1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Opus #6: Smile

Discussion in 'Fiction' started by om3gakais3r, Jul 16, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Nyoba genre yang kayak gini setelah beberapa lama.. :sigh:

    komentar dari diri sendiri: Plain & Stereotipikal :sepi:

    Kau tahu bahwa manusia adalah makhluk yang paling indah? Tuhan menciptakan mereka dengan kemampuan mengekspresikan emosinya lebih dari makhluk hidup lain. Seburuk apapun seseorang namun ketika senyum terlukis di wajah mereka, mereka berubah menjadi sebuah keindahan lain dari dunia.

    Melebihi panorama matahari terbit di cakrawala, melebihi indahnya biru langit di musim panas, melebihi pemandangan terbenamnya matahari, melebihi terangnya malam berbulan purnama di Agustus cerah.

    Aku berusaha menjadi seseorang yang melukiskan keindahan itu di setiap wajah orang-orang di sekitarku. Egois, menurutku. Mungkin karena aku ingin menikmati pemandangan itu.

    Rio Salvador, hanya remaja lelaki biasa dengan umur tujuh belas tahun lebih satu bulan. Tidak berpenampilan terlalu menarik, tidak tinggi juga tidak pendek, tidak berprestasi juga tidak bermasalah, tidak dibenci ataupun disukai terlalu banyak orang. Mungkin skala penilaian itu agak salah karena aku menilai diriku sendiri.

    Sampai tahun ke tiga di SMA aku percaya bahwa senyum adalah suatu emosi yang murni, menggambarkan kebahagiaan yang akan menciptakan sebuah pemandangan yang bisa semua orang nikmati.

    Tapi aku salah.

    Aku tahu sejak awal kalau teoriku itu terlalu naïf, memang kebahagiaan bukan sesuatu yang mengikuti teori keseimbangan karena kebahagiaan tidak akan hilang ketika diberikan pada orang yang membutuhkan dengan penuh kasih sayang tapi walau sedikit kebahagiaan itu menjadi pelatuk pistol kesedihan atau kebencian.

    Musim dingin, tiga bulan sebelum ujian nasional. Hari itu aku menyadari kalau kebahagiaan seseorang, senyum seseorang akan membawa emosi negatif pada orang lain.

    Katlea, temanku sejak kecil. Saat itu wajahnya begitu penuh dengan kebahagiaan, senyum seindah maha karya yang akan dikenang selama ribuan tahun. Tapi, kenapa aku tidak menikmati keindahan dari wajah perempuan itu sama sekali?

    Ah, aku tahu sebabnya; ada lukisan yang sama indahnya dari samping Katlea. Lukisan dari seorang laki-laki berbadan tinggi dan berwajah tampan, membuat keduanya seperti sepasang lukisan legenda akan keindahan suasana detik itu.

    Apa kedua keindahan itu membuat mataku terlalu lelah untuk melihatnya? Bukan, bukan itu alasannya.Sejak awal aku memang menyukainya, mencintai Katlea dengan sepenuh hatiku. Tapi aku dan Katlea sama-sama tidak mau merusak persahabatan yang dibangun sejak lama.

    Tapi kebahagiaan Katlea yang seharusnya menjadi kebahagiaanku juga malah membuatku bingung dalam rasa sedih dan marah.

    Sejak saat itu aku tidak lagi berani membuat orang lain tersenyum. Tidak lagi ada dalam diriku yang mau menenangkan temanku yang sedang dalam kesedihan. Tidak lagi ada dalam diriku yang mau menenangkan teman yang sedang dalam kemarahan.

    Sedikit demi sedikit, rasa hampa mulai menyelimuti perasaanku. Aku merasa kalau aku sudah terlanjur ketergantungan dengan pemandangan yang penuh dengan kebahagiaan itu.

    Dua tahun setelah aku lulus dari SMA, dua tahun setelah aku melanjutkan sekolah mengejar gelar sarjana. Hari itu aku bertemu dengan seseorang, dia duduk di ujung kelas. Seorang perempuan dengan rambut pendek hitam kemerahan, tubuh yang relatif kecil kalau dibanding orang-orang seumurannya.

    Wajah yang tidak menunjukkan senyum sama sekali, namun terpancar keindahan darinya. Seperti berlian yang belum diolah.

    Mungkin kali ini keindahannya bisa mengobatiku.

    Risa, nama orang itu. Aku dan Risa akrab dengan cepat, menjadi lebih dari sekedar teman. Ya, aku mulai mencintainya. Setiap kali kebahagiaan terpancar dari hati Risa melalui wajahnya, seakan jantungku terhenti. Perasaan itu adalah sesuatu yang ingin aku rasakan selamanya.

    Tapi aku masih ragu untuk memiliki Risa sepenuhnya.

    Akankah seseorang merasa kehilangan sepertiku kalau aku memiliki Risa? Pertanyaan itu selalu menghentikan mulutku yang selalu ingin mengatakan “Aku mencintaimu juga, Risa.” Ketika Risa menyenderkan kepalanya di pundakku sambil berbisik padaku “Aku mencintaimu, Rio.”. Aku hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun.

    Tapi kau tahu, kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak bisa didapat dengan mudah?

    Suatu malam, sebuah pesan singkat datang dari ponsel Risa. Dia memintaku datang ke rumahnya.

    Aku datang ke rumahnya dengan vespa biru warisan pamanku. Risa langsung bergegas naik ke atas jok belakang vespaku lalu menyuruhku melaju ke arah yang dia tunjukkan sampai akhirnya kami sampai di sebuah lahan kosong. Hanya ada sebongkah batu panjang bekas bangunan di tengah tempat itu.

    Risa menarikku ke tengah tempat itu lalu menyuruhku duduk lalu dia menunjuk ke arah langit.

    “Indah, bukan? Dari tempat ini bintang-bintang terlihat begitu jelas.” Katanya sambil menggenggam tangan kananku dengan tangannya yang tidak menunjuk ke langit.

    Dari genggamannya itu aku merasakan gemetar dari tangannya, gemetar yang membuatku resah. Gemetar yang memiliki alasan yang sama kenapa dia meneleponku di tengah malam hanya untuk membawaku ke sini.

    “Besok aku akan menghadiri sesuatu yang penting, jadi aku ingin menenangkan diri bersamamu.” Jawabnya atas ekspresiku yang terlihat resah.

    Melihat wajahnya yang sangat penuh dengan rasa kepuasan, seakan keraguanku untuk membuatnya lebih bahagia dengan kebahagiaanku sirna.

    “Risa… Aku…”

    Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Risa menutup mulutku dengan jarinya.

    Aku terhenti, menatap wajahnya yang semakin membuatku ingin mengatakannya. Tapi Risa berbalik lalu menarik napas.

    Maururu…” Nada indah terdengar dari mulutnya, nada yang membuatku ingin mendengarkan suara itu terus.

    Mahana…”

    Ketika nyanyian Risa berlanjut, aku menutup mataku dan terus mendengarkan.

    “maururu rai
    maururu oe
    maururu roa

    manana rurutia
    manana here
    manana fenua
    manana aue

    maururu mahana
    maururu rai
    maururu oe
    maururu roa”

    Nyanyian itu terhenti, Risa menarikku ke arah tempat vespaku diparkir. Dia hanya berkata “Pulang.”

    Aku harap aku salah, tapi sepertinya aku melihat sesuatu dari wajah Risa; kesedihan. Sekali lagi, aku harap aku salah.

    “Maururu Roa”, baris terakhir dari nyanyian itu. Aku mencari arti dari kalimat itu di internet dan menemukan bahwa arti dari kalimat itu adalah “Terima Kasih.”

    Empat hari setelah malam itu, Risa tidak menghubungiku sama sekali dan rumahnya kosong. Jadi aku memutuskan untuk menghubungi kakan Risa.

    Dia menjelaskan semuanya, dari tumor otak yang sejak tiga tahun lalu ditemukan dokter. Awalnya Risa menolak untuk menjalani operasi dan membiarkannya hingga dia tidak lagi sanggup untuk menanganinya. Tapi baru-baru ini dia setuju untuk menjalani operasi yang kemungkinan berhasilnya cukup kecil.

    “Berita baiknya operasi itu berhasil.” Kata suara di balik telepon.

    “Tapi berita buruknya…”

    “Di mana!?” Potongku sebelum kakak Risa meneruskan berita yang tidak mau aku dengar.

    “Eh?”

    “Di rumah sakit mana?!”

    Setelah itu aku mendapat alamat rumah sakit yang sebenarnya hanya di kota sebelah. Tapi perjalanan menuju tempat itu seakan sangat lambat.

    Di tempat itu Risa tertidur, atau setidaknya terlihat seperti itu.

    “Dokter bilang butuh waktu yang lama untuknya agar kembali sadar.” Kakak Risa menyambutku lalu menepuk bahuku sambil menjelaskan kondisi Risa.

    “Berapapun waktunya, aku akan selalu di samping Risa.” Jawabku.

    Kakak Risa tersenyum, namun dari matanya terkucur air mata.

    “Terkadang aku merasa iri pada RIsa, memiliki seseorang yang begitu mencintainya sepertimu, Rio.”

    Aku menatap wajah Risa yang begitu tenang. Seperti wajahnya ketika tidur siang, hanya saja dengan perban yang terbalut rumit di kepalanya.

    Bayang-bayang kemungkinan Risa tidak akan bangun lagi menutupi setiap sudut pikiranku, membuatku menggeretakkan gigiku, merasa lemah akan keadaan Risa sekarang, sedangkan aku tidak bisa melakukan apa-apa.

    “Aku mencintaimu, Risa.” Bisikku padanya sambil memegang erat tangan Risa.

    Aku hanya berharap dia bisa mendengarku, lalu terbangun dan menjawabnya dengan suaranya yang pelan namun merdu.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Satu tahun sudah terlewat sejak operasi Risa. Wajahnya masih seperti dia pertama kali aku lihat di sini dulu. Begitu tenang, seakan bukan seseorang yang dalam keadaan koma.

    Tubuhnya sekarang sudah dipindah ke rumahnya, namun tetap memerlukan mesin-mesin yang menjadi penyangga kehidupan Risa.

    Sejak satu tahun lalu, aku mulai jarang pulang ke tempat kos yang sudah aku bayar untuk dua tahun.

    Setiap selesai kelas, aku langsung mengunjungi Risa atau bekerja sampingan.

    Dokter bilang kesadaran Risa selalu aktif walau dalam keadaannya saat ini, menambah alasan aku harus berada di sampingnya.

    Hari itu tepat satu tahun lebih dua bulan, hari ulang tahun Risa. Aku datang ke kamar tempat Risa tertidur sambil membawa karangan bunga dengan ukuran besar.

    Setelah menaruhnya di meja yang berhadapan dengan ranjang, aku duduk di kursi samping Risa.

    Setiap kali aku duduk di tempat ini, aku merasakan kesedihan yang luar biasa. Apa mungkin kerinduan akan seseorang yang aku cintai? Atau mungkin kerinduan akan senyum terindah yang pernah aku lihat? Atau rasa bersalah karena aku tidak bisa membantu lebih?

    Aku memegang erat tangan Risa, membisikkan kalimat yang sedikit berbeda dari biasanya. Berbeda dari hari-hari biasa, aku menambahkan ucapan selamat padanya.

    “Selamat ulang tahun, Risa. Aku mencintaimu.” Bisikku lalu aku kecup kening dingin Risa yang sekarang tidak lagi tertutup perban.

    “Pangeran membangunkan sang putri… seperti cerita dalam dongeng.”

    Suara itu mengejutkanku. Suara yang begitu pelan dan serak, walau berbeda dari yang aku ingat, itu adalah suara Risa.

    “Aku mencintaimu juga Rio.”
     
  4. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    kesan yang pertama saya tangkep waktu baca ini rasanya... erm.. emang anda banget.

    bisa dibilang saya setuju sama komentar diri anda sendiri. plain. stereotipikal.

    ceritanya terlalu datar. biarpun bahasanya ngalir. bagus. dan kayaknya gak usah diraguin lagi soal tanda baca, etc-nya tapi kalau ceritanya terlalu datar rasanya juga nggak pas.
    dan maaf gan, saya sering ngerasa begini waktu baca cerpen anda yg lain juga. Nggak semuanya(soalnya saya nggak baca semuanya dan saya juga nggak mungkin inget semuanya). Makanya saya bilang pas baca cerpen ini saya ngerasa anda banget.

    kurangnya mungkin di penyampaian emosinya(IMO ya). Bahasanya enak. Tapi kayak orang lagi ceritain hal yang udah berlalu dan dia sendiri udah nggak inget lagi gimana perasaan dia waktu peristiwa itu. Atau malah kayak orang lain cerita tentang orang lain. menurut saya sih penyampaiannya agak terlalu kaku atau sempit, padahal sudut pandang orang pertama itu biasanya bisa luas dan enak buat ngedeskripsiin emosi tokoh. Yah, saya jg masih belajar buat bisa begitu sih :p

    trus plot kalau saya ya... biasa ya.. Nggak jelek. Nggak wah juga.

    Soal tokoh, saya sempet dapet kesan tokoh "aku"-nya mirip ma tokoh di baccano yang suka maksa orang senyum. lol.

    Segitu aja komennya. Overall udah bagus. Cuma kurang wah aja.

    :maaf: kalau ada kata-kata yang nggak enak
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. deris0102 Banned User

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    121
    Trophy Points:
    0
    Ratings:
    +0 / -0
    KEREN! Two thumbs up buat authornya ^0^
    Kenapa ga dibikin novel aja? pasti laris heheh :D
     
  6. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    aku merasa tokoh utama e sangat membosankan :dandy: kenapa? feeling dari intonasi penggambarane itu bener2 terasa SURAMMMMMMMMMMMMMMMM (kekna itu lebih tept daripada membosankan)

    anyway itu kan penokohtan jadi ga maslah sih :oghoho:

    plain : yap
    bahasa kebanyakan diindahkan : kekna s aku itu lulusan sekolah sastra wae (berhubung kamu pake sudut pandang pertama, jadi kurasa lebih baik lebih...sesuaikan dengan karakter yang kamu bangun) < ini masalah selera saja, berhubung gw orang yang ga demen yang bahasa indah2(maklum ora dong karena iqku yang standard) :oghoho:
    pace : kecepatan (well ini cerpen apa boleh buat)
    mengalir : Oh yeah mengalir enak sih
    penokohan : kurang terasa
    romance : Okay

    smua itu hanya pendapat menurut salero saya :maaf:
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jul 24, 2012
  7. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Bingung soalnya sih.. :keringat: rencana saya sih dari awal nekenin "stress" dalam baca supaya saat "tragedi" muncul, pembaca langsung "break down".. tapi sepertinya malah bikin plotnya "basi" :sigh:

    ok makasih komentarnya, semua.. I'll pay your kindness, for sure. :sepi:

    saatnya bereksperimen lagi.. :sepi:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.