknya. “Okeh ! gue udah diparkiran, tunggu gue disana. Jangan kemana-mana !”, balas Bayu sambil memutuskan pembicaraan.
    Rex kembali menaruh teleponnya di saku celananya dan melanjutkan menikmati rokoknya.

    Pagi itu Rex sudah berada di Bandara.
    Hampir sebulan yang lalu, ia mendapat email dari Okky kalau ia akan tiba di Indonesia hari ini untuk menghadiri acara reuni SMU mereka yang diselenggarakan lusa.
    Oleh karena itu Rex bela-belain membolos kerja untuk menjemput sahabatnya itu. Tapi sebelumnya ia sudah berhasil memalak surat keterangan sakit dari dokter yang buka klinik di sekitar rumahnya. Karenanya itu ia akan aman bila ditanya alasannya tidak masuk oleh bosnya Selasa besok.

    Rex El Prawira Kusumawijaya
    Kini cowok aneh itu telah tumbuh menjadi pria yang dewasa.
    Hanya saja sifat anehnya tetap tak hilang.
    Di umurnya yang ke-24, dia tetap percaya kalau di bulan itu ada kelinci.
    Pria kharismatik bila diam ini kini kerja di perusahan Event Orginizer sebagai venue designer. Tanpa disadarinya, Rex cukup populer.
    Wajahnya sangat mirip dengan Christian Sugiono. Sayangnya nasibnya jauh beda. Ibaratnya Tian itu bagaikan Gladstone Gander sedangkan Rex bagaikan Donald Duck.
    Ada 2 hal yang menjadi ciri khasnya, pertama adalah rambutnya yang kini mulai agak panjang selalu terlihat berantakan. Dan yang kedua adalah kesialannya. Nasibnya benar-benar serupa dengan tokoh kartun favoritenya, Donald Duck.

    Rex baru saja menghabiskan batang rokoknya yang pertama ketika Bayu menunjukkan batang hidungnya. Sama dengan Rex, Bayu datang untuk menjemput Okky. Bedanya, Bayu sempat menunjukkan wajahnya di kantor sebelum akhirnya cabut ke bandara.
    “Udah landing pesawatnya ?”, Tanya Bayu sambil memalak Rex sebatang rokok.
    Rex melirik papan jadwal di hadapannya, “kalo dari jadwal sih harusnya 10 menit lagi landing… tapi gak tau deh pastinya”.
    Bayu mengangguk-ngangguk.
    “Elo udah sarapan ?”, Tanya dia lagi.
    “Udah tadi. Pisang goreng ma bala-bala”.
    “Kalo gitu gue mau beli makanan dulu, deh…”, ia menunjuk salah satu restoran cepat saji yang tak jauh dari tempat mereka berada, “elo mau nitip ?”.
    “Boleh deh… mba-mba kasirnya satu…”.
    “Dasar sakit !”.
    Bayu pun segera bergegas ke restoran yang ditujunya.

    Bayu Susetyo.
    Sahabat Rex semenjak mereka masih di Taman Kanak-Kanak.
    Rex memanggilnya Basut, singkatan dari nama pertama dan keduanya.
    Pria yang tinggi tubuhnya paling menjulang dan satu-satunya yang menggunakan kacamata ini bekerja di salah satu bank swasta lokal. Dia adalah anak terakhir dari 3 saudara. Kedua kakaknya sudah menikah, sedangkan saat ini ibunya sedang sibuk survey tempat dan catering untuk pernikahan anak bungsunya itu.
    Ya, Bayu adalah satu-satunya dari lima serangkai yang sudah tunangan. Mereka berencana akan segera melangsungkan pernikahan setelah tunangannya menyelesaikan S2 di Adelaide, Australia.
    Rex sudah mencoba menyarankan untuk mengadakan resepsi pernikahan di kebun binatang Ragunan, tapi Bayu menolaknya, alasannya akan menganggu keharmonisan kehidupan binatang-binatang yang ada disana. Lagian akibat kendala bahasa, dia susah untuk meminta izin sama empunya kebun binatang.
    Yaitu Gorilla.
    Banyak orang yang bilang kalau dirinya mirip dengan Primus Yustisio. Dan Rex langsung beramsumsi kalau orang yang bilang seperti itu menderita rabun senja.

    Waktu sudah menunjukkan pukul 08:40 dan belum ada kabar kalau pesawat sudah landing. Itu berarti pesawat sudah telat 15 menit dari jadwal yang sudah ditentukan. Rex pun mulai ngomel-ngomel. Bayu yang sedang asyik menikmati makanannya, merasa terganggu dengan omelan Rex. Rex baru terdiam setelah disogok Bayu dengan sebungkus kentang goreng.
    “Kenapa ya Sut, kentang goreng selalu berbentuk persegi panjang ?”, Rex mencoba membuka percakapan. Bayu meliriknya.
    “Mungkin bentuk alat potongnya memang seperti itu”, Bayu berusaha menjawab. “Emang yang bentuknya segitiga gak ada ? atau limas ?”, Rex kembali nanya. “Kenapa gak sekalian aja bentuknya jajaran genjang atau trapezium…”, sindir Bayu. “Ah ! ada-ada aja lo, Sut… kalo bentuk jajaran genjang atau trapezium mah gak ada nilai jualnya”, komentar Rex.
    “Emang kalo segitiga atau limas ada nilai jualnya ?”.
    “Enggak…”.
    “Nyemplung aja lo ke laut !”.
    Baru sekitar 10 menit dari percakapan terakhir mereka, pemberitahuan bahwa pesawat yang ditumpangi Okky sudah landing terdengar dari speaker bandara. Mereka berdua pun segera bergegas masuk dan menunggu di dalam. Perlu sekitar 15 menit lagi sampai akhirnya mereka melihat batang hidung Okky.

    Oktrian Hadi Kusuma
    Juga sahabat Rex semenjak Taman Kanak-Kanak.
    Dia adalah satu-satunya dari 5 serangkai yang saat ini bekerja di luar negeri. Setelah lulus dan mendapat surat izin praktek sebagai dokter pada tahun 2004, dia ditawarkan bekerja di salah satu rumah sakit di Swiss. Tahu kesempatan seperti ini tidak datang 2 kali, dia langsung menyetujuinya.
    Diantara mereka berlima, Okky terlihat paling dewasa. Selain wajahnya yang boros, dia dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda. Tak jarang Rex dan yang lainnya minta pendapat ke dirinya.
    Berperawakan indo membuatnya sangat populer. Bahkan sejak TK dia udah jadi idola, idola ibu-ibu kebanyakan. Baru sejak masuk SD, banyak cewek yang tertarik kepadanya. Mau tidak mau, Rex memang harus mengakuinya. Okky sangat mirip dengan Ari Wibowo. Dengan tampang seperti itu, bukan pekerjaan yang susah untuk menggait cewek.

    Setelah tak pernah ketemu hampir 2 tahun, mereka bertiga saling melepas rindu. Rex hendak cipika-cipiki dengan Okky sebelum akhirnya dia dapat menahan serangan ganas dari pria aneh tersebut.
    Rex manyun.
    Okky pun segera menghibur. “Cipika-cipikinya nanti aja kalo udah nyampe rumah… malu disini, banyak orang !”, ujar Okky.
    Rex setuju.
    Mereka bertiga pun segera bergegas menuju rumah Okky di kawasan Menteng. Semenjak Okky kerja di Swiss, ia menjual rumahnya yang lama yang berada di komplek Pamulang Permai, daerah Ciputat, dan pindah di daerah Menteng. Saat ini kedua orang tuanya dan adeknya tinggal disana. Dan semenjak bepergiannya itu juga, baru kali ini ia kembali ke Indonesia.

    Selang beberapa menit dari kepergian mereka. Terlihat seorang wanita baru saja menunjukkan dirinya dari tempat pengambilan barang. Wanita itu sedang mendorong trolley yang berisi satu buah koper ukuran sedang serta tas jinjing. Pandangannya menyapu seluruh sisi terminal 2E. Sepertinya ia sedang mencari seseorang yang menjemputnya. Tak berhasil menemukan orang yang dicarinya, ia segera merogoh telepon genggamnya dari tas jinjingnya lalu menempelkan ke telinganya setelah menekan nomer yang dituju.
    Nada sambung terdengar. Pada deringan ke tiga panggilan diangkat.
    Wanita itu pun tersenyum.
    Hanya ada satu kalimat yang pantas untuk mendekripsikannya saat itu.
    Wanita itu terlihat sangat cantik dengan senyumannya itu.

    ***
     
  4. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Senin, 09 Juni 1997
    06:50 WIB

    Pagi itu adalah hari Senin.
    Dan itu artinya adalah hari pertama mereka masuk sebagai murid SMU secara sah.
    Sebelumnya mereka sudah menjalani ospek selama 4 hari. Hari dimana mereka yang murid baru menderita akibat harus terkena omelan dan dikerjai oleh senior-seniornya yang duduk di kelas 3. Intinya selama ospek yang seharusnya berisi tentang orientasi sekolah tersebut, murid baru harus rela dicap sebagai “yang selalu salah” sedangkan senior mereka sebagai “yang selalu benar”. Penyelamat mereka hanyalah jam-jam yang diisi oleh guru-guru sekolah yang menyampaikan materi tentang pengenalan sekolah mereka.
    Lebih dari itu…
    Sekolah mereka yang baru tak lebih dari neraka penyiksaan.

    Dan di Senin pagi yang biasa itu, Iman baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang kelas. Walau tidak bisa dikatakan sepi, namun Iman baru melihat kurang dari setengah teman sekelasnya yang sudah berada di dalam kelas.
    Masing-masing mengerjakan aktifitasnya sendiri.
    Namun sebagian besar mereka terlihat sedang mengobrol dengan tujuan untuk lebih mengenal lagi siapa temannya itu walau mereka sudah berkenalan untuk pertama kali 4 hari yang lalu. Sebagian yang lain mungkin sedang berada diluar kelas. Ke kantin mungkin atau bertamu ke kelas lain.
    Iman segera berjalan menuju mejanya yang berada di baris ke dua dari belakang. Disana sudah ada Bayu, teman sebangkunya, yang sedang asyik menikmati rotinya yang baru dibeli dari kantin. “Yang lainnya mana, Yu ?”, Tanya Iman.
    Bayu menelan rotinya dulu sebelum menjawab, “Rex sama Okky belom dateng. Kalo PE tadi sih bilangnya mau ke wc”.
    Iman segera duduk disamping Bayu.
    “Gue berani taruhan, pasti Rex bakal telat”, ujar Iman.
    “Jah ! dia mah semenjak SMP emang rajanya telat !”, seru Bayu membenarkan. “Mana jam pertama itu jam bu Rosita lagi…”, tambahnya yang sedang membicarakan guru Biologi sekaligus guru wali kelasnya.
    Iman tertawa. “Matilah, dia ! pagi-pagi udah kena semprot. Hari pertama lagi”. Iman memberi gesture leher dilewati jari telunjuknya.

    Bayu baru saja hendak berucap ketika PE masuk ke dalam kelas dengan terburu-buru. Nafasnya tersengal-sengal, sepertinya ia baru saja lari. Kehadirannya yang tiba-tiba itu mengundang perhatian anak-anak lainnya.
    “Elo tau gak !?”, serunya ke seluruh kelas.
    “GAK TAUUU !”, balas semuanya kompak.
    “Makanya sekarang gue kasih tau… ada murid baru !”, seru PE lagi sumringah.
    “Cowok apa cewek, Yud ?”, tanya Beni, ketua kelas mereka.
    “Jah, Ben ! ngapain juga gue capek-capek lari ke sini dengan semangat 45 kalo cowok…”, jawab PE. “Jadinya cewek, Yud ?”, tanya Ayu yang sedikit kecewa karena acara gosipnya sempat terganggu.
    “Kagak ! banci ! ya cewek lah !”, sahut Daus dari ujung kelas.
    “Cantik gak, E ?”, kini Bayu yang tanya.
    “Cantik bangeeeettttt !”, seru PE setengah teriak, “gue tadi liat dia sedang jalan sama bu Rosita ke ruang kepsek, jadi kayaknya tuh cewek bakal masuk kelas kita !”.
    Semua anak cowok teriak kesenangan.
    Siapa juga yang tak senang setelah tahu ada anak cewek cantik akan menjadi teman sekelas mereka. Jadinya kan proses pendekatan jadi lebih efisien.

    Bel masuk telah berbunyi.
    Seseorang terlihat memasuki kelas.
    “SAVE !”, seru Okky yang baru saja sampai.
    Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Semua anak cowok masih asyik bersorak-sorai. Ia pun merasa seperti seorang pemain basket yang berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang di detik-detik terakhir dan membuat timnya menang.
    Tanpa mengetahui alasan sebenarnya kenapa anak cowok bersorak-sorai, Okky segera menuju mejanya yang berada tepat di depan meja Bayu-Iman.
    “Rex mana ?”, tanyanya setelah melihat tas teman sebangkunya belum ada disana.
    “Tuh, kan ! apa gue bilang…”, ujar Iman ke Bayu.
    “Biasa, Ky… telat…”, Bayu ke Okky.
    Okky pun mengangguk mengerti.

    Suara sepatu bu Rosita mulai terdengar mendekati kelas mereka.
    Semua anak segera sibuk duduk di kursi masing-masing.
    Bu Rosita terkenal dengan guru yang paling disiplin soal waktu. Oleh karena itu, sebisa mungkin mereka ingin menunjukkan kesan pertama yang baik ke wali kelasnya.
    Sialnya, ada satu makhluk sialan yang menggagalkan rencana mereka.
    Tak lama kemudian bu Rosita masuk diikuti oleh seorang anak cewek yang sangat cantik. Semua anak cowok terkesima. Pandangan mereka tak pernah lepas dari cewek itu.
    “Pagi, semua !”, ujar bu Rosita
    “Pagi, buuu !”, seluruh kelas serentak kompak.
    “Seperti yang kalian lihat, pagi ini kalian kedatangan teman baru”, ujarnya tersenyum. Ia segera melirik ke cewek itu, “coba perkenalkan dirimu ke semuanya”, tambahnya ke cewek itu.
    Cewek itu mengangguk.
    Kemudian ia memandang dengan yakin ke seluruh kelas.
    “Nama saya, Tanya. Lengkapnya Tatianya El Florenthia Sastrawijaya…”, ujarnya memperkenalkan diri. Disetiap kata-kata yang diucapkannya tersirat keangkuhan dan rasa percaya diri yang tinggi. “Senang berkenalan dengan kalian semua”, lanjutnya.
    PE bersiul menggoda memecah keheningan.
    Tindakannya itu diikuti tawa beberapa anak cowok.
    “Baiklah ! kalian bisa puas menggodanya nanti saat jam istirahat”, celetuk bu Rosita yang kembali diiringi suara tawa anak cowok, “sekarang saatnya memulai pelajaran. Mmhhh…”, pandangannya menyapu seluruh kelas, mencari kursi kosong untuk Tanya, “Sistien… saya harap kamu tak keberatan satu meja dengan Tanya”.
    Cewek yang bernama Sistien itu segera menjawab, “tentu, bu…”.
    “Sekarang kamu boleh duduk di kursimu”, lanjut bu Rosita sambil menunjuk kursi disamping Sistien.
    Tanya mengangguk.
    “Terima kasih, bu…”, gumamnya.
    Ia hendak menuju ke kursinya ketika tiba-tiba pintu kelas terbuka lebar.
    Semua mata tertuju ke arah pintu itu.
    “SELAMAT !”, seru Rex tanpa merasa bersalah masuk ke dalam kelas dengan ekspresi wajah lega setelah mengetahui kalau pelajaran belum dimulai.
    Tanya dengan ekspresi sedikit terkejut dan heran menatap makhluk aneh yang tiba-tiba muncul itu. Rex pun segera menyapu seluruh kelas, tatapannya teralihkan pada anak cewek yang berada dihadapannya.
    Untuk beberapa detik tatapan mereka saling bertemu.
    Dan untuk beberapa detik itu juga ada sesuatu yang saling melebur di dalam diri mereka masing-masing.
    Detik selanjutnya, tatapan mereka terganggu oleh suara dehaman bu Rosita.
    Mereka berdua pun dengan kompak berpaling ke bu Rosita.
    “Kamu telat !”.

    ***
     
  5. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Jumat, 22 Desember 2006
    17:20 WIB

    Sore itu hujan masih terus turun. Namun setelah membasahi bumi semenjak siang tadi, kini hanya tinggal rintikan yang masih mendominasi angkasa. Awan hitam pun mulai hilang, digantikan warna jingga yang kini menghiasi seluruh cakrawala.
    Iman menggigil kedinginan ketika angin kencang menghembus menerpanya.
    Kini dia sedang dalam perjalanan menuju Pondok Indah Mall. Setelah selesai dengan tugas dikantornya yang berada di daerah Blok M, ia segera menuju kesana dengan motor bebeknya. Hari itu, dalam rangka merayakan kedatangan Okky, mereka berlima mengadakan acara makan malam bersama. Dan karena kerjaannya, tadi pagi dia tak bisa datang ke bandara menjemput Okky.

    Iman Pradana Martodihardjo.
    Sama-sama sahabat Rex semenjak Taman Kanak-Kanak.
    Pria yang selalu menjalankan prinsip hidup sehat ini adalah seorang fotografer lepas. Namun belakangan ia sering bekerja sama dengan Vivien Home Production. Jadi jangan heran selalu melihat Iman dengan kamera digital SLR Canon EOS 1000D tergantung di lehernya. Bila jalan dengannya, bukan hal yang aneh lagi tiba-tiba Iman berhenti dan mengambil objek yang orang lain berpikir kalau objek itu tak menarik.
    Bagi Iman justru objek yang tak menarik itu lah yang menarik.
    Untungnya bagi yang lainnya, mereka suka meminta Iman untuk memfoto wanita-wanita cantik yang mereka temui dijalanan atau diberbagai tempat.
    Bila melihat Iman, orang-orang akan membandingkannya dengan Gary Iskak. Dan Rex setuju dengan mereka, hanya saja Gary Iskak setelah wajahnya terkena pukulan straight Mike Tyson.

    Akibat macet, perjalanan yang seharusnya memakan waktu setengah jam kurang, Iman baru sampai di PIM 45 menit kemudian. Dia segera menuju ke tempat yang udah dijanjikan, yaitu Gramedia.
    Rex yang mengusulkannya.
    Alasannya, sembari menunggu yang telat datang, bisa baca-baca dulu.
    Jadi tak terasa menunggunya.
    Semua anak setuju.
    Namun akhirnya mereka semua baru sadar maksud Rex sebenarnya. Karena Rex yakin kalau dia pasti telat, makanya yang lainnya disuruh baca dulu sembari menunggu kedatangannya.

    Iman dalam keadaan setengah jalan cepat ketika wanita itu melewatinya.
    Semuanya begitu cepat, hanya sekelebat. Namun dapat membuat Iman terdiam.
    Dipandanginya wanita yang kini berjalan didepannya. Sepertinya wanita itu juga sedang terburu-buru. Entah kenapa, ada rasa nostalgia di lubuk hatinya. Rasanya, ia mengenal wanita itu. Rasanya, itu sudah berlangsung lama.
    Tanpa disadarinya, iapun melangkah mengikuti wanita itu.
    Rasa penasaran mulai merasuki otaknya. Membelenggunya dan memerintahkan anggota geraknya dibawah alam sadar.
    Wanita itu berhenti di sebuah restoran all you can eat. Di sana sudah ada 2 teman yang menunggunya. Iman diam-diam memperhatikannya dari luar restoran. Agar tidak kelihatan seperti seorang stalker, ia pura-pura sedang memotret beberapa sisi mall yang tidak penting. Alhasil, Iman baru saja ditegor oleh satpam karena disangka teroris yang sedang memata-matai isi dalam gedung.
    Setelah Iman berhasil meyakinkan satpam itu, ia kembali memperhatikan wanita itu. Kini dia sedang mengambil beberapa macam makanan bersama salah satu temannya. Dari pakaian yang dikenakannya, Iman yakin kalau wanita itu baru saja pulang dari kantor. Dan dari cara dia bicara, Iman juga yakin kalau ia pernah melihatnya sebelumnya.
    Hanya saja yang Iman yang tidak yakin, apakah dia pernah ketemu sama wanita itu.
    Kalo iya, dimana…
    Kapan…
    Dan bagaimana…

    Tiba-tiba kegiatan selidik menyelidiknya terganggu oleh seruan seseorang.
    “Ngapain elo disitu !?”.
    Iman menatap dengan rasa terganggu ke orang yang baru saja berteriak kepadanya dengan suara cemprengnya yang menyakitkan telinga.
    Ternyata PE sudah berada disampingnya.
    Iman pun gelagapan. Niatan mau ngomel tak dapat tersalurkan.
    “Kagak, E… gue cuma liat-liat makanan di restoran itu…”, gelagapnya sibuk mencari alasan sambil menunjuk restoran tempat wanita itu berada. PE mengikuti arah tunjukkan Iman. “Kayaknya makanannya enak-enak… gimana kalo kita nanti makan disitu aja “, tambah Iman menyakinkan alasannya.
    PE mengangguk-angguk tak jelas.
    “Boleh juga sih… kebetulan gue laper banget ! makan di restoran all you can eat kayaknya cocok deh untuk kondisi seperti ini…”, ujar PE termakan alasan Iman.
    Iman pun menghela nafas lega.
    “Yaudah, kita ke Gramedia aja dulu. Nanti setelah udah pada ngumpul, kita usulin untuk makan disini…”, tambah PE. Iman mengangguk setuju.
    PE pun segera melangkah menuju ke Gramedia. Sebelum Iman mengikutinya, ia melihat wanita itu untuk terakhir kalinya. Ia merasa kalau ini adalah pandangan terakhir yang dapat dilihatnya. Siapapun wanita itu, setelah ia melangkah pergi dari sini, ia merasa tak akan bertemu dengannya lagi.
    Tanpa disadarinya, PE kembali mendekatinya.
    Iapun mengikuti tatapan Iman.
    “Ngeliatin siapa sih, Man ?”.
    “Itu, cewek yang pake blazer putih…”, jawabnya tidak sadar.
    PE pun memperhatikan wanita yang ditatap Iman.
    “OOOOHHHH !!!”, teriak PE. Iman pun sadar kalau ia baru saja melakukan satu kesalahan yang sangat amat fatal. “ITU MAH SI DEWIII !!!”, lanjut PE tanpa memperhatikan keadaan sekitar dan tatapan Iman yang penuh aura membunuh.
    “KURANG KERAS SUARANYA, EEE !!!”.

    Yudha Profitian Erdhiaputra
    Juga sahabat Rex semenjak Taman Kanak-Kanak.
    Dia adalah tim penggembira dan sangat cocok bila dipasangkan berdua dengan Rex.
    Dua-duanya sama gokil, edan, dan tak tahu malu. Kadang-kadang tingkah keduanya berhasil membuat Okky, Bayu, dan Iman harus menahan emosi dan menahan malu.
    Panggilannya adalah PE.
    Singkatan dari Pete Enak, karena PE sangat suka makan pete.
    Tapi alasan yang masuk akal ialah diambil dari inisial nama kedua dan ketiganya.
    Profesinya adalah penyiar radio Auriola FM.
    Sebuah stasiun radio yang lebih ditujukan kepada eksekutif muda dengan pangsa pasar umur 30-40 tahunan. Suara cemprengnya dapat didengar setiap pagi hari pada acara Coffee Mane dan sore hari di acara Occasus. Akibat humor dan candaannya, PE adalah salah satu penyiar radio favorite di tempat kerjanya. Dan acara yang dibawakannya selalu dinanti-nanti untuk menemani perjalanan pergi kerja dan pulang kerja.
    Menurut anak-anak kantornya, wajah PE mirip Ben Joshua. Mendengar itu Rex turut perihatin, karena akibat fitnah tersebut, Ben Joshua berniat untuk operasi plastik gara-gara tak mau disamain dengan PE.

    50 menit kemudian kelima serangkai itu udah asyik menikmati makanan di restoran all you can eat tempat Dewi tadi makan. Namun ketika mereka tiba disana, Dewi dan kedua temannya sudah tidak ada.
    Ada sedikit perasaan kecewa di dalam hati Iman.
    Gara-gara teriakan PE barusan, Dewi sadar kalau ada seseorang yang baru saja meneriakkan namanya. Takut kepergok, Iman segera menarik PE kabur dari tempat itu agar tidak ketahuan.
    Kalau dipikir-pikir, buat apa dia kabur.
    Toh dia tak melakukan kesalahan apa-apa.
    Justru mungkin karena itu dia dapat kembali mengobrol dengannya. Atau minimal dapat tahu nomer teleponnya. Atau alamat emailnya mungkin.
    Malam itu perasaan Iman tak karuan.
    Malam itu…
    Ia dapat bertemu cinta pertamanya kembali.
    Tapi tetap tidak dapat menggapainya.

    ***
     
  6. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Selasa, 17 Juni 1997
    09:35 WIB

    “Sut, elo mau makan sate atau nasi goreng ?”, tanya Rex yang sedang menyeleksi semua makanan yang ada di kantin. Bayu yang lagi asyik menikmati teh botol segera melirik pedagang-pedagang yang jualan disana, “sate ayam aja deh !”, putusnya.
    “Okeh, kalo gitu Man, sate ayamnya dua !”, Rex ke Iman.
    Iman menatapnya protes. “Lah ! kenapa tiba-tiba gue yang disuruh mesen, bukannya elo yang tadi nanya-nanya ?”. Rex memalak batagor yang sedang dinikmati PE sedari tadi sebelum menjawab, “tadinya sih rencana gue emang begitu, Man… tapi setelah nyadar kalo jarak duduk elo lebih deket ke tempat abang sate ayam dari pada gue, jadi mau gak mau gue minta tolong ma elo…”, alasannya.
    Iman geleng-geleng kepala.
    Itu makhluk satu memang paling bisa kalau berkelit.
    Ia pun segera bangkit menuju abang sate ayam. “Man ! gue nitip mie ayam ! tapi gak pake mie trus ayamnya harus masih perawan !”, pesan PE.
    “Sakit lo !”.
    “Kenapa harus perawan, E ?”, tanya Rex membuka percakapan penuh ilmiah.
    “Karena dagingnya lebih empuk dibanding yang udah kawin”, jawab PE.
    Rex mengangguk-angguk mengerti, “oh… gue kira ayam yang di air keras yang lebih empuk…”. “Nah ! emang bener, Rex ! sayangnya harga air keras mahal, makanya jarang yang jual. Lagian harganya lebih mahal juga dari pada ayam perawan…”, PE menjelaskan sambil terus menyantap batagornya yang tinggal sedikit akibat dipalak Rex.
    Rex kembali mengangguk penuh kepuasan.
    Sedangkan Bayu menatap aneh kedua sahabatnya itu. Ia pun hendak mengembalikan botol yang sudah kosong sebelum langkahnya terhenti. Rex memperhatikannya.
    “Kenapa Sut ?”, tanya Rex.
    Sebelum menjawab, Bayu buru-buru balik badan dan kembali duduk disamping Rex.
    “Nah ! itu dia, Rex ! cewek yang waktu itu gue lihat di perpustakaan !”, seru Bayu setengah berbisik. Rex bersamaan dengan PE segera melirik cewek yang dimaksud Bayu. “Yang mana, Yu ? yang jualan juice ?”, tanya PE dengan tatapan masih mencari-cari. “Bego ! ngapain juga mba-mba juice ada di perpustakaan !”, seru Bayu keki, “itu… yang lagi beli juice !”.
    Rex dan PE berhasil menemukan cewek yang Bayu maksud.
    Seorang cewek manis berkacamata dengan rambut panjang yang dikepang dua.
    Dari penampakannya sudah dapat ditebak kalau dia adalah tipe cewek kutu buku.

    “Lo berdua pada liatin apa sih ?”, tanya Iman yang baru aja selesai memesan.
    Tak ada yang menjawab.
    Karena penasaran, Iman segera mengikuti arah pandangan Rex dan PE. Disana ia menatap pohon Palem Botol, “apa bagusnya sih tuh Palem ampe segitunya ngeliatin ?”.
    “Goblok ! yang disebelahnya ! yang lagi jualan juice !”, seru Rex tanpa melepaskan pandangannya. “YANG BELI DODOOLLL !”, tambah Bayu mengoreksi.
    “Ooohhh…”, gumam Iman setelah tahu cewek yang dimaksud.
    “Kenal ?”, tanya Bayu penasaran dengan nada ‘oh’-nya Iman.
    “Enggak…”.
    “Kunyuk !”.
    “Lah ! elo kenapa enggak kenalan ?”, tanya Iman membela diri.
    Bayu terdiam. Semuanya pun menunggu jawaban Bayu. “Gue bingung mau ngomong apa”, ujar Bayu akhirnya. “Jah, Sut ! yang pasti kenalan nama dulu !”, saran Rex masuk akal. “Ya gak segampang itu lah ! alasan mau kenalannya apa coba ? masa gue tiba-tiba nanya nama dia siapa…”, Bayu membela diri.
    Kini giliran semuanya yang terdiam.
    “Gimana kalo elo pura-pura nyari buku di perpus trus elo nanya dia ?”, saran PE.
    Selanjutnya giliran PE yang ditatap. “Wuih ! usul bagus tuh !” seru Iman dan Rex berbarengan.
    Bayu manggut-manggut.

    “Evy namanya…”, gumam seseorang mengagetkan mereka berempat.
    Kini giliran orang itu yang ditatap dengan pandangan kaget dan penasaran.
    “Evy… elo tau dari mana, Ky ?”, tanya Bayu yang merasa baru saja mendapat hembusan angin segar. Okky yang baru saja tiba segera duduk disamping Bayu, “waktu itu gue dikenalin ma Sistien. Ternyata dia teman SDnya Sistien…”, jawab Okky.
    “Nah ! yang gue bingung, kok elo tau kita-kita lagi liatin Evy ?”, sambung Rex penasaran.
    “Gimana gak mau tau ! wong elo berempat ngeliatinnya pada eksplisit banget sih ! dari jauh aja gue tau kalo lo pade pada ngeliatin tuh cewek…”, balas Okky.
    Mereka berempat pun kembali manggut-manggut.
    “Elo sendiri dari mana ? tiba-tiba ngilang pas bel istirahat bunyi”, kini giliran Iman yang tanya. Sebelum menjawab, Okky berhasil memalak sate ayam Rex yang baru saja diantarkan.
    “Dari perpus, nemenin Sistien…”.
    “Ooohhh…”, gumam mereka berempat.

    ***
     
  7. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 23 Desember 2006
    06:15 WIB

    “Viola ! selamat pagi A listeners !”, terdengar suara cempreng PE dari balik speaker radio set yang berada di sebuah kamar tidur seseorang. Dari balik gorden putih yang berterbangan akibat tertiup oleh angin, terlihat siluet seseorang berdiri terpaku di luar sana.
    “Waktu menunjukkan tepat pukul 06:15, sesuai dengan jam kaki saya. Dan… hey-hey-hey ! apa yang kita dapatkan diluar sana… mmh… ternyata hujan sudah mulai turun ! baru saja mas geledek memberitahu saya kalau sebentar lagi dia akan datang…”.
    Seperti apa yang dikatakan oleh penyiar aneh tersebut.
    Diluar sana, hujan mulai menunjukkan rintik-rintiknya. Ditemani oleh hembusan angin yang memabukkan. Membuat orang enggan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Lebih memilih untuk terus berada di alam mimpinya yang fana. Membiarkan dirinya berada bebas di dalam dunia pribadinya, dimana tak ada seorangpun yang dapat mengganggunya.
    “Sesuai dengan ramalan engkong saya di kampung, hari ini Jakarta masih diguyur oleh hujan. Dan sepertinya akan terus seperti itu sampai nanti sore. So… jangan lupa membawa payung bila A listeners ingin bepergian. Lebih afdol lagi kalo membawa sepatu boot dan jas hujan, ember dan plastik kresek mungkin juga akan berguna…”.
    Dengan cuaca seperti itu, pagi itu secara praktis suasana menjadi serba dingin. Sinar matahari yang seharusnya mulai menyinari dunia dari balik kegelapan yang memudar, kini batang hidungnya tak dapat dilihat. Terhalangi oleh gelungan awan hitam yang kini menguasai singgasana cakrawala.
    Namun siluet seseorang itu tak menggubrisnya.
    Dia tetap diam terpaku di luar sana. Di beranda kamarnya yang berada di lantai 2.
    “Masih dengan radio anda tercinta, di 107.2 Auriola FM dengan saya, PE, akan menemani anda sampai pukul Sembilan di Coffee Mane ! Dan untuk menghormati sang hujan yang sudah capek-capek mengunjungi kita di pagi-pagi seperti ini, sebuah lagu akan saya persembahkan untuk menemani anda yang mungkin sudah dalam perjalanan menuju kantor atau yang masih sedang sarapan pagi. Apapun yang sedang anda kerjakan dan dimana anda berada, please… enjoy it…”.
    Lagu berjudul Hujan yang dibawakan oleh Utopia terdengar mengalun memenuhi seisi kamar yang luas dan kosong itu. Bahkan terdengar sampai beranda.
    Seseorang disana mendengarkannya.
    Bibirnya pun mulai komat-kamit mengikuti liriknya walau dia belum pernah mendengarnya sebelumnya. Tema dan iramanya sangat pas untuk suasana hujan di pagi itu.

    Rinai hujan basahi aku. Temani sepi yang mengendap.
    Kala aku mengingatmu. Dan semua saat manis itu.

    Segala seperti mimpi. Kujalani hidup sendiri.
    Andai waktu berganti. Aku tetap tak 'kan berubah.

    Aku selalu bahagia. Saat hujan turun.
    Karna aku dapat mengenangmu. Untukku sendiri.
    Selalu ada cerita. Tersimpan dihatiku.
    Tentang kau dan hujan. Tentang cinta kita. Yang mengalir seperti air.

    Aku bisa tersenyum. Sepanjang hari.
    Karna hujan pernah menahanmu disini. Untukku.

    Tatianya El Florenthia Sastrawijaya
    Panggilannya Tanya.
    Seorang wanita dengan kecantikan bak putri raja yang hidup di dalam dongeng pengantar anak tidur. Dahulu kala, di jaman para dewa masih hidup berdampingan dengan manusia. Orang Yunani memuja seorang dewi kecantikkan dan kesuburan Aprodithe. Apa bila Tanya sudah hidup di jaman itu, pastinya dia lah yang akan disangka dewi Aprodithe oleh mereka. Kecantikannya dapat membius setiap pria yang menatapnya untuk berpaling dan terus menatapnya.
    Tanya adalah peranakan Manado-German.
    Bokapnya yang seorang warga Negara German sedang melancong ke Manado. Dan disana dia bertemu dengan seorang wanita berdarah Manado. Cinta pun timbul diantara mereka berdua. Setelah menikah, maka lahirlah Tanya.
    Hidung dan matanya diwariskan langsung oleh bokapnya. Sedangkan bentuk wajah dan warna kulitnya diwariskan dari nyokapnya. Menghasilkan suatu hasil karya seni yang sangat luar biasa indahnya.
    Tanya memiliki warna mata biru langit yang sangat indah yang menghiasi wajah ovalnya. Rambutnya yang berwarna cokelat panjang yang kadang terlihat bergelombang namun di lain waktu terlihat lurus menambah nilai kecantikannya. Bibirnya yang agak tebal pun menambah kesensualitas parasnya.
    Orang sering mengatakan kalau dirinya bak pinang dibelah dua dengan Fergie atau Preity Zinta. Sedangkan dari Indonesia, rasanya Ziza Hamzah atau Sabrina Luiss cukup untuk mewakilinya.
    Tanya adalah seorang newscaster BBC.
    Kecerdasan dan kepintaran yang dimilikinya membuat dia adalah satu-satunya wanita berasal dari Indonesia yang dapat bekerja di perusahaan bergengsi di bidang broadcasting itu. Di usianya yang baru 24 tahun, ia sudah menyelesaikan pendidikan S2nya dan menguasai 4 bahasa dunia selain Indonesia dengan baik. Yaitu Inggris, Perancis, Jerman, dan Mandarin.
    Untuk kepribadiannya, ada 5 hal yang menjadi ciri khasnya. Pertama, Tanya selalu mengenakan kacamatanya, dan ia selalu terlihat mengenakan kacamata berbentuk oval tanpa frame yang entah kenapa membuatnya terlihat jauh lebih cantik. Kedua, Tanya selalu menggunakan pashimna atau scarf sebagai aksesoris pakaiannya. Ketiga, Tanya sangat suka mengenakan rok, terutama rok mini. Dengan itu ia dapat menonjolkan kakinya yang panjang dan indah. Keempat, Tanya sangat gemar menggunakan sepatu high heels model stiletto. Membuatnya kakinya yang indah menjadi tambah indah, dan tubuhnya yang sudah tinggi menjadi tambah tinggi. Oleh karena itu, koleksinya terhadap ketiga jenis pakaian dan aksesorinya di atas sangatlah banyak. Mungkin saat ini sudah berjumlah ratusan lebih. Dan yang terakhir, Tanya memiliki gaya jalan yang unik. Ia selalu jalan dengan langkah kaki lurus di satu garis. Akibat kebiasaannya yang seperti itu, ia sering dikira seorang model cat walk.


    Tanya adalah wanita yang serba perhitungan. Semua tindakannya sudah dipikir matang-matang sebelumnya dan setiap keputusannya merupakan hasil dari pikiran yang jernih. Dia adalah tipe wanita yang diam, tak banyak bicara. Namun setiap kata yang diucapkannya terdengar angkuh dan penuh percaya diri. Pembawaannya selalu tenang dan terlihat dewasa. Karenanya, banyak orang yang menghormatinya, tapi juga ada yang membencinya.

    Setiap helai rambutnya dikibarkan oleh hembusan angin yang mengelus lembut dirinya. Berterbangan dengan cepat diantara pori-pori kulitnya. Seakan-akan mereka sedang menunjukkan kalau dirinya ada walau tak dapat dilihat oleh mata.
    Tanya menghirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan kedua matanya.
    Seketika hawa segar memenuhi setiap sudut rongga dadanya. Membuatnya merasa ringan dan meniupkan semua beban yang bertumpuk di kedua pundaknya. Menerbangkan semua pikiran yang mengganggu seluruh sel otaknya.
    Dengan memejamkan kedua matanya, dia dapat mempertajam indra pendengarannya. Kini irama itu mulai terdengar. Awalnya samar-samar namun semakin jelas terdengar. Irama ketika setiap tetesan air hujan menghujam bumi dan membasuhnya sampai bersih. Seseorang menyebutnya, irama hujan. Irama yang selalu membawa sebuah kenangan tentang masa lampau kembali ke saat ini. Kenangan yang dapat membuatmu tersenyum, ketawa, sedih, menangis, bahkan marah. Kenangan yang datang bersamaan dengan setiap tetesan hujan.

    Dulu ada seseorang yang memperkenalkannya dengan hujan. Seseorang yang selalu dekat dihatinya dan menempati ruang khusus didalamnya.
    Awalnya ia menganggap aneh.
    Apa bagusnya dengan hujan…
    Apa yang special darinya…
    Tapi, entah sejak kapan ia mulai ikut-ikutan menyukainya. Dan entah sejak kapan, bila hujan turun, ia selalu mencari tempat yang sepi untuk menikmatinya sendirian. Dan entah kenapa, setiap hujan turun, kenangan akan orang itu kembali menyelimuti dirinya.

    Tiba-tiba lamunannya terganggu oleh suara deringan telepon dari dalam kamarnya. Dengan langkah yang ogah-ogahan ia segera kembali masuk ke kamarnya dan mengambil telepon rumahnya yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.
    “Halo ?”, ujarnya lembut.
    “Tanya ?”, terdengar nada seorang wanita yang terdengar ragu-ragu.
    Tanya mengerutkan kening. “Iya… ini saya sendiri…”, jawabnya dengan nada penasaran.
    “TANYA !!! ini gue ! Sistien !”, Sistien terdengar berbicara sambil teriak di ujung sana.
    Mendengar nama Sistien, sahabat lamanya, Tanya merasa sangat senang bukan main. “Ya ampun ! Sistien !? gimana kabar elo ? kok tau gue ada di Indonesia ?”, seru Tanya antusias. Terdengar suara tawa Sistien sebelum dia menjawab, “gue baik-baik aja, kok… entah kenapa, tiba-tiba perasaan gue bilang kalo sekarang elo ada di Indonesia. Makanya pagi-pagi gue nelpon, untuk mastiin…”.
    Tanya tertawa pelan.
    “Ya-ya… gue baru tiba kemarin pagi. Sorry kalo gue gak sempet ngabarin, gue gak tau nomer telepon elo sih…”.”Kalo gitu, sebagai gantinya telat ngabarin gue, gimana kalo traktir makan ?”, balas Sistien.
    Mereka pun tertawa bersamaan.
    Saat itu, seakan-akan waktu diantara mereka berhenti memutar. Dan kembali mundur dimana mereka berdua masih seorang siswi SMU. Pemandangan itu bukan lagi menggambarkan dua wanita dewasa yang sedang berbincang di telepon. Melainkan dua gadis remaja yang sedang bergosip ria di telepon.
    “Well… rasanya udah lama banget yah… terakhir kita ngobrol seperti ini…”, gumam Tanya sambil mencoba mengenang kembali saat-saat mereka masih SMU dulu.”Yah… gak kerasa, sudah 6 tahun semenjak kepergian elo ke Inggris. Sepertinya, waktu berlalu dengan cepat”, balas Sistien.
    Tanya mengangguk setuju.
    Tiba-tiba sebuah ide baru saja tercetus di otaknya, ia pun segera mengutarakan idenya tersebut, “Tien, siang nanti elo ada acara ? kalo enggak, gimana kalo kita lunch bareng ?”. “Okay-okay ! kebetulan hari ini gue free. Jadi mau makan siang dimana ? jam berapa ?”, ujar Sistien setuju.
    Tanya tampak sedang berpikir.
    Karena ini adalah pertemuan pertama mereka setelah 6 tahun tidak bertemu, ia rasa ia harus mencari tempat yang special untuk mereka berdua. “Mmhh… gimana kalo di kafe Clover Leaf ? jam 1 siang ketemu disana ?”, usul Tanya menyebutkan semua nama kafe dimana dulu mereka sering datang kesana. “Clover Leaf yah…”, beo Sistien, “tempat yang sangat tepat untuk bernostalgia, sudah lama banget gue enggak kesana…”.
    Tanya tertawa.
    “Neither me…”.
    Mereka pun kembali tertawa bersamaan.
    Seakan-akan hal yang sangat lucu baru saja terjadi.

    Perbincangan mereka terganggu oleh suara telepon genggam Tanya yang berdering.
    “Tien… sebentar. HP gue bunyi…”, gumam Tanya hendak mengambil telepon genggamnya yang masih berada di tas jinjingnya. “Okay…”, balas Sistien. Tanya berhasil menemukannya, ia pun segera melihat siapa yang menelponnya dari layar LCD.
    Seorang nama pria tertera disana.
    Tanya terdiam.
    “Tien… sorry, sebenernya gue masih pengen banget ngobrol sama elo. Tapi gue harus nerima telepon ini…”, gumam Tanya pelan dengan nada menyesal. “Oh ! okey ! kalo gitu kita lanjutkan obrolan kita nanti pas makan siang”, ujar Sisten.
    Tanya tersenyum simpul. “Iya. Thanks, Tien…”.
    “Ngomong-ngomong, siapa nih yang nelepon ?”, tanya Sistien dengan nada menggoda.
    Tanya kembali terdiam.
    Entah kenapa ada perasaan bimbang antara memberitahukannya atau tidak.
    “Mmhh… tunangan gue, Tien…”.

    ***
     
    Last edited: Jun 9, 2013
  8. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Rabu, 25 Juni 1997
    14:05 WIB

    Bel pulang baru saja berbunyi sekitar 5 menit yang lalu. Menandakan kalau jam pelajaran sekolah pada hari ini telah selesai dan saatnya para siswa untuk pulang. Bila ditanya kepada 100 siswa sekolah, hal apa yang paling ditunggu-tunggu pada saat sekolah, pasti semuanya menjawab dengan lantang dan yakin bahwa bel istirahat dan pulang sekolah lah yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya datang oleh mereka.
    Siang itu, suasana kelas 1-4, dimana Rex dan yang lainnya bersemayam, sudah terlihat sepi. Hanya ada segelintir siswa yang masih betah disana, beberapa dari mereka ada yang sedang siap-siap untuk pulang, tapi sebagian lagi masih asyik berbincang dengan temannya.

    Di salah satu meja, Okky terlihat sedang asyik menyetem gitar akustik tuanya. Yamaha C-450. Gitar itu dibelinya saat ia masih duduk di kelas 5 SD, sekitar 5 tahun yang lalu. Semenjak itu ia belajar gitar secara otodidak. Sudah bukan hal yang aneh lagi melihat dia mengurung diri di kamar selama berjam-jam hanya untuk mengulik suara gitarnya.
    Okky jatuh cinta pada instrument gitar semenjak dirinya masih kelas 1 SD. Awalnya ketika secara tak sengaja melihat video pertunjukan live Led Zeppelin milik omnya. Okky kecil pun terkesima ketika melihat Jimmy Page memainkan solo pada lagu “Stairway To Heaven”. Ia tak menyangka kalau alat musik yang bernama gitar itu bisa menghasilkan suara yang begitu mencenangkan sampai-sampai membuat bulu kuduknya merinding. Tak hanya gitar, Okky pun jatuh cinta dengan corak musik Rock dan Blues. 2 aliran musik yang kini telah mengalir di setiap pembuluh darah tubuhnya. Bila ditanya alasannya, dia akan menjawab seperti ini bila gilanya lagi kumat, “gue suka Rock ! karena gue suka liat cewek pake rok mini…”.
    Kalau agak sedikit waras, “karena musik Rock itu kayak bintang gue, Scorpio. Satu-satunya rasi bintang yang bersifat antagonis, begitu juga dengan Rock !”.
    Kalau sedang waras, “Rock ada salah satu jenis musik yang tak hanya lewat lirik dalam menyampaikan apa yang sedang mereka rasakan saat menciptakan lagu itu, tapi juga dapat melalui raungan gitar yang ia mainkan…”.

    Setelah dirasakan semua senarnya dalam keadaan baik, ia pun mencoba beberapa kunci sambil bersenandung sebuah lagu yang tak dikenal. Terdengar alunan musik yang terdengar menyejukkan ketika Okky memainkan gitarnya. Semua anak yang masih berada di kelas itu segera beralih menatap Okky, mencoba untuk mendengarkannya.
    “Okeh ! mantab ! gak percuma gue capek-capek ngajarin elo…”, ujar Rex setelah Okky selesai main. Kemudian ia melirik ke arah Sistien yang berada di samping Okky, “nah ! elo udah tau mau nyanyi apa buat acara Sabtu nanti ?”.
    Sistien menatap Rex. “Belum tuh…”, gumamnya yang dari tadi asyik memperhatikan Okky yang sibuk dengan gitarnya, “ada ide ?”.
    Rex terdiam. Kemudian ia melirik Bayu yang ada di depannya. Bayu yang tahu dilirik dengan pandangan minta pendapat segera melirik Iman. Iman pun ikut-ikutan melirik PE. PE yang dari tadi asyik baca komik segera bangkit trus mencari sesuatu di kolong mejanya, “gak ada tuh, Tien… idenya gak ada disini… elo tadi naronya dimana ?”.
    “Dasar sakit !”, seru Sistien tersenyum simpul. Ia pun kembali menatap Okky, “kira-kira apa yah, Ky ?”. Okky segera memonyong-monyongkan bibirnya, gerakan khasnya bila sedang berpikir. “Mungkin lagu yang ringan-ringan aja kali yah… yang easy listening… gimana kalo If Love Is Blind-nya Tiffany ? waktu SMP dulu kan kamu pernah nyanyiin lagu itu juga…”.
    Senyuman Sistien melebar.
    Okky pun segera memainkan intro lagu If Love Is Blind.
    Dan tak lama kemudian suara merdu Sistien terdengar memenuhi ruangan kelas mereka.

    People say that you're no good for me. People say it constantly.
    I hear it said so much. I repeat it in my sleep.
    Maybe I am just a fool for you. Maybe you're no angel too.
    But all that talk is cheap. When I'm alone with you.

    If love is blind. I'll find my way with you.
    Cause I can't see myself. Not in love with you.
    If love is blind. I'll find my way with you.

    All the world is crazy anyway. What's it matter what they say.
    If I'm the one that's wrong. Then let in be my mistake.

    You wouldn't be with me tonight if. I didn't feel I was right.
    What will it matter anyhow a hundred years from now.

    Okky dan Sistien sudah bersahabat semenjak SMP. Mereka sekelas semenjak kelas 1 sampai kelas 3. Setelah tahu kalau Okky jago main gitar dan Sistien hobi nyanyi serta mempunyai suara yang sangat merdu, mereka pun membentuk sebuah band.
    Nama Band mereka sangat unik, yaitu October 16th. Merupakan gabungan dari nama mereka. October dari Oktrian, sedangkan Sixteen dari Sistien. Walaupun Okky penggila Rock dan Blues, namun dalam band ini lebih banyak memainkan musik pop. Sekali-sekali Okky memperkenalkan aliran Rock dan Blues pada Sistien. Awalnya Sistien tak menyukainya, namun berkat perjuangan yang tak mengenal menyerah dan dalam jangka waktu yang tak sebentar, Sistien mulai bisa menerima dan menikmatinya. Mereka pun mulai menyisipkan lagu Rock diantara lagu-lagu pop yang mereka suguhkan.

    Suara tepuk tangan terdengar bergemuruh ketika Sistien selesai bernyanyi. Selain mereka berlima, anak-anak yang lainnya baru tahu kalau Sistien jenius dalam bernyanyi. Dia bisa menyanyikan baik nada rendah dan tinggi dengan baik. Dan yang pasti, suaranya sangat khas. Orang pasti tahu kalau yang nyanyi pasti Sistien hanya dari mendengar suaranya saja.
    “Gue gak tau dengan elo semua, tapi entah kenapa setiap gue denger Sistien nyanyi pasti bulu kuduk gue berdiri…”, ujar Bayu disela-sela tepuk tangannya. Iman mengangguk pasti, “gue setuju sama elo ! gue gak pernah bosen dengerin suara Sistien nyanyi”, puji Iman. “Ya-ya-ya… asal elo jangan sampe nyulik partner gue aja terus maksa dia terus-terusan nyanyi…”, gumam Okky.
    Iman nyengir.
    “Gak kok, tenang aja… palingan gue sewa dia beberapa jam buat nyanyi…”.
    “Emangnya partner gue barang apa pake disewa segala ?”.
    “Kalo gitu gue pinjem aja deh, Ky…”, celetuk Rex.
    “Enggak ! gak boleh !”, seru Okky sambil berusaha melindungi Sistien dari tangan-tangan jahil mereka.
    Bayu tertawa. “Elo tuh, yah… protektif banget kalo soal Sistien…”.
    Okky mingkem.
    Sementara orang yang dari tadi direbutkan hanya tertawa sambil senyum-senyum lucu.

    “Tien, nyanyi lagi donk !”, pinta Beni yang mulai ketagihan sama suaranya Sistien.
    Sistien melirik Beni dan mengangguk, ia pun kembali beralih ke Okky. Pandangan mereka bertemu dan seketika itu Okky tahu lagu apa yang ingin dia mainkan sekarang. Ia segera memainkan intro lagu Cerita Cinta-nya Kahitna.
    Sistien tersenyum. Ini salah satu lagu favorite-nya.
    Ia pun kembali bernyanyi.

    Berawal dari mata indahnya senyuman. Mengapa harus resah
    Berawal tatap mata hangatnya sapamu. Mengapa jadi gundah

    Tak kusangka kita sama. Telah menyimpan getar cinta... cinta...

    Biar cinta gelora di dada. Biar cinta memadukan kita
    Cerita cinta pertama kurasa. Jangan pernah akhir cerita cinta kita

    Kini rindu yang kupunya hanya untukmu. Hanya padamu.
    Apabila kita memang mesti bersatu. Mengapa harus ragu.

    Dunia seakan bercanda. Melihat cerita kita
    Cinta.

    “Kalo gue gak salah, tuh lagu sering banget elo nyanyiin. Setiap kalian manggung, pasti lagu itu ada…”, komentar PE yang dari tadi cuma diam mendengarkan.
    Sistien mengangguk antusias.
    “Ada alasan khusus ?”, tambahnya.
    Okky dan Sistien saling menatap sebelum menjawab.
    Mereka pun serempak geleng kepala.
    Rex, Bayu, Iman, dan PE menatap tak percaya.
    Okky pun segera menjelaskan, “gue gak tau kalo ini bisa dibilang alasan atau bukan… tapi hanya aja, gue rasa setiap manusia mempunyai cerita cintanya masing-masing. Yang tak akan pernah habis sampai akhir hayatnya, mungkin beberapa diantara mereka ada yang baru memulainya…”, Okky melirik Bayu, “mungkin ada yang belum…”, ia beralih ke Rex, Iman, dan PE, “atau mungkin ada yang sudah memulainya duluan…”, kini giliran mereka berempat yang melirik Okky dan Sistien, “tentunya cerita cinta itu digoreskan oleh berbagai warna dalam perjalanannya. Ada perasaan senang didalamnya, berbunga-bunga, kangen, tawa tapi ada juga perasaan sedih, muak, hancur, dan marah…”, Okky terhenti. Iapun melirik Sistien, “apapun warna yang digoreskan dalam cerita cinta itu, yang pasti dia akan terus bergulir. Halaman demi halaman dan membentuk bab-bab baru”.
    Semua terdiam.
    Mencoba mencerna apa yang Okky katakan barusan.
    Rex pun orang pertama yang angkat bicara, “jadi maksud elo, kalian berdua suka lagu itu karena setiap orang punya cerita cinta ? gitu ?”.
    “Enggak… tapi karena gampang dimainin…”, jawab Okky sekenanya.
    “@#$%& !!!”.

    ***
     
  9. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 23 Desember 2006
    09:10 WIB

    PE baru saja menyelesaikan siaran paginya dan hendak menuju ke cubicle-nya ketika Herman, teman kerjanya, mendekatinya. “Kali ini elo buat masalah apa lagi, Yud ?”, tanya Herman Tiba-tiba. PE menatapnya bingung, “yang pasti bukan masalah karena udah hamilin istri jenderal…”. Herman terkekeh. “Elo dipanggil bos, tuh… disuruh ke ruangannya sekarang”.
    PE melirik pintu ruangan bos, disana ada Icha, sekretaris bos yang montok, sedang sibuk mem-pedicure kuku jari tangannya dimejanya. Iapun kembali menatap Herman, “mau naikin gaji gue kali…”, gumamnya sambil berlalu. “Kalo gitu sekalian gaji gue juga minta dinaikin !”, seru Herman setengah teriak.

    Sebelum mengetuk pintu, PE mencolek Icha.
    Icha menatap PE. “Ada apa ?”, tanya PE setengah berbisik.
    Icha angkat kedua bahunya. “Gak tau… mungkin mau ngenalin karyawan baru”, jawab Icha juga setengah berbisik. “Karyawan baru ?”, beo PE. Icha mengangguk cepat.
    PE pun segera mengetuk pintu dan masuk ke dalamnya.
    Disana ia mendapatkan pak Teuku yang sedang duduk disinggasanannya bersama dengan seorang wanita yang juga duduk dihadapannya. Dua-duanya kini menatap kedatangan PE.
    “Ah ! akhirnya kamu datang juga !”, ujar pak Teuku sambil bangkit dan berjalan mendekati PE, “perkenalkan…”, pak Teuku menunjuk wanita itu sedangkan wanita itu bangkit menuju mereka, “namanya Nissa…”. PE dan Bintang saling berjabatan tangan dan mengenalkan nama mereka masing-masing, “dia adalah karyawan baru kita dibagian produksi”.
    PE mengangguk-angguk mengerti.
    Diperhatikan wanita yang berada dihadapannya itu.
    Parasnya manis. Rupanya sangat khas dengan keelokkan wanita khas Sunda-Jawa.
    Masalahnya tinggal, tipe wanita seperti itu yang menjadi kesukaannya.
    “Nah… sekarang saya ingin kamu mengantarkannya keliling-keliling menunjukkan ruangan-ruangan yang ada di kantor kita”, ujar pak Teuku lagi.
    “Ohhh…”, gumam PE kembali mengangguk-angguk. Tiba-tiba anggukannya berhenti dan ia seperti tersadar akan sesuatu, “HAH !?”, serunya menatap pak Teuku dengan pandangan meminta penjelasan. “Iya… semacam tour kecil lah sambil memperkenalkan pada lainnya”, tambah pak Teuku yang tak menangkap tatapan keberatan PE.
    PE mau tak mau harus menerimanya.
    Sebenarnya itu bukan masalah besar baginya.
    Yang jadi masalah, ia hanya berdua dengan seorang wanita manis berjalan mengelilingi ruangan-ruangan kantor. Dan itu bukan sesuatu yang pernah dilakukannya sebelumnya.


    Mereka memulainya dari ruang tengah.
    PE terdiam. Tangannya bersender pada cubicle di dekatnya. Jarinya mengetuk-ngetuk dinding cubicle itu. Ia bingung mau menjelaskan apa. Sedangkan Nissa menunggunya dengan sabar. “Ini ruang kerja kita, bagian produksi…”, PE memulai sambil menunjuk deretan cubicle disebelah kirinya, “sedangkan bagian administrasi dan accounting diseberangnya…”, ia beralih menunjuk ke deretan cubicle disebelah kanannya. Diantaranya hanya dipisahkan oleh kaca yang tembus pandang.
    Lalu ia menunjuk pintu yang ada didekatnya.
    “Itu WC”.
    “…”.
    “Bau… terutama kalo abis dipake ma anak-anak produksi… jadi demi keselamatan elo, jangan pernah masuk kalo udah ada anak produksi yang make. Mendingan elo pake WC yang satunya lagi, jauh lebih aman…”, PE menunjuk pintu yang berada disisi seberangan dari pintu WC yang ditunjuk pertama kali.
    “Iya, mas…”.
    PE pun segera menuju ke ruangan produksi. Nissa mengikutinya dibelakang.
    “Ini cubicle gue…”, ujar PE menunjukkan cubicle yang terlihat amat berantakan dekat jendela. “Itu, Empoy…”, PE mengenalkan kaktus peliharaannya, “tempat curhat gue kalo udah stress ma kelakuan anak-anak produksi…”.
    “…”. Nissa tersenyum.
    “Dan ini pemandangan kota Jakarta dilihat dari lantai 20…”, PE menunjukkan pemandangan dari jendela yang berada dibelakang cubicle-nya, “serasa dimanaaa gitu…”, PE berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikannya, “serasa di… yah serasa di lantai 20 sebuah gedung sambil liat kota Jakarta…”.
    “…”. Nissa menahan tawa.
    “Nah ! itu Herman… partner siar gue”, PE menunjuk pria jangkung setengah botak dengan kacamata berframe hitam yang baru aja keluar dari ruang siaran. “Pagi, mas…”, sapa Nissa ramah. Herman menggeleng, “panggil aja gue, akang… biar kedengaran lebih akrab gitu… ngomong-ngomong elo bersedia denger puisi ciptaan gue ?”.
    Nissa mengangguk, “boleh, kang…”.
    “Nah ! itu ruang siaran…”, PE cepat-cepat menyeret Nissa yang kebingungan sebelum wanita itu mengalami mimpi buruk di hari pertamanya, “fungsi utamanya yah untuk siaran… selebihnya buat ngadem kalo AC ruangan mati… gue disini udah 2 tahun jadi penyiar, dan elo pasti tau donk berkat jasa siapa radio kita menjadi salah satu radio favorite se-Jakarta ?”.
    “Mas Yudha ?”, jawab Nissa mencoba menebak.
    “Salaaahhh ! ya berkat jasa produsernya lah…”, PE membenarkan sambil berlalu.
    “…”. Lagi-lagi Nissa menahan ketawa.
    Terakhir mereka bersanding di pantry.
    “Walau radio kita segmennya dewasa, tapi kelakuan penyiarnya ancur semua ! untung yang lainnya enggak…”, jelas PE sambil mengaduk kopinya.
    “Maksudnya ?”.
    PE terdiam. “Mmmhh… contohnya tadi si Herman. Dia adalah pecinta puisi sejati, sialnya dia gak sadar kalo bakatnya dalam menulis puisi itu nol besar !”.
    Nissa tersenyum.
    Sepintas PE melihat seseorang baru masuk pantry.
    “Nah ! kalo yang itu namanya Sulaeman, juga penyiar kita. Dia lebih gila lagi…”.
    Nissa mendengarkannya dengan antusias. Penasaran hal apa lagi yang akan diceritakannya dan dapat membuatnya tertawa.
    “Suatu saat, pak Teuku mengadakan pertemuan dengan bos radio lainnya. Mereka ingin menunjukkan bawahan mana yang paling berani. Bos radio A menyuruh anak buahnya memakan daging tikus mentah yang sudah disediakan, anak buahnya pun segera memakannya. Bos radio B tak mau kalah, ia juga menyuruh anak buahnya untuk memakannya juga. Anak buahnya pun segera memakannya walau awalnya agak jijik. Nah saat itu pak Teuku ngajak Sulaeman, dia juga disuruh makan daging tikus itu. Dan elo tau apa yang dilakuin Sulaeman ?”, PE bercerita panjang lebar.
    “Memakannya ?”.
    PE menggeleng.
    “Dia menolak dan malah menyuruh balik pak Teuku untuk memakannya sendiri. Dengan demikian Sulaeman dinyatakan anak buah yang paling berani…”.
    Nissa tersedak dari kopinya. Iapun tertawa geli.
    PE memperhatikannya.
    Oh, Tuhan…
    Ia menyukai cara tawanya yang lepas.

    ***
     
    Last edited: Jun 9, 2013
  10. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 28 Juni 1997
    08:35 WIB

    Sudah 3 minggu berlalu semenjak mereka melangkahkan kaki di SMU ini. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk Tanya menjadi siswi yang populer di lingkungan sekolah. Saat ini tak ada yang tak kenal siapa itu Tanya, termasuk para guru. Di mata semua anak cowok, Tanya adalah sosok cewek yang sangat diidam-idamkan. Cantik, pintar, dan seksi. Kelebihannya itu yang menjadikannya primadona sekolah mengalahkan primadona yang dahulu.
    Semua anak cowok mengidolakannya.
    Namun tak sedikit anak cewek yang menjelek-jelekkannya. Terutama siswi senior yang merasa popularitasnya tergeser dan terancam redup. Mereka semua iri dengan kelebihan yang dimiliki oleh Tanya.
    Bukan pemandangan aneh lagi bila melihat ada beberapa anak cowok yang berusaha melakukan PDKT dengannya setiap hari. Ada yang pura-pura ingin meminjam buku catatan, atau menawarkan kegiatan ekstrakulikuler, bahkan ada yang secara terang-terangan mengajak kenalan.
    Kelas 1-4 pun selalu terlihat ramai di setiap jam istirahat. Banyak anak cowok kelas lain yang pura-pura main padahal tujuan sebenarnya ingin melihat primadona mereka. Dan secara mendadak, semua anak cowok kelas 1-4 menjadi selebriti yang dicari-cari. Rata-rata mereka diminta menjadi sumber informasi apa saja tentang Tanya. Bahkan tipe murid yang hanya pantas diberi anggukan atau naikan alis saat berpapasan menjadi orang yang cukup penting.

    Untuk Tanya sendiri.
    Dia tak ambil pusing dengan semua itu.
    Baginya, mereka semua tak lebih dari seorang anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru yang menarik minatnya. Yang bila dibiarkan, lama kelamaan akan merasa bosan dan akan mencari mainan baru yang lebih menarik.
    Tanya tak tertarik dengan kepopuleran yang disandangnya.
    Malahan ia malah terasa terganggu dengan semua itu. Membuatnya merasa tak nyaman dan tak dapat menjalankan kehidupannya di sekolah dengan tenang.
    Ia tak suka ketika banyak anak cowok yang datang bergantian untuk kenalan dengannya, atau basa-basi meminjam buku catatannya, atau sok mencari perhatiannya dengan melakukan sesuatu yang terkesan norak baginya.
    Ia membencinya.
    Ia selalu bersikap dingin kepada semua anak cowok yang mengajak kenalan, tak mengacuhkan anak cowok yang ingin meminjam sesuatu darinya, atau meremehkan hal yang mereka bangga-banggakan dari dirinya. Ia juga selalu menatap sinis setiap lirikan anak cowok kepadanya. Karenanya, dia mendapat julukan sebagai ‘pembenci cowok’.

    Di sekolah mereka, Sabtu adalah hari yang selalu dinanti-nantikan oleh para muridnya. Karena sabtu adalah hari ekstrakulikuler. Di hari itu, tak ada proses belajar-mengajar. Semua murid bebas melakukan semua kegiatan sesuai dengan bidang ekstrakulikuler yang mereka ambil.
    Tanya yang baru saja selesai latihan paskibra segera menuju ke hall utama sekolah. Untuk setiap hari Sabtu, tempat itu dipakai anak ekskul band untuk menggelar konser musik. Dan hari itu, Sistien mendapat giliran untuk manggung.
    Aturan di sekolah mereka, maksimal murid boleh mengambil 2 macam ekskul. Dan Sistien mengambil paduan suara serta band. Sedangkan Tanya mengambil paskibra dan jurnalisme. Semenjak bu Rosita menunjuk Sistien sebagai teman sebangku Tanya, mereka berdua menjadi dekat. Malah dapat dibilang, Sistien satu-satunya orang yang dekat dengan Tanya. Hanya dengan Sistien, Tanya dapat terbuka tentang siapa dirinya sebenarnya.

    “Udah selesai latihannya ?”, tanya Sistien setelah melihat Tanya sedang jalan menghampirinya. Tanya mengangguk kecil, “udah kok, sekarang giliran tim inti yang latihan”, jawab Tanya sambil duduk dibangku kayu panjang di samping Sistien.
    Pandangan Tanya menyapu ke seluruh hall, selain mereka berdua, hanya ada segelintir orang di hall yang luas ini. Beberapa diantaranya ia tak mengenalinya, yang pasti anggota ekskul band. Sedangkan ia melihat Okky sedang check sound gitar akustiknya di atas panggung.
    “October 16th yah…”, gumam Tanya.
    Sistien meliriknya, “ya ?”.
    Tanya membalas melirik Sistien, “namanya yang unik… jujur aja, gue menyukainya. Siapa yang ngusulin ?”, tanyanya.
    Sistien tertawa kecil kemudian ia menatap Okky sambil tersenyum.
    Tanya mengikuti pandangannya.
    “Dia yang mengusulkannya. Pertama kali mendengarnya, gue merasa itu nama yang aneh. Tapi setelah mendengar arti dibalik nama itu, gue jadi menyukainya”.
    “Arti ?”.
    “Iya… October untuk Oktrian. Dan Sixteen untuk Sistien. Nama itu diambil dari nama kita berdua. Dan itu artinya nama itu hanya milik kita berdua”.
    Tanya mengangguk mengerti. “hanya milik kita berdua, huh…”, beonya, “terdengar romantis sekali…”, ia kembali menatap Sistien, “gue rasa elo utang cerita sama gue !”.
    “Cerita apa ?”.
    “Kalian… elo berdua”, jawab Tanya sambil melirik Sistien dan Okky bergantian.
    Sistien pun tertawa.
    “Enggak ada yang menarik…”.
    Tanya menatapnya tak percaya, “oh, ya…”.
    “Yah…”, Sistien berpaling dari tatapan Tanya, “pertemuan kami hanya lah sebuah kebetulan…”, Sistien terhenti sebentar. Jelas sekali dia sedang membayangkan kembali kenangan yang sudah tersimpan rapi di salah satu sudut otaknya, “sebelumnya kami belum pernah bicara sama sekali, walau kami saling tahu keberadaan kami di kelas. Menjelang perpisahan kelas 3, gue ditunjuk sama wali kelas sebagai salah satu perwakilan kelas 1 untuk mengisi acara perpisahan anak kelas 3 yang mau lulus…”.
    “Okey, biar gue tebak…”, potong Tanya, “saat itu lah elo ketemu Okky. Dan mungkin dia jatuh cinta sama karakter suara elo sedangkan elo suka dengan permainan gitarnya. Jadinya deh kalian bentuk band kalian sendiri… apa gue benar ?”.
    Sistien mengangguk.
    “Yah… kurang lebih seperti itu lah…”.
    Tanya terdiam.
    “Apa elo nyaman dengannya ?”, tanyanya setengah berbisik.
    Sistien menatapnya dengan tatapan minta penjelasan, “maksud gue… apa dia pernah mengecewakan elo ? apa elo pernah merasa dia orang yang menyusahkan ? mungkin… perasaan seperti saat elo mendapatkan sesuatu yang sebenarnya elo gak mau tapi mau gak mau harus memilikinya…”.
    Kini giliran Sistien yang terdiam.
    Dia berusaha memahami apa yang dimaksud oleh temannya itu.
    “kalo boleh jujur, gue gak begitu ngerti maksud pertanyaan elo. Hanya saja, dia bukan paranormal yang selalu tau apa yang gue pikirin, dia bukan superman yang bisa melakukan apa saja yang gue mau, dan juga dia bukan pujangga yang selalu memahami perasaan gue sebagai seorang cewek… walau gak jarang dia ngebuat gue kecewa, tapi sebenernya dia gak bermaksud untuk seperti itu. Dia hanya seorang cowok dengan segala keterbatasannya. Yang penting, dia terus berusaha untuk dapat memahami gue sepenuhnya…”.
    Kini giliran Tanya yang terdiam.
    Ada beberapa dari perkataan Sistien barusan yang mengena salah satu sudut hatinya.
    Perkataan yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
    Sejujurnya, sedari kecil, ia selalu masuk sekolah khusus cewek. Awalnya, menjelang kenaikan SMU, orang tuanya ingin kembali memasukkannya ke salah satu sekolah khusus cewek yang bonafit di Jakarta. Tapi dia menolaknya. Dia merasa bosan dengan lingkungannya.
    Ia ingin mencoba sesuatu yang baru.
    Dan karenanya, diantara cewek lainnya di sekolah ini, mungkin dia satu-satunya yang baru beberapa minggu berinteraksi dengan cowok.
    Dan karenanya juga, ia tak tahu apa-apa tentang siapa itu makhluk cowok sebenarnya.

    Iman terdiam sejenak.
    Pandangan tertuju ke seorang cewek yang berjarak beberapa meter darinya.
    Cewek itu terlihat sedang lari memutari trek lari yang mengelilingi lapangan sepak bola. Dari seragam yang dikenakannya, sepertinya dia dari tim atletik.
    Sebenarnya, tak ada yang menarik dari cewek itu.
    Hanya saja, siluetnya yang sedang berlari dilatarbelakangi oleh rimbunan pohon Ek yang berdesir akibat tiupan angin, membuat pemandangan itu begitu indah.
    Kedua matanya fokus ke depan. Setiap derapan langkahnya seolah menggambarkan gerakan sebuah tarian yang lemah gemulai. Rambutnya yang panjang dan terurai panjang menambah keanggunan figurnya yang terlihat menjauh dari pandangannya.
    Iman masih menatapnya.
    Melupakan aktifitas yang sedang dikerjakannya.

    “Elo lagi ngapain sih ?”, tanya Rex menghampirinya.
    Kedatangannya yang tiba-tiba berhasil membuatnya salah tingkah.
    “Enggak ! Enggak ngapa-ngapain kok…”, sergahnya sambil mengalihkan tatapannya dari cewek itu ke Rex yang kini sudah berdiri di sampingnya.
    Rex menatapnya penuh selidik.
    “Yakin ? dari tadi gue panggilin tapi elo gak nyahut-nyahut…”, ujar Rex ragu.
    Iman mengangguk cepat. Iapun segera balik menuju ke tengah lapangan. Sebelumnya dia memungut bola yang sempat tertunda.
    Rex mengikutinya di belakang.
    Setiap langkahnya berjalan, ia melirik ke pinggir lapangan.
    Cewek itu masih berlari mengitari lapangan bola.
    Siapapun cewek itu, dia telah berhasil mencuri perhatian Iman.

    “Elo yakin Yu, dia ada di perpus ?”, tanya PE sembari mengikuti Bayu memasuki perpustakaan yang berada di lantai 2 gedung paling Selatan. Bayu mengangguk pasti, “gue yakin banget ! selama 9 hari berturut-turut gue perhatiin kegiatan dia selama di sekolah…”, ujarnya terputus saat membuka pintu perpustakaan, “setiap jam istirahat dan hari Sabtu, dia pasti ada di perpustakaan…”, lanjutnya. Kini pandangannya menyapu ke seluruh sudut perpustakaan.
    “9 hari berturut-turut, Yu ?”, beo PE sangsi.
    Bayu kembali mengangguk.
    PE melengos, “ternyata cinta dapat membuat seseorang berubah menjadi stalker…”.
    “Sial lo !”.

    Selain fasilitas olah raganya, perpustakaan adalah fasilitas lainnya yang dapat dibanggakan dari sekolah mereka. Beratus-ratus koleksi buku terdapat di dalamnya. Tak hanya buku pelajaran, tapi ada juga buku pengetahuan umum, biografi, novel, jurnal, dan masih banyak lagi. Sebutkan judul buku atau jenis yang kau mau, maka akan kau dapatkan disana. Tentunya kecuali komik dan majalah gosip. Terdiri dari 2 lantai dengan ratusan rak buku yang berjejer rapi. Lantai pertama tempat buku-buku sains sedangkan lantai 2 tempat buku-buku umum.
    Umumnya, perpustakaan identik dengan kutu buku. Tapi disini, lebih dari pada itu. Tidak sedikit terlihat anak-anak dengan predikat ‘gaul’ sedang asyik membaca novel atau sejenisnya disini.

    Setelah beberapa saat, kedua mata Bayu berhasil menangkap seseorang yang dicarinya. Cewek itu sedang berada di lantai 2, tepatnya di deretan rak buku yang memuat novel misteri. Bayu segera mencolek PE yang masih sibuk jelalatan.
    “Tuh ! apa kata gue… benerkan dia ada di perpus”, ujar Bayu setengah berbisik.
    Pandangan PE mengikuti pandangan Bayu. “Yaudah, tunggu apa lagi ?”, sambung PE segera beranjak menuju lantai 2. Kini Bayu yang mengikutinya di belakang.
    Mereka berdua berhenti tepat 2 rak di belakang cewek itu. Memandanginya dengan diam-diam berharap tak ada orang lain yang memergoki mereka sedang memperhatikan cewek itu.
    Cewek yang bernama Evy itu terlihat sedang sibuk memilih novel. Sampai-sampai tak sadar kalau ada 2 makhluk aneh yang sedang mengamatinya.

    Evy Sulistyowati.
    Bayu baru saja mendapatkan nama lengkapnya dari teman sekelasnya.
    Kelas Evy sebelahan dengan kelas Bayu. Bayu kelas 1-4 sedangkan Evy kelas 1-3.
    Jujur saja, Evy adalah cewek yang biasa-biasa saja. Tipikal cewek kutu buku. Buku dan perpustakaan adalah dunianya. Selain itu, tak ada yang menarik darinya. Bahkan di dalam pergaulan, mungkin tak akan ada orang yang tahu siapa dia selain teman sekelasnya. Pribadi introvert mungkin lebih tepat dalam mendeskripsikannya.
    Keperawakannya juga biasa-biasa saja. Tak ada yang dapat membuat seorang cowok berpaling untuk menatapnya lekat-lekat. Uniknya, Evy mudah untuk diidentifikasi. Cari saja cewek yang rambutnya dikepang 2, menggunakan kacamata berframe hitam, dan selalu terlihat membawa buku. Itulah Evy. Tak akan salah orang.
    Tapi bagi Bayu, ada sesuatu yang unik darinya.
    Sesuatu yang dapat menarik perhatiannya.
    Evy tak seperti kebanyakan cewek lainnya. Evy tidak menggunakan make up untuk menarik perhatian lawan jenis. Evy tak mengenakan pakaian dan aksesoris yang branded untuk menaikkan gengsinya. Evy tak membuat-buat tingkahnya untuk menjadi perhatian orang lain. Semuanya begitu natural dan jujur.
    Memperlihatkan dirinya apa adanya.
    Dan sementara cowok lain tidak, Bayu dapat melihat kelebihannya yang kasat mata itu.

    “Elo ngapain masih disini ? deketin donk trus ajak kenalan !”, ujar PE setengah mendorong-dorong Bayu untuk mendekati Evy. “Maksud elo gue tiba-tiba datang entah dari mana trus ngajak dia kenalan, gitu maksud elo ?”, tanya Bayu sarkasme.
    “Bukannya emang itu tujuan elo ke sini ?”, PE tidak menangkap sarkasme Bayu.
    “Bagus ! yang ada dia memandang gue dengan tatapan aneh dan berpikir kalo gue ini pervert lalu meninggalkan gue begitu aja dengan ketakutan…”, sambung Bayu.
    PE garuk-garuk kepala.
    “Elo mikirnya belibet sih !”, belanya.
    Bayu terdiam. Dia sibuk mengamati Evy.
    “Gini aja deh ! elo pake ide gue aja... pura-pura mau minjem buku, tapi karena elo gak punya ide, elo tanya dia referensi buku yang bagus. Gimana ?”, jelas PE.
    Bayu meliriknya takjub. “Mantab, E ! gue rasa ide itu patut dicoba…”.
    “Kalo gitu ngapain juga masih disini ? cepetan elo ke sana !”, seru PE mendorong Bayu kuat-kuat. Bayu pun segera terdorong ke depan beberapa langkah.
    Setelah berhasil menjaga keseimbangannya, dia pun melangkah pelan-pelan menuju rak buku tempat Evy berada. Semakin dekat jaraknya dengan cewek itu, jantungnya berdetak semakin cepat dan keras.
    Sebelumnya, dia tak pernah mengalami hal seperti ini.

    Beberapa saat kemudian, dia sudah beberapa langkah di samping Evy. Cewek itu masih sibuk memilih novel, tidak mengacuhkan kehadirannya. Bayu pun segera berpura-pura mencari novel, padahal dia tak punya ide sama sekali tentang novel-novel yang ada dihadapannya.
    Bayu garuk-garuk kepala. Dia bingung. Semua judul yang terpampang di sisi novel itu sangat asing baginya. Berkali-kali dia mengambil salah satu novel, membaca sinopsisnya di bagian punggung novel, membukanya, membalik-balikkan beberapa halaman, lalu menaruhnya kembali. Aktifitas yang tidak jelas itu berlangsung sekitar 15 menit. PE yang dari tadi memperhatikannya, menatapnya dengan geregetan. Diambilnya salah satu buku yang ada didekatnya kemudian digigit kuat-kuat untuk melampiaskan geregetannya melihat tingkah sahabatnya itu.
    Bayu menelan ludah. Hatinya berteriak untuk segera bertanya ke cewek itu, tapi semua otot tubuhnya menentangnya. Inilah repotnya bila antara hati dengan tubuh tidak kompak. Bingung harus memilih di sisi yang mana. Bayu melirik ke arah PE dan PE yang menangkap lirikan Bayu segera membuat gerakan untuk segera mendekati cewek itu. Lirikan Bayu beralih ke Evy. Kali ini dia harus membulatkan tekad, memberanikan dirinya dan menguatkan mentalnya.

    “Anu…”, gumam Bayu akhirnya sambil menatap Evy.
    Evy segera melirik Bayu. Tatapannya seperti orang yang sedang kebingungan karena disapa dengan seseorang yang tidak dikenalnya. “Ya ?”, balas Evy pelan.
    Bayu salah tingkah.
    Dia kembali menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
    “Ini…”, otak Bayu berpikir keras untuk mencari kata-kata selanjutnya yang tepat, “gue boleh minta tolong ?... sebenernya gue disuruh sama guru bahasa untuk membaca sebuah buku lalu menulis sinopsis tentangnya…”, Bayu tak percaya dengan dirinya yang baru saja membuat alasan yang sangat logis di saat-saat yang genting seperti ini, “masalahnya gue gak tau tentang novel… apa ada novel menarik yang bisa elo rekomendasiin ?”.
    Cewek itu tak langsung menjawab.
    Dia sedang memperhatikan Bayu baik-baik dan menilainya.
    Apakah cowok itu mencurigakan atau sebaliknya.
    Bukan hal yang biasa baginya tiba-tiba ada cowok yang tidak dikenalnya meminta bantuannya.
    “Lalu kenapa minta tolongnya denganku ? bukan dengan pak Solihin…”, tanyanya dengan nada defensif sambil menyebutkan nama penjaga perpustakaan. Bayu terpojok. Itu pertanyaan yang masuk akal dan dia kesulitan untuk mencari alasannya.
    Keringat dingin mulai menetes dan mengalir di kening Bayu.
    “Anu…”, gumamnya. Otaknya kembali bekerja keras mencari alasan yang tepat, “abisnya… gue kira elo murid sukarelawan perpus…”, ujar Bayu yang merunjuk ke murid-murid yang secara sukarela bekerja membantu pak Solihin untuk mengatur perpustakaan. Mulai dari mengelompokkan buku-buku baru sesuai jenisnya sampai membuat katalognya sesuai abjad judul.
    Evy menaikkan kedua alisnya.
    “Sejujurnya, gue sering ngeliat elo di perpus, jadi gue kira elo sukarelawan perpus. Karena itu gue minta bantuan elo soalnya elo pasti tau banyak soal buku !”, Bayu buru-buru menambahkan sebelum kecurigaan kepadanya bertambah.
    Evy masih terdiam.
    Namun beberapa saat kemudian dia tersenyum.
    “Jujur aja, aku bukan sukarelawan perpus. Tapi harus aku akui kalau aku cukup tau tentang buku…”, ujarnya yang sudah memutuskan kalau cowok misterius dihadapannya ini tidak mencurigakan, “kalau boleh tau, novel jenis apa yang kamu suka ? mungkin ada yang bisa aku rekomendasiin…”.
    Saat itu juga perasaan Bayu langsung melayang ke langit ke tujuh.
    Dia lega karena akhirnya Evy dapat menerimanya.
    Dan dia sangat senang karena senyumannya yang manis barusan ditujukan kepadanya.
    “Tentang detektif, gue rasa…”, gumamnya asal sambil tersenyum bahagia.
    “Detektif ?”, beo Evy, “gimana kalo Sherlock Holmes-nya Conan Doyle ?”.
    Bayu cepat-cepat mengangguk. Dia tak peduli dengan novel apa yang direkomendasikan oleh Evy. Yang penting saat ini dia berhasil mengajak bicara cewek itu. Toh nantinya juga dia tak akan membacanya.
    Evy pun segera mencari novel yang dimaksud di barisan abjad ‘S’.
    “Ngomong-ngomong, gue Bayu. Kelas 1-4”, tambah Bayu memperkenalkan diri.
    “Evy. Kelas 1-3”, balas Evy tersenyum hangat kepadanya.
    “Wah ! ternyata kelas kita sebelahan yah…”, ujar Bayu berpura-pura. Ia sudah mengetahuinya dari awal, “tapi kok gue gak pernah liat elo yah…”.
    “Emang kamu pernah main ke kelas aku ?”.
    Bayu menggeleng.
    “Kalo gitu wajarkan…”, gumamnya sambil tersenyum simpul.
    Kini Bayu mengangguk.

    ***
     
  11. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 23 Desember 2006
    11:10 WIB

    Sistien baru saja selesai berpakaian.
    Kini ia sedang duduk di meja riasnya menatap cermin dihadapannya.
    Dari cermin itu terpantulkan bayangan seorang wanita dengan paras yang sangat manis. Kedua matanya menatap lurus ke depan. Sibuk memperhatikan dirinya sendiri. Aroma buah-buahan tercium dari tubuhnya yang terlihat segar sehabis mandi.
    Untuk sejenak, wanita itu terdiam. Ia tak melakukan apa-apa kecuali memperhatikan dirinya melalui cermin. Ada sesuatu dari dirinya yang mengingatkannya pada kenangan masa lalu.
    Sistien menghela nafas. Untuk beberapa jam ke depan dan satu hari setelahnya, ia rasa kenangan masa lalu akan terus menghantuinya.

    Sistien Agustina
    Suatu waktu, Okky pernah berkomentar tentang namanya. Menurutnya, namanya sangat menarik. Karena namanya mencerminkan tanggal lahirnya. Sistien untuk tanggal 16, plesetan dari sixteen. Sedangkan Agustina dari bulan Agustus.
    Yah, Sistien memang lahir tanggal 16 Agustus.
    Ada sebuah kenangan menarik sewaktu dirinya kelas 2 SMP. Di hari ulang tahunnya, saat jam istirahat, tiba-tiba Okky menghampirinya. Kemudian dia menyanyikan lagu ulang tahun dengan diiringi alunan gitarnya. Sistien kaget sekaligus heran. Kenapa cowok itu tahu kalau hari itu adalah hari ulang tahunnya. Padahal seingatnya, dia tak pernah memberitahukan hari ultahnya. Dia pun segera menanyakannya ke Okky, dan dengan santainya, Okky menjawab, “bodoh… gak perlu dikasih tau juga gue udah tau kapan hari ultah elo… bukannya tersirat yah dari nama panjang elo…”.
    Sistien tertegun saat mendengarnya.
    Partner-nya adalah orang yang pertama kali yang menyadarinya.

    Sistien tidaklah secantik Tanya. Tubuhnya walau terbilang bagus, tapi juga tidak seseksi Tanya. Namun ada sesuatu dari dirinya yang membuat kaum Adam betah untuk berlama-lama menikmati wajahnya. Banyak orang yang bilang wajahnya campuran antara Bunga Citra Lestari dengan Tyas Minarsih. Terutama pipinya. Sistien mempunyai pipi yang tembem dan entah kenapa itu lah yang menjadi daya tariknya. Banyak temannya yang merasa gemas dengan pipinya yang bulat. Okky menjulukinya ‘pipi bakpao’ dan Sistien selalu protes dengan hal itu.
    Okky pun tak kehabisan ide. Ia kemudian sering memanggilnya ‘Sipao’ sebagai panggilan intim. Singkatan dari ‘Sistien Bakpao’. Lagi-lagi cewek itu protes. Setiap Okky memanggilnya dengan sebutan itu ia tak pernah mau menengok. Kalaupun menengok, ia langsung memasang wajah cemberut yang malah membuat pipinya terlihat semakin mirip bakpao.
    Tapi yang menjadi daya tarik utamanya adalah senyumannya. Sistien selalu terlihat tersenyum. “Partner gue mah, walau lagi marah tetep aja senyum…”, suatu hari Okky berkelakar dan kenyataannya memang seperti itu. Karena senyumannya lah yang membuat orang betah untuk terus menatapnya.
    Sistien terlihat sangat manis dengan senyumannya.
    Walau tak sepopuler Tanya, sewaktu SMU banyak cowok-cowok yang mengaguminya. Karena senyumannya dan suara indahnya. Tinggal Okky yang kebelingsatan melindungi partnernya itu dari tangan-tangan jahil penggemarnya.

    Walau tidak terlalu mencolok, Tanya mengakui kecerdasan Sistien. Wanita itu sangat cerdas. Mungkin dia bukanlah murid yang pintar semasa sekolahnya dulu, tapi dia cerdas dan sangat rajin. Hanya saja, dia lebih memilih untuk bermain dibelakang layar dan menyerahkan peran utama ke Tanya. Okky selalu bilang padanya, “asal elo tau aja, Tien… dibalik pria yang hebat selalu berdiri wanita yang hebat… dan karena gue ini cowok yang hebat, berarti elo adalah cewek yang hebat juga”. Sayangnya, kadang-kadang Sistien suka memandang rendah dirinya sendiri. Padahal dia bisa mendapatkan lebih bila ia lebih percaya diri.

    Sistien melirik rambut hitamnya yang terurai lurus panjang. Iapun mulai membelai-belainya dengan kedua tangannya. Dia sangat menyukai rambutnya. Karena ada cerita lucu dibaliknya tentang rambutnya, yang membuatnya sebal namun mau tak mau memaksanya untuk tersenyum geli. Sewaktu SMP rambut Sistien keriting lebat. Awalnya dia tak mempersoalkannya, namun Okky suka membuat lelucon terhadap rambut keritingnya. “Tien… penghapus gue elo umpetin dimana ? di rambut elo yah ?”.
    Atau, “Tien… biar contekannya gak ketauan, diumpetinnya di rambut elo aja yah!”.
    Lama kelamaan Sistien merasa sebal.
    Menjelang SMU ia pun meluruskan rambutnya.
    Kali ini yang membuatnya keki adalah, Okky baru menyadarinya saat hari pertama masuk sekolah setelah 4 hari ospek dan bertemu dengannya. Itu pun setelah Sistien mendeklarasikan perang dingin dengan mencuekinya.
    Dengan nada tak bersalah, Okky berkata, “model rambut kamu berubah yah, Tien… kok aku baru nyadar yah…”.
    Sistien pun melengos dan membuang wajah. Sebal.
    “Cantik, Tien…”, komentar Okky lagi.
    Sistien tetap membuang wajah. Namun kini diam-diam senyuman senang menghiasi wajahnya.

    Setelah persiapan selesai, Sistien pun segera melirik jam dinding kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 11:30. Dia harus segera berangkat. Dia tak sabar ingin segera bertemu sahabat lamanya di tempat favorite-nya yang penuh kenangan lama.
    Sebelum melangkah pergi, pandangannya terpaku dengan foto berfigura dari kayu berwarna cokelat sederhana yang menghiasi meja riasnya. Setelah terpaku untuk beberapa saat, dia segera kembali duduk. Diambilnya foto itu kemudian ditatap dalam-dalam.
    Sebuah foto lama.
    Foto yang menyimpan salah satu kenangan terindah yang pernah dialaminya.
    Foto itu diambil saat prom night SMU menjelang kelulusannya.
    Di foto itu, ia terlihat sangat bahagia dengan senyuman lebarnya.
    Disisinya, berdiri partner-nya yang sedang menaruh tangannya lembut diatas kepalanya sembari setengah memeluknya.
    Sistien menghela nafas untuk kesekian kalinya.
    Diapun menaruh kembali foto itu.
    Namun dalam posisi terpelungkup.

    ***
     
    • Like Like x 1
  12. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Kamis, 3 Juli 1997
    09:40 WIB

    Okky baru saja memasukkan bola ke ring basket ketika Rex dan PE datang mendekatinya. Ia melirik ke kedua sahabatnya itu, “Basut sama Iman mana ?”, tanyanya setelah tahu kalau dua orang itu tidak ada di antara mereka.
    Rex segera merebut bola basket dari tangan Okky kemudian menembaknya ke ring. Sayang lemparanya meleset jauh dan mengenai cowok yang sedang berjalan sambil menikmati minumannya di belakang ring. Minumannya segera tumpah ketika terkena bola sedangkan orangnya jatuh ke balik semar belukar dibelakangnya. Rex pun langsung bersiul-siul sambil berpura-pura tak bersalah.
    “Bayu di perpus, kalo Iman mungkin di lapangan bola…”, jawab PE.
    “Bah ! semenjak kenal ma Evy, rajin ke perpus dia…”, gumam Okky sambil kembali memasukkan bola ke ring, “gimana perkembangannya ?”.
    “Masih sebatas saling menyapa…”.
    “Itu aja ?”.
    “Iya…”.
    Okky garuk-garuk kepala.
    “Tak apalah… toh seenggaknya mereka udah saling kenal. Cewek tipe seperti Evy, jangan terlalu di buru-buru. Perlu waktu untuk mengenalnya lebih dekat lagi…”, ujar Okky berdiplomasi.
    “Maksud elo tipe introvert seperti dia ?”, Rex mencoba menegaskan.
    Okky mengangguk.

    Saat itu adalah jam istirahat pertama mereka. Di sekolah mereka, setiap hari Senin sampai Kamis, jam istirahat sehari dua kali, yaitu jam 09:00 dan jam 12:00. Masing-masing lamanya 1 jam. Sedangkan kalau hari Jumat hanya sekali karena jam 11:30 mereka sudah pulang. Dan semenjak Bayu kenalan dengan Evy, setiap istirahat pasti Bayu menyempatkan waktu beberapa saat ke perpustakaan hanya untuk sekedar menyapa Evy dengan berpura-pura mau meminjam buku. Padahal di rumahnya buku yang dipinjamnya dibiarkan tergeletak, tidak disentuh sama sekali.

    Rex bergidik ketika angin dingin menerpa tubuhnya.
    Ia memeluk dirinya sembari menatap arah hembusan angin itu.
    Tak lama kemudian, angin kembali berhembus kencang. Menerbangkan daun-daun kering yang mulai berguguran. Menyerbak rambutnya yang berantakan. Kemudian pergi berlalu ke cakrawala. Pandangannya masih tak lepas dari angin-angin yang kasat mata itu.
    Diatas sana, awan hitam mulai mendominasi. Sedikit demi sedikit namun pasti, menghalangi cahaya sinar matahari yang menyinari bumi sedari tadi. Hawa hangat pun mulai tergantikan hawa dingin yang menyengat.
    Rex kembali bergidik.
    Sebentar lagi hujan akan turun.
    Dia tahu itu.

    “Belakangan ini, hujan sering turun yah…”, komentar Okky yang mengikuti pandangan Rex. Rex mengangguk, “kayaknya, musim hujan udah mulai deh…”, tambahnya.
    “Padahal tadi pagi gue denger di radio kalo hari ini bakal panas…”, sambung PE.
    “Jah, E! ramalan cuaca mah jangan di percaya !”, lalu Rex. “Asal elo tau aja, yah… satu-satunya pekerjaan yang gak bakalan diomelin atau dipecat walau dia berbuat kesalahan yah itu, ramalan cuaca…”.
    PE menatapnya dengan pandangan berbinar.
    “Bagus ! kalo gitu udah gue putuskan mau kerja apa gue nanti !”, serunya.
    “Meterologi ?”.
    “Bukan. Penyiar radio…”.
    “@#$%& !!!”.

    10 menit kemudian, Rex sudah berada di tempat favorite-nya. Di atap gedung sekolah sebelah utara. Satu-satunya bagian gedung yang memiliki 3 tingkat dan akses menuju atap. Sebenarnya ada aturan yang melarang murid memasuki atap gedung sekolah. Namun bagi Rex, peraturan dibuat untuk dilanggar. Lagi pula ia menyukai tempat ini.
    Dari sini, dia dapat menikmati pemandangan seluruh sekolah.
    Dari sini, dia mendapatkan kebebasan melakukan apa yang ia suka. Tanpa ada gangguan orang lain.
    Tempat inilah yang ia pilih ketika ia sedang ingin menyendiri, melepaskan diri dari kepenatan kehidupan sekolah. Tempat ini juga yang ia pilih ketika ia sedang menikmati hujan.
    Ya…
    Rex sangat menyukai hujan.
    Entah kenapa, baginya, ketika hujan turun dia dapat menjadi dirinya sendiri.
    Ketika hujan turun, dia mendapatkan perasaan yang tak dimilikinya sebelumnya. “Rain makes everything turn blue, even what you feel deep inside your heart…”. Rex pernah mendengar kalimat itu sebelumnya. Dan ia menyukainya.
    Dia menyukai bau tanah yang menyerbak ketika hujan turun. Dia menyukai irama ketika air hujan jatuh ke bumi dan menyentuhnya. Dia menyukai hawa dingin yang datang berbarengan dengannya. Dan ia menyukai ketika pemandangan berubah menjadi kabur akibat terhalang air hujan. Ketika ia mendongakkan wajahnya ke atas, ia dapat melihat tetesan air hujan menetes dalam gerakan lambat. “When the rain falls down to the earth, he will ‘wash’ everything. Dirt, dust, blood, anger, sadness, and despair”.
    Bagi Rex, hujan seperti sahabat lamanya yang selalu ia tunggu kedatangannya.

    Ia baru saja menghirup udara dalam-dalam ketika angin dingin kembali berhembus kencang. Seketika itu rasa segar menyelubungi dirinya, memenuhi rongga dadanya. Di atap itu, ada sebuah kanopi yang menjorok keluar sekitar 1 meter. Dibawahnya terdapat bangku kayu panjang. Disitulah ia melindungi diri dari terpaan air hujan.
    Rex merebahkan dirinya di bangku itu. Tatapannya menyapu ke seluruh sudut sekolah yang terlihat jelas dari atas sini. Bila ia sedang melakukan aktifitas itu, ia menyebut dirinya sebagai “The Watcher”.
    Sepintas ia melihat Okky dan Sistien sedang duduk berduaan di bawah pohon beringin raksasa yang tumbuh dengan megah dan kokoh di tengah-tengah lapangan utama sekolah mereka.

    Katanya, usia pohon itu sudah ratusan tahun. Karena itu pihak sekolah tak ingin menebangnya. Rex pernah mendengar selintingan gosip, katanya bila seseorang menyatakan cintanya dibawah pohon itu dan diterima, maka cinta mereka akan abadi. Rex tersenyum kecut ketika mendengarnya. Baginya terdengar seperti sebuah dongeng. Tapi bukan menjadi alasan untuk tidak mempercayainya.
    Okky terlihat sedang memainkan gitar, sedangkan Sistien sedang menyantap bekalnya. Dan Rex dapat membayangkan kalau Sistien pasti sedang bersenandung sambil makan. Satu hal yang sangat ia tahu dari Sistien, ia selalu bernyanyi atau bersenandung disetiap kesempatan. Bahkan ketika sedang ujian, Sistien masih sempat-sempatnya bersenandung.
    Rex mengalihkan tatapannya. Tim sepak bola masih latihan di lapangan B, sebelah kanan dari lapangan utama. 1 bulan lagi akan ada acara White In Grey Fair yang diadakan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang diselenggarakan seminggu sebelum hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Semacam acara lomba untuk seluruh SMU yang ada di Jakarta untuk memperingati hari kemerdekaan. Dan salah satu yang diperlombakan dari cabang olah raga adalah sepak bola.
    Disana dia melihat Iman dan PE sedang serius latihan. Walau mereka belum tergabung dalam tim inti, namun keahlian mereka menjadi perhatian pelatih sepak bola mereka.

    Rex menghela nafas.
    Diliriknya cakrawala yang berada diatasnya.
    Awan hitam kini sudah memenuhi langit dan butiran hujan masih terus turun. Dia berencana akan terus menikmati hujan sampai sisa waktu istirahat habis ketika terdengar suara pintu terbuka dan suara langkah kaki mendekatinya.
    Rex beralih ke sumber suara itu.
    Beberapa detik kemudian sosok cewek muncul.
    Cewek itu adalah Tanya.
    Mereka berdua tampak terkejut. Tanya terkejut karena tak menyangka akan bertemu dengan seseorang diatas sini dan Rex terkejut karena tak menyangka akan bertemu dengan Tanya diatas sini. Untuk sesaat mereka saling bertatapan sambil membisu. Kemudian Rex menggeser tubuhnya, bermaksud memberi ruang untuk Tanya duduk di bangku panjang itu.
    Tanpa sepatah kata yang terucap dari mulutnya, Tanya segera duduk disamping Rex. Dan tetap dalam keheningan, pandangan mereka berdua terpaku ke pemandangan hujan di depan mereka. Mereka menikmatinya tanpa saling bicara. Hanya suara rinaian hujan yang memecah kesunyian diantara mereka.

    “Elo tau ?”, gumam Rex beberapa menit kemudian. Tanya meliriknya. Pandangan cowok itu terus menatap ke depan, tidak beralih kepadanya. Dia pun menunggu. “Legenda tentang hujan ?”, lanjut Rex.
    Tanya terdiam sejenak.
    “Entahlah…”, jawabnya singkat kembali menatap hujan.
    “Elo tau… jaman ketika dewa hidup bersama dengan manusia di Bumi…”, Rex merujuk ke legenda Yunani. Tak ada jawaban dari Tanya. “Ketika itu ada seorang dewi yang menyaksikan kehidupan manusia. Kehidupan yang penuh peperangan, rasa benci, amarah, dan pertumpahan darah. Suatu saat dewi itu menangis karena tak tahan menyaksikan itu semua. Air matanya jatuh ke Bumi. Dan air mata itu berubah menjadi hujan. Dewi itu berharap, air matanya yang jatuh dapat menghapus semuanya itu…”, Rex mengakhiri ceritanya sambil merilik cewek itu.
    “Gue gak tau dengan elo… tapi gue menyukai hujan…”, lanjut Rex.
    “Karena cerita itu ?”.
    Rex menaikkan ke dua alisnya. “Mungkin sebagian iya… tapi gue rasa alasan utamanya bukan itu…”. Kini Tanya membalas tatapan Rex, “lantas ?”. Rex kembali mengalihkan tatapannya ke hujan, “mungkin terdengar konyol… tapi entah kenapa setiap hujan turun, gue merasa tenang…”, Rex terhenti, “damai… dan saat hujan turun, adalah saat gue bisa kembali menjadi diri gue sebenarnya…”.
    “Jadi selama ini, elo bukan diri elo sebenarnya ?”.
    Rex tertawa. Dan Tanya menatapnya aneh.
    “Ya enggak juga… cuman…”, Rex kembali terhenti, “ya sudahlah… nanti elo bakal ngerti sendiri…”, Rex merubah pikirannya. Ia pun kembali terdiam.
    Begitu juga dengan Tanya.

    Sejujurnya, alasan Tanya datang ke tempat itu karena dia capek diganggu oleh para cowok selama jam istirahat. Ia memerlukan tempat yang sepi dimana dia bisa melewati waktu dengan tenang dan damai. Dan ia mencobanya untuk pergi ke atap.
    Ia tak menyangka ada Rex diatas sini.
    Untungnya, Rex tak seperti cowok lainnya.
    Seingatnya, ia dan keempat sahabatnya, tak pernah mengganggunya. Tak pernah tebar pesona dengannya. Tak pernah sok merasa akrab dengannya. Tak pernah mencoba menarik perhatiannya.
    Ya…
    Mereka tak menganggapnya sebagai seorang yang special.
    Dan itu sebenarnya yang ia inginkan dari cowok-cowok lainnya.
    Kalau dipikir-pikir, bahkan mereka tak pernah ngobrol sebelumnya. Hanya dari Sistien lah ia tahu sedikit tentang mereka.

    Tanya mencuri pandang untuk meliriknya.
    Cowok itu terlihat asyik di dunianya sendiri.
    Bahkan sepertinya cowok itu tak menganggapnya ada disini.
    Rambut hitamnya yang berantakan terus diterpa oleh hembusan angin dingin. Membuatnya terlihat tidak lebih baik. Tanya kembali menatap hujan.
    Keheningan kembali menemani mereka berdua diiringi irama tetesan air hujan yang jatuh menyentuh bumi.

    ***
     
  13. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 23 Desember 2006
    13:05 WIB

    Tanya sedang menikmati hujan ketika Sistien terlihat di salah satu sudut matanya. Iapun segera melambaikan tangan dengan antusias untuk memberitahukan keberadaannya. Sistien yang menangkap gerakan itu segera tersenyum lebar sembari membalas lambaiannya, lalu mempercepat langkahnya.
    Siang itu, hujan masih tetap turun membasahi bumi sedari tadi pagi. Entah kenapa, akhir-akhir ini hujan selalu turun setiap hari. Semenjak kedatangannya di Indonesia kemarin pagi, hujan selalu menyambutnya. Menemaninya setiap saat.
    Sebenarnya ia tak keberatan dengannya.
    Hanya saja, rintikan hujan itu selalu membawa kenangan lama di setiap tetesannya. Kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan, namun terlalu pahit untuk diingat. Kenangan yang mau tak mau membuatnya tersenyum dan tertawa geli, namun sekaligus membuatnya marah dan kecewa. Ia rasa, lagu yang dibawakan Deff Leppard yang berjudul ‘When Love And Hate Collide’ sangat cocok untuk menggambarkan suasana hatinya saat ini. Lagu itu diperkenalkan oleh Okky saat dia masih duduk dibangku SMU.

    You could have a change of heart, if you would only change your mind.
    Instead of slamming down the phone girl, for the hundredth time.
    I got your number on my wall, but I ain't gonna make that call.
    When divided we stand baby, united we fall.

    Got the time got a chance gonna make it.
    Got my hands on your heart gonna take it.
    All I know I can't fight this flame.
    You could have a change of heart, if you would only change your mind.
    Cause I'm crazy 'bout you baby, time after time.

    Without you.
    One night alone Is like a year without you baby.
    Do you have a heart of stone.
    Without you.
    Can't stop the hurt inside.
    When love and hate collide.

    I don't wanna fight no more, I don't know what we're fighting for.
    When we treat each other baby, like an act of war.
    I could tell a million lies and it would come as no surprise.
    When the truth is like a stranger, hits you right between the eyes.

    There's a time and a place and a reason.
    And I know I got a love to believe in.
    All I know got to win this time.


    Setelah mereka saling berpelukan dan cipika-cipiki, Mereka berdua kembali duduk. Perasaan senang karena dapat bertemu kembali sahabat lama setelah bertahun terpisahkan tercerminkan di kedua wajah wanita itu. Perasaan itu tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, namun dapat terlihat dari ekspresi mereka.
    “Sudah hampir 6 tahun yah… gimana kabar elo ?”, tanya Sistien membuka pembicaraan. “Isn’t it funny ? when you find how fast time slip away ?”, balas Tanya. Mereka pun tertawa. Sistien mengangguk setuju, “rasanya baru kemaren, ketika gue mengantarkan bepergian elo di bandara…”.
    Tanya terdiam.
    Ada perubahan ekspresi yang terlihat di wajahnya.
    Dan Sistien menyadarinya.
    “Sorry… seharusnya gue gak mengungkit tentang itu…”, ujarnya merasa tak enak karena telah mengganggu perasaan sahabatnya itu. Tanya pun menggeleng cepat, “it’s okay… doesn’t matter anymore…”, Tanya berusaha tersenyum.
    Sistien memandangnya lekat-lekat.
    Ia tahu, senyumannya itu tak mencerminkan suasana hatinya.
    “Anyway… apa yang elo lakukan disana ?”, tanya Sistien mencoba mengalihkan pembicaraan. “gue… kerja sebagai newscaster BBC…”, jawab Tanya pelan. “No kidding !”, seru Sistien antusias, “kalo gitu, gue harus pasang parabola biar bisa liat elo siaran…”.
    Tanya tertawa kecil.
    “Ya… it’s such a pleasure for me… catet yah ! gue siaran di berita pagi dan sore, tentunya waktu sana…”, balas Tanya. “Okeh… kalo gitu gue baru bisa nonton elo siaran di siang dan malam hari…”, ujar Sistien tentang perbedaan waktu antara Indonesia dengan Inggris dimana Indonesia lebih cepat 7 jam.
    Tanya kembali tertawa. Diikuti oleh Sistien.
    Perbincangan mereka terputus ketika Tanya memanggil pelayan untuk memesan makanan. Sistien memesan makanan yang menjadi menu favoritenya di café itu, pancake dengan butter dan taburan madu. Sedangkan Tanya memesan Gravlax Smoked. Ia rasa untuk suasana dingin seperti saat ini, makanan yang hangat sangat cocok untuk menghangatkan tubuhnya.

    Clover Leaf café adalah tempat yang penuh kenangan bagi mereka berdua.
    Tempat itu terletak tak begitu jauh dari sekolah SMU mereka dulu. Hanya sekitar 2 kilometer darinya. Dan juga hanya berjarak 10 blok dari rumah Tanya. Dulu mereka sering sekali mengunjungi café ini, hanya sekedar melepas lelah sepulang sekolah atau sekedar menikmati pemandangan.
    Menurut Tanya, tempatnya sangat strategis. Berada tepat dipinggir dataran tinggi, agak menjorok keluar dengan tambahan beranda yang terbuat dari kayu. Dari sini mereka bisa menikmati indahnya kota Jakarta. Terutama di malam hari dengan gemerlapan lampunya.
    Disisi lain terdapat taman yang luas dengan andalan koleksi bunganya yang sangat beragam dan danau alaminya. Orang-orang menamakannya Taman Anggrek dikarenakan koleksi bunga Anggrek-lah yang tumbuh terbanyak disana. Tak jarang mereka sekedar duduk di buritan yang menjorok ke danau sambil menikmati udara segar dan memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang dengan kegiatannya masing-masing.
    Untuk Sistien, dia sangat menyukai dekorasi interiornya. Hampir seluruh bangunan café itu terbuat dari kayu yang dicat cokelat tua. Bergaya tropis dengan sedikit kesan travern Eropa jaman pertengahan. Setiap sudutnya dihiasi warna-warni bunga. Penerangan dibuat sedemikian rupa sehingga membuat suasana nyaman. Dan yang pasti, setiap malam selalu diiringi oleh alunan piano yang dimainkan sendiri oleh pemiliknya. Seringnya menyuguhkan lagu-lagu jazz, namun kadang-kadang juga membawakan tembang lama.
    Disinilah ia pertama kali melakukan debut nyanyi diatas panggung, dihadapan umum. Sebelumnya ia hanya bernyanyi dilingkungan sekolah saja dengan teman-temannya sebagai penonton. Partner-nya lah yang mengajaknya. Dia sering sekali meminta Sistien untuk bernyanyi, dan mau tak mau Sistien pun memenuhinya dengan satu syarat. Partner-nya juga harus ikut dengannya. Karenanya, October 16th mulai dikenal di lingkungan umum.

    Dan untuk siang itu, Tanya dan Sistien tenggelam dalam perbincangan mereka berdua sambil menikmati hidangannya masing-masing. Setelah hampir 6 tahun tidak ketemu, banyak sekali cerita yang harus diceritakan untuk mengejar waktu diantara mereka. Mereka saling mendengarkan dengan antusias diselingi tawa lepas dan kaya akan ekspresi di wajah mereka.
    Sangat dejavu melihat mereka berdua berbincang seperti itu.
    Pemandangan itu adalah pemadangan yang sering terlihat semasa SMU dulu.

    “Ngomong-ngomong… bagaimana keadaan Okky dan yang lainnya ?”, ujar Tanya ditengah perbincangan mereka. Sistien terhenti sejenak. Ia menaruh garpu dan pisaunya kemudian menyeka mulutnya dengan tissue yang disediakan. Ada perubahan ekspresi dari dirinya. Ekspresi yang sama dengan Tanya saat disinggung masalah kepergiannya barusan.
    “Dia…”, Sistien terdiam, “baik-baik saja… begitu juga dengan yang lainnya”.
    Tanya menatapnya.
    Sepintas ia tahu ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua.
    Dan sepertinya sesuatu itu bukanlah kabar bagus.
    “Care to tell me ?”, gumam Tanya pelan sambil memotong daging salmon.
    Sistien melirik sahabatnya. Ada keraguan di dalam hatinya. Ia ingin bercerita namun itu akan membangkitkan kenangan yang menyakitkannya kembali.

    “Sekitar setahun semenjak kepergiannya ke Swiss, kami gak pernah berhubungan lagi…”, Sistien terhenti untuk mengambil nafas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan perasaannya, “awalnya kami tetap berhubungan seperti biasa. Setiap hari dia selalu menelpon dan sering mengirim pesan hanya untuk sekedar melaporkan apa yang sedang ia kerjakan, atau menanyakan apa yang sedang gue kerjakan, atau menanyakan gue udah makan apa belum, dan informasi yang gak penting lainnya…”, Sistien tersenyum kecut di kalimat terakhirnya itu.
    Tanya mendengarkannya dengan seksama.
    “Namun lama-kelamaan frekuensinya berkurang… dan yah… itu tadi… semenjak setahun yang lalu gue benar-benar lost contact dengannya…”, Sistien berusaha tersenyum. Ingin menunjukkan kalau ia tak apa-apa namun gagal.
    “Elo udah mencoba berusaha menghubungi dia ?”, Tanya bertanya dengan hati-hati.
    Sistien mengangguk. “Entah kenapa, semenjak setahun yang lalu, nomor teleponnya gak bisa dihubungi… padahal itu satu-satunya nomor yang gue tau… nomor yang menghubungkan antara gue dan dia…”.
    “Elo udah tanya ke yang lainnya, maksud gue Bayu dan yang lainnya ?”.
    Sistien kembali mengangguk namun tak menjawab.
    “Dan…”.
    “Mereka juga tak bisa menghubunginya…”.
    Tanya mengangguk.
    Ia menatap dalam-dalam sambil menggenggam kedua tangan sahabatnya itu dengan lembut. Berusaha untuk menghiburnya. “Tien… menurut gue elo harus tanya langsung ke Okky. Kenapa tiba-tiba dia gak menghubungin elo sama sekali dalam setahun ini…”.
    “Mungkin dia lebih memilih pekerjaannya dari pada gue…”.
    “Itu kan cuma asumsi elo aja…”.
    “Atau ia menemukan wanita yang ia sukai disana…”, Sistien tak mengindahkan Tanya.
    “Tien… jangan berpikiran jelek gitu, donk…”, Tanya masih berusaha menghibur.
    “Habis alasan apa lagi coba !”, tiba-tiba Sistien melepaskan emosinya. Ada genangan air yang menghiasi kedua matanya dan genangan itu siap untuk tumpah. “Alasan apa lagi coba kalo tiba-tiba dia gak ngubungin gue sama sekali !? sesibuk-sibuknya orang masa sih gak punya waktu hanya untuk sekedar mengirim pesan !? atau menelpon hanya untuk beberapa menit !?”.
    Tanya terus menggenggam lembut kedua tangan sahabatnya.
    “Tien… gue bukannya mau ngebelain dia… gue sendiri juga gak tau kejadian sebenarnya… tapi menurut gue. Apa mungkin seorang Okky lebih memilih pekerjaannya dari pada elo ?
    Apa mungkin seorang Okky lebih memilih wanita lain dari pada elo ?
    Coba deh pikir lagi dengan baik-baik…
    Dan kalaupun tiba-tiba dia gak ngehubungin elo sama sekali, gue rasa bukan karena kedua alasan itu… mungkin ada alasan lainnya. Dan itu yang elo harus tanyakan langsung ke orangnya…”.
    Sistien terdiam.
    Ia berusaha mencerna perkataan sahabatnya itu.
    “Tien… gue hanya 3 tahun mengenalnya… tapi hanya dengan waktu segitu, gue tau banget arti elo baginya. Okky yang selalu senewen berat saat tau elo sakit. Yang kelimpungan setengah mati ketika ada cowok lain yang mendekati elo. Yang selalu memperhatikan hal-hal kecil untuk elo. Yang selalu menyediakan waktu buat elo. Yang selalu berusaha membuat elo tersenyum…”, Tanya terhenti. “Jadi gue gak yakin kalo dia tiba-tiba nyuekin elo hanya karena pekerjaan atau wanita lain… lebih-lebih sahabat lainnya juga gak bisa ngehubungin dia…”.
    Sistien mengangguk.
    Kini dia dapat menguasai perasaannya kembali.
    Dan mengerti apa yang Tanya maksud.
    Hanya saja, apapun alasannya, rasanya sulit untuk memafkannya.
    “Trims yah…”, ujarnya tersenyum.
    “You are welcome, sweety…”, balas Tanya membalas senyuman Sistien.
    “Anyway… gue rasa itu juga berlaku buat elo…”, Sistien berujar sambil kembali menyantap pancakenya yang sempat tertunda.
    Tanya menatapnya dengan pandangan meminta penjelasan.
    “Elo juga harus menanyakan langsung kepadanya… alasan kenapa dia gak datang saat kepergian elo…”, Sistien mengingatkannya kembali dengan kenangan lama yang sangat ingin dilupakannya itu.
    Tanya terdiam.
    Ia tersadar. Ternyata dirinya dan Sistien mempunyai masalah yang hampir sama.
    Serupa namun tak sama.
    Ia baru saja menyarankan Sistien tentang perihal menanyakan langsung alasan sebenarnya ke orang yang bersangkutan. Masalahnya, apakah dia sendiri juga dapat melakukan hal yang sama. Apakah tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.
    Dan yang pasti, apakah dia mau melakukannya.

    ***
     
  14. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Senin, 14 Juli 1997
    15:05 WIB

    Tanya baru saja selesai latihan paskibra.
    Seluruh tubuhnya kini peluh oleh keringat.
    Yang sangat ia butuhkan saat ini adalah mandi. Rasanya berendam di air panas akan membuatnya segar kembali dan dapat menghilangkan rasa capeknya.
    Tapi, saat ini ada hal yang lebih menyita perhatiannya dari pada mandi.
    Beberapa saat lalu, setelah latihan selesai, semua anggota paskibra berkumpul baik yang tim inti maupun yang tim cadangan. Pemilihan anggota untuk lomba paskibra yang diadakan mulai tanggal 11 Agustus 1997 nanti akan segera dilakukan. Dimana tim yang menang akan mempunyai hak untuk menjadi pengibar bendera di hari kemerdekaan. Jumlah total untuk anggota yang dapat mengikuti lomba adalah 70 orang, berasal dari 60% tim inti dan 40% tim cadangan.
    Dan dapat ditebak, Tanya terpilih.
    Dia satu-satunya anggota yang masih kelas 1 dari tim cadangan yang terpilih. Lainnya dari kelas 2 semua. Terpilihnya Tanya membuat catatan rekor terbaru, murid kelas 1 yang pertama kali terpilih menjadi tim yang mengikuti lomba White In Grey Fair.
    Tanya sangat senang. Akhirnya ia dapat membuktikan kalau ia mampu menjadi anggota tim inti walau masih kelas 1. Dan dengan terpilihnya Tanya, tak pelak dari tatapan iri para anggota tim inti yang tak terpilih. Karena posisi mereka akan terancam. Bukan hal yang mustahil bila Tanya akan menggantikan salah satu diantara mereka masuk ke dalam tim inti.

    Tanya mendekati Sistien yang dari tadi menemaninya latihan.
    Cewek itu sedang duduk manis di bawah salah satu pohon Ek yang tumbuh di sekitar lapangan utama. Disampingnya ada Okky yang menemani Sistien dan Rex yang sedang sibuk bermain gitar. Sistien tersenyum lebar ketika mengetahui kalau Tanya sedang mendekatinya.
    Ia bangkit dan berlari kecil kearahnya.
    “Congratulation ! entah kenapa firasat gue bilang kalo elo pasti terpilih…”, ujar Sistien memberi selamat sambil memeluk Tanya.
    “Trims, yah…”, balas Tanya senang.

    Okky dan Rex memandangi mereka berdua.
    “Enak yah kalo jadi cewek… mau pelukan kek, mau pegangan tangan kek, gak ada yang memandang dengan pandangan aneh… nah, kalo cowok !”, komentar Okky.
    Rex meliriknya, “elo mau gue peluk ?”, tanyanya tidak menangkap esensi dari perkataan Okky barusan.
    Okky segera menggeleng, “enggak deh… makasih…”.
    “Gak usah malu… gue rela kok…”.
    “Guenya yang gak rela dipeluk ma elo !”.
    Pembicaraan mereka terhenti ketika Sistien dan Tanya mendekati mereka. Okky dan Rex pun segera bangkit. “Gue ma yang lainnya berencana mau ke Clover Leaf… gimana kalo elo ikut ?”, ujar Okky kepada Tanya.
    Tanya menaikkan kedua alisnya.
    “Yah… itung-itung ngerayain terpilihnya elo jadi anggota yang ikut lomba nanti… itu juga kalo elo mau…”, tambah Okky.
    Tanya terdiam sebentar.
    Sepertinya ia sedang menimbang-nimbang.
    Pandangannya jatuh ke Sistien. Sistien pun menganggukkan kepala.
    “Boleh deh… tapi jangan kesorean yah… kasian sopir gue nunggunya kelamaan…”, ujar Tanya akhirnya.
    “okey dokey !”, seru Rex sambil menyambar tasnya dan segera beranjak. Okky, Sistien dan Tanya menyusulnya dibelakang. “Ngomong-ngomong, Bayu, Iman ma PE mana ?”, tanya Sistien kepada Okky sembari jalan.
    Okky menunjuk ke lapangan bola di depan mereka. “Iman ma PE disana. Mereka baru aja selesai latihan bola. Kalo Bayu di perpus. Dia bilang nanti ketemu di gerbang depan…”.
    Sistien mengangguk.
    “Kok kayaknya akhir-akhir ini dia sering banget yah ke perpus…”, gumam Sistien.
    Okky dan Rex pun saling melirik dan tersenyum simpul.

    Okky paling suka sore-sore duduk di Clover Leaf. Karena disanalah tempat yang paling bagus untuk melihat matahari terbenam. Apa lagi kalau di sore hari, angin sepoi-sepoi selalu bertiup dengan sejuknya. Letak secara geografisnya lah yang menyebabkan tempat itu selalu berangin.
    Okky sangat menyukai pemandangan matahari terbenam.
    Perubahan warna langit dari biru ke jingga atau merah selalu membuatnya merasa takjub. Dengan sinar keemasannya secara perlahan-lahan mentari menghilang jauh di ufuk Barat. Seakan-akan berkata kepada semua makhluk di dalamnya, “baiklah… ini saatnya… setelah kalian lelah beraktifitas sepanjang hari, ini saatnya bagi kalian untuk beristirahat…”.

    Rex sedang menyeruput coffee latte-nya ketika melihat Okky dan Sistien sedang asyik berdiri dipinggiran beranda menatap matahari yang mulai terbenam. Dari tempatnya, hanya terlihat siluet mereka yang sedang membicarakan sesuatu kemudian Sistien tertawa geli.
    Rex melirik Tanya yang duduk dihadapannya. Cewek itu juga terlihat sedang asyik menatap pemandangan yang sama. Lalu beralih ke Bayu, Iman, dan PE disampingnya.
    Bayu sedang asyik membolak-balikkan novel yang baru dipinjamnya. Tentu saja atas rekomendasi Evy. Sedangkan Iman dan PE sedang sibuk menyantap makanannya masing-masing.
    “Udah nyampe mana hubungan elo ma Evy ?”, tanya Rex ke Bayu.
    Bayu menatapnya kemudian memasukkan novel itu ke dalam tasnya. “Yah… masih gitu-gitu aja… cuma sekedar ngobrol-ngobrol di perpus. Itu juga cuma tentang buku, bukan hal-hal personal lainnya…”, jawab Bayu.
    “Dia gak curiga apa, ketemu sama elo terus setiap hari ?”, kini Iman yang tanya.
    Bayu mengangkat kedua bahunya. “So far sih… kayaknya enggak tuh… awalnya gue bilang ke dia kalo semenjak disuruh membuat sinopsis novel, gue jadi suka baca novel… dan gue juga bilang kalo gue butuh dia untuk ngerekomendasiin novel-novel yang bagus…”.
    Rex, Iman dan PE tertawa.
    “Yeah… nice try…”, gumam PE.
    “Seenggaknya dia akan mulai terbiasa dengan elo…”, tambah Iman.
    “Nah ! elo sendiri gimana, Man ? akhir-akhir ini gue sering banget liat elo bengong sendirian sambil ngeliat anak-anak atletik lari…”, ujar Rex.
    Bayu dan PE serentak menatap tajam Iman.
    Iman yang ditatap seperti itu menjadi salah tingkah. Ia mengambil minumannya dan meneguknya hingga hampir habis. “Cuma perasaan elo aja kali…”, belanya ke Rex.
    Rex tersenyum kecut. “Jujur aja deh… siapa cewek yang sial itu karena ditaksir ma elo…”.
    “Kutil !”, seru Iman. “Sumpah ! gue gak bohong ! gak ada cewek yang lagi gue taksir…”, ia masih berusaha berkelit.
    “Ooohhh…”, gumam Rex, Bayu dan PE bersamaan.
    “Gak percaya !?”.
    “PERCAYAAA !!!”.

    Tanya menyeruput Snow Ball-nya sambil melirik ke arah 4 cowok itu. Dari tadi ia tak sengaja menguping pembicaraan mereka. Sejujurnya, ia baru pertama kali mendengar pembicaraan antar cowok. Yang membuatnya heran, ternyata isinya tak jauh beda dengan pembicaraan antar cewek. Yaitu membicarakan tentang lawan jenis atau membahas seseorang yang mereka suka.
    “Kalo boleh tau…”, gumam Tanya kepada mereka.
    Keempat cowok itu menatap Tanya sambil terdiam seribu bahasa.
    Melihat tingkah mereka, Tanya menaikkan kedua alisnya.
    Ada sesuatu yang aneh sedang terjadi saat ini. Bagi mereka, ini merupakan keajaiban yang luar biasa bagi Tanya berbicara dengan cowok duluan. Sedangkan bagi Tanya, tingkah mereka seperti baru saja melihat sesuatu yang sangat aneh dan tidak terduga.
    “Kalo boleh jujur, ini pertama kali gue datang ke sini…”, ujar Tanya, pandangannya menyapu seluruh café Clover Leaf, “dan gue rasa gue menyukai tempat dan suasananya… kalo boleh tau, siapa yang pertama kali menemukan tempat ini ?”.
    Mereka berempat serempak menunjuk ke arah Okky yang masih asyik menikmati matahari terbenam di pinggiran beranda bersama Sistien. Tanya mengikuti arah tunjukkan mereka.
    “Okky ?”, tanyanya penasaran.
    Mereka berempat kembali serentak mengangguk.
    “Iya… dia yang pertama kali menemukan tempat ini…”, ujar Rex.
    Tanya menatapnya, “gue gak nyangka… kirain Sistien…”, gumamnya.

    Rex tertawa kecil, “kalo elo mau tau, Okky itu adalah seorang sunset hunter… bertahun-tahun dia mencari tempat yang paling ideal untuk menikmati matahari terbenam. Dan gue tekanin sekali lagi, semua tempat yang ada di Jakarta. Sampai akhirnya ia menemukan tempat ini waktu pertama kali masuk. Dan ia langsung jatuh cinta dengannya. Menurutnya ini merupakan tempat yang terbaik untuk melihat matahari terbenam diantara tempat lainnya yang pernah ia coba…”, Rex menjelaskan panjang lebar.
    “I can see that…”, gumam Tanya mengalihkan pandangan ke langit disampingnya.
    Disana ia mendapatkan warna langit telah berubah menjadi jingga. Sedangkan mentari yang mulai terlihat terus menghilang bersinar dengan sinar keemasannya. Sebelumnya ia tak penah menyadarinya, tapi kali ini baru sadar betapa indahnya pemandangan saat matahari terbenam. Warna jingga diatas sana, baginya seperti sebuah lukisan dengan warna yang mententramkan hati. Dan sinar itu seakan-akan melambai-lambaikan salam perpisahan.
    Ia mulai menyukainya.
    Dilihatnya Okky dan Sistien yang masih asyik berbincang di pinggir beranda sana. Ia sangat yakin, semua orang yang melihat pemandangan itu, akan mengira kalau mereka adalah sepasang kekasih. Sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta.
    Tanya tersenyum.
    “Apa kalian gak pernah merasa aneh kalo ngeliat mereka berdua…”, gumam Tanya. Keempat cowok itu mengikuti pandangan Tanya. “Apa kalian gak pernah menganggap mereka seperti… sepasang kekasih… atau semacam itu…”.
    “Gue rasa mereka berdua lebih dari sepasang kekasih…”, gumam Bayu.
    Tanya meliriknya dengan tatapan meminta penjelasan.
    “Gue rasa mereka berdua lebih dari pada itu… mereka tidak lagi menggunakan kata untuk saling mengerti, tapi hanya dengan menggunakan bahasa tubuh mereka sudah saling mengerti…”.
    Tanya mengangguk kecil.
    “Aneh yah…”.
    Mereka berempat ikut mengangguk.
    “Iya… aneh…”.
    “Sangat aneh malah…”.
    “Terlalu aneh memang…”.
    “Sebenernya yang aneh mereka atau kita sih !?”.

    ***
     
  15. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 23 Desember 2006
    14:50 WIB

    “Man, elo dipanggil ma Debby tuh…”, gumam seseorang memanggil Iman yang sedang asyik memilih-milih foto hasil jepretannya di ruang kerjanya. Iman meliriknya kemudian mengangguk, “dimana ?”.
    “Ruang konsultasi…”, jawab orang itu lagi.
    Iman terdiam. Sesuai namanya, ruang konsultasi digunakan untuk konsultasi. Biasanya dengan client yang menggunakan jasa HP mereka atau perusahaan lain yang sedang bekerja sama dengan mereka. Dan Iman merasa, dipanggilnya dia kesana karena ada pekerjaan baru.
    “Okey, trims yah !”, balas Iman sembari bangkit dari kursinya dan segera menuju ke ruang konsultasi yang berada di lantai dasar.

    Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu diketuk.
    Setelah mendengar suara seseorang menyilahkan masuk, Iman pun segera membuka pintu dan masuk ke dalam. Di ruangan itu terdapat Debby, kepala Vivien Home Production, serta 2 orang wanita muda.
    Iman tersentak kaget ketika mengenal salah satu dari 2 wanita itu.
    Langkahnya terhenti, mulutnya agak sedikit terbuka. Raut wajahnya berubah total.
    “Oh… perkenalkan, ini Iman. Salah satu fotografer handal HP kami…”, ujar Debby memperkenalkan Iman yang tak menyadari perubahan ekspresi Iman. Dengan salah tingkah, Iman menghampiri kedua wanita itu, mereka pun bersalaman.
    “Ayu…”, ujar wanita yang bertubuh mungil, berkulit pucat serta berambut panjang ikal.
    “Dewi…”, kini wanita berparas manis dengan warna kulit sawo matang serta berambut hitam lurus memperkenalkan diri. Wanita itu adalah wanita yang sama yang dilihat Iman di PIM kemarin malam. Wanita yang sama yang menjadi cinta pertamanya.

    Kedatangannya siang itu menyangkut masalah foto prewedding. Ayu, rekan kerjanya Dewi, akan segera menikah 2 bulan lagi. Oleh karena itu, sebelumnya ia ingin berkonsultasi dahulu tentang tema untuk foto preweddingnya serta lokasinya. Dewi hanya sekedar mengantarkannya, karena calon suaminya sedang dinas keluar kota sehingga tak dapat menemani.
    Iman mengusulkan tema “Love And Shadow”.
    Intinya adalah memoret bayangan atau siluet kedua mempelai. Bisa juga ditambahkan refleksi dari cermin atau genangan air. Simple namun sangat artistik. Dewi menyukai idenya dan berkali-kali ia menyarankan Ayu untuk menggunakan ide Iman. Ayu pun sebenarnya tertarik, namun ia harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan calon suaminya.
    Setelah hampir 2 jam berkonsultasi, Ayu pun merasa sudah cukup dan menyudahi pertemuan itu. Rencananya pertemuan selanjutnya akan dilakukan minggu depan. Dan bila calon suaminya setuju, minggu depan bisa langsung dilaksanakan pemotretan.
    Kepergiannya Ayu berarti juga kepergiannya Dewi.
    Iman tak tahu apakah ini memang takdir atau hanya kebetulan semata dirinya bisa bertemu dengan Dewi lagi setelah di PIM. Ia sadar kalau kesempatan tak datang untuk kedua kalinya, bila ia menyia-nyiakan kesempatannya saat ini, entah kapan ia dapat bertemu dengan Dewi lagi. Ia harus mencari akal agar bisa dapat kembali ketemu Dewi lagi.
    Ia tak mau lagi hanya diam menunggu dan melihatnya dari jauh, enggan berkenalan, seperti apa yang dilakukannya selama 3 tahun di SMU. Ia ingin Dewi mengenalnya. Ia ingin Dewi tahu kalau ada seseorang yang diam-diam mencintainya. Dan ia tahu kalau itu tak akan terjadi kalau dirinya hanya diam. Dia harus melakukan sesuatu.

    Ketika kedua wanita itu sudah berada di hall utama dan sedang menuju ke pintu utama, dengan refleks Iman menghalangi jalan mereka. Keduanya terhenti dan menatap pria itu. Iman yang sudah berdebar-debar setengah mati dari tadi melirik ke Dewi, “sorry… ada sesuatu yang dari tadi mengganggu gue…”, ujarnya terhenti.
    “Iya…”, gumam Dewi dengan nada pertanyaan.
    “Anu… Itu… kamu dulu sekolah di SMU 6, bukan ?”, tanya Iman hati-hati.
    Dewi menatapnya kaget, “iya…”.
    “Dan dulu kamu anggota atletik ? cabang estafet ?”.
    Dewi mengangguk tak percaya, “benar…”.
    Iman tersenyum lega. “Mungkin kamu enggak tahu siapa aku, tapi dulu kita satu SMU. Dan Aku anggota sepak bola…”.
    Kedua mata Dewi membesar, “oh, ya !”. Terlihat sunggingan senyuman di salah satu sudut mulutnya. “Pantesan aku agak merasa dejavu waktu ngeliat kamu barusan…”.
    “Wah-wah-wah… ada reunian dadakan nih…”, celetuk Ayu menggoda.
    Iman dan Dewi tersenyum simpul.
    “Anyway, apakah dulu kita pernah kenalan ? maksudku, seingetku aku tak pernah sekelas denganmu…”, kini Dewi yang bertanya.
    Iman menggeleng.
    “Kalo boleh jujur, sebenernya dari dulu ampe barusan, kita gak pernah kenalan. Hanya sebatas tahu karena kita latihan di lapangan yang sama. Dulu aku sering ngeliat kamu lari muterin lapangan…”, ujar Iman.
    “Ah ! benarkah ?”, ujar Dewi tak percaya, “senang dapat bertemu kembali dengan teman lama… ngomong-ngomong, besok datang ke acara reunian ?”.
    Iman mengangguk. “Kamu ?”.
    Dewi ikut mengangguk. “Sepertinya kita akan bertemu lagi disana…”.
    “Kuharap begitu…”, gumam Iman, “anyway…”, Iman menatap Dewi dengan pandangan bimbang, “boleh aku minta nomor teleponmu ?”.
    Dewi tertawa kecil.
    “Ya ! tentu aja…”.
    Dewi pun segera menyebutkan nomornya sedangkan Iman langsung mengetiknya di HPnya dengan antusias. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, dia dapat berkenalan dengan wanita itu.
    Saat itu ia merasa menjadi pria yang paling beruntung di dunia.

    ***
     
  16. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 16 Agustus 1997
    08:10 WIB

    Pagi itu Bayu tergopoh-gopoh menuju ke perpustakaan.
    Beberapa saat kemudian, pandangannya menangkap Evy yang sedang baca sambil duduk di salah satu meja dekat jendela. Iapun segera menghampiri cewek itu.
    “Sorry, ganggu…”, sapa Bayu.
    Evy menatapnya kemudian tersenyum. “Ya ?”.
    Bayu garuk-garuk hidungnya yang tidak gatal. Entah kenapa ia selalu salah tingkah bila berada di dekat cewek itu. “Anu… saat ini ada waktu senggang gak ?”.
    “Mmh… ada sih… emangnya kenapa ?”, tanya Evy sambil menimbang-nimbang.
    “Itu… hari ini temen gue dari ekskul band mau manggung, elo mau nonton ma gue gak ?”, tanya Bayu lagi berharap ajakannya diterima. Evy terdiam beberapa saat, kemudian ia pun bangkit. “Boleh juga”, jawabnya sambil tersenyum kecil.
    Tanpa sepengetahuannya, kedua telapak tangan Bayu mengepal penuh kemenangan. “Okeh… kalo gitu, yuk kita ke hall sekarang…”, ajak Bayu.
    Evy mengangguk.
    Mereka pun segera bergegas ke hall utama sekolah.

    Sistien baru saja melangkah masuk ke kelas sambil celingukkan. Tampak jelas kalau ia sedang mencari seseorang. Di dalam sana ia hanya melihat beberapa teman sekelasnya. Rata-rata sebagian dari mereka berada diluar menjalankan ekskul masing-masing.
    Sistien menghela nafas panjang ketika orang yang dicarinya tak ketemu. Iapun kembali keluar kelas, mencoba kembali mencari di lapangan basket.
    Tiba-tiba pundaknya dicolek oleh seseorang dari belakang. Ia berhenti dan menoleh. Disana sudah ada Tanya, menatapnya sambil tersenyum lebar.
    “Met ultah yah, Tien !”, seru Tanya sambil cipika-cipiki dengan Sistien.
    Sistien tersenyum senang, “trims yah, Ti…”, balas Sistien. Tanya pun segera merogoh tasnya, kemudian mengeluarkan sesuatu. “Nih ! kado dari gue… diterima yah…”, tambahnya sambil menyerahkan bungkusan kado berbentuk persegi panjang berukuran kecil dengan hiasan pita berwarna biru.
    Sistien menerima. “Makasih banget, yah Ti !”, serunya surprise. Iapun menerima kado itu dengan senang hati. Ditatapnya sahabatnya itu, “jujur aja… gue gak nyangka dapet kado di hari ultah gue…”.
    Tanya mengangkat kedua alisnya.
    “Okky belum pernah ngasih elo kado sebelumnya ?”.
    Sistien tersenyum kecut. “kalo elo mau tau, waktu kelas 2 SMP, dia cuman nyanyiin lagu ultah bwat gue. Dan waktu kelas 3 SMP, dia melakukan yang sama tapi didepan kelas, abis itu gue ditraktir es krim…”.
    Tanya tertawa geli.
    “Seenggaknya, dia selalu inget hari ultah elo…”.
    Sistien pun ikut tertawa. “Yah… itu aja udah buat gue senang. Anyway, sejujurnya, waktu dia nyanyi di depan kelas, dengan sukses dia membuat muka gue semerah tomat. Alhasil satu sekolah tahu kalo gue ultah hari itu…”.
    Tanya tersenyum simpul. “Hari ini Okky udah ngucapin ultah ?”.
    Ada sedikit perubahan ekspresi di wajah Sistien. “Semenjak nyampe di sekolah, gue belum ketemu dia…”, gumamnya dengan intonasi suara melemah.
    Tanya menatapnya. “Masa sih ? dia gak mungkin lupa kan hari ultah elo…”.
    Sistien menggeleng, “bukan itu yang gue khawatirin… dia gak mungkin tiba-tiba menghilang di sekolah. Gue udah nyariin hampir ke seluruh sekolah tapi gak ketemu. Penjelasan yang logis, ia belum nyampe sekolah. Gue takut dia sakit atau ada apa-apa di jalan…”, jelas Sistien panjang lebar.
    “Dikelas ada tasnya ?”. Sistien menggeleng.
    “Udah tanya Rex ma yang lainnya ?”. Sistien mengangguk.
    “Mereka tau ?”. Sistien kembali menggeleng.
    “Udah nyari di hall ? siapa tau lagi ma anak2 band disana…”. Sistien kembali mengangguk dan dilanjutkan menggeleng.
    “Kalo lapangan basket ?”.
    Sistien lagi-lagi menggeleng, “ini gue baru mau kesana…”.
    “Okeh… gue temenin elo…”, balas Tanya, “tunggu bentar, gue naro tas dulu…”. Tanya masuk ke dalam kelas, tak lama kemudian kembali keluar menghampiri Sistien. Mereka berdua pun segera bergegas ke lapangan basket.

    Cewek itu baru saja lari melewatinya kemudian menikung di depan sana lalu terus berlari menjauhinya. Iman tertegun. Dia terus mengamati figurnya yang sedang berlari. Entah kenapa, ia tak pernah merasa bosan. Ada sesuatu dari cewek itu yang terus menggelitik rasa penasarannya untuk terus melihatnya. Ia sendiri tak tahu apa itu. Tapi yang jelas, ia tak pernah bisa melepaskan tatapannya dari cewek itu.
    “Man !”, teriak seseorang membuyarkan lamunannya.
    Iman menengok belakangnya. “Udah jam segini, ke hall yuk !”, seru PE setengah teriak sambil menunjuk-nunjuk jam tangannya. Iman segera mengangguk, “iya !”. iapun segera beranjak dari tempatnya mendekati PE.
    Tanpa sepengetahuannya, cewek itu kembali melewati tempat dimana dia baru saja berpijak.

    “Rex !”, seru Sistien ketika melihat cowok itu ada dipinggir lapangan basket. Rex melihatnya kemudian berjalan mendekatinya. “Belum ketemu ?”, tanya Rex setelah berada di dekat Sistien. Sistien menggeleng. “Kalo elo ?”. Sistien menatapnya dengan pandangan khawatir.
    Rex pun tersenyum.
    “Udah ! jangan khawatir gitu donk ! gue yakin dia baek-baek aja… btw, ke hall yuk !”, balas Rex. “Dia gak ada disana… gue udah nyoba nyari kesana tadi…”, jelas Sistien. Rex meliriknya, “udah… ikut gue aja… kita ke hall…”, Rex setengah memaksa.
    Sistien terlihat bingung. Tapi dia tidak memprotes dan mengikutinya di belakang.
    Rex beralih ke Tanya. Mereka saling bertatapan. Rex pun segera mengedipkan sebelah matanya.
    Tanya mengangguk kecil.
    Ia rasa ia mulai mengerti apa yang telah terjadi disini.

    Rex, Sistien, dan Tanya tiba di hall. Disana sudah ada Iman dan PE. Bayu dan Evy baru tiba beberapa saat kemudian. Sistien agak terkejut ketika melihat Evy berjalan dengan Bayu, dia tak tahu sejak kapan mereka kenal. Sedangkan Bayu memperkenalkan Evy pada yang lainnya. Mereka pun segera duduk tepat di depan panggung.
    “Tuh, kan ! gue bilang juga apa… Okky gak ada disini…”, ujar Sistien sambil celingak-celinguk keseluruh hall.
    Semuanya menatap Sistien.
    “Udah, deh… tenang aja… nanti pasti dia dateng…”, ujar Rex masih berusaha menenangkan. Sistien terdiam. Sedikit cemberut. Pipinya yang sudah bulat semakin terlihat seperti bakpao. Sementara dipanggung, terlihat 3 orang anak band sedang check sound. Diantara mereka tetap tidak ada Okky.
    Sistien menghela nafas.
    Mau tak mau, terpaksa dia menuruti kata Rex.
    Menunggu Okky disini dengan tidak pasti.

    Tak lama kemudian, sesuatu menyita perhatian Sistien.
    Tiba-tiba Okky keluar dari balik panggung dengan gitar tuanya. Cowok itu kemudian berhenti tepat di depan panggung. Pandangan mereka saling ketemu.
    Okky menatapnya sambil tersenyum lebar.
    Sedangkan Sistien tetap terdiam tak percaya dengan apa yang ditatapnya.
    “Pagi, semua… gue Okky dari October 16th…”, ujarnya melalui mikrofon.
    Pandangannya tak lepas dari Sistien.
    “Pagi ini sengaja gue ada disini tanpa partner gue…”, lanjut Okky masih dengan senyumannya yang mulai terasa menyebalkan bagi Sistien. “Alasannya sederhana… karena hari ini partner gue ulang tahun…”.
    Terdengar suara sorakan dan tepuk tangan anak-anak yang ada diseluruh hall.
    Mendadak semua tatapan tertuju kepada Sistien.
    Dan cewek itu memerah wajahnya. Seharusnya dia sudah tahu. Seharusnya ia sudah sadar kalau Okky akan membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Tapi Sistien tidak menyangka kalau seperti ini jadinya. Tahun lalu Okky menyanyi di depan kelas, sekarang menyanyi di depan sekolah. Tahun depan, ia rasa cowok itu akan menyanyi di depan kelurahan.
    “Dan untuk merayakan ulang tahunnya, gue akan menyanyikan satu lagu untuknya… so, please enjoy it…”.
    Okky pun mulai menyanyi dengan suaranya yang pas-pasan.
    Tapi entah kenapa, bagi Sistien suara itu terdengar merdu di kedua telinganya.

    Lying in my bed I hear the clock tickin’, and think of you
    Caught up in circles, confusion is nothing new

    Flashback, warm nights, almost left behind
    Suitcases of memories, time after

    Sometimes you picture me, I'm walking too far ahead
    You're calling to me, I can't hear what you've said

    Then you say, go slow, I fall behind
    The second hand unwinds

    If you're lost, you can look, and you will find me, time after time
    If you fall, I will catch you, I'll be waiting, time after time
    After my picture fades and, darkness has turned to gray
    Watching through windows, I’m wondering if you’re OK

    Secrets, stolen, from deep inside
    The drum beats out of time


    Sistien terdiam.
    Entah kenapa tiba-tiba bulu kuduknya berdiri ketika mendengar Okky menyanyikan lagu itu. Itu adalah lagunya Eva Cassidy yang berjudul Time After Time. Tapi bagi Sistien saat itu, Okky bukan hanya sekedar membawakan lagu itu. Tapi seakan-akan dia sedang berbicara dengannya lewat lagu itu.
    Ia merasakan setiap liriknya ditujukkan kepadanya.
    Tanpa disadari ia merasakan pandangannya menjadi kabur. Kedua matanya telah berkaca-kaca. Dan ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya agar tidak jatuh. Ia tak dapat membayangkan apa yang bakal diledekkan kepadanya kalau mereka tahu dirinya menangis.
    Suara tepuk tangan memenuhi seluruh hall.
    Okky berhasil membawakannya dengan baik.
    “LAGI !”, seru Rex lantang. Dan beberapa saat pun seluruh anak yang ada di hall menyuruhnya untuk bernyanyi lagi. Okky menatap Sistien, tatapannya seakan-akan meminta persetujuan. Sistien pun mengangguk. Ia juga ingin Okky menyanyikan satu lagu lagi untuknya.
    “Baiklah-baiklah… ini lagu kedua… dan tetap gue nyanyikan untuk partner gue, Sistien…”, ujar Okky diikuti suara tepuk tangan.

    I'll be your dream, I'll be your wish, I'll be your fantasy
    I'll be your hope, I'll be your love, Be everything that you need
    I love you more with every breath, Truly madly deeply do
    I will be strong, I will be faithful, 'Cos I'm counting on

    A new beginning, A reason for living, A deeper meaning

    I want to stand with you on a mountain. I want to bathe with you in the sea
    I want to lay like this forever. Until the sky falls down on me

    And when the stars are shining brightly in the velvet sky
    I'll make a wish, Send it to heaven, Then make you want to cry
    The tears of joy, For all the pleasure and the certainty
    That we're surrounded, By the comfort and protection of

    The highest power, In lonely hours, The tears devour you

    Oh can't you see it baby, You don't have to close your eyes
    'Cos it's standing right before you, All that you need will surely come

    “Dari mana aja sih !”, seru Sistien.
    Ketika itu mereka berdua sedang berada di atas atap.
    Setelah Okky selesai menyanyi, ia segera menculik Sistien dan membawanya ke atas sana.
    “Kamu tuh yah ! udah bikin aku khawatir terus seenaknya tiba-tiba muncul gak pake basa-basi !”, lanjut Sistien. Dicemberutin seperti itu, Okky hanya pasrah sambil senyum-senyum kecut. Sistien pun makin sebal dengan senyumannya itu. Dikembungkan kedua pipinya sambil melipat tangan defensif, itu ciri khas Sistien kalo lagi cemberut.
    Anehnya, hal itu justru membuat Okky merasa gemas bukannya takut.
    “Met ultah, Sistien !”, ujar Okky tak menghiraukan demo ngambeknya Sistien.
    “Huh ! telat ! yang lainnya udah ngucapin duluan tau !”, balas Sistien jutek.
    “Gak papa… tapi kan yang lainnya gak pake nyanyi kayak aku…”, ujar Okky membela diri. Sistien terdiam. Ia tak bisa membalas argumen itu. Dipandangnya cowok itu, “kenapa milih Time After Time sih ?”, tanyanya penasaran.
    Okky pun menyanyikan lagu itu bagian chorus-nya, “If you're lost, you can look, and you will find me, time after time. If you fall, I will catch you, I'll be waiting, time after time. Elo tau makna dari kalimatnya ?”.
    Sistien menggeleng. “Coba beri tahu aku ?”, tanyanya. Sebenarnya, ia sudah tahu maknanya. Hanya saja ia ingin mendengarnya langsung dari mulut Okky.
    “Jadi gini…”, Okky mulai mencoba menjelaskan, “intinya dari kalimat pertama, kalo kamu sedang ‘tersesat’, aku pasti selalu ada disekitar kamu. Dan dari kalimat kedua, kalo kamu lagi ‘jatuh’, aku pasti akan selalu ‘menangkap’ kamu…”.
    Sistien tersenyum.
    “Oia, Sipao… ngomong-ngomong…”, lanjut Okky sambil merogoh tasnya, lalu ia mengeluarkan kado berbentuk kotak, “ini ada kado buat kamu… semoga suka yah…”. Sistien menerimanya, “boleh langsung dibuka ?”.
    Okky mengangguk.
    Sistien pun langsung membukanya. Didalamnya terdapat sebuah kalung bertuliskan namanya yang terbuat dari perak. Secara keseluruhan, kalung itu berbentuk sederhana. Tapi bagi Sistien, kalung itu jauh dari kata sederhana.
    “Wah ! bagus banget ! makasih, yah !”, serunya antusias.
    Okky tersenyum senang melihat reaksi Sistien. “Dipake yah !”.
    “Sure ! I will…”.

    ***
     
  17. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 23 Desember 2006
    16:05 WIB

    Okky terdiam sejenak.
    Ditatapnya rumah yang berada dihadapannya itu.
    Tak ada yang berubah darinya. Semuanya hampir persis sama dengan apa yang ada diingatannya. Dahulu ia sering sekali main ke rumah itu. Setiap pulang sekolah, ia pasti mampir sebentar. Setiap mengerjakan tugas kelompok sekolah, pasti ia melakukannya di rumah itu. Dan setiap dirinya ingin pergi jalan-jalan, ia pasti menjemput seseorang dulu di rumah itu.
    Ya, rumah itu adalah rumah Sistien.
    Baginya, rumah Sistien sudah seperti rumahnya sendiri.
    Keluarganya pun sudah mengenalnya dengan baik.
    Selama bertahun-tahun, ia sudah menjadi bagian dari rumah itu.
    Tapi entah kenapa saat ini ia merasa tak dapat memasukinya. Ada sesuatu yang menghalangi langkah kakinya. Rasanya begitu berat dan menyesakkan dada. Seakan-akan rumah itu menolak dirinya, tak menginginkan kehadirannya di dalam sana.
    Okky menghela nafas.
    Sepertinya ia tahu apa yang menyebabkan semua itu.
    Ada perasaan bersalah dari dalam dirinya terhadap Sistien.
    Ia sadar, selama setahun belakangan, ia praktis tidak menghubungi Sistien sama sekali. Tidak menelpon, tidak chatting, tidak kirim email, bahkan tidak mengirim SMS sama sekali. Ia tahu pasti Sistien menunggu kabarnya setiap saat. Pasti dia merasa kecewa karena tak mendapatkannya. Merasa sakit karena telah diabaikan, terlebih oleh partner-nya yang selalu mendampinginya selama kurang lebih 9 tahun. Dan semuanya itu akan menghasilkan kemarahan terhadapnya.
    Okky kembali menghela nafas.
    Sebenarnya ada alasan kenapa dia tidak menghubungin Sistien sama sekali. Tapi rasanya Sistien akan susah untuk menerimanya. Kadang, ketika wanita sedang marah, logikanya akan hilang sama sekali. Mereka lebih menggunakan perasaan dari pada akal sehat.
    Tapi walau bagaimana pun, apa ia akan diterima atau ditolak, apapun hasilnya nanti, ia harus menemui Sistien dan meminta maaf.

    Okky pun segera melangkahkan kakinya memasuki rumah itu. Membuka pagar hitamnya lalu menekan bel di pintu utamanya. Beberapa menit kemudian terdengar suara langkah seseorang dari dalam rumah. Semakin dekat suara langkah itu, semakin berdebar detak jantungnya. Lalu pintu dibuka dan terlihat ibu Sistien di baliknya.
    Okky tersenyum kepadanya.
    “Sore tante… udah lama gak ketemu…”.
    Mama Sistien menatapnya kaget, “Okky ! ya, ampun ! masuk, yuk, masuk…”.
    Okky pun segera masuk. Mereka berdua duduk di ruang tamu. “Udah lama banget yah sejak kamu terakhir kesini… kalo gak salah 2 tahun yang lalu yah ? gimana kabarnya sekarang ?”, ujar Mama Sistien antusias.
    Okky tertawa kecil. “Baik-baik aja, tante… tante sendiri dan keluarga gimana ? baik-baik aja ?”, Okky balas bertanya. “Baik-baik aja, kok. Tapi…”, Mama Sistien terdiam. Ada perubahan ekspresi di wajahnya, ada kekhawatiran yang terkandung di dalamnya, “dalam setahun belakangan ini, Sistien jadi sering pingsan…”.
    Okky menatapnya kaget. Ia terdiam.
    “Dalam setahun ini, dia selalu terlihat murung. Seperti ada sesuatu yang dipikirinnya. Tante udah mencoba menanyakannya, tapi dia selalu bilang gak papa. Dan, yah… selain sering pingsan, ia juga sering mengeluh pusing. Wajahnya selalu terlihat pucat. Tante sudah sering menyuruhnya untuk istirahat, tapi ia selalu menolak. Bahkan Sistien sering banget pulang malam akibat lembur kerja…”.
    “Mmh… tante…”, gumam Okky, “dalam sebulan terakhir ini, Sistien udah berapa kali pingsan ?”. Di otaknya saat itu sudah dipenuhi oleh banyak pertanyaan yang membuatnya khawatir tentang keadaan Sistien. “Aduh… sudah berapa kali yah… tunggu sebentar, yah… kayaknya sih udah 7 atau 8 kali, gitu…”, ujar Mama Sistien berusaha mengingat-ingat.
    Okky terdiam.
    Ia merasa dirinya lah yang menyebabkan keadaan Sistien sekarang. Salah satu penyebab penyakit yang susah untuk dihindarkan adalah psikis. Kondisi emosional seseorang mempengaruhi kesehatan orang tersebut. Dan dalam hal ini, dirinya yang menjadi penyebab utama terjadi gangguan psikis Sistien yang membebankan tubuhnya.
    “Saya boleh ketemu Sistien, tante ?”, tanya Okky hati-hati.
    “Ya, ampun ! kamu kayak orang lainnya aja, mau ketemu Sistien harus minta izin dulu…”, ujar Mama Sistien tersenyum simpul, “tante udah tau pasti kedatangan kamu kesini untuk ketemu Sistien, tapi sayangnya, Sistien lagi gak ada di rumah tuh… tadi siang dia pergi entah kemana, katanya mau ketemu sahabat lama”.
    Ada perasaan lega sekaligus kecewa di hati Okky.
    Tapi ia tak tahu harus berpihak ke mana.
    Tunggu ! mau ketemu sahabat lama…
    Jangan-jangan ketemu Tanya…
    Berarti saat ini Tanya ada di Jakarta.

    Sekitar 15 menit kemudian, dia sudah kembali berada di mobil yang terparkir di seberang rumah Sistien. Diambilnya HP kemudian menekan nomor Rex. Pada deringan ke lima, Rex mengangkatnya. “Yo ! ada apa, Ky ?”.
    “Gue baru aja dari rumah Sistien…”.
    “Oh, ya !? bagus lah ! gimana hasilnya ?”, seru Rex antusias.
    “Gue gak ketemu Sistien. Kata nyokapnya dia pergi dari tadi siang, mau ketemu sahabat lamanya…”, jawab Okky.
    Rex terdiam. Tak ada sahutan di ujung sana.
    Okky tahu apa yang menyebabkan Rex terdiam.
    “Apa mungkin… Tanya udah ada di Jakarta saat ini ?”, ujar Okky dengan hati-hati.
    Terdengar suara helaan nafas dari speaker HP. “Entahlah… gue rasa begitu… siapa lagi sahabat lama Sistien selain dia…”, ujar Rex. Ada perubahan intonasi suara darinya.
    “Rex… kayaknya saat ini kita mempunyai masalah yang sama…”.
    Terdengar suara tawa yang dipaksakan.
    “Yeah… We have…”.

    ***
     
  18. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Minggu, 17 Agustus 1997
    14:55 WIB

    Beberapa menit yang lalu matahari masih bersinar dengan cahayanya yang kemilau. Panas yang menyengat juga masih terasa dipermukaan kulitnya. Tapi saat ini, sekumpulan awan hitam mulai terlihat di langit sebelah Barat. Bergerak mendekat dengan perlahan namun pasti dan mulai mendominasi angkasa. Menghalangi sinar matahari yang terus bersinar berusaha menembus ketebalannya. Namun hal itu sia-sia.
    Awan hitam itu akan segera menggantikan sang mentari duduk di singgasananya.

    Bayu melirik ke arah Okky yang berada tak jauh darinya. Berlari mendekati ring dengan cepat. Terlihat 2 orang mengikutinya di belakang, berusaha untuk menghalangi lajunya. Okky melambaikan tangannya. Ia sudah siap.
    Bayu pun segera berlari mendekati Okky sambil men-dribble bola. 1 orang yang menghalanginya berhasil dilewati. Jaraknya pun dengan Okky semakin mendekat. Pandangan Bayu tak lepas dari cowok itu. Ia pun segera mengoper bola ke samping kirinya.
    Okky terus berlari.
    Rex menangkap bola itu.
    1 orang segera berlari mendekatinya. Mencoba menghalanginya.
    Rex berhasil menghindarinya. Ia berlari secepat kilat mendekati ring. Rex dan Okky berpaspasan, Okky terus berlari melewati batas garis three point sedangkan Rex terus mendekati ring. Beberapa saat kemudian, Rex melempar bola sekuat tenaga ke ring. Bola itu jauh melewati ring, menabrak papan ring dan terpantul jauh menjauhi zona bawah ring.
    Bola itu melesat menuju ke arah Okky. Sesuai dengan perkiraannya.
    Okky menangkapnya. Posisinya sudah siap untuk melempar. 2 orang berusaha menghalanginya, tapi mereka telat. Okky sudah melempar bola duluan ke ring. Wasit membuat gestur three point dengan tangan kanannya. Dan…
    Bola itu masuk dengan mulusnya ke dalam ring.
    Diikuti oleh suara peluit beberapa saat kemudian. Menandakan pertandingan sudah berakhir. Sekolah mereka menang tipis, hanya beda 1 angka. Tapi walau bagaimanapun, menang tetap saja menang.
    Okky mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Merayakan kemenangannya. Rex dan Bayu berlari kearahnya. Mereka pun segera memeluknya. PE menghampiri mereka dari kursi penonton dan membasahi mereka dengan air dingin. Sedangkan Iman, segera memberikan handuk kepada mereka. Sistien terlihat bertepuk tangan dengan antusias. Wajahnya terlihat senang berseri-seri. Disampingnya, Tanya juga bertepuk tangan dengan senyuman simpulnya.

    Dengan berakhirnya pertandingan basket, maka berakhir pula White In Grey Fair. Untuk basket, sekolah mereka juara pertama. Namun nasib untuk sepak bola tak sebaik basket, mereka hanya menjadi juara 3. Itu gara-gara kaki Iman keseleo saat di tackle oleh lawan di babak semifinal. Akibatnya dia tak bisa bermain dan tim mereka kalah.
    Di cabang badminton, mereka juara 2.
    Sedangkan untuk voli mereka tidak mendapat juara.
    Mereka kembali mendapatkan juara 1 di cabang lari estafet.
    Untuk Tanya sendiri, tim paskibranya memenangkan juara pertama. Dan pagi tadi, tim sekolah mereka mendapatkan penghargaan untuk mengibarkan bendera saat upacara bendera di kantor dinas pendidikan dan kebudayaan.

    Sore harinya, mereka semua sudah berada di Clover Leaf seperti biasanya. Begitu juga dengan Tanya. Entah sejak kapan tepatnya, ia mulai terbawa arus mengikuti 5 makhluk aneh itu. Yang pasti awalnya akibat ajakan Sistien. Namun, yang membuat dirinya betah, karena ia mulai merasa nyaman berada diantara mereka.
    Dengan mereka, ia tak mendapatkan perasaan saat dirinya berada di lingkungan sekolah.
    Bersama mereka, ia merasa seperti murid cewek lainnya. Bukan seorang primadona yang selalu dielu-elukan dan diidolakan. Bukan seorang yang selalu dikerubutin oleh para cowok yang mencoba mendekatinya atau menarik perhatiannya. Bukan seorang yang selalu dipandang nomer satu dan selalu bisa diandalkan. Juga bukan seorang yang sempurna dan bisa melakukan apa saja.
    Bersama mereka, ia merasa menjadi seorang Tanya.
    Ia merasa menjadi diri sendiri dengan segala kekurangan.
    Dan dengan mereka, ia mulai dapat meruntuhkan dinding yang membatasi dirinya dengan dunia luar secara perlahan-lahan.

    Diantara mereka juga terlihat Evy.
    Karena Evy dan Sistien adalah teman satu SD dan pernah beberapa kali satu kelas, maka dia tidak terlalu canggung dengan kehadirannya. Karena ada Sistien bersamanya. Selain itu ia juga semakin akrab dengan Bayu walau masih dalam tahap hubungan teman. Ia pun mulai membuka dirinya dengan 4 makhluk lainnya. Walau awalnya ia merasa aneh dengan mereka. Tapi akhirnya dia dapat melihata ada sesuatu yang lain dari diri mereka masing-masing.
    Dengan demikian. Kini jumlah kelompok mereka semakin bertambah.
    5 cowok dan 3 cewek. Dan itu membuat Rex dan PE merasa senang. Karena selama ini pergaulan mereka hanya sebatas cowok saja. Satu-satunya cewek yang dekat dengan mereka hanya lah Sistien. Dan dia juga sudah kepunyaan Okky.

    Rex mengangkat gelasnya yang berisi Snow Ball tinggi-tinggi sambil berdiri dari kursinya. “Untuk tim basket dan paskibra… selamat atas kemenangannya sebagai juara pertama !”, serunya. Semuanya mengikuti gerakannya, mengangkat tinggi-tinggi gelas mereka masing-masing. “CHEERRRSSS !!!”, seru semuanya.
    Mereka pun segera meneguk isi gelasnya masing-masing.
    Beberapa saat kemudian, Rex kembali mengangkat gelasnya kembali. “Dan untuk tim bola… selamat atas kemenangannya sebagai juara ketiga !!!”. Mereka semua kembali mengikuti gerakan Rex dan kembali menegaknya.

    Rex kembali duduk.
    Diliriknya Tanya yang duduk dihadapannya. Cewek itu masih mengenakan seragam paskibra lengkap dengan syal merah yang melingkar di lehernya. Baginya, Tanya terlihat elegan dengan seragam itu. Sejujurnya, Tanya selalu terlihat bagus mengenakan pakaian apapun.
    Ia sedang menikmati makanannya, ketika angin dingin berhembus kencang. Tanya segera menahan rambutnya agar tidak berkibar-kibar. Ditatapnya arah hembusan angin itu, disana hanya ada kemilau emas dari cahaya matahari terbenam. Sepintas kemudian pandangannya terpaku pada Okky yang berada disamping Rex. Cowok itu terlihat sedang asyik berbicara dengan Sistien yang duduk dihadapannya.
    “Kamu tau bahasa latinnya matahari terbenam apa ?”, Tanya mendengar Okky bertanya ke Sistien. Sistien menggeleng sambil menyuapkan irisan apple pie bertabur madu ke mulutnya. “Occasus…”, potong Rex tiba-tiba.
    Okky dan Sistien serempak memandangnya takjub.
    “Kok lo bisa tau ?”, tanya Okky penasaran. Rex mendengus, “ya gimana gak tau kalo dulu elo sering banget cerita tentang si kutu kecil dan matahari terbenam…”. Tanya diam-diam melirik Rex, sesungguhnya ia mulai tertarik dengan pembicaraan mereka.
    “Si kutu kecil dan matahari terbenam ?”, beo Evy yang juga mendengar pembicaraan mereka. Bayu mengangguk, “iya… si maniak sunset ini…”, Bayu menunjuk Okky, “dulu sering banget nyeritain tuh dongeng… ampe bosen gue dengernya…”.
    “Wah ! aku gak nyangka ada orang lain yang juga tau dongeng itu !”, seru Evy antusias.
    “Elo tau ?”, tanya Bayu bingung. Evy mengangguk cepat.
    “Suka ?”, tanya Bayu lagi. Evy kembali mengangguk.
    “Ah-ah-ah !!! akhirnya ada juga orang yang tau betapa bagusnya dongeng itu !”, seru Okky senang sambil menunjuk Evy dengan garpunya. Bayu segera menghindar agar tak tertusuk garpu. “Bagian mananya sih yang menarik dari dongeng itu ?”, Bayu melanjutkan dengan nada bingung.
    “Kutu yang bisa berbicara…”, jawab PE tiba-tiba.
    “Kutil !”, balas Rex, “jawaban ditolak karena tidak relevan…”.
    “Ah ! gue tau !”, kini Iman yang berseru. Semua menatap Iman.
    “Apa ?”.
    “Kutu kecil yang yatim piatu dan tinggal dengan kakeknya…”.
    “Lompat aja lo ke jurang !”, seru Rex lagi yang kembali dikecewakan oleh jawaban makhluk berintelejensi rendah lainnya.
    Sistien menatap Okky. “Ceritain donk ! aku jadi penasaran nih…”. Okky tersenyum simpul, “ok-ok… dengerin yah baik-baik…”, Okky menghentikan ucapannya untuk berdeham. Semuanya segera mendengarkan dengan khusyuk, termasuk Tanya.

    Ada seorang kutu kecil yang tidak punya ayah dan ibu, dia hanya tinggal bersama kakeknya. kutu kecil itu sangat mengagumi matahari, setiap hari ia selalu menatap matahari terbenam di Barat, selalu seperti itu setiap hari. Suatu hari ia bertanya pada kakeknya ”kakek kenapa matahari tenggelam di Barat?”. Kakeknya hanya terpana dan terdiam mendengar pertanyaan cucunya, sebelum ia menjawab, kutu kecil itu telah pergi dari hadapan kakeknya

    Keesokan harinya kutu kecil tetap menatap matahari terbenam di Barat, setelah menyaksikan terbenam matahari ia kembali menghampiri kakeknya dan bertanya , “kenapa matahari selalu tenggelam di Barat, kek?”. Dan kakeknya tidak menjawab, ia hanya memandang kutu kecil dengan sedih dan sebelum sempat ia berkata apapun kutu kecil sudah pergi.

    Sejak saat itu kutu kecil berhenti dari kebiasaannya menyaksikan matahari terbenam di Barat, sang kakek mengira si kutu kecil cuma bosan, namun hal itu berlangsung terus sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, sebulan, dua bulan dan seterusnya. Hingga suatu hari si kakek mendatangi cucunya, duduk disebelah kutu kecil dan merangkul pundaknya lalu bertanya‘“cucuku kenapa kamu tak lagi menyaksikan matahari terbenam seperti yang sering kamu lakukan ?”. Si kutu kecil cuma menggeleng sedih dan bertanya,” kenapa matahari selalu tenggelam di Barat ?”. Kakeknya tersenyum, ia tidak menjawab tapi malah balik bertanya, ”kenapa harus matahari sayang ? kenapa tidak bulan ?”. “Bulan itu tidak menarik kakek, ia cuma benda mati tanpa pijar, dan hanya berputar-putar saja tanpa makna”, si kutu kecil menjawab pertanyaan kakeknya dengan lugu.
    “Lalu bagaimana dengan bintang ?”.
    “Bintang cantik sekali, seperti perhiasan dilangit malam, tapi sayang ia terlihat sombong, aku tak suka”.

    Kakeknya tersenyum, ”lalu kenapa kamu berhenti melihat matahari terbenam ?”. Si kutu kecil menjawab dengan sedih, “itu karena aku tak tahu kenapa matahari tenggelam di Barat, kakek”. Kakeknya menghela napas panjang, lalu berkata, ”apa kau sayang ibumu?”. Kutu kecil menjawab, ”sayang sekali”.
    “Kenapa kau sayang ibumu, nak ?”.
    “Karena dia ibuku”.
    Sang kakek tersenyum, lalu bertanya lagi, ”kau rindu ayahmu ?”.
    “Sangat rindu”, jawab kutu kecil lirih.
    “Kenapa kau merindukannya ?”.
    “Karena ia ayahku”.

    Sang kakek kembali tersenyum, ditatapnya cucu kecilnya lalu bertanya, ”maukah kamu memelukku ?”. “Tentu saja”, jawab kutu kecil sambil memeluk kakeknya. “Kenapa kau memelukku ?”, tanya sang kakek. “Karena kau kakekku,” jawab kutu kecil.

    Lalu kakeknya tertawa dan berkata “sama saat kamu bertanya tentang matahari sayang, dan kakek tak bisa menjawabnya, karena tak semua pertanyaan memiliki jawaban”. Lalu kakeknya menambahkan “ada kalanya pertanyaan harus dibiarkan jadi pertanyaan, seperti saat kakek tanya, apa kamu sayang pada ibumu ? apa kamu sayang hanya karena dia ibumu ? Saat kamu bertanya kenapa matahari terbenam di Barat dan pertanyaan itu tak terjawab bukan berarti setelah itu kau harus berhenti menyaksikan matahari kan ?”. Kutu kecil tersenyum.
    “Mengapa kau begitu menyukai matahari ?”, tanya kakeknya. “Karena matahari begitu hebat dan hangat”, si kutu kecil menjawab antusias. Sang kakek tertawa, ” lalu apa karena pertanyaanmu mengenai matahari tak ada jawabannya apa itu lantas membuat matahari jadi tak hebat dan dingin sehingga kau melewatkan kesempatan untuk menyaksikannya ?”. “ Tidak kakek, matahari akan tetap hebat dan hangat”, jawab si kutu kecil. “Jadi apa besok kau akan melewatkan matahari lagi ?”. “Tidak akan kakek, tidak akan pernah lagi”.

    Hingga akhirnya ia menikah dan punya anak, ia mengajak anaknya mengaggumi matahari yang tenggelam di Barat. Hingga suatu hari si anak bertanya padanya, ”kenapa kita melakukan ini ayah ?”. Ayahnya tersenyum dan menjawab, ”wah sepertinya pertanyaan itu belum ada jawabannya, yuk kita cari bersama”. Si anak menjawab dengan bersemangat, ”ayo”.
    “Tapi kau tahu kan jika ayah sayang padamu ?”. Si anak tertawa lucu,” tentu saja, ayah kan ayahku”.


    Okky selesai mendongeng.
    Semuanya masih terdiam mendengarkan.
    “Gue rasa, gue tau apa yang menarik dari dongeng ini…”, gumam Tanya memecah keheningan. Kini semuanya menatap Tanya. Tanya mengangkat kedua alisnya, “perkataan si kakek kutu lah yang menarik… tak semua pertanyaan mempunyai jawaban… ada kalanya pertanyaan harus dibiarkan menjadi pertanyaan… dan walaupun kita tak mendapatkan jawaban dari pertanyaan kita, lantas bukan jadi alasan untuk kita berhenti melakukannya…”, Tanya mengutip kata-kata dari dongeng itu.
    Evy mengangguk setuju.
    “Bener-bener ! aku suka banget kalimat itu… maknanya dalem banget…”, ujar Evy antusias. Bayu meliriknya kemudian mengangguk-angguk kecil. Sedangkan yang lainnya bergumam tidak jelas sambil kembali menikmati makanannya masing-masing.
    Untuk Sistien sendiri, ia menatap Okky lekat-lekat. “Terus ? hubungannya ma Occasus ?”.
    Okky tersenyum kecut. “Huruf pertamanya sama kayak nama pertamaku, selain diambil dari bulan ku lahir, juga diambil dari kata Occasus loh !”.
    Sistien menghela nafas sambil menarik kedua sudut bibirnya dan mengangkat bola matanya ke atas. Gerakan khasnya apabila sedang kesal atau menghadapi sesuatu yang tak diharapkannya. Iapun segera menyuapkan sepotong pie-nya ke mulut Okky dengan gemas.

    Tanya melihatnya.
    Ia pun mengalihkan pandangannya menuju pemadangan di sisi kanannya.
    Sinar emas mentari masih menghiasi di ujung Barat sana. Sedangkan langit sudah berwarna merah tua. Angin dingin masih tetap berhembus. Mengibarkan setiap helaian rambutnya.
    Tak semua pertanyaan memiliki jawaban…
    Entah kenapa ia mulai menyukai kalimat itu.
    Kadang ada sesuatu yang lebih baik ketika kita tak mengetahui jawabannya.
    Kadang lebih baik kita tak mengetahui daripada mengetahuinya.
    Kadang kita melakukan sesuatu yang bila ditanya oleh seseorang, kita tak dapat menjawabnya. Kenapa kita melakukannya. Dan alasan apa kita melakukannya.

    Tiba-tiba terdengar suara deringan HP Tanya.
    Ia segera meraihnya dan menatap layar LCD HP-nya. Tertera tulisan ‘mom’ di layar LCD, ia pun segera menjawabnya. “Iya, Mom ?”, tanya Tanya setengah berbisik.
    “Mama udah selesai nih, sekarang dalam perjalanan pulang. Kamu mau dijemput dimana sayang ?”, terdengar suara Mamanya dari balik speaker HP. Tanya terdiam untuk sesaat. Lalu pandangannya menyapu ke teman-temannya disampingnya. Mereka terlihat begitu menikmati acara makan sore itu sambil merayakan kemenangan mereka. Pandangannya beralih ke pemadangan di sisi yang berlawanan. Kalo boleh jujur, ia ingin lebih lama lagi menikmati saat-saat seperti ini. Berkumpul dengan teman-temannya sambil menikmati indahnya matahari tenggelam. Kegiatan yang tak pernah dilakukannya sebelumnya.
    “Tanya gak usah dijemput deh, Mom…”, jawab Tanya akhirnya.
    “Loh…”, terdengar nada heran Mamanya. Namun beberapa saat kemudian nada itu berubah, “Ah ! I get it… okay, jangan malam-malam pulangnya yah, sayang…”.
    “Tentu saja, Mom… Love you, Mom…”, ujar Tanya sambil tersenyum senang.
    “Love you too, sweet heart…”, balas Mamanya.
    Tanya mematikan HP-nya dan memasukkan kembali ke dalam tas. Lalu ia melanjutkan menyantap makanannya yang tertunda. Diliriknya kembali teman-teman disampingnya. Sistien baru saja menyeka mulut Okky yang belepotan dengan selai apel pie-nya. Sedangkan Bayu sedang membahas sesuatu dengan Evy. Iman dan PE masih asyik berandai apa yang akan terjadi apabila kaki Iman tidak keseleo. Untuk Rex sendiri, ia masih terpaku dengan matahari terbenam sambil terus menyeruput Snowball-nya.
    Tanya agak lama menatap cowok itu.
    Entah kenapa, kadang ia merasa aneh terhadap cowok itu.
    Ada sesuatu yang membuatnya merasa penasaran dengannya. Tiba-tiba ingatannya kembali ke hari pertama kali ia masuk SMU. Hari yang sama dengan hari pertama kali ia bertemu dengan Rex. Saat itu pandangan mereka saling bertemu. Dan walau dirinya baru pertama kali bertemu dengannya, dari pandangannya ia tahu kalau cowok itu mempunyai sesuatu yang menarik perhatiannya. Meskipun sampai saat ini ia juga belum tahu apa itu.

    “Elo tau kenapa Okky selalu menceritakan dongeng itu ?”, tiba-tiba Rex berujar. Dan sepertinya pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Tanya segera menatapnya sambil menaikkan kedua alisnya. Rex pun membalas menatapnya.
    “Karena setiap kami menanyakan alasan kenapa ia menyukai sunset, ia tak pernah bisa menjawabnya…”, ujar Rex menjawabnya pertanyaannya sendiri, “tak semua orang tahu alasan kenapa ia menyukai sesuatu hal… yang mereka tahu hanya mereka menyukainya…”.
    Tanya terdiam. Ia rasa ia tahu maksudnya. “Seperti ketika kau ditanya kenapa kau menyukai seseorang… kau tak akan bisa menjawab alasan yang sebenarnya, seperti itu kah ?”, gumam Tanya. Rex mengangguk setuju, “Yeah… more or less…”.

    Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 6 sore. Namun anehnya, keadaan langit diluar masih terang. Langit jingga masih memenuhi cakrawala dengan sinar keemasannya di ufuk Barat sana. Kadang dari kejauhan terdengar suara burung berkoak. Sejujurnya, pemandangan itu masih merayu untuk ditatap. Namun mereka harus segera pulang.
    Gara-gara kakinya yang cedera, Iman yang biasanya bawa motor, terpaksa pulang sama Bayu menggunakan mobil. Sedangkan Bayu sendiri sebelum pulang harus mengantarkan Evy terlebih dahulu. Ini pertama kalinya ia mengantarkan cewek idamannya itu pulang ke rumahnya.
    Dan sejujurnya, entah kenapa ia merasa sangat gugup. Keberadaan Iman cukup membantunya menenangkan diri.
    Sedangkan PE yang biasa nebeng Iman bertugas membawa motor Iman.
    Okky yang juga membawa motor, seperti biasa, selalu pulang mengantarkan Sistien terlebih dahulu. Itulah kegiatannya sehari-hari. Setiap pulang sekolah ia selalu mengantarkan Sistien. Biasanya mereka jalan-jalan keliling kota dulu sebelum sampai rumah Sistien. Bila berangkat sekolah, kalau tidak nebeng dengan Papanya, Sistien dijemput oleh Okky.

    Setelah semuanya pergi dan mulai menghilang dari pandangannya, Rex segera menyalakan motor bututnya. Honda CB 100 warisan Papanya. Motor itu adalah motor kesayangannya walau selalu merepotkannya. Baginya, motor itu satu-satunya kenang-kenangan dari Papanya.
    Setelah berjalan beberapa meter, pandangannya menatap sosok yang sangat dikenalnya. Tanya. Cewek itu sedang berdiri seorang diri di taman yang berada tepat di depan café Clover Leaf. Diliputi rasa penasaran, iapun memberanikan diri untuk mengarahkan motornya mendekati cewek itu.
    Tanya menangkap pandangan cowok yang sedang mendekatinya dengan motor. Iapun siap-siap memasang wajah juteknya sebelum akhirnya sadar kalau cowok itu adalah Rex.
    “Lo belum pulang ?”, tanya Rex ketika sudah berada tepat dihadapannya.
    Tanya menatapnya kemudian menggeleng.
    “Nunggu dijemput supir lo yah ?”, lanjut Rex lagi.
    Tanya menaikkan kedua alisnya.
    “Gue sering liat elo dijemput setiap pulang sekolah…”, Rex menjawab buru-buru ketika dipandang seperti itu. Tatapan Tanya dengan menaikkan kedua alisnya adalah ciri khasnya bila ia sedang meminta penjelasan. Dan hasilnya cukup mengerikan bila ia tidak segera mendapatkan penjelasannya itu. Minimal dijutekin dengan kata-kata yang cukup pedas.
    Tanya pun mengangguk kecil.
    “Sebenarnya, gue enggak nunggu dijemput kok…”, ujar Tanya mengaku. Kini giliran Rex yang menatap dengan pandangan meminta penjelasan. “Karena udah kesorean, gue gak dijemput supir. Pak Dirman jemput Papa”, Tanya menyebutkan nama supirnya.
    “Terus lo sekarang lagi nunggu umum ?”.
    Tanya kembali mengangguk.
    “Pernah naik umum sebelumnya ?”.
    Tanya membisu.
    Rex pun mengerti arti kebisuan itu. Iapun menepuk-nepuk jok motor belakangnya. “Gak keberatan kan kalo gue anter elo pulang ?”. Tanya menatapnya bergantian ke motornya tanpa bergeming. “Yah… maksud gue, dari pada elo naik umum, kan lebih baik ada yang nganterin…”, lanjut Rex. Tanya tetap membisu. “Tapi itu kalo elo gak keberatan loh !”, Rex cepat-cepat menambahkan.
    “Gue… belum pernah naik motor sebelumnya…”, gumam Tanya akhirnya.
    Rex terdiam sesaat. Kemudian menghela nafas lega. Ia kira diamnya Tanya barusan karena tersinggung atau marah. “Semuanya selalu ada untuk pertama kali, bukan ?”, ujar Rex meminta persetujuan, “tenang aja. Gue gak akan ngebut kok, toh motor tua ini…”, lanjutnya sambil senyum cengengesan.
    Setelah diam beberapa saat untuk menimbang-nimbang, akhirnya Tanya mengangguk setuju. Iapun segera naik dengan posisi duduk menyamping. “Pegangan yang kuat yah !”, seru Rex memperingatkan sebelum akhirnya ia menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.

    Yang ada di otak kedua insan saat itu adalah rasa tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Rex tidak percaya kalau Tanya, cewek primadona sekolah, sedang duduk dibelakangnya. Berdua naik motor, mengantarkannya pulang. Kalau saja semua cowok tahu apa yang sedang terjadi, ia pasti habis di cincang oleh mereka semua. Sedangkan Tanya tak percaya dengan apa yang dilakukannya. Ia tak percaya kalau dia baru saja menerima tawaran cowok itu mengantarkannya ke rumah, naik motor lagi. Ia tak percaya kalau dirinya tidak dapat menolak tawaran cowok itu. Dan ia tak percaya kalau semua ini adalah hal yang benar-benar pertama kali baginya sepanjang hidupnya.

    Mereka terus melaju membelah jalanan utama kota. Hembusan angin secara konstan terus menyapu lembut dirinya dan menerbangkan setiap helaian rambutnya.
    Inikah rasanya naik motor.
    Benar-benar berbeda dibandingkan saat ia naik mobil.
    Ia mulai menyukai ketika angin berhembus melewati dirinya. Saat itu, seakan-akan ia merasa bebas. Ia merasa seakan-akan sedang terbang diantara angin-angin yang berhembus itu. Dipandangnya mentari yang perlahan-lahan terbenam disebelah kirinya. Kini mentari itu menyinari dirinya dengan sinar emasnya. Seperti spotlight yang ada di panggung drama. Dengan dirinya sebagai tokoh utamanya.
    Siluet gedung-gedung yang berdiri dengan megahnya diantara mereka memberikan kesan tersendiri baginya. Begitu juga dengan lambaian pohon-pohon yang tumbuh menjulang dipinggir jalan. Pandangan yang biasa ia lihat sehari-hari, saat itu baginya terasa beda. Yang awalnya tidak ada yang menarik perhatiannya, kini semuanya terasa begitu menarik.
    Tak terasa Tanya tersenyum sendiri. Dan dari kaca spion, diam-diam Rex melihatnya. Senyuman tulus itu benar-benar berhasil membuat Rex terpaku. Rex tak tahu apa yang membuat Tanya tersenyum seperti itu, ini baru pertama kali baginya melihat senyuman Tanya yang begitu tulus. Dan itu membuatnya beribu-ribu terlihat lebih cantik.
    “Elo suka ?”, tanya Rex tiba-tiba.
    Tanya meliriknya sambil menaikkan kedua alisnya. Rex dapat melihatnya dari kaca spion.
    “Maksud gue, are you enjoying the ride ?”, Rex buru-buru memberikan penjelasan. Tanya terdiam untuk beberapa saat, “yes, I am… I guess…”, gumamnya akhirnya.

    Sekitar 10 menit kemudian, mereka sudah sampai di depan rumah Tanya yang berada di salah satu kompleks perumahan elit di Jakarta. Sangking elitnya, bahkan Rex tak percaya kalau dirinya bakal bisa masuk kedalamnya.
    Dihadapannya kini terdapat mansion bergaya Victorian abad 16. Lengkap dengan halamannya yang luas dan pagarnya yang menjulang tinggi namun tetap memperlihatkan keindahan bangunan didalamnya.
    Rex melongo sejadi-jadinya.
    Iapun melirik Tanya yang udah turun dan sedang berjalan menuju gerbang utama. “Ini… beneran rumah elo ?”, tanya Rex tak percaya. Tanya menatapnya sambil menaikkan kedua alisnya, “ada yang aneh ?”. Rex buru-buru menggeleng kepala, “enggak sih… cuman… kalo gue gak pernah nganter elo pulang dan lewat depan rumah elo, gue bakal nyangka ini istana bukan rumah…”, akunya polos.
    Tanya pun tersenyum kecut.
    “Bukannya ada istilah, ‘rumahku, istanaku’ ?”.
    “Iya, sih… tapi… tetep aja… untuk yang satu ini mungkin lebih pantas ‘istanaku, rumahku’…”.
    Senyuman Tanya mengembang. Entah kenapa ia merasa perkataan itu benar-benar berasal dari hatinya. Bukan pujian yang sengaja dibuat-buat.
    Melihat Tanya berada di depan pagar melalui layar CCTV, satpam rumahnya segera menekan salah satu tombol yang berada di panel board di dalam posnya. Secara otomatis pintu gerbang terbuka. Rex tersentak kaget, “Ger-gerbangnya kebuka sendiri !”, serunya sambil menunjuk gerbang itu.
    “Aduh ! jangan teriak-teriak gitu, donk ! malu tau gak sih !”, sembur Tanya melihat tingkah Rex. Rex langsung mengkerut setelah diomelin Tanya. Melihatnya, cewek itu menghela nafas. “Lo liat kamera itu ?”, lanjut Tanya sambil menunjuk 2 kamera pengawas yang terpasang di kedua sisi gerbang utama. Rex mengangguk. “Nah setiap satpam melihat keluarga atau anggota keluarga di depan gerbang melalui LCD di posnya, ia akan menekan tombol untuk membuka gerbang…”, jelas Tanya. Rex kembali mengangguk-angguk.
    Pintu gerbang telah terbuka sempurna. Satpam pun segera keluar menjemput Tanya, “sore, Non…”, sapanya ramah. “Sore, pak…”, jawab Tanya. Iapun kembali menatap Rex, “ngomong-ngomong…”, Tanya terhenti sesaat, “trims yah udah nganterin gue pulang…”.
    Rex tetap mengangguk. “Eh… iya… menolong teman itu bukannya tindakan wajar yah…”, gumam Rex yang entah kenapa tiba-tiba merasa salah tingkah. Ada perasaan aneh yang menyelimuti Tanya ketika Rex mengatakan kata ‘teman’ kepadanya.
    Kalau dipikir-pikir mereka satu sekolah dan satu kelas, dan itu sudah menjelaskan hubungan mereka sebagai teman sekolah dan teman sekelas. Tapi entah kenapa, mendengar seorang cowok mengatakan teman kepadanya. Itu adalah hal yang baru baginya.
    “Gue balik dulu yah…”, ujar Rex membangunkannya dari lamunan.
    Tanya kembali menatapnya. “Okay…”, gumamnya setengah berbisik. Sebenarnya ada lagi yang ingin ia katakan selain kata itu. Tapi ia merasa ada sesuatu yang menghalanginya. Yang membuat ia tak dapat berujar kembali.
    Rex pun segera kembali naik motornya, mengenakan helm bututnya, lalu menyalakan motornya. Motor itu segera menderu setelah ongkelan yang keempat kalinya. Rex melirik Tanya, “ampe ketemu besok…”.
    “Iya…”.
    Rex pun segera menjalankan motornya meninggalkan Tanya.
    Sedangkan Tanya hanya bisa menghela nafas sambil menatap kepergian Rex.

    Bayu melirik Iman melalui kaca spion dalam. Makhluk itu sudah asyik tertidur pulas dibangku belakang. Entah kenapa ia merasa keki melihat wajah polosnya. Seenaknya tidur di mobil orang dan membiarkan yang punya menyupir sendiri bagaikan supir.
    Pandangannya beralih ke Evy yang duduk disampingnya. Cewek itu sedang asyik membuka-buka buku yang terlihat tebal. Dilihat dari bentuknya, buku itu adalah buku tulis seperti note book yang terlihat sudah sedikit usang.
    “Lo lagi baca apa, Vy ?”, tanya Bayu mencoba membuka pembicaraan.
    Evy melirik ke Bayu lalu kembali ke buku, “oh… ini ?”, gumamnya sambil menunjuk buku yang dipegangnya. Bayu mengangguk. “Ini buku kumpulan dongeng…”, ujarnya mulai menjelaskan, “bila aku menemukan dongeng yang bagus, pasti aku langsung menulis ulang di buku ini”.
    “Lalu ?”.
    “Yah… gara-gara tadi Okky nyinggung dongeng si kutu kecil dan matahari terbenam, aku jadi keinget kalo dulu aku sering banget diceritain dongeng ini sama mama sebelon tidur…”, lanjut Evy menjelaskan. Bayu kembali mengangguk-angguk kecil.
    “Elo suka dongeng ?”, tanya Bayu lagi.
    Evy mengangguk antusias, “SUKA BANGEETTT !”.
    Bayu tersenyum kecut. Ia tak percaya, cewek tipe serius dan kutu buku seperti dia ternyata menyukai dongeng yang identik dengan anak-anak. “Ada alasan khusus ?”.
    Evy terdiam sejenak.
    Ditatapnya mentari yang terus terbenam di sisi kirinya.
    “Mungkin sebagian orang mengira dongeng hanya untuk anak kecil…”, Evy berujar tanpa mengalihkan tatapannya dari pemandangan itu, “mungkin sebagian orang mengira orang yang masih menyukai dongeng itu kekanakkan…”, kini ia melirik Bayu, “tapi menurut gue, banyak nilai yang bisa kita petik dari sebuah cerita dongeng. Nilai-nilai moral yang membuat kita menjadi lebih ‘manusia’…”.
    Bayu meliriknya. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa kalau Evy bisa membaca pikirannya.
    “Bila kamu ditanya alasan kamu menyukai seseorang, apa kamu bisa menjawabnya ?”, tanya Evy tiba-tiba. Bayu membisu. Dia langsung merasa salah tingkah ketika ditanya seperti itu oleh cewek yang disukainya. “Mungkin kamu menjawab, ‘karena dia cantik’…, atau ‘karena dia pintar’…, mungkin ‘karena dia baik’…, bahkan bisa juga ‘karena aku merasa nyaman dengannya’…”, Evy menjawab pertanyaannya sendiri. “Apapun jawaban yang kamu berikan, sebenarnya itu hanya alasan yang dibuat-buat… kalau kamu menjawab ‘karena dia cantik’, berarti kamu akan menyukai semua perempuan cantik. Kalau kamu menjawab ‘karena dia baik’, berarti kamu akan menyukai semua perempuan yang baik ke kamu… tapi kenyataanya enggak kan ? Kamu hanya menyukai satu perempuan… dan kamu gak akan pernah bisa menjawab alasan sebenarnya kenapa kau menyukainya… semuanya cuma ada di hati. Hanya hati yang tau jawabannya, dan lidah sulit untuk menerjemahkannya dalam bentuk kata-kata…”, Evy terus berujar yang membuat Bayu kembali berpikir alasan sebenarnya kenapa dia bisa menyukai cewek itu.
    “Aku rasa itu lah pesan yang bisa kita petik dari dongeng si kutu kecil dan matahari terbenam… tak semua pertanyaan ada jawabannya… bila kamu menyukai sesuatu, kamu tak harus tahu alasan kenapa kamu menyukainya… dan aku sangat menyukai pesan itu…”, Evy mengakhiri ceramahnya dengan senyuman yang sangat manis di mata Bayu.
    Bayu pun membalas senyuman itu.
    “Kalo ada seseorang yang bertanya alasan kenapa gue menyukai cewek itu, gue akan menjawab, ‘mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama’…”, ujar Bayu.
    Evy pun tertawa mendengar perkataan Bayu barusan.
    Tawa yang lepas dan Bayu menyukainya.

    Malam itu Tanya baru saja selesai mandi ketika pintu kamarnya diketuk. Iapun segera membukanya dan mendapatkan Bi Inah sedang berdiri dibaliknya. “Ada apa, Bi ?”, tanya Tanya lembut. “Anu, Non… dipanggil sama Papi di ruang keluarga…”, jawab Bi Inah yang merunjuk ke Papanya Tanya. “Ah, yah… makasih yah, Bi…”, ujar Tanya. Iapun segera bertanya-tanya, kira-kira apa yang ingin dibicarakan sama Papanya malam-malam begini.
    Beberapa menit kemudian, setelah Tanya mengenakan piyama, iapun segera turun menuju ruang keluarga. Di ruangan itu, ia mendapatkan Papa dan Mamanya sedang duduk disana sambil membaca buku masing-masing. Mereka berdua segera menatap Tanya ketika melihat cewek itu melangkah masuk ke ruang keluarga.
    Mamanya pun tersenyum lembut kepadanya.
    “Duh ! cantik sekali anak Mama malam ini…”, puji Mamanya. Tanya pun segera duduk di samping Mamanya yang langsung mencium kening anak semata wayangnya itu. “Baru mandi yah ?”, tanyanya ketika mencium aroma buah-buahan dari rambut Tanya. Tanya pun mengangguk.
    Sedangkan Papanya menatap Tanya dengan pandangan penuh selidik. “Tia…”, Papanya memanggilnya dengan nama kecilnya. Tanya segera menatap Papanya, “iya, Dad ?”, jawabnya sopan. “Tadi sore kamu pulang sama siapa ?”, tanya lagi Papanya tanpa basa-basi dengan penuh selidik dan logat Indonesia yang aneh. Sebelum menjawab, akhirnya Tanya tahu pembicaraan ini akan mengarah kemana. Iapun melirik Mamanya dengan tatapan sebal. Ditatap anaknya, Mama Tanya segera memalingkan wajah sambil berpura-pura sibuk melanjutkan membaca.
    “Ayo pertanyaan Daddy dijawab…”, lanjut Papa Tanya tidak sabar.
    “Sama temen, Dad…”, jawab Tanya lirih. Ia tahu kalau Papanya sangat overprotective terhadapnya. Ia tak bisa membayangkan seperti apa jadinya kalau Papanya tahu kalau ia pulang diantarkan oleh cowok, naik motor pula.
    “Siapa temennya ? perempuan ? atau laki ?”, terdapat sedikit penekanan ketika Papanya berucap kata ‘laki’. Tanya menelan ludah. Ia tahu kalau sebenarnya Papanya sudah tahu kalau ia pulang dengan cowok. Hanya saja beliau ingin mendengar langsung pengakuan dari mulutnya. Pasti Mamanya atau Mas Bejo, satpamnya, yang memberitahukannya.
    Tanya pun kembali melirik Mamanya yang masih pura-pura sibuk membaca.
    “Cowok, Dad…”, gumam Tanya lirih.
    Ada perubahan ekspresi di wajah Papa Tanya. Seharusnya ia sudah tahu itu. Ia sudah tahu dari awal kalau ada seorang anak cowok yang mengantarkan pulang putri kesayangannya. Tapi tetap saja hatinya tidak rela membayangkan putri semata wayangnya jalan berdua dengan cowok. Dia merasa tak akan pernah rela.
    “Boleh Daddy tau siapa namanya ?”, ujar Papa Tanya dengan nada suara yang dipaksakan untuk terdengar natural namum sepertinya gagal. Wajahnya mulai memerah. Terlihat sekali akibat warna kulitnya yang pucat. Tanya jadi membayangkan kepiting rebus ketika melihatnya.
    “Rex…”, jawab Tanya.
    Papanya menatap aneh ketika mendengarnya. Tanya sudah menduganya. Untuk ukuran nama orang Indonesia, nama ‘Rex’ itu terdengar aneh.
    “Rex…”, beo Papa Tanya.
    Tanya pun mengangguk.
    Sedangkan Mamanya menoleh dengan antusias. “Rex ! nama yang unik yah ! pasti orangnya juga unik… kenalin ke Mommy donk !!!”.
    Tanya dan Papanya serempak menatap Mama Tanya.
    “MOOOMMMM !!!”.

    ***
     
  19. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 23 Desember 2006
    18:50 WIB

    Bayu baru saja meneguk habis satu sloki Muscadelle.
    Pandangannya jatuh ke halaman belakang rumahnya melalui pintu gesernya yang terbuat dari kaca. Diluar sana hujan sedang turun dengan derasnya.
    Ia merasa tetesan itu tak akan pernah habis menghujam bumi. Begitu deras sehingga pemadangan dibaliknya menjadi kabur. Dan begitu deras sehingga ia tak dapat melihat apa yang ada dibalik tetesan hujan itu.
    Ditatapnya dua orang pria melalui kaca pintunya.
    Disana ada Rex dan Okky yang sedang duduk di sofa kulit berwarna gading yang terlihat sangat lembut dan nyaman. Masing-masing dari mereka memegang sloki yang berisi anggur yang sama. Muscadelle.
    Kata orang tua, anggur putih yang beraroma buah-buahan dan floral itu adalah pilihan yang tepat untuk menemanimu saat kau sedang merasa mellow. Apa lagi bila diminum di suasana dingin seperti saat ini. Mungkin akan terasa sempurna jika diiringi oleh musik blues yang bertempo lambat.
    “Hanya satu saran dari gue…”, gumam Bayu mencoba menjadi pemberi saran yang bijak. “Kalian temui mereka dan bicarakan baik-baik…”. Okky terdiam sedangkan Rex hendak melayangkan protes ketika Bayu melanjutkan kalimatnya, “Ini emang saran yang klise… tapi gue rasa, hanya dengan cara ini kalian bisa menyelesaikan masalah dengan mereka…”.
    Mendengar itu Rex pun menangguhkan protesnya.
    Bayu melangkah mendekati mereka. Lalu menyenderkan tubuhnya di salah satu sayap sofa. “Inti dari permasalahan kalian kan karena mereka tak tahu alasan yang sebenarnya…”, lanjut Bayu lagi. “Tanya tak tau alasan sebenarnya kenapa elo gak datang dihari keberangkatannya…”, Bayu melirik Rex kemudian ke Okky, “dan Sistien gak tau alasan sebenarnya kenapa elo gak pernah ngehubungin dia sama sekali selama setahun belakangan ini…”.
    “Temui mereka… katakan yang sejujurnya… walau mereka masih marah, seenggaknya mereka tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan tinggal waktu yang memutuskan apakah mereka akan memaafkan atau sebaliknya…”.
    Okky dan Rex menghela nafas berbarengan.
    “Easy to say… but very hard to do…”, gumam Okky sambil meneguk habis anggurnya.
    “Tapi…”, kini Iman yang dari tadi hanya diam sambil duduk dihadapan mereka, angkat bicara, “perasaan gue bilang kalau mereka akan memaafkan elo… mungkin hanya masalah waktu, tapi mereka pasti memaafkan elo…”.
    Bayu mengangguk setuju. “Emang harus gue akui, pasti enggak mudah… tapi cepat atau lambat elo kan harus menyelesaikannya kalau semuanya ingin kembali normal lagi. Am I right ?”.
    Okky dan Rex mengangguk. “I guess…”.
    “Ngomong-ngomong, PE kemana ?”, tanya Okky yang baru sadar kalau dari tadi itu satu makhluk tidak kelihatan batang hidungnya. “Tadi sih nelpon gue… katanya dia ada acara makan malam dalam rangka menyambut karyawan baru kantornya…”, jawab Iman.
    Okky mengangguk mengerti.
    “Cewek atau cowok ?”.
    “Katanya sih cewek… cantik lagi…”, jawab Iman lagi.
    Okky, Rex, dan Bayu tertawa kecil. “So… I guess he has a spring time right now…”.
    “God damn right… and a winter time for both of us…”.
    “Apa lo lupa ? after winter’s finished, spring will come back again, right ?”.
    Okky dan Rex terdiam.
    Mereka pun tersenyum simpul.
    Tak lama kemudian Rex bangkit. Ia berjalan menuju seperangkat mesin pemutar musik milik Bayu. Dipilihnya lagu yang dirasanya sangat cocok untuknya saat ini. Dan beberapa saat kemudian sebuah alunan lagu terdengar memenuhi ruang keluarga rumah Bayu.

    Well, the streets are all crowded, lots of people around
    And there's music playing but I can't hear a sound
    Just the sound of the rain falling silently down
    Living ain't been living since you put me down

    Yeah, life goes on, around me every day
    But it might as well be half a million miles away

    It's like a ghost town without your love
    Like a ghost town without your love
    Like a ghost town, baby, can't you see
    It's a ghost town until you come back to me
    Ooh ooh, 'til you come back to me

    Well, I wish I still had you, had you here next to me
    Baby, where did you go? Baby, why did you leave?
    Though the world, it keeps turning, but it don't turn for me
    Without you in my life, my life ain't no place to be


    There's only lonely days and empty nights
    Ain't the same without you, baby
    Nothing's feeling right, nothing's feeling right

    Darling, I wanna leave this town, don't wanna be around
    I'm gonna leave this town, it's like a ghost town


    Okky tersenyum kecut ketika mendengar lagu itu.
    “Ghost Town-nya Cheap Tricks, yah ?”, tanyanya yang sebenarnya sudah tahu jawabannya. Rex menoleh kearahnya kemudian mengangguk.
    “What a song ! it’s fit perfectly to us…”, gumam Okky sambil tersenyum kecut.
    Rex pun tertawa sambil bersenandung mengikuti lirik lagu itu.
    Bayu dan Iman pun juga ikut-ikutan bersenandung.
    Malam itu, mereka berempat akan menghabiskan waktu mendengarkan lagu ditemani oleh minuman anggur.
    Sedangkan diluar hujan masih turun dengan derasnya.
    Bagi Rex, rasanya hujan itu ditunjukkan baginya. Menggambarkan apa yang dirasakan di dalam hatinya saat itu. Ia rasa alam sedang bernyanyi untuknya. Melalui irama setiap tetesan air hujan yang turun, membentuk sebuah simfoni yang terdengar ironis.
    Bergelegar kuat namun ringkih.
    Sama seperti dirinya saat ini.
    Terlihat kuat di luar, namun rapuh di dalam.

    “Gue jadi inget cerita waktu gue mengunjungi rumah sakit jiwa di Grogol…”, cerita PE setelah menyuapkan sepotong daging sapi yang baru saja selesai di masaknya. Bintang menatap pria itu dengan antusias. “Gue mendengar percakapan antara seorang pasien dengan dokter yang sedang visite. Pasien itu berkata ‘aku adalah Bung Karno !’.
    Lalu dokternya bertanya, ‘dari mana kau tahu ?’. Itu pasien kembali berkata, ‘Tuhan yang ngomong seperti itu tadi malam’. Si dokter pun mengangguk-angguk kecil…”, PE berhenti sejenak untuk melihat ekspresi wanita itu.
    Senyuman lebar sudah menghiasi wajahnya ketika mendengarkan lelucon PE.
    PE pun melanjutkan, “lalu dari sel sebelah terdengar temannya teriak, ‘bohong ! aku gak pernah ngomong kayak gitu !’…”.
    Bintang pun tertawa lebar.
    “Kesimpulannya ternyata Tuhannya itu adalah teman samping selnya ?”, tanya Bintang disela-sela tawanya. PE pun mengangguk, “Ya ! dan dua-duanya sama-sama orang gila…”.
    Mereka pun kembali tertawa bareng.

    Malam itu mereka berada di restoran Hanamasa yang berada di wilayah Blok M.
    PE memberanikan diri untuk mengajak wanita itu makan malam bersama. Alasannya adalah untuk merayakan hari bergabungnya di radio mereka. Padahal sebenarnya PE masih terus ingin bersama wanita itu. Bintang pun setuju.
    Entah karena termakan alasannya PE.
    Atau karena ingin terus mendengar lelucon yang dilontarkan PE.
    Apapun alasannya, PE sangat senang malam itu.

    “Boleh nanya sesuatu ?”, tanya Bintang setelah berhasil menguasai diri.
    PE mengangguk. “Apa aja…”.
    “Apa cuma elo doank atau emang semua penyiar radio itu hancur semua ?”, lanjut Bintang yang mulai akrab dengan PE dan mulai saling memanggil dengan sebutan yang lebih kasual, ‘elo-gue’. PE berdeham, “kalo elo pengen tau, semua itu tergantung dari apa yang mereka siarkan…”, PE memulai hipotesanya.
    “Okey…”, gumam Bintang.
    “Contohnya begini… apa elo pernah dengar pembawa berita tentang harga sayur-sayuran di radio membawa dengan cara seperti ini, ‘ya permisa yang masih setia dengan saya, saat ini pasar A sedang mengadakan tawaran menarik ! setiap pembelian cabe merah sekilo seharga lima belas ribu akan mendapatkan satu kantong plastik gratis selama persediaan masih ada’ ?”.
    Bintang pun tertawa lebar.
    “Jadi intinya dari jenis acara yang mereka bawa ? begitu ?”, ujar Bintang mencoba menarik kesimpulan. PE kembali mengangguk. “Dan sayangnya, untuk radio kita, Auriola, semua penyiarnya gak ada yang bener. Ancur semua !”.
    Bintang tersenyum.
    “Karena radio kita lebih fokus untuk menghibur, iya kan ?”.
    PE lagi-lagi mengangguk. “Hiburan dan nostalgia… itulah tema yang diusungkan para pendiri Auriola”, kali ini PE berbicara agak serius. “setelah kita disibukkan dengan pekerjaan kita sehari-hari… atau permasalahan kehidupan yang tak kunjung-kunjung berhenti… yang kadang-kadang membuat kita frustasi, kesal, marah, putus asa… dan ingin lari dari kenyataan… saat itu hanya satu yang kita butuhkan. Hiburan… itulah misi yang dibawa oleh Auriola. Menghibur para pendengar yang sudah jenuh dengan pekerjaan dan permasalahannya…”.
    Bintang mendengar setiap perkataan PE.
    “Bagaimana untuk nostalgia ?”, tanya Bintang lagi.
    PE mendeham sebelum menjawab, “sebelum jawab, gue mau balik nanya dulu… dulu waktu elo kecil… mungkin masih SD atau SMP, lagu apa yang elo suka ?”.
    Bintang terdiam. Ia berusaha mengingat-ingat. “Banyak lah ! tapi gue suka Yesterday Once More-nya The Cerpanters gara-gara dulu nyokap suka banget ma lagu itu dan sering banget memutarnya…”, jawab Bintang.
    PE tersenyum kecil. Iapun mulai bersenandung menyanyikan lagu itu. Diikuti oleh Bintang setelah beberapa bait kemudian.

    When I was young. I’d listened to the radio. Waitin’ for my favorite songs.
    Waiting they played I’d sing along. It made me smile.

    Those were such happy times. And not so long ago.
    How I wondered where they’d gone.

    But they’re back again. Just like a long lost friend.
    All the songs I loved so well.

    Every sha-la-la-la. Every wo-wo-wo. Still shines.
    Every shing-a-ling-a-ling. That they’re starting to sing’s. So fine.

    When they get to the part. Where he’s breakin’ her heart.
    It can really make me cry. Just like before.
    It’s yesterday once more.

    Lookin’ back on how it was. In years gone by. And the good times that I had.
    Makes today seem rather sad. So much has changed.

    It was songs of love that. I would sing to then.
    And I’d memorize each word.

    Those old melodies. Still sound so good to me.
    As they melt the years away.

    All my best memories. Come back clearly to me.
    Some can even make me cry. Just like before.
    It’s yesterday once more.


    “Lalu apa yang elo rasakan kalo saat ini elo mendengar lagu itu ?”.
    “Mungkin ikut bernyanyi sambil mengingat masa-masa dulu… seperti apa yg baru aja gue lakuin…”, jawab Bintang.
    PE menatapnya antusias. “Nah ! itu dia sasaran kita ! salah satu obat untuk stres selain hiburan adalah dengan bernostalgia. Dengan mengenang masa lalu, kita akan kembali terbawa ke masa dimana kita masih belum mempunyai beban hidup. Masa di mana kita masih bisa bermain-main dengan bebas. Enggak memikirkan tentang masa depan. Yang penting saat ini gue senang… Dan mungkin saat itu ingin rasanya kita kembali ke masa itu. Salah satu untuk bernostalgia ya itu, dengan lagu…”.
    Bintang mengangguk mengerti.
    “I think I get it…”.

    Entah untuk keberapa kalinya Sistien menghela nafas kuat-kuat.
    Dipandangnya langit-langit kamarnya. Disana ada lampu neon dengan hiasan box berbentuk persegi panjang berwarna biru langit. Dulu Okky yang memilihnya ketika Sistien berencana mau mengganti lampu kamarnya. Okky juga lah yang memasangnya diatas sana. Kalau diingat-ingat, kejadian sudah cukup lama. Saat mereka masih kuliah.
    Pandangannya beralih menyapu setiap sudut kamarnya. Kamar tidur Sistien berukuran sedang, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Didominasi oleh warna biru langit, sisanya warna putih. Entah sejak kapan Sistien mulai menyukai warna biru. Yang pasti semenjak ia bertemu partner-nya. Ada kenangan yang cukup membuatnya tersenyum ketika mengingatnya.
    Selain gemar menatap matahari terbenam, partner-nya juga gemar menatap langit. Suatu ketika, ketika mereka berdua masih kelas 3 SMP, sehabis mata pelajaran olah raga, ia melihat Okky tiduran terlentang di atas rumput lapangan. Cowok itu pun mengajaknya melakukan hal yang sama. Dengan bingung Sistien mengikuti ajakannya.
    Ia ikut-ikutan terlentang dan menatap ke atas.
    Di atas sana hanya ada langit. Langit dengan warna biru cerahnya.
    Ia sering melihat langit. Tapi dari sudut pandang seperti ini, entah kenapa langit itu menjadi terlihat begitu luas. Pandangannya pun tak bisa lepas darinya. Dengan ditemani angin yang bertiup lembut dan bau rumput yang menyegarkan, ia mulai merasakan kalau ini menyenangkan.
    “Lo tau, Tien…”, gumam Okky membuka pembicaraan.
    “Setiap gue ngeliat langit sambil tiduran kayak gini, entah kenapa langit itu terlihat sangat luas. Bahkan gue gak bisa menutupinya dengan telapak tangan gue…”, Okky mengangkat telapak tangan kanannya ke atas sambil memicingkan mata. Berusaha menghalau langit itu melalui telapak tangannya, tapi rasanya itu sia-sia.
    “Begitu luas sehingga gue sering ngerasa ingin berlari diantaranya… atau terbang bersamanya… begitu luas sehingga gue merasa kebebasan yang gak terbatas…”, Okky melirik Sistien. “Dan bila kita dibandingkan dengannya, Tien… kita ini gak lebih hanya titik kecil yang mungkin gak lebih besar dari kerikil. Dibandingkan langit yang luas itu, kita ini gak ada apa-apanya. Hanya makhluk kecil dengan segala keterbatasannya…”, Okky kembali beralih ke langit. “Ironisnya, makhluk kecil itu sering menganggap dirinya adalah raja dari alam. Mengaku dirinya lebih hebat dari makhluk lainnya. Dan bertingkah seenaknya…”, Okky terdiam.
    “Dan dengan melihatnya, elo kembali sadar siapa diri elo sebenarnya, gitu ?”, tanya Sistien mencoba menarik kesimpulan. Okky pun tertawa kecil. “Mungkin… tapi, Tien… apa elo merasa mendapatkan ketenangan waktu ngeliatnya ?”.
    Sistien tak langsung menjawab.
    Ditatapnya kembali langit di atasnya.
    “Dunno… but I think I start to like it…”.
    Mereka berdua pun tertawa.
    Dan semenjak itu Sistien menjadi suka warna biru.
    Warna biru adalah warna favorite-nya, begitu juga dengan Okky.

    Sistien kembali menghela nafas.
    Sepulangnya tadi, ia mendapat laporan dari Mamanya kalau tadi siang Okky datang ke rumahnya.
    Berita itu serasa halilintar yang menyambar ditengah-tengah siang bolong.
    Ia tak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini
    Marah, kesal, sebal, kecewa, kangen, senang, semuanya bercampur aduk mejadi satu.
    Ia merasa marah karena setelah mencuekinya selama 1 tahun tiba-tiba pria itu datang ke rumahnya. Untuk apa dia datang…
    Untuk minta maaf karena sudah mencuekinya…
    Atau hanya untuk bertemu dengannya…
    Ia kecewa karena ia telah melewatkan untuk dapat bertemu dengannya. Melewatkan untuk mencaci makinya. Kecewa karena tidak dapat melampiaskan amarahnya ke pria itu.
    Tapi ia juga merasa kangen dan senang karena walau bagaimanapun dan untuk alasan apapun, pria itu datang ke rumahnya hanya untuk menemuinya. Walau pria itu udah mencuekinya tapi ia tak melupakannya.
    Sistien frustasi dengan perasaan yang campur aduk di dalam hatinya.
    Semuanya begitu menyesakkan dadanya.
    Ingin rasanya ia memuntahkan semua ke pria itu.

    Ditatapnya dengan pandangan penuh nafsu membunuh boneka sapi berukuran raksasa yang selalu menemaninya di tempat tidur. Boneka sapi itu didapatkannya sebagai kado ulang tahun dari Okky waktu mereka kelas 3 SMU. Ia pun segera mengambil boneka itu.
    “Kamu tuh yah !!!”, serunya ke boneka itu sambil meremas-remasnya.
    “Dasar orang jahat ! gak tau diri ! gak punya perasaan ! kejam ! aku benci sama kamu ! aku muak sama kamu ! aku gak mau liat lagi muka kamu ! kamu tau gak !!!???”, ia melampiaskan semua kemarahannya ke boneka sapi yang saat ini dianggapnya sebagai Okky.
    “Pokoknya kamu itu orang yang paling jahaaatttt !!!”, kali ini ia memukul-mukul boneka sapi itu dengan sekuat tenaga.
    Sistien kembali terdiam. Ditatapnya kembali boneka sapinya. Tiba-tiba ia memeluk erat boneka sapi itu. “Sebenarnya kamu nganggap aku ini siapanya kamu sih ? apa aku ini gak ada artinya buat kamu ? apa aku ini pantas buat dicuekin ? apa aku ini gak ada harganya buat kamu ? ayo cepetan jawab ! aku mau tau jawabannya !”.

    Kemudian Sistien kembali menjatuhkan dirinya diatas kasur dalam posisi tengkurap. Dibenamkannya wajahnya ke perut boneka sapi. Ada tetesan air yang keluar dari sudut kedua matanya. Awalnya mengalir pelan namun lama kelamaan menjadi deras. Membasahi perut boneka sapi.
    Malam itu, Sistien menghiasi waktunya dengan air matanya.

    ***
     
  20. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Selasa, 23 September 1997
    09:30 WIB

    Bel istirahat baru saja berbunyi.
    Dan dengan sekejab Bayu langsung lari meninggalkan ruangan.
    Iman yang duduk satu bangku dengannya menatapnya dengan takjub. Tatapannya beralih ke Okky dan Rex yang duduk didepannya. Kedua cowok itu juga terlihat mematung setelah melihat kepergian Bayu barusan.
    “Coba… tolong jelaskan ke gue… kenapa tiba-tiba tuh makhluk melesat pergi tanpa basa-basi dulu ?”, ujar Okky kepada yang lainnya.
    Rex mengangkat kedua bahunya, “kebelet pipis kali…”, gumamnya membuat dugaan.
    “Atau kebelet boker…”, tambah Iman.
    “Ah ! gue tauuu !”, seru PE yang tiba-tiba muncul dibelakang mereka. Ketiga cowok itu menatap PE. “Mau ketemu mba penjual juice !”, lanjut PE.
    “Sakit !”.
    “Kutil !”.
    “Kampret !”.

    “Duh ! kalian tuh kok gak pada nyadar sih !?”, seru Sistien yang dari tadi memperhatikan mereka. Kini keempat cowok itu menatap Sistien dengan pemadangan meminta penjelasan.
    “Sekarang hari apa ?”, tanya Sistien.
    “Selasa…”, jawab PE.
    “Ulang tahun Basut…”, sahut Okky.
    Sistien mengangguk. “Yaudah… jelas kan ?”.
    “APANYAAA ???”.
    Sistien menarik kedua sudut bibirnya sambil menaikkan kedua bola matanya ke atas.
    “Masa belon ngerti juga sih !?”, ujarnya gemas.
    Keempatnya menggeleng.
    “Semua orang tuh pengen merayakan ultahnya dengan orang yang disukainya kan…”, ujar Sistien lagi.
    “OOOHHH…”, mereka berempat serempak meng-O.
    Okky pun menatap ketiga cowok itu, “berarti Basut pengen ngerayain ma Evy…”.
    Iman mengangguk setuju, “mungkin dia pengen ngajak tuh cewek makan berdua di kantin…”.
    Rex kembali menatap Sistien.
    “Ngomong-ngomong, lo tau dari mana kalo Bayu suka ma Evy, Tien ?”.
    Sistien pun tersenyum lebar. “Woman’s insting…”.

    Dalam beberapa detik, Bayu sudah berada di muka pintu kelas 1-3. Ia pun segera celingukkan menyapu seluruh sudut kelas. Didapatkannya Evy yang duduk dibarisan pertama dari depan, deret keempat dari pintu. Bayu pun segera memanggilnya dengan antusias.
    “EVYYY !”, serunya kencang yang mengakibatkan seluruh penghuni kelas 1-3 serempak menatap Bayu. Evy yang namanya disebut-sebut pun segera bergegas menghampiri Bayu dengan wajah tertunduk malu. Ditariknya lengan cowok itu menjauhi kelasnya.
    “Duuhhh ! manggilnya jangan keras-keras donk ! kan maluuu…”, protesnya dengan wajah yang masih memerah. Bayu mendapatkan wajah malu Evy terlihat sangat lucu sampai-sampai ia harus menahan diri untuk tidak mencubit pipi itu cewek.
    “Eh, Vy… makan yuk !”, ujar Bayu yang tidak mengindahkan protesnya Evy.
    Evy menatapnya tak percaya, “jadi kamu tadi manggil aku pake teriak hanya pengen ngajak aku makan ?”. Bayu mengangguk antusias.
    Evy pun menghela nafas.
    Ia yakin, gara-gara kejadian tadi, pasti langsung ada gosip yang menyangkut dirinya dengan Bayu. Dan ia rasa mau tak mau ia harus bisa menghadapinya.
    “Gimana ? mau ?”, tanya Bayu lagi setengah memaksa.
    Evy menatapnya.
    Ya sudahlah, masa bodoh dengan gosip apa yang bakal beredarnya nantinya.
    Toh Bayu tak bermaksud jelek terhadapnya.
    Iapun mengangguk, “hayuk ! kebetulan tadi aku gak sempet buat bekal…”.
    Mereka pun segera beranjak menuju kantin.
    “Kenapa ?”.
    “Gara-gara keasyikan baca novel, kemaleman deh tidurnya…”.
    Bayu pun tertawa mendengar alasannya.

    Sudah hampir 3 bulan semenjak pertama kali mereka kenalan.
    Tepatnya 87 hari.
    Dan hubungan mereka semakin akrab.
    Kali ini tak hanya sebatas di perpustakaan saja mereka saling bertemu. Tapi kadang-kadang Bayu suka mengajaknya makan bareng di kantin atau sekedar minum di Clover Leaf sebelum pulang. Bayu juga sudah beberapa kali mengantarkan Evy pulang ke rumah. Walau belum dapat ketemu orang tuanya, namun itu sudah merupakan kemajuan yang besar.
    Untuk Evy sendiri, ia mulai dapat membuka diri lebih lebar lagi ke Bayu.
    Ia tak merasa canggung lagi bila ketemu dengan cowok itu. Ia juga tak perlu memusingkan diri untuk mencari bahan pembicaraan ketika ngobrol berdua dengan cowok itu, kini dia dapat menemukan bahan pembicaraan secara spontan. Dan dia juga semakin akrab dengan sahabat-sahabat Bayu. Ia senang diantara mereka ada Sistien yang pernah satu SD dengannya. Dan ia juga senang sekaligus tak percaya kalau ia juga dapat berteman dengan Tanya, primadona sekolah baik dikalangan cowok maupun cewek.
    Yang pasti, semenjak berteman dengan Bayu, kehidupannya menjadi lebih berwarna. ia dapat berteman dengan orang yang tidak sama dengan ‘dunia’-nya, dimana dulu ia merasakan kalau dirinya mustahil berteman selain dengan sesama kutu buku. Ia juga menjadi lebih ekspresif terhadap perasaannya. Dan ia juga telah mengalami hal-hal yang belum pernah dialami sebelumnya.

    Bayu kembali ke tempatnya duduk setelah memesan nasi uduk dengan pecel ayam untuk Evy dan nasi goreng kambing untuknya. Untuk minumnya, Bayu pesan juice strawberry, minuman favorite Evy, dan juice jambu.
    Cowok itu menatap Evy lekat-lekat yang duduk dihadapannya.
    “Mungkin elo gak tau kalo hari ini hari apa…”, gumam Bayu membuka pembicaraan.
    Evy menatapnya bingung, “maksudnya ?”.
    Bayu pun segera senyum cengengesan, “asal elo tau aja kalo hari ini hari ulang tahun gue…”.
    Evy menatapnya kaget.
    “Yang bener, Yu !?”, serunya memastikan.
    Bayu mengangguk.
    Iapun segera menjabat tangan Bayu, “selamat yah, Yu ! ya, ampun… sorry bangeettt aku gak tau… kalo tau pasti aku bawain kado deh…”.
    Melihat antusiasme Evy yang tidak dibuat-dibuat sudah cukup untuk membuat Bayu berbunga-bunga dan melayang. Ia rasa itu sudah lebih dari cukup. Bisa melewatkan satu hari dengannya merupakan kado yang terindah untuknya.
    “Gak papa kok, Vy…”, gumam Bayu. “Makanya gue ajak elo makan berdua disini untuk ngerayain ultah gue…”. “Tapi aku janji… aku akan selalu inget hari ultah kamu… jadi tahun depan aku bisa ngasih kado buat kamu…”, ujar Evy lagi.
    “Gue tunggu loh…”.
    Mereka berdua pun tertawa.
    Tak lama kemudian pesanan makanan dan minuman mereka datang. Tanpa menunggu lebih lama lagi, mereka segera menyantapnya.

    Sorenya, seperti kebiasaan mereka sepulang sekolah, mereka sudah duduk-duduk di beranda Clover Leaf. Tanya dan Evy juga hadir diantara mereka, ikut merayakan ulang tahun Bayu. Dan kembali seperti biasa, Rex yang pertama kali mengangkat tinggi-tinggi minumannya.
    “Untuk sahabat kita tercinta yang sudah bertahun-tahun bersama kita mengarungi buasnya lautan dan kejamnya kehidupan…”, ujar Rex dengan lantang. Semuanya mengangkat minumannya masing-masing. “Happy Birthday, yah Suuttt !”, lanjut Rex.
    “HAPPYYY BIRTHDAAYYY !!!”, yang lainnya serempak mengikuti Rex.
    Bayu senyum cengengesan.
    “Terima kasih-terima kasih… gak ada kata-kata yang pantas untuk mengungkapkan betapa senangnya hati gue hari ini…”, ujarnya sedikit berdiplomasi.
    “Kalo gitu nyanyi aja, Yuuu !”, usul Iman.
    Semuanya pun setuju dan memaksa Bayu untuk nyanyi.
    “Okeh-okeh… baelah kalo begitu…”, Bayu terpaksa menuruti kemudian melirik Okky yang sudah siap dengan gitarnya. “Anything ?”.
    Okky mengangguk. “As you wish…”.
    “Kalo begitu, gue akan menyanyikan lagu Mansyur S. duet ma Elvi Sukaesih… ‘Gadis Atau Janda’…”, ujar Bayu mengumumkan. Semua anak segera tertawa kecuali Tanya. Dia sendiri yang diam dengan wajah bingung.
    Sebenarnya apa yang mereka tertawakan.
    Memangnya ada yang lucu.

    Bayu pun melirik PE, “E, lo duet ma gue !”.
    “Siap laksanakan !”.
    Okky pun segera memainkan intro dengan semangat 45.
    Rex dan Iman sudah menyiapkan kedua jempol mereka untuk digoyangkan.
    Bayu dan PE pun segera berduet.

    Sudah berulang kali aku bermain cinta
    Jadi baru abang yang adik cinta
    Pemuda yang gangguku semuanya buaya
    Abang jadi ragu pada dirimu

    Kau masih gadis atau sudah janda
    Baik katakan saja jangan malu
    Memangnya mengapa aku harus malu?
    Abang tentu dapat tuk membedakannya

    Kau katakan saja yang sesungguhnya
    Sesungguhnya diriku…
    Oh, memang sudah janda
    Walaupun kau janda tetap kucinta

    PE: Malu ah… (PE menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil tersipu malu)
    Bayu: Malu ama siapa?(Bayu menatap PE dengan tatapan mesra)
    PE: Nanti didenger orang (kini berpaling dari Bayu, masih tersipu malu)
    Bayu: Mana? Nggak ada orang (pandangan Bayu menyapu kesekitarnya)
    PE: Itu.. (PE menunjuk Sistien dan Evy)
    Bayu: Mana?(Bayu melihat ke arah Sistien dan Evy)
    PE: Ituuu… (PE tetap menunjuk 2 cewek itu)
    Bayu: Oh.. (Bayu mangguk-mangguk, tatapannya masih ke 2 cewek itu)
    PE: E… kalo janda masih mau khan? (PE menatap Bayu)
    Bayu: O tentu dong (Bayu membalas tatapan PE sambil mengerlingkan matanya)
    PE: Anaknya banyaak… (PE mengucapkannya dengan suara manja)
    Bayu: Nggak pa pa, yang penting kalo saya cinta?! (Bayu membalasnya dengan suara gombal)

    Marilah segera kita kawin saja


    Bayu dan PE selesai berduet.
    Namun jempol Rex dan Iman masih goyang-goyang sambil merem-melek.
    Sedangkan Sistien dan Evy tertawa melihat acting Bayu dan PE saat sedang bagian ngobrol. Untuk Tanya, ia hanya tersenyum kecut.
    Tepuk tangan pun segera menyambut Bayu dan PE.
    “Gila ! aku gak nyangka ternyata cowok seperti kamu suka dangdut…”, ujar Evy masih sambil tertawa. Bayu pun senyum cengengesan. “Elo bakal banyak terkejut kalo tau lebih jauh lagi tentang gue…”.
    “Masa sih !?”, balas Evy antusias.
    Bayu mengangguk yakin, “I bet you will…”.
    “Then I’m looking forward for it…”.
    Hidung Bayu kembang-kempis mendengarnya,
    Sedangkan Okky dan Sistien yang mengetahui perasaan Bayu saat itu langsung saling berpandangan sambil tersenyum simpul.

    “Anyway Sut…”, gumam Iman setelah puas joget jempol. Cowok itu segera menyenggol Rex yang berada disampingnya. Rex pun segera meraih tasnya kemudian merogohnya. Dikeluarkannya kado berbentuk permen berukuran sedang.
    “Nih ! kado dari kita berenam…”, Rex meneruskan sambil menyerahkan kado itu ke Bayu. Cowok itu pun menerimanya dengan antusias. “Wah ! trims yah !”, ia pun mulai menginspeksi bentuk kado itu untuk menduga-duga isinya, “kenapa harus bentuk permen ?”.
    “Dibandingin bentuk cokelat batangan, permen keliatan lebih imut aja…”, Rex membalas.
    “Yang bungkus siapa ?”.
    Keempat cowok itu serempak menunjuk Sistien.
    Bayu mengangguk. Sekarang ia paham kenapa bungkusannya rapi. Keempat cowok itu tak mungkin serapi ini jika membuatnya.
    “Terus berenam, satu lagi siapa ?”.
    Keempat cowok itu kembali serempak menunjuk Tanya.
    Bayu pun kembali mengangguk. Ditatapnya cewek itu, “Makasih, yah…”.
    “You are welcome…”, jawab Tanya.
    “Dibuka Yu…”, ujar Sistien. Bayu pun segera membukanya. Isinya adalah Kaos dengan foto kelima makhluk itu. Rex, Okky, Bayu, Iman, dan PE yang menghiasi seluruh bagian depan kaos. Gambar itu diambil oleh Sistien menggunakan kamera Iman saat mereka jalan-jalan ke Dufan beberapa hari setelah perpisahan SMP. Mereka secara khusus memesan sablonannya di pabrik tekstil tempat teman Papa Tanya bekerja.
    Bayu tersenyum kecut. “Pede juga gue yah kalo harus jalan-jalan make nih kaos…”.
    Semuanya tertawa. “Yah… anggap aja iklan berjalan… sekalian promosiin kita-kita, Sut… siapa tau ada cewek yang liat trus tertarik…”, ujar Rex.
    Semuanya kembali tertawa.
    Evy menatap Bayu.
    “Kado dariku nyusul yah…”.
    Bayu mengangguk antusias, “gue tunggu loh !”.
    Hidungnya kembali kembang-kempis.

    ***
     
  21. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Sabtu, 23 Desember 2006
    22:35 WIB

    Iman sedang melaju kencang membelah jalan di daerah Cipete setelah sepulangnya dari rumah Bayu. Iman paling suka memacu kencang motornya di malam hari. Saat dimana jalan sudah sepi, jadi tak ada halangan untuknya melaju.
    Ia sangat menikmati ketika angin kencang menerpanya.
    Ia merasa seakan-akan hembusan angin itu meluruhlantakkan semua beban di dirinya dan membawanya pergi jauh-jauh darinya.
    Semua permasalahan kehidupannya yang mengganggu pikirannya.
    Dan seketika itu ia menjadi bebas.
    Menjadi raja dikehidupannya.
    Bila motor boleh masuk tol, ia akan senang hati memacunya di jalan tol.
    Disana ia dapat melaju lebih kencang. Memompa adrenalinnya lebih dalam lagi.
    Memikirkannya, membuat dirinya sangat excited.

    Seketika ada yang merasuki otaknya.
    Sesuatu itu dengan tiba-tiba tanpa permisi terlebih dahulu masuk ke dalam otaknya dan menyelami setiap neuron-neuron dengan kecepatan yang sulit dibayangkan. Dan dalam beberapa detik kemudian, sesuatu itu berhasil menguasai dirinya.
    Pikiran, ingatan, dan alam sadarnya.
    Sesuatu itu adalah seorang wanita yang bernama Dewi.
    Harus Iman akui. Semanjak ia bertemu dengannya pertama kali, dan itu sudah terjadi sekitar 9 tahun yang lalu, wanita itu selalu mengusik dirinya.
    Mungkin terdengar bodoh, tapi semenjak hari pertama kali ia melihat sosok wanita itu, ia tak pernah absen untuk terus mengguminya.
    Ironisnya, ia hanya bisa menikmatinya dari kejauhan. Ia tak punya keberanian untuk berkenalan. Ribuan kali ia mendengar hatinya terus berteriak untuk mengajaknya kenalan. Tapi entah kenapa tubuh selalu menolaknya.
    Semua itu hanya demi satu alasan.
    Ia takut wanita itu menolaknya. Menolak untuk berkenalannya dengannya. Ia takut hatinya akan hancur bila itu terjadi. Ia tak sanggup untuk itu. Satu-satunya cara untuk memelihara sosok itu dilubuk hatinya, hanya terus menatapnya tanpa berkenalan.
    Sebagian dari dirinya mengasihani dirinya. Namun sebagian lagi memaki-makinya.
    Tapi baginya, ia tak punya pilihan lain.
    Tapi, apa pilihan itu sebenarnya ada…
    Hanya saja ia berusaha untuk terus berpura-pura tidak melihatnya.
    Entahlah…
    Hanya saja, ia rasa lagunya Bondan Prakoso yang berjudul ‘Bunga’ sangat cocok dengan keadaannya yang menyedihkan.

    Setelah lulus dari SMU, ia mulai berusaha untuk melupakan sosok itu.
    Alasannya sederhana, mulai saat itu ia tak dapat lagi menikmati sosoknya dari kejauhan. Masa dimana sosok itu selalu menemaninya setiap hari sudah tinggal kenangan. Saat itu Iman membulatkan tekadnya. Ia akan melupakannya. Dan ia akan mencari penggantinya yang baru tanpa mengulangi kebodohan yang sama.
    Ia akan memulai cerita asmaranya di kehidupan kuliahnya yang baru ia jalani.
    Usaha Iman berhasil. Ia dapat melupakan sosok itu. Hanya saja, tidak begitu dengan alam bawah sadarnya. Jauh dibawah kesadarannya, ia masih mendambakan sosok itu. Sayangnya, atau malah untungnya, ia tak menyadarinya.
    Dan dengan sukses, selama kuliah pun tak ada satu orang wanita yang berhasil menarik perhatiannya. Padahal Rex selalu bilang kalau teman wanita Iman sangat banyak dan rata-rata kecantikannya diatas rata-rata. Tapi entah kenapa semua itu tak ada yang berhasil mengusik hati dan pikirannya.
    Dan semua itu terus berlanjut hingga ia kerja sebagai fotografer. Pekerjaan yang membuat Rex dan PE merasa iri karena Iman selalu dikelilingi model-model yang cantik dan seksi. Tapi tetap saja, Iman tak mengakui ‘keberadaan’ mereka dihatinya.
    Silahkan katakan kepadanya kalau dirinya adalah manusia bodoh. Tapi setidaknya jauh didalam hatinya ada sebuah cinta yang tulus yang tak pernah disadarinya.

    Iman tersenyum.
    Sebuah senyuman kemenangan telah menghiasi wajahnya.
    Ia bangga dan berpuas diri karena hari ini ia dapat mengalahkan kebodohannya itu. Ia dapat menumbangkan ketakutannya itu. Ia dapat menyelami alam bawah sadarnya dan memenuhi sesuatu yang indah yang sempat terlupakan di bawah sana.
    Setelah ketemu kembali sosok yang selalu abadi didalamnya diri kemarin, akhirnya hari ini ia dapat berkenalan dengannya.
    Okey… mungkin orang akan mengatakan itu telat.
    Itulah yang harus dilakukannya 9 tahun yang lalu.
    Tapi walau telat, setidaknya ia mempunyai keberanian untuk melakukannya.
    Walau telat, ia dapat memulainya lagi dari awal.
    Walau telat, namun akhirnya Dewi telah mengetahui bahwa ada seseorang yang bernama Iman.

    Tanya melirik wajahnya yang terpantul cermin dihadapannya.
    Bila seseorang melihatnya, ia mungkin teringat kembali cerita Cinderella.
    “Hey, kaca ! Siapa kah wanita tercantik di dunia ini ?”
    Dan dengan yakin sang kaca akan menjawab, “tentu saja seorang wanita yang bernama Tatianya…”.
    Hanya saja, saat ini ada sedikit aura kesedihan dibalik kecantikan wajahnya.
    “Elo juga harus menanyakan langsung kepadanya… alasan kenapa dia gak datang saat kepergian elo…”. Kalimat yang diucapkan Sistien itu selalu terngiang-ngiang diotaknya.
    Harus ia akui, mereka berdua mempunyai masalah yang hampir sama.
    Okky yang tak mengabari Sistien selama kurang lebih 1 tahun.
    Dan dia yang tak datang pada saat keberangkatan dirinya ke luar negeri.
    Dengan gampangnya ia menyuruh Sisiten menanyakan langsung alasan kenapa Okky tak mengabarinya. Lalu bagaimana dengan dirinya.
    Apakah ia juga mau menanyakan langsung ke orang itu alasan kenapa dia tak datang…
    Apakah ia dapat menahan emosinya ketika ia bertemu dengan orang itu…
    Dan yang paling penting, apakah iapunya cukup keberanian untuk bertemu dengannya…

    Tanya menghela nafas.
    Kini ia merasa kalau dirinya baru saja menjadi orang yang bodoh dan egois.
    Ditatapnya pemadangan diluar kamarnya melalui pintu beranda yang terbuat dari kaca. Disana hanya ada kegelapan. Kegelapan yang sangat pekat. Menyerupai sebuah kehampaan. Sama seperti hatinya saat itu.
    Sekali-kali angin dingin dirasakan disetiap pori-pori kulitnya yang malam ini hanya berbalutkan gaun tidur dengan bahan tipis. Angin itu menyelinap masuk melalui pintu beranda yang sengaja dibiarkan terbuka beberapa senti. Hujan baru saja berhenti, namun ia masih menyukai hawanya yang masih menetap di bumi. Dan ia menyukai bau hujan yang ditinggalkan olehnya.
    Ia beranjak dari meja riasnya.
    Menyelusuri sepanjang kamarnya menuju ke lemari pribadinya yang berukuran raksasa. Dibukanya lemari itu dan ia mencari sesuatu di salah satu sudut bagian atas lemari, kemudian diambilnya benda itu dari sana. Terlihat sebuah album foto dengan beberapa buah buku digenggamannya. Setelah merebahkan tubuhnya dengan nyoman di sofa air yang berada di kaki tempat tidur, iapun segera membuka album itu.
    Album itu menyimpan semua foto dan kenangan selama ia SMU.
    Sebuah kehidupan sekolah yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
    Semenjak bertemu dengan orang itu, sampai ia menjadi bagian dari dirinya, membuat masa-masa yang hanya 3 tahun itu menjadi masa yang terindah baginya.
    Semuanya terasa baru baginya.
    Namun terasa begitu menyenangkan.
    Dan entah kenapa, terasa begitu cepat untuknya.
    Hingga saat dimana ia harus berpisah dengan masa-masa itu tiba. Dan yang pasti, itu juga berarti berpisah dengan orang itu. Sesuatu yang tak diinginkannya terjadi. Sesuatu yang membuatnya takut. Sesuatu yang membuatnya kembali merasa sepi.
    Saat itu dirinya selalu ingin berada disisinya.
    Tapi, sayangnya, saat dimana ia sangat membutuhkannya, sangat menginginkan kehadirannya, orang itu tak kunjung datang. Orang itu tak pernah ada untuknya.
    Rasa kecewa pun menyelimuti dirinya.
    Akhirnya ia pergi dengan membawa kebencian terhadapnya.

    Tanya tersenyum kecil ketika melihat salah satu foto.
    Foto itu diambil di Pantai Kuta, saat sekolah mereka mengadakan perpisahan kelas 3.
    Di foto itu menggambarkan siluet dirinya dengan Rex. Dengan latar belakang ombak dan matahari terbenam. Benar-benar pemandangan yang indah.
    Lucunya, setelah foto ini diambil, Rex terpental akibat ombak dan jam tangannya hanyut. Hampir setengah jam ia terus menyari jam tangannya bersama anak-anak yang lain namun hasilnya nihil. Yang membuatnya tertawa adalah ketika ia mendengar percakapan antara Rex dengan yang lainnya.

    “Ya udahlah… toh, kalo jam doank mah bisa dibeli lagi…”, Bayu berusaha menghibur.
    Rex masih menatap ke arah lautan, berharap dia dapat melihat jamnya. Dilihat dari ekspresinya, mereka merasa kalau Rex sangat kehilangan.
    “Nanti kita bantu deh, patungan buat beli jam yang baru lagi… yang persis sama…”, kini Okky angkat bicara. Rex masih terdiam.
    “Emang harganya berapa sih ?”, tanya PE penasaran.
    “Murah, sih… gue belinya di Mangga 2, cuman 15 ribu…”, jawab Rex.
    “Terus !?”, kini Iman yang berujar.
    “Kalo gak ada jam tangan gue gak bisa gaya lagi, donk ! padahal gue khusus beli jam itu pas mau pergi ke Bali untuk gaya…”, akunya.
    “HANYUT AJA LO KE LAUT SANAAA !!!”.

    Dibaliknya album itu halaman demi halaman.
    Dan ia semakin tenggelam dengan kenangan-kenangan didalamnya.
    Satu foto cukup menarik perhatiannya. Cukup untuk mengingatkannya pada salah satu kenangan manisnya. Dan cukup untuk membuatnya tersenyum lebar.
    Itu adalah foto saat dirinya sedang melihat matahari terbit berdua dengan Rex di Uluwatu.
    Iman secara diam-diam berhasil menangkap moment itu.
    Selain latar belakangnya yang indah, ekspresi natural mereka menjadi daya tarik foto itu. Saat sebelum mereka sadar kalau sedang difoto, Tanya baru saja menyatakan keinginannya. Dia akan merasa sangat senang bila ada seseorang yang melamarnya di Uluwatu. Dan Rex pun menanggapinya, “waduh, Ti… berarti aku harus nabung dulu donk !”.
    Tanya tak menyangka kalau Rex akan berkata seperti itu.
    Diam-diam ia berharap kalau itu akan menjadi kenyataan.
    Hanya saja, saat itu mereka hanya ketawa seakan-akan semuanya hanya lelucon semata.

    Tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh suara deringan HPnya.
    Ia pun segera meraih HPnya yang berada di meja rias.
    Ditatap layar LCD, disana tertara nama Randy. Itu adalah nama tunangannya.
    Entah kenapa ada perasaan enggan untuk mengangkatnya.
    Ada sedikit rasa sebal karena deringan itu membuyarkan kenangannya. Membawanya kembali ke dunia realita. Dan menghadapkannya kepada kenyataan bahwa masa-masa itu sudah jauh berakhir. Apapun yang telah terjadi dengannya, kehidupan sekarang lah yang harus ia jalani.
    “Hallooo…”, jawab Tanya lembut.
    “Let me guess…”, gumam pria diujung sana dengan suara yang terdengar dewasa namun gentleman. “Pasti kamu baru aja nikmatin hujan, am I right ?”.
    Tanya tertawa kecil.
    “And what make you sure about that ?”.
    “I know you, honey… I do know you… walau baru 1 tahun ini aku mengenalmu, tapi aku tahu kalau tak ada yang bisa memisahkan antara kamu dan hujan…”.
    Tatapan Tanya beralih ke luar melalui pintu kacanya.
    Walau sudah berhenti, tapi ia masih dapat mendengar suara tetesan air hujan yang jatuh dari pinggiran atap ke lantai berandanya. Dan suara tetesan itu masih menggemakan irama khasnya.
    “Besok pagi, aku tiba di Jakarta…”, ujar Randy lagi ketika ia hanya mendengar kesunyian setelah kalimat terakhirnya tadi. “Mungkin sekitar jam 10 aku akan tiba di bandara”.
    “Okey… I’ll pick you up…”, Tanya terdiam untuk sesaat. Ada sedikit ekspresi sedang berpikir yang tersirat di wajahnya. Maybe I don’t come alone… I think I’ll go with my friends…”.
    “Really ! is it a boy or a girl ?”.
    “Girl of course… my bestfriend actually… I just want you to meet and know her…”.
    “Then I will be glad !”.
    Tanya tersenyum simpul.
    “Okey, see you tomorrow…”.
    “Love you, honey…”.
    “So do I…”.

    Kemudian Tanya mematikan HPnya.
    Tatapannya kembali keluar. Dibukanya pintu beranda itu dan ia melangkah keluar. Seketika angin dingin menerpa tubuhnya. Menyelami setiap pori-pori kulitnya. Ia pun bergidik untuk sesaat.
    Disenderkannya tubuhnya ke pagar beranda.
    Ia menghela nafas panjang.
    Sebenarnya, idenya untuk mengajak Sisten itu baru saja timbul.
    Dia sendiri juga tak tahu kenapa tiba-tiba dia mempunyai ide itu.
    Apa dia memang benar-benar ingin mengenalkan Sistien ke tunangannya itu.
    Atau…
    Ada alasan lainnya…
    Lagi-lagi Tanya menghela nafas.
    Sebenarnya ada apa dengannya saat ini…
    Kenapa pikirannya bisa kusut begini…
    Kenapa tiba-tiba dia merasa enggan bertemu dengan tunangannya…
    Sejujurnya, ia sudah tahu kalau ini akan terjadi dengannya. Kegalauan yang melanda hatinya. Ia tahu ketika ia memasuki dunia dimana semua kenangan lamanya tersimpan didalamnya, ia akan mengalami kesulitan untuk keluar darinya.
    Karena itu ia mengajak tunangannya untuk menemaninya dalam acara reunian nanti.
    Ia ingin tunangannya bertindak menjadi penjaganya. Mencegahnya untuk masuk ke dalam dunia itu lebih dalam lagi, dan apa bila ia kesulitan untuk keluar, ia akan menariknya keluar.
    Tapi…
    Kenapa justru sekarang ia tak ingin kehadiran tunangannya.
    Kenapa sekarang ia merasa tak rela bila ada seseorang yang mengganggunya kembali masuk ke dunia itu. Mengusiknya lalu menariknya keluar.
    Kenapa…
    Apa jauh didalam hatinya ia lebih merasa nyaman dengan dunia itu…
    Apa sebenarnya dalam dirinya menginginkannya untuk kembali ke dunia itu…
    Atau tanpa sepengetahuannya, sebenarnya ia masih mencintai makhluk bodoh itu…
    Tanya kembali bergidik ketika angin dingin kembali menerpa tubuhnya.
    Ia pun memeluk dirinya sendiri, berusaha menghangatkan dirinya.
    Ditatapnya kamarnya yang terkesan hangat itu.
    Dari dalam sana terdengar alunan lagu yang keluar dari speaker cd player. Lagu Love Will Never Lie-nya Michael Learns To Rock terdengar lembut di kedua telinga Tanya.
    Iapun segera memejamkan kedua matanya.
    Lalu bergumam mengikuti lirik lagunya.

    Nothing can stop Emotions. That run down the sides of your face.
    Wish I could change this moment to. Another time and place.

    Nothing you say can move Me. I’ve chosen the road that I’m on.
    I have to join the fight for freedom. Until the war is won.

    We will keep the faith between us. If we only try.
    We will keep the truth inside us. Love will never lie.

    Someone will always hear You. Care about you when you cry.
    But no one can hear my heart is breaking. As I say goodbye.


    ***
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.