1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Arfemaso

Discussion in 'Fiction' started by Grande_Samael, Jun 12, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Judulnya norak? Biarin, sampai saat ni belum terpikir judul yang bagus sih :hahai:

    Merupakan orrifict challenge yang akan diselesaikan dalam kurun waktu 1 tahun.


    Menceritakan bagaimana anak-anak Nagalangit D'Count yang saling memusnahkan satu sama lain.

    1-1
    1-2
    1-3
    1-4
     
    Last edited: Jun 16, 2012
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Sejak dulu, pertikaian dan konfrontasi selalu mewarnai perjalanan panjang sejarah manusia. Antar kelompok, antar sesama, bahkan antar keluarga, selalu saja ada perselisihan yang terjadi. Dan kisah ini akan menceritakan salah satu dari perselisihan itu. Suatu perselisihan yang berawal ratusan tahun yang lalu, dan entah kapan akan berakhir.

    Semua dimulai ketika doa Raja Zavayan penguasa Kerajaan Regnum untuk memiliki seorang anak dikabulkan. Kala itu ia begitu bahagia dan menamai sang putra mahkota dengan Nagalangit D’Count. Sayang ia belum menyadari bahwa istrinya baru saja mendatangkan iblis ke dunia.

    Seluruh Regnum sempat dibuat bernyanyi dan bergembira, hingga lama kelamaan keceriaan mereka memudar ketika menyaksikan pertumbuhan sang putra mahkota. Ketika anak lain lebih senang bermain di taman, Nagalangit D’Count memilih untuk berkeliaran di penjara dan menyaksikan eksekusi narapidana dijalankan. Jelas hal ini adalah suatu penyimpangan, namun Raja Zavayan yang kesulitan untuk memiliki keturunan mencoba menutup matanya.

    Meskipun begitu sudah bukan rahasia umum bahwa Regnum akan menghadapi kehancuran jika sampai Nagalangit D’Count mewarisi tahta kerajaan. Karena itu setiap hari, siang dan malam Raja Zavayan terus berdoa agar diberi pertolongan dari Yang Maha Kuasa.

    Akhirnya doa sang raja terjawab untuk kedua kalinya. Istrinya melahirkan pangeran kedua di saat Nagalangit D’Count mulai beranjak dewasa. Begitu senang akan hal ini, Raja Zavayan mulai berlaku tidak adil. Ia terus mengacuhkan putra mahkota dan dengan terang-terangan menunjukkan kasih sayangnya yang berlebih pada pangeran kedua, yang ia namai Hassan Salvator.

    Tahun silih berganti, api cemburu mulai tumbuh dalam diri Nagalangit D’Count. Keganasaannya semakin menjadi-jadi. Kini ia tidak hanya senang melihat eksekusi narapidana, tetapi juga ia selalu mengeksekusi dan memutilasi hewan-hewan kecil yang ada di istana.

    Awalnya semua mencoba bersabar, sampai suatu hari putra mahkota mengeksekusi pelayan yang telah menumpahkan minumannya. Tidak berhenti sampai di situ, Nagalangit D’Count melakukan hal yang berada di luar batas kewajaran manusia terhadap mayat pelayannya itu.
    Merasa perbuatan putranya sudah keterlaluan, Raja Zavayan memutuskan untuk mengasingkan Nagalangit D’Count ke sebuah kastil tua di ujung Regnum. Tentu saja sang putra mahkota tidak bisa terima, tetapi keputusan raja adalah mutlak. Akhirnya Nagalangit D’Count di kirim ke sana bersama pelayan-pelayan yang sebenarnya sangat tidak rela jika ikut diasingkan.

    Keadaan istana pun kembali tenang. Sang raja berpikir bahwa semua sudah berakhir dan mulai mempersiapkan Hassan sebagai penggantinya. Tetapi ia tidak tahu, justru keputusannya ini yang akan membawa bencana di kemudian hari.

    Entah ini permainan takdir atau apa, di tengah keputusasaannya Nagalangit D’Count menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang dapat mengisi hatinya yang kosong. Ternyata di dekat kastil tua itu terdapat sekelompok suku pengguna ilmu hitam yang sudah hampir punah. Nagalangit D’Count begitu tertarik dan mulai menghabiskan hari-harinya dengan mempelajari ilmu hitam.

    Lambat laun kegilaannya semakin memuncak. Tanpa ragu ia menghabisi para pelayannya sendiri untuk dijadikan tumbal dalam mempelajari ilmu hitam. Ketika pelayannya sudah mulai habis, ia mencari para pelancong yang kebetulan lewat di dekat sana untuk dijadikan tumbal.

    Berita mengenai Pangeran Iblis dari ujung dunia ini pun sampai ke telinga Raja Zavayan. Ia begitu marah dan mendatangi Nagalangit D’Count bersama para prajuritnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati pemandangan mengerikan di kastil tua itu. Di halaman kastilnya terdapat ratusan tengkorak manusia yang tertancap pada sebuah tombak besar. Tulang belulang berserakan di mana-mana. Dan yang paling membuat sang raja bergidik ngeri adalah kolam air mancur yang berisikan dengan cairan merah, yang tak lain adalah darah!

    Dengan emosi yang meledak-ledak Raja Zavayan menangkap Nagalangit D’Count, dan tanpa berpikir dua kali ia mengeksekusi putranya sendiri. Seluruh kastil itu pun dibakar hingga tak bersisa. Setelah mengubur seluruh tulang belulang yang dapat ditemukan, Raja Zavayan kembali bersama prajurit-prajuritnya. Tapi sayang, semua belum berakhir.

    Berkat ilmu hitam yang ia pelajari, Nagalangit D’Count mendapatkan kehidupan kedua. Dengan amarah yang memuncak, ia bersumpah untuk membalaskan dendam dan merebut kembali tahtanya sebagai penguasa Regnum.

    Ia semakin memperdalam ilmu hitamnya, hingga puncaknya ia menjual jiwanya kepada iblis. Tidak cukup dengan itu, ia juga melakukan kontak dengan negeri yang berada di seberang lautan untuk meminta bantuan. Pemberontakan pun siap dilakukan.

    Pada hari yang ditentukan, Nagalangit D’Count membawa pasukannya dalam perjalanan panjang dari kastil tuanya hingga Capitis, ibukota Regnum. Pada masa perjalanan itulah kekejaman terjadi di mana-mana. Nagalangit D’Count membakar setiap kota yang ia lewati, menghabisi setiap manusia yang ia temui, bahkan memakan setiap anak-anak yang bisa ia dapatkan.

    Penduduk Regnum menjadi ketakutan. Ketika iblis telah melangkahkan kakinya di bumi, entah siapa yang dapat menghentikannya. Bahkan Raja Zavayan yang sudah menua pun gemetaran di atas tahtanya.

    Tetapi di antara keputusasaan seluruh negeri, ada satu orang pemuda perkasa yang mampu berdiri untuk memimpin rakyatnya. Seorang yang memang dilahirkan untuk memusnahkan sang iblis, kakaknya sendiri. Ialah Hassan Salvator yang saat itu telah tumbuh menjadi pemuda gagah berani.

    Tanpa kenal takut, ia memimpin ribuan prajurit Regnum untuk melakukan pertahanan terakhir sebelum prajurit Nagalangit D’Count mencapai Capitis. Namun Hassan Salvator tidak berperang hanya dengan modal keberanian. Ada satu modal besar lain yang ia bawa ketika berhadapan dengan kakaknya. Itu adalah sebuah senjata jenis baru yang berhasil di kembangkan dalam beberapa tahun terakhir.
    Senjata itu adalah senapan api.

    Senapan api yang mampu menembakkan bola-bola timah panas dari jarah puluhan meter. Para prajurit Nagalangit D’Count berguguran akibat timah panas itu bahkan sebelum mereka berhasil menyentuh garis pertahanan lawan.

    Selain itu ada satu senjata hebat lainnya yang mampu menembakkan sebuah bola besi besar.

    Senjata yang dinamakan meriam.

    Dalam sekali tembak, meriam itu dapat menghancurkan beberapa orang yang ada di depannya. Prajurit Nagalangit D’Count pun mengalami kekalahan telak. Bahkan ilmu sihirnya tak mampu untuk menghadapi senjata baru itu.

    Sang putra mahkota pun dikalahkan oleh adiknya sendiri.

    Setelah itu, Hassan Salvator dikenal sebagai malaikat penyelamat, sedangkan Nagalangit D’Count menghilang dalam nama iblis. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi pada Nagalangit D’Count selanjutnya.

    Ada yang bilang Hassan Salvator berhasil mengeksekusi dan membakar tubuh kakaknya, namun ada juga yang mengatakan bahwa Nagalangit D’Count melarikan diri ke negeri di seberang lautan untuk mencari perlindungan. Tetapi tidak ada satupun yang mengira jika Nagalangit D’Count telah membuat keturunan iblisnya. Anak-anak iblis yang entah akan bersatu untuk membalaskan dendam sang ayah, atau justru memuaskan ego mereka sendiri dan mengulang perselisihan yang sama seperti yang dilakukan ayah mereka?

    Kita simak saja kisah ini untuk menjawabnya.
     
    Last edited: Jun 13, 2012
  4. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Dua orang pria tengah menunggangi sebuah gerobak berterpal hitam yang ditarik sepasang kuda coklat.

    Pria pertama yang memegang tali kemudi adalah seorang pemuda berpakaian kemeja kotak-kotak dan celana panjang hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, membuatnya sama sekali tidak terlihat seperti seorang kusir.

    Sebaliknya pria tua yang duduk di sebelahnya memiliki penampilan yang tidak terawat. Rambutnya yang kusut telah ditumbuhi banyak uban, sementara jenggot putihnya dibiarkan tumbuh berantakan. Kausnya lusuh, celananya berlubang, namun ia mengenakan sebuah kalung yang kelihatannya terbuat dari rantai berwarna emas.

    Hanya ada satu keanehan sekaligus kesamaan yang dimiliki mereka berdua. Keduanya sama-sama mengenakan kacamata hitam meskipun hari sudah malam.

    “Awas terlewat,” kata pria tua itu memperingatkan ketika mereka memasuki suatu kawasan pertokoan di Industria.

    Tempat itu cukup ramai dipenuhi oleh orang yang berlalu lalang, hingga kadang membuat sang kusir harus mengendalikan kudanya dengan susah payah.

    “Jangan sampai menabrak orang! Kau bisa mengendalikan kuda tidak sih? Jangan cepat-cepat, nanti krat minumannya jatuh!”

    Pria tua itu terus berkomentar sementara si kusir mendengarkan dengan tenang, meskipun wajahnya berkata lain. Kelihatannya emosinya sudah memuncak.

    “Ce, cerewet,” gerutu kusir itu.

    “Apa kau bilang?” hardik pria tua itu membuat si kusir kaget dan hampir membuat kudanya melaju dengan cepat “Aku sudah susah payah mengajarkanmu berbagai hal, tapi kau bilang aku cerewet? Jadi begini caramu berterima kasih? Sungguh malang nasib ayahmu, memiliki anak sepertimu”.

    “I, iya, iya! Aku mengerti!” sahut kusir itu kesal, kemudian mengerem kuda-kudanya “Itu sudah sampai!”

    Pria tua itu mengalihkan pandangannya dari si kusir dan melihat sebuah toko minuman kecil di pinggir jalan.

    “Toko terakhir,” gumamnya, lalu memandang ke arah si kusir lagi “Dengar Relze, kau selalu saja membuat masalah. Setidaknya malam ini kau harus melakukan dengan benar!”

    “Ya, ya, aku paham!” jawab Relze malas-malasan.

    “Aku masuk dulu untuk mengantar barang! Kau tunggu di sini!” perintah pria tua itu.

    “Ya Qolud, sudah kubilang aku paham!” kata Relze semakin malas, kemudian berusaha duduk santai.

    Sementara itu Qolud membuka terpal hitam di gerobak dan tampaklah beberapa krat minuman yang sudah kosong. Qolud mengambil krat minuman terakhir yang masih berisi dan membawanya ke dalam toko.

    “Dasar orang tua,” gerutu Relze ketika melihat Qolud memasuki pintu toko.

    Untuk sejenak Relze mencoba menikmati kesendirian ini ketika tidak ada orang tua yang terus mengoceh di telinganya. Lalu ia memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Betapa sibuknya mereka.

    “Halo tuan muda!” suara riang yang bersahaja mengagetkan Relze dari lamunannya.

    Relze mencari sumber suara itu dan mendapati seorang pria dengan pakaian compang camping, lebih tepat jika dikatakan gelandangan, berdiri di samping kursi kemudinya.

    “Ada apa?” tanya Relze malas.

    “Oh, anda keren sekali dengan kacamata hitam itu!” pujinya, tetapi Relze tahu bahwa ia berbohong. Hanya orang bodoh yang mengenakan kacamata hitam pada malam hari.

    “Apa maumu?” tanya Relze penuh curiga.

    “Oh, santailah tuan muda,” kata gelandangan itu riang “Aku hanya ingin meminta sedikit rezeki, kalau boleh...”

    Mendadak salah satu kuda penarik gerobak Relze meringkik keras. Kuda itu hampir saja melompat maju, namun dengan sigap Relze menarik tali kekang dan menghentikan kudanya. Gerobaknya sedikit tertarik maju, tetapi tidak masalah. Sepertinya tidak ada hal yang serius.

    “Aaaakh!” namun gelandangan barusan sedang berguling-guling kesakitan di bawah gerobak.

    “Hei, kau kenapa?” tanya Relze heran sambil melompat turun dan memeriksa keadaan gelandangan itu.

    “Kudamu hampir mencelakaiku! Aku tertabrak kereta! Aaah! Aaah! Sakit!” gelandangan itu terus merintih-rintih.

    “Kukira kudanya tidak mengenaimu...”

    “Gerobaknya menabrakku! Aduh sakitnya!” jerit gelandangan itu, menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.

    “Bill! Ada apa?” tiba-tiba seorang gelandangan lain, yang bertubuh cukup tambun untuk seorang gelandangan, berlari mendekati mereka.

    “Kudanya mengamuk! Aku ditabrak!” ujar Bill terbata-bata.

    “Eh, bukan salahku!” bela Relze tanpa sadar, tapi teman gelandangan itu malah menjadi-jadi.

    “Hei, kau sudah melukai temanku! Kau harus bertanggung jawab!” bentak teman gelandangan itu tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di sekelilingnya “Minta ganti rugi!”

    “Pokoknya bukan salahku kalau tiba-tiba kudanya mengamuk!” Relze yang cukup bingung tidak dapat mengeluarkan argumen yang bagus.

    “Kalau kudamu melukai orang lain masa aku minta ganti rugi ke kudamu?” gelandangan itu mulai main kasar dan menarik kerah baju Relze. Untungnya bantuan datang tepat waktu.

    “Sebaiknya kau urus temanmu dulu sebelum meminta ganti rugi!” Qolud datang dari balik kerumunan orang-orang “Kasihan dia sudah sekarat begitu!”

    “Oh?” gelandangan itu menoleh ke arah Bill yang masih menggelepar-gelepar kesakitan. Beberapa orang mencoba memberi bantuan, tetapi Bill terus menggelepar.

    “Bagaimana kalau kita bawa dia ke rumah sakit?” kata Qolud memberi solusi.

    Gelandangan itu berpikir sebentar, kemudian berkata “Tidak perlu! Kurasa lukanya tidak parah, cukup berikan kami ganti rugi!”

    “Apa-apaan ini!” bentak Relze sambil menepis lengan gelandangan itu dengan kuat. Ia baru menyadari jika kedua gelandangan itu hanya bersandiwara “Kalau tidak mau dibawa ke dokter ya sudah!”

    “Kau jangan lari dari tanggung jawab ya!” kata gelandangan tambun itu dengan nada mengancam.

    Relze berniat untuk melanjutkan perdebatannya, namun tiba-tiba Qolud menghentikannya.

    “Baiklah, kami akan ganti rugi. Tapi kami sedang tidak membawa uang, bagaimana kalau kalian ikut kami pulang?”

    Relze sempat bengong mendengar pernyataan Qolud, namun menghela napas panjang beberapa saat kemudian “Ya, kami hanya mengantar barang”.

    Kemudian kedua gelandangan itu saling berpandangan.

    “Baiklah, aduh, Bon, bantu aku berdiri!” kata Bill masih kepayahan tapi terdengar bersemangat.

    Bon segera membopong temannya yang berpura-pura pincang dan menaikkannya ke atas gerobak dengan mudah.

    “Awas jangan sampai kau memecahkan botol! Aku bisa dimarahi bos!” kata Qolud memperingati.

    “Ya, ya, tenang saja!” sahut Bon yang sedang menyusun krat-krat minuman agar memberikan ia tempat untuk duduk.

    Tanpa diberi aba-aba lagi Relze segera memacu kuda-kudanya meninggalkan kerumunan. Tidak butuh waktu lama hingga mereka meninggalkan kawasan pertokoan tadi.

    Kini mereka memasuki kawasan pabrik berukuran kecil, namun menghasilkan asap yang lumayan banya bahkan pada malam hari. Kemudian mereka melewati wilayah perumahan pekerja, dan terus menuju ke wilayah perumahan yang lebih besar.

    “Kau tinggal di sini?” tanya Bon tidak percaya sambil memandangi rumah-rumah bertembok bata hitam yang cukup bagus.

    “Bukan aku, tapi bosku!” jawab Qolud dingin.

    “Hehehe, nak, ayahmu itu baik sekali, tapi bosnya lebih baik sampai mau menolong menggantikan kerugian yang kau perbuat!”

    “Dia bukan ayahku,” geram Relze tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

    Bon hanya tertawa puas mendengar jawaban Relze, sementara Bill sedang tidur-tiduran di atas krat-krat kosong. Ia sudah tidak mengeluarkan rintih kesakitan apapun.

    Akhirnya laju kuda-kuda itu melambat di depan sebuah rumah yang lumayan besar. Ketika mereka datang, seorang penjaga segera membukakan pintu gerbang yang terbuat dari teralis besi hitam.

    “Wow,” Bon berdecak kagum, sementara Bill bangkit dari tidurnya untuk melihat sekeliling.

    Gerobak kuda mereka tidak berhenti sampai di situ saja. Relze terus memacu kudanya melewati sebuah rumah mewah yang memiliki kolam air pancur di depannya, sampai ke bagian belakang rumah. Pada bagian itu pagarnya cukup tinggi dan terbuat dari batu bata dengan teralis besi di atasnya.

    “Kita sudah sampai?” tanya Bon masih mengagumi rumah kompleks rumah mewah itu, tetapi kedua orang yang duduk di depan tidak menanggapinya. Mereka malah sibuk bicara sendiri.

    “Kerjaku malam ini bagus kan?” kata Relze dingin.

    “Bukan kerjamu yang bagus, tapi mereka saja yang terlalu bodoh,” balas Qolud.

    “Eh, apa maksudmu?” mendadak Bon menyadari betapa bodohnya dia karena mau saja dibawa ke sebuah tempat asing.

    “Bon, apa yang dia bawa?” pekik Bill ketika melihat seorang pria mendekatinya dengan sebuah parang panjang di tangan.

    “Tentu saja itu adalah parang. Kau belum pernah lihat?” kata Relze dingin ke arah mereka.

    Entah disengaja atau karena sudah tidak tahan dengan gelapnya, Relze melepas kacamata hitamnya di hadapan kedua gelandangan itu. Tampaklah sepasang mata merah menyala, sepasang mata yang tidak mungkin dimiliki manusia. Sepasang mata iblis!

    “Makan malam,” sambung Qolud yang juga ikut memamerkan mata iblisnya, membuat kedua gelandangan itu terdiam mematung dalam ketakutan.
     
  5. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Di pinggiran Industria, terdapat sebuah perumahan yang ditinggali oleh para buruh. Karena dibuat dalam situasi mendesak untuk menampung buruh, tidak aneh jika pengaturan perumahan itu terkesan asal-asalan. Siapapun yang pertama kali melalui jalan-jalan sempit di perumahan itu pasti setuju bila tempat itu seperti labirin raksasa.

    Namun, malam itu seorang gadis manis berambut coklat berjalan menyusuri labirin perumahan itu dengan riangnya. Mengenakan gaun putih, ia terus bersenandung penuh semangat. Tiap langkahnya begitu pasti, seakan gadis itu telah hafal seluruh jalan di tempat ini.

    “Giselle, mau ke mana kau malam-malam begini?” seorang ibu-ibu berteriak dari jendela lantai 2.

    Giselle berbalik dan menatap ibu-ibu itu dengan senyuman manis “Aku mau kencan!”

    Tanpa menunggu tanggapan ibu-ibu itu, Giselle melanjutkan perjalanannya. Kali ini ia makin mempercepat langkahnya, seakan sudah tidak sabar untuk bertemu sang kekasih. Begitu cepatnya sampai terkadang tubuhnya terasa hampir terbang.

    Tikungan terakhir, maka ia akan berhasil keluar dari labirin ini. Dengan lincah Giselle menikung, lalu kemudian terhenti. Tanpa ia sangka-sangka seekor anjing hitam besar berada di sana, menghalangi jalannya.

    Anjing besar itu segera menyadari kehadiran Giselle dan menggeram. Air liur menetes-netes dari geliginya yang tajam seperti pisau.

    “Nona, lari! Kelihatannya anjing itu gila!” seseorang berseru padanya dari jendela salah satu rumah.

    Tanpa diberitahu pun Giselle memang sudah berniat untuk lari. Tidak mungkin ia bisa mengalahkan anjing gila seperti ini. Giselle segera berbalik dan berlari. Anjing itu langsung menggonggong kemudian berlari mengejar Giselle.

    Kini jantung Giselle berdetak keras sekali seperti mau copot. Ia mencoba menikung di sana sini untuk menghilangkan jejak, tetapi anjing itu berlari sangat cepat. Gonggongannya yang membahana terus menggaung dalam gang perumahan sempit itu. Menghantui Giselle kemanapun ia menikung.

    Benar-benar sial, entah kenapa malam ini sama sekali tidak ada orang yang terlihat di jalan. Tidak ada satu pun yang bisa gadis malang itu mintai tolong.

    Di tengah keputusasaan, kesialan datang. Gadis itu tersandung sebuah batu besar yang entah bagaimana bisa ada di sana dan jatuh tersungkur ke tanah. Giselle segera melihat ke belakang, dan hal terakhir yang terekam di kepalanya adalah seekor anjing gila yang berliur menjijikkan berlari ke arahnya.

    “Habislah aku!”

    Kata Giselle dalam hati, sesaat sebelum seorang pangeran datang menyelamatkannya.

    DUAK!

    Sebuah batu besar menghantam tubuh anjing itu, membuatnya terlonjak kaget. Anjing itu pun berbalik untuk mencari pelempar batu barusan, dan menemukan seorang pemuda gagah sebagai pelakunya. Pemuda itu memiliki rambut coklat yang bergelombang dan mengenakan jas coklat panjang. Sebuah gelang besi terpasang pada lengan kanan dan kirinya. Atribut-atribut lain juga terlihat di kancing baju dan ikat pinggangnya. Penampilannya memang benar-benar unik.

    “Menjauh dari kekasihku!” seru pemuda itu.

    Anjing besar itu menggeram sesaat, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah Giselle. Dengan geraman keras ia melompat ke arah Giselle. Dengan panik pemuda itu melemparkan sebuah batu lagi, kali ini lebih keras dan menyakitkan sehingga membuat anjing itu terpental.

    Habis sudah kesabaran anjing itu. Makhluk hitam itu bangkit dan langsung berlari menyongsong ke arah sang pemuda yang kini sudah kehabisan batu. Pemuda itu terpaksa harus menghadapi terkaman sang anjing dengan tangan kosong.

    Pemuda itu langsung terjatuh ketika si anjing menubruknya. Kemudian keduanya bergulung-gulung saling memberikan serangan terbaiknya. Beberapa kali anjing itu menyarangkan gigitannya, dan beberapa kali juga pemuda itu melesatkan tinjunya.

    “HEAAA!” akhirnya pemuda itu memberikan satu tendangan maut yang diiringi teriakan lantang.

    Anjing itu terpental dan menghantam dinding bata salah satu rumah dan melolong kesakitan.

    “Pergi atau kau akan merasakan yang lebih parah!” sungguh aneh, pemuda itu memberi ancaman kepada seekor anjing.

    Namun seakan memahami ancamannya, anjing itu segera berlari menjauh sambil menggeram-geram kesakitan. Pemuda itu pun menghela napas lega, kemudian segera teringat pada kekasihnya yang masih terduduk lemas di tanah.

    “Giselle, kau tak apa-apa?” pemuda itu berlari mendekati Giselle kemudian membantunya berdiri.

    “Ta, tanganmu,” kata Giselle ketika melihat lengan jas coklat pemuda itu yang terkoyak.

    “Tidak apa, untungnya aku pakai pakaian tebal. Tanganku tidak terluka”.

    “Vux!” tanpa aba-aba Giselle memeluk erat kekasihnya itu lalu berkata dengan suara bergetar “Maafkan aku”.

    “Sudahlah, semua sudah berlalu,” kata Vux lembut sambil mengelus-elus rambut Giselle yang lembut.

    Giselle pun mulai menangis dalam pelukan Vux. Suatu momen yang indah. Vux begitu menikmatinya hingga ia tidak ingin mencoba menenangkan Giselle. Tetapi kemudian ia sadar bahwa mereka tidak bisa terus berdiri di sini.

    “Sudah, sudah, jangan menangis. Kau sudah aman dalam pelukan pangeranmu ini!” rayu Vux “Lagipula kalau kau terus menangis, waktu istirahatku akan habis lho!”

    Tiba-tiba suara tangisan Gissele berhenti. Gadis itu segera menjauhkan dirinya dari dada Vux. Matanya terlihat sangat merah dan pipinya dibasahi oleh air mata. Tetapi walapun masih sesenggukan, ia berusaha keras menghentikan tangisnya.

    “Ba, baik lah! Ayo, kita pergi, hik hik,” katanya terbata-bata.

    “Nah, itu baru gadisku,” puji Vux dengan riang gembira.

    Mereka pun segera pergi dari sana. Berpegangan tangan, mereka terus berjalan keluar dari labirin perumahan itu menuju ke salah satu alun-alun kota yang kini tengah digunakan sebagai arena pertunjukkan sirkus keliling.

    Sepanjang perjalanan Vux terus bercerita mengenai para binatang sirkus untuk menenangkan hati Giselle. Vux terus mengingatkan Giselle akan kelucuan para binatang, bahwa binatang tidak selalu menakutkan seperti anjing liar barusan.

    “Kau suka sekali ya pada binatang,” kata Giselle akhirnya.

    “Tentu saja, binatang itu lucu!” ucap Vux layaknya anak kecil “Sebenarnya tidak ada yang perlu kau takutkan, asal kau dapat memahami mereka”.

    “Ya,” kemudian Giselle diam beberapa saat sebelum menyadari sesuatu “Ngomong-ngomong pupil matamu berwarna hitam”.

    “Eh?” Vux sempat bingung, namun kemudian berkata “Belakangan ini para peneliti menemukan alat optik yang bernama Lensa Kontak. Jika dipakai di mata dapat mengubah warnanya”.

    “Begitukah,” gumam Giselle, tampak penyesalan dalam nada kalimatnya.

    “Ada apa?” tanya Vux penasaran.

    “Matamu memang berbeda, tapi sejujurnya aku sangat suka. Mata binatang buas itu,” kata Giselle dengan begitu tulus, membuat hati Vux meluluh.

    “Uh,” namun ada sesuatu yang sepertinya mengganjal di hati Vux “Tapi bagaimana jika bukan hanya mataku yang berbeda?”

    “Apa maksudmu?” tanpa sadar Giselle menghentikan langkahnya karena penasaran “Apa lagi yang berbeda?”

    “Kau tahu, sebenarnya pangeranmu ini, uh, aku,” entah mengapa Vux tak dapat melanjutkan kata-katanya, seakan ada sebuah rahasia besar yang ia sembunyikan, yang tak boleh diketahui siapapun bahkan kekasihnya sendiri.

    Kini Vux menjadi bingung sendiri. Ia telah memulai pembiraan, namun tidak mampu untuk melanjutkan. Entah apa yang harus ia katakan pada Giselle. Tetapi tiba-tiba Giselle menarik tangan Vux dan mulai berlari. Vux hanya mengikuti Giselle menembus keramaian dengan terheran-heran.

    “Apapun yang ingin kau katakan,” kata Giselle “Tapi sebentar lagi sirkusnya akan dimulai!”

    Entah gadis itu mampu membaca kegundahan hati Vux atau hanya karena tidak ingin terlambat, yang jelas Vux merasa lega. Mungkin memang belum saatnya bagi Giselle untuk mengetahui segalanya, segalanya tentang dunia Vux.
     
  6. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Industria adalah salah satu kota utama di Regnum yang dikhususkan sebagai kawasan industri. Letaknya di utara dan cukup dekat dengan garis pantai, karena itu pemerintah kerajaan memutuskan untuk menyalurkan limbahnya melalui sungai yang mengalir ke laut utara.

    Entah pemerintah kerajaan tidak tahu atau tidak peduli, tetapi di ujung utara sana terdapat pemukiman penduduk yang bernama Crassa. Sebelum menjadi kotor karena terus-terusan mendapat pasokan limbah, Crassa adalah kota kecil bersahaja yang terletak di sekitar muara.

    Dulu penduduk kota kecil ini mencari nafkah dengan mencari ikan, tapi kini ikan-ikan mati hingga menyebabkan banyak pengangguran. Mereka yang masih memiliki semangat juang memilih pindah ke Industria untuk menjadi buruh, sementara mereka yang pasrah hidup menyedihkan di kota kecil ini.

    Malam itu, Crassa terlihat begitu sepi. Hanya beberapa rumah yang memiliki pencahayaan, sisanya gelap gulita bagai ditelan kegelapan. Muara sungai yang berada di tengah kota itu sangat hitam, menjadi sumber bau dan penyakit yang menjangkiti penduduk.

    Di salah satu jalanan sepi yang penuh batuan tampak seorang pria yang membawa obor. Sepertinya ia bahkan tidak mampu membeli lampu tangan yang sudah banyak digunakan di kota besar. Dari berlapis-lapis jaket rombeng yang ia kenakan dan cara jalannya yang membungkuk-bungkuk, dapat disimpulkan bahwa ia sedang menderita suatu penyakit, mungkin demam.

    Benar saja, pria itu berhenti di depan rumah kayu dengan lambang palang merah pada daun pintunya. Pria itu mengetuk-ngetuk pintu beberapa kali namun segera masuk sebelum dibukakan.

    “Oh, halo,” sapa seorang wanita berpakaian jas putih yang sedang duduk di sebuah meja kecil di sudut ruangan “Ada yang bisa ku bantu?”

    Wanita itu begitu dewasa dan anggun dengan rambut coklatnya yang lurus nan lembut. Kecantikan wajahnya seakan tidak terpengaruh oleh suasana Crassa yang kumuh. Bahkan pria sakit itu pun sempat terperangah sebentar menyaksikan keelokan wanita cantik di hadapannya.

    “Dokter Varela, brrr, sepertinya aku demam,” ujar pria itu sambil menggigil saat akhirnya ia tersadar dari lamunannya.

    “Oh iya, silakan masuk pak,” Valera segera bangkit dan membukakan pintu menuju ruang praktek.

    Pria yang sedang demam itu mengikuti Valera masuk ke dalam.

    “Silakan berbaring di ranjang,” kata Valera kepada pria itu.

    Pria itu segera berbaring di ranjang periksa dengan kedua tangan masih terlipat untuk menghangatkan diri. Dengan cekatan Valera mengambil stetoskop hitam dan mulai memeriksa pasiennya.

    “Siapa nama bapak?” tanya Valera sopan.

    “Riko, herrr,” jawab pria itu masih menggigil.

    “Pak Riko hanya demam biasa,” kata Valera sambil memperhatikan juluran lidah sang pasien “Tunggu sebentar, akan kuberikan obat!”

    Valera mengambilkan beberapa butir pil dan segelas air putih. Ia membantu meminumkan obat kepada pasiennya dengan lembut, lalu menidurkan pasiennya kembali.

    “Efek obat ini akan membuat bapak mengantuk untuk beberapa saat. Tetapi saat bangun nanti tubuhmu akan lebih baik,” kata Valera menjelaskan.

    Pria itu mengiyakan, namun matanya sudah mulai sayu. Dalam hitungan menit pria itu sudah tertidur pulas.

    “Sekarang saatnya,” gumam Valera, kemudian ia berjalan ke arah lemari peralatan.

    Valera terlihat mengambil sebuah alat suntik, namun tidak ada isinya. Setelah itu Valera mendekati sang pasien yang sedang tertidur pulas. Valera menggulung lengan baju pasiennya, mengusap-usap tangannya dengan alkohol, lalu tanpa berlama-lama ia segera menancapkan jarum suntik ke lengan pria malang itu.

    Perlahan-lahan Valera menarik keluar darah pria itu hingga memenuhi alat suntiknya, barulah kemudian ia mencabutnya. Valera memperhatikan darah kental sang pasien yang berwarna merah menggoda. Sebuah sunggingan senyum kepuasan sedikit terlihat di bibir Valera.

    Valera berbalik ke arah lemari dan mengambil sebuah gelas kaca. Dengan perlahan-lahan Valera menumpahkan isi suntikan itu ke dalam gelas. Sedikit demi sedikit, namun mata birunya terlihat sudah tidak sabar. Semakin gelas itu dipenuhi darah, tampak matanya semakin berbinar dipenuhi nafsu.

    “Hanya itu makan malammu kak?” tiba-tiba terdengar seseorang berbicara, tetapi Valera sama sekali tidak tampak terkejut.

    “Vazero, sudah berapa kali kukatakan untuk mengetuk pintu sebelum masuk!” kata Valera agak kesal sambil menuntaskan menuang seluruh darah ke dalam gelas.

    “Asap tidak perlu mengetuk pintu,” kata Vazero santai sambil berjalan mendekat menampakkan dirinya.

    Seorang pria muda dengan wajah cukup tampan namun berantakan. Rambutnya coklat seperti Valera, tetapi sangat kusut. Ia hanya mengenakan jaket kumal yang tidak dikancing, menampakkan dada dan perutnya yang tidak ditutupi kaus. Celana jeans yang dipotong di bagian lutut semakin melengkapi kesan liar pada dirinya. Namun mata birunya tetap terlihat indah dan menawan.

    “Huh,” kata Valera ketus lalu menenggak minuman darahnya dengan anggun.

    “Kau tahu kak, baru saja aku meminum seorang pria gendut sampai kering. Rasanya nikmat!” kata Vazero sambil menarik kursi lalu duduk di hadapan Valera.
    Valera tidak menjawab, hanya menghabiskan minumannya tanpa kata-kata.

    “Tenang, aku segera menghancurkan tubuhnya setelah aku selesai. Ia tidak akan sempat berubah menjadi Magus,” kata Vazero santai.

    “Sebenarnya mengeringkan orang saja cukup untuk membuatku kesal,” kata Valera dingin sambil meletakkan gelasnya yang sudah kosong. Bibirnya begitu merah karena darah, tapi justru membuatnya semakin menawan “Kau tidak akan kuampuni jika menciptakan Magus seenaknya!”

    “Ugh,” tampak keberatan di wajah Vazero “Kakak, sampai kapan kau mau seperti ini? Apa salahnya jika kita memperbanyak jumlah? Saudara-saudara kita yang lain bahkan sudah memiliki banyak keluarga, hanya kita yang hidup seperti ini!”

    “Memang apa salahnya dengan hidup seperti ini?”

    “Apa salahnya?” nada suara Vazero makin meninggi “Kau hanya bisa diam-diam mengutil darah pasienmu tiap kali ada kesempatan, meski kau bisa mendapatkan lebih dari itu! Menurutmu hal itu tidak menyedihkan? Saudara-saudara kita yang lain dapat berpesta sepuasnya, mengapa kita tidak bisa?”

    “Mereka bukan saudara kita,” potong Valera tajam “Sejak awal kita memang sendiri. Jika ayah dan ibu masih hidup kau tahu apa yang akan mereka katakan padamu?”

    Kata-kata Valera membuat Vazero cukup tertohok. Kemudian ia memalingkan kepalanya sambil berkata pelan “Mereka sudah mati, dan cara hidup menyedihkan itulah yang membunuh mereka”.

    Valera tampak gusar mendengar pernyataan adiknya, namun ia mengurungkan niat untuk melanjutkan debat ketika mendengar suara-suara erangan pasien yang mulai terbangun.

    “Bapak sudah bangun?” Valera segera mendekati tempat tidur pasiennya itu.

    “Ugh, iyaaah...” jawab sang pasien sambil menguap dan meregangkan badan.

    “Bagaimana perasaanmu? Sudah enakan?”

    “Hmmm,” pria itu berusaha bangun dan menggoyang-goyangkan kepalanya untuk merasakan “Sudah lebih baik”.

    “Syukurlah,” jawab Valera dengan senyuman, kemudian berjalan ke arah meja kerjanya yang kosong, di mana Vazero entah bagaimana sudah tidak ada di sana “Akan kubuatkan resep obat yang murah namun berkasiat”.

    “Ya, terima kasih dok,” pasien itu mendekati Valera untuk menerima resep yang barusan ia tulis “Tapi, dok. Soal biayanya...”

    “Tidak perlu jika kau tidak punya uang,” jawab Valera manis membuat pasien itu lega.

    Lantas pasien itu menjabat tangan Valera keras-keras sambil terus mengucapkan rasa terima kasihnya. Valera hanya mengiyakan dengan anggun, lalu mengantar pasien itu keluar. Kini hanya tinggal ia sendirian di dalam kliniknya.

    “Yah, paling tidak kau sudah membayar dengan darahmu,” gumam Valera kemudian “Ngomong-ngomong ke mana anak itu. Kupikir ada hal penting yang ingin ia katakan selain untuk mengejekku”.
     
  7. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Berbeda dengan Industria yang begitu padat dan dipenuhi limbah pabrik, Capitis adalah kota yang bersih dan teratur. Kastil besar dengan menara raksasa yang dapat dilihat dari seluruh sudut kota merupakan lambang dari pusat pemerintahan Regnum ini. Di sekitar kastil terdapat bangunan-bangunan megah perkantoran maupun infrastruktur penting lainnya. Selain itu perumahan orang-orang kaya dan bangsawan terdapat di sana.

    Lalu pada salah satu jalanan di kawasan perumahan mewah tampaklah sebuah kereta kuda yang cukup besar melintas. Dari ornamen dan hiasan yang digunakan kuda penariknya, tidak aneh jika orang berkata bahwa itu adalah kereta bangsawan. Namun yang lebih meyakinkan adalah ukiran berbentuk lingkaran berduri-duri tajam dengan lingkaran kecil di tengahnya, sebuah lambang keluarga bangsawan Solarus.

    Kereta kuda itu terus melintas hingga ke ujung jalan yang meninggi seperti bukit, di mana sudah tidak terdapat perumahan lain. Jalan itu berakhir di sebuah gerbang besar. Dari gerbang itu terdapat dinding bata yang tinggi mengitari kompleks perumahan.

    Kereta kuda itu pun memasuki gerbang dan terus melalui jalan setapak, melewati halaman yang dipenuhi pepohonan rindang. Beberapa saat kemudian barulah mereka sampai di kastil kecil di atas bukit. Sebuah kastil merah dengan puncak-puncak tajam.

    Sesampainya di depan pintu utama, seorang pelayan laki-laki bertubuh kekar dengan mata katarak membukakan pintu kereta kudanya sambil memberi salam “Selamat datang tuan”.

    “Ya, terima kasih Irog, pelayanku yang setia,” kata seorang pria berkacamata hitam dengan kumis tipis yang keluar dari dalam kereta. Ia mengenakan seragam hitam dengan banyak medali di lengan kanannya. Lalu ia berkata lagi “Hari ini ada enam eksekusi narapidana. Lumayan. Tolong turunkan gentong darahnya dari kereta!”

    “Baik tuan,” dengan cepat Irog mengeluarkan sebuah gentong coklat. Terlihat berat, tetapi ia mengangkatnya tanpa bersusah payah sedikitpun.

    “Tolong disiapkan, kutunggu di ruang makan,” kata pria itu sambil memasuki pintu kayu besar berornamen naga, sementara Irog berjalan melalui pintu belakang.

    “PAPA!” tiba-tiba seorang gadis kecil bermatak katarak berlari terbirit-birit ke arah pria itu, lalu menubruknya.

    “Viama!” sahut pria gembira itu lalu mengangkat putrinya tinggi-tinggi “Papa bawa makanan untukmu!”

    “Iya pa, Viama sudah kelaparan!” gerutu gadis itu agak cemberut, tetapi wajahnya malah terlihat menggemaskan karena pipi gempalnya.

    “Hahaha, sabar!” pria itu terkekeh geli “Ngomong-ngomong bagaimana keadaan ibumu?”

    “Ibu baik-baik saja, sedang tidur di kamar. Tadi Viama menyuapi bubur untuk ibu,” kata gadis kecil itu “Viama pintar kan?”

    “Ya, ya, Viama pintar sekali,” puji pria itu kemudian mengecup pipi Viama, membuatnya jijik.

    “Ah, kumis papa gatal!” sahut Viama sambil meronta menarik diri, kemudian berkata lagi “Karena Viama anak pintar, ayo sekarang kita makan!”

    “Tunggulah, Igor masih menyiapkannya,” bujuk pria itu, kemudian menyadari kedatangan seseorang.

    “Delphin, kau sudah pulang?” seorang wanita tua yang juga bermata katarak berjalan mendekati Delphin dan Viama. Meskipun tampak tua, tetapi tidak ada uban sedikitpun di rambut hitamnya. Jalannya pun masih tegak.

    “Ya ibu, anakmu ini sudah pulang, ayo kita ke ruang makan!” ajak Delphin masih menggendong Viama “Sepertinya Irog sudah menyiapkan santapannya.

    Bersama mereka menuju ke ruang makan megah, dengan meja panjang di tengahnya. Irog sudah berada di sana, yang kini tengah menuangkan darah ke dalam tiga buah gelas perak, lalu membiarkan tekonya tetap di sana. Setelah itu ia memohon diri sambil membungkuk kemudian pergi.

    “Itu dia makanan sudah datang,” kata Delphin, kemudian Viama melepaskan dirinya dari gendongan Delphin dengan kasar.

    Viama segera menyambar sebuah gelas dan melahapnya dengan ganas. Sebuah pemandangan kontras, seorang gadis kecil bergaun indah yang membasahi mulutnya dengan darah. Dalam hitungan detik gelas perak itu sudah kosong, namun Viama belum terlihat puas.

    “Ayah, apa aku boleh tambah?” pintanya manja sambil menarik-narik celana Delphin.

    “Ya,” jawab Delphin sambil mengusap-usap rambut Viama “Habiskan saja yang ada di teko!”

    “Terima kasih ayah!” ucap Viama riang gembira.

    Kini Viama meminum darah langsung dari tekonya dengan begitu liar. Delphin hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala, kemudian meraih gelas peraknya sendiri.

    “Ibu, kau...” Delphin bermaksud menawarkan ibunya, tetapi ia terhenti saat melihat air mata bergelinangan di pipi tua wanita itu “Ibu, ada apa?”

    “Menyedihkan,” kata sang ibu menahan diri “Kita Bangsawan Solarus yang terkenal di seantero Regnum, hanya ini yang bisa kita berikan pada Viama kecil?”

    Tampak sedikit penyesalan pada wajah Delphin, tetapi ia tidak lantas berkata apa-apa.

    “Apalah arti gelar kebangsawanan ini,” sang ibu melanjutkan “Kehidupan kita masih lebih baik pada masa kakekmu, juga ayahmu”.

    “Ibu, jangan begitu...” akhirnya Delphin menyanggah.

    “Nenek, nenek tidak mau minum?” tiba-tiba Viama menyela “Boleh kuminum bagianmu nek?”

    “Viama!” kata Delphin tegas sebelum sempat terkejut karena kerakusan putrinya itu “Kau sudah meminum habis jatahmu, sekarang pergilah bermain!”

    “Tidak apa,” kata wanita tua itu seraya mengelap air mata “Viama, kau boleh meminum bagianku juga”.

    “Benarkan? Terima kasih nek! Hehehe”.

    Tidak peduli akan larangan ayahnya, Viama segera saja menyambar gelas perak sang nenek kemudian meminum habis isinya. Setelah itu ia berpamitan untuk bermain keluar. Delphin yang pasrah tidak dapat berbuat apa-apa dan segera menyuruhnya keluar.

    “Ibu, mengapa kau tidak minum?” tanya Delphin kemudian setelah mendudukkan ibunya di kursi kayu berukiran mewah “Kau terlalu memanjakan Viama”.

    “Aku tidak tega melihat Viama kecil kelaparan,” jawabnya lirih.

    “Ibu, dengarkan aku,” Delphin menghela napas dalam-dalam “Viama harus mulai belajar bersabar. Lagipula ini tidak lama lagi”.

    “Sampai berapa lama?”

    “Tidak lama lagi. Percayalah padaku ibu,” kata Delphin sambil melepas kacamata hitamnya untuk menunjukkan kesungguhan. Terlihatlah sepasang mata abu-abu, terlihat seperti mata yang terserang penyakit katarak “Apa kau mau membuat seluruh usaha keras kita selama ini berantakan? Setelah bersusah payah mendapat gelar kebangsawanan dan mati-matian hidup di antara manusia, kita tidak bisa berhenti sampai di sini! Tidak hingga kita berhasil merebut kembali tahta Regnum. Tahta Ayah kita, Nagalangit D’Count!”

    Wanita tua itu sempat terenyak beberapa saat mendengarkan penjelasan panjang lebar sang putra tercinta.

    “Apa kau yakin pasti berhasil?” tanya wanita itu akhirnya untuk menegaskan.

    “Demi pengorbanan ayah mendapatkan gelar kebangsawanan ini. Demi kesabaranmu selama ini. Demi kelangsungan hidup seluruh pelayan setia kita. Aku bersumpah, tahta itu akan jadi milik kita!”

    “Baiklah, Delphin putraku,” kata wanita tua itu memutuskan “Aku, Ivlyn Solarus, akan mempercayaimu! Aku akan menantinya, saat di mana keluarga kita mendapatkan kejayaan itu!”

    “Aku janji ibu,” ucap Delphin sambil bertekuk sebelah lutut di hadapan ibunya “Akan kuraih kejayaan itu sebelum kau wafat”.

    “Tenang, aku pasti berumur panjang,” kata Ivlyn dengan sesungging senyum.

    Akhir dari chapter 1, akhir dari perkenalan gaje :hahai:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.