1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Legenda Hutan Kebahagiaan

Discussion in 'Fiction' started by TaupiG, Jun 1, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. TaupiG M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 27, 2009
    Messages:
    655
    Trophy Points:
    91
    Ratings:
    +427 / -0
    Yaay~ :cinta:
    Pertama kali bener-bener enjoy nulis cerpen fantasi :3 Semoga kalian bisa nikmatin~ :ogmatabelo:

    Sinar matahari pagi menembus celah-celah daun yang ada di hutan. Angin berhembus dan ikut mengusik daun-daun itu dengan menggoyangkannya dan membuat sebuah melodi yang bersahut-sahutan. Melodi-melodi tadi, terdengar oleh beberapa burung, dibalas dengan kicauan indah bersahutan. Seakan tak mau kalah, beberapa ular desis turut menggoyangkan ekor mereka dan ikut membalas melodi indah yang dimainkan oleh hutan tersebut. Dan diantara banyaknya sahutan-sahutan itu, sebuah figur wanita yang duduk di sebuah batu besar di tengah hutan.

    Sebuah selendang putih teruntai lemas di lehernya, dan gaun berwarna hijau membungkus kulit putihnya serta badan indahnya dari dada hingga mata kaki. Bola matanya yang biru merefleksikan seluruh pemandangan indah yang terhampar di hadapannya, belum lagi rambut hitam yang terjuntai dengan indah hingga pinggangnya.Di telapak tangan kanannya, berdiri seekor tupai yang sedang menggerogoti walnut dan di tangan kirinya, beberapa burung bertengger.

    Aria, begitu dia kerap dipanggil. Gadis itu duduk terdiam di antara kumpulan hewan-hewan yang mengerubunginnya dengan tenang. Kenapa dia ada di sini, di tengah hutan meskipun di dekat sana ada sebuah desa yang cukup besar, merupakan sebuah cerita yang sangat panjang. Dan yang lebih mengejutkan adalah Aria sebenarnya tidak berasal dari tempat itu.

    Desa dekat hutan itu bernama Nemoris. Desa itu merupakan desa yang cukup besar mengingat tempatnya terletak di tengah hutan besar. Di desa itu, setiap tiga tahun sekali diadakan sebuah festival untuk merayakan pemberian dari Dewi Hutan yang mereka percaya telah menganugerahkan mereka kehidupan di hutan itu. Dalam festival itu juga ada sebuah legenda yang mengatakan bahwa akan muncul seorang gadis pengembara yang akan melewati desa mereka. Legenda itu juga mengatakan bahwa gadis tadi akan berhenti di hutan dan dia akan dikelilingi oleh masyarakat hutan, dan gadis tadi adalah Aria. Takdir gadis yang tersebut di legenda tadi juga seperti kebanyakan legenda yang ada di dongeng sebelum tidur, menjadi jembatan antara sebuah desa dan Dewa atau Dewi mereka.

    Desa itu bukannya tidak pernah menemukan gadis yang ada dalam legenda mereka, tapi legenda itu memiliki sesuatu yang berbeda dari legenda-legenda lainnya. Dalam legenda itu, ada sebuah baris yang menunjukkan bahwa tujuan mereka bukan terfokus kepada bagaimana cara gadis itu menemukan sesuatu yang bisa membuatnya bahagia. Aneh? Memang, tapi seluruh warga desa itu selalu menuruti apa yang ada di legenda itu.

    Kenapa Aria tinggal di tengah hutan bukanlah bagian dari legenda itu. Itu merupakan permintaannya sebagai “bayaran” untuk menyanggupi menjadi jembatan bagi para warga desa tadi. Meski begitu, seringkali ada perasaan menyesal di hati Aria karena ia menyanggupi untuk menjadi jembatan tersebut. Bukannya ia membenci hutan, terlebih lagi membenci pekerjaannya sebagai jembatan bagi masyarakat desa itu yang mengharuskannya untuk menyanyi. Menyanyi juga adalah sebuah aktifitas yang sangat dicintai Aria, dan itu menjadi salah satu alasan kenapa ia menyanggupi pekerjaan tersebut.

    “Apa memang harusnya begini?” Aria mengeluh pelan sambil menggunakan jarinya untuk mengelus kepala dari tupai yang sekarang sedang tertidur di pangkuannya dengan lembut. Tiba-tiba, tupai yang ada di pangkuannya terbangun dan berlari menuju hutan, begitu juga dengan burung-burung yang tadi bertengger di jarinya. Tentu saja, Aria memutuskan untuk mengikuti mereka ke dalam hutan.

    Bukan seram, tapi kosong, meskipun penuh dengan suara yang bersahut-sahutan dari semua ekosistem di tempat itu. Begitulah pandangan Aria terhadap tempat ini. Ia memang bernyanyi, tapi bukan untuk siapa-siap dan itulah yang kerap membuatnya ragu apakah ini pilihan yang tepat. Berputar-putar untuk beberapa lama, melewati tempat yang sama, dan akhirnya tiba di sebuah tempat yang ia kenal, Desa Nemoris. Ia sampai ke daerah terluar dari Desa Nemoris tapi ini bukan daerahnya, melainkan sisi yang berlawanan dari tempat ia tinggal.

    Di tepi jalan itu, ada sebuah tanda yang terbuat dari kayu yang bertuliskan nama desa itu dan selain jalan menuju desa, ada sebuah jalan setapak yang nampak jarang dipijaki oleh masyarakat sekitar. Entah kenapa, Aria akhirnya lebih memutuskan untuk menyusuri jalan setapak tadi dan membuat tupai yang tadi berlari berhenti dan memperhatikan Aria dengan penuh kebingungan.

    Di ujung jalan setapak tadi, berdiri sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu. Aria mencoba mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban. Lagi, ia coba mengetuk pintu lebih keras kali ini dan hasilnya sama. Tak ada jawaban yang ia terima sama sekali. Semakin penasaran, Aria mencoba membuka pintu yang menghalanginya dan apapun yang ada di dalam sana. Ajaib –atau aneh, pintunya tidak terkunci sama sekali.

    Rumah itu ternyata tidak sekecil yang terlihat dari luar, tapi cukup besar dan berantakan. Aria mencoba masuk dan menjelajahi rumah itu. Mulai dari ruangan tengah, hingga sudut yang tidak terjangkau cahaya matahari sama sekali. Mulai dari meja, hingga laci yang sudah dipenuhi jaring laba-laba yang tebal. Sayangnya, usaha itu hampir tidak membuahkan hasil sama sekali hingga ia hampir memutuskan untuk keluar dan malah menemukan sebuah lukisan. Lukisan itu menggambarkan seorang anak yang menangis di sebuah kursi kayu dan sebuah perempuan yang kemungkinan adalah ibunya, sedang mengelus kepalanya.

    “Siapa…” Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari luar rumah itu.

    “A-ah! M-maaf… Aku kira tidak ada yang tinggal di rumah ini…” Jawab Aria terkejut.

    Suara itu berasal dari seorang pemuda yang memiliki rambut berwarna hitam pekat dan mata berwarna hijau. Kulitnya yang putih, membaur tepat dengan pakaian sederhananya yang berwarna coklat muda.

    “Oh…” Pemuda itu membalas tanpa rasa tertarik sama sekali.

    “N-namaku Aria! Kamu?”

    “Algor…” Jawab pria itu pelan.

    “A-ah… Oke… Kalau begitu aku pergi dulu…” Aria berkata sambil berjalan menuju pintu rumah itu.

    Saat Aria melewati Algor, tiba-tiba pemuda itu menggenggam tangannya dan berucap pelan. Sangat pelan, bahkan lebih pelan dari bisikan genit angin kepada daun.

    “Tunggu… Temani aku sebentar saja…”

    Aria terdiam sejenak, lalu ia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah itu. Meskipun Algor lah yang meminta Aria untuk menemaninya, tak ada satu pun kata yang terucap darinya, begitu juga Aria. Aria kembali berkeliling rumah itu sementara Algor, ia menyiapkan sesuatu dengan sebuah kuali yang besar.

    “Kau suka jamur?” Sebuah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut lelaki itu.

    “Hmm… Aku rasa jika harus memilih antara suka atau tidak, akan aku jawab suka.” Aria membalas dengan suaranya yang indah.

    Kembali hening. Tapi kali ini, sama sekali tidak ada pembicaraan sama sekali hingga pada akhirnya matahari terbenam dan malam tiba.

    “Umm… Sudah malam… Aku harus pergi.” Aria berkata dengan sopan.

    “Aku sudah menyiapkan makan malam…” Algor membalas perkataan itu dengan pelan. Tidak bisa menolak, akhirnya Aria kembali duduk dan menyantap makanan yang telah disiapkan oleh Algor.

    Pada saat mereka selesai makan, Algor berdiri dan membuka pintu belakang rumahnya, dan memberi sinyal pada Aria untuk mengikutnya keluar. Di sana, terhampar sebuah tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan dan beratapkan langit penuh bintang.

    “Kau tahu? Orang berkata bahwa saat kita melihat bintang, kita melihat ke masa lalu. Cahaya bintang tersebut butuh ratusan tahun untuk mencapai kita, dan pada saat mata kita dapat melihatnya, bintang tersebut mungkin sudah mati.” Sebuah perkataan terpanjang dari Algor sepanjang sore ini.

    “Jika saat melihat bintang berarti kita melihat ke masa lalu, maka semua itu cukup bagiku. Tapi kenapa… Kenapa hingga saat ini, masa lalu yang selalu berlari-lari liar di benakku tidak muncul lagi…” Algor melanjutkan, dan tiba-tiba ia terisak sedih.

    Sejak kejadian malam itu, hampir setiap hari Aria berkunjung ke rumah Algor. Baik itu hanya untuk menjenguknya, menumpang makan, tertawa bersama, atau bahkan hanya bermain-main dengan hewan yang ada di pekarangan belakang rumahnya. Dan saat malam tiba, Algor akan mengajak Aria pergi ke pekarangan itu dan melihat bintang-bintang yang menghisa langit malam. Itulah kegiatan mereka selama berbulan-bulan.

    “Hey Aria… Kau tahu kan?” Tiba-tiba, suatu malam Algor memecahkan keheningan mereka saat duduk di pekarangan rumah.

    “Huh? Tahu apa?” Aria menjawab dengan nada yang bingung.

    “Umm… Setiap akhir festival, mereka harus melepas perempuan yang menjadi jembatan mereka…”Algor menjawab dengan suara yang jauh lebih pelan dari biasanya.

    Aria terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa karena ini merupakan pertama kalinya ia mendengar hal seperti itu. Dan yang lebih parah, ia mendengar itu semua saat ia sudah mulai lekat dengan desa itu –dengan Algor, tepatnya. Apa yang bisa ia lakukan sekarang, satu bulan sebelum festival? Ia tidak bisa meminta kepala desa itu untuk mengundur festivalnya. Jikapun bisa, ia hanya akan menundanya. Dan juga, bila memang festivalnya berhasil ia tunda, apa ia bisa melewati hari-harinya dengan Algor secara damai, mengetahui bahwa ia akan tetap pergi dari desa itu? Bahkan baginya, setelah mendengar pernyataan dari Algor tadi, waktu satu bulan juga akan terasa menyakitkan.

    Sekarang, Aria bahkan tidak bisa memaksa dirinya untuk fokus kepada persiapan festival sama sekali. Hanya satu yang ada di benaknya, Algor. Ia selalu dikejar-kejar oleh bayangan lelaki yang mengejar masa lalunya. Aria, yang awalnya sedikit menyesal menyetujui untuk menjadi jembatan bagi para warga desa, kini bahkan tidak ingin lepas dari desa itu sama sekali –meskipun Algor-lah alasannya. Memang kedengarannya egois, tapi hanya itu alasan dia tetap tinggal dan mencoba bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya sebagai jembatan bagi para warga desa. Agar Algor juga paling tidak dapat mendengarkan lagu yang akan ia nyanyikan nanti.

    Pada akhirnya, waktu tidak akan berhenti hanya untuk bertanya apakah kita siap atau tidak. Dia juga tidak akan peduli pada makhluk-makhluk yang ingin tetap berada di satu titik. Dia hanya akan terus bergulir menggilas mereka yang tidak siap dengan egois. Dan dengan bergulirnya waktu, hari festival yang sudah ditunggu seluruh warga desa akhirnya tiba.

    Sebuah mahkota yang terbuat dari akar-akar pohon dan dihiasi kelopak bunga berwarna ungu duduk di atas kepala Aria sementara rambut panjangnya tergerai rapih. Pakaian yang ia kenakan kali ini benar-benar menggambarkan seorang dewi. Gaun putih panjang dan selendang hijau yang teruntai di sepanjang tangannya dan terkait di lehernya.

    Ia sekarang berdiri di tengah keramaian, di tengah panggung yang sudah disiapkan oleh seluruh warga desa karena ini merupakan acara besar bagi mereka semua. Diantara keramaian tersebut, mata Aria terus memburu figure seseorang. Ya, Algor. Ia sama sekali tidak bisa menemukan laki-laki itu dimanapun matanya mencari sementara semakin banyak warga yang berkumpul, ini berarti ia harus segera menyanyi.

    Lagu yang ia nyanyikan berjalan mulus, sampai akhirnya ia ada di tengah-tengah lagu dan tiba-tiba teringat bahwa setelah lagu ini, ia bukan lagi warga desa ini dan ia harus pergi. Berarti ia juga harus meninggalkan Algor, yang meski dalam waktu singkat, telah menjadi alasannya untuk melakukan segala sesuatu. Dan saat mengingat itu semua, bibirnya membeku. Ia tak bisa melanjutkan nyanyian itu, pikirnya. Ia tidak akan bisa membuat Algor terkesan, karena ia tahu Algor ada disini, di tempat ini mendengarkan nyanyiannya meskipun ia tak bisa melihatnya.

    “Di sini, di tempat ini, aku bisa bertemu denganmu...” Tiba-tiba dari laut manusia yang hening itu terdengar sebuah suara yang ia kenal dengan baik. Algor.

    “Mulai dari hal terkecil, baik itu hanya makan bersama, berbicara mengenai hal-hal remeh yang jika aku pikir dengan baik, benar-benar tidak ada bobotnya sama sekali, melihat bintang yang menghias malam yang gelap, dan aku yang secara egois selalu menceritakan keinginanku untuk melihat masa lalu yang aku miliki…” Algor terhenti sejenak dan keluar dari kerumunan warga desa itu dan berdiri sendiri tepat di depan panggung kecil itu.

    “Dan satu hal yang paling penting yang aku dapat setelah beberapa bulan yang pendek aku habiskan bersamamu. Kaulah alasan bagaimana aku bisa tertawa dengan jujur, bukan karena alasan. Baik itu karena kelakuanmu, atau karena hal lainnya. Jadi… Selesaikan semua ini karena masih ada yang harus aku katakan kepadamu.” Algor menarik nafas panjang saat ia menyelesaikan perkataannya.

    Saat itu, di saat Algor menyelesaikan perkataannya, butiran-butiran kecil air mata mulai membasahi mata Aira. Lalu dengan sebuah senyuman kecil, ia mengangguk dan mulai menyanyikan lagu yang terputus tepat di tengah tadi dan kali ini, ia berhasil menyelesaikan keseluruhan lagu itu.

    Lagu telah selesai ia nyanyikan, dan saat ia melihat ke sekelilingnya, Algor sudah tidak ada. Satu-satunya tempat yang bisa ia simpulkan adalah pekarangan belakang rumah lelaki itu. Karena di tempat itu juga, hampir semuanya terjadi.

    “Aria, kau pasti tahu tentang legenda di hutan ini yang berkata bahwa akan ada wanita yang menjadi jembatan antara para dewa dan penduduk desa kan? Kau juga tahu bahwa jembatan itu adalah alasan diadakannya festival ini kan? Tapi… tahukah kau kenapa mereka harus melepaskan jembatan itu di akhir festival?” Dari balik sebuah pohon yang besar, Algor melemparkan sebuah pertanyaan.

    “Eh… Kenapa?” Aria, yang benar-benar tidak mengetahui apa-apa, membalasnya dengan pertanyaan lain.

    “Karena jembatan itu, pada akhir festival adalah simbol kebahagiaan bagi para penduduk desa. Dan biasanya, wanita yang menjadi jembatan tadi akan menemukan kebahagiaan yang ia cari-cari selama ini.” Jawab Algor yang masih bersembunyi di balik pohon besar tersebut.

    “Tapi… Kali ini, jembatan itu benar-benar melakukan tugasnya. Ia membawa kebahagiaan kepada warga desa, atau paling tidak bagiku.” Algor kembali berbicara, tapi kali ini ia keluar dari persembunyiannya dan menyambut Aria dengan senyum.

    “Aku tidak bisa menyampaikan perasaanku dengan nyanyian yang indah sepertimu, Aria. Tapi, aku akan berusaha menyampaikan semua perasaan ini dengan kata-kata. Dan jika itu masih tidak cukup…” Algor mendekat dan memberi kecupan ringan di dahi Aria. “Inilah yang akan aku lakukan.”
     
    • Thanks Thanks x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. lemulemot Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Apr 3, 2010
    Messages:
    200
    Trophy Points:
    26
    Ratings:
    +198 / -0
    gile om puitis abis, berasa masuk ke dalam ceritanya
    rentetan kalimat2nya membayang syahdu dikala senja, wuits

    pasti dulu bahasa indonya 100 smua di rapor hehehe

    pengen deh bisa nulis kek gitu :(
     
  4. TaupiG M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 27, 2009
    Messages:
    655
    Trophy Points:
    91
    Ratings:
    +427 / -0
    ah enggak juga :p
    Malah bahasa indonesia saya jelek dulu. :iii:

    Mostly, saya belajar nulis dari baca-baca novel sih.
     
  5. winter_winds M V U

    Offline

    Mainlander

    Joined:
    Feb 3, 2010
    Messages:
    18,736
    Trophy Points:
    247
    Ratings:
    +48,253 / -301
    kadang kala lebih mudah pake bahasa inggris kok :hehe:

    coba lain kali pake bahasa inggris aja :top:
     
  6. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    hmm, nice story. cuman menurutku hook nya kurang.
     
  7. kan4ta Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 14, 2011
    Messages:
    103
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +9 / -0
    bagus bangetttt... :gotdrink:
     
  8. aisakurachan M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 15, 2009
    Messages:
    230
    Trophy Points:
    41
    Ratings:
    +166 / -0
    Bahasanya.....:top::top:

    tp feel haru nya kurang nih...:fufufu:

    Over all rate 3.5/5 :centil:
     
  9. andotri23 Members

    Offline

    Joined:
    Mar 5, 2011
    Messages:
    9
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +0 / -0
    ceritanya lumayan bagus ya
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.