1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

FanFic Sword Art Online - Swordmaster of the Night Sky

Discussion in 'Fiction' started by om3gakais3r, Aug 7, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Lagi seneng sama SAO... produksi fanfic jadi tak terelakkan... :lalala:


    Pemandangan sejauh mata memandang terlihat begitu hangat. Satu per satu orang-orang masuk ke dalam kota, entah selesai berburu atau berlatih. Dari setiap tubuh mereka, sebuah kotak yang terisi warna hijau. Aku yang sedang memandang ke arah cakrawala melupakan kotak itu, kotak yang juga tampil seakan menjadi filter mataku. “Kyvelar” sebuah nama yang terpajang bersama dengan kotak hijau itu.

    Tempat ini adalah kamar yang aku sewa, lantai teratas dari penginapan “Night Sky(夜空)”. Aku sengaja menyewa tempat ini karena dari tempat ini aku bisa mengawasi semua yang terjadi sambil menunggu momen-momen indah yang disediakan oleh “alam buatan”.

    Aku yang sedang melihat ke sekeliling kota dari ruangan kecil seakan tidak lagi menghiraukan nama ataupun kotak hijau itu, tidak juga penunjuk waktu yang seharusnya ada di kanan bawah pandanganku, tidak juga dengan sebuah daftar yang berisi gambar ikon kecil dengan nama-nama yang akan aku sebut “aneh” kalau aku membacanya dua bulan lalu.

    Pandanganku seakan menghapus semua elemen penting yang membolehkanku menyadari bahwa ini bukanlah dunia nyata… bukan, tapi sistem yang sengaja menghapus semua itu ketika aku fokus pada alam sekitar.

    “Cepat! Bawa dia masuk!” Terdengar suara yang sangat terburu-buru dari lantai bawah.

    “Panggilkan Kyvelar!” “Beri pertolongan pertama dulu!” “Jangan biarkan dia kehabisan HP!” “Potion! Cepat beri dia potion!

    Suara itu semakin bising, sekitar enam sampai tujuh orang terdengar terburu-buru.

    Dari apa yang mereka bicarakan, kurang lebih aku sudah mengetahui apa yang terjadi di bawah. Oleh karena itu, dengan segera aku turun sambil membuka Inventory.

    Sesampainya di lobi penginapan, empat orang sedang sibuk membuka menu dan mencari sesuatu dari inventory mereka. Dua orang lain sedang berusaha menurunkan seorang lelaki lain yang terlihat lemas sambil meyakinkan pria itu untuk tetap sadar.

    “Minggir, ada yang bisa ceritakan kenapa dia?” tanyaku ketika mendekati pria yang terlihat lemas itu.

    Dari samping tubuhnya, kotak itu tidak berisi warna hijau seperti yang lain, melainkan kotak yang hampir kosong dan warna oranye yang semakin menyusut. Menyadari ini, aku mengambil salah satu benda dengan nama “Bitter Herb Potion (苦いハーブポーション)”.

    “Cepat, minum ini. Agak pahit, tapi paksakan.” Kataku sambil membuka jendela “Trade” tapi aku menghentikan gerakan jariku, karena dalam game ini pertukaran barang non-equipment bisa dilakukan secara langsung.

    Aku ketuk nama item itu lalu dengan cepat botol dengan isi cairan kental berwarna hijau muncul di tanganku. Tanpa basa-basi aku tempelkan mulut botol dengan mulut pria itu. Awalnya dia memuntahkan isinya, tapi setelah beberapa kali akhirnya dia mau meminum cairan itu. Perlahan kotak di tubuhnya itu terisi kembali, warnanya pun berubah menghijau dari warna oranye yang memberi kesan bahaya.

    Poison... bagaimana dia bisa terkena status ailment ini?!” Teriakku pada keempat orang yang duduk dengan lega karena suatu sebab.

    Hening, tidak ada yang mau menjawab. Sekali lagi nyawa seseorang berhasil diselamatkan. Kotak yang berisi warna hijau itu terlihat begitu menakutkan ketika aku mengingat dunia ini menjadi permainan hidup-mati. Seakan kalau aku menyentuh kotak itu dan menariknya, pemilik kotak itu akan mati seketika.

    “Baik, ceritakan padaku nanti saja. Untuk sekarang, seseorang tolong bawa dia ke kamarku. Kalian beristirahatlah juga.” Perintahku sambil mengayunkan kakiku, berjalan keluar dari penginapan.

    Tujuanku adalah sebuah padang rumput di dekat kota. Walau sepi tapi terkadang monster dengan level cukup tinggi muncul. Di tempat itu banyak tumbuhan herba tumbuh, bahan-bahan yang aku butuhkan untuk membuat ramuan Potion yang aku sediakan untuk para pemburu atau untuk kondisi genting seperti tadi.

    Aloe Naga (竜のアロエ), Green Grass (緑の草) dan Thorn-less Rose (荊のないローズ). Masing-masing empat buah, aku dapatkan. Aku keluarkan item “Herb Compounding Plate [stone]”(ハーブ配合プレート「石」) lalu mulai meracik dengan memasukkan masing-masing satu dari setiap jenis tanaman herba itu ke dalam piringan batu. Setelah beberapa saat, dengan otomatis sebuah item muncul di depanku. Namanya adalah “Failure Potion”, yang mana aku buang setelah aku mengetahui namanya. Setelah tiga kali mencoba, akhirnya terbentuk “Undiluted Bitter Herb Potion (生の苦いハーブポーション) ”. Di waktu bersamaan, sebuah pesan terlihat di bagian atas pandanganku berisi “Herb Compounding Skill Level Up (8)”.

    Di antara kegelisahanku atas penyebab kenapa orang itu terkena Poison, aku merasa sedikit lega karena dengan naiknya level skill meracik herbaku ini, kesempatan berhasil membuat obat akan semakin tinggi.

    Tapi, rasa tenang itu sirna ketika aku merasa ada sesuatu yang mendekatiku. Aku berbalik dan menyadari seekor kelelawar besar terbang dengan cepat ke arahku. Tanpa bisa mengelak, tubuhku terhantam dengan keras. HP bar-ku terkikis sekitar sepuluh persen. Aku segera membuka Inventory dan mengambil “Strong Wooden Sword (強い木製の剣)”. Aku mengambil ancang-ancang di gemetar kedua kakiku. Walaupun rasa teror akan kematian menghantuiku, aku tetap mengacungkan pedang kayu yang kupegang pada kelelawar itu. Nama monster itu adalah “Vampire Bat (吸血コモリ)”, monster dengan level yang tergolong tinggi dan kuat di area ini.

    Ini hanya game. Selintas terpikir olehku untuk membiarkan monster itu mengurangi HP-ku hingga nol agar aku bisa kembali ke kota saat dihidupkan.

    Tapi…

    “SWORD ART ONLINE BUKAN SEBUAH PERMAINAN!!” Teriakku sambil memegang erat pedang, mengayunkannya dengan kuat ke arah Vampire Bat. Beberapa kali hingga akhirnya aku berhasil mengaktifkan skill “Quick Slash” dan menghapus semua HP bar monster itu.

    Tanpa sadar, aku bernapas dengan cepat. Kalau ini adalah dunia nyata, mungkin aku sudah pingsan karena over-ventilasi.

    29 Desember 2022, penunjuk waktu menunjukkan tanggal itu.

    Sudah satu bulan… Kataku pada diriku sendiri.

    Aku harap orang-orang di front line cepat menyelesaikan game ini. Tambahku ketika aku menjatuhkan diri ke rumput.

    Satu bulan setelah semua player terjebak dalam game bernama Sword Art Online ini.

    Aku berdiri dan pergi kembali ke daerah aman sambil terus membayangkan apa yang terjadi tanggal enam November, bulan lalu. Sesuatu yang ingin aku lupakan dan menganggap bahwa aku adalah penghuni dunia ini sejak awal... tapi itu tidak mungkin.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 2 : Dream as High as the Blue Sky (Mimpi Setinggi Langit Biru)

    Ichinose Jun (一瀬淳) adalah nama pria dengan tubuh ramping itu. Dia duduk menunggu di ruang tunggu bandara bersama dengan barang-barang yang dia bawa. Rambutnya hitam kemerahan, mungkin karena terlalu sering terkena panas matahari karena kebiasaannya sejak kecil berjalan-jalan di taman atau sekedar di area sekitar rumah ketika siang hari untuk melepaskan kepenatannya akibat pekerjaan yang memaksanya untuk selalu berpergian atau diam di satu ruangan. Wajahnya yang bisa dibilang tampan kalau dibandingkan dengan orang rata-rata, aksesoris berupa kaca mata dan tubuhnya yang tinggi juga menjadi nilai plus.

    Sekali lagi Jun membuka ponsel dengan model lipat miliknya.

    “Ke mana orang itu… dia bilang akan menjemputku ketika aku sampai di Narita pukul delapan tapi sampai sekarang dia belum datang juga.” Gerutunya sambil terus membuka-tutup ponselnya.

    Saat matanya mulai tertutup karena lelah yang terkumpul selama perjalanan, suara dering terdengar dari ponselnya. Dengan cepat dia membuka matanya dan di waktu yang bersamaan dengan kecepatan yang sama, dia membuka ponselnya lalu menempelkannya di pipi kanan Jun.

    “Ke mana aja kamu!? Dua jam aku tunggu di sini!” Teriakan Jun menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya tapi dia tidak mempedulikan hal itu sama sekali.

    “Ah, maaf. Baru bangun. Sekarang di jalan.” Nada bicara orang dari ponsel Jun terdengar datar dan lemas.

    Jelas bahwa orang itu masih baru terbangun dari tidurnya, pikir Jun.

    Emosi yang meluap dari kepala Jun membunuh setiap rasa kantuk yang tadinya dia miliki. Tapi setelah menyadari bahwa marah hanya akan menghabiskan tenaga yang hampir tidak tersisa di tubuhnya, dia kembali duduk tenang menunggu teman lamanya yang seharusnya menjemputnya sejak beberapa jam lalu.

    Tidak lama, seseorang berlari mendekatinya. Seseorang dengan tubuh yang relatif kecil dan rambut pendek, wajah yang polos dan tergolong imut. Selintas orang akan mengira dia adalah anak SMP yang tersesat.

    Dia adalah Akira Yamamoto(明 山本), teman semasa kecil Jun. Dia dan Jun terakhir bertemu empat tahun lalu, tahun 2018 ketika mereka lulus SMA.

    “Cepat sekali.” Celetuk Jun pada Akira yang wajahnya terlihat masih baru bangun.

    “Sejak tadi aku di parkiran, ketiduran di atas mobil.” Jawabnya dengan cekekesan yang menjadi ciri khas ketika berbicara dengan Jun.

    “Aku datang ke sini jam tujuh, tadinya mau tidur satu jam di mobil… eh tidurku terlalu lelap” Lanjutnya sambil mengambil salah satu koper yang dibawa Jun lalu menariknya, menunjukkan jalan menuju tempat parkir.

    “Aku nggak sangka, kamu datang jauh-jauh dari Singapur cuma buat hari ini.” Akira tersenyum bahagia, bertemu kembali dengan teman yang sudah lama tidak bertemu dengannya.

    “Tapi aku agak kecewa Jun datang ke Jepang bukan buat ketemu dengan sahabatnya.” Langkah Akira menjadi pelan, dia yang awalnya ada di depan Jun sekarang berada di sampingnya.

    “Aku kembali ke Jepang karena aku rindu rumah. Soal peluncuran teknologi baru itu… cuma sebagai bonusnya saja.” Kata Jun sambil memegang kepala Akira, sebuah tanda permintaan maafnya karena membentak Akira di telepon tadi.

    “Lusa, ya… Nerve Gear akan diluncurkan untuk publik.” Jun menatap ke kejauhan, terasa melankoli dari tatapannya itu. Sebuah rasa bangga, haru dan kecewa.

    “Sayang sekali, Jun. Bukan kau yang menciptakan ‘alat menuju dimensi lain’ yang kita impikan sejak SD dulu.” Akira berusaha meredakan apa yang Jun rasakan saat itu, walau dirinya merasakan hal yang sama.

    Nerve Gear, sebuah alat yang mentranslasi sekaligus transceiver gelombang otak. Sebuah alat yang memanipulasi informasi dari dan ke otak dalam batasan tertentu. Dalam iklan yang perusahaan pengembang Nerve Gear, mereka hanya menuliskan bahwa Nerve Gear adalah sebuah “Controller” era baru dimana pemain bisa masuk ke dalam game dengan sistem Full Dive, sehingga pemain bisa merasakan game secara langsung.

    Namun bagi peneliti seperti Jun dan Akira, di umur mereka yang ke dua puluh dua mereka sudah mengerti bagaimana kira-kira sitem Nerve Gear itu bekerja. Mengapa? Karena apa yang mereka kejar sejak dulu adalah hal yang serupa dengan Nerve Gear, sebuah alat yang bisa mengirim mereka ke dimensi lain.
     
  4. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 2

    Argus Media, sebuah perusahaan pencipta sekaligus pengembang sistem terbaru <Full Dive> dimana tidak memerlukan kontroler ataupun output gambar pada layar. Sebuah mimpi yang dimiliki oleh Jun dan Akira, diwujudkan oleh seorang developer dari Argus Media, Kayaba Akihiko.

    Saat perilisan Nerve Gear, dalam presentasi terbuka Argus Media dijelaskan tentang beberapa sistem yang diperlukan untuk melakukan Full Dive dan keuntungan-keuntungannya. Nerve Gear adalah konsol yang pertama kali menerapkan penguasaan ke lima indra pemakainya, memaksa output dan input dari otak langsung ke dalam Nerve Gear sehingga pengalaman Virtual Reality terasa sangat nyata.

    Walaupun dia adalah orang yang paling semangat untuk mengikuti presentasi ini, Jun yang baru datang beberapa jam yang lalu tertidur dalam duduknya yang tegak saat presentasi itu dilaksanakan. Sebaliknya, Akira yang sudah berulang kali mengikuti presentasi ini terlihat begitu bosan namun tidak bisa tertidur seperti Jun karena sudah memuaskan rasa kantuknya.

    Presentasi di hari itu diakhiri dengan pembagian satu set Nerve Gear pada peserta presentasi. Tentu tidak gratis, karena semua peserta presentasi berasal dari berbagai perusahaan yang bergerak di bidang yang sama dengan Argus, pembagian Nerve Gear ini menjadi bentuk kerja sama antara Argus dan perusahaan-perusahaan lain. Mereka mengirim pekerja mereka untuk mempelajari Nerve Gear sedangkan Argus meminta mereka untuk menjadi peserta uji coba tingkat lanjut.

    Dua set Nerve Gear Jun dan Akira bawa ke atas mobil lalu menaruhnya di jok belakang mobil sedan itu.

    “<Uji Coba>... Aku ragu dengan keamanannya, apa lagi mereka bilang benda ini akan tersambung langsung ke jaringan saraf.” Kata Jun sambil melirik ke arah jok belakang tempat Nerve Gear berada.

    “Ah, soal itu nggak apa-apa. Mereka bilang uji coba keamanan udah selesai dan nggak ada masalah.” Jawab Akira sambil menyetir mobil yang mereka tumpangi melewati jalan tol karena dia tahu Jun tidak mendengar bagian tentang itu ketika presentasi tadi.

    Setelah beberapa lama, akhirnya mereka sampai di tujuan mereka, sebuah rumah 4LDK di daerah Kashiwa. Rumah yang berisi nilai nostalgia bagi Jun dan Akira.

    “Aku pulang.” Jun berbisik ketika dia melihat rumah itu.

    Setelah Akira membuka pintu, Jun segera membawa barang-barangnya serta Nerve Gear ke kamar paling belakang rumah itu lalu mengambrukkan diri ke kasur yang ada di sana.

    “Jun! Itu tempat tidurku!” Teriak Akira sambil menarik kaki Jun.

    “Ah, biarin aku tidur sebentar. Dari Narita ke Shinjuku… lalu kembali ke Kashiwa… aku lelah.” Jawab Jun yang sudah menutup mata.

    “Aku juga ngantuk!” Sekali lagi, Akira berteriak pada Jun. Kali ini dia menarik tangannya dan hampir berhasil menjatuhkan Jun dari tempat tidurnya. Tapi…

    “Kalau begitu sini, tidur bareng kayak dulu.” Jun menarik tangan Akira, membuatnya jatuh ke atas dada Jun.

    “EH?! N..Nggak mau! Kau pikir kita masih anak kecil apa!?” Akira panik dan berusaha berdiri, namun ditahan oleh tangan Jun yang lebih kuat.

    “Apa salahnya?” Tanya Jun yang sepertinya setengah sadar.

    “P.. Perempuan dan laki-laki t-tidur bareng kan…” Sebelum mengakhiri perkataan itu, Akira merasakan bahwa napas Jun mulai teratur dan tangan yang menahannya tidak lagi bertenaga.

    “Hmmh.. ya sudah lah.” Akira ikut memejamkan mata di tempat itu, membiarkan imajinasinya membawa ke fantasi tentang Nerve Gear dalam mimpinya sebelum merasakan yang asli.
     
  5. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 2 - Dream as High as the Blue Sky
    Keesokan harinya, setelah Jun merapikan barang-barang miliknya, dia lansung mengambil Nerve Gear miliknya dan melakukan pemasangan sesuai dengan buku petunjuk. Mungkin karena tidak sabar, dia langsung melakukan Full Dive tanpa memasukkan program sehingga yang terpaksa menjalani tes membosankan selama lima belas menit.

    Tapi, dengan hal ini Jun menyadari sesuatu.

    “Sistem ini tidak memiliki tangga darurat selain log out.” Gumamnya sambil menatap Nerve Gear yang baru dia lepas.

    Akira pada saat itu sedang membaca dengan seksama buku panduan sambil membongkar salah satu Nerve Gear.

    “Membongkarnya sekarang? Apa nggak masalah?” Pertanyaan Jun mengagetkan Akira yang sedang serius.

    “Ah, nggak apa-apa kok. Ini Nerve Gear yang aku beli sendiri, yang untuk kerja beda lagi.” Akira menjawab sambil menunjuk Nerve Gear lain yang disimpannya di atas meja kerja.

    “Baru besok peluncurannya tapi di sini udah ada tiga…” Jun berkata sambil membuka laptopnya.

    Dia menulis berbagai macam review tentang pengalaman pertama menggunakan Nerve Gear, termasuk tes awal sebagai kaliberasi setiap Nerve Gear agar keselarasan perasaan pengguna ketika Full Dive sesuai dengan dunia nyata. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi hal-hal seperti kebingungan ketika menggunakan Nerve Gear terlalu lama dan melupakan bentuk dan tata letak otot serta gerakan tubuh di dunia nyata.

    Ketika dia menuliskan “Namun Nerve Gear tidak memperbolehkan pengguna untuk keluar dari Full Dive ketika berlangsung”, Akira menjelaskan tentang alasan ini.

    “Sistem keamanan Nerve Gear untuk modifikasi cukup rumit, tapi memungkinkan. Bisa saja pemain melakukan kecurangan dengan kabur ke dunia nyata ketika saat-saat tertentu seperti saat kuis atau melakukan kejahatan dalam dunia virtual lalu kabur dengan memutus koneksi… itu mungkin, bukan?” Penjelasan Akira ini membuat Jun menghapus baris itu. Tapi dalam penilaian keamanan, dia menurunkan satu tingkat yang asalnya 8/10 menjadi 7.5/10

    Untuk sementara, sebelum program-program game yang membolehkan interaksi online diluncurkan para pengembang game, Jun dan Akira terpaksa menikmati beberapa game offline yang disediakan oleh Argus Media untuk membiasakan diri dengan Nerve Gear untuk para tester.

    Di antaranya ada permainan-permainan olahraga seperti “Olympic 23 in 1”, “Swim-Experience”, “World Cup Star”. Ada juga permainan-permainan puzzle seperti “Maze”, “Real-life Jigsaw”. Di antara game-game itu, ada beberapa game yang membuat tertarik Jun dan Akira. “Proto-Item Fusioning”, “Proto-Item Production” dan “Proto-Equipment Crafting”. Ketiga game itu berlatar hanya di satu ruangan dengan lemari raksasa. Di lemari itu terdapat puluhan ribu jenis benda dan dengan peralatan yang disediakan harus membuat benda-benda dengan nilai kualitas tinggi. Tidak ada papan High Score di sini, hanya seperti tempat bereksperimen. Awalnya Jun mengira itu adalah tempat eksperimen kimia atau semacamnya, namun semakin tinggi kualitas item produk, semakin aneh namanya dan tidak mungkin ada di dunia nyata.

    Dengan itu, mereka berdua menyimpulkan bahwa game ini adalah bagian dari game lain yang sedang dikembangkan.

    Tapi yang menjadi game favorit mereka adalah “Afternoon Tea” di mana mereka bisa menikmati nikmatnya berbagai jenis makanan dari penjuru dunia sambil menikmati pemandangan sesuai dengan setting makanan atau minuman yang mereka pilih. Tentu bukan gambaran yang sebenarnya saat ini, tapi gambaran ketika tempat itu masih dalam masa kejayaannya.

    Seperti menikmati sakura mocha dan teh hijau di bawah pohon sakura saat jaman Edo atau meminum secangkir teh hitam di kastil Inggris, atau menikmati makanan etnik Vietnam di pedesaan.

    Setidaknya hal itu menghibur mereka hingga saatnya pekerjaan mereka benar-benar dimulai ketika harus melakukan survey pada game-game online ketika para developer game mulai meluncurkan produk-produk mereka.

    Juli 2022, pengumuman tentang kemunculan game VRMMORPG (Virtual Reality Massively Multiplayer Online Role Playing Game) mulai terdengar oleh masyarakat publik. Tiket untuk beta test diserbu habis oleh para veteran-veteran pemain game online dari seluruh penjuru Jepang. Penjualan Nerve Gear yang melambung memang bukan hanya dari pengumuman itu, tapi yang menjadi andil penting dalam publikasi Nerve Gear dan Full Dive System bisa dibilang karena game itu. “Sword Art Online” adalah nama Game Itu.

    Walau Jun sudah membeli game itu dan mendapat tempat sebagai beta tester, Jun memutuskan untuk tidak menggunakan kesempatannya ini untuk mencicipi game dengan tingkat pengerjaan yang tidak rendah ini.

    “Dulu aku pernah main MMORPG, tapi kalau nggak ada yang kenal baik… aku agak kurang nyaman.” Alasannya ketika mengetahui akun yang didaftarkan Akira baru bisa digunakan saat Oktober nanti karena masalah teknis.

    Seperti biasa, setelah makan malam, Jun dan Akira masuk ke dunia itu lagi. Mencoba permainan-permainan baru dan melakukan Review untuk perusahaan masing-masing.

    “Setelah pekerjaan ini selesai, aku dapat cuti panjang… mungkin akan aku gunakan kesempatan itu untuk keluar dari perusahaan atau minta dipindah ke cabang Jepang.” Perkataan Jun menghentikan gemeretak tuts-tuts keyboard laptop mereka berdua ketika menulis review game shooting (tembak-tembakan) yang baru mereka mainkan.

    “Jadi… kau akan menetap di sini lagi?” Akira berdiri karena terkejut.

    “Hmm.. ” Jun mengangguk.

    “Aku sangat suka kota ini, jadi aku putuskan untuk kembali ke kota ini.” Lanjutnya sambil menatap ke langit-langit.

    “Ah.. iya, kota ini ya.” Nadanya sedikit kecewa, namun dia mengerti karena alasan kenapa Akira bekerja pada perusahaan di Kyoto namun dia memilih untuk melakukan pekerjaan lapangan saja adalah karena dia tidak ingin memiliki tempat lain yang disebut rumah kecuali tempatnya berada sekarang.

    Jun menatap Akira lalu menahan tawa kecilnya.

    “Hahah. Tentu aku lebih suka di sini karena ada seseorang yang benar-benar aku kenal. Seperti aku bilang, kalau nggak ada yang aku kenal baik… aku agak kurang nyaman.” Kata Jun sambil memegang kepala Akira.

    “Mungkin juga, setelah itu…” Jun menghentikan kata-katanya.

    “Ah, tidak. Aku tidak akan mengatakan death flag seperti itu.” Bisiknya, namun tidak terdengar Akira.

    “Satu lagi tujuanku untuk menetap di sini.” Jun melanjutkan kata-katanya dengan nada penuh semangat.

    “Aku masih ingin menggapai mimpi kita, menciptakan gerbang ke dunia lain, dunia yang lahir dari imajinasi setiap orang.” Tatapan Jun yang mengarah ke langit-langit sambil memiringkan kursi tempatnya duduk sekali lagi terlihat penuh dengan perasaan yang rumit. Kesedihan dan kebahagiaan serta melankoli yang tidak asing di mata Akira.

    “Hmm.. aku juga masih menginginkan itu. Mungkin kita bisa membuat sesuatu yang lebih hebat, seperti gerbang yang memasukkan tubuh kita secara utuh ke dalam game… tidak hanya kesadaran kita saja. Bagaimana?” Nada ceria Akira menaikkan semangat Jun.

    Setelah itu mereka saling berbicara tentang masa kecil mereka, saling mengejek dengan adegan-adegan memalukan satu sama lain.

    Namun pada akhirnya pembicaraan itu kembali pada mimpi mereka, menciptakan gerbang menuju suatu dunia yang berbeda dari dunia yang ada… bukan, tapi masuk ke dalamnya secara utuh dengan sesuatu yang mereka dua buat bersama-sama.

    Tapi, mimpi itu bagaikan ingin meraih warna biru di langit. Seseorang sudah bisa melakukannya, tapi itu butuh pengorbanan yang sangat besar, tidak cukup bagi mereka berdua untuk melakukan hal yang sama.

    Sebuah mimpi yang setinggi langit biru.

    Chap.2 End
     
  6. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 3 – A Brave Nightmare.


    6 November, hari yang ditunggu-tunggu oleh ribuan pemain game di seluruh Jepang akhirnya datang. Perjuangan untuk membeli, memesan dengan sistem yang sulit, bahkan mengikuti pelelangan underground. Pengorbanan yang sangat besar, untuk mencicipi generasi baru permainan game dengan sistem yang jauh lebih berkembang dari sistem sebelumnya.

    Sword Art Online, sebuah game VRMMORPG pertama hari itu diluncurkan.

    Tapi semua orang, entah siapapun itu yang sudah memiliki Sword Art Online dan Nerve Gear di tangan mereka merasakan debar jantung mereka semakin kencang dan semakin kencang sejak malam hari. Jun dan Akira yang tidak merasakan pengorbanan yang sama dari player-player lain sepertinya tidak berbeda. Sejak malam mereka tidak bisa tertidur dan pada akhirnya berbincang-bincang sampai pagi.

    “Tidak apa, saat menggunakan Nerve Gear secara teknis kita sedang tertidur dan bermimpi” Akira meyakinkan Jun agar terus menemaninya di alam sadar.

    Saat pagi menyingsing, pukul 6 lewat 20 menit kedua orang yang memiliki pekerjaan sebagai pengembang (developer) dari dua perusahaan berbeda itu terlihat bersemangat, tidak seperti orang yang terjaga semalaman sama sekali.

    Sepasang futon (tempat tidur) sudah terpasang sejak malam, yang diperlukan hanya pemasangan Nerve Gear pada peralatan yang ada.

    Biasanya Akira dan Jun menggunakan Nerve Gear di kamar mereka masing-masing. Tapi khusus saat mereka mencoba Sword Art Online kali ini, Akira meminta agar mereka mencobanya dari tempat yang sama.

    “Apa yang kau takutkan?” Tanya Jun ketika dia mengingat permintaan Akira yang berlebihan untuk mencobanya bersama-sama di ruangan yang sama. Pertanyaan ini juga untuk menghapus (…atau menyembunyikan?) perasaan malu yang dimiliki Jun ketika melihat dua tempat tidur yang berdempetan satu sama lain.

    “…Entahlah, yang pasti aku takut.” Akira terus memasang semua yang diperlukan.

    “Ah.” Suara itu terdengar dari mulut Akira.

    “Gimana nih, Jun…” Nadanya mulai terdengar seperti mau menangis.

    “Connectornya rusak.” Akira mengacungkan salah satu ujung connector yang seharusnya dipasang di komputer, tapi bentuknya sudah tidak menyerupai benda itu sebelumnya. Pembungkus isolatornya sudah tidak ada dan yang tersisa hanya bagian logam konduktornya saja, itu pun terlihat sudah bengkok dan rusak.

    Jelas karena Akira melakukan sesuatu padanya.

    “Hah?!” Jun membentak di depan Akira.

    Tapi Akira tidak terkejut ataupun takut, ekspresi Akira yang pada awalnya agak panik berubah seperti biasa dan memukul kepalanya sambil mengedipkan sebelah matanya dan menjulurkan lidahnya.

    “Tee Hee…” Reaksi Akira ini membuat Jun ikut memukul kepala Akira.

    “Kita nggak punya kabel yang sama lagi, kabel dari Nerve Gear cadangan nasibnya sama dengan yang ini, kan? Ya sudah, kita cobanya besok lagi setelah beli kabel lain…” Jun mengelus kepala Akira lalu menaruh Nerve Gear yang tadinya akan dia pakai.

    “Eh, tunggu dulu.” Kata Jun sambil buru-buru berdiri.

    Dia mengambil sesuatu dari dus Nerve Gear yang dia simpan di atas lemari.

    “Coba pakai ini.” Jun mengeluarkan sebuah kotak kecil tanpa ujung yang tajam, mungkin lebih cocok kalau memanggilnya benda oval namun pipih.

    “Jun! Kamu jenius!” Dengan cepat, Akira memegang tangan Jun sambil menunjukkan mata yang sangat berbinar.

    Benda itu adalah sebuah Mini-Nerve-Hub, sebuah alat tambahan yang diberikan bersama dengan Nerve Gear. Fungsinya adalah membuat sebuah jaringan kecil yang terdiri dari minimal dua dan maksimal enam Nerve Gear sehingga bisa melakukan koneksi bersama-sama hanya dengan satu gateway (unit komputer atau node tertentu yang menghubungkan ke jaringan yang lebih besar). Tapi hanya ada satu masalah.

    “Kita butuh komputer yang dua kali lebih kuat.” Pikir Jun.

    Jun tidak ingin mengganggu Akira yang sedang asik memasang kabel Nerve Gearnya pada Mini-Nerve-Hub, jadi dia langsung ke luar ruangan, menuju kamar Akira.

    Benda yang dibawa Jun dari kamar Akira adalah satu set CPU milik Akira, dia langsung memasangkan kabel-kabel yang dia ambil dari lemarinya dan menghubungkan komputer Akira dan Jun. Setelah itu Jun menghidupkan kedua komputer itu dan melakukan sesuatu padanya melalui keyboard yang dia pukul tuts-tutsnya dengan cepat menggunakan kesepuluh jari tangannya.

    “Ngapain, Jun?” Tanya Akira yang sudah selesai memasang kedua Nerve Gear pada Mini-Nerve-Hub dengan membongkar konektornya dan langsung memasangnya pada benda itu dari dalam.

    “Membuat cluster.” Jun menjawab tanpa menghentikan kecepatan tangannya.

    “Clus… Ter? Hewan kecil yang mirip tikus itu?”

    “Itu hamster! Cluster maksudnya ngegabungin beberapa komputer supaya bekerja jadi satu komputer…”

    “Ah, hmm… a-aku pernah dengar itu.” Akira mengangguk dengan wajah serius walaupun keringat dingin mengucur dari kepalanya, karena dia tidak begitu mengerti.

    “…dan… selesai.” Seperti waktu diberhentikan, kata-kata itu membekukan gerakan tangan Jun.

    “Haha, aku tidak mengerti apa yang kau lakukan. Tapi kau memang hebat!” Akira menepuk-nepuk punggung Jun.

    “Dan kau masih tidak mau belajar tentang software.”

    “Ugh”.
     
  7. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 3

    Dataran yang indah, jauh melebihi keindahan dunia nyata. Hal pertama yang aku lakukan di dunia ini adalah menganga, terkagum dengan apa yang aku lihat. Sepertinya bukan hanya aku, Akira yang ada di sampingku ketika keluar dari Kota Permulaan dan melihat luasnya dunia ini juga menganga dengan lebar yang sama dengan mulutku.

    “Ini lebih nyata dari dunia nyata… tapi karena itu pula dunia ini tidak nyata.” Gumamku.

    Akira yang mendengarkan apa yang aku gumamkan tadi tersadar dari kekagumannya dan menyikut pinggangku. Dia memilih tubuh yang tinggi dan proporsinya persis sama dengan di dunia nyata, sedangkan wajahnya dia pilih wajah dengan mata besar dan rambut hitam bergelombang.

    Sedangkan aku membuat Avatar dengan berusaha membuat ulang tubuhku di dunia ini. Kenapa? Karena di game-game lain, saat aku membuat Avatar, selalu saja dikira perempuan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali mengambil model dari laki-laki yang sebenarnya; aku.

    Walau begitu, saat berputar-putar di Kota Permulaan untuk mencari jalan menuju Field, beberapa orang mengajak kami untuk masuk ke party mereka karena mereka kira kami adalah dua perempuan.

    Aku membentak mereka hingga mereka pergi, sedangkan Akira hanya tertawa. “Satu-satunya yang bikin orang yakin kamu laki-laki cuma karena aura-mu saja, sedangkan di sini aura itu nggak ada… Hahaha!” Katanya sambil tertawa.

    “Yuk, kita coba gameplaynya.” Katanya sambil mengambil pedang yang menjadi starter pack ketika memasuki dunia ini.

    Aincrad, dunia dengan seratus lantai. Terhubung dengan sebuah menara yang menjadi dungeon utama dunia ini sekaligus tujuan para pemain untuk memainkan game ini. Menamatkan setiap dungeon, mengalahkan boss monster di anak tangga terakhir tangga itu dan akhirnya menuju ke lantai teratas.

    Di setiap lantai terdapat sebuah dataran luas, seperti dataran yang aku lihat sekarang. Beberapa kota dan field penuh dengan monster juga ada di setiap lantai. Untuk di lantai pertama ini, kota terbesar adalah Kota Permulaan yang mencakupi sebagian besar field lantai pertama.

    “Jun! Ayo cepat! Bantu aku!” Akira memanggilku, dia sedang melakukan pertarungan dengan seekor kelinci dengan ukuran normal.

    Jelas terlihat kalau kelinci itu lemah dan tidak terlalu berbahaya, mungkin sebagai sarana berlatih untuk terbiasa dengan sistem di sini. Walau begitu, Akira kewalahan melawannya. Kotak HP Bar di tubuhnya yang terlihat oleh pemain-pemain lain berkurang sedikit demi sedikit, tidak cukup untuk membawanya ke daerah berbahaya, tapi kalau dibanding dengan pemain lain yang sedang melawan monster yang sama, gerakan Akira jauh lebih tidak terarah dan ceroboh.

    “Jun!” Sekali lagi, Akira memanggilku saat HPbar-nya tinggal terisi sekitar tiga perempatnya.

    “Sudah kubilang, di sini aku Kyvelar.” Aku mengangkat pedangku dan mencari monster yang sama di sekitar tempat itu.

    Apa mungkin monster itu susah untuk dikalahkan dan orang-orang di sini adalah veteran atau beta tester?

    Pertanyaanku itu terjawab, memang agak sulit mengenai tubuh kelinci yang bernama “Calm Rabbit (落ち着いたなラビット)” tapi tidak sesulit menepuk nyamuk di dunia nyata, Aku mengayunkan pedangku pada monster itu dan mengenainya beberapa kali hingga HP bar Calm Rabbit habis.

    “Oooh, Kau hebat, Jun!” Tanpa aku sadari, Akira sudah ada di samping kiriku. Membiarkan Calm Rabbit memukul-mukulkan kepala dan kakinya ke tubuhnya.

    “Cepat selesaikan pertarungan kecilmu…”Kataku sambil menjatuhkan diri, hingga akhirnya aku terduduk.

    Akira mengangguk lalu berusaha memukul kelinci itu, tapi hanya satu pukulan yang kena.

    “Coba menghindar, cari pijakan lain ketika dia berusaha menyerangmu terus pukul di tempat awalnya kamu berada.” Kataku berusaha memberikan saran pada Akira, saran yang tertulis di manual awal.

    Padahal lebih mudah kalau kami ada di sebuah party, tapi Akira menolak. Dia bilang dia malu kalau ada yang melihat nama yang dia pilih untuk avatar yang dia gunakan sekarang.

    Setelah berkali-kali mencoba taktik yang aku berikan, akhirnya dia berhasil mengalahkan monster itu. Tubuh Calm Rabbit berubah menjadi polygon-poligon kecil yang menyebar ke udara hingga akhirnya tubuhnya tidak tersisa lagi.

    Kira-kira setengah jam, Akira berusaha menguasai cara bertarung di game ini, tapi dengan cara memegang dan mengayun pedang yang sepertinya salah, tidak mungkin bisa mengalahkan monster-monster yang lebih kuat.

    “Kita kembali ke Kota Permulaan, mungkin ada NPC yang bisa bantu kamu.” Kataku karena menyerah setelah memberi berbagai petunjuk berdasarkan buku manual.

    Akira mengangguk lalu berjalan mengikutiku dengan wajah yang cemberut, mungkin karena dalam empat puluh lima menit terakhir, dia hanya bisa mengalahkan dua Calm Rabbit.

    Gerbang masuk ke Kota Permulaan sudah terlihat, tapi ada sesuatu yang janggal. Kerumunan orang yang ada di sekitar gerbang terlihat tidak tenang, hal ini membangkitkan firasat burukku.
     
  8. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 3

    Beberapa kali aku berusaha menyapa orang-orang yang terlihat panik itu, tapi seakan aku dan Akira adalah NPC untuk Quest yang mereka tidak inginkan, orang-orang itu mengacuhkan kami. Mereka berbicara dengan satu sama lain, terlalu bising dan panik untuk dimengerti. Walau aku mendengar sesuatu tentang “Keluar” atau “Out”.

    Ada apa dengan mereka? pikirku, tapi Akira yang tidak sabar ingin mempelajari tentang game ini membuatku menahan pertanyaan itu untuk sementara.

    Aku dan Akira yang sudah lelah akhirnya membiarkan mereka dan segera mencari NPC yang kami cari, NPC sebagai pemandu.

    “Hmmm.. Bagaimana kalau ke Central Plaza? Di sana tempat berkumpul orang-orang, jadi kemungkinan NPC untuk pemula muncul di sana cukup besar.” Kata Akira sambil membuka peta Kota Permulaan dan menunjuk sebuah ruang besar, tempat yang pantas kalau disebut alun-alun Kota Permulaan.

    “Ide bagus” Kataku sambil mencari jalan menuju tempat itu.

    Ding ding…

    Suara itu terdengar seperti sound effect yang aku gunakan untuk peringatan di komputerku, awalnya aku kira ada masalah dengan game ini tapi setelah melihat ke semua arah dan tidak menemukan kejanggalan, aku melanjutkan berjalan menuju Akira yang sudah ada di depanku.

    Tapi setelah sadar Akira terhenti, aku segera berlari ke sampingnya.

    “S-suara apa barusan… ngagetin aja.” Terhenti seperti avatar game yang ditinggal oleh pemainnya (AFK), Akira terdiam dan hanya mulutnya yang bergerak.

    “Entahlah mung—” belum selesai aku berbicara, sesuatu terjadi.

    Sinar biru seakan memancar dari bawah… bukan, sinar biru itu muncul begitu saja di sekitar tubuhku dan Akira. Sedikit demi sedikit menyilaukan pandangan kami, memaksaku menutup mataku.

    “Apa lagi!?” Akira yang terdengar panik sepertinya masih tidak bergerak dari posisi yang tadi.

    Aku membuka mataku perlahan, lalu menyadari bahwa aku tidak lagi berada di tempat yang sama dengan tadi. Pemandangan gang kecil di sudut Kota Permulaan berubah menjadi tempat luas yang dikelilingi lampu-lampu antik, tempat yang jelas menunjukkan bahwa tempat ini bernama—

    “Central Plaza?” Tanya Akira yang tubuhnya melemas dan membungkuk.

    “Apa mungkin auto-warp untuk di dalam kota?” Tanyaku pada Akira yang dijawab dengan mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.

    Setelah beberapa saat, pertanyaan itu terjawab. Satu per satu cahaya biru terlihat di sekitar kami, membawa pemain-pemain lain ke tempat ini. Jumlah yang sangat besar, bisa diasumsikan hampir semua pemain memenuhi tempat ini.

    Para player itu terlihat diam lalu resah dan dalam kondisi hampir panik.

    Banyak dari mereka yang beteriak-teriak tentang bagaimana cara log-out atau menanyakan ini adalah bug atau event. Aku tidak terlalu mengerti apa yang mereka maksud, tapi sepertinya ada sesuatu tentang cara log out.

    Aku bermaksud untuk membuka menu dan melihat apakah ada yang salah, tapi teriakan seseorang menghentikanku.

    “Ah.. lihat di atas sana!”

    Secara refleks, aku melihat ke atas dan menemukan sebuah tulisan di langit yang baru kusadari berubah memerah karena matahari senja.

    “Warning” Tulisan merah itu lebih merah dari langit, seakan menunggu ditemukan oleh orang-orang.

    “System Announcement” Tulisan itu saling silang dengan tulisan yang satunya.

    Kedua tulisan itu membuat tenang kerumunan, walau hanya sementara.

    Tidak lama, sesuatu keluar dari kedua tulisan itu. Cairan merah tua kental, berubah menjadi sosok sesuatu yang jelas. Sesuatu…. Atau seseorang dengan jubah dan tudung, hanya saja tubuhnya jauh lebih besar dari orang-orang lain, sepuluh kali lipatnya mungkin. Tidak, itu bukan manusia. Dia seperti kegelapan yang menggunakan jubah dan tudung hanya untuk membuat impresi bahwa dia adalah manusia.

    “Itu… Itu GM!” Seseorang di sampingku berkata dengan suara yang lemas.

    Pantas aku tidak asing dengan jubah dan tudung itu, pakaian yang digunakan para GM (Game Master) dari Argus.

    “Para pemain, selamat datang ke duniaku.”

    Suara itu membuatku merinding, walau fungsi itu belum aku aktifkan tapi aku merasakan dingin dan sedikit gemetar ketika mendengar suaranya.

    “Namaku adalah Kayaba Akihiko. Sekarang, aku adalah satu-satunya orang yang bisa menguasai dunia ini.”

    Kayaba… Kayaba… sepertinya aku ingat nama itu dari suatu tempat.

    “Pencipta Nerve Gear dan SAO” Kata pria di sampingku.

    Akira terlihat takut dan menggenggam erat kain lengan kiri bajuku.

    “Sepertinya sebagian besar dari kalian sudah menyadari bahwa tombol Log Out sudah menghilang dari Main Menu. Ini bukanlah Bug, tapi bagian dari sistem Sword Art Online.”

    Perkataan Kayaba itu seakan menjadi pemicu sehingga para pemain bertanya-tanya apa maksudnya dan ada pula yang menolak apa yang dikatakannya.

    “Sampai kalian berhasil menuju tingkat teratas kastil ini, kalian tidak bisa log out.”

    “…Juga berhenti atau melepaskan Nerve Gear dari luar adalah tindakan yang dilarang. Kalau mencoba melakukan itu…”

    “Sensor sinyal di Nerve Gear akan mengeluarkan sinyal kuat elektromagnetik, menghancurkan otakmu dan menghentikan semua fungsi dasar kalian.”

    Genggaman Akira semakin kuat, Aku mengelus kepalanya dan berusaha membuatnya tenang. Tapi sepertinya dia tidak menghiraukanku.

    “Sial, kenapa aku tidak lepaskan baterai yang tidak berguna itu sejak awal!” Dari genggamannya, aku merasakan bahwa Akira gemetar dalam kemarahan dan ketakutan.

    Sebelumnya, Akira menyadari bahwa ada bagian baterai besar yang tidak begitu berguna. Tapi karena takut Nerve Gear tidak berfungsi dengan baik, Akira menghentikan niatnya untuk melepas baterai itu.

    Baterai sebagai sumber listrik besar untuk memanggang otak para pemain yang berusaha melepaskan Nerve Gear.

    Aku yang melamun tidak mendengar apa yang dikatakan Akihiko setelah itu, hanya bagian terakhirnya…

    “—sangat disayangkan, 213 player sudah keluar dari game dan dunia nyata untuk selamanya.”

    Keluar dari game dan dunia nyata? Apa maksudnya?

    Tidak, tidak mungkin. Kayaba bukan orang seperti itu!

    Aku percaya bahwa Kayaba Akihiko adalah orang sepertiku, seseorang yang ingin membuka gerbang menuju dunia yang belum dijamah manusia, dunia dimana mimpi adalah kenyataan. Dia menjadi idolaku ketika mengetahui apa yang dia capai.

    Tapi apa ini?

    “Tapi aku harap semuanya mengerti bahwa Sword Art Online bukan lagi permainan biasa. Ini adalah dunia nyata kedua. Dari mulai detik ini, segala jenis penghidupan kembali (Revival) di game ini tidak akan bekerja. Ketika HPmu menyentuh 0, avatar kalian akan hilang selamanya, dan di waktu bersamaan—”

    “Otak kalian akan dihancurkan oleh Nerve Gear.”

    “Jun, kau kenapa? Jun! Jun!” Suara itu menjadi suara terakhir yang aku dengar.

    Walau ini adalah tubuh virtual, namun ketika aku mati di sini aku akan mati di dunia nyata.

    Aku merasa takut, kegelapan menyelimuti pandanganku. Walau aku tahu seseorang masih menjelaskan kegilaannya ini, walau aku tahu orang-orang di sekitarku panik, aku tidak mendengar apa-apa.. bukan, otakku menolak semua jenis informasi yang ada.

    Tidak, ini bukan ketakutan terhadap game ini melainkan terhadap diriku sendiri. Takut karena kalau aku ada di posisi yang sama dengan Kayaba, aku akan melakukan hal yang sama. Menciptakan dunia nyata kedua, dimana konsekuensi yang diambil setiap orang akan mempengaruhinya walau keluar dari dunia itu.

    Ketika tersadar, aku sedang duduk di tengah central plaza. Dua orang ada di sampingku, salah satunya adalah seseorang berambut pendek dan berwajah seperti anak SMP, Akira. Sedangkan yang satunya adalah seorang lain yang sepertinya aku kenal.

    “Kita pernah bertemu di presentasi Argus.” Kata orang itu yang menyadari aku mempertanyakan siapa dia di dalam hatiku.

    Setelah mengingat bertemu dengannya dan berbincang beberapa kali, aku mengangguk dan menjabat tangannya. “Ju… bukan, Kyvelar.” Lalu orang itu menjawab dengan “Stallein.”

    Tunggu, wajah yang pernah aku lihat dari saat presentasi dan… Akira?

    Aku melihat ke arahnya, memegang wajahnya dan menelusuri setiap sudut wajah yang seharusnya tidak di sini.

    “Ini… dunia nyata… bukan, ya?” Tanyaku, tapi setelah menyadari aku masih di Central Plaza dan pakaian yang digunakan Akira adalah baju besi ringan yang dibeli saat pertama masuk ke SAO, aku sadar ini masih di dalam game.

    “GM memberi barang bernama Hand Mirror, setelah itu kami sadar kalau wajah dan tubuh kami menjadi serupa dengan dunia nyata.” Stallein menjelaskan padaku dengan kalimat yang cukup baku.

    “Walau begitu kau…” Lanjut Stallein

    “Wajah Jun memang seperti itu di dunia nyata juga…” Kata Akira dengan ceria.

    Aku yang masih agak bingung dengan apa yang terjadi memperhatikan Stallein, dia bertubuh lebih pendek dariku dan wajah yang terlihat seperti berumur 20-27 tahun, tidak jauh dari umurku.

    Penasaran dengan Hand Mirror yang mereka maksud, aku membuka Inventory dan mencari benda yang dimaksud. Setelah mendapatkannya dan membuatnya jadi nyata dengan mengetuk benda itu dua kali, aku mennyadari bahwa apa yang mereka katakan benar.

    “Ah, kalian benar. Ini wajah asliku di dunia nyata, aku tidak bisa mendapatkan alis yang persis… tapi sekarang…” Kataku sambil melihat ke wajahku.

    Akira dan Stallein tertawa terbahak-bahak ketika mendengar reaksiku itu.

    Tapi satu lagi yang aku sadari. Walau aku merasa menjadi orang yang paling tenang selama mendengarkan penjelasan Kayaba, wajahkulah yang memiliki ekspresi paling buruk.

    “Aku dengar kalian tidak sempat ikut Beta Test, ya? Kalau begitu bolehkan aku menjadi pemandu kalian, dan kalau tidak keberatan ada satu orang lagi yang bergabung dengan kalian.” Tawar Stallein.

    Aku dan Akira setuju, setelah itu dia mengajak kami ke salah satu penginapan dan bertemu dengan seorang perempuan berambut panjang serta menggunakan pakaian yang terlihat jelas bukan untuk bertarung.

    “Dia adalah Ai… bukan, Inggrid kalau di dunia ini.” Di saat bersamaan Stallein memperkenalkannya, perempuan itu menunduk pada kami.

    “Untuk sekarang…”

    Stallein memberikan instruksi untuk melakukan hunting, memberi tahu tempat-tempat di sekitar Kota Permulaan yang penuh dengan monster yang butuh perlakuan khusus untuk mengalahkannya dan tempat-tempat persediaan makanan dan obat-obatan gratis bisa didapatkan.

    Aku merasa kalau aku harus cepat-cepat keluar dari game ini karena di luar sana banyak yang harus aku lakukan. Jadi bergabung dengan Stallein dan Inggrid adalah ide yang bagus… untuk sementara.
     
  9. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 4 – Each of Their Own Path (Jalan Bagi Masing-Masing)

    Aincrad terbentuk sebagai dunia yang terdiri dari seratus lantai, di mana satu lantainya bisa disetarakan dengan satu negara di game-game MMORPG lain. Untuk mencapai ke tingkat selanjutnya, setidaknya seseorang harus menembus dungeon (labirin penuh dengan monster) utama dan mengalahkan Bos Monster yang memiliki kekuatan jauh di atas monster-monster biasa pada akhir dungeon itu.

    Ketika berita tentang lantai ke tiga Aincrad terbuka, Stallein dengan semangat menyiapkan segala sesuatu untuk pindah ke tempat itu. Aku, Akira, Inggrid dan Stallein bersama-sama menembus dungeon menara yang menghubungkan lantai dua dan tiga. Walau masing-masing setuju untuk tidak bergabung dalam party dengan alasan experience yang didapat bisa sedikit lebih besar, kami selalu bersama saat hunting atau saat melakukan Quest.

    Sejak lantai dua terbuka, dungeon utama menjadi lahan bertarung mencari experience bagi kami. Sesuai dengan komando Stallein, kami berhasil mencapai level 6 ketika berpindah dari lantai dua ke tiga. Dengan Level yang cukup tinggi dan selalu berada di dungeon utama dan membereskan monster-monster yang berada di tempat itu, kami berempat sempat menjadi gosip di kalangan para pemain tingkat atas termasuk para pemain di barisan depan sebagai “Aria de Quad”, atau “Permainan Empat Solo”.

    Pemain-pemain di barisan depan adalah orang-orang yang memiliki keberanian untuk menembus dungeon utama dan mengalahkan Bos Monster. Walau kami berempat termasuk orang-orang yang layak untuk melakukan itu, ada suatu hal yang membuat kami tidak ingin terlibat dengan Barisan Depan, yang juga menjadi alasan lain kenapa kami tidak membentuk party.

    Party dalam game ini adalah sekumpulan orang yang bekerja sama dalam bertarung. Ketika mendapat item (barang-barang), kami harus membaginya sesuai kesepakatan, sedangkan kesepakatan kami adalah “Siapapun yang melancarkan damage (nilai kerusakan terhadap HP musuh) terbesar, dia yang memilikinya”. Kesepakatan ini bisa dicapai tanpa harus bergabung dengan party. Terlebih menurut Stallein, rusaknya hubungan orang-orang dalam MMORPG salah satunya adalah rasa iri akan teman satu party yang mendapat item yang lebih bagus dari yang lain.

    Jadi, ketika kami bertarung melawan monster, barang apapun yang drop (dijatuhkan monster ketika dia mati.) dan didapatkan, tidak boleh ada yang tahu kecuali barang itu tidak diinginkan. Ketika barang tidak diinginkan, tidak boleh diberikan melainkan dilelang di antara kami berempat sehingga mencapai sebuah sistem yang adil bagi masing-masing. Siapa yang lebih kuat, dia yang mendapat lebih banyak. Siapa yang lebih kaya, dia yang mendapat lebih besar. Hal ini membuat kami berlomba-lomba untuk menjadi yang terkuat di antara kami berempat.

    Gosip tentang kami akhirnya reda setelah tiga hari. Cukup cepat, tapi lebih baik seperti itu. Stallein menyebarkan gosip lain di pub (bar tempat berkumpul orang-orang untuk minum-minum), tentang empat NPC (karakter yang bukan player, dikendalikan oleh server.) yang aktif di dungeon utama untuk mempermudah pemain agar cepat menembus lantai berikutnya.

    Tidak mungkin orang yang sudah bertemu dengan kami di dungeon utama percaya, karena NPC tidak memiliki HP bar sedangkan yang mereka lihat adalah empat orang dengan HP bar di tubuhnya yang menandakan mereka adalah player.

    Tapi yang melihat kami hanya sedikit, sedangkan sisa gosip itu hanya gosip. Toh, orang-orang yang tidak bertemu dengan kami tidak akan percaya empat orang bisa bertahan dalam dungeon, jauh dari kota dan persediaan serta tanpa area aman bertarung dengan monster terus menerus selama berhari-hari. Walaupun bergantian, tidak mungkin hanya empat orang bisa menembus hingga pertengahan dungeon utama. Bahkan pemain dari barisan depan setidaknya membutuhkan delapan orang untuk mencapai tempat kami memanen Experience, item, dan Col (Satuan uang dalam SAO).

    Tidak hanya monster-monster yang berada di dungeon utama sangat kuat, tapi juga karena spawn rate (tingkat kecepatan munculnya kembali monster) yang lebih tinggi dari field (daerah) di luar dungeon. Ketika dalam dungeon, player akan lebih cepat kehilangan HP karena kekuatan monster juga lebih cepat kehabisan Fatigue karena banyaknya jumlah monster walau mereka terus dibunuh dan dibunuh.

    Fatigue menunjukkan seberapa lelah pemain. Ketika melakukan apapun, pemain akan kehilangan Fatigue sejumlah beberapa poin. Semakin sedikit Fatigue, semakin buruk performa pemain dan ketika habis, pemain tidak akan bisa melakukan apapun.

    Rahasianya adalah benda ini, sebuah benda yang menyerupai piring namun tebal dan terbuat dari batu bernama “Herb Compounding Plate [stone]” yang aku dapatkan saat menyelesaikan salah satu Basic Quest (Tugas yang diberikan NPC) di Kota Permulaan. Dengan benda ini, aku bisa membuat obat-obatan dari hampir semua benda di alam sekitar. Dari rumput hingga jamur, dari air yang menetes dari stalaktit hingga lumut yang menempel di dinding gua.

    Kalau secara asal-asalan, kesempatan membuat obat-obatan itu mungkin di bawah 1% tapi berkat pengalamanku bermain “Proto-Item-Fusioning” yang pernah aku mainkan, dengan mudah aku bisa membuat obat-obatan seperti “Minor Stamina Potion” atau “Minor Health Potion” yang menjadi kunci vital dalam bertahan hidup. Bentuk-bentuk barang yang digunakan di game itu serupa dengan barang-barang yang bisa aku temui di SAO. Hal ini menjawab tentang tujuan game itu dibuat, yaitu menjadi prototype sistem pembuatan barang-barang di game ini.

    Berkali-kali para pemain barisan depan meminta kami untuk bergabung dengan mereka, tapi kami diwakili oleh Stallein menolak. Kami masih tidak percaya dengan siapapun, bahkan terhadap kami berempat sendiri.

    Atau… apakah kami cuma takut akan “kematian” di dunia ini?
     
  10. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 4


    Part 2

    24 Desember 2022. Setelah empat hari tanpa berhenti berlatih dan mengumpulkan sumber daya tepat di depan pintu masuk ruang Bos Monster dungeon utama yang menghubungkan lantai tiga dan empat, kami akhirnya memutuskan kembali ke tempat aman di Lantai Tiga. Bukan karena kami lelah, tapi karena barang-barang di Inventory (Tempat barang-barang disimpan) kami sudah penuh.

    Tujuan kami adalah desa yang tidak jauh dari pintu masuk dungeon utama, desa yang bernama “Green Village” untuk menjual barang-barang yang tidak berguna ke NPC.

    Walaupun bisa menjual ke pemain lain, kami memutuskan untuk tidak menjual apapun ke pemain lain kecuali ke satu sama lain antara aku, Akira, Stallein dan Inggrid. Mungkin alasannya adalah sekitar beberapa minggu lalu, seseorang menjual sebuah kalung yang cukup langka dan seseorang ada yang tertarik. Namun dia menjual dengan harga yang tinggi sehingga si pembeli merasa penjualnya tidak adil. Ketika dia keluar dari daerah aman, orang itu dibunuh dan barang-barangnya dirampok.

    Dari kekuatan, dari situ timbul ketakutan. Itulah apa yang diajarkan Stallein saat pertama kali kami bertemu. Semakin kuat seseorang, semakin besar ketakutannya atas kehilangan apa yang dia miliki, terutama ketika kekuatannya itu terlihat jelas di depan orang-orang. Semakin banyak orang yang mengakui kekuatannya, semakin kuat dia dan semakin besar pula ketakutannya.

    Sebagai pemain dengan level tertinggi, kami memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan orang-orang dan menyembunyikan seberapa kuat kami.

    Tapi itulah yang menjadi bumerang bagi kami sendiri. Kekuatan yang dirahasiakan akan menjadi ketakutan lain bagi orang yang mengetahuinya. Hal itu aku tidak tahu sampai kejadian yang terjadi malam hari tanggal 24 Desember.

    Sekelompok orang yang terlihat memiliki equipment (perlengkapan) lengkap dan langka datang ke Green Village. Tiga dari mereka berteriak-teriak di pusat desa “Kami membutuhkan orang dengan level tiga atau lebih, untuk mencari item langka di Cytra Gold Mine.”

    Kalimat itu diulang-ulang oleh ketiga orang itu, hingga beberapa pemain yang singgah di kota ini keluar dari tempat peristirahatan mereka untuk bergabung atau sekedar melihat, termasuk Akira.

    “Jun, Stallein! Ayo ikut mereka! sepertinya mereka akan menyelesaikan dungeon tersembunyi di lantai ini!” Kata akira dengan wajah yang penuh rasa penasaran.

    Aku dan Stallein sedang duduk-duduk di lobi penginapan, tempat makan para pengunjung. Stallein tertawa keras dan berkata “menarik, menarik.” Lalu berdiri dan mendekati Akira.

    “Jadi, apa barang langka yang mereka ingin cari?” Tanya Stallein sambil mempersiapkan barang barang.

    “Entah, Artifak-apa-itu-namanya. Katanya untuk membentuk Guild dan memberi skill unik untuk setiap anggotanya.” Jelas Akira yang baru saja mendengar penjelasan ketiga orang itu.

    Di luar, kelompok orang-orang itu sepertinya orang-orang yang ketiga orang tadi rekrut di desa-desa sekitar tempat ini. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu janggal dan juga entah kenapa aku merasa aku pernah melihat ketiga orang itu. Apa mungkin mereka dari Barisan Depan?

    “Dengan skill unik ini, ketika HP turun hingga 1% anggota Guild akan otomatis di-teleport ke markas Guild.” Tambah Akira.

    “Guild? Di game ini ada guild juga ya?” Tanyaku.

    “Tentu lah, MMORPG mana yang nggak pake sistem Guild. Di sini… entahlah. Aku belum pernah mencari info soal membangun Guild.” Jawab Stallein dengan kata-kata yang jauh berbeda dari saat bertemu pertama kali. Kali ini bahasanya lebih… akrab.

    “Inggrid mana?” Stallein melanjutkan penjelasannya dengan pertanyaan yang tidak ada hubungannya sama sekali.

    “Istirahat di kamar sewaan, ingat, kan.dia kena poison berkali-kali jadi mungkin ada efek sampingnya. Biarin aja dia istirahat untuk satu dua hari.” Jawabku.

    Stallein mengangguk. Di waktu bersamaan, kerumunan orang itu bersiap untuk pergi setelah empat orang baru bergabung dengan mereka.

    “Hmm… kita bertiga aja yang berangkat?” Tanya Akira.

    “…” Aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan, tapi apa? Sesuatu yang penting tentang, tapi apa?! Tentang orang-orang itu? Tentang Stallein atau Akira atau Inggrid? Agh…

    “Kalian berangkat berdua aja. Kasian Inggrid kalau waktu bangun nggak ada orang yang beri tahu yang lain kemana.” Jawabku.

    Akira dan Stallein terlihat kecewa, namun mereka merasa harus cepat karena rombongan sudah sampai gerbang desa.

    “Ah, tunggu. Bawa ini.” Aku menghentikan mereka sambil menyodorkan satu botol “Lesser Potion of Health Healing”.

    Ketika mereka berhenti, aku segera mengeluarkan sebagian besar persediaan potion yang aku racik sendiri.

    “Terima kasih. Jarang-jarangnya kau memberi kami Potion dengan jumlah banyak dan gratis.” Ledek Stallein padaku.

    “Kalian berhati-hatilah. Aku punya perasaan kurang enak dengan ‘dungeon’ ini.” Perkataan itu bocor dari mulutku. Pikiranku yang tadinya dibendung akhirnya jebol dan kekhawatiranku tersampaikan.

    Akira dan Stallein melambaikan tangannya ketika mereka berjalan menjauh dari penginapan.

    Malam itu aku tidak bisa tidur, memandangi HP bar dan menebak-nebak berapa stamina yang aku miliki sekarang karena tidak tertera di pandanganku. Sesekali aku melihat ke jendela dan melihat menara yang menghubungkan lantai tiga dan empat. Berharap kalau dungeon yang dikunjungi Akira dan Stallein tidak sesulit dungeon utama. Aku juga memikirkan tentang Akira yang merubah gaya bertarungnya dengan menggunakan Greatsword (Pedang besar) ketika dia sadar kalau kecepatan bukanlah keahliannya. Aku juga memikirkan tentang Stallein yang selalu lupa memasang pelindung tangan kanan yang selalu dia pakai untuk bertahan walau dia menggunakan shield (tameng) di tangan kirinya.

    Hingga pagi menjelang dan Inggrid mengetuk pintu kamarku, aku merasa resah dan tidak bisa melepaskan perasaan janggal di kepalaku ini.

    Setelah aku menjelaskan ke mana mereka pergi, walau Inggrid agak terkejut karena mereka tidak membangunkan dan mengajaknya, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan hunting (berburu) di sekitar desa. Aku mengumpulkan tanaman-tanaman liar sambil membereskan area tempat tumbuhan-tumbuhan itu tumbuh. Mungkin karena tidak ada yang mau datang ke tempat ini, makanya monster-monster di sini susah dibereskan.

    Hingga malam, tidak ada kabar dari Akira ataupun Stallein. Aku berusaha menenangkan diri dengan percaya bahwa dungeon yang dikunjungi mereka cukup dalam dan membutuhkan waktu lebih dari satu hari untuk menyelesaikannya, tapi…

    “K..Kyvelar…” Dengan wajah penuh ekspresi takut, Inggrid mendekatiku yang sedang menyortir tanaman-tanaman yang bisa dipakai dan tidak.

    “Nama Stallein hilang dari Friend Listku.” Lanjutnya.
     
  11. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 4

    Black Iron Castle, sebuah kastil besar di Kota Permulaan. Aku berdiri di depan monument raksasa penuh dengan tulisan. Alasanku ke sini adalah memastikan keresahan yang tidak mau hilang sejak Akira dan Stallein pergi.

    Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, aku berusaha menenangkan Inggrid yang begitu takut akan sesuatu yang terjadi pada Stallein. “Aku yakin itu persaratan masuk Guild, menghapus kontak di Friend Listnya.” Walau aku tidak yakin itu benar, aku berusaha membuat hal itu dipercayai oleh Inggrid… dan di waktu bersamaan membohongi diriku sendiri. “Mungkin dia dan Akira sedang berpesta di markas Guildnya.” Lanjutku ketika Inggrid mulai mempertanyakan kebenaran apa yang aku katakan pertama kali.

    “Aku yakin dia masih hidup. Aku yakin dia masih hidup.” Seperti sebuah doa, Inggrid mengatakan hal itu terus dalam gemetar langkah kakinya ketika dia menyusuri daftar nama di monument raksasa.

    Monumen itu berisi nama sepuluh ribu orang-orang yang ada di dunia ini. Tapi bukan hanya itu, selain menunjukkan siapa yang masuk ke dunia ini, monument ini juga menunjukkan siapa saja yang meninggalkan dunia ini.

    Karena tidak mungkin bisa meninggalkan dunia ini dengan cara biasa sebelum lantai seratus ditembus oleh seseorang. Dengan kata lain…

    “Mati.”

    “Stallein sudah mati.”

    Perkataan Inggrid menggema di area monument, menggetarkan semua orang yang ada di tempat ini.

    Termasuk aku.

    Suara yang terdengar beberapa kali di tempat ini, suara gemeretak gigi yang seharusnya tidak terdengar oleh orang lain. Suara teriakkan kesedihan dan suara keputusasaan. Suara itu terdengar beberapa kali muncul dari orang-orang yang berbeda.

    Beberapa darinya berasal dari peziarah dan beberapa dari orang-orang sepertiku yang kehilangan kontak dengan teman mereka dan mengetahui bahwa mereka sudah tidak ada di dunia ini lagi.

    Suara bising yang memecahkan gendang telinga kalau memang gendang telinga bisa pecah di dunia ini.

    Tidak, suara itu tidak berasal dari mana-mana. Suara itu berasal dari pikiranku sendiri. Aku berteriak dengan keras pada diriku.

    “Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!” Tidak ada mulut siapapun yang terbuka, artinya suara itu jelas dari mulutku sendiri.

    Aku segera mencari nama Akira, di sana beberapa nama tertera. “Achira”, “Aqeera”, “Acquira” tapi tidak ada “Akira”. Jelas, karena Akira tidak memilih nama itu sebagai namanya di dunia ini. Aku cari nama-nama yang mungkin Akira gunakan, nama-nama yang dia pernah gunakan di masa lalu atau nama-nama yang dia sukai.

    Namun tidak satupun yang menandakan Akira hidup, entah nama itu tidak ada atau tercoret.

    Aku merasa pusing, dunia seperti berputar dan meleleh menjadi pecahan-pecahan poligon seperti ketika item atau monster hancur.

    Memang tidak mungkin hal itu terjadi dan tidak mungkin efek itu terlihat secara nyata di mataku. Hal itu adalah imajinasiku yang sebenarnya tidak mungkin ada di dunia ini.

    Akira… mati? Yang benar saja! Lalu, untuk apa aku ada di sini!?

    “… …. Salahmu.”

    “Semua ini salahmu.” Suara itu tidak aku indahkan sama sekali.

    “SEMUA INI SALAHMU, KYVELAR!!!” Suara besi bergesek terdengar dari arah suara itu.

    “SALAHMU! SALAHMU! SALAHMU! KENAPA KAU TIDAK MEMBANGUNKANKU! KENAPA KAU TIDAK IKUT DENGAN MEREKA! KENAPA KAU HIDUP!!” Dari setiap kata yang keluar dari mulutnya, tebasan benda dari tangan pemilik suara itu dilancarkan padaku.

    Tempat ini adalah area aman sehingga tidak sedikitpun damage yang aku dapatkan tapi aku yang sedang berdiri terjatuh karena dorongan pedangnya itu. Hingga aku akhirnya terbaring di tanah sambil menerima setiap hukuman yang seharusnya aku dapatkan kalau tidak dilindungi oleh sistem.

    “KAU BUKAN PENGHUNI DUNIA INI, KYVELAR! KAU TIDAK PANTAS MENJADI PEMAIN DI AINCRAD, KAU HANYA NPC PENJUAL POTION YANG TIDAK BERGUNA! KAU..! KAU…! KAU…!” Tusukan pedangnya diarahkan tepat ke mataku, sepuluh kali, dua puluh kali... tiga puluh kali hingga akhirnya seseorang datang dan menyeret Inggrid.

    “AH!! AZAYAMA-KUN!!! AZAYAMA-KUN TIDAK MUNGKIN MATI!! AZAYAMA-KUN!!!!” Inggrid diseret dari tempat itu dan dikirim ke suatu tempat.

    Aku hanya bisa menatap langit-langit yang terlihat begitu tua seakan bakal roboh ketika aku melemparkan sesuatu ke tempat itu.

    Seringkih nyawa manusia di tempat ini.

    “Tuan, anda tidak apa-apa?” Suara seseorang mendekat.

    “Tuan… Tuan? Tuan!” Suara itu semakin menghilang.

    Tidak, bukan suara itu yang menghilang tapi sepertinya kesadaranku yang menghilang.

    Tenggelam ke dalam kegelapan, perasaan yang sama ketika fatigue habis. Aku mulai curiga kalau beban mental bisa mengurangi fatigue dengan jumlah yang besar.
     
  12. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 4

    Bulan Februari 2023, aku masih berada di kamar di tingkat teratas penginapan Night Sky di desa Green Village. Beberapa bulan aku tidak berpindah dari tempat ini dan terus menjadi penyedia Potion untuk setiap orang yang datang ke tempatku atau sekedar memberi pertolongan darurat bagi mereka yang terkena status ailment (status buruk seperti poison, freeze atau paralyze) permanen.

    Aku berhasil menyelamatkan banyak nyawa, setidaknya itu yang aku percaya.

    Mungkin apa yang dikatakan Inggrid benar, aku tidak cocok hidup di dunia ini. Aincrad adalah tempat para pemain pedang, bukan tempat peracik ramuan sepertiku. Tapi setelah kematian Stallein dan Akira, juga setelah menghilangnya Inggrid, aku merasa takut ketika aku melihat kematian.

    Sekali aku kembali ke monument itu dan mencari nama Akira sekitar seminggu setelah aku tersadar di penginapan Night Sky. Sepertinya ketika Fatigue seseorang habis dan tidak bertambah juga orang itu tidak bergerak, dia akan di-teleport kembali ke penginapan terakhir yang dia sewa.

    Di monument itu aku mencari harapan kalau dia menggunakan nama yang tidak mungkin aku tebak.

    Tapi hal itu hanya membuatku bertambah takut akan kematian, setiap aku melihat ke salah satu baris ada satu nama tercoret. Sekali dua kali ketika aku menelusuri beberapa nama, nama itu tercoret ketika jariku menyentuhnya. Seakan sentuhan jariku membunuh mereka.

    Di tempat ini, aku berharap bisa menebus dosaku. Menyelamatkan nyawa dengan memberikan berbagai jenis potion pada mereka yang membutuhkan.

    Setidaknya itu yang aku pikir.
     
  13. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 4

    Salju turun dengan lembut, menutupi daratan di lantai tiga penuh dengan si putih empuk dan dingin. Sistem dalam game ini sangat detil, seakan ini adalah dunia nyata, aku bisa merasakan dinginnya salju itu, membentuknya menjadi bola dan menyusun puluhan darinya menjadi gundukan yang tidak akan hilang selama berhari-hari. Tapi setelah mengetahui tiba-tiba banyak pemain yang menetap di lantai atas datang ke kota ini untuk mengecek gundukan salju itu, aku tidak lagi membuatnya. Mungkin mereka kira itu adalah gerbang masuk ke field rahasia atau quest spesial musim dingin.

    Mungkin karena gundukan itu juga, aku mulai terkenal di banyak kalangan. Terutama para pemburu item langka dan pemain di Barisan Depan.

    Dengan level Herb Compounding Skill-ku yang mencapai level 78, aku bisa membuat item-item dengan kualitas jauh lebih tinggi dari levelku sendiri: 12.

    Pemain-pemain yang membutuhkan item penambah HP atau penghilang status ailment bisa mendapatkannya dariku dengan harga murah. Tidak lama sampai aku dipanggil “Green Druid Kyvelar”.

    Tapi…

    Sore hari di akhir bulan Februari, kalau di dunia nyata. Seperti biasa aku berbincang dengan seorang pengumpul tanaman herba yang menjadi langgananku. Dia menyediakan stok dengan jumlah yang sangat besar dan harga yang sangat murah, hanya saja dia meminta untuk membuatkannya beberapa puluh fatigue recovery potion untuknya. Dia adalah Urfung, seorang knife master.

    Maksudnya “master” adalah seseorang yang memiliki skill tertentu dengan level tinggi atau menamatkan skill tersebut hingga mencapai level 100.

    Tentu aneh untuk seseorang bisa menamatkan skill jauh melebihi lantai yang terbuka di Aincrad.

    Ketika aku berpikir seperti itu, seakan Urfung membaca pikiranku, dia berkata “Itu tidak aneh.”

    “terimakasih atas Fatigue Potion-mu, juga karena ini.” Urfung mengeluarkan pisau dari tangan kirinya, pisau itu berbentuk seperti taring hewan, namun besar dan banyak ukiran di bagian tengahnya. Bentuknya sangat pipih namun terlihat kokoh karena bahannya yang paten.

    “Orichoncard Sacred Knife, mempercepat meningkatnya skill Knife sebanyak 60%.” Jawabnya sambil mengetuk-ngetuk piring berbentuk persegi empat yang sedang aku pegang.

    “Kau juga punya benda langka seperti pisau ini, bukan.” Lanjut Urfung.

    “Apa maksudmu?” Aku mengangkat piring persegi dari tanganku lalu mengetuknya.

    Sebuah jendela status benda itu terlihat. Nama dari benda itu adalah “Collinia Lost Plate” dengan tipe item “Compounding Plate”. Namun yang membuatku terkejut adalah bagian deskripsinya: “Piringan yang hilang dari Collinia, ditemukan di dalamnya dungeon Library of Arts. Mempercepat meningkatnya skill ‘Herb Compounding’, ‘Cooking’ dan ‘Food Sommelier’ menjadi 160%. Minimal Level skill penggunaan: 7. Tingkat Kelangkaan: ☆☆☆☆”

    “Seratus… enam puluh persen?” Aku kaget atas penemuan ini. Biasanya aku hanya menggunakan benda ini dengan langsung menaikkan tanaman herba lalu mengetuknya dengan “Herb Grinding Stone”, item lain yang aku gunakan untuk herb compounding, tanpa mempedulikan benda apa yang aku gunakan karena aku terlalu berkonsentrasi dengan hasil potion.

    “Jangan pura-pura kaget gitu… ” Urfung menyenggol sikutku dengan tas yang dia bawa.

    Dia melihatku yang terus menganga dan berkata “Kamu.. beneran nggak tau?”

    “Kyv, kamu adalah satu-satunya orang yang punya skill Herb compounding lebih dari 30… bukan, bahkan bisa dibilang kamu satu-satunya orang yang bisa membuat potion dengan jumlah yang besar, sampai-sampai banyak gosip bahwa kau sebenarnya adalah NPC yang dibuat Kayaba untuk mempermudah pemain.” Jawab Urf sambil berbisik padaku, seakan tidak mau ada yang mendengar tentang apa yang dia katakan.

    “…Sehebat itukah aku?” Balasku.

    Urfung yang terlihat jelas berumur setara anak SMA mengangguk dan menggoyang-goyangkan rambutnya yang berwarna hijau dan pendek bergelombang.

    “Bahkan banyak Guild yang memperebutkan daerah Green Village hanya untuk mendapat akses ke kamu.”

    “Kau… bercanda, kan?”

    “Apa keliatannya aku bercanda?” Jawabnya sambil mengacungkan pisau langka miliknya ke arahku.

    “Kalau saja levelmu tinggi, pasti sudah ada yang ngajak kamu ke barisan depan.” Urfung menaruh kembali pisau yang dia pegang, menggantinya dengan pisau yang sedikit lebih tebal dari inventory-nya.

    Aku terdiam, memikirkan tentang tanggung jawab besar orang-orang yang ada di barisan depan. Sementara itu Urfung berjalan menuju Counter NPC di Night Sky Inn.

    “Ah, iya… boleh aku masukkan kamu ke Friend List-ku?” Tanya Urfung setelah kembali dari Counter NPC.

    Aku segera membuka jendela menu utama dan mendaftarkan namanya ke dalam daftar teman di Friend List.

    “Whoah. Langsung jadi Close Friend.” Urfung terperanjat setelah menekan tombol konfirmasi.

    Awalnya aku tidak mengerti, tapi setelah memperhatikan jendela kecil di tengah pandanganku yang bertuliskan “Urfung didaftarkan sebagai Close Friend.”

    “Close… Friend? Apa dan kenapa?” Tanyaku pada Urfung.

    “Emm… Setauku sih orang-orang dengan hubungan dekat bisa punya tempat penyimpanan yang bisa diakses bareng-bareng walaupun terpisah. Terus bisa liat status satu sama lain secara detil.” Jawabnya seakan dia tidak tahu tentang hal itu.

    “Aku juga baru pertama kali bisa ada Close Friend… Hahaha! Mungkin karena sering barter barang kali ya.” Lanjut Urf.

    “Atau karena sering nongkrong di sini setiap malam.” Kataku sambil meminum teh hangat yang baru dibawakan NPC pelayan.
     
  14. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 4
    Urfung duduk di depanku lalu memesan makanan untuk makan malamnya, setelah itu dia mengotak-atik fitur baru yang baru aku dan Urf dapatkan.

    “Level Skill Knife 23, Sword 25, Greatsword 21, Curved Sword 27, Slender Sword 22… Kyv! Kamu sebenernya level berapa sih!” Bentak Urf padaku dengan tiba-tiba.

    “E…eh? Dua belas, memang kenapa?” Jawabku dengan tenang.

    “Kau… bagaimana bisa punya skill pedang tinggi dan rata?” Emosinya semakin memuncak setelah mendengar jawabanku.

    “Itu… aku tidak mau menceritakannya.”

    “Jawab, atau aku akan sebarkan berita kalau kau adalah anak buah Kayaba yang memenjarakan kita di sini!” Urf menarik leher bajuku dan membentak di depan wajahku.

    “Ah, baik… lepaskan aku.”

    Aku menceritakan padanya tentang kenapa skill pedangku yang tinggi. Mulai dari saat awal-awal aku dan yang lain pindah ke lantai dua dan berhari-hari mengurung diri di dalam dungeon utama sambil meningkatkan level hingga ketika aku tidak bisa mengeluarkan skill apapun, jadi ketika salah satu dari aku, Akira, Stallein atau inggrid mendapat senjata yang lebih kuat, akan aku beli dan menggunakannya sebagai senjataku.

    “Hemm… Apa kau bodoh!?” Urf sekali lagi membentakku.

    “Coba pikir, monster dengan jumlah besar berkumpul di satu tempat. Sedangkan di Field-Field lain bahkan sangat sulit mencari monster. Apa yang akan dilakukan guild-guild?” Urf memasang wajah intelek sambil tangannya mengelus dagunya sendiri.

    “Ah! Kenapa mereka nggak meningkatkan level mereka di Dungeon utama?” Akhirnya aku tahu apa yang janggal. Ketika di tempat itu, tidak satupun kelompok yang datang, kecuali untuk memetakan tempat itu dan menembus ke ruangan bos kecuali kami berempat.

    “Terus lagi, kamu bilang kalian berempat tidak dalam satu parti, bukan? Itu juga mempengaruhi Experience yang kalian dapat, kalau satu monster dipukul bareng-bareng, experiencenya akan tersebar sesuai persentase berapa damage yang diterima monster. Sedangkan kalau dalam Party, semua akan mendapat rata. Lebih tepatnya delapan puluh persen kalau dua orang, enam puluh persen untuk tiga orang, empat puluh persen untuk empat orang dan tiga puluh lima persen untuk lima orang… kecuali bos monster.”

    “Aku kurang mengerti.” Jawabku jujur.

    “Dungeon utama monster-monster kuat itu memiliki experience jauh lebih sedikit per ekornya dibanding di field luar atau dungeon lain. Oleh karena itu jarang yang mau meningkatkan level di dungeon utama, terlebih jumlahnya yang besar.”

    “Itu aku mengerti.”

    “Intinya orang bernama Stallein ini menipu kalian bertiga. Dia membuat kalian berusaha keras untuk tujuannya sendiri. Kalau dia seorang beta tester… teoriku ini bisa dipastikan.” Urf melanjutkan deduksinya sambil menghisap daging gulungan yang berbentuk pipih seperti pinsil seakan itu adalah rokok.

    “Dia… beta tester.” Kataku yang masih mengatur pikiranku.

    Kalau kita meningkatakan level dengan benar, mungkin saja dia dan Akira…

    “Permisi, di sini ada yang bernama Kyvelar?” Seseorang masuk ke dalam lobi penginapan Night Sky.

    Orang itu memiliki tubuh yang cukup besar dengan helm menutupi kepalanya. Pakaiannya terlihat unik, set baju logam ramping tapi bukan barang-barang yang bisa dibeli di NPC tapi terlihat cukup kuat.

    “Ah, mau beli Potion?” jawabku yang berdiri dan mendekatinya.

    “Potion? Aku ingin Wine, yang paling terkenal itu.” Pria itu memiringkan kepalanya.

    “Wine?”

    “Iya, Wine yang bernama High Grade Delicious Wine lalu ada huruf P di akhir namanya yang diberi tanda kurung.” Jawab Pria besar itu.

    Whuss… seperti angin, sesuatu bergerak dengan cepat dari belakangku menuju pria itu.

    “Apa yang kau inginkan dengan benda itu? Aku bisa melaporkanmu pada Army atau guild lain untuk memburumu.” Urf sudah ada di depan pria bertubuh besar itu, mengacungkan pisau ke lehernya.

    “W… woah.. tunggu dulu, kawan. Aku hanya ingin mencicipi minuman itu.” Pria bertubuh besar itu sedikit panik tapi tidak terlihat tanda-tanda dia akan kabur atau mencabut senjatanya.

    “Temanku bilang seseorang bernama Kyvelar di sini adalah peracik obat dan racun yang ampuh. Salah satunya adalah racun yang paling nikmat di Aincrad.” Jawab Pria itu sambil mengeluarkan sesuatu dari Inventory-nya.

    “Tunggu, memang benar aku membuat obat, tapi bukan racun!” Kataku.

    “Sebentar, sebentar. Aku mau mengontak temanku dulu. Sepertinya infonya agak salah.” Lanjutnya.

    Urf masih memperhatikannya dengan curiga ketika pria itu mengontak seseorang.

    “Ah, kecurigaanku benar.” Pria itu menatap kepadaku.

    “Berhentilah menjadi peracik obat. Kau hanya menciptakan benda pembunuh.” Katanya sambil menunjuk ke arahku.
     
  15. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 4

    “Namaku Yin, Master Greatsword level 31 dari lantai 26 yang baru terbuka.” Pria itu duduk di salah satu kursi lobi penginapan Night Sky.

    Urf berdiri di depanku, menghalangi jalur langkah Yin menujuku. Sepertinya Urf mencurigai orang ini, tapi aku berkata “Tenanglah, Urf. Kita ada di daerah aman. Kecuali aku menerima duel darinya, aku tidak akan terluka sedikitpun.” Tapi Urf tetap berdiri mengacungkan pisau ke arah Yin sambil dalam kuda-kudanya.

    “Santailah, kawan. Tadinya aku berpura-pura menjadi pembeli benda berbahaya itu untuk memastikan apakah benar Kyvelar adalah dalang pembunuhan berantai di lantai 11.” Yin berusaha menenangkan Urf dengan menaruh semua yang dikenakannya dan menggantinya dengan baju lusuh yang kelihatannya tidak memiliki pertahanan sama sekali.

    “Maksudmu pembunuhan tiga puluh dua orang itu? Tapi Kyv tidak bisa meracik apapun selain herb… apalagi poison dengan daya mematikan sebesar itu.” Urf semakin memegang erat pisau di tangannya.

    “Yap, memang bukan. Ah, Kyvelar… boleh aku minta Antidote of Paralyze, Great Antidote of Poison dan Fatigue Healing Bottle?” Pria dengan tubuh besar itu menadahkan tangannya.

    Aku dengan ragu membuka Inventory-ku dan mengambil barang-barang yang dia minta dan melemparkannya pada Yin.

    Tapi, bukankah membuat Poison membutuhkan skill herb compounding atau potion fusioning?

    “Bukan, tapi skill Cooking minimal level 20” Ying memotong apa yang aku pikirkan, seakan dia tahu gumamanku.

    Dia mengeluarkan sebuah gelas dari perak lalu menuangkan ketiga potion yang aku berikan padanya ke dalam gelas itu.

    “Sekarang, coba kalian lihat apa nama benda di dalam gelas ini.” Yin menyodorkan benda itu pada kami.

    High Grade Delicious Wine (P)

    “B… Benda terkutuk itu…” Urfung gemetar melihat benda itu.

    Tidak bukan Urfung, tapi seluruh pandanganku gemetar. Atau, aku yang gemetar? Aku mengingat beberapa waktu lalu ada sekelompok orang mencurigakan yang membeli ketiga potion itu dengan jumlah yang besar.

    “Tungg..!” Sebelum Urf menyelesaikan perkataannya, Yin sudah melipat tangannya yang memegang Wine racun itu dan menenggaknya seperti air bening.

    Dia terdiam beberapa detik, membuat Urf kaget dan menaruh pisaunya.

    “Kau tidak apa-apa, Woy! Orang tua!” Urf segera mendekati Yin.

    “Cepat beri dia ini!” Aku mengeluarkan empat botol Quick Poison Remedy dan Great Health Potion.

    Tubuh Yin tidak bergerak, tidak bisa memasukkan obat ke mulutnya yang tertutup rapat. Aku dan Urf hanya bisa mematung, terdiam menunggu yang terburuk.

    “GHWAH! ENAK SEKALI!!”

    Urf terjatuh karna terkejut, sedangkan aku menumpahkan kedua barang kualitas tinggi dari kedua tanganku.

    “Kau… Kau masih hidup!?” Urf kebingungan atas orang yang berada di depannya masih bergerak dengan bebas.

    “Bodoh! Kau pikir kenapa kota dan tempat-tempat seperti ini disebut ‘safe area’? Tidak ada yang bisa mati ketika masuk ke dalam kota, kecuali efek poison tertentu. Pembunuhan berantai di lantai sebelas terjadi di luar safe area, jadi tidak salah ” Jawab Yin tanpa terdengar sedikitpun tanda-tanda dia baru meminum racun.

    “Ah!” Sentakku ketika menyadari perbuatan bodoh yang aku lakukan dengan memberi obat poison pada orang-orang yang datang dengan status ailment terracuni.

    “Benar-benar minuman yang pantas dibayar dengan nyawa. Rasanya begitu nikmat! Hahaha!” Kata orang itu sambil meneguk sisa-sisa minuman di gelas perak yang dia pegang.

    “Hanya saja… banyak pihak yang sekarang sedang mengincar Kyvelar, Druid dari Green Village atas kematian tiga puluh dua orang itu. Aku ke sini untuk mengamankanmu kalau kau terbukti tidak bersalah.” Kata Yin.

    “Kau… dari guild apa? Tidak menutup kemungkinan kau juga memiliki dendam pada Kyvelar, bukan?” Tanya Urf yang kembali mengambil ancang-ancang.

    Tapi seketika, sebuah jendela terbuka di hadapanku dan Urfung. Bukan sebuah tantangan duel, tapi sebuah jendela konfirmasi pertemanan.

    Aku segera menekan tombol “Confirm” dan segera melihat bahwa Urfung tidak berada di guild apapun, level 31 dan menguasai Skill Greatsword.

    “Master Skill Greatsword!? Yang benar saja! Kau baru level 31 dan aku tidak tahu kau ada di barisan depan!?” Urf semakin curiga dengan Yin. Tapi Yin hanya tersenyum.

    “Kyvelar, aku harap kau bersedia ikut denganku ke persembunyian. Setidaknya setelah namamu bersih.” Yin menjulurkan tangannya kepadaku.

    Dalam game ini, semua orang sesekali pasti merasakan hal ini. Rasa yang aku rasakan sekarang ketika sebuah jalan untuk menjadi lebih kuat terbuka dengan lebar. Rasa ingin menjadi lebih kuat dan menamatkan game ini.

    Aku sudah lelah menjadi NPC, seseorang yang tidak tahu menahu apa yang akan terjadi dengan apa yang dia jual. Hanya sekedar memuaskan sesuatu yang tidak jelas.

    Oleh karena itu…

    “Kyv!” bentak Urfung

    “Hanya saja, ada satu permintaanku. Ajari aku menggunakan pedang, aku tidak bisa bertarung… bahkan untuk mengaktifkan skill, aku tidak begitu pandai.” Mintaku pada orang itu.

    “Haha! Itu yang aku harapkan.”

    “Agh! Kau ini Kyv! Kalau begitu bawa aku juga! Aku masih tidak percaya pada pria tua ini. Kalau kau berani melukai pelangganku, akan aku bunuh kau dengan sendok!”

    “Untuk apa aku membunuh orang, aku adalah orang baik-baik dan mencintai kebenaran. Terlebih aku seorang polisi di dunia nyata. ” Jawab Yin dengan nada cengengesan.
     
  16. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Chapter 4

    Tanpa susah payah, Yin berhasil membawaku dan Urfung ke lantai dua puluh dua. Dari kota, dia langsung berlari menuju sebuah gerbang dan tentu aku serta Urfung mengikutinya. Perjalanan cukup jauh, beberapa kali monster dengan level tinggi muncul sepanjang jalan tapi Urfung dan Yin mengalahkan mereka dengan mudah.

    “Kita sampai.” Kata Yin isarat berhenti untukku dan Urfung.

    “Ini adalah tempat berlatihku, di sini semua Sword Skill akan dengan mudah Level Up…” Yin meneruskan perkataannya.

    Aku mengecek nama Field ini dan mengetahui bahwa tempat ini bernama “Abandoned Training Grounds (Yin)”

    “Apa maksudnya nama tempat ini? Diakhiri dengan namamu…” Tanyaku

    Yin mengeluarkan secarik kertas dari Inventory-nya. Benda itu bernama “Abandoned Training Grounds Ownership Scroll”

    “Mendapatkan benda ini sangat susah. Quest yang berputar-putar dan butuh uang yang sangat banyak… tapi akhirnya aku dapat. Hebat kan?” Yin membusungkan dadanya.

    “Di sebelah sana ada safe area kecil, jadi setelah berlatih bisa istirahat di situ.” Lanjutnya.

    “Ah, Kyvelar. Aku lihat banyak skill pedangmu sudah lebih dari level 20… kalau begitu pakai ini dan ini.” Yin mengeluarkan dua benda, salah satunya sebuah kalung dan yang lain sebuah gelang: “Swordmaster Necklace” dan “Bracelet of Apprenticeship”

    “Dengan itu, level Skill pedangmu akan bertambah cepat naik level hingga 10%. Kalau kau mau belajar Greatsword… kau bisa menggunakan pedangku.” Lanjutnya sambil mengeluarkan pedang besar dari Inventory.

    “Kau terlalu baik untuk seorang pemain MMORPG…” Kataku sambil mengambil pedang dari tangan Yin.

    “Ini tidak seberapa, lagipula siapa bilang ini gratis?” Perkataan Yin ini membuat sakuku gemetar, walaupun aku tidak menyimpan uang di sakuku lagi.

    “A… Apa yang kau mau dariku?”

    “Aku ingin membuat Guild, Guild untuk orang-orang yang memiliki determinasi berpedang sepertiku. Guild untuk para Swordmaster.” Yin menatap ke langit virtual dengan mata yang penuh ambisi.

    “Jadi, cepat-cepatlah kamu kuasai teknik berpedang dan bantu aku membuat Guild itu.” Lanjutnya sambil memukul pelan lenganku.

    “Idemu bagus. Aku juga tertarik… aku putuskan untuk membantumu… dengan harga yang sesuai.” Kata Urfung yang baru menelusuri field ini.


    Chapter 4 – End
     
    Last edited: Aug 27, 2012
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.