1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Invisible

Discussion in 'Fiction' started by AidouYuukihara, Jun 26, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. AidouYuukihara M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 5, 2011
    Messages:
    904
    Trophy Points:
    107
    Ratings:
    +776 / -0
    A-ano...
    ini ceritanya romance, latarnya kalau berdasarkan nama ya di jepang. semoga aja berasa...
    Rada fantasy juga, dan yang jelas drama... :patahhati:

    I N V I S I B L E
    Rate: T
    Genre: Romance and Drama

    Kalian pernah merasa gak diperhatikan oleh orang lain?
    Padahal sudah jelas kalian ada di depan matanya tapi pandangan dan ucapan mereka gak pernah tertuju pada diri kalian?
    Kalian pernah merasa kesepian?
    Merasa sakit dan iri pada orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang lain?​


    Sebenarnya bukan sesuatu yang baik bagiku untuk mengatakan hal ini. Oleh karena itu aku menambahkan kata ‘mungkin’ di kalimat berikut ini.

    Mungkin setiap orang pernah merasakan hal-hal itu.
    Mungkin setiap orang tahu bagaimana rasanya.
    Mungkin semua orang tidak akan pernah bisa mengerti dan hanya menelantarkan mereka yang mengalami hal itu.

    Sebuah keadaan dimana mental seseorang akan melemah. Tapi siapa yang peduli pada kami?
    Siapa yang peduli pada orang yang gak pernah kalian kenal sebelumnya?
    Gampang saja mereka bilang, “Salah kalian sendiri gak mau berusaha!”

    Hahaha... perkataan yang lucu dan sangat munafik. Tahu kah kalian? Kami telah berusaha semampu kita namun faktanya kalian semua menolak dan membuang kerja keras kita dengan alasan yang tidak masuk akal.

    Oke, sekarang aku menjadi terbawa emosi. Terbawa emosi karena masalah kami, orang-orang yang tidak pernah kalian perhatikan.

    Perkenalan hah?

    Mungkin menurut kalian ini sebuah hal yang sederhana, tapi tidak bagi kami. Aku gak mau banyak basa-basi lagi, panggil aku M. Sudah jangan banyak mengeluh. Kita mulai saja cerita ini agar semua menjadi jelas.

    Pada suatu hari di akhir bulan Agustus. Saat itu aku sedang membersihkan ruang kelasku sendirian. Yah sebenarnya tidak sendirian juga sih, ada beberapa orang di kelas ini tapi sepertinya mereka tidak pernah menganggap keberadaanku. Karena begitulah cara mereka memperlakukanku, kenapa tidak aku mencoba melakukan hal yang sama? Bukannya manusia suka kalau apa yang telah ia lakukan di balas dengan hal yang setimpal?

    Sebenarnya sih aku tidak perlu mengerjakan hal-hal seperti ini. Bukannya tidak ada yang peduli? Kalau aku langsung pulang juga tidak akan ada yang peduli.


    Flashback
    “Apa Kobayashi-san sudah pulang?”
    Sebuah suara yang agak lembut masuk begitu saja melalui kedua lubang telingaku.
    “Kobayashi-san? Siapa ya? Di kelas ini setahuku tidak ada yang bernama Kobayashi.” Aku hanya melirik ketika mendengar perkataan itu sambil mengelap kaca jendela kelas.

    Suasana kelas begitu sunyi. Tanganku bergerak menyentuh kaca dilindungi oleh sebuah kain putih yang agak kotor. Sesekali aku memperhatikan pantulan wajahku di cermin.

    “Apa kau yakin? Di sini tidak ada yang namanya Kobayashi Mirai?”
    Aku berhenti mengelap kaca dan mengambil tasku.
    “Iya aku yakin kok, gak ada deh yang namanya Kobayashi Mirai.”
    Aku melangkahkan kakiku menuju pintu kelas dimana beberapa orang membicarakan orang yang bernama “Kobayashi Mirai”.
    “Iya gak ada deh, aku yang menulis absen kok.”

    Telingaku menangkap suara yang dibuat terdengar manja oleh sang empunya. Menjijikan. Aku langsung menarik tangan orang yang tadi mencari Kobayashi Mirai.
    “Ada urusan apa denganku?” tanyaku setelah melepaskan tangannya.
    “Terima kasih karena telah menolongku kemarin.” Katanya saat kami berdua berjalan menuju gerbang sekolah.

    Aku hanya diam, apa yang harus kubalas? Tidak ada.

    “Emm... rumahmu dimana?” dia mencoba berbasa-basi mungkin.
    “Oh, tak jauh dari pasar swalayan.”
    “Kalau begitu kita searah, rumahku juga tak jauh dari sana hahaha...” dia tertawa. Aneh.
    “Oh,”
    “Mereka.... teman sekelasmu tidak tahu namamu?”
    “Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, apa mereka pantas disebut teman? Mengenal nama saja tidak. Lagipula bukankah kau sudah mendapatkan jawabannya tadi?” oh tidak Mirai. Kau sudah membuat kesalahan besar dalam hidupumu! Ini sebuah keajaiban ada yang tahu namamu. Kenapa kau menyia-nyiakannya? Kenapa?

    Saat ini aku benar-benar ingin menghantam kepalaku ke dinding. Lihat wajahnya yang tampak depresi itu.
    “Ma-maaf kalau aku telah membuatmu marah,” wajahnya! Wajahnya! Untuk seorang laki-laki dia manis sekali! Manis!!!

    “Oh,” tidak, kenapa harus kata-kata ini yang keluar. Menyedihkan.
    “Ka-kau masih marah?”
    Tenang Mirai. Tenang. Ayo katakan, ‘Tidak, lagipula aku yang salah karena berbicara kasar’.
    “Marah? Apa segala sesuatu yang berbau kasar harus disebut dengan marah? Kalau kau tidak menyukai sifatku seharusnya kau tidak perlu mengenalku.” Sebenarnya aku memang setuju dengan apa yang baru saja aku ucapkan tapi itu terlalu kasar. Kenapa aku harus seperti ini?

    “Kalau begitu kau tidak marah Kobayashi-san? Untunglah... Oh ya, namaku Satoru Kubo.”
    “Kobayashi Mirai,” jawabku singkat.
    “Kau tidak masalah kalau aku bertanya seputar hal barusan? Mengenai orang-orang di kelasmu?”
    “Oh terserah kau, lagipula bukan hak ku untuk melarang seseorang.”
    “Baiklah kalau begitu, bagaimana bisa mereka tidak mengetahui keberadaanmu?”
    “Oh itu, jangan bertanya padaku. Aku tidak bisa menjawabnya, kau tahu sendiri aku ini bukan mereka.”
    “Haha... benar juga ya.”
    “Kalau kau tahu seharusnya kau tidak perlu bertanya.” Kau salah Mirai, seharusnya kau ikut tertawa.
    “Padahal kau memiliki cara pandang yang unik, kau juga orang baik, belum lagi wajahmu juga tidak bisa dibilang buruk.” Katanya sambil memegangi dagunya.

    Seharusnya disaat-saat seperti ini aku berkata, ‘Sa-Satoru-kun... kau terlalu berlebihan’ dengan wajah memerah. Lalu dia mendekat dan.... Gyahaahha! Kisah cinta dua remaja SMA pun dimulai.

    “Tidak baik untuk berkata seperti itu kepada orang yang baru kau temui,” oh tidak, kenapa jauh sekali dari yang ingin kuucapkan? Bagaimana dengan kisah cintanya? Bagaimana?
    “Tapi bukannya tidak baik untuk menolong seseorang yang kau sendiri tak tahu siapa.”
    “Itu hal yang berbeda,” bodoh! Mirai kau bodoh sekali! Seharusnya kau mengatakan, ‘Karena itu Satoru-kun, aku... aku...’ gyahahaha... dan nanti akan berujung ke kisah cinta remaja pada umumnya.

    “Apa salah untukku kalau aku ingin memujimu?” tangannya memaksaku untuk berhenti dan membuat pandanganku tertuju ke kedua bola mata berwarna cokelat miliknya. Waktu terasa berhenti begitu saja.
    “Apakah salah untukku kalau aku berteriak ada seorang maniak yang menggodaku? Seharusnya kau sadar berapa sentimeter kah jarak wajah kita berdua. Dan satu lagi, kau telah melukai pergelangan tanganku.”
    “Ah maaf,” wajahnya memerah dan wajahku tetap datar.
    “Ini rumahku,” kataku ketika kita sampai di depan rumahku.
    “Itu rumahmu? Kau tetanggaku? Kau baru di sini?”
    “Aku sudah lama di sini, orang tuaku bekerja dari pagi dan pulang malam hari. Papan nama keluarga kami sepertinya terhalang oleh semak-semak tumbuhan sekitar pagar. Aku juga tidak terlalu suka keluar rumah.”
    “Ah, mungkin benar begitu. Ngomong-ngomong itu kamarku.” Dia menunjukan kamarnya.
    “Kalau begitu kamar kita bersebelahan,” ini berarti kita jodoh! Kenapa aku bisa-bisa tidak tahu kalau ada laki-laki seperti ini di seberang kamarku.
    “Aku kira di sana tidak ada penghuninya,” dia terlihat terkejut.
    “Oh, aku memang jarang membuka gorden kamarku.”
    “Bukannya tidak baik kalau kau jarang membuka gorden kamarmu?”
    “Ah, kau benar juga ya... mungkin aku akan sering membukanya mulai sekarang.”
    “Baguslah kalau begitu, sampai jumpa besok ya!” Katanya dengan lembut sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk membalas perlakuannya yang seperti itu.

    End Flashback
    Semenjak saat itulah aku merasa diriku nampak di muka bumi ini. Walaupun hanya satu orang yang menyadari keberadaanku, entah kenapa aku merasa begitu senang. Setiap pagi ketika aku membuka gorden kamarku dia selalu menyapaku dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya. Tapi aku... argh! Kenapa aku hanya membalasnya dengan wajah datar! Kenapa? Kenapa?

    Seharusnya aku membalasnya dengan senyuman yang sangat bersinar.

    Seharusnya....

    Argh! Menyebalkan!

    Normal POV

    Rumah itu begitu besar. Warna cat temboknya agak terlihat kusam serta tanaman-tanaman di sekelilingnya tampak tidak terurus dan membuat orang semakin berpikir bahwa rumah ini adalah rumah berhantu yang tidak dihuni oleh manusia manapun.

    Seorang gadis berambut hitam legam masuk ke dalam melalui pagar depan rumah tersebut. Dia mengenakan seragam SMA dan wajahnya terlihat pucat.

    “Sampai jumpa besok Kobayashi-san,” kata seorang laki-laki yang mengenakan seragam serupa dengan gadis itu. Rambut cokelatnya terlihat menari-nari bersamaan dengan embusan angin. Senyuman hangat yang ia perlihatkan tak kalah hangat serta indahnya dengan cahaya matahari senja di balik punggungnya. Gadis itu hanya mengangguk dan masuk ke dalam rumah itu.

    Sudah sekitar satu bulan lamanya Mirai dan Kubo melakukan interaksi satu sama lain. Mirai masih saja mengutuk dirinya karena tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang sesuai dengan isi hatinya. Sedangkan Kubo malah terlihat semakin senang berada di dekat Mirai.

    Kini Kubo sedang berbaring di tempat tidurnya. Sebuah pertanyaan masih terus melekat di kepalanya.
    ‘Kenapa semua orang menganggap Kobayashi-san tidak pernah ada di dunia?’

    Bahkan orang tuanya sendiri tak pernah tahu kalau rumah di sebelahnya berpenghuni. Malah mereka berkata bahwa di sebelah rumah mereka hanya ada lapangan kosong. Percuma saja bagi Kubo untuk bertanya langsung pada Mirai. Mirai pasti akan menjawab pertanyaan Kubo namun tidak memberikan jawaban yang sebenarnya Kubo cari.

    Malam itu, Kubo yang sangat penasaran akhirnya duduk di depan layar komputernya. Dia membuka situs pelajar nasional dan mengetikan nama Mirai di sebuah kotak pencarian.

    Ctek... ctek...

    [Kobayashi Mirai]

    Beberapa saat kemudian raut wajahnya berubah. Ia langsung keluar dari browser-nya dan mematikan komputernya. Dia masih belum mempercayai apa yang baru saja dilihatnya.
    Ia membaringkan tubuhnya kembali. Dia menutup matanya dan mengingat awal pertemuan mereka berdua.

    Flashback

    Kubo baru saja keluar dari ruang kelasnya. Ia berjalan menuju gerbang sekolah sendirian. Ketika di tengah perjalanannya menuju rumahnya, angin kencang menerpanya. Ajaibnya, angin itu sampai-sampai membuat kertas-kertas di dalam tas Kubo berterbangan. Kertas-kertas itu berisi sketsa-sketsa. Ia langsung menangkapnya satu-persatu. Tanpa ia sadari, ada seseorang yang membantunya.

    Ketika ia menyadari ada seseorang yang menyodorkan beberapa lembar kertas miliknya, ia pun terkejut. Wajah gadis di hadapannya begitu pucat. Warna bola matanya yang hitam pekat membuat matanya tak berhenti menatapnya. Seolah-olah mata itu telah membuat dirinya membeku dan terpaku pada bola mata itu.
    “Ini,” kata Mirai sambil menyerahkan kertas itu.

    Kubo masih terpaku pada kedua bola mata itu. Bola mata yang begitu hampa seakan-akan menunjukan bahwa orang di hadapannya ini tidak memiliki perasaan. Bukan hanya perasaan, mungkin jiwa.

    Kubo mengalihkan pandangannya menuju kertas yang disodorkan Mirai. Kubo mengambilnya dan mengangkat kepalanya. Ia memperhatikan gadis di hadapannya. Matanya menangkap beberapa kata yang berada di bagian kanan seragam gadis itu.

    Tiba-tiba angin kencang berembus lagi. Ia memegangi kertasnya dengan erat dan menutup matanya karena takut ada debu yang singgah di kedua matanya.

    Saat ia membuka matanya kembali, gadis itu pun menghilang.

    End Flashback

    Keesokan harinya.

    Mereka pulang bersama seperti biasa. Suasana kali ini lebih sunyi karena Kubo yang biasanya memecah keheningan kini ikut diam.

    Di balik wajahnya yang datar serta pucat, Mirai sudah membuat banyak kata-kata dalam pikirannya namun tidak ada yang berhasil terlontarkan. Dia malah semakin frustasi dan mengira kalau Kubo membencinya karena ia, Mirai, selalu membalas sifat ramahnya dengan dingin.

    “Kobayashi-san...” suara Kubo terdengar seperti sedang berbisik.
    “Apa?” Mirai menengok melihat Kubo yang merasa tidak enak dengan keadaan mereka berdua saat ini.
    “Apa kau tidak merasa aneh?” Kubo menjaga intonasi bicaranya agar tetap terdengar sopan. Karena mungkin pertannyaan yang selanjutnya akan ia lontarkan dapat membuat lawan bicaranya tersinggung.
    “Aneh?” Mirai masih terlihat datar.
    “Ya, aneh. Semua orang seakan-akan tidak pernah menganggapmu ada. Bahkan namamu... tidak ada yang tahu kecuali aku.” Kubo menggit bibirnya.
    “Kau tidak menyukainya?” Mirai terdengar tidak menyukai apa yang dinyatakan oleh Kubo.
    “Bukan begitu, hanya saja ini terasa begitu janggal.” Kubo mencoba menghilangkan rasa jengkel Mirai.
    “Kalau kau tidak menyukainya, lebih baik kau tidak pernah mengenalku lagi.” Mirai langsung berjalan di depan Kubo dan meninggalkan Kubo yang terdiam melihat tingkahnya.

    ‘Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu.’ Pikir mereka berdua.

    Kubo pun berjalan dengan lesu menuju rumahnya.

    Saat malam hari ia pun duduk di depan meja yang biasa ia pakai untuk membuat sketsa. Kali ini pun dia menghabiskan malamnya untuk menggambar. Akhir-akhir ini dia sering membuat sketsa sebuah pemandangan yang dia sendiri belum pernah melihatnya. Sebuah pemandangan yang terlihat berada di era yang jauh dari era yang saat ini ia jalani. Ia pun berhenti menggerakan pensilnya dan menengok ke arah jendela kamarnya. Ia mengembuskan nafasnya.

    Ia pun beranjak dari tempat duduknya dan menuju jendela kamarnya. Ia menyingkirkan gorden yang menutupi pemandangan di balik jendela itu. Ia pun membuka jendela dan mencoba memanggil pemilik kamar di hadapannya.

    “Kobayashi-san? Apa kau bisa keluar sebentar?” pinta Kubo dari jendelanya.

    Srek

    Jendela kamar itu pun terbuka.

    “Apa?” tanya Mirai.
    “Apa orang tuamu sudah pulang?” Kubo berbasa-basi sedikit.
    “Menurutmu?” Mirai memperhatikan Kubo. Kubo memperhatikan Mirai.
    “Sepertinya belum ya?” Kubo tersenyum malu.
    “Jadi apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Mirai sambil mengetukan jari-jari kirinya di jendela.
    “Mengenai hal tadi, aku minta maaf.” Kubo mencoba mempercepat pembicaraan ketika melihat jari-jemari Mirai yang seperti itu.
    “Oh,” Mirai berhenti menggerakan jarinya.
    “Jadi kau mau memaafkanku?” kedua bola mata Kubo terlihat lebih cerah dari sebelumnya.
    “Menurutmu?”
    “Bisakah kau menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang jelas?” Kubo menghela nafas. Dia agak bosan mendengar jawaban menggantung dari gadis di hadapannya itu. Bayangkan saja, setiap kali dia bertanya dia sendiri yang harus menjawabnya.
    “Kalau kau tidak suka menjauh saja,”
    “Kuanggap itu sebagai iya, kalau begitu sampai jumpa besok pagi.” Kubo pun menutup jendela kamarnya, begitu juga dengan mirai.

    Mirai POV

    Seharusnya aku bersikap ramah padanya. Belum lagi dia satu-satunya orang yang menyadari keberadaanku. Aku seharusnya mengeluarkan kata-kata yang manis dan wajar untuk gadis-gadis seumuranku. Ya ampun, apa ini salah satu alasan mengapa aku tidak pernah terlihat ya?

    Tapi setelah memikirkan ucapan Satoru, memang ada benarnya juga sih. Mengapa bisa-bisanya namaku tidak ada di daftar. Sedikit aneh, mungkin aku harus melakukan penyelidikan.

    Ah tapi buat apa?

    Bukankah aku sudah berusaha?

    Mereka saja yang terlalu lamban untuk menyadarinya.

    Hh, orang tuaku belum pulang.

    Biarlah, aku tidur saja.

    Normal POV

    Kita ubah latar cerita ini menjadi keesokan harinya pada jam pulang sekolah tiba. Murid-murid dari setiap kelas langsung menyerbu ke gerbang sekolah. Seorang gadis berambut hitam dengan kulit pucat masih duduk di dalam kelasnya. Sedari tadi ia merasa seperti ada sesuatu yang memperhatikannya. Kedua bola mata hitamnya mencoba mencari bola mata musuh yang mengintainya.

    Tak ada apa-apa.

    Dia menarik nafas panjang dan kemudian mengembuskannya. Ia mengambil tasnya dan berdiri dari tempat duduknya.

    “Kobayashi Mirai!” Sebuah suara yang cukup dewasa (menurut Mirai) masuk seenaknya saja menuju kedua lubang telinganya. Ia tersentak dan menengokan kepalanya.

    Sebuah makhluk transparan dengan efek bulu-bulu burung yang berwarna putih mengitarinya. Belum lagi efek cahaya yang munculnya entah dari mana membuat Mirai terpaksa untuk menyipitkan kedua matanya.

    “Kau... bisa hilangkan efek-efek yang berlebihan itu?” pinta Mirai yang kini tidak bisa melihat apa-apa kecuali warna putih.
    “Respon macam apa itu!” kata makhluk di hadapan Mirai yang kemudian menjentikan jarinya.
    Mirai membuka matanya dengan normal.
    “Kobayashi Mirai! Kau harus kembali ke tempat seharusnya kau berada!” Perintah makhluk asing tersebut pada Mirai.
    “Siapa kau? Ah bukan, kau itu apa? Lalu apa maksudmu dengan kembali?” Mirai terlihat bingung dengan apa yang makhluk asing ini bicarakan.
    “Jadi begini....” dia duduk dan Mirai juga ikut duduk.

    Di tempat lain yaitu ruang kelas dimana Kubo biasa menghabiskan waktunya. Kubo kini menggambar sebuah sketsa pemandangan. Sebuah bangunan sekolah tua dengan banyak pohon-pohon besar di sekelilingnya. Bangunan sekolah ini begitu antik untuk mata Kubo. Bangunan sekolah yang sepertinya familiar bagi dirinya namun dia tidak mampu mengingat apa.

    Dia menggerakan tangannya kembali. Sebuah sketsa dua buah punggung siswa dan siswi yang saling bergandengan tangan. Siswa itu berlari seperti mengajak siswi itu untuk berjalan lebih cepat. Walaupun ia menggambar hanya bagian punggung saja yang terlihat, ia bisa merasa yakin bahwa siswi itu sangat senang dengan perlakuan siswa itu.

    Kubo berhenti sejenak. Ia melihat ke bagian luar jendela kelasnya. Kelas Kubo berbeda dengan milik Mirai yang sudah sepi. Di kelas Kubo masih banyak murid yang tinggal di kelas untuk mengerjakan tugas bersama sambil berinteraksi satu sama lain. Kubo memperhatikan sebuah pohon besar di luar jendela sana.

    “Eh kalian tahu gak mengenai salah satu cerita horor di sekolah ini?” seorang murid perempuan di kelas itu berhasil membuat Kubo penasaran.
    “Kisah yang mana? Sekolah kita kan sekolah tua, banyak mitos dan legenda-legenda anehnya.” Temannya menyambar.
    “Yang mengenai siswi yang suka sama seorang siswa tapi gak bisa mengungkapkan perasaannya. Seperti kisah Little Mermaid yang sastra klasik itu loh!” Murid yang bernama Yuko membuat teman-temannya menggelengkan kepalanya.
    “Jadi begini, dia suka sama seseorang. Tapi mulutnya gak pernah bisa mengatakan apa yang dia mau. Dan saat tunas cinta mulai berkembang, dia mati deh.” Lanjutnya.
    “Yang mananya yang seram? Dan lagi istilah tunas cinta itu.... kau terlalu memaksakan pengibaratannya.” Ren tertawa geli.
    “Ssssst.... itu baru prolog! Nyantai dong. Lanjut gak nih?” yang lain mengangguk.
    “Saat ia meninggal, seketika ingatan siswa yang ia sukai tentangnya langsung musnah. Kalau little mermaid masih dikenang, makanya dia mati bahagia. Kalau dia mati gak bahagia apa yang akan terjadi?” Yuko menyeringai.
    “Gentayangan?” Miku menduga-duga. Yuko mengangguk sambil tersenyum.
    “Terus mananya yang seram? Gentayangan doang mah biasa!” Ren berkomentar lagi.
    “Sabar dong, itu belum masuk klimaks. Ini dia klimaksnya. Seperti yang Miku-chan katakan, dia gentayangan. Dan dia gak hanya sembarangan gentayangan, dia juga mencari objek balas dendam.” Kubo yang dari tadi mendengarkan sambil menatap pohon di luar makin terlihat penasaran.
    “Dia sangat suka dengan orang-orang yang bernasib sama dengannya. Orang yang patah hati, yang cintanya bertepuk sebelah tangan, dan orang-orang yang dilupakan serta pemalu!” Yuko menyeringai ke arah Hitsui.
    “Ja-jangan menatapku seperti itu!” Hitsui yang orangnya pemalu agak merinding.
    “Dan kalau dia sudah menentukan mainannya, dia akan membawanya ke sebuah dunia yang hampa. Bukan surga, neraka, dan dunia yang kini kita tempati. Dan katanya sih, tempat itu lebih menyeramkan dari kuburan. Di situ benar-benar dingin. Banyak suara teriakan serta dentuman kencang yang datangnya entah darimana. Yang kalian bisa lihat di sana hanyalah hitam.” Semuanya menelan ludah.
    “Kalian mau tahu dia biasanya muncul dimana?” Yuko bertanya sambil menyeringai. Mereka hanya mengangguk kecil.
    “Di pohon terbesar di sekolah ini. Yang itu,” Mereka semua langsung melihat ke arah yang sama dengan Kubo.

    Kubo yang terus memperhatikannya merasa ada perubahan dengan pohon itu. Angin bertiup dengan kencang. Tiba-tiba Kubo merasa dapat melihat seorang siswa dan siswi yang berdiri bersebelahan membelakangi Kubo dan menghadap pohon besar itu sambil berpegangan tangan. Tiba-tiba angin kencang muncul lagi.

    SRASSH!

    Kubo langsung memejamkan matanya. Murid-murid perempuan di kelasnya menjerit ketakutan.

    “Satoru-kun! Kau tidak apa-apa?” tanya teman sekelasnya.
    “Ti-tidak, tidak apa-apa.“ Kubo terlihat pucat.
    “Sebaiknya kita panggil petugas kebersihan dan memintanya membereskan seriphan-serpihan kaca ini.” kata Yoh yang merupakan ketua kelas. Mereka semua langsung pergi mengikuti Yoh karena ketakutan.
    “Yuko-chan jangan pernah cerita-cerita mengenai hal itu lagi!” Miku terlihat ketakutan.
    “Lagian Ren-kun yang meminta,” Yuko tersenyum geli.
    “Siapa yang minta!” Ren membantah. Yuko hanya tersenyum.
    “Oh iya, yang tadi itu salah satu pertanda kalau gadis itu akan bangkit. Semakin banyak angin semakin besar tanda keberadaannya!”
    “Yuko-san!” teriak teman-teman di sekelilingnya.

    Kubo masih di ruang kelas. Ia tidak ikut teman-temannya karena memilih untuk langsung pulang. Ia memperhatikan pohon itu lagi. Ia langsung memasukan barang-barangnya ke dalam tas dan pergi keluar kelasnya. Ketika berjalan keluar gedung sekolah ia berpapasan dengan teman-temannya yang sudah membawa petugas kebersihan. Ia pamit duluan dan langsung berjalan lagi. Ketika ia dan Yuko berpapasan. Yuko mebisikan sesuatu padanya.

    “Berhati-hatilah.”

    Kubo tidak membalasnya.

    Ketika ia sudah di luar gedung sekolah itu, ia pun berhenti.

    ‘Tak ada salahnya untuk ke sana,’ ia pun berbelok ke kanan dan menuju pohon terbesar di sekolah itu.

    Ia mendekati pohon tersebut dan tangannya bergerak untuk menyentuh batang pohon tersebut dengan sendirinya. Entah kenapa hal ini membuat dirinya tenang. Angin kencang lagi-lagi berembus dari balik pohon. Kubo menutupkan matanya.

    “Kira-kira bibit ini akan menjadi apa ya kelak?” suara seorang anak laki-laki terdengar di telinganya.
    “Entahlah,” gadis di sampingnya hanya menjawab dengan singkat.
    “Ah aku tidak peduli, yang terpenting setiap kali kita melihat tumbuhan hasil dari bibit ini kita akan ingat satu sama lain. Hm, aku mau pohon yang besar.”
    “Kenapa bukannya menghabiskan tempat? Kalau di tebang bagaimana?”
    “Malah kalau semakin besar akan semakin sulit untuk dipotong. Sama seperti kenangan-kenangan yang telah kita buat!” laki-laki itu tersenyum lembut.
    “Semoga saja itu benar,” gadis itu tersenyum kecil.
    “Kau...manis...” laki-laki itu memperhatikan gadis di sampingnya lebih dekat.
    “Kenapa? kau tidak suka?” kata gadis itu yang sudah kembali dengan ekspresinya yang normal sambil memalingkan wajahnya. Laki-laki itu hanya diam dan memperhatikannya.

    Kubo masih dengan posisi seperti tadi dan mata yang tertutup. Angin masih terus menerpanya. Tanpa ia sadari sepasang mata memperhatikannya. Sebuah langkah dengan irama lamban perlahan mendekatinya. Ia masih belum menyadarinya keberadaan orang lain di dekatnya. Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahunya.

    “Satoru-kun?” suara datar itu membuat Kubo membuka kedua matanya dan melihat kebelakang.
    “Sedang apa kau di sini?” Mirai bertanya.
    “Aku... lupa.” Kubo terlihat bingung. “Kau mau langsung pulang?”
    “Hm,” Mirai mengangguk.
    “Kalau begitu ayo pulang sekarang,” Kubo terlihat kembali ke seperti Kubo yang biasanya.

    Ketika di perjalanan pulang. Mereka berjalan dengan rute yang sama dan kesunyian yang sama.

    “Kau, kudengar kaca jendela di kelasmu pecah.” Mirai memulai pembicaraan.
    “Oh, iya. Anginya kencang sekali, untung aku yang berada di dekat jendela tidak terluka.” Kubo tertawa hambar.
    “Angin yang tidak terlihat dapat membunuhmu.” Mirai mencoba memberi peringatan karena dia khawatir tapi yang keluar malah seperti meneror.
    “Hm! Apalagi bulan ini angin memang sedang kencang-kencangnya.” Kubo mengangguk.

    Setelah sampai di depan rumah masing-masing dan mengucapkan salam perpisahan mereka masuk dengan ekspresi wajah yang sama, pucat dan penuh pertanyaan.

    Mirai sampai di kamarnya. Dia meletakan tasnya dan menuju kamar mandi. Setelah itu dia kembali ke kamarnya. Saat dia membuka pintu kamarnya makhluk asing tadi duduk seenaknya di atas kasurnya. Mirai yang melihatnya langsung cepat-cepat menutup gorden. Dan berdiri di hadapan makhluk itu dengan wajah jengkel.

    “Apa maumu lagi Shi?” Mirai agak membentak.
    “Ya membawamu pulang lah, buat apa aku jauh-jauh datang ke sini. Kau kira aku teleportasi gak butuh biaya apa?” Shi terlihat sama jengkelnya dengan Mirai.
    “Kau lihat yang tadi bukan? Apa kau mau dia terluka karena kau lagi?” Shi menambahkan.
    “Bukan urusanmu, cepat minggir!” Mirai mengusir Shi dari kasurnya.
    “Jelas urusanku! Aku di gaji untuk melakukan ini! Ini pekerjaanku!”
    “Cepat pergi sebelum orang tuaku datang!” Mirai mengusirnya lagi.
    “Sudah kubilang tadi bukan? Kau tidak memiliki orang tua! Apa kau pernah melihat wajah mereka seperti apa? Tidak bukan?”
    “DIAM!” Mirai terlihat marah.
    “Cepat hentikan! Kau bisa membahayakan orang-orang di sekitarmu!” Shi mengarahkan telapak tangannya ke Mirai. Sebuah tulisan-tulisan berwarna putih yang terlihat seperti mantra muncul mengelilingi tubuh Mirai. Kemudian tulisan-tulisan itu membuat Mirai merasa sesak dan tidak bergerak. Mirai pun jatuh dan kehilangan kesadarannya.
    “Hn, tugas kali ini benar-benar kelewatan merepotkan!” Shi mengibaskan rambut putihnya yang tergerai panjang.

    Di rumah sebelah yaitu rumah dimana Kubo tinggal bersama keluarganya. Kubo mengurung dirinya di dalam kamar seperti biasa. Ia duduk di atas bangku tempat ia biasanya menggambar. Sebuah kertas putih kosong menghiasi meja di hadapannya. Tangan kanannya kini memegang pensil F yang dia pakai khusus membuat sketsa awal. Tangannya mulai bergerak dengan sendirinya. Dari gerakan tangannya, terlihat sekali bahwa emosinya saat ini sangatlah tidak karuan. Air mata kemudian perlahan mengalir dari kedua matanya dan membasahi pipinya. Namun tangannya tak sedikit pun bergerak untuk menghapus air mata itu.

    ‘Takdir?’ tanyanya dalam hati.

    Keesokan paginya Kubo tersadar dari tidurnya. ketika ia terbangung, dia kaget melihat lembaran-lembaran kertas yang telah terisi di hadapannya. Kepalanya terasa begitu berat, begitu juga dengan punggungnya. Ia beranjak dari kursi yang ia duduki dari kemarin malam. Dengan lesu ia merapihkan kertas-kertas tersebut dan memasukannya ke sebuah map.

    Dia masih terus mengerjap-ngerjapkan matanya saat sedang sarapan di ruang makan. Dia memaksa dirinya untuk sadar dan kembali ke dunia nyata tanpa melamun. Sedari kemarin, entah kenapa dia semakin sering melamun dan kehilangan kesadarannya. Seakan-akan seperti ada yang mengendalikan tubuhnya sendiri.

    Dia langsung keluar rumah untuk pergi menuju sekolahnya. Sebelumnya ia memanggil Mirai untuk pergi sekolah bersamanya.

    Ia menekan bel rumah Mirai yang terlihat tua. Semak-semak tanamanya yang tidak teratur menutupi bel rumah tersebut, tapi hal ini tak sulit bagi Kubo karena dia telah terbiasa.

    Mirai keluar dengan wajah yang tak kalah kacaunya dengan Kubo. Dua orang kacau ini berjalan menuju sekolahnya.

    Siingg...

    Ketika mereka berdua tiba di sekolah, suasana sekolah sepi. Mereka berdua saling bertukar pandang penuh keraguan.

    “Sekarang libur?” tanya Kubo.
    “Tidak, seingatku hari ini kita masuk seperti biasa.”

    Mereka tetap melangkah dan beranggapan bahwa tidak ada hal besar yang akan menimpa mereka berdua.
    Kubo tiba di kelasnya. Ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Suasana di kelasnya ramai seperti biasa. Sangat berbeda dengan keadaan di luar tadi.

    ‘Apa yang sebenarnya terjadi?’ Kubo bertanya-tanya.

    Ia kemudian duduk di bangkunya seperti biasa.

    Saat bel masuk berbunyi, Yoh si Ketua Kelas menyampaikan sebuah berita duka. Guru mereka yang seharusnya mengajar saat ini sedang sakit, mereka pun mendapatkan tugas dan mengerjakannya secara berkelompok seperti biasa. Mereka menyingkirkan bangku-bangku dan membuat ruang yang agak besar di bagian tengah kelas dan duduk membentuk ligkaran di lantai.

    “Biar gak bosen bagaimana kita cerita-cerita?” Rii yang anaknya memang ceria memberi sebuah usul.
    “Boleh-boleh! Ketua?” Miku mengangguk setuju.
    “Boleh saja, tapi jangan lupakan tugas kalian.” Kata Yoh.

    Salah seorang dari mereka memutarkan sebuah pensil di tengah-tengah lingkaran. Dan pensil itu menunjuk Yuko sebagai pencerita. Yuko tersenyum.

    “Ah~ aku mau melanjutkan cerita yang kemarin...” katanya.
    “Tidak!! Jangan-jangan!” mereka yang kemarin berada di sekolah sangatlah menolaknya. Mereka sudah kapok mendengar cerita Yuko kemarin sampai-sampai sulit tidur di malam harinya.
    “Eh cerita apa? Sepertinya seru!” yang kemarin sudah pulang lebih dahulu merasa penasaran.
    “Jangan! Pokoknya jangan!” Ren sangat menolaknya.
    “Memangnya sangat menyeramkan ya? Apa Ren-kun saja yang terlalu penakut?” mereka meledek Ren.
    “Enak saja!” Ren menatap tajam mereka.
    “Yuko-chan, ceritakan saja lagi!” Mereka meminta Yuko.
    “Emm... bagaimana ya?” Yuko melirik ke arah teman-temannya yang sudah mendengar ceritanya kemarin.
    “Aku tidak masalah,” Kubo menjawab dengan tenang. Mungkin saja dengan begitu ia akan mendapatkan banyak petunjuk.
    “Asalkan kau mau bertanggung jawab, aku juga tidak masalah.” Yoh mengambil keputusan.
    “Kalian bertiga?” Yuko bertanya pada Ren, Miku, dan Hitsui. Dengan terpaksa mereka mengangguk.

    Yuko pun menjelaskan cerita yang kemarin dari awal. Dan kini dia akan menjelakskan kelanjutan kisah tersebut.

    “Semakin banyak angin, berarti dia berada di dekat kita. Berhubung akhir-akhir ini angin begitu kencang... jadi... kalian pasti tahu jawabannya.” Yuko memberi tatapan menakut-nakuti.
    “Kudengar dia meninggal karena tertembak.” Salah satu dari mereka menambahkan.
    “Heh? Kok bisa?” Miku kebingungan.
    “Itu kata ibuku. Sekolah ini kan sudah berdiri semenjak perang berlangsung. Katanya, gadis itu meninggal karena tertembak saat perang berlangsung. Ibuku diceritakan oleh temannya.”

    Kubo yang mendengarnya agak terkejut. Itu pasti menyedihkan, begitu pikirnya.

    “Apa yang paling membuatmu sedih?” seorang anak laki-laki bertanya pada sahabat perempuannya.
    “Dilupakan mungkin,” jawab perempuan di sampingnya.
    “Ah... aku mengerti. Aku akan selalu mengingatmu. Tidak seperti mereka.” Laki-laki itu tersenyum lembut.
    “...Terimakasih.” kata perempuan itu sambil memalingkan wajahnya.

    “Satoru-kun?” Yuko melihat Kubo yang terlihat tidak fokus dengan ceritanya.
    “Ah maaf,”
    “Sekarang giliranmu yang bercerita.” Kata Yuko.
    “Tapi aku tidak pernah memiliki cerita yang menyeramkan.” Jawabnya.
    “Intinya cerita!” jawab Miku.
    “Sebentar,” Kubo berpikir sejenak.
    “Dulu sekali, ketika masih banyak bom yang berjatuhan dan juga darah yang selalu menemani setiap langkah kita. Seorang anak laki-laki, sebut saja Toru, sangat senang menyendiri. Dia memiliki sahabat perempuan. Sahabatnya selalu berkata kasar bahkan bersikap dingin padanya. Tapi dia tetap ingin mendekati perempuan itu.” Suara Kubo terdengar jauh lebih rendah dan kelam dibandingkan ia yang biasanya.
    “Kenapa? Apa Toru menyukainya?” Hitsui penasaran.
    “Entahlah, dia tidak pernah bisa jujur dengan perasaannya sendiri. Hampir setiap hari mereka habiskan bersama-sama. Toru selalu memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu. Namun pada suatu hari, gadis itu menghilang dari hadapannya. Jelas dia merasa gelisah. Masih banyak kata yang belum sempat ia katakan pada gadis itu. Bukan hanya itu, dia juga merasa dirinya menjadi lebih hampa dari sebelumnya.” Lanjut Kubo.
    “Toru pasti menyukai gadis itu! Memangnya apa yang terjadi pada gadis itu?” Miku bertanya.
    “Dia mati, benar begitu?” Yuko yang menjawab.
    “Benar,” Kubo mengangguk.
    “Heh? Yuko-chan tahu ceritanya?” tanya Miku.
    “Hanya menebak.” Yuko tertawa kecil.
    “Semakin lama ia semakin melupakan keberadaan gadis itu. Bahkan ia sudah lupa siapa namanya dan juga bagaimana rupanya. Seakan-akan dia tidak pernah bertemu dengan gadis itu.” Kubo berhenti sebentar.
    “Setelah perang mulai agak reda, Toru terbangun dari tidurnya. Roh gadis itu berada di hadapannya. Toru yang sudah lupa pastinya bingung dengan sosok yang ada di hadapannya saat itu. Kemudian gadis itu menangis dan langsung pergi. Keesokan harinya Toru yang penasaran terus mencari tahu siapa gadis itu sebenarnya. Dan saat ia sadar, ia akhirnya menyesal. Setiap malam ia terus terbangun untuk menunggu kedatangan gadis itu, namun gadis itu tidak pernah datang.” Raut wajah Kubo menunjukan banyak penyesalan.
    “Pasti menyedihkan... tidak bisa jujur dan akhirnya saling melukai satu sama lain.” Gumam Hitsui.
    “Padahal mereka sudah saling berjanji untuk mengingat satu sama lain.” Gumam Kubo.
    “Satoru-kun, aku tidak menyangka kau tipe orang yang menyukai cerita seperti itu.” Ren terkekeh.
    “Wah, ini adalah sisi Satoru-kun yang belum pernah kita lihat sebelumnya.” Yoh juga terkagum-kagum. Yang lain juga sependapat.
    “Kenapa kalian melihat ke arahku?” Kubo langsung berbicara seperti biasanya.
    “Ah tidak usah jaim seperti itu! Kami tahu kau ini orang yang melankolis dari ceritamu tadi!” sahut salah stau anak cowok.
    “Hah? Cerita apaan?” Kubo menatap mereka bingung. Mereka juga menatapnya dengan tatapan yang sama.
    “Cerita mengenai seseorang bernama Toru. Tentang kisahnya yang melupakan gadis yang ia cintai.” Miku mencoba mengingatkan.
    “Toru? Siapa? Bukannya dari tadi Yuko-san yang terus bercerita?” Kubo menatap Yuko.
    Suasana kelas itu mendadak sunyi.
    “Kalau begitu yang tadi itu siapa?” Hitsui terlihat agak panik
    “Hiiy.... jangan-jangan ada arwah yang merasuki Satoru-kun!” Miku menjerit.

    “....” suasana sunyi.

    Sore hari

    Angin berembus kencang. Suasana kelas tempat Mirai belajar sunyi seperti biasanya. Tidak ada siapa-siapa di sana kecuali Mirai bersama Shi. Mirai menatap keluar jendela. Ia melihat ke arah pohon besar yang ada di bawah sana. Telapak tangannya menyentuh jendela yang membatasinya. Shi terus memperhatikannya dengan was-was.

    “Saat matahari tenggelam aku akan memaksamu untuk kembali ke duniamu.” Kata shi dengan suaranya yang berat.
    “....Di lupakan.” Gumam Mirai.
    “Itu semua karena permintaanmu. Kau ingin ia melupakanmu, namun kau malah kembali dan membuatnya ingat. Kau tahu betapa sakitnya perasaan laki-laki itu saat ia ingat dan kau tidak kembali datang?”
    “Diam!” Mirai mengepalkan tangannya. Angin langsung berembus makin kencang. Lebih tepatnya badai telah datang.
    “Kobayashi Mirai hentikan semuanya atau saat ini juga aku akan mengembalikanmu ke duniamu!” Shi membentak Mirai.

    Angin yang kencang terus menggerakan dedaunan pohon-pohon di luar sana. Kubo berjalan mendekati sebuah ruang kelas. Ia berdiri, terdiam sejenak, lalu membuka pintu tersebut dan mendapati Mirai berdiri sendirian di sana.

    “Kobayashi-san, ternyata kau belum pulang. Mau pulang bersama-sama?” Ajak Kubo yang mengabaikan angin kencang yang kini masih terus berlangsung.

    Mirai menatap Kubo. Tatapan geram yang tadi ia miliki kini mulai tampak menenang.

    “Hm,” Mirai meraih tasnya dan berjalan. Angin di luar sana kembali tenang.
    “Oi! Kobayashi Mirai! Kembali kau!” Shi berteriak memanggil Mirai namun yang dipanggil hanya mengacuhkannya.

    Kini Mirai dan Kubo berjalan keluar gedung sekolah.

    “Kobayashi-san, aku mau mengunjungi suatu tempat sebentar. Kau tidak keberatan kan?” suara Kubo membuat Mirai menganggkat kepalanya melihat ke Kubo. Senyum lembut yang biasa Kubo berikan kini terpasang di wajahnya.

    “Terserah kau,” jawab Mirai dengan singkat.

    Mereka berjalan menuju pohon terbesar yang ada di sekolah itu. Mirai yang menyadari tempat apa yang akan mereka tuju mengangkat alisnya sebelah dan menatap Kubo dalam diam. Namun ia tak mau banyak bertanya, biarkan Kubo memberikan alasannya saat tiba di sana.

    “Pohon ini besar ya,” Kubo tertawa kecil ketika mengatakannya. Mirai hanya diam dan mengikuti arah tatapan Kubo. Pohon besar tersebut.
    “Akhir-akhir ini aku sering menggambar pohon besar ini dengan seorang siswa dan siswi yang berdiri bersebelahan di sini.” Perlahan, tangan kiri Kubo menggenggam tangan kanan Mirai. Mirai tentunya terkejut dengan apa yang dilakukan Kubo barusan. Ia menoleh ke Kubo. Kubo mengabaikan tatapan penuh tanya yang diberikan Mirai padanya.

    “Yuko-san juga menceritakan kisah yang familiar di kelas. Dan itu membuat perasaanku, entah kenapa sakit.” Kubo perlahan menggerakan tubuhnya dan menatap iris hitam Mirai dengan fokus. Tangan yang tadinya ia kenakan untuk menggenggam tangan Mirai kini terlepas. Ia gunakan kedua tangannya untuk mendekap Mirai.
    Mirai mencobah untuk menjauh, namun tubuhnya menolak perintah yang disalurkan oleh otaknya.

    “Entah mengapa, aku malah memelukmu sekarang. Aku benar-benar tak tahu mengapa, tubuhku seakan-akan bergerak dengan sendirinya, menangis dengan sendirinya, berucap dengan sendirinya. Aneh kan?” Ia mengusap pelan kepala Mirai dalam dekapannya.

    Mirai hanya bisa terdiam dan mendengar ocehan yang terus diutarakan Kubo.

    “Mi... Mirai...” Ketika Kubo memanggilnya, pupil Mirai mengecil. “Boleh aku memanggilmu begitu?”
    Perlahan, air mata mulai mengalir membasahi seragam Kubo. Ya, Mirai menangis.

    “Kau marah? Baiklah, aku akan tetap memanggilmu dengan nama keluargamu.” Kubo mencoba melepaskan pelukannya untuk melihat wajah Mirai. Tapi Mirai menolaknya dengan membalas pelukan yang sedari tadi Kubo berikat padanya namun lebih erat.

    “Ti-tidak, aku tidak masalah kalau kau memanggilku dengan namaku.” Bisik Mirai di sela tangisnya.
    “Tapi kau menangis, pasti ada suatu masalah.” Kubo menundukkan kepalanya, menatap pucuk kepala Mirai.
    “Maaf...”
    “Eh?” Kubo bingung.
    “Maaf, karena selalu meninggalkanmu. Maaf karena sifatku yang kasar dan dingin padamu. Maaf karena aku... mencintaimu. Dan maaf, karena kali ini aku harus pergi lagi....” tangis Mirai semakin deras seiring ia matahari mulai tenggelam. Ia ingat akan kata-kata Shi.

    “Saat matahari tenggelam aku akan memaksamu untuk kembali ke duniamu.”


    Kubo tahu hal itu, hal mengenai Mirai harus pergi. Karena tadi, saat ia mau mengajak Mirai pulang bersama ia mendengar percakapan yang terjadi antara Mirai dengan Shi. Ia dapat melihat keberadaan Shi, saat Shi meneriaki Mirai ia juga mendengarnya. Namun seperti apa yang kalian ketahui, ia mengabaikannya. Beranggapan kalau ia tidak melihat apa-apa. Semuanya hanyalah sebuah ilusi belaka.

    “Dengan waktu yang sedikit ini, maukah kau menceritakan semuanya?” Ia sentuh dagu Mirai dan menganggkat wajah gadis dihadapannya. Kelopak matanya sembab dan iris hitam kelamnya terlihat penuh kepiluan.

    Mirai mengangguk kecil dan melepaskan pelukannya.

    Mereka berdua memilih untuk duduk di bawah pohon besar itu. Mirai duduk meringkuk memeluk kedua kakinya dengan lengannya. Ia biarkan wajahnya berada di atas lututnya. Matanya hanya memandang tanah dan bebatuan di bawahnya.

    “Aku hidup berpuluh tahun yang lalu. Saat era perang berlangsung. Aku baru mengetahuinya akhir-akhir ini, tentang mengapa mereka semua tak ada yang menyadari keberadaanku. Karena mereka tak bisa melihatku, hanya kau yang bisa melihatnya.” Mirai terdiam sejenak untuk menarik nafas panjang. Kubo menutup matanya, ia dengarkan kata demi kata yang terucap dari mulut Mirai. ternyata apa yang ia baca mengenai Mirai adalah benar. Ia telah tahu bahwa Mirai yang ada di hadapannya bukanlah manusia yang benar-benar nyata. Ia tahu hal itu ketika melihat hasil browsing yang ia lakukan dulu. Namun ia tak mau mengakuinya. Entah mengapa, suatu bagian dari dirinya menolak kenyataan bahwa Mirai telah tiada. Entah mengapa...

    “Dulu, aku selalu sendirian. Tak dianggap ada dan selalu diacuhkan setiap kali aku berucap. Tapi, saat pertama kali kau tiba di kelasku. Tepatnya saat kau memperkenalkan diri di depan kelas, matamu selalu tertuju padaku. Saat itu aku merasa senang, ada seseorang yang menyadari keberadaanku. Dan semenjak saat itu, kita selalu bersama. Kau menggambar dan terus menggambar, sedangkan aku hanya duduk di sampingmu dan memperhatikan gerak-gerik tanganmu. Itu tidak pernah membuatku bosan.” Mirai tersenyum kecil.

    “Namun sifatku, kau tahu... cara bicaraku yang dingin seakan-akan acuh pada dirimu yang hangat, membuatku merasa sakit setiap kali melontarkan kata-kata yang tidak sesuai denganmu. aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Dan aku selalu membenci diriku ketika tahu wajahmu berubah masam karena perkataanku.” Ia tarik nafas panjang sekali lagi lalu baru melanjutkan ceritanya.

    “Sampai saat itu tiba, ketika kita berjanji setelah menanam bibit pohon ini.” Miraui mengangkat kepalanya dan menatap betapa rindangnya pohon yang ia akui sebagai miliknya dengan Toru.

    “Kau berjanji untuk tidak melupakanku, tidak seperti mereka. Aku sangat sennag saat mendengarnya. Aku ingin memelukmu dan menangis bahagia saat mendengarnya. Tapi aku... lagi-lagi aku tak bisa melakukannya. Dan keesokan harinya, aku meninggal karena terkena peluru yang melesat menembus kepalaku. Aku meninggal tanpa sepengtahuanmu. Aku meminta pada Shi agar kau melupakanku. Aku tak mau melihatmu sedih karena diriku. Namun sayangnya, aku yang merasa sedih karena melihatmu yang lupa padaku. Lalu kau kembali ke dunia dalam wujud roh, kau telah dewasa saat itu. Ketika aku datang, kau lupa padaku. Kau tak ingat sama sekali padaku, dan aku menangis karena kebodohanku. Karena keputusan yang dulu kupilih.” Mirai mengingat kejadian hari itu, dimana ia berusaha untuk turun kembali ke dunia fana dimana ia bisa bertemu lagi dengan orang yang ia kasihi.

    “Lalu aku, adalah reinkarnasi dari pria bernama Toru itu? Itu mengapa aku menggambar hal-hal yang tak pernah aku lihat sekalipun?” Kubo yang terus diam mendengarkanpun mulai mengucapkan kesimpulan dari apa yang ia dengarkan sedari tadi.

    “Ya, begitulah. Dan aku kembali ke dunia ini dalam wujud roh dengan ingatan palsu. Beranggapan kalau aku aku ini manusia dan memiliki orang tua.” Mirai tersenyum masam. Ia berdiri ketika menyadari bahwa waktunya telah tiba. Matahari perlahan mulai terbenam. Kubo yang menyadarinya ikut berdiri.

    “Apa aku akan melupakanmu lagi saat kau pergi nanti?” Tangannya menggenggam tangan Mirai, seakan-akan tak menginginkan sang empunya untuk pergi.

    “....” Mirai hanya terdiam.

    “Aku tak tahu apakah diriku yang dulu juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kini aku rasakan. Walau begitu... walau aku akan melupakanmu, bolehkah aku....” iris cokelat menatap intens iris hitam didepannya.

    Mirai diam membisu. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Kubo menganggap tanda diam Mirai sebagai “Ya” dan mulai memeluknya. Perlahan ia gerakan telapak tangan kanannya menyentuh rambut Mirai, mengikuti setiap bentuknya. Ia hirup aroma tubuh Mirai yang manis. Sentuhan nafas hangat nan lembut milik Kubo membuat wajah Mirai memanas. Mirai memutuskan menutup kedua kelopak matanya namun kemudian terbuka karena Kubo menganggakat dagunya. Matanya terpaku pada mata Kubo seorang. Sentuhan lebut yang ia rasakan pada bibir ranumnya membuatnya lupa dengan perkataan Shi.

    Mentari telah pada digantikan rembulan. Mirai menghilang seiring mentari pergi. Kubo berdiri di sana seorang diri di tengah kegelapan malam dan suara-suara binatang malam. Ia terdiam sesaat di sana untuk berpikir sejenak. Ia raih tasnya yang bersandar pada pohon raksasa yang perlahan menggugurkan daun-daunnya. Mata cokelat yang sendu, kulit pucat pasi serta lekuk bibir yang menurun. Ia berjalan melalui gerbang, mengabaikan suara penjaga sekolah yang mempertanyainya mengapa ia berada di sekolah sampai malam tiba.

    Di rumahpun sama saja, ia abaikan pertanyaan ibunya. Ia masuk ke dalam kamarnya, melempar tasnya di atas kasur dan berjalan menuju jendela. ia buka jendela kamarnya. ia menatap lapangan bertanahkah cokelat kosong yang tak menandakan adanya bangunan apapun yang beridir di sana. Ia biarkan angin malam menerpanya dan menutup matanya. Ia tutup kembali jendela kamarnya. Ia baringkan tubuhnya di atas kasur. Membiarkan seragamnya menempel di badannya. Dan terlelap tanpa mengingat orang itu. Tanpa mengingat nama itu. Tanpa mengingat saat mereka pertama kali bertemu. Tanpa ingat kalau ia pernah mencintai orang itu.

    Di waktu yang lain. Jauh dari waktu yang sebelumnya kuceritakan barusan. Sepasang muda-mudi berjalan berdampingan. Gadis berambut hitam legam yang diikat kebelakang dan juga lelaki berambut cokelat tua yang terlihat agak acak-acakan. Mereka berjalan bergandengan tangan. Berlari kecil beralaskan rerumputan hijau dan angin lembut mengibas rambut mereka. Sepasang senyum terpasang ketika kedua iris cokelat dan hitam bertemu.

    “Kita bertemu lagi,” suara bariton mengisi. Dan suara lembut membalasnya.

    “Itu berarti kita memang ditakdirkan untuk bertemu.”

    Dilihat dan tak dilihat
    Ketika kau ditakdirkan untuk bertemu dengan seseorang yang melihatmu
    Katakan padanya sekarang juga
    Jangan pernah tinggalkan tanda tanya mengisi kepalanya
    Karena bertemu kembali dengan orang seperti itu, hanyalah keajaiban belaka.

    ~The End~


    un... gimana ceritanya? kalau banyak typo atau kurang greget, mohon kritik-annya :maaf:
     
    • Like Like x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. rqi_singkongs Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 5, 2012
    Messages:
    89
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +3 / -0
    ane baru baca sekilas gan, tapi bagus kok.. ane ga berani kasi komentar, soalnya ane kurang ngerti masalah karya sastra. terus berkarya kan.
     
  4. yvonemelosa Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 26, 2012
    Messages:
    31
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +9 / -0
    baguss bangeeet :matabelo: meskipun awalannya ane kagak ngarti tapi the'end nya diperjelas semuanya, kereen deh ide ceritanya :top: tapi kok agak mirip sama cerita dikomik yg pernah ane baca ya? :bloon:
     
  5. AidouYuukihara M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 5, 2011
    Messages:
    904
    Trophy Points:
    107
    Ratings:
    +776 / -0
    ihihi... maacih udah baca~
    eh? ciyus? dulu juga pernah ada yang bilang begitu sih, tapi sumfeh... buat cerita yang ini aku gak ngambil referensi plot dari sumber lain selain kepala sendiri :elegan:
     
  6. DarkDefender Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 5, 2012
    Messages:
    59
    Trophy Points:
    22
    Ratings:
    +11 / -0
    Bagus ceritanya gan. Sayangnya saya krang ska sma cerita romantis, jdi agak krang menikmati karna trlalu unyu2. Yah, itu sih pendapat pribadi...
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.