1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Gadis di Tepi Jendela

Discussion in 'Fiction' started by ohon, Oct 6, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. ohon M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Sep 28, 2012
    Messages:
    201
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +36 / -1
    ane tadi beberes folder di lappie tahunya ketemu ini, naskah lama yang ane buat
    ya ane cuman butuh komen aja, sebagai masukan agar lebih baik lagi :ogmatabelo:

    genre : school life

    Setiap ku melihat ke arah jendela, persis di mana terlihat pepohonan dan daun melambai-lambai jika tertiup angin. Aku teringat seseorang yang ku kenal semasa SMA. Kini aku sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Sebentar lagi aku akan melepas masa-masa penat sebagai mahasiswa. Iya, sebentar lagi wisuda di depan mata. Tapi aku merasa ada yang hilang.

    Tujuh tahun yang lalu, ketika masih duduk di kelas 2 SMA. Aku di sana seperti orang yang dikenal semua orang. Tapi di sini aku bukan siapa-siapa. Tidak ada seorang pun yang ku kenal sama sekali. Aku masih ingat betul ada seorang gadis yang duduk terdiam di ujung kelas, persisnya di dekat sebuah jendela. Di sampingnya ada pohon besar yang menaunginya. Aku tak habis pikir, kenapa orang lain ingin duduk bergerombol dengan sesama teman sejenis tapi ia sendiri menatapi langit di belakang. Apakah dia makhluk anti-sosial atau ia dikucilkan? Bukannya ini kelas IPS di mana mempelajari tentang proses sosialisasi? Aku menatapnya heran.

    Saatnya perkenalan. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, aku tergolong orang yang dikenal –termasuk anak-anak baru di kelas yang tidak aku ketahui siapa. Mereka berbondong-bondong mendekatiku seperti bunga yang baru mekar. Tapi aku penasaran dengan gadis di ujung itu. Ia terus saja menatap jendela. Ketika aku menatap matanya, ia mulai lari ke beranda. Seperti ada yang ditakuti olehnya.

    Ketika guru menerangkan di kelas, aku duduk depan dekat anak-anak populer di kelas. Aku tak tahu kenapa aku bisa diterima dalam golongan mereka. Aku tidak terlalu pandai, tidak cantik atau tampan, tidak terlalu kaya, dan aku merasa aku bukan siapa-siapa dibandingkan mereka. Setiap mengikuti pelajaran, aku teringat akan dia. Sampai-sampai aku sering ditegur oleh guru karena terlalu sering melamun. Dia itu gadis misterius. Orangnya saja selalu memisahkan diri dari yang lain. Suaranya pelan bahkan nyaris tak terdengar. Orang-orang memanggilnya “si bisu” dan selalu berpikir kenapa orang semacam itu bisa diterima di sini.

    Waktu telah menunjukkan pukul 11.45, dan saatnya bel istirahat berbunyi. Aku bersiap untuk mengambil air wudhu dan pergi ke masjid yang letaknya tak jauh dari kelas. Sedangkan mereka, pergi ke kantin untuk beristirahat. Aku heran, masjid seluas dan senyaman ini selalu sepi saat waktu shalat tiba. Orang-orang yang sering shalat di sini hanya sedikit, paling sering aku lihat anak-anak DKM dan guru saja. Aku melihatnya lagi, ia sedang membuka sepatu di tepi masjid. Tiba-tiba ada orang lewat di depannya dan tak sengaja menabraknya. Ia dengan wajah tertunduk malu meminta maaf, tapi tak digubris. Mereka pergi begitu saja. Ia kemudian menyimpan sepatunya yang kumal itu di rak lalu bersiap mengambil wudhu. Tak seperti orang kebanyakan, ia shalat tahiyatul masjid sebelum duduk mendengar ceramah sebelum dzuhur. Azan telah berkumandang dan aku bersiap menunaikan rukun Islam yang kedua itu.

    Setelah shalat, sambil memakai sepatu di beranda masjid aku melihatnya pergi ke suatu tempat. Dengan rasa penasaran aku mengikutinya dan ternyata ia kembali ke kelas. Aku kira tas kecil yang dibawanya saat ke masjid isinya hanya mukena saja. Ia mengeluarkan buku kecil sebesar agenda dan sebuah pensil. Apa yang sedang dilakukannya itu? Mumpung kelas sepi, aku mendekatinya dan mulai menyapanya.

    “Hai, sedang apa kau di sini? Kau tidak istirahat?” ia menatapku dengan tatapan kaget. Ia mengalihkan perkataanku dan kembali fokus pada pohon di depannya. Ia terlihat gemetaran.

    “Kau kenapa?” ia kaget. Nafasnya cepat dan tidak teratur, terlihat seperti orang ketakutan. Ia kemudian ke luar dari kelas. Aku penasaran siapa dia sebenarnya.

    Keesokan harinya masih seperti itu. Hanya anak laki-laki yang duduk di depannya terus menggodanya untuk menjadi pacar salah satu di antara mereka. Aku tahu mereka tidak serius. Itu terlihat jelas dari air muka mereka. Mereka hanya ingin mempermainkan perasaan gadis yang pemalu nan polos itu. Ia tak bisa melakukan apa-apa, dari sorot matanya jelas menampakkan rasa takut. Guru datang dan pesta telah usai.

    “Dalam masyarakat dikenal beberapa jenis pelapisan sosial, coba yang di pojok sebutkan sistem pelapisan sosial pada masyarakat feodal!” beliau menatap ke arahnya yang terlihat seperti melamun. Ia bingung ketika sebelahnya menepuk bahunya.

    “Siapa namanya?” tanpa habis pikir anak-anak laki-laki di depannya menyebutkan namanya. Aku baru tahu namanya Arika. Tapi anehnya mereka seperti mengacuhkannya.

    “Arika…”

    Tanpa pikir panjang dan tanpa membuka buku sedikitpun ia menjawabnya dengan pelan.

    “Pelapisan sosial pada masyarakat feodal terbagi dua bagian yaitu kaum bangsawan dan rakyat jelata. Sedangkan pada kaum bangsawan terbagi lagi atas tiga bagian yaitu bangsawan tinggi, menengah, dan rendah,” semuanya terdiam. Ternyata di balik sifat pendiam “si bisu” itu terdapat otak yang cerdas. Beberapa waktu setelah itu orang-orang berbondong-bondong menghampirinya saat guru menyuruh tugas berkelompok. Ia kewalahan dan malah memilihku sebagai teman satu kelompoknya. Mungkin ia merasa aku yang dekat dengannya. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk mengetahui siapa ia sebenarnya.

    Ada satu kesempatan di mana kami harus mencari materi di perpustakaan. Berhubung jam pelajaran habis, itu dijadikan tugas kelompok yang dikumpulkan dua minggu lagi. Sementara yang lain ke luar, aku melihatnya ke luar juga. Tak lama kemudian ia kembali lagi ke perpustakaan dengan tas kecil itu lagi. Seleranya mungkin sedikit aneh, ia mengambil buku tentang teknik pertukangan sementara gadis-gadis lainnya mencari majalah remaja, baca horoskop, gosip, atau sekedar melihat mode terbaru. Aku mencari buku tentang penyakit-penyakit yang berkaitan dengan proses sosialisasi seseorang. Contohnya autisme, atau orang awam menyebutnya dengan autis. Orang yang menderita kelainan itu umumnya sulit berkomunikasi dengan orang lain tapi memiliki kelebihan di atas rata-rata teman sebayanya. Azan telah berkumandang dan aku meminjam buku itu lalu segera ke masjid.

    Selesai shalat, dia pasti ada di dekat jendela. Benar dugaanku. Ketika memasuki kelas ia sedang duduk sambil membaca buku yang diambilnya di perpustakaan.

    “Bolehkah aku duduk di sini?” ia mengangguk pelan lalu menyingkirkan tasnya ke samping. Seperti biasa sesekali ia menatap ke arah pohon itu. Aku heran apa yang menarik dari sebatang pohon besar di dekat jendela itu. Ternyata ada sarang burung kecil dan terlihat seekor burung sedang mengerami telur-telur di dalamnya. Ada burung lain membawakan makanan lalu menyuapi burung itu.

    “Lihat apa, kok diam saja?” tak biasanya ia berbicara padaku. Ia menatapku dengan tatapan polos.

    “Ada burung di situ, memangnya kenapa?” ia menutup bukunya lalu membuka tas kecil dan mengambil jurnal dan pensil. Aku kira ia mengamati perkembangan burung ternyata … pohon beserta burung dijadikan objek gambarnya. Ia mengamatinya dengan serius. Goresan demi goresan ia torehkan pada sebuah buku sketsa kecil yang dipegangnya. Pantas saja ia selalu menatap ke arah jendela. Ia memperhatikan sesuatu yang jarang diperhatikan orang. Akhirnya jadi juga.

    “Gambaranmu bagus,” wajahnya mulai tertunduk malu.

    “Alhamdulillah, tapi gambarku ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan segala sesuatu ciptaan-Nya,” ia merendah. Wajahnya tersipu malu.
    Keesokan harinya aku semakin dekat dengannya, dia bercerita banyak hal. Dari teman semasa kelas 1, burung kecil, hingga cerita tentang teman dekatnya. Namun semuanya berubah ketika ada salah satu anak-anak populer itu mengetahui aku dekat dengannya. Aku memutuskan pindah dekatnya karena aku merasa tidak nyaman duduk di dekat mereka. Dan dari situ pula aku mengetahui semuanya.

    Seperti biasa, selesai shalat aku langsung ke kelas. Dia tidak ada dan jendela terbuka lebar. Aku lihat burung-burung kecil ke luar dari cangkangnya dan terbang menuju alam bebas. Aku ingin memberitahukan apa yang ku lihat itu padanya tapi aku menemukannya di dalam masjid. Air mata menetes di pipinya. Kebahagiaan itu pun sirna. Diam-diam aku mengintip dari luar masjid dan melihat seseorang masuk dan mendekatinya.

    “Ka, kenapa? Bicara dong? Bukannya kau suka cerita padaku jika ada kesusahan?” seorang gadis masuk dan menghampirinya. Dia tetap tidak mau bicara. Sudah beberapa menit berlalu ia tetap menangis dan tidak tahu kenapa. Gadis itu ke luar lalu melihatku.

    “Kau pasti temannya Arika kan?” kemudian ia mengajakku bicara di bangsal masjid yang agak jauh darinya.

    “Arika itu anaknya sensitif dan mudah gugup. Jika ada yang mengagetkannya pasti ia langsung gemetaran. Aku tahu kau pasti Iki, dia sering bercerita tentangmu. Namaku Nadira, dari kelas 2 IPA 3.”

    “Iki, 2 IPS 2. Dia orangnya seperti apa?” aku menanyakan hal itu langsung pada sahabatnya.

    “Aslinya dia anak baik, ramah, dan periang. Tapi akhir-akhir ini ia sering murung. Tiba-tiba saja selalu menangis tanpa sebab juga ketika ditanya ia selalu menjawab,’Tidak ada apa-apa kok.’ Padahal aku tahu ia sedang menyembunyikan sesuatu. Itu terlihat jelas dari sorot matanya yang selalu menunduk ke bawah,” ternyata dia seperti itu memang sejak ia duduk di kelas 1.

    “Dia memang orangnya tertutup dan pemalu, jadi susah untuk memaksanya bicara. Dia juga pandai menutupi perasaannya. Pernah aku lihat dia disakiti oleh perempuan teman-teman sekelasnya hingga semua anak perempuan di kelas dipanggil ke ruang BK. Tapi ketika ditanya masalahnya apa dia tetap diam. Jika ia salah bicara mungkin akan lebih disakiti lagi. Itu mungkin salah satu alasan kenapa ia sulit mengungkapkan perasaannya pada orang lain.”

    “Tapi pernahkah kau sekali saja mendengar isi hatinya selama ini?”

    “Dia tak pernah bicara sedikitpun padaku. Tapi bahasa tubuhnya telah berkata mengenai perasaannya. Ketika aku berkunjung ke rumahnya, rumahnya besar dan sepertinya dia anak orang kaya. Semuanya ada dan kelihatannya itu adalah keluarga bahagia. Terus aku bertemu pembantunya dan bertanya tentang seisi rumah itu…” ia menceritakannya panjang lebar dan aku bisa menarik kesimpulan dari ceritanya itu.

    Arika lahir di keluarga serba kecukupan tapi ia tak pernah mendapat kasih sayang utuh dari orang tuanya. Orang tuanya selalu meninggalkannya dan selalu mengganti kasih sayang dengan uang. Sedangkan kakaknya sekolah asrama di luar kota. Ia lebih dekat dengan pembantu rumah tangga yang hingga sekarang setia melayani keluarga itu. Sewaktu ia kecil, ia selalu disiksa lahir batin oleh ibunya sehingga ia menjadi pendiam dan apatis pada orang lain. Ibunya selalu menguncinya di rumah dan memingit selama ia SD hingga ia masuk SMP. Sahabat pertamanya adalah televisi, radio, dan buku. Ia memang pandai tapi sulit bergaul dengan teman-temannya karena mereka menganggapnya orang aneh. Karena hal itu, ia sering dikucilkan dan mendapat perlakuan tidak baik oleh temannya. Bahasa gaulnya sih ‘bully’ atau ‘digencet’. Perasaannya yang tulus dan polos itu sering dipermainkan oleh teman-teman sebayanya. Ia sering dimanfaatkan, ditipu, dan dipermalukan oleh mereka. Bahkan sahabat dekatnya dulu pernah menusuknya dari belakang. Mungkin karena itu ia takut curhat dengan orang lain.

    Karena akhir-akhir ini kakaknya sering melihatnya murung, ia diajak kakaknya yang psikolog itu untuk konsultasi. Hasilnya mengejutkan, ia mengidap sindrom mirip autis sehingga ia kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Selain itu dia mengalami depresi berat akibat beban hidup yang terus dialaminya. Dia juga memiliki fobia terhadap kerumunan orang. Makanya ia selalu diam di rumah ketika hari libur. Pada waktu kelas 1 absensinya menurun drastis, dari kehadiran sempurna waktu semester satu hingga 20 hari sakit waktu semester dua. Prestasi di kelasnya pun menurun.
    Beberapa hari setelah kejadian itu, aku tak pernah melihatnya lagi di pojok kelas ataupun di masjid. Nadira yang biasanya suka shalat bareng atau sekedar mengobrol di beranda masjid dengannya kini sendiri. Guru-guru merasa ada yang kurang di kelas tapi anak-anak tidak. Mereka beraktivitas seperti biasa ada atau tanpa Arika. Burung-burung di pohon itu juga menghilang meninggalkan sarangnya.

    Tapi ketika selesai shalat, aku melihat Nadira menangis. Ia pun datang lalu memelukku erat.

    “Nad, ada apa?”

    “Kata Mbok Nah dia… ” ia tak bisa melanjutkannya lagi karena isak tangis yang cukup keras. Pasti ada hal buruk terjadi padanya. Sepulang sekolah kami pun menyusul ke rumahnya dengan motor. Firasatku benar, ada sesuatu terjadi padanya. Kini ia terbaring lemah di atas ranjang.

    “Non Nadira!”

    “Mbok Nah, non Arika kenapa?”

    “Sudah seminggu non Arika tidak bangun dari ranjangnya. Mbok juga lihat tubuhnya lebam-lebam dan memar. Sampai-sampai orang tuanya kembali dari urusan kerja di luar kota. Tapi pas hari Kamis diperiksa ke dokter katanya ia menderita kanker otak stadium lanjut. Padahal non Arika kelihatan sehat-sehat saja.”
    Aku jadi teringat akan tangisannya di masjid saat itu.

    “Rencananya besok non Arika mau dibawa ke luar negeri untuk dioperasi. Itu rujukan dari rumah sakit di sini. Ini ada surat yang Mbok temukan dalam buku sketsa non Arika,” beliau menyerahkan surat itu sambil menyeka air matanya.

    Buat Papa, Mama, Mbok Nah, dan kak Fikri di rumah
    Maafkan Ika kalau Ika ada salah sama papa, mama, Mbok Nah, sama kak Fikri. Ika sebenarnya sudah tahu penyakit ini sudah lama tapi tidak mau memberitahukannya takut semuanya khawatir akan Ika. Ika tidak mau merepotkan lagi, Ika sudah besar. Tanpa sepengetahuan papa dan mama Ika pergi ke dokter dengan uang tabungan Ika sendiri. Awalnya Ika sering sakit kepala tapi tak kunjung sembuh juga sering pusing. Ketika diperiksa ternyata itu bukan sakit kepala biasa dan dokter memintaku melakukan rontgen dan hasilnya positif ada kanker dalam otak Ika. Ika juga tahu umur Ika tidak akan lama lagi.
    Papa, mama, mbok, juga kakak. Bila membaca surat ini mungkin Ika sudah tidak ada di sini lagi. Ika cuma minta satu hal, jika bertemu Nadira dan Iki titipkan permintaan maafku untuk mereka. Maafkan Ika kalau selama ini Ika selalu merepotkan mereka. Ika akan terus mendoakan dan melihat semuanya dari alam sana. Terima kasih atas perhatiannya pada Ika selama ini.


    Arika


    Aku tak kuasa jika harus membaca surat ini. Baru saja bertemu harus berpisah dengannya. Di belakang surat itu adalah gambar pohon yang ia buat saat itu. Arika, semoga kau diberikan jalan yang terbaik oleh-Nya. Dengan berat hati aku harus mengikhlaskan ia pergi entah sampai kapan.

    Setelah lulus dari SMA, aku masuk ke perguruan tinggi dan memilih jurusan Filsafat. Besok adalah hari di mana aku resmi menjadi sarjana. Hari yang ditunggu pun tiba. Baju toga kebanggaan, ijazah, gelar sarjana, dan aku telah membahagiakan orang tuaku dengan meraihnya. Beberapa hal yang belum aku raih yaitu mendapat kerja, menikah, dan memberikan cucu pada orang tua. Arika, terima kasih. Karena dirimu aku menjadi seperti ini.

    “Iki!” aku mendengar sayup-sayup suara seseorang memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan itu Nadira.

    “Ada asisten dokter mau lewat nih!” Nadira sudah lulus tahun lalu dan ia sekarang menjadi asisten dokter di sebuah rumah sakit swasta. “Selamat ya atas kelulusanmu! Semoga jadi filsuf yang bisa merubah negara ini.”

    “Amin,” di sela-sela pembicaraanku dengan Nadira, aku melihat seseorang mirip dengan Arika di jajaran alumni jurusan Geodesi. Tapi ia tersenyum ke arahku. Apa itu hanya firasatku saja atau bukan? Semoga saja itu bukan mimpi.

    NB: ane baru nyadar nama tokohnya mirip tokoh utama Medabots, keinspirasi mungkin
     
    • Thanks Thanks x 4
    Last edited: Oct 6, 2012
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.