1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Tri Angle -View-

Discussion in 'Fiction' started by merpati98, Sep 21, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Tri Angle -View-
    -------------------------

    Genre

    Sci-fi, Mystery, Slice-of-Life, Fantasy, Psychology?

    Kata Pengantar aka bacotan author

    Malcolm Gladwell mengatakan dalam bukunya What the Dog Saw, kalau dia ingin tahu mengenai apa yang ada di balik pekerjaan harian orang lain. Dan rasanya bukan hal yang aneh kalau manusia ingin tahu apa yang ada dalam pikiran manusia lainnya. Dalam dunia ini, dalam hidup ini ada berbagai macam pengalaman, peristiwa yang terjadi setiap harinya, setiap jamnya, atau bahkan setiap detiknya. Tapi satu orang tentu saja hanya dapat melihat, merasakan, mengalami sedikit dari semua peristiwa yang terjadi. Tapi tetap saja, keinginan untuk mengetahui itu semua, atau paling tidak sebagiannya(selain yang dialami sendiri) selalu ada, dan karena itulah saya membuat fict ini.

    Fict yang berjudul: Tri Angle -View-. Kalau diterjemahkan secara seenaknya bisa diartikan sebagai Tiga Sudut Pandang. Ceritanya sendiri akan berkisar di tiga tokoh utama dan kehidupannya, masa lalunya, apa yang ada dalam pikirannya, dan apa yang dipikirkan orang lain mengenainya. Tentu saja, biarpun saya bilang begitu, mungkin cerita ini akan tetap terasa seperti dari satu sudut pandang(karena yang nulis emang cuma satu), tapi yah... anggap aja fict ini adalah pelampiasan saya buat hal yang saya ingin bisa saya lakukan.
    ...
    Ah ya... mungkin formatnya bakalan jadi kayak kumpulan cerita pendek buat tiap subbab.

    Summary

    Tiga orang. Tiga dunia. Tiga kehidupan. Tiga masa lalu. Tiga sudut pandang. Tri Angle -View-

    Karakter

    --menyusul--

    P.S

    Sudut pandang di tiap subbab hampir selalu berubah tanpa peringatan.
     
    Last edited: May 25, 2013
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Last edited: Sep 22, 2012
  4. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    reserved for prakata(prolog)
     
  5. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Sudut Pandang
    #1: Stranger

    Hujan. Aku memandang rintik-rintik air yang turun dari atas genting rumah dengan muram. Entah kenapa tiap kali hujan, aku selalu merasa sedikit melankolis dan sensitif. Seperti semua yang ada dalam pikiranku berserakan, bercampur menjadi satu, dan tidak dapat ditangkap maknanya.

    Orang bilang hujan anugerah. Aku tidak peduli. Orang bilang hujan itu cuaca buruk. Aku tidak mengerti. Kenapa harus ada dua opini yang bertentangan mengenai hal sesederhana hujan?


    Pertama kali aku bertemu laki-laki itu pun ketika hujan. Di halte bus tempat orang-orang berteduh dan beberapa juga sambil menunggu alat transportasi itu. Aku adalah salah seorang di antara yang menunggu. Sambil melihat tetesan hujan yang turun dengan derasnya di hadapanku.

    Ketika itulah tiba-tiba dia datang. Laki-laki itu. Yang baru saja menerobos hujan dan sampai ke halte tempat aku berdiri. Aku ingat aku langsung melirik ke arahnya, ke sebelahku. Mungkin karena sedikit kaget, atau... entahlah. Aku tidak mengerti.


    Perawakannya biasa saja. Tingginya sekitar 170-an, mungkin rata-rata untuk ukuran laki-laki. Badannya agak kurus. Mengenakan kaus berwarna abu-abu dan celana jeans.

    Yang menarik perhatianku mungkin rambutnya yang berwarna pirang kekuningan. Aku tau pirang itu kuning. Tapi kurasa memang begitulah yang kupikirkan saat melihat rambutnya. Dengan potongan yang sedikit pendek dan juga panjang dalam waktu bersamaan(aku tidak begitu mengerti style rambut), dan warna kuning mencolok, dia tampak menonjol di antara orang-orang yang sedang berteduh di halte.

    Laki-laki itu sendiri tampak tidak menyadari kalau dia sedang kuperhatikan. Dan tetap berdiri diam di sampingku sambil menatap ke arah depan. Entah apa yang dia lihat, aku juga tidak mengerti. Mungkin hujan? Mungkin taman di depan sana? Mungkin juga yang lain.


    Aku tidak tau. Aku tidak pernah bisa menebak jalan pikiran orang itu. Bahkan setelah beberapa kali bertemu dengannya. Di halte yang sama. Pada waktu hujan.


    Sebetulnya, aku mungkin saja lupa mengenai laki-laki tersebut jika kejadian itu tidak terjadi. Aku ingat sekali, saat itu adalah hari Senin. Hari pertama kerja dalam seminggu. Dan itu adalah hari terburuk yang pernah kualami dalam kehidupan kerjaku.

    Kesalahan dalam laporan. Kesalahan order. Kesalahan cetak. Kesalahan fotocopy. Kesalahan komputer. Rasanya hari itu penuh dengan kesalahan. Dan ketika akhirnya aku bisa pulang... hujan turun lagi.


    Aku tidak pernah menganggap hujan adalah sebuah kesialan. Tapi hari itu aku sangat berharap hujan tidak turun, dan aku bisa segera sampai ke rumah. Itu harapanku. Tapi realita tidak menyetujuinya. Dan hujan turun, sementara aku masih harus berjalan beberapa meter lagi ke halte.

    Sampai di sana, aku bertemu lagi dengan laki-laki itu untuk kesekian kalinya. Dia berdiri diam dengan mengenakan baju yang hampir sama tiap kali aku melihatnya. Kaus dan celana jeans. Aku sering merasa heran bagaimana dia tidak merasa kedinginan mengingat saat itu memang sedang musim hujan dan dengan suhu yang bisa dikatakan lebih dingin daripada biasanya.


    Aku lalu ikut berteduh sambil menunggu bus yang akan aku tumpangi lewat. Payung yang baru saja kupakai kulipat kembali. Tidak kumasukkan ke tas, tentu saja, mengingat payung tersebut masih cukup basah. Jadi kubiarkan salah satu tanganku memegang benda itu sementara aku bersandar lelah ke tiang halte.


    "Bad day?"

    Pertama kali aku mendengar suara keluar dari laki-laki itu, dia berucap dengan nada ringan. Aku reflek langsung melihat ke sampingku dan menemukan matanya... mata kuning laki-laki itu menatap ke arahku dengan pandangan seperti sedang tertawa.

    Bukan tertawa dalam artian dia merasa ada yang lucu. Lebih ke arah tertawa menggoda(ah, rasanya ada yang salah), atau menghina. Meskipun ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan begitu.

    "Bad day?"

    Dia bertanya lagi setelah melihat aku tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

    "...ya."

    Aku menjawab ragu-ragu. Seolah-olah tidak yakin dengan apa yang aku alami. Tingkahku saat itu mungkin seperti cewek yang baru saja jatuh cinta pada laki-laki asing tidak dikenal dan sekarang laki-laki itu mengajaknya bicara.

    Tapi aku berani bersumpah aku tidak menyukai laki-laki tersebut.


    Mendengar jawabanku, laki-laki itu hanya menganggukkan kepala sedikit. Seperti mengerti dan juga tidak sebelum kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Aku, masih, tidak tau apa yang dilihatnya. Pernah aku berusaha mengikuti arah pandangnya. Tapi yang kutangkap cuma pandangan kosong seperti orang sedang melamun.

    Tapi aku tidak yakin, karena ekspresinya berbeda. Aku tidak bisa mengatakannya secara pasti. Karena... entahlah. Semuanya terasa samar. Baik dia, maupun ingatanku tentangnya.


    "Aku suka hujan."

    Aku menoleh lagi. Melihat laki-laki itu bergumam sambil tetap melihat ke arah yang tidak bisa aku pastikan. Walaupun begitu, dia sempat melirik ke arahku sebelum mengembalikan pandangannya ke depan.

    Laki-laki itu lalu mengangkat tangannya. Keluar dari lindungan atap halte. Mengenai air hujan yang turun dan menjadi percikan di atas tangannya. Dia lalu tersenyum. Tersenyum sambil melirik ke arahku.

    Sementara aku hanya bisa membalas tatapannya. Seperti terprogram. Tidak bisa melihat ke arah lain. Dia tersenyum. Kalau yang kamu bayangkan adalah senyum tulus, kecil, tipis, melankolis... itu semua salah. Dia tersenyum lebar. Dan terasa mengerikan.

    Aku mungkin seharusnya mengatakan itu seringai. Tapi aku masih merasa kalau itu adalah senyuman. Dia memang tersenyum. Sambil memandangku dengan matanya yang khas.

    Arogan. Perasaan itu terpancar dalam tatapannya yang hanya sekilas. Dalam senyumannya yang lebar. Dalam gerak-geriknya tubuhnya yang seperti sedang menantang dunia.


    "Mau bertaruh?"

    Aku tidak mengerti. Dia mengulurkan tangannya ke arahku. Memberikanku sebuah kartu. Kartu As. Itu yang pertama aku kira ketika melihatnya.

    "Setelah hujan reda, akan ada pelangi yang muncul."

    Dia berkata lagi. Masih dengan tatapan yang sama dan senyum yang sama. Aku terdiam. Tidak membalas kata-katanya. Bahkan ketika laki-laki itu beranjak pergi dari halte sambil melambaikan tanganpun aku masih terdiam.

    Aku tidak berpikir sama sekali kenapa laki-laki itu mendadak pergi begitu saja di tengah hujan yang masih terus mengguyur bumi. Aku tidak berpikir sama sekali soal caranya berjalan yang terlihat santai dan bebas. Seolah tidak peduli dengan hujan yang membasahi tubuhnya. Seolah tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya.

    Aku baru memikirkan itu semua setelah mengingat-ingat lagi kenangan mengenai laki-laki itu. Aku memandang kartu di tanganku. Kartu As. Bukan As hati. Melainkan diamond. Dan setelah diperhatikan lebih teliti, kartu itu adalah kartu nama.

    Milik laki-laki tersebut. Yang tidak pernah aku temui lagi setelahnya. Di halte bus itu, pada saat hujan.


    Ahh.. kalau kupikir lagi, hal yang paling mencolok dari laki-laki itu adalah matanya. Dia bisa mengubah gaya rambut, cara berjalan, style pakaiannya bagaimana saja dan aku yakin aku tetap bisa menyadari itu dia jika aku sudah melihat matanya.
     
    • Thanks Thanks x 2
    Last edited: Sep 22, 2012
  6. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Sudut Pandang
    #2: Former Classmate

    Ingatan adalah suatu hal yang sangat rapuh. Mudah menghilang. Mudah pergi. Ketika aku berusaha mengingat apa yang kulakukan kemarin malam, aku kehilangan ingatan mengenai apa yang kulakukan tadi pagi. Ketika aku berusaha mengingat wajah dan nama orang yang mungkin aku kenal, aku kehilangan ingatan mengenai siapa orang yang berdiri di hadapanku.

    Aku benci mengingat sesuatu. Dan aku juga bukan orang yang terkekang dengan masa lalu. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka sebut kenangan. Aku hidup di masa sekarang dan yang perlu kupikirkan hanyalah saat ini dan bagaimana masa depan nanti.


    Namanya As. Atau begitulah pemuda itu dikenal sebagai model dan artis. Dia tampan. Walaupun terkadang kupikir kata manis juga sesuai untuk mendeskripsikan wajahnya. Dan tidak perlu heran kalau kebanyakan wanita menyukainya.
    Yang aku tau, wajahnya sering menghias cover majalah remaja. Dia juga beberapa kali membintangi film-film dengan rating tinggi. Meskipun jarang muncul di layar kaca (mengingat sepertinya dia belum tertarik untuk main di serial tv), pemuda itu cukup terkenal.

    Menurut beberapa teman wanitaku, hal yang menarik dari sosok As adalah auranya yang misterius. Aku tidak begitu mengerti. Tapi aku tau, jawaban terbaik untuk membalas perkataan perempuan yang menggemari sesuatu adalah: menganggukkan kepala, pura-pura setuju.
    Masalahnya setelah itu aku seolah dipaksa harus menyetujui perkataan itu dalam artian sebenarnya. Entah bagaimana aku mendadak mengerti dengan maksud mereka mengenai aura misteriusnya. Walaupun bukan dengan artian baik.


    Pertama kali bertemu dengannya(atau begitulah yang aku kira saat itu), ada kejadian tidak menyenangkan yang terjadi. Aku adalah seorang fotografer model di sebuah majalah. Dan jobku hari itu adalah memotret As. Pemuda yang namanya sedang melesat tinggi. Meskipun tidak sampai mengalahkan artis papan atas lainnya, ketenarannya cukup stabil. Dan kurasa dia juga punya kelompok penggemar tersendiri. Yang loyal kalau perlu kutambahkan.

    Andai aku perempuan, aku mungkin akan sangat senang menerima job memotret model seperti dia. Tapi masalahnya aku laki-laki, dan aku normal. Jadi job hari itu adalah job yang tidak terlalu menyenangkan untukku. Yang aku tidak ketahui setelahnya, adalah kenyataan bahwa job itu akan menjadi job paling mengesalkan yang pernah aku terima.


    Waktu itu sekitar pukul dua siang. Aku baru saja selesai makan dan akan memulai sesi pemotretan yang tidak pernah bisa dimulai.

    Aku sendiri bingung. Sebenarnya ada masalah apa saat itu?

    Aku ingat aku sedang menyiapkan kamera ketika dia melihatku dengan tatapan menyeramkan. Seperti terkejut, marah, dan takut menjadi satu. Aku tidak mengerti. Jadi kuanggap kejadian itu hanya ilusiku semata. Imajinasi saja karena aku tidak begitu suka pada model laki-laki. Cih, pria metroseksual!

    Karena itu, aku tidak begitu memikirkannya.

    Tapi aku dipaksa kembali memikirkannya ketika saat pemotretan berlangsung, As memilih untuk diam dan tidak mematuhi perintahku yang menjadi fotografer saat itu. Arahanku untuk pose, gaya, dan sebagainya tidak dia pedulikan. Pemuda itu malah berdiri kaku seperti patung sambil membuang muka entah kemana.

    Pemotretan ditunda. Managernya berjalan menghampiri dia. Aku kira untuk menegur atau memarahinya. Tapi faktanya berkata lain. Keduanya hanya bercakap-cakap sebentar sebelum manager tersebut menghampiriku.

    Perkataan pria itu masih kuingat sampai sekarang.

    "Maaf, tapi apa bisa fotografer untuk pemotretan ini diganti?"

    Aku yakin wajahku saat itu pasti seperti orang baru meneguk baygon yang disangkanya es jeruk dan menyadari dia akan mati konyol.

    "As tidak mau dipotret kecuali dengan fotografer yang lain."

    Manager itu melanjutkan. Aku tidak ingat lagi apa yang dikatakannya. Yang aku ingat hanyalah perasaan kesal dan benci yang mendadak menggerogotiku terhadap model angkuh itu.


    Kelanjutan dari kejadian itu sederhana. Sangat sederhana sampai aku merasa perlu mereka ulang kejadian tersebut agar mereka mengerti siapa yang salah dan siapa yang menjadi korban.

    Fotografer diganti. Gajiku dipotong. Dan aku dimarahi oleh boss.

    Kalau aku tidak sayang dengan pekerjaanku, aku ingin berteriak di depan wajah bossku keras-keras, "Are you serious?!"

    Oh lupakan. Aku melakukannya. Dan aku hampir dipecat akibat itu.

    Tapi bagaimanapun juga aku tidak merasa membuat kesalahan apapun saat melakukan job tersebut. Dan jelas bukan salahku kalau pemuda sialan itu tidak menyukaiku. Kami bahkan baru bertemu dan saling melihat satu sama lain. Berbincang saja tidak pernah. Bagaimana bisa aku yang jadi kambing hitamnya?
    Tapi seberapa banyakpun aku menggerutu, tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku sendiri hanya bisa melanjutkan hidupku seolah tidak terjadi apa-apa dengan perasaan kesal yang membuncah tiap kali melihat tampangnya bertebaran di media, sambil berharap tidak pernah bertemu lagi dengannya.


    Harapanku tidak terkabul.


    Aku ingat saat itu aku sedang makan bersama salah seorang teman perempuanku. Catat, teman. Dia bukan pacarku. Bukan gebetanku. Atau apapun yang ada kaitannya dengan hubungan asmara. Kami hanya teman jalan yang cukup akrab.

    Yah, kalau perlu kutambahkan: dia juga adalah mantan pacarku yang kesekian. Kami putus baik-baik setelah sebulan berpacaran. Tidak ada marah-marah. Tidak ada patah hati. Karena itu, biarpun telah putus aku dan dia masih berhubungan dekat.


    Dan aku melakukan kesalahan terfatal dalam hubunganku dengannya malam itu. Dia adalah penggemar As. Tidak mengherankan mendengarnya berbicara panjang lebar mengenai pujaannya itu. Aku juga tidak perlu kaget mendengar dia memuji setinggi langit pemuda angkuh itu.
    Tapi dia boleh saja terkejut mendengarku membantah perkatannya. Menjelek-jelekkan pemuda pujaan hatinya. Ditambah memaki perempuan yang menggemari model itu. Kalau tidak salah aku bahkan berkata mereka tidak punya otak dan mata kalau menyukai pemuda seperti itu.

    Aku ingat sekali bagaimana kelanjutan kejadian itu setelahnya. Dia menginjak kakiku di bawah meja(sumpah! High heels sialan itu bener-bener sakit!), berdiri, dan meninggalkanku sendirian di restauran. Kalau hanya sekedar itu aku tidak apa-apa. Tapi masalahnya, perempuan itu juga membuatku membayar semua makanan yang dimakannya. Sialnya lagi, malam itu dia sedang bergembira merayakan kenaikan gajinya dan memilih makan-makanan mahal yang menguras kantong. Bangsat!


    Mungkin malam itu memang malam tersialku. Karena kejadian tidak beruntung yang kualami masih belum berakhir. Setelah aku beres membayar makanan, aku lalu berusaha mengejar temanku yang pergi begitu saja. Tentu, untuk meminta maaf--dan meminta uang yang harus dibayarkannya. Aku yakin pepatah ada udang dibalik batu pasti sangat sesuai dengan apa yang aku ingin lakukan saat itu. Tapi siapa peduli?

    Sayangnya, niat hanya niat. Bukannya bertemu dengan temanku, aku malah bertemu dengan orang yang paling tidak ingin kutemui. Ya, pemuda itu. Atau orang mengenalnya dengan sebutan As.


    Pemuda itu mengenakan kemeja putih polos yang agak lusuh dan celana kargo. Memakai kacamata berbingkai(bukan kacamata mode) dan sepatu kets warna putih hijau. Rambutnya yang biasa distyle macam-macam pun dibiarkan berantakan begitu saja. Kalau aku hanya pernah melihatnya di majalah, aku yakin aku tidak akan bisa mengenali penampilannya saat ini. Tapi yang paling mengesalkan adalah fakta bahwa pemuda itu masih tetap terlihat tampan meski dengan stel yang dia kenakan sekarang.


    "As!"

    Aku merasa suaraku sedikit tertahan saat mengatakannya. Mungkin karena terkejut akibat tiba-tiba melihatnya atau mungkin karena aku memang tidak berniat mengatakannya. Pemuda itu sendiri tampak sedikit kaget mendengar panggilanku. Dia seperti tidak menyangka ada yang bisa mengenalinya saat ini. Kalau saja otakku bekerja lebih cepat, aku mungkin bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk balas dendam.
    Seperti menarik perhatian orang-orang terhadap pemuda angkuh sok misterius ini, dan membuat penyamarannya terkuak.

    Sayangnya, ide itu baru terpikir setelah kejadian tersebut berakhir.


    "Ahh... Kamu."

    Dia membalas panggilanku dengan nada datar. Ekspresi terkejutnya menghilang. Dan dia membalas tatapan kesal campur kagetku dengan pandangan datar meremehkan.

    Aku rasa atmosfer diantara kami berdua waktu itu pasti sangat tidak mengenakkan. Aku dengan perasaan benci. Dan dia juga dengan perasaan yang entah apa. Seperti juga ketika itu dia menatapku dengan tatapan menyeramkan tanpa alasan, kali ini dia juga kembali mengeluarkan aura-aura yang membuat orang-orang di sekitarnya ingin menjauh.

    Aku tidak termasuk, karena kekesalanku padanya membuatku tidak dapat merasakan hal itu.


    "Ada urusan apa denganku, heh?"

    Dia lalu bertanya. Nadanya meremehkan. Pandangan di balik kacamatanya pun berkata hal yang sama. Aku tidak mengerti. Kenapa rasanya perasaan benciku padanya sama dengan perasaan benci dia padaku?


    Aku tidak mengerti. Lebih tepatnya, waktu itu aku tidak mengerti. Dan aku membiarkan kekesalanku yang bicara dibanding kepalaku.

    "Kamu membuatku hampir kehilangan pekerjaan."

    Aku mendesis dengan suara tertahan. Mengingat penghinaan dimana aku terpaksa memohon pada boss untuk membiarkanku tetap bekerja di sana rasanya membuat kepalaku mendidih. Aku yakin wajahku saat itu pasti mengekspresikan hal yang sama dengan apa yang ada dalam pikiranku.

    "Kamu menyalahkanku?"

    Dia bertanya lagi. Nadanya tidak terkesan heran. Lebih ke arah mengejek. Seolah-olah fakta bahwa aku menyalahkannya adalah sesuatu hal yang benar-benar memalukan dan tidak seharusnya aku lakukan. Meskipun ekspresi wajahnya terlihat biasa saja dan terkesan datar.

    Ck,

    "Apa masalahmu?"

    Kalau saja aku tidak mengatakannya dengan cara mendesis seperti ular, aku yakin pertanyaanku tadi akan terdengar seperti bentakan. Dan mungkin juga akan menarik perhatian pengunjung lainnya dari pertikaian kami.

    Aku tidak tau apakah aku perlu merasa beruntung atau tidak kalau itu terjadi. Bukannya kalau artis terkenal seperti dia terlihat bertengkar dengan orang lain akan merusak reputasinya? Tapi masalahnya aku sendiri juga tidak mau terlibat kalau urusannya jadi panjang dan diketahui banyak orang.

    "Masalahku...?"

    Pemuda itu menggantung kata-katanya. Terdengar seperti pertanyaan, kalau saja dia tidak segera melanjutkan setelahnya.

    "Ada di masa lalu."

    Aku mengerutkan kening. Tidak mengerti. Di masa lalu? Apa maksudnya pemotretan waktu itu? Atau sebelumnya? Apa kami pernah bertemu sebelum itu?
    Mungkin dia menyadari ketidakmengertianku. Karena dia lalu berkata lagi.

    "Dari dulu, kamu memang pelupa."

    Nadanya datar. Dingin. Seolah tidak peduli. Tapi di saat bersamaan seperti terluka. Dia memandangku. Tatapannya berbeda dari sebelumnya. Bukan campuran perasaan marah, takut, atau apa. Tapi murni kebencian dan dendam yang menggumpal.


    Ah...

    Bukankah seharusnya aku yang membencinya?

    Aku tidak mengerti. Tapi aku merasa seperti melakukan kesalahan ketika bertanya begitu. Meskipun hanya dalam hati. Seolah-olah aku setuju bahwa seharusnya memang dia yang membenciku dan bukan sebaliknya.

    Kenapa?


    "Aku... manis?"

    Seperti tersadarkan dari mimpi panjang, aku tersentak ketika pemuda itu berbicara lagi. Dengan nada pahit dan sorot mata penuh penyesalan.


    Mungkin aku dulu pernah mengenalnya.

    Tiba-tiba aku merasa seperti sedang bernostalgia. Seperti baru bertemu teman lama yang kelihatannya sudah berubah banyak dan menemukan kalau ternyata dia masih tetap sama seperti dulu.

    Aku ingin bertanya lagi ketika tiba-tiba managernya datang dan menginterupsi kami.


    "Yoo~ Mr. Fotografer~"

    Aku heran dia masih mengingatnya.

    "Ada urusan apa dengan mas--maksudku artis kami?"

    Dia bertanya tanpa memberikanku kesempatan membalas sapaannya yang kuanggap tidak begitu menyenangkannya.

    "Kami sibuk. Kalau masih ada urusan lagi, hubungi saya saja oke?"

    Dan dia bahkan tidak membiarkanku membalas pertanyaannya. Manager aneh itu malah mengulurkan sebuah kartu padaku.
    Kartu As. Berlambang club. Yang kutau setelahnya adalah sebuah kartu nama.


    Aku mengerutkan kening. Memandang manager berambut hijau(hijau?) yang berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya. Matanya terlindung di balik kacamata hitam yang aku tau juga dia kenakan waktu pemotretan saat itu. Di sampingnya, pemuda, model, artis, yang dikenal dengan nama As berjalan.
    Aku mengerutkan kening lagi. Berusaha mengingat wajah seseorang yang mungkin aku kenal, yang berwajah manis. Dan bernama As? Tidak. Kurasa itu bukan nama aslinya.


    Ingatan adalah suatu hal yang rapuh. Mudah menghilang. Sulit dicari. Ketika aku berusaha mengingat sesuatu yang penting, aku melupakan hal penting yang lain. Ketika aku berhasil mengingat siapa pemuda itu, aku melupakan kebencianku padanya.


    Tapi siapa yang menyangka anak manis seperti dia dulu akan jadi seperti itu? Kalau di masa lalu aku mengatakannya, semua temanku pasti menganggap aku sedang membuat joke garing yang tidak lucu.
     
    • Thanks Thanks x 2
    Last edited: Sep 22, 2012
  7. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    Sudut Pandang
    #3: Self

    Batas antara cinta dan benci itu sangat tipis. Katanya begitu. Lawan dari cinta bukanlah benci, melainkan ketidak pedulian. Katanya begitu. Benci bisa berubah menjadi cinta. Lagi-lagi, katanya begitu. Dan bukan hal yang aneh kalau cinta juga bisa berubah menjadi benci kan?

    Mungkin hubungan cinta dan benci itu sama seperti hubungan dua permukaan koin. Mudah diputar balikkan, tapi tidak mudah untuk dikenali yang mana.


    Meskipun aku berkata begini, sebenarnya aku masih sama sekali tidak mengerti dengan kedua kata itu.


    Dia tidak pernah menyukai seseorang. Dia tidak pernah tidak menyukai seseorang. Dia selalu menempatkan perasaannya di tengah-tengah. Berusaha netral pada siapapun di sekitarnya. Dia mengira itu adil. Dia mengira itu adalah hal yang terbaik untuk dia lakukan.

    Tapi dia salah. Karena netral jauh lebih tidak adil daripada memihak sesuatu. Karena netral bisa juga berarti plin-plan, tidak punya pegangan, tidak punya keputusan. Karena netral pada akhirnya hanya bisa melukai semua sisi.

    Manusia tidak akan bisa memberikan kebahagiaan pada semua orang. Aku tau. Tapi dia tidak mengerti. Atau tidak bisa mengerti. Dia telah melakukan hal itu selama hidupnya. Sejak dia masih kecil. Sejak dia belum mengetahui apa-apa. Dia tidak tau harus bagaimana jika satu-satunya hal yang selalu dia lakukan diambil darinya.

    Karena itu aku lalu berkata, "Pilihlah."


    Bahkan untuk hal sesederhana ini pun dia membutuhkan waktu lama.


    Aku mengajaknya ke sebuah restauran. Aku beri dia menu, dan menyuruhnya memilih sesuatu sebelum aku memilih. Seingat yang aku ingat, dia selalu memilih mengikuti mayoritas pilihan teman-temannya yang ada.

    Tapi aku belum memilih apapun. Dia tidak bisa mengikuti pilihan yang aku buat. Beberapa menit berlalu, dia akhirnya memutuskan sesuatu. Pelayan yang dari tadi berdiri di sampingku segera menuliskannya. Sementara aku menyeringai kecil dalam hati sebelum berkata, "Pesananku sama dengannya."


    Aku mengajaknya ke toko baju. Aku suruh dia memilih satu, nanti aku belikan. Setauku, semua bajunya bukan dia yang memilih. Melainkan orang tuanya, dan orang-orang yang memberikan hadiah baju padanya.

    Beberapa menit berlalu, dia mengulurkan satu pakaian kepadaku. Sebuah jaket berwarna abu-abu. Kalau laki-laki memakai ini, dia pasti akan terlihat keren. Kalau perempuan memakai ini, dia mungkin akan terlihat tomboy. Tapi aku tidak peduli. Kalau memang ini pilihannya, ya sudah. Aku tidak bertanya apa-apa dan bergegas membawanya ke tempat pembayaran.

    Aku merasa dia akan ragu-ragu untuk membelinya jika aku bertanya.


    Aku mengajaknya ke toko sepatu. Seperti yang sebelumnya, aku menyuruh dia memilih satu. Dan seperti sebelumnya juga, setelah beberapa menit dia baru akan selesai memilih. Kali ini sepatu kets berwarna hitam dengan motif biru tua di beberapa tempat. Aku mengangkat alis. Sedikit heran, tapi tidak berkomentar.


    Aku mengajaknya ke toko jam.


    Aku mengajaknya ke toko aksesoris.


    Aku mengajaknya ke toko tas.


    Aku mengajaknya ke toko komputer.


    Terakhir, aku mengajaknya ke sebuah salon. Untuk potong rambut sesuai yang dia inginkan. Kalau dia memilih untuk tidak memotong rambut juga tidak masalah. Itu berarti style rambutnya yang sekarang adalah pilihannya.

    Aku menunggu. Petugas salon yang ada di sampingku juga menunggu. Menunggu dia membuat keputusan yang mungkin akan mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat.

    Beberapa detik kemudian, dia lalu berkata,

    "Pendek."

    Singkat. Padat. Dan tegas. Aku tidak perlu bertanya apa dia serius memilih memotong rambutnya yang panjang sepinggang menjadi pendek.

    Aku juga tidak mengatakan apa-apa ketika petugas salon itu mulai memotong rambutnya. Rambut hitam berkilau kebanggaan ayahnya. Yang membuat penampilannya seperti seorang putri. Ditambah dengan pakaiannya yang mengesankan keanggunan.

    Aku menunduk. Menatap kantong hasil belanjanya. Melihat jaket, tas, jam tangan, sepatu yang dia pilih. Aku memejamkan mata, membayangkan akan seperti apa perempuan ini setelah bertransformasi dengan penampilan yang dipilihnya.

    Ah... aku mungkin harus mengucapkan selamat tinggal pada putri ini. Sebelum dia benar-benar menghilang dari hadapanku. Aku membuka mata. Melihat cermin yang ada di hadapanku menampilkan sosok gadis berambut pendek seperti laki-laki. Dia membalas tatapanku.

    Aku tersenyum tipis. Membuka mulut, aku lalu berkata tanpa suara.


    "Selamat tinggal."


    Batas antara cinta dan benci sangat tipis. Aku mencintai diriku di masa lalu. Tapi di saat bersamaan aku juga membencinya. Aku mencintai diriku yang sekarang. Dan di saat yang bersamaan aku masih belum bisa menerima dia seutuhnya. Aku masih membencinya dengan setengah hatiku. Sementara setengah hatiku yang lain memilih untuk mencintainya.

    Tapi ketika aku berkata begini pun, kenyataannya aku tetap tidak bisa mengerti. Bagaimana perasaan kedua permukaan koin yang tidak pernah saling berhadapan, tapi diharuskan bersama dalam satu eksistensi.


    Terkadang... aku masih berharap bisa bertemu lagi dengan putri itu.
     
    • Thanks Thanks x 2
  8. serafim M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 9, 2012
    Messages:
    1,244
    Trophy Points:
    127
    Ratings:
    +874 / -1
    yang sudut pandang ke-2 kenapa nggak dijelasin alasan As benci sama fotografer?
    trus sebenernya tiga cerita ini saling berkaitan nggak sih?
    ane sempet ngira klo 'putri' yang diceritakan di cerita ketiga itu masa lalu As ________ :ngacir:
     
  9. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    hem... well... nggak bisa dijelasin. soalnya itu buat cerita lanjutan.
    berkaitan nggak ya..? kalau sekarang sih.. keliatannya nggak berkaitan. ini sebenernya baru introduction 3 orang main char(yang kayaknya belum tentu pada tahu siapa aja:lol:).

    :lol: bukan, bukan.. As 98% laki-laki kok:matabelo :ngacir:
     
  10. serafim M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 9, 2012
    Messages:
    1,244
    Trophy Points:
    127
    Ratings:
    +874 / -1
    baru introduction ternyata?
    pantes kok ada kesan belum tuntas,ane pikir emang dibikin menggantung
    ane paling suka diksinya
    banyak quotation...jadi berasa baca tulisanya Paulo Coelho :top:
     
  11. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    nggaklah. semenggantung-menggantungnya.. ini sih jelas masih terlalu open buat dijadiin ending:lol:

    thanks komennya:xiexie:

    eh.. banyak quotation...? apaan ya? ._.a
     
  12. serafim M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 9, 2012
    Messages:
    1,244
    Trophy Points:
    127
    Ratings:
    +874 / -1
    example: Batas antara cinta dan benci itu sangat tipis. Katanya begitu. Lawan dari cinta bukanlah benci, melainkan ketidak pedulian. Katanya begitu. Benci bisa berubah menjadi cinta
     
  13. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    soo soo, ane setuju ama agan serafim, kenapa ga dijelasin si as benci ma fotografer :hmm:
    overall, ini menarik. sasuga merpati senpai :top:

    baca chapter 1, deskripsi feeling si aku kerasa banget. cuma scenenya ya, gak kurang sih, tapi apa ya? mungkin ada kelebihan kata ato apa, tapi serasa terlalu diayun (bisa jadi perbedaan selera kok :hmm: )
     
  14. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    soalnya itu buat cerita lanjutannya. Dan well... perlu subbab flashback tersendiri buat nyeritainnya:ngacir:

    terlalu diayun itu maksudnya apa ya:puyeng: oke lah, ntar coba nggak diayun(?) deskripsinya.

    makasih komennya:makasih-g:
     
  15. frick M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    May 1, 2008
    Messages:
    3,641
    Trophy Points:
    177
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +2,734 / -0
    Mana lanjutannya :lempar:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.