1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Opus #12

Discussion in 'Fiction' started by om3gakais3r, Jun 10, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Ugh... saat editing cerpen lain malah dapet inspirasi bikin cerpen yang lain lagi.. :sigh:

    Warning! Happy End.

    Cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah hal terindah. Terdengar aneh, mungkin. Tapi ada sebagian orang yang setuju dengan itu.

    Aku, misalnya.

    Sudah menjadi kebiasaan… entah aku sadar melakukannya atau tidak. Sejak aku pertama kali jatuh cinta, aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku pada orang itu. Sebut saja Amora, perempuan pertama yang aku cintai. Saat itu aku masih muda, pertengahan belasan tahun. Belum mengerti apapun soal cinta. Pada akhirnya, bahkan tidak satu kata pun aku ucap dengan emosi ini.

    Tidak mudah menjadi seseorang yang selalu berpindah-pindah tempat tinggal, meninggalkan apapun di kota sebelumnya untuk ke kota baru. Seakan tidak ada perasaan apa-apa antaraku dan Amora, aku pergi dengan membawa rasa hampa.

    Ah, tak apa. Kalaupun aku dan Amora bersama, dia hanya akan sedih ketika aku pindah.

    Lalu, beberapa tahun kemudian aku menetap di kota yang baru. Kota dimana gemerlap malam menjadi pesona yang sayang untuk dilewatkan. Seakan hari dimulai dari malam, pasar yang sepi di siang hari dipenuhi hiruk-pikuk celoteh para pedagang ketika matahari beristirahat.

    Ketika itu aku mendengar Amora sedang menjalani hubungan dengan seseorang. Colosela, nama pria beruntung itu. Seseorang yang memang bisa diandalkan, baik fisik maupun mental. Lalu, aku berpikir “Apakah aku pantas untuk mencintai seseorang lain?”

    Berusaha melupakan Amora dengan pekerjaan yang baru aku dapat, menjual keramik. Seakan melepas rasa sesal dengan teriakan untuk mengundang para pembeli, aku menjadi pedagang yang cukup ulung. Walau hanya pedagang pinggir jalan.

    Salah satu pembeliku, Siesta. Aku jatuh cinta padanya dan dia juga menyukaiku, walau dia berasal dari bangsawan sedangkan aku hanya penjual keramik. Seakan dari kalangan yang sama, setiap dia datang ke toko kecil pinjaman di salah satu pasar pinggir kota, dia selalu membicarakan tentang hal-hal yang terjadi tentangnya. Sedangkan aku menceritakan tentang kisah-kisah tentang keramik-keramik yang aku jual.

    Karena mungkin aku pernah menjual cangkir keramik asal cina pada Ratu, bangsawan-bangsawan percaya dengan kualitas keramikku. Dari situlah aku bertemu dengan Siesta, kawan-kawan dan para pembantunya. Mereka mendukungku untuk mendapatkan Siesta.

    Tapi, sekali lagi aku berpikir “Apakah aku pantas untuk mencintai seseorang lain?”

    Aku menanggap Siesta sebagai teman minum teh di sore hari, sebenarnya lebih dari itu. Aku mencintai dia, ingin memilikinya dan membuat aku dimilikinya. Namun apa mungkin aku pantas? Mungkin tidak.

    Selama dua tahun, lebih tepatnya dua puluh empat bulan aku memendam perasaan ini. Kenapa aku mengingat berapa lama? Karena hari itu adalah tahun kedua aku mulai terpesona dengannya. Dua tahun setelah aku mengajaknya minum teh dengan set cangkir keramik asal Inggris. Aku masih ingat harumnya earl grey saat itu saat aku meminumnya sambil melihat pemandangan sore di balkon komplek gedung pertokoan. Bukan komplek gedung yang membakar sumbu di kepalaku, melainkan wajah Siesta yang disinari cahaya matahari sore.

    Lalu tepat di hari tahun kedua itu, aku harus pergi ke Spanyol selama beberapa hari untuk menjenguk Paman yang sedang sakit keras. Tapi ternyata Beliau meninggal ketika dalam perjalanan aku ke sana. Ditembak oleh tentara karena dia orang perancis, katanya. Oleh karena itu, untuk sekitar satu tahun aku harus mengurus keluarganya.

    Selama itu, aku membuka toko di rumah tua Paman. Setidaknya sampai cukup modal untuk keluarga Paman bisa memiliki penghasilan sendiri.

    Suatu hari, Siesta datang mengunjungiku di rumah Paman. Dia datang bersama beberapa pelayannya, tanpa tujuan yang jelas.

    Aku mengajaknya minum teh, seperti biasa di sore hari. Perbincangan yang biasa, dia hanya bercerita tentang tokoku yang selalu didatangi orang-orang setiap harinya walau mereka tahu aku ada di Spanyol.

    “Aku harap kau tidak kaget melihat perubaha di kota itu.”

    Entah kenapa kalimat Siesta yang seharusnya dikatakan dengan ceria itu terdengar sedih di telingaku.

    Kalimat itu mengakhiri kunjungannya ke tempatku. Dia pergi, entah kenapa aku merasa cemas akan suatu hal yang aku tidak mengerti ketika melihat bagian belakang kendaraan Siesta yang semakin mengecil dimakan jarak.

    Hanya Toko roti, itulah yang mereka bangun di tempat toko keramik sementaraku. Ketika aku sudah yakin mereka sudah bisa mengurus diri mereka tanpa kepala keluarga, aku kembali ke Perancis. Ke toko lamaku.

    Penuh debu, sudah pasti. Tapi barang-barang yang aku simpan rapi di kotak-kotak dan lemari-lemari kaca tidak tersentuh kotoran sedikitpun, hanya beberapa yang butuh dipoles sedikit.

    Seperti biasa, Kamis sore adalah waktu Siesta berkunjung. Dia akan membeli satu atau dua cangkir yang menurutnya menarik. Terkadang aku mengajaknya untuk minum teh di balkon lantai dua.

    Tapi hari itu dia datang tidak dengan wajah gembira. Dia asal memilih dan membeli satu set cangkir dan poci sekaligus.

    Aku menawarinya untuk minum teh, tapi dia menolak karena dia bilang sedang ada urusan. Lalu ketika aku bertanya padanya tentang apa perubahan yang akan membuatku kaget, dia tidak menjawab. Dia hanya membayar apapun yang dia ambil lalu keluar dari tokoku.

    Cerita yang ditutupi hanya pada satu orang akan cepat terungkap. Kali ini cerita yang ditutupi hanya dariku.

    Siesta dilamar seorang bangsawan lain, bernama Nimbus. Memang, berita ini membuatku kaget. Tapi, aku memang sudah menduganya. Siesta pantas mendapat seseorang yang lebih bermartabat dariku.

    Entah mungkin rasa hampa ini adalah rasa hampa yang aku rasa saat dulu aku meninggalkan kota tempat Amora tinggal tanpa memberitahunya apa yang aku rasa, lalu beberapa tahun kemudian aku mengetahui kalau dia sudah bertunangan dengan seorang laki-laki lain.

    Ah, sudahlah. Aku hanya seorang penjual keramik. Tugasku adalah menyediakan keramik dengan kualitas tinggi untuk semua orang.

    Itu yang aku pikir, tapi pasar barang-barang sekunder mulai merosot. Harga-harga semakin tinggi sedangkan permintaan sangat sedikit, mendekati nol. Semua karena perang teluk antara Spanyol dan Perancis.

    Butuh waktu hanya dua bulan setelah dimulainya perang itu, kerusakan pada politik dan ekomomi menyebabkan sistem kebangsawanan rusak dan semua orang memiliki kewajiban untuk melindungi tanah mereka.

    Mungkin sebagai sebuah balas dendam atas merosotnya penjualanku atau karena rasa marah tertentu karena suatu hal, aku mendaftar sebagai prajurit.

    Kamp pelatihan yang berada di pinggir kota, tidak jauh dari tokoku. Itu adalah tempatku dilatih menjadi prajurit. Mereka bilang aku dan para calon prajurit lain akan menjadi kunci penting dalam perang ini. Tapi aku tahu, kami hanya menjadi pion yang bisa digantikan kapan saja.

    Satu hal yang membuatku terkejut, dari barak kavaleri terdengar isu bahwa seorang penunggang kuda handal berasal dari kalangan bangsawan ikut serta dalam pelatihan ini. Satu-satunya bangsawan yang memiliki rasa setia pada negeri dan sangat ahli dalam berkuda hanya satu orang.

    Dia adalah teman minum tehku di Kamis sore, Siesta.

    Zain, seorang dengan wajah orang Turki yang merupakan putra bangsawan di Perancis, seorang sahabatku di kamp itu. Dia mengatakan bahwa pertunangan Siesta dan Nimbus dibatalkan karena Nimbus lari entah kemana ketika mendengar perang terjadi di negara ini. Sedangkan Siesta adalah orang yang sangat mencintai negara.

    Pelatihan itu sangat keras, aku berusaha untuk mendapat berbagai macam penghargaan tapi tidak pernah berhasil. Saat itulah aku mulai membenci semua orang yang lebih baik dariku. Bayonet, seorang dari barak yang sama denganku. Dia adalah orang itu, orang yang paling aku benci, orang yang jauh lebih baik dariku.

    Seakan dia mengetahui apa yang aku ingin raih, dia raih terlebih dahulu. Seakan dia selalu berdiri di depanku, satu langkah lebih maju dari setiap arahku. Aku tidak bisa melarikan diri, dia adalah kutukan bagiku.

    Satu saat, aku mengetahui bahwa dia menyukai seorang gadis. Perempuan itu dari tim medis, Octavia. Saat itu aku merasa memiliki kesempatan untuk mengalahkannya, hanya satu kali. Octavia adalah salah satu pelangganku, jadi aku memiliki satu langkah lebih maju dari Bayo, nama yang aku gunakan untuk memanggil Bayonet.

    Tapi bodohnya aku, jatuh cinta pada Octavia saat aku hanya ingin menyaingi Bayo.

    Aku meminta saran pada Zain, dia hanya menyuruhku untuk melakukan apa yang aku anggap benar. Tapi pembicaraan itu didengar oleh salah satu teman Octavia. Sialnya di saat pembicaraan itu aku berbicara tentang bagaimana aku bisa jatuh cinta pada Octavia, berasal dari rasa marahku pada Bayo.

    Keesokan harinya, Octavia mendatangiku lalu menampar wajahku satu kali tapi cukup untuk membuat luka di pipiku.

    Setelah hari itu, Octavia resmi menjadi pacar Bayonet. Seakan memberi tamparan psikis padaku.

    Aku merasa telah gagal dalam segi apapun dari Bayonet… dan kali ini itu memang benar. Zain menghiburku dengan kalimat khasnya “Seseorang melebihi orang lain di satu sisi dan kurang dari orang lain di sisi lain”, tapi dia hanya membuatku mengingat kalau tidak satupun sisi dariku yang bisa mengalahkannya.

    Lalu, timbulah rasa hormat yang tinggi pada Bayonet. Seakan dia adalah pahlawan yang aku dambakan menjadi dirinya.

    ---***---

    Perang pertamaku, sebuah perseteruan di daerah sungai. Sebenarnya perang ini hanya untuk mengulur waktu pasukan musuh sampai pasukan utama Perancis datang.

    Tapi, walau dengan pertahanan sebesar apapun kalau pasukan musuh terlalu terorganisir mungkin mereka bisa menembus tempat ini.

    Aku berada di barisan paling depan. Anggota tim pertahanan barisan terdepan ini berisi para prajurit yang berlatih di barak yang sama denganku. Termasuk Zain dan Bayonet.

    Pertempuran itu semakin sengit ketika para pasukan Spanyol menaruh pasukan bertameng dan berpistol di barisan terdepan. Sedangkan pasukan pertahanan tidak memiliki satupun senjata bermesiu.

    Kami bertahan di balik benteng-benteng kecil merasa pasrah, mendengar suara ledakan mesiu dari pistol mereka yang semakin dekat.

    Bayonet menghela napas lalu berkata bahwa dia akan mengalihkan perhatian ketika yang lain mundur ke garis pertahanan yang lebih belakang untuk mundur hingga ke barisan pertahanan paling belakang. Ketika itu, semua membawa tameng dan menyerbu bersama-sama.

    Taktik yang tidak buruk, tapi bagaimana bisa dia mengalihkan perhatian satu battalion pasukan musuh?

    Usahanya sia-sia. Dia tertembak di dada bagian kanan.

    Dengan susah payah, kami akhirnya bisa membawa Bayo ke tempat yang aman.

    Tubuhnya mulai mendingin, napasnya mulai lemah. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Orang yang kini aku hormati karena kemampuannya ini akan mati dengan sia-sia.

    CKLAK! Teredengar suara dari kepalaku. Mungkin karena aku meregangkan kepalaku ke samping, atau mungkin suara gemeretak bara di otakku yang terbakar.

    Aku menyuruh empat orang untuk membawa Bayonet ke bagian medis di garis pertahanan ke tiga, sedangkan aku menyuruh semua orang yang ada di barisan terluar ini mengikutiku. Awalnya ada beberapa orang yang ragu, tapi dengan semangat dari Zain semuanya mengikuti apa yang aku perintah.

    Berlari menuju hulu sungai membawa pipa panjang dari saluran air yang tidak digunakan, kami ditembaki oleh para pasukan Spanyol yang sedang mendekati jembatan.

    Ketika kami cukup jauh, mereka berteriak dengan bahasa mereka “Dasar pasukan pengecut!” tapi itu tidak menggoyahkan langkahku. Memang, ada yang kembali dan secara bodoh mati ditembaki para provokator.

    Tapi, itu bukan aku.

    Sekitar tiga puluh orang, berada di tempat yang cukup jauh dan tidak terlihat oleh para pasukan Spanyol. Di tempat itu kami memotong pipa saluran irigasi dan mengumpulkan rumput. Kami berusaha bergerak cepat karena tidak ada lagi waktu.

    Pipa itu diberikan satu per satu orang lalu menceburkan diri ke air sambil ditutupi oleh rumput.

    Memang agak sulit ketika harus membawa pedang yang cukup berat sambil berenang, tapi kami sudah terbiasa saat latihan.

    Menyamar menjadi segumpal rumput, kami berenang menuruni sungai hingga ke jembatan tempat para pasukan Spanyol menyeberang.

    Jembatan itu dibuat dari dua tali baja yang dikaitkan dari satu sisi ke sisi yang lain, lalu dipasang lempengan besi di atasnya.

    Karena itu, sangat mudah ketika harus merusaknya. Ketika salah satu tali putus, semuanya akan runtuh.

    Kami berusaha menunggu sampai pasukan bertameng sebanyak mungin menaiki jembatan itu. Jumlahnya ada enam orang. Saat itulah aku mengayunkan pedangku ke arah tali baja dan menjatuhkan keenam pembawa tameng itu.

    Ketika mereka masuk ke air, kami menyerbunya bersama-sama. Membuat mereka tidak ada pilihan lain untuk mati di arus sungai.

    Hanya enam perisai, aku dan lima orang lain naik ke sisi pasukan spanyol datang dan memegang perisa itu untuk melindungi diri kami.

    Untunglah, perisai itu tingginya seratus empat puluh sentimeter dan tebalnya sekitar dua setengah inci. Peluru tidak bisa menembus perisai ini.

    Aku membawa perisai itu bersama lima orang lain, menyerbu satu per satu pembawa perisai yang berhasil kami kalahkan dengan teknik berpedang seadanya.

    Setiap satu dari mereka jatuh, salah satu dari kami membawa perisai itu ke dekat tempat jembatan seharusnya berada lalu memberikannya pada satu orang lain yang masih menunggu di dalam sungai.

    Ketika semua sudah memiliki perisa satu per satu, kami terus maju tanpa khawatir akan tertembus peluru.

    Berbeda dari pasukan Spanyol yang harus menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat perisai ini, kami hanya butuh satu tangan. Kenapa? Mungkin beban lima puluh kilo gram ini tidak ada apa-apanya kalau dibanding saat latihan membawa enam puluh kilogram di setiap tangan dan berlari.

    Tapi, apa yang kami lakukan disini? Kami seharusnya hanya menunggu kiriman pasukan lain, bukan maju sambil terus bertahan.

    Jadi, apa yang direncanakan Bayonet itu benar. Dia memilih untuk mundur dan bertahan dengan pasukan yang lebih besar.

    Bunuh dia.

    Dia sekarang sedang bersama Octavia, membicarakan tentang kebodohanku.

    Bunuh orang itu!

    Siesta yang ada di pasukan utama mungkin sekarang sedang datang kemari, kecewa karena aku tidak melakukan perintah atasanku.

    Singkirkan nyawa dari tubuhnya!

    Amora…

    Tidak, dia sudah mati.

    Itu… tidak mungkin!

    Itu betul. Kau tidak lagi mencintainya, bukan?

    Aku…

    Artinya dia sudah mati dia sudah mati dalam hatimu! Sekarang bunuh!

    Siapa?

    “cinta” dalam hatimu.

    Kenapa…? Aku masih…

    Tidak, kau hanya ingin lebih baik dari Bayo, bukan?

    Itu…

    Kalau begitu, hilangkan rasa “cinta” itu!

    Hilangkan…

    Lepaskan dahagamu!

    Aku… haus?

    Sekarang!

    A…

    A…

    AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    Teriakanku itu lebih keras dari suara senjata bermesiu yang terus menghantam ketiga puluh orang yang sedang maju sedikit demi sedikit mengangkat tameng curian. Seakan kaget, semuanya terhenti. Bukan hanya dari pihakku tapi juga mereka berhenti mengisi peluru dan mesiu di senjata mereka.

    Aku lempar tamengku, ke arah sepuluh penembak di garis depan. Mereka jatuh seketika.

    Saat itu, aku sudah sampai di dekat mereka yang masih panik.

    “BUNUH!”

    Aku ayunkan pedangku ke arah leher salah satu dari mereka.

    Belum sempat mengisi apapun ke dalam selongsong senapannya, satu lagi aku lepaskan dari beban di atas lehernya.

    “Ahahahaha! PENGGAL! BUNUH! Ahahahaha!”

    Penggal! Bunuh! Penggal! BUnuh! PENGgal! BUNUH! PENGGAL! BUNUH! PENGGAL!

    Penggal! Bunuh! Penggal! BUnuh! PENGgal! BUNUH! PENGGAL! BUNUH! PENGGAL!

    “AhahahahahaAHHAHAHAHAHAHAHAHA!!!”

    Entah kenapa, euphoria ini terasa sangat nikmat. Rasa lelahku kembali hilang setiap satu dari mereka menjadi air mancur merah di lehernya.

    Ahahahaha!

    Ahahahaha!

    Aku suka ini! Mereka hancur seperti keramik ketika aku mengayunkan pedangku ke arah mereka!

    MATI! MATI! MATI!!!!

    ---***---

    Pada akhirnya, kesadaranku mulai kembali. Ketika itu aku sedang menancapkan pedangku ke hidung seseorang dengan pakaian paling mewah di antara para prajurit lain.

    Aku melihat ke sekelilingku, tidak ada satupun yang berdiri, kalaupun ada mereka sedang berlari ke arah yang berlawanan dari garis pertahanan Perancis.

    Tenggorokanku kering, aku berharap air segera jatuh dari langit. Tapi sepertinya tidak akan terjadi selama beberapa hari. Oleh karena itu, satu-satunya benda basah di sekitarku hanya pedangku, berlumuran darah. Aku menjilatnya, merasakan kenikmatan yang sangat lezat.

    Detik itu, aku terjatuh karena aku baru sadar tubuhku tidak lagi kuat menahan beratnya dosa yang aku angkat.

    Kesadaranku yang seharusnya mulai pulih kembali menghilang.

    Tertelan kegelapan, dalam… sangat dalam.

    Aku terbangun di ruangan rumah sakit militer. Tidak ada luka di tubuhku, sepertinya aku hanya kelelahan.

    Setelah meminum air putih di samping tempat tidur, aku duduk dan mengingat apa yang terjadi sebelumnya.

    Aku melihat ke arah jendela yang memantulkan wajahku dengan samar. Di pantulan itu aku melihat puluhan… ratusan orang yang kehilangan nyawa karena satu orang, orang yang ada di pantulan kaca itu.

    Perutku mual, aku ingin memuntahkan semua isinya tapi hanya ada air putih di sana.

    Berkali-kali, hingga pada akhirnya aku ingin memuntahkan ususku sendiri.

    Beberapa minggu kemudian, aku dipanggil oleh jendral perang. Aku lupa siapa namanya, tapi aku yakin dia memiliki nama yang mirip dengan tokoh terkenal di masa lalu.

    Dia memberikanku sebuah medali perdamaian. Sepertinya akibat kejadian di pinggir sungai itu, Spanyol menghentikan serangannya dan menandatangani perjanjian damai.

    Walau begitu, aku tidak mau menerima medali itu.

    Aku meminta untuk keluar dari militer, karena aku pada dasarnya hanya penjual keramik, mungkin hidup baru dimana aku tidak bisa dikenali siapapun.

    Untunglah dia menyetujui permintaanku. Aku akan dikirim ke daerah pedesaan di daerah utara Perancis.

    Aku keluar dari ruangan itu, berpapasan dengan Siesta. Dia yang melihatku kaget dan menunjukkan ekspresi takut dan … takut. Tangannya gemetar lalu dia berlari menjauh dariku.

    Inilah sebab kenapa aku ingin menjauh dari tempat ini.

    Sejak saat itu, perang terakhir itu disebut dengan “Kemarahan Mars”, digunakan juga sebagai julukanku.

    Bahkan Zain dan Bayonet gemetar ketika aku menyapa mereka.

    Tidak, bahkan ketika aku melihat ke arah kaca atau melihat ke arah tanganku aku gemetar dan ingin muntah. Dosa yang aku emban sangat besar. Hanya itu yang aku tahu.

    Cinta dalam hidupku selalu bertepuk sebelah tangan, bahkan dari negara ini. Mungkin dosa paling berat yang aku miliki di dunia ini adalah tidak bisa jujur pada perasaanku sendiri. Itu cukup untuk membunuh banyak orang sekaligus.

    Ketika aku memiliki keinginan, aku membiarkannya tidak terwujud. Ketika aku memiliki kesempatan, aku memilih tidak mengambilnya. Ketika aku bisa jujur… aku mencuranginya. Ketika aku mendapat sesuatu, aku menolaknya.

    Apakah tanggung jawabku atas kematian orang-orang yang aku yakin memiliki keluarga yang menunggu mereka di rumah adalah hukumanku atas kebodohanku di masa lalu?

    Atau… aku hanya orang gila yang menyukai perasaan yang hampa ketika kehilangan?


    Epilog

    Vymant, legenda pembentukan desa ini cukup menarik. Sepasang manusia yang menjadi utusan Dewi Undina memberantas pasukan yang diciptakan setan. Tapi karena mereka takut akan kekuatan yang mereka miliki, mereka merubah tubuh mereka menjadi batu.

    Cukup mengingatkan Tyle tentang apa yang dia lakukan beberapa tahun sebelumnya. Peperangan antara dua negara yang diselesaikan dalam satu pertarungan yang diabadikan dengan nama “Kemarahan Mars”.

    Walaupun begitu, Tyle berusaha melupakan semua yang terjadi tiga tahun lalu itu. Tidak ada yang mengetahui siapa Tyle sebenarnya, di desa itu mereka hanya tahu dia adalah seorang petani yang ulet.

    Suatu sore cerah, Tyle duduk di kursi taman. Menggenggam tongkat yang digunakannya untuk menopang tubuhnya yang terkadang gemetar ketika dia mengingat dosa-dosanya.

    “Boleh aku duduk di sini?” Seorang perempuan berdiri di samping Tyle, meminta izin untuk duduk di bangku taman yang sama dengannya.

    “Silakan.” Tyle bergeser sedikit ke arah yang lain.

    Perempuan itu duduk, sangat dekat dengan Tyle.

    “Maukah kau menikah denganku?” Tyle tiba-tiba berkata itu ketika dia berusaha menghilangkan jejak-jejak kejadian tiga tahun lalu dari imajinasinya.

    “Apa maksudmu?” Perempuan itu menatap Tyle dengan tajam, dari wajahnya terlihat jelas dia sedang marah.

    “… Maaf.” Tyle menurunkan salah satu tangan yang memegang tongkat.

    “Sepertinya kau harus beristirahat dari bertani, Tyle. Kau mulai pikun. Apa kau ingat kalau aku adalah istrimu?” Perempuan itu mengistirahatkan kepalanya di pangkuan Tyle.

    “Tidak, aku hanya mengingat saat terbahagia dari hidupku dan kalimat itu adalah kalimat yang penuh dengan rasa bahagiaku.”

    Perkataan Tyle tidak dijawab apapun oleh perempuan itu, hanya tawa kecil dari mulutnya yang warnanya seperti strawberry di saat panen.

    “Aku mencintaimu, Amora.”

    Tyle mencium kening Amora yang ada di pangkuannya.

    Sore itu berlangsung seperti biasa, di bangku taman mereka berdua menikmati hari yang berakhir.

    Tempat ini adalah tempat bersejarah bagi mereka karena di tempat ini lah mereka bertemu kembali setelah sepuluh tahun tidak bertemu.

    Tyle datang ke desa ini karena dia tidak ingin terlibat lagi dengan militer, sedangkan Amora… dia sudah ada di tempat ini sejak empat tahun sebelum Tyle datang. Amora mendapatkan sebuah rumah di desa ini dari seorang temannya yang berhutang budi pada Amora setelah Amora mengembalikan kejayaan keluarganya. Tapi, alasan kenapa itu bisa terjadi adalah cerita lain.
     
    Last edited by a moderator: Jun 11, 2012
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.