1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen J

Discussion in 'Fiction' started by lawliet_erwin, Sep 26, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. lawliet_erwin Members

    Offline

    Joined:
    Jun 23, 2012
    Messages:
    3
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +1 / -0
    Hari itu, ia tak lagi pergi kuliah. Seharian itu, ia hanya berdiam diri di dalam kamarnya. Ia sadar ada yang salah dalam dirinya, tetapi ia tak tahu apa yang salah di dalam dirinya. Ia baru keluar ketika malam sudah muncul mengganti siang. Ia memilih pergi tanpa arah. Suasana kota itu mulai sunyi. Tinggallah segelintir orang yang lalu-lalang tak jelas di jalanan. Salah satunya diantaranya adalah ia sendiri.

    Tanpa ia sadari, ia telah berdiri di depan sebuah rumah di daerah Tegalrejo. Di sana tinggallah seorang tua yang tak lain sahabat pertamanya, yang dulu pernah mengajarinya merajang kopi, mengajaknya pergi memancing, belajar jadi dalang, menulis naskah drama dan bermain catur. Ia pun mengetuk pintu rumah yang terbuat dari kayu.
    Seorang pria paruh baya keluar sambil menggandeng anak perempuannya yang berjari enam. Pria itu masih saja sama seperti dulu. Berkumis tipis. Rambut belah tengah. Tubuhnya tak terlalu berotot tapi cukup kokoh dan kuat. Namanya Tedjo.

    “Lho,” ujar Tedjo setengah kaget melihatnya. ”Tumben mrene to le?”

    Ia mengangguk. Ia langsung saja memeluk sobat tuanya tersebut. Rasanya ingin sekali ia menumpahkan segalanya perasaanya saat itu pada sobat tuanya itu. Ia yakin sobat tuanya tersebut punya jawaban yang ingin diketahuinya. Ia adalah pria terbijak yang pernah ia kenal dan ketahui di muka bumi ini.
    Segera mereka berdua masuk ke dalam rumah. Tak cukup luas dan mewah, tapi cukup hangat untuk udara malam itu. Segera ia disuguhi secangkir kopi hangat kental kesukaannya.

    “minumlah dulu. Ben anteng,” ujarnya seraya menyuguhkan padanya. “sekarang ceritaken pelan-pelan, apa masalah kamu sebenarnya?”

    Ia mulai bercerita pada Tedjo bahwa sekarang ia sedang mengalami kesulitan dalam menulis. Ini gara-gara pertemuannya dengan gadis bernama ‘J’. Ia menceritakan mulai kejadian dari saat awal perkenalan sampai awal pertemuan mereka. Dalam hubungan itu ia merasa ada perasaan aneh yang bikin dirinya tak bisa melupakan bayangan gadis itu.
    Semua itu terjadi secara mendadak. Hingga pada akhirnya ia tak bisa menulis lagi, karena bayang-bayang ‘J’ terus terbayang di dalam kepalanya. Padahal deadline tulisan sedang memburunya sekarang ini. Ia mulai merasakan ada yang salah dengan dirinya.

    “Lha, tinggal tulis ae opo sing neng uthekmu, to,” jawab Tedjo.

    Ia segera menggelengkan kepalanya. “ndak bisa. Masa aku aku mau nulis ceritaku sama ‘J’. Yo isin aku,” katanya. ”Lagipula tulisanku sekarang jadi buruk. Logikane semrawut. Nanti orang di luaran sana bakal bilang opo? Ngekek mesti”

    Pria itu mulai tersenyum. “Yang pertama mesti kau harus ingat adalah Jangan kamu samakan semua orang. Tiap kepala dan isinya tentu saja berbeda. Tak bakal semua orang tak suka dengan tulisanmu kuwi. Lagipula yang menilai adalah pembaca, bukan kamu,”

    Tedjo diam sejenak dan mulai mengambil rokoknya, “dan yang kedua, dari ceritamu sendiri, sebenarnya ini ada kaitannya dengan semua hubunganmu yang ada di masa lalu. Ibarat wong mlaku, awakmu sing saiki iku duk awakmu. Parikan iku, maksudnya ono “sesuatu” sing kudu mbok selesaine terutama neng njero atimu,”

    Hhmm... ia mulai terdiam.

    “kamu itu masih jadi penulis kan?”tanya Tedjo padanya. ”tuliskan saja apa yang jadi perasaanmu pada wanita itu,”

    Ia langsung mendelik mendengarkan saran dari sobat tuanya itu. “cocote…”

    “Wes-lah, ojo cikri dadi lanang!,” sergah Tedjo sambil menunjuk jari telunjuk padanya. ”Aku tahu, apa yang akan kamu tanyakan selanjutnya: kamu mesti ora ngerti kenapa kamu merindukannya! Aku juga ndak reti. Wong sing tresno sopo, wong liyo kongkon nerjemahke. IQ?,”

    Ia terhenyak dengan jawaban tersebut. Ia kaget dengan sergahan dari pria paruh baya tersebut. Ia memang tahu bahwa jawaban itu ada pada dirinya sendiri, tetapi mengetahui jawaban itu sama saja menggali kuburannya sendiri. Ia berarti harus mengingat dan melihat segala kenangan yang pernah terjadi selama ini.

    “terus apa hasilnya jika aku menuliskan perasaanku sendiri? Apakah gadis ini akan suka padaku?”

    “yo, delok ae ngko.” Jawab Tedjo sambil mematikan bara api rokoknya ke dalam asbak yang terbuat dari kaca. “Kamu akan tahu sendiri jawabannya,”

    ***​

    Ia terduduk cukup lama di atas bangku kayu yang ada di aula perkampungan, tempat biasa ia menulis. Sudah tiga hari ia terdiam di situ. Tetapi ia tidak segera mengerjakan tulisan yang dimaksudkan oleh Tedjo. Ia benar-benar tak tahu mesti memulainya darimana. Setiap kali ia menulis, tulisannya itu segera saja dihapus. Tulis. Hapus lagi. Tulis. Hapus lagi. Begitu berulang kali.

    Akhirnya setelah berkutat di depan laptopnya selama tiga hari tanpa tidur, ia mulai menyerah. Ia merasa bahwa dirinya tak bisa lagi menulis. Padahal, menulis adalah satu-satunya hal yang dicintainya.

    Ia sendiri juga tak sadar bahwa malam sudah tiba. Ia mulai merasakan udara mulai dingin. Kampung itu sendiri sendiri juga sudah sepi. Tak ada orang. Hanya adalah suara jangkrik yang berderik. Suara desir angin yang membelai lembut dedaunan itu menciptakan instrumental alam yang begitu harmonis. Dari balik sudut tersunyi itu, Ia kembali ke hadapan laptop dan mulai berkutat lagi dengan apa yang dirasakannya selama ini pada ‘J’. Tetapi kali ini ia seperti mendengarkan suara, yang tak lain dari hatinya sendiri. Ia mulai menrasferkan apa yang dirasakannya di dalam hati ke atas keyboard laptopnya.

    Kalimat pertama muncul. Kalimat kedua muncul. Kalimat ketiga. Keempat dan seterusnya. Semuanya mengalir. Ia memulainya dengan menceritakan segala yang terjadi di masa lalunya, jauh sebelum ia mengenal ataupun menabung rindu pada “J”.

    Di sana ia mulai bercerita dimana ada bayangan seorang gadis yang, saat itu masih jadi pujaan hatinya. Ia baru sadar bahwa hubungannya dengan gadis-gadis lain yang ia kencani selama ini sering kandas diakibatkan ia masih memiliki perasaan mendalam pada gadis tersebut.

    Secara tak sadar, perasaannya terhadap gadis tersebut ditekan ke alam bawah sadar, lalu membentuk sebuah “pembatas” dalam setiap hubungannya dengan gadis-gadis yang dikencaninya. “Batas” tersebut, tak lain, adalah logikanya sendiri yang membentuk sebuah mekanisme pertahanan guna melindungi hatinya sendiri. Hal ini terjadi sebab hatinya pernah menipunya di masa lalu. Ia jadi takut untuk memakai dan memercayai hatinya sendiri.

    Tetapi dengan menyadari adanya “batas” tersebut, ia mulai sadar bahwa, selama dua tahun ini ia telah kehilangan dirinya sendiri. Ia hanya jadi sosok “pengecut” yang bersembunyi di balik logika dan pengetahuan dunia.

    Untuk itulah kini ia harus mengetahui dirinya kembali terlebih dahulu. Seketika itu juga, Ia jadi teringat pada perjalanan perjalanan ziarah ke sebuah tempat doa, yang letaknya tak jauh dari kota. Dalam perjalanan ziarah tersebut, ia banyak belajar segala sesuatu yang harus dipelajarinya untuk bertahan hidup di dunia. Salah satunya adalah kemampuan membaca pertanda yang ada di dunia. Salah satu pertanda sendiri yang kini ia tangkap dan tuliskan adalah kisah pertemuannya dengan ‘J’.

    ‘J’ datang di kala ia sedang berada pada tingkat kebebasan yang tinggi, dimana rasionalitasnya terus meninggi dan ia mulai melupakan firasat yang disampaikan oleh hatinya sendiri. Padahal firasat adalah bahasa jiwa yang memiliki koneksi pada dunia dan semesta. Di sinilah ia mulai berani menerjemahkan pertemuannya dengan ‘J’ pastilah memiliki “arti yang tersembunyi”. Tetapi apapun “arti tersembunyi” tersebut pastilah baik untuk dirinya sendiri, apalagi ada semacam antusiasme yang meliputinya ketika ketemu di saat pertemuan pertamanya. Bila dipersempit lagi berarti, hal ini sudah benar, sesuai dengan jalur yang dituliskan oleh Takdir.

    Konsepsi tersebut perlahan mulai membuka tabir jawaban “untuk apa” pertemuannya dengan seorang ‘J’ itu sebenarnya. Tetapi tak berhenti di situ. Setelah mengetahui dirinya dan arti pertemuannya dengan ‘J’, Ia mulai mengoreksi rasa “rindu” yang dialaminya selama ini.

    Rindu, sebenarnya, merupakan manifestasi kecil dari energi mentah yang memiliki kekuatan besar untuk membentuk dunia. Manusia sering menyebutnya dengan “Cinta”.
    Ia jadi teringat kalau beberapa saat yang lalu, ia berusaha menyangkal rindunya pada ‘J’. Tetapi bukannya menghilang, tapi malah kekuatan perasaan itu makin bertambah kuat perasaan seiring penyangkalan yang dilakukannya. Benar. Ia jadi belajar bahwa sebenarnya mengakui ketertarikannya dengan ‘J’ adalah sah, dan ini masih ada diambang batas kewajaran.

    Tetapi apakah apa yang ia rasakan itu benar-benar ‘cinta’?

    Ia tak ingin tergesa-gesa lagi untuk mengarahkan perasaannya pada apa yang dinamakan dengan ‘cinta’. Ini terlalu riskan baginya. “biarkanlah rasa itu menguji dirinya sendiri,” saran rekannya sesama penulis, Djenar dulu. “Dan jika memang itu memang benar “cinta”, biarkan itu berkembang dengan sendirinya,”
    Benar. Biarkan saja semuanya berjalan secara natural dan alami.

    Dengan berpikir demikian, makin membuat perasaannya makin tenang. Pemahaman tersebut membawanya melewati batas yang seharusnya ia artikulasikan. Ia jadi tahu bahwa perasaannya itu tidak salah, tapi juga tidak benar. Keduanya hanya sebatas subjektifitas belaka saja. Di sinilah hukum relatifitas Einstein memainkan perannya.
    Tetapi bagaimana jika pada akhirnya ujung dari perasaan ini adalah sebuah kepahitan ataupun kesedihan? Inilah kekhawatiran yang selama ini menjadi tanda tanya besar dalam benaknya.

    Ia jadi teringat pada puisi yang dituliskan oleh pengarang favoritnya:

    Ketika tamu tak diundang itu tiba…
    Aku mungkin takut.
    Aku mungkin akan tersenyum atau berkata:
    Hariku berjalan dengan baik, biarkanlah malam tiba.
    Ladang telah dibajak, rumah sudah bersih,
    meja telah diatur,
    dan semua ada pada tempatnya.


    Puisi tersebut jadi mengingatkan bahwa dirinya hanya perlu mengerjakan apa yang jadi porsinya. Karena dengan begitu, ia takkan diliputi harapan yang tinggi dan membutakan. Harapan hanyalah sebuah kesemuan semata. Dengan meniadakan harapan dan bekerja sesuai dengan apa yang jadi porsinya, maka ia jadi terlepas pada perasaan takutnya sendiri dan membiarkannya mengalir seperti sungai yang mengalir.

    Sehingga ia hanya tinggal berkata pada ‘J’ bahwa: Hariku berjalan dengan baik, biarkanlah malam tiba.

    ***​

    Setelah semalaman ia menuliskan apa yang ia rasakan selama ini dalam bentuk cerita panjang, ia segera membeli tiket bis jurusan ke kota Yogyakarta, tempat ‘J’ berada. Ia ingin bertemu dan memberikan tulisan tersebut pada ‘J’. Entah apapun hasilnya, yang terpenting ia telah mengakui perasaannya sendiri.
    FIN (?)
     
    • Like Like x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    sastra khas indonesia banget, aromanya kental suasana jawa(kalimat e tentu e)

    lebih ke arah pemikiran si "ia" pergolakan batin e tentang perasaan e ke "j" > tersampaikan dengan baik >arti e tulisanmu ini enak dibaca :D

    walaupun....

    agak kurang roman ehmmm kasarne kurang dramatis kurang ada impact e....alur e terlalu polos....
     
  4. nanamiang Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Sep 8, 2010
    Messages:
    234
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +21 / -0
    Sebenarnya kurang ngerti bahasa jawa, tapi dipaksain ngerti.

    Cerita orang galau kayaknya nih
    Ciri kas cerpen, kita pikir sendiri aja lanjutannya ya?
    Yang jelas, pasti berakhir bahagia ya....
     
    • Like Like x 1
  5. lawliet_erwin Members

    Offline

    Joined:
    Jun 23, 2012
    Messages:
    3
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +1 / -0
    Hahaha... Terima kasih atas sarannya. Sengaja tidak saya beri plot, karena titik tekannya pada pemikiran "ia".

    Eniwei, sastra Indonesia itu yang kaya gimana sih bro?
     
  6. lawliet_erwin Members

    Offline

    Joined:
    Jun 23, 2012
    Messages:
    3
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +1 / -0
    Ternyata tidak. Ia tidak bertemu dengan 'J' di Yogyakarta. Ini saya sedang menyelesaikan lanjutannya. :)
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.