1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Night of Andromeda

Discussion in 'Fiction' started by kyotou_yasuri, May 29, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. kyotou_yasuri Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 24, 2010
    Messages:
    93
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +20 / -0
    Halo semua. Saya baru mulai nulis cerita ini... Fresh from the oven :hehe: Jikalau berkenan mohon saran dan kritiknya yah.

    Genre: Fantasy, Mystery

    Act 1, Chapter 1 : Chicago's Night Lights

    1. Chicago’s Night Lights

    Siang hari itu sangat cerah, hingga mungkin membuat beberapa orang bertanya-tanya apakah benar ini bulan Desember, bukannya Agustus. Hawa dingin yang biasanya terasa seakan menghilang. Sinar matahari terasa menyengat. Namun aku tidak mengeluh. Cuaca ini sangat pas untuk kegiatanku.

    Kuperhatikan satu per satu orang yang lewat, sambil menghabiskan apel di tanganku. Beberapa kali kulihat orang dengan pakaian yang mewah, kalung yang berkilauan, maupun gelang yang sepertinya terbuat dari batu mulia. Namun aku memutuskan targetku siang itu adalah seorang wanita dengan tas tangan merah yang kelihatan—sangat—mahal.

    Dari sisi yang berlawanan, aku berjalan kearahnya. Kemudian di saat kami berpapasan aku mengambil belati di kantongku dan memotong tali tas itu, kemudian membawanya pergi secepat mungkin.

    “Tolong! Copet!”

    Lima detik kemudian barulah wanita itu berteriak minta tolong. Cepat juga. Dari langkah berlari yang kudengar, aku merasakan ada dua orang yang mengejarku. Ketika aku menoleh, mereka rupanya polisi.

    “Dasar bocah!” ujar salah satu opsir, geram sambil mulai berlari bebarengan dengan rekannya, “kau tidak akan lolos!”

    Aku berbelok di persimpangan, menuju ke trotoar yang penuh sesak karena toko baju di sana mengadakan obralan. Cukup dengan memusatkan konsentrasiku serta langkah yang tepat aku bisa melewati segerombolan ibu-ibu yang gatal akan pakaian murah ini lewat celah-celah kecil dengan mudah. Menurutku, kedua opsir itu tidak akan bisa melakukannya.

    Tepat dugaanku. Ketika aku sampai di seberang jalan, pria-pria berseragam itu sudah hilang ditelan keramaian. Aku tertawa sambil berjalan menuju gang kecil di samping sebuah toko loak.

    Bersandar tembok bata yang rapuh, aku mulai menguras isi tas itu. Terdapat kotak make-up, lipstick, beberapa buah gelang dan anting-anting, kalung, segala jenis lotion yang entah apa fungsinya, teh herbal dengan slogan ‘membuatmu lebih muda sepuluh tahun’… Apa tante itu sedang mengalami krisis paruh baya? Kukeluarkan semua barang yang tidak menarik perhatianku itu hingga aku menemukan dompetnya.

    “Seratus dolar cukup.”

    Setelah mengambil uangnya, dompet itu kembali kumasukkan ke dalam tas itu, bersama dengan barang-barang lainnya. Tujuanku berikutnya, pos polisi.

    “Opsir, aku menemukan tas hilang.”

    Opsir yang sedang berjaga siang itu, terkejut melihatku, “Oh, benarkah itu? Ooh, tas yang kelihatan mahal… Untung kau menyerahkannya kemari. Pasti si pemilik mencari-carinya,” katanya setelah menerima tas itu, “kalau pemiliknya tahu, mungkin ia akan memberi upah padamu.”

    Aku menggeleng,”Tidak usah.”

    “Jangan sok rendah hati begitulah!” Opsir itu tertawa kecil. Setelah kuucapkan selamat tinggal dan pergi dari tempat itu, aku tertawa dalam hatiku.

    Memang aneh, tapi aku memang bukan pencopet full-time. Aku melakukan ini hanya untuk menambah penghasilan dari pekerjaanku sehari-hari—seorang pegawai toko kelontong—dan bersenang-senang. Aku tidak pernah merampok semua isi tas-tas yang kucuri, hanya mengambil beberapa dolar saja dari dompet. Setidaknya cukup untuk membeli pizza untuk beberapa kali makan malam.

    Itulah keseharianku. Memang bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Keseharian ini kadang berulang-ulang, namun aku tidak ingin protes—aku tidak masalah jika kehidupanku akan seperti ini hingga akhir hayatku.

    Namun… Terkadang terlintas pertanyaan di otakku.

    Bagaimana jika suatu hari nanti hidupku berubah 180 derajat?


    ***

    Tubuhku otomatis membeku ketika kulihat seorang gadis kecil tergolek lemas di sudut sebuah gang yang kulewati dalam perjalanan pulang.

    “Mayat?”

    Mendekat dengan langkah tanpa suara, aku mulai bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu. Dari wajahnya, mungkin usianya sekitar sepuluh tahun. Rambut pirangnya yang panjang, kusut dan kotor tertutupi debu. Otakku mulai merancang kisah yang aneh-aneh akan apa yang terjadi pada gadis itu ketika melihatnya yang hanya mengenakan kaos longgar berwarna abu-abu dan celana pendek. Tak bisa kau bayangkan betapa leganya diriku ketika melihatnya masih bernafas.

    “Tidak ada bekas luka sama sekali di tubuhnya… Tapi ia kelihatan pucat. Apa ia kabur dari rumah? Korban penculikan?” gumamku, “mungkin lebih baik dia kubawa ke klinik…”

    Semakin dekat jarakku dengan gadis ini, semakin terasa sebuah perasaan aneh menyelimutiku. Keanehan yang sulit kugambarkan. Bagi orang yang sering berada di jalanan sepertiku, menemukan tubuh di gang kumuh seperti ini bukan hal yang aneh, apalagi di kota besar.

    Namun entah kenapa, aku merasa jika aku menolong gadis ini, maka aku akan kehilangan kehidupan lamaku.

    ‘Apa aku ingin merubah keadaan yang kunikmati ini? Apa aku ingin merubah hidupku?’

    Pertanyaan-pertanyaan aneh mengambang di kepalaku. Kucoba untuk menghilangkannya. Namun bagaikan menghadapi ombak, usahaku dengan mudah tersapu oleh semua pertanyaan-pertanyaan itu.

    Perasaan ini… Bukan ketakutan, bukan keraguan. Namun kalau kugambarkan secara kasar, mungkin lebih mirip perasaan terbebani, terbayangi oleh sesuatu yang sangat besar, seperti sebuah dunia baru yang tidak kukenali sama sekali—

    “Benar juga…”

    Saat itulah aku mengingat sosok lelaki itu. Lelaki yang bagiku, tindakannya adalah selalu benar. Lelaki yang jadi panutan hidupku. Dalam kondisi seperti ini, aku yakin yang dilakukannya adalah…


    ***

    Sudah pukul enam sore. Kulihat di jendela, matahari telah turun dari singgasannya, dan lampu-lampu jalan menggantikan tanggung jawabnya menerangi kota ini. Bersamaan dengan itu trotoar yang tadinya agak sepi mulai kembali penuh sesak. Dari seorang ayah yang pulang ke rumahnya dengan membawa sekantung oleh-oleh, seorang supir taksi yang beristirahat, dan seorang pengamen yang mulai mendendangkan lagu-lagu Bob Dylan dengan gitar bututnya, trotoar menjadi persimpangan kehidupan segala jenis manusia. Pemandangan yang tidak pernah gagal menghangatkan hatiku.

    “Uh….”

    Terdengar suara dari kasurku. Gadis kecil berambut pirang itu sudah bangun rupanya. Ia terduduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong.

    “Halo… Ehm, tolong jangan terkejut. Aku bukan orang jahat atau semacamnya,” kataku memastikan situasi, tidak lupa dengan senyum ramah ala salesman di bibirku.

    Sementara aku sudah siap dengan reaksi yang aneh-aneh, gadis itu malah tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Ia hanya terbengong-bengong, dengan mata biru setengah terbuka yang terus menghadap kearahku.

    Beberapa saat kemudian, gadis pirang itu memecah keheningan, “Dimana ini…? Aku kenapa…?”

    “Kau di apartemenku. Aku menolongmu yang pingsan di jalanan. Menurut dokter kenalanku, kau cuma kecapekan dan kelaparan. Kalau kau cukup istirahat dan makan, kau akan kembali sehat besok pagi.”

    Gadis itu kembali diam.

    “Eem, boleh aku tanya apa yang terjadi padamu, hingga kau bisa pingsan di tengah kota?” Kuberanikan diri untuk bertanya, “apa kau kabur dari rumah, atau semacamnya?”

    “Aku…. Tidak, aku…” Gadis itu memejamkan matanya, “aku… mendapat misi. Oh, iya!” tiba-tiba kelompak matanya kembali terbuka, menunjukkan kedua mata birunya yang terang.

    Gadis itu melompat dari tempat tidur, dan berdiri dengan tegap, “Aku punya misi.”

    “Eh? M-misi?”

    “Ya, dan aku harus menyelesaikannya secepat mungkin. Galeri lukisan Hermes di Chicago…. Adalah tujuanku. Terima kasih karena sudah menolongku, tapi aku harus segera pergi.”

    “Tunggu dulu—”

    Kruuyuuuuuk~

    Eh…? Suara itu…?

    Entah karena suara itu atau bukan, namun gadis itu berhenti.

    “Itu… perutmu ya?”

    Gadis itu tidak menjawab.

    “Emm…. Nona?”

    “Aku lapar….” Kata gadis kecil itu dengan suara memelas.

    Aku menggaruk kepalaku, kemudian bangkit dari kursi. Melewati gadis itu, kubuka pintu apartemenku.

    “Siapa namamu?” Tanyaku.

    Dengan agak malu, gadis kecil itu menjawab, “Iris… Iris Elmore.”

    “Aku Juno Oswald. Kau bisa panggil aku Jowie.”

    “Jowie…?”

    “Yup. Kita akan makan setelah ini, tapi kau harus membersihkan diri dulu. Ayo ikut aku, Iris,” kutahan pintu apartemennya, mempersilakan Iris keluar. Kemudian kuketuk pintu kamar sebelah.

    “Sore, Nyonya Gallagher,” Sapaku ketika Nyonya Gallagher membukakan pintu.

    “Halo, Jowie. Eh? Gadis kecil ini… Jangan-jangan ‘korban’-mu yang baru?”

    “Haha, kurang lebih begitu.”

    Aku dan Nyonya Gallagher tertawa, sementara Iris memandangi kami dengan agak kebingungan.

    “Anu, aku ingin pinjam kamar mandi…” kataku sambil melancarkan senyum salesman-ku lagi.

    “Oh, nona kecil ini ingin mandi ya? Hehe, kau memang kelihatan kotor sekali. Ayo, silakan masuk!” Nyonya Gallagher mempersilakan kami masuk. Ia kemudian pergi ke kamar mandi sambil berkata ia akan menyiapkan air untuk mandi Iris.

    “Jowie… Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi,” celetuk Iris tiba-tiba.

    “Aah, begini. Pancuran di kamar mandi kamarku sedang rusak, sehingga sementara ini aku selalu mandi di tempat ini. Tenang saja, kau boleh gunakan sabun maupun sampo-nya kok. Atau kau pakai sabun khusus? Sampo khusus? Hmm, aku tidak yakin Nyonya Gallagher punya berapa jenis. Sementara ini, kau harus puas dengan apa yang ada—”

    “Bukan itu maksudku,” dengan datar, Iris memotong omonganku, “kenapa dia mempersilakan aku yang orang asing ini masuk begitu saja dan memakai kamar mandinya? Bersamamu yang ia kenal sekalipun, ia harusnya tetap berhati-hati kan? Lalu apa maksudnya dengan korban? Kau bilang kau bukan orang jahat.”

    “Aku memang bukan orang jahat…” Jawabku sambil menghela nafas, “Kau tidak perlu memikirkan yang aneh-aneh. Bersihkan dirimu dulu sana! Lihat, Nyonya Gallagher sudah keluar dari kamar mandi.”

    Setelah menerima handuk dan seperangkat pakaian dari Nyonya Gallagher, Iris memasuki kamar mandi, sebelum berbalik kembali menghadapku, “Kau tidak mandi juga?”

    “…Aku gampanglah nanti.”

    Iris mengangguk, kemudian menutup pintu kamar mandi.

    “Aduh, dia manis sekali,” kata Nyonya Gallagher, gembira, “apa yang terjadi padanya, Jowie?”

    “Aku belum tahu. Setelah ini akan kuajak dia makan, kuharap ia mau menceritakannya.”

    “Ini pertama kalinya kau menolong perempuan, kan?”

    “Iya…”

    Nyonya Gallagher mengusap dagunya, kemudian meletakkan kepalan kanannya ke telapak kirinya “Okelah, akan kubantu dia keramas. Jangan mengintip ya, Jowie,” katanya sambil memasuki kamar mandi. Yang benar saja….

    Setengah jam kemudian, Iris yang sudah bersih dan rapi, keluar dari kamar mandi.

    “Apa benar tidak apa aku pakai jaket dan pantyhose ini?” kata Iris sambil melirik ke jaket agak kebesaran yang ia kenakan.

    “Tentu tidak! Itu baju bekas milik Anna, kuberikan padamu. Keduanya akan membuatmu tetap hangat di tengah cuaca yang membingungkan ini.”

    “Anna…?”

    “Putriku. Tahun ini, dia berusia 15 tahun. Dia tumbuh begitu cepat, pakaian lamanya sudah tidak ada yang muat,” Nyonya Gallagher tertawa kecil.

    “Oh, iya. Ngomong-ngomong dimana Anna dan Tuan Gallagher?” Tanyaku.

    “Mereka sedang pergi membeli makan malam… Oh, apa kau dan Iris mau ikut makan bersama kami?”

    Aku menggleng, “Tidak usah, terima kasih Nyonya Gallagher. Kami sudah terlalu banyak merepotkanmu.”

    “Sayang sekali…”

    “Anu, Nyonya Gallagher,” kata Iris tiba-tiba, “Terima kasih untuk semuanya. Aku tidak tahu bagaimana membalas semua ini.”

    Tidak hanya aku, Nyonya Gallagher juga terkejut mendengar kata-kata yang sangat santun keluar dari mulut Iris yang kelihatan sangat muda. Setelah mengusap kepala Iris perlahan, Nyonya Gallagher berkata, “Kau tidak perlu melakukan apapun, Iris. Seperti yang kubilang, kau harus berterima kasih pada Jowie.”

    Iris melirik ke arahku. Kedua mata biru yang cerah itu, sepertinya menceriminkan rasa penasaran yang besar. Pandangan itu seakan bertanya, “Siapa kau sebenarnya?”

    Aku hanya tersenyum canggung sambil mengangkat kedua bahuku.

    “Hm? Bagaimana menurutmu? Romantis, kan?”

    Kuletakkan semangkuk besar spaghetti di atas meja—yang sebenarnya cuma sebuah kotak kayu—kemudian aku duduk di atas kursi—yang sebenarnya cuma bangku kecil—di restoran Italia itu—lebih tepatnya, di gang di belakang restoran Italia. Iris menatapku dengan sorot mata yang sedikit lesu.

    “Candle light dinner di tempat seperti ini, mirip seperti Lady and Tramp, bukan?”

    “Terlalu mirip,” sahut Iris, “bahkan spaghetti-nya juga spaghetti sisa.”

    “Urgh… Iya sih, memang spaghetti sisa… Tapi rasanya sama saja kok, kurang lebih…”

    “Lagipula, spaghetti ini kau dapatkan secara cuma-cuma dari koki yang bekerja di restoran ini, yang pernah kau tolong beberapa saat yang lalu. Juga, di sini banyak nyamuknya. Udaranya juga agak lembab. Kedengarannya tidak terlalu romantis.”

    Komentar pedas Iris membuat semangatku sedikit turun, “….Begitu ya?”

    “Jowie,” nada bicara Iris tiba-tiba berubah serius.

    “Hm?”

    “Kenapa… Kau menolongku?”

    Aku terdiam sejenak. Kupilih untuk mulai melahap spaghetti di depanku daripada menjawabnya.

    “Kau tidak mengenalku. Aku bisa saja seorang kriminal, seorang pembunuh… Kemungkinannya tak terbatas. Jadi, apa alasanmu menolongku, Jowie?”

    “Alasan? Aku tidak butuh alasan.”

    Mendengar jawabanku yang agak mendadak, Iris memiringkan kepalanya, “Apa maksudmu?”

    “Sesama manusia saling tolong menolong… Hal itu natural bukan? Kita tidak butuh alasan untuk menolong orang lain.”

    Iris terdiam mendengarnya. Perlahan-lahan, pipinya merona.

    “…Aneh.”

    “Apanya yang aneh?”

    “Kau,” kata Iris sambil mulai ikut memakan spaghetti di depannya, “aku sudah dengar dari Nyonya Gallagher, kau terkenal suka menolong orang-orang yang kesulitan. Kau pernah membawa pulang seorang bussinessman bangkrut, lelaki yang baru saja bercerai, dan beberapa orang lainnya. Apa alasanmu menolong mereka semua sama?”

    “Yup,” Jawabku sebelum kembali melahap spaghetti dan mengunyahnya cepat sebelum menelannya, “aku hanya membantu mereka memulihkan kepercayaan diri mereka. Aku mengikuti ajaran ayahku.”

    “Ayahmu? Dimana beliau?”

    “Sebenarnya sih, bisa dibilang dia ayah angkatku… Kurang lebih. Entahlah dia sekarang berada di mana.”

    “Eh? Apa dia menghilang?” Iris sedikit menaikkan nada bicaranya.

    “Tidak juga. Kuberitahu saja, ayahku itu hobi jalan-jalan. Beberapa tahun sekali ia memutuskan bepergian. Biasanya aku ikut, tapi tahun ini aku memutuskan untuk tinggal. Ia mungkin berada di Alaska, atau Hawaii, atau bahkan Timbuktu, siapa tahu. Semasa kecilku aku melihatnya menolong orang-orang… Kurasa itu yang membentukku jadi seperti ini.”

    Suasana kemudian menjadi hening. Kusadari Iris hanya terdiam. Ketika aku akan menyuruhnya menghabiskan spaghetti-nya, Iris mendahuluiku bicara.

    “Terima kasih, Jowie.”

    “Eh?”

    “Terima kasih karena sudah menolongku,” kata Iris, masih dengan wajah datar tanpa ekspresi. Meski begitu aku bisa merasakan perasaan tulus dari kata-kata itu.

    Tanpa sadar, bibirku membentuk senyum, “No problem! Sekarang, kalau kau mau habiskan saja spaghetti itu. Aku sudah kenyang—”

    Saat itulah, mata Iris tiba-tiba berbinar-binar, bagaikan Big Bang terjadi di kedua bola matanya, “Serius?”

    “Eh? Y-ya.”

    “Benar-benar serius?”

    “Iya.”

    “Benar-benar, benar-benar serius?”

    “He’eh…”

    “Benar-benar, benar-benar, benar-benar—”

    “Sudah, cepat makan saja spaghetti itu sebelum aku berubah pikiran!”

    Tanpa dikomando lagi, Iris kembali melahap spaghetti itu. Dalam hitungan menit saja, mangkuk besar itu sudah kosong melompong. Iris yang kelihatan puas, mengelap bibirnya dengan tisu. Nafsu makan gadis ini hebat juga…

    Kurasa ini adalah saat yang tepat untuk menanyakan tentang masalah Iris.

    “Ngomong-ngomong, Iris. Berapa usiamu?” tanyaku, berniat berbasa-basi sebelum bertanya lebih jauh.

    “Pertanyaan yang sulit… Secara teknis, aku 12 tahun.”

    “Sulit? Memangnya siapa kau, wanita paruh baya—eh? 12 tahun?”

    “Iya.”

    Secara ajaib, tiba-tiba pikiranku menyatukan fakta yang ada dan membayangkan hal yang tidak masuk akal.

    “Namamu Iris, rambutmu pirang dan usiamu 12 tahun… Ergh, jangan bilang kau kabur dari rumah dan bekerja sebagai—Argh, tidak mungkin, tidak mungkin!” Sementara aku komat-kamit sendiri, Iris menatapku bingung.

    “Aku tidak kabur dari rumah. Aku punya misi.”

    “Oh, iya… Kau tadi juga bicara sesuatu tentang misi…”

    “Aku harus pergi ke Galeri Lukisan Hermes. Kau tahu tempat itu?”

    Aku berpikir sejenak, kemudian menjentikkan jari, “Hm, ya, kurasa aku bisa membantumu mencapai tempat itu. Mau kuantarkan ke sana besok?”

    “Dengan senang hati kuterima tawaranmu. Tapi apa tidak merepotkan?”

    “Heheh, jadwalku fleksibel. Tenang saja.”

    Iris sedikit menunduk, menyembunyikan wajahnya dariku, “…Maaf kalau aku terus saja merepotkanmu, Jowie.”

    “Kau tidak perlu khawatir. Aku pernah lebih direpotkan oleh orang lain yang kutolong. Kalau kupikir-pikir, kau malah yang paling tidak merepotkan.”

    “Yang benar?”

    “Kurang lebih. Yang terkadang membuat jengkel itu si lelaki yang baru saja cerai…”

    Mengingat masa lalu, aku pun mulai bercerita. Melihat dari tatapannya yang tidak terlalu lesu, Iris sepertinya cukup menikmati kisahku.


    ***
    .

    Monggo... :xiexie:
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    interesting.

    tokoh utamanya agak aneh jg. suka nolong orang, tapi sering nyopet.:lol:

    dan ceweknya loli!!:onfire:

    cerita kayaknya lumayan menjajikan:ngacir:

    ditunggu lanjutannya:top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  4. ChibiPower M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 2, 2011
    Messages:
    257
    Trophy Points:
    121
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +6,854 / -0
    Kelanjutannya mana gan?

    Penasaran ane, critanya kayak dianime2 nemu cew loli :hahai:

    Tokoh utamanya pencopet yang baik hati patnernya cew loli, top banget gan :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. Belsazar Members

    Offline

    Joined:
    Nov 18, 2011
    Messages:
    5
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +1 / -0
    Wah lumayan juga sie.
     
    • Thanks Thanks x 1
  6. Nebunedzar M V U

    Offline

    No information given.

    Joined:
    Mar 7, 2009
    Messages:
    707
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +5,466 / -0
    Lumayan. *numpang komentar*
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. Kyucha_Kazeinda Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 13, 2011
    Messages:
    51
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +8 / -0
    lmyn menarik kak... chapter 2 kpn kluar'a niih... hehehe... ditunggu ya kak... ^^
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    hmm, seperti yang dikatakan teman2 di atas, lumayan... baru awal jadi lum bisa komentar banyak.

    ngomong2 tokoh utamanya usianya berapa taun si? kurang tergambar jelas ni.
     
    • Thanks Thanks x 1
  9. kyotou_yasuri Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 24, 2010
    Messages:
    93
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +20 / -0
    @Merpati & ChibiPower

    :hehe: Rupanya memasukkan loli dalam cerita adalah keputusan yang tepat...

    @Grande_samael

    Tokoh utama 18 tahun. Sori kurang di hint di chp 1, mungkin bakal kuhint di chp lainnya.

    @Others

    Oke tengkyu all... :peace: Ini lanjutannya

    Act 1, Chapter 2 : Black Clouds

    2. Black Clouds

    “Jowie, kau boleh pulang. Mark sudah datang.”

    Kata-kata yang sudah kunanti sejak pagi akhirnya meluncur dari mulut Tuan Dunham. Setelah menerima amplop berisi gajiku hari itu, tanpa membuang waktu lagi aku pamit dan keluar dari toko. Kurasa aku akan membeli makan siang dan kembali ke apartemen.

    Jika kau bertanya di mana Iris sekarang, dia masih tertidur lelap seperti bayi. Sudah kucoba bangunkan berkali-kali, tapi tiada reaksi. Untungnya, dia masih bernafas. Kurasa ia benar-benar kelelahan.

    Di tengah perjalananku menuju kios hot dog langgananku, aku berpapasan dengan rombongan mobil limusin yang diiringi beberapa mobil polisi. Apa presiden sedang berkunjung kemari? Atau artis? Mewah sekali…

    “Yah, tapi itu bukan urusanku—ah?”

    Saat itulah mataku menangkap sosok yang unik. Seorang gadis cantik berambut panjang hitam. Mengenakan kemeja putih dengan rompi serta celana panjang hitam, entah kenapa ia kelihatan begitu mencolok. Terpancar aura yang elegan dari sekujur tubuhnya. Bagaikan lubang hitam, sosoknya menarikku tanpa kusadari, membuatku berhadapan dengannya sekarang.

    “Heh? Apa maumu?”

    “Oh, m-maaf, aku…”

    Mata kemerahannya menatapku tajam, “Kelihatannya kau punya sesuatu yang ingin kau katakan.”

    “Ahhh, tidak juga…”

    “Hmmmm?” Tatapan gadis itu semakin menajam, seakan berniat mengiris-iris tubuhku.

    “A-aku hanya ingin bertanya, kenapa kau hanya berdiri diam di situ? Apa… ada sesuatu yang mengganggumu?”

    Setelah mengucapkan salah satu pertanyaan terbodoh dalam hidupku, aku bersumpah jikalau suatu hari nanti aku harus berganti profesi untuk menafkahi diriku sendiri aku takkan jadi aktor improvisasi!

    Aku terkejut ketika pertanyaan bodohku tidak mendapatkan tanggapan apa-apa. Gadis itu malah menutup matanya dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

    “Anu… Nona?”

    “Kau lihat kerumunan tadi?”

    “Ya…”

    “Aku sebenarnya berada di dalam limusin tadi. Tapi setelah aku bertengkar lagi dengan kakakku, aku memutuskan untuk keluar. Kurasa penyebab mengapa aku hanya diam saja, karena aku tidak tahu bagaimana aku bisa mencapai tempat tujuanku.”

    Tanpa sadar, bibirku membentuk senyum canggung, “Oke…. Lalu kenapa kau tidak menyusul limusin itu saja? Masih sempat kok.”

    Tatapan setajam pedang yang tadinya sudah hilang, terhunus kembali dari mata gadis itu, “…Apa katamu?”

    “…He?”

    “Apa kau berpikir aku ini tipe orang yang akan menjilat ludahku sendiri?”

    “Emm, anu—”

    “Apa kau pikir aku sudi minta maaf pada kakakku yang brengsek itu?!”

    “A-aku tidak…”

    “Langkahi dulu mayatku!”

    Bola mata kemerahan yang penuh kobaran semangat itu sekarang berada sekitar sepuluh senti di depan wajahku. Secara reflek aku mundur.

    “Bagaimana kalau kubantu mencari tempat tujuanmu?”

    “Oh? Bagus kalau kau mau menawarkan jasamu,” Dalam sekejap, tatapan tajam itu menghilang lagi. Apa gadis ini punya switch on-off untuk hal itu?

    “Namaku Neroid. Neroid Lilybelle Hildegrad.”

    “Neroid Lily… apa?”

    “Huh, dasar kampungan. Kau bisa panggil aku Neroid.”

    “Heeh… Oke, oke…” Jawabku setengah hati.

    “Bagaimana dengan namamu?”

    “Hm?”

    Neroid membelai rambutnya yang bergelombang, “Sudah jadi peraturan tak tertulis di masyarakat, jika kau ingin mengetahui nama seseorang, kau harus memperkenalkan dirimu sendiri terlebih dahulu.”

    “…Aku Juno Oswald. Orang biasa memanggilku Jowie.”

    Neroid mengangguk, kelihatan puas, “Bagus, bagus. Baiklah Jowie, bisakah kau tunjukkan jalan menuju kantor polisi utama kota?”

    Bisa bertanya baik-baik juga gadis ini. Aku mengangguk, kemudian berbalik dengan niat mulai berjalan sebelum Neroid menghentikanku.

    “Stop stop stop!”

    “Hah?”

    “Apa kau tidak pernah dengan tentang sopan santun? ‘Ladies first’?”

    “Hah? Tapi kan…”

    “Tidak ada tapi. Kau harusnya perbaiki sopan santunmu, orang udik,” Neroid beserta rambut hitamnya yang berkilauan melewatiku tanpa sudi menatapku sama sekali. Elegan? Kurasa aku terlalu cepat menyimpulkan. Dia cuma bocah manja.


    ***

    Di tengah perjalanan menuju kantor polisi, Neroid tidak banyak bicara. Ia terus berjalan dengan langkah yang tidak kalah semangatnya dari sepasukan tentara. kuputuskan untuk bungkam pula, sebelum kami melewati kedai hot dog langgananku.

    “Neroid, tunggu sebentar. Aku ingin beli hot dog. Kau mau kubelikan juga?”

    Neroid berbalik, “Boleh juga. Kuingat-ingat lagi, aku belum makan siang.”

    “Baiklah kalau begitu,” Dengan cepat aku pergi ke kedai hot dog itu, membeli tiga buah, dan kembali ke Neroid yang duduk di bangku dekat situ.

    Ketika Neroid menerima jatahnya, ia menyipitkan matanya. Setelah kulihat kemana matanya melihat, rupanya ke arah satu lagi hot dog yang kubawa, yang akan kuberikan ke Iris, “Ada satu lagi….”

    “Ini untuk temanku di rumah… Jangan-jangan, kau mau satu lagi? Nanti gemuk lho.”

    “T-tidak! Siapa bilang? Lagipula, bukan urusanmu!” Neroid langsung menggigit hot dog-nya, “aduduh, panas!”

    “Pelan-pelan makannya….” Aku duduk di sampingnya.

    Seusai makan, dengan gaya elegan yang tak mencerminkan dirinya sama sekali, Neroid menyeka bibirnya yang belepotan saus dengan sapu tangan abu-abu polos yang ia bawa, “Enak juga.”

    “Benarkah?”

    “Ya. Dibandingkan dengan yang pernah kumakan di kota asalku yang rasanya seperti kertas, hot dog di sini jauh lebih enak.”

    Aku tersenyum masam, “Kertas, ya…?”

    “Kurasa selain kualitas daging dan roti, faktor yang membedakan keduanya adalah kombinasi saus dan mustar yang tepat.”

    Komentar Neroid yang bagaikan seorang kritikus makanan membuatku terbengong-bengong. Ketika ia bicara seperti itu ia benar-benar seperti seorang lady dari keluarga bangsawan.

    “Ngomong-ngomong darimana asalmu, Neroid? Dan ada perlu apa kau datang kemari?” tanyaku.

    Seraya melempar bungkus hot dog ke keranjang sampah, Neroid menjawab, “Aku kemari dari San Francisco untuk alasan keluarga. Bukan tempat yang benar-benar menarik. Chicago jauh lebih baik.”

    “Begitu ya…”

    Seusai bicara basa-basi itu, kami melanjutkan perjalanan. Lima belas menit kemudian kami sampai di kantor polisi pusat kota.

    “Terima kasih karena sudah mengantarkanku kemari,” kata Neroid.

    “Eh? Tidak masalah…”

    Bukannya memasuki gedung kantor polisi, Neroid hanya berdiri diam.

    “Ehm, kalau begitu, aku pergi dulu.”

    “Menurutmu,” Tanpa menghiraukan salam perpisahanku, Neroid mulai bicara, “apa orang-orang dengan kekuatan dan kekuasaan adalah pihak yang tepat untuk menegakkan keadilan?”

    “Eh?”

    “Aku ingin tahu pendapatmu, Jowie. Sebagai seorang anggota masyarakat.”

    Tidak menduga sama sekali pertanyaan yang aneh keluar dari mulut Neroid, aku menggaruk kepalaku. Pertanyaan macam apa itu? Jangan-jangan ia petugas polling untuk kepolisian atau semacamnya?

    Setelah kuberpikir sejenak, aku memutuskan untuk jujur. Lebih baik daripada aku mengarang jawaban yang kedengaran bodoh.

    “Mungin kedengarannya awam, tapi aku berpikir bagaimanapun juga terkadang pihak dengan ‘kekuatan dan kekuasaan’ terlalu semena-mena. Maksudku bukankah mereka seharusnya mendengarkan opini masyarakat? Jadi, jawabanku… Aku sama sekali tidak setuju jika mereka memegang kekuasaan penuh untuk menegakkan keadilan.”

    Neroid termenung sejenak, kemudian mengangguk, “Begitu. Tak kusangka sama sekali jawaban seperti itu bisa keluar dari mulutmu.”

    Ugh, aku tidak salah bicara, kan?

    “Oh, Neroid? Kaukah itu?”

    Seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri kami. Setelan yang ia kenakan mirip dengan yang dikenakan Neroid, sehingga membuatku otomatis berasumsi dia adalah rekan Neroid.

    “Kakak.”

    “Eh? Kakakmu?”

    “Ya. Biar kuperkenalkan padamu, Jowie. Ini adalah kakakku, Kamita Bougenville Hildegrad. Kamita, pemuda ini adalah Juno Oswald. Dia yang membantuku menemukan kantor polisi ini.”

    Gadis berambut coklat tua bernama Kamita itu tersenyum ramah, “Salam kenal, Oswald. Aku rasa adikku yang egois dan manja ini sudah merepotkanmu?”

    Aku ingin menjawab ‘ya’ tapi kuurungkan niatku karena aku masih sayang nyawa, “Tidak. Tentu saja tidak.”

    “Haha, kau tidak perlu sungkan. Ini hal yang sangat biasa terjadi.”

    Mengetahui dirinya menjadi objek hinaan kakaknya, Neroid mengarahkan tatapan tajamnya ke arah Kamita. Namun yang bersangkutan sepertinya sudah biasa menerima tatapan itu.

    “Huh!” Neroid dengan langkah menghentak berjalan masuk ke gedung kantor polisi.

    Kemudian, tanpa sadar aku bertemu pandang dengan Kamita. Entah mengapa, tiba-tiba perutku mulai merasa mual.

    “Hm? Ada apa?”

    Aku menggeleng, “T-tidak, tidak apa…”

    “Heeh…. Baiklah kalau begitu Oswald, kami permisi dulu. Terima kasih banyak,” Setelah mengucapkan salam perpisahan, Kamita mengikuti Neroid.

    …Sejenak tadi ketika kami bertemu pandang, perasaan apa itu? Perasaan yang mengancam. Tekanan. Tatapan yang seakan langsung mencengkram jantungmu ketika kau bertatap mata. Kakak Neroid… Dia orang yang berbahaya.


    ***

    Jam menunjukkan pukul 22.00 ketika kuputuskan untuk pulang. Karena Iris masih belum bangun juga, kubawakan beberapa buah dim sum jikalau dia bangun di tengah malam dan kelaparan.

    Melewati gang gelap yang merupakan jalan pintas dari restoran cina ke apartemenku, tiada rasa takut sama sekali dalam hatiku. Aku bukan anak-anak yang tidak bisa membela diri jika diserang perampok. Lagipula, gang ini sangat gelap sementara aku hafal luar kepala geografi di sini. Aku cukup yakin bisa meloloskan diri jika kondisi mendesak.

    Aku terus berjalan menelusuri kegelapan hingga aku mendengar sesuatu. Sepertinya percakapan.

    “…Cuma itu yang kuketahui,” Suara seorang pria yang terdengar agak gemetar melewati telingaku. Menguping memang bukan kegiatan yang bagus, namun suara lelaki itu cukup keras.

    “Untuk membuka segala aib Keluarga Romanos, ini lebih dari cukup. Daftar saksi yang kau berikan ini juga akan sangat membantu,” kali ini, suara wanita. Aku kenal suara ini… Tapi siapa?

    “A-aku juga bisa bersaksi!”

    “Tidak perlu. Jasamu sudah cukup,” Tolak wanita itu dengan suara yang terdengar begitu dingin dan kejam.

    “Eh? T-tapi…!”

    Saat itulah kutemukan dari mana pembicaraan itu berasal. Dua orang wanita dan seorang pria yang berbincang beberapa meter dari tempatku berdiri. Karena jarak kami masih cukup jauh aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang suaranya kukenali itu. Rasa penasaranku menjadi bahan bakar yang membuatku bergerak mendekati mereka.

    “Bunuh dia.”

    Seketika, terdengar sebuah suara yang unik. Suara yang begitu kau mendengarnya, pasti akan merasa miris. Suara daging yang terpotong oleh sebuah senjata tajam—sangat tajam. Berkali-kali. Sepertinya sang penyerang benar-benar ingin memastikan korbannya sudah kehilangan nyawa. Ketika rentetan bunyi tebasan itu berakhir, aku mengintip dari balik tembok. Setidaknya karena penerangan yang lumayan di atas kepala dua wanita itu, aku bisa melihat wajah mereka. T-tunggu dulu… wajah itu…

    “Neroid…?”

    Mendengar namanya disebut, Neroid terkejut dan menodongkan pedangnya kearahku, “Juno Oswald…?”

    “A-apa kau baru saja menebas pria itu hingga tewas?”

    Neroid tidak menjawab. Wajahnya kelihatan ragu.

    “Neroid!”

    “Oho? Ada tamu tak diundang rupanya.”

    Tiba-tiba Kamita muncul dari belakang Neroid. Benar juga, suara perempuan tadi, suara Kamita!

    “Kurasa kau mendengar pembicaraan kami dengan lelaki itu, Oswald? Itu berarti kami harus ‘menghapus’ mu…” Kamita menyeringai, membuatku secara reflek menahan nafas.

    Aneh, saat itu aku teringat pada pertanyaan Neroid sebelum kami berpisah siang ini. Mulutku mengeluarkan kata-kata begitu saja, “Apa ini yang kau maksud, Neroid? ‘Kekuasaan’ dan ‘kekuatan’ yang memegang keadilan? Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan lelaki tadi, namun kau tidak bisa begitu saja menghapus nyawa manusia seperti itu!”

    Neroid bungkam. Mata pedangnya tetap terarah ke kepalaku.

    “Apa ini arti ‘keadilan’mu, Neroid…?”

    Terdengar suara ‘ck’ dari mulut Kamita. Ia kemudian mendekati Neroid dan berseru di sampingnya, “Apa yang kau tunggu, Neroid? Bunuh dia!”

    Mengejutkanku dan Kamita, Neroid menurunkan pedangnya.

    “Apa yang kau lakukan, hah? Bukan saatnya untuk ulah bodohmu!”

    “Dia mungkin tahu tentang ini, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada yang akan percaya pada kata-kata seorang pemuda kumal,” Neroid berbalik dan mulai berjalan meninggalkan tempat itu.

    “Oh, Neroid idiot. Tapi… Kata-katanya memang ada benarnya. Kau bebas melaporkan hal ini. Namun kami menggenggam ‘keadilan’ kota ini… Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kau bukan apa-apa… Huhuhu… Kau cuma hewan pengerat. Au revoir, Oswald.”

    Mengikuti Neroid, Kamita berjalan pergi dari tempat itu, meninggalkanku sendirian bersama mayat yang berlumuran darah di gang yang berbau amis itu.


    ***
     
    Last edited: Jun 3, 2012
  10. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    bingung ma konfliknya. rasanya pacenya cepet banget. baru muncul di chap ini, dan udah mulai ada masalah yang berurusan ma dia.

    bertele-tele juga gak bagus sih. cuma yah... rasanya karakter neroid masih kurang development buat tiba-tiba muncul masalah yang berkaitan ma dia. IMO lebih enak pas bagian Jowie nganterin Neroid dikasih suatu adegan yang munculin karakter dia selain gadis egois penuh pride. just my opinion.

    dan... Iris gak ada adegan selain tidur di chap ini ;A;*gakpenting*

    btw, ni chapter udah dibaca lagi? ada sedikit(satu atau dua kalau gak salah)kalimat yang kurang enak.

    tapi oke juga idenya:top:. mau cerita soal kekuasaan dan rakyat kecil kah?
     
    • Thanks Thanks x 1
  11. kyotou_yasuri Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 24, 2010
    Messages:
    93
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +20 / -0
    Tenang aja gan, chapter 2 itu cuma pengenalan untuk Neroid aja (karena di chapter berikut dia bakal masuk ke cerita), fokus cerita kembali ke Iris di chapter 3.

    :XD: Hahaha sori gak ada, tapi chapter berikutnya ada... tenang aja.

    Whops... Thanks peringatannya :maaf: Beberapa udah saya benerin, tapi gak tahu udah semuanya belum.

    Rencananya sih masalah 'kekuatan dan kekuasaan' ini jadi sub plot. Plot utamanya masih belum muncul.


    Oke deh, lanjut....

    Act 1, Chapter 3 : Hermes Serenade (First Part)

    3. Hermes Serenade : First Part

    “Jowie, bangun.”

    “Huah!”
    Pemandangan pertama yang kulihat setelah membuka mataku adalah wajah Iris.

    “Aku harap kau mau segera bersiap-siap. Kau berjanji untuk mengantarku ke galeri itu kan?”

    Aku perlahan duduk dan mulai memijat punggungku.

    “Rupanya kau benar masih hidup….”

    “Apa maksudmu?”

    “Kau tertidur seharian tahu. Kukira kau koma atau semacamnya.”

    “Oh, aku lupa bilang. Jika aku sangat kelelahan, aku butuh makanan dan tidur 24 jam untuk mengisi penuh tenagaku.”

    “Mengisi tenaga? Memangnya kau robot?” Tanyaku setengah tertawa.

    “Bisa dibilang begitu,” jawab Iris santai.

    “Hahaha…”

    Suasana tiba-tiba menjadi hening. Balasan dari Iris yang kunanti tidak kunjung datang.

    “Kau becanda, kan?!”

    Iris tidak menjawab.

    Sambil ganti memijat dahiku, aku mengalihkan pembicaraan, “…Aku harus bekerja dulu hingga tengah hari, baru kemudian kita berangkat ke sana. Bagaimana menurutmu?”

    Iris mengacungkan jempolnya sebagai jawaban. Aku mengangguk perlahan.

    Seharusnya aku harus segera ganti baju dan bersiap-siap, namun aku tidak bisa menggerakkan tubuhku dari sofa. Pikiranku masih sedikit terhantui dengan perjumpaanku dengan Neroid dan Kamita semalam. Pembicaraan tentang daftar saksi, pertukaran informasi…. Aku sempat mendengar nama ‘Romanos’ disebut—Keluarga mafia yang menguasai dunia gelap Chicago... Apa yang akan mereka lakukan pada keluarga Romanos? Jangan bilang mereka ingin melibatkan Nona Joan pula… Selain itu, Kamita memberikan pernyataan bahwa ia dan Neroid kebal hukum. Siapa mereka sebenarnya…?

    “Jowie?”

    “Heh? A-apa?” Panggilan Iris membuyarkan lamunanku.

    “Kau kenapa?”

    “Tidak… Aku tidak apa kok! Hahaha!” Aku segera bangkit dan pergi ke wastafel untuk mencuci muka. Tidak ada gunanya memikirkan itu… Lebih baik aku konsentrasi untuk mengantarkan Iris ke tujuannya.


    ***


    Siang harinya kami segera berangkat ke Galeri Lukisan Hermes. Setelah setengah jam menaiki bus, akhirnya kami sampai di gedung kecil itu. Berbeda dari bayanganku, gedung tiga tingkat itu kelihatan tidak jauh beda dengan gedung biasa. Meskipun begitu, gedung yang arsitekturnya kuno itu cukup luas dan dikelilingi taman yang indah.

    “’Galeri Lukisan Hermes’, tidak salah lagi. Aku kira bentuknya akan lebih ‘nyeni’,” kataku sambil membaca papan yang terpasang di halaman depan galeri itu.

    “Ngomong-ngomong, dari mana kau tahu tentang tempat ini?” tanya Iris, seraya kami mulai berjalan menyusuri jalan setapak menuju pintu masuk, “kedengarannya kau belum pernah kemari.”

    “Aku punya kenalan seorang pelukis. Ia bilang ia pernah memamerkan karyanya di sini. Kemarin, aku menanyakan alamat pastinya pada orang itu.”

    “Biar kutebak, pasti kau pernah menolong orang itu juga?”

    Aku tersenyum, “Heh, sebenarnya ayahku sih yang melakukannya.”

    “Kau benar-benar menghormati ayahmu ya?”

    “Begitulah. Ayahmu sendiri, orang seperti apa, Iris?”

    “Beliau… Orang yang cukup serius. Namun sama sepertimu, aku juga sangat menghormatinya. Ia seorang ilmuwan yang luar biasa, dan jasanya sangat besar untukku. Mungkin, suatu saat aku punya kesempatan untuk membalasnya…” Jawab Iris. Matanya entah mengapa seakan menerawang jauh.

    Kami disambut oleh ruangan yang nyaris kosong melompong kalau tidak ada resepsionis yang berjaga di situ.

    Kemudian, aku bertanya pada Iris, “Ngomong-ngomong, siapa yang akan kau temui di sini?”

    “Seseorang bernama Smirnove Chenykh. Dia seharusnya adalah pemilik tempat ini—” sebelum Iris menyelesaikan kata-katanya, perhatiannya teralih ke seorang lelaki bertubuh besar yang menghampirinya. Sejak kapan dia berada di sana?

    “Ada perlu apa kalian kemari?” Tanyanya.

    “A-anu, kami mencari seseorang bernama… Ehm, Smirnove…”

    “Smirnove Chenykh,” Iris dengan tenang menyelesaikan perkataanku, “Apa dia ada di tempat ini?”

    Lelaki bertopi itu termenung sejenak, baru kemudian menjawab, “ Dia ada. Memang apa perlu kalian dengan Smirnove?”

    “Urusan pribadi.”

    Aku terkesan dengan Iris yang tidak gentar sama sekali berbicara dengan sosok yang tingginya mungkin hampir dua meter itu.

    “…Pergilah ke lantai teratas. Bilang pada orang yang berjaga di sana, kalian ingin bertemu Smirnove,” kata lelaki itu sambil lalu. Iris berterima kasih, meski lelaki itu sudah pergi ke ruang sebelah.

    “Ayo, Jowie.”

    Tidak menyangka mendapat ajakan itu, aku agak kebingungan, “Eh? Tidak apa-apa kalau aku ikut menemuinya?”

    “Tidak apa. Aku yakin Nona Smirnove akan senang berkenalan denganmu.”

    “Hmm… Baiklah kalau begitu.”

    Kami berdua pun memasuki ruang galeri. Karena tidak ada pemandangan lain, akhirnya kuputuskan untuk mengamati lukisan yang dipamerkan di sana satu per satu. Beberapa ada yang sangat bagus. Gambar pemandangan, seorang wanita cantik, suasana perkotaan. Namun ada juga yang hanya berupa warna-warna yang bercampur, seakan sang pelukis frustasi dan menumpahkan semua catnya ke atas kanvas. Kemudian ada juga yang bentuknya mirip persegi yang ditumpuk dengan bangun-bangun lain. Kurasa karena aku tidak punya selera seni aku takkan bisa mengapresiasi semua itu. Di lantai dua, lukisan-lukisan yang dipamerkan berukuran lebih besar, tetapi kurang lebih jenisnya sama dengan yang ada di lantai satu.

    Kontras dengan ‘keramaian’ di dua lantai sebelumnya, di lantai tiga hanya ada sebuah pintu dan sebuah meja. Seorang wanita duduk di balik meja itu.

    “Permisi,” Iris memanggil wanita itu, “bisakah kami menemui Nona Smirnove?”

    Bukannya langsung menjawab, wanita itu malah mengamatiku dan Iris dari kaki hingga ke ujung kepala. Seusai itu barulah ia menjawab Iris, “Nona Smirnove sedang ada urusan, jadi aku harap kalian berkenan untuk menunggu beberapa saat di ruangannya. Silakan masuk,” kata wanita itu sambil membukakan pintu.

    Ketika pertama kali melangkahkan kaki di ruangan itu, aku bisa merasakan aura klasik darinya. Kursi, meja, dan lemari, semuanya memberikan kesan tahun 50-an. Di sana juga terdapat setumpuk piringan hitam dan alat pemutarnya. Sebagian besar adalah musik jazz atau swing, serta ada beberapa blues. Selera wanita ini mirip ayahku… Mungkin dia adalah orang yang cukup berumur.

    Setelah kukelilingi ruangan itu berkali-kali, akhirnya aku memutuskan untuk duduk, “Iris, Nona Smirnove itu orangnya seperti apa?” Tanyaku berbasa-basi.

    Iris menaruh telunjuknya di dagu, “Hm… Kurasa kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkannya adalah ‘sedikit aneh’.”

    “S-sedikit aneh…?”

    “Iris, kau kah itu?”

    Seseorang masuk ke dalam ruangan dan memotong pembicaraan kami. Seorang wanita berkacamata dengan potongan rambut pendek ala Judy Garland di tahun 40-an.

    “Nona Smirnove, lama tak jumpa,” Iris dengan segera berdiri.

    “Eh? Dia ini Nona Smirnove?”

    Iris mengangguk. Aku sedikit tidak percaya seorang dengan penampilan muda memiliki selera yang sangat kuno. Smirnove Chenykh, dia kelihatan seperti seorang wanita berusia 20 tahunan. Namun anehnya, entah kenapa aku merasa wanita itu berusia jauh lebih tua dari kelihatannya. Keberadaannya terasa melengkapi perasaan klasik di ruangan ini. Apa mungkin karena ia mengenakan cardigan dan rok panjang yang membuatnya kelihatan lebih dewasa?

    “Halo, Iris. Lama tak jumpa. Kau sudah besar ya,” Smirnove membalas sapaan Iris tanpa ekspresi, membuat pembicaraan itu terasa canggung.

    “…Bukan saatnya untuk lelucon, Nona Smirnove.”

    Aku menggaruk kepalaku, kebingungan. Apa yang sebenarnya dibicarakan oleh dua orang ini?!

    “Maafkan aku, aku rasa kau kemari karena ada urusan darurat?”

    “Ya. ‘Mereka’… Sudah bergerak.”

    Smirnove kemudian termenung. Ia hanya menatap Iris kosong dengan mata kekuningannya yang lebar. Kurasa kata-kata yang Iris gunakan untuk menggambarkan wanita ini memang tepat.

    Merasa terlupakan, aku pun memutuskan untuk bicara, “Ehm, kalau aku mengganggu, aku akan keluar dari sini…”

    “Tidak, kau tidak mengganggu sama sekali,” Iris beralih menghadapku, kemudian kembali ke arah Smirnove, “Nona Smirnove, ini adalah Juno Oswald, pemuda yang menolongku beberapa hari yang lalu dan membantuku menemukan tempat ini.”

    Smirnove yang sejak tadi hanya memandang ke arah kami tanpa berkedip, akhirnya mulai bicara lagi, “Tuan Juno Oswald? Terima kasih karena kau sudah menolong Iris. Aku Smirnove Chenykh, pemilik galeri ini. Perkenalkan,” Smirnove berjalan menghampiriku dan mengajakku bersalaman.

    Kusambut tangan Smirnove, “Ah, tidak masalah kok…”

    Setelah bersalaman selama beberapa detik, Smirnove tak kunjung melepas tanganku. Ia masih memandangku dengan tatapan yang kaku.

    “Anu, ada apa…?”

    “Kau punya tubuh yang unik, Tuan Oswald,”

    “Eh…?”

    Tidak menghiraukan kebingunganku akan perkataannya, Smirnove melepas tanganku, “Iris, aku ingin melanjutkan perbincangan ini, dan juga aku sangat tertarik untuk berbincang dengan Tuan Oswald. Tapi masih ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan. Apa kalian berdua berkenan untuk menunggu?”

    “Kami akan menunggu. Ya kan, Jowie?”

    “Ah, ehm…”

    “Apa kau khawatir tentang makan malam, Tuan Oswald? Tenang saja, akan kubelikan makanan dari restoran sebelah,” ujar Smirnove memberikan tawaran yang sepertinya lebih cocok diarahkan ke Iris daripada kepadaku.

    “Baiklah, kami akan tunggu…”

    “Bagus,” Smirnove menepukkan kedua telapak tangannya di depan dada, “kalau mau, kalian bisa berkeliling. Ada toko yang menjual makanan kecil di lantai satu, kalau kalian ingin. Kalian juga bisa mencari udara segar di atap. Aku permisi dulu,” Smirnove pun keluar dari ruangan.

    Aku berniat untuk kembali duduk kalau saja Iris tidak menarik lengan bajuku. Mata berbinar yang cahayanya mungkin menyaingi Alpha Centauri yang kulihat dua hari yang lalu itu, muncul lagi.

    “Jowie, bagaimana kalau kita ke toko itu?” Tanya Iris, dengan nada yang lebih mirip seperti perintah. Kurasa aku tidak punya pilihan lain.

    Setelah bersabar menanti Iris memilih coklat batangan mana yang akan ia beli, aku membeli sebungkus wafer dari toko itu. Kemudian kami pergi ke atap. Di sana Iris memutuskan untuk memakan coklat batangan dengan kacang almond yang ia beli. Dia memakannya secepat seekor serigala yang kelaparan.

    “Enak sekali. Kau mau membelikan ini untukku lagi, Jowie?”

    “Boleh saja,” kataku sambil memandang Iris yang pipinya sedikit belepotan coklat, “Di mulutmu ada sisa-sisa coklat…”

    “Oh?” Iris mengelapi pipinya dengan lengan jaketnya, yang malah membuatnya semakin belepotan, “sudah hilang?”

    “Belum… Sini kubantu,” Mengambil sapu tangan di kantongku, kubersihkan pipi Iris hingga mengkilap. Dari kegiatan yang sangat tidak biasa itu, aku merasakan perasaan bahagia yang tidak bisa kugambarkan dengan baik. Mungkin seperti ini ya, rasanya memiliki adik perempuan…

    “Kenapa ekspresimu aneh seperti itu? Tersenyum-senyum, seperti melihat hamster…” tanya Iris. Nada suaranya sedikit terdengar jengkel. Apa ia tidak suka diamati?

    “Aneh? Kenapa aneh?”

    “…Pokoknya aneh,” Iris mengalihkan wajahnya dariku. Ia benar-benar kelihatan seperti anak kecil saat ini.

    “Hei, kalian berdua.”

    Tiba-tiba seseorang menghampiri kami. Rupanya lelaki bertopi yang tadi.

    “Oh, halo,” Iris menyapanya.

    “Aku berasumsi kalian sudah bertemu dengan Smirnove.”

    “Ya, tapi dia masih ada pekerjaan,” Jawabku.

    “Dia akan selesai ketika matahari terbenam. Smirnove memang tipe wanita pekerja keras,” Lelaki berkulit sawo matang ini, entah kenapa kedengaran bangga, “ngomong-ngomong, aku belum kenal nama kalian. Aku Morell Garfield.”

    “Aku Iris Elmore. Pemuda kurus itu Jowie.”

    Aku mengangkat tanganku, menyapa lelaki bernama Morell itu.

    “Hm… Kalau begitu, bocah-bocah, aku punya satu pesan untuk kalian.”

    Bukankah kami baru saja memperkenalkan diri? Pakai nama kami, dong…

    “Ini cuma instingku berbicara, tapi tidak ada salahnya kukatakan pada kalian,” Lelaki itu melanjutkan, “Malam ini, akan terjadi sesuatu di sini. Sesuatu yang…Buruk.”

    “Sesuatu yang buruk? Apa maksudmu?”

    Lelaki itu mengangkat bahunya, “Mana kutahu, kan sudah kubilang hanya insting,” aku bisa melihat senyum mengejek di wajahnya yang separuh tertutupi topi, “Aku mengatakan ini karena kalian sepertinya bukan orang yang berniat buruk. Kurasa lebih baik kalau kalian pulang.”

    “…Kami tidak bisa melakukan itu,” Iris menimpali dengan tenang.

    Lelaki itu kemudian tertawa, “Haha, kalian memang menarik. Kalau begitu, sampai jumpa,” Dengan tubuh masih gemetar karena tawa, lelaki itu meninggalkan kami.

    “Entah bagaimana, tapi aku merasakan hal yang sama,” Tiba-tiba Iris menyeletuk.

    “Eh? Serius?”

    “Ya… Tapi seperti kataku tadi, kita tidak punya pilihan lain selain menunggu karena kita harus bicara dengan Nona Smirnove.”

    “Kau benar…” Aku menghela nafas panjang. Sesuatu yang buruk… Aku harap bukan hal berbahaya.


    ***
     
  12. myalizarin Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 1, 2012
    Messages:
    31
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +101 / -0
    Bahasanya ringan dan mudah dimengerti. Plotnya bagus dan ceritanya juga oke. Adegan di akhir chapter bener2 bikin penasaran. Ayo lanjut :ogtop:
     
    • Thanks Thanks x 1
  13. kyotou_yasuri Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 24, 2010
    Messages:
    93
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +20 / -0
    @myalizarin

    Thanks gan :maaf:

    Lanjutan...

    Act 1, Chapter 4 : Hermes Serenade (Middle Part)

    Grandfather’s clock yang terletak di pojok ruangan Smirnove itu berdentang delapan kali, namun sang pemilik ruangan belum menunjukkan dirinya. Aku duduk di sofa kulit panjang, sendirian di ruangan ini karena Iris sedang pergi ke kamar kecil. Dia agak lama…

    Beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu terbuka, “Selamat malam, Tuan Oswald.”

    Smirnove melangkah masuk, yang anehnya membuat tubuhku berdiri tanpa komandoku.

    “Maaf kalau kau menunggu terlalu lama.”

    “Oh, tidak masalah. Ngomong-ngomong, tolong jangan panggil aku ‘Tuan Oswald’, entah kenapa panggilan itu terdengar sangat canggung. ‘Jowie’ saja cukup,” jawabku sambil tersenyum.

    Smirnove menyentuh bibirnya dengan telunjuk kanannya. Kemudian ia menjawab, “Kalau begitu panggil aku Smirnove.”

    “Eh?” Aku tidak menyangka jawaban seperti itu muncul, “Baiklah, tidak masalah… Smirnove.”

    “Baguslah kalau begitu, Jowie,” Smirnove berjalan melewatiku, ke arah sebuah kereta dorong kecil yang diatasnya terdapat teko dan beberapa cangkir, “Di mana Iris?”

    “Dia sedang di kamar kecil. Sudah agak lama… Apa yang sedang dia lakukan sih?”

    “Jowie, tidak baik berprasangka yang aneh-aneh terhadap seorang perempuan yang pergi ke kamar kecil. Tempat itu bisa dibilang seperti ‘kuil’ bagi kami. Aku harap kau mau lebih menghormati kebutuhan kami untuk pergi ke sana.”

    “Eh…?”

    “Mana jawabanmu?”

    “Y-yes, ma’am…”

    “Bagus,” Smirnove kembali menghadap kereta dorong kecilnya.

    Sambil duduk kembali, aku merasa seperti seorang siswa SD yang dimarahi oleh guru karena berbuat usil. Smirnove… Aku harus jaga mulut ketika berada di sekitarnya, atau aku akan mendapat resiko dihabisi secara verbal.

    “Jowie, kau lebih suka yang mana, earl grey atau lemon tea?”

    “Ah, kau tidak perlu repot-repot membuatkanku teh…”

    Smirnove berbalik dan menatapku. Tatapan yang seakan berkata, “Aku tidak akan menjawab begitu jika aku jadi kau.”

    “Ahaha… Kalau begitu, earl grey…”

    Tanpa menoleh ke arahku lagi, Smirnove dengan cekatan menyiapkan dua cangkir teh. Gerakannya dalam menuangkan air panas dan menyiapkan daun teh, tidak kalah rapi dan anggun dari seorang maid profesional. Setelah kulihat lagi, kereta dorong, teko dan cangkir-cangkir yang ada di sana kelihatan mewah, seperti sebuah perlengkapan dari keluarga kerajaan atau semacamnya.

    “Silakan,” kata Smirnove sambil meletakkan secangkir teh di depanku. Kemudian setelah meletakkan cangkir teh di sisi meja yang satu lagi, ia duduk di sebelahku.

    “Wow, cepat sekali… Dan nikmat!” kataku usai menyeruput teh buatan Smirnove.

    “Kebetulan aku suka membuat teh. Karena itu aku berusaha untuk mempelajari cara-cara untuk menyiapkan teh sebaik mungkin. Teh bagiku bukan sekedar minuman, tapi juga sebagai bagian dari ritual yang kulakukan sehari-hari.”

    Aku kagum mendengar penjelasan Smirnove, “Aku tidak menyangka minum teh bisa menjadi kegiatan yang begitu penting.”

    “Itu berarti kau belum pernah bertemu dengan orang Inggris.”

    “Eh…?”

    Aku tidak mengerti apa maksud Smirnove, sementara yang bersangkutan hanya diam menatapku tanpa berkedip.

    “…Itu tadi lelucon. Kau tahu kan, orang Inggris suka minum teh.”

    Aku tersenyum canggung, “Kurasa lebih baik kalau kau tidak membuat lelucon dengan wajah kaku seperti itu… Apalagi menjelaskan leluconnya.”

    Smirnove hanya memiringkan kepalanya setelah mendengar saranku, kemudian meneruskan kegiatan minum tehnya. Satu hal lain yang kupelajari tentang wanita ini, ia tidak begitu pintar membuat lelucon.

    Ketika aku akan ikut melanjutkan meminum tehku yang tersisa separuh cangkir, aku mendengar bunyi sangat keras dari lantai bawah. Bunyi itu, kelihatanya seperti…

    “…Jeritan,” kata Smirnove sambil berdiri. Kami berdua hanya diam hingga terdengar bunyi yang sama beberapa kali berturut-turut.

    “A-apa yang terjadi?”

    “’Mereka’ sudah sampai di tempat ini, ya? Kurasa mereka jauh lebih kompeten daripada dugaanku.”

    “Eh…?”

    Sementara aku dibuat bingung oleh kata-kata Smirnove, seseorang masuk ke dalam ruangan.

    “Oh! Bisa kulihat kau baik-baik saja. Bocah yang tadi juga ada di sini, rupanya.”

    “Morell. Kau sedikit mengejutkanku.”

    “Sorry, Smirnove. Keadaan darurat.”

    Rupanya lelaki tinggi yang tadi… Kalau tidak salah, namanya Morell Garfield?

    “Hei bocah, dimana Nona kecil yang bersamamu?”

    Karena dikuasai ketegangan, sedetik kemudian baru kusadari Morell berbicara kepadaku, “Oh? Ah, Iris… Dia sedang di kamar kecil—oh, tidak, Iris!” Spontan aku langsung berlari ke arah pintu, namun tangan besar Morell menghentikanku.

    “Kurasa pergi keluar bukan tindakan yang tepat.”

    “Tapi Iris masih…!”

    “Tenanglah, Jowie,” Smirnove memotong pembicaraan, “aku yakin kau tidak bisa mempercayai ini, tapi Iris bukan gadis biasa. Ia jauh lebih kuat daripada kelihatannya.”

    “Apa maksudmu…? Dia itu cuma anak berusia 12 tahun!”

    “Percayalah, dia bukan cuma anak berusia 12 tahun,” Jawab Smirnove kalem, yang entah bagaimana berhasil membuatku sedikit lebih tenang.

    “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang...?”

    “Kau lindungi Smirnove dan keluar dari sini,” Aku tidak mengharapkan jawaban, namun Morell mengatakannya begitu saja.

    “A-apa katamu?!”

    “Tenanglah bocah, Smirnove adalah target utama mereka. Yang lain akan dibunuh. Singkatnya, kalau mereka mendapatkan Smirnove kita kalah.”

    “A-aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa Smirnove diincar?”

    “Maaf Jowie, tapi aku tidak bisa menceritakannya sekarang,” kudengar Smirnove bicara di belakangku, “sekarang ini kau bisa memilih, diam di sini dan mati, atau melarikan diri.”

    Jantungku sepertinya berhenti beberapa detik setelah mendengar kata-kata Smirnove, “…Itu bukan pilihan.”

    “Bagus. Kalau begitu ayo kita ke atap. Kita akan turun dari tangga darurat.”

    “Tunggu dulu, bagaimana dengan Morell?” Tanyaku, menghentikan langkah Smirnove menuju tangga di ruangan itu.

    Morell melirik ke arahku dengan tersenyum, “Sudah kubilang, aku akan mengulur waktu. Aku bisa melarikan diri lewat jalan biasa, tenang saja. Aku tidak akan bisa melakukannya jika aku harus melindungimu dan Smirnove.”

    “Dia benar. Tenang saja, Morell mungkin sepuluh kali lipat lebih kuat daripada orang-orang itu,” Smirnove mendukung ide Morell.

    Mengacuhkan kepalaku yang rasanya seperti benang amburadul, aku mendengus marah, “Aargh, terserah kalian kalau begitu! Aku tidak mengerti apa yang terjadi, aku tidak mengerti kenapa sekumpulan orang menyerbu tempat ini… Tapi yang pasti aku tidak ingin mati begitu saja di sini!”

    “Itu baru semangat, bocah! Titip Smirnove, ya!” Morell melambaikan tangannya. Perasaanku saja atau ia terdengar gembira? Aku dan Smirnove pun mulai menaiki tangga menuju atap, tanpa menengok ke belakang lagi.

    Sesampainya di atap, aku menghela nafas lega ketika melihatnya kosong melompong. Aku dan Smirnove pun bergegas menuju tangga darurat. Namun baru beberapa langkah, Smirnove menghentikanku.

    “…Kita terlambat.”

    “Apa?”

    “Aku bisa merasakannya, Jowie. Dua orang berjalan menaiki tangga… Kurasa ‘orang’ bukan kata yang tepat… ‘monster’ lebih sesuai menggambarkan mereka.”

    Kemudian, terdengar langkah kaki dari tangga. Suara sepatu yang beradu dengan logam yang makin lama makin keras itu, terdengar begitu mencekam. Aku pun berdiri di depan Smirnove, dan mengambil belati yang selalu kubawa di kantong jaketku—belati kepercayaanku yang diberikan oleh ayahku. Setidaknya aku harus mencoba melindungi Smirnove…!

    “Aih, aih, lihat siapa yang ada di sini.”

    Suara itu lagi…! Suara yang penuh dengan hawa dingin yang menekan…!

    “Selamat malam, Juno Oswald. Selamat malam untukmu juga, Smirnove Chenykh,” Yang muncul dari tangga adalah Kamita Hildegrad. Aku cukup yakin, yang dibelakangnya adalah…

    “Neroid…”

    Seperti dugaanku, gadis berambut hitam itu muncul setelah kakaknya. Matanya terbelalak, sepertinya ia tidak menyangka melihatku di sini.

    “Lagi-lagi kau…!”

    “Itu kata-kataku, tahu!”

    “Kau kenal wanita itu, Jowie…?” Tanya Smirnove dari belakangku.

    “Yah, bisa dibilang begitu,” Jawabku sinis.

    “Kau tahu tentang reputasinya? Sebagai ‘The Black Lily’?”

    “Eh? The Black Lily?”

    “Neroid Lilybelle Hildegrad,” Smirnove mulai menjelaskan, “calon pemimpin berikutnya dari keluarga bangsawan Hildegrad, yang terkenal dengan ilmu pedangnya. Julukannya sebagai The Black Lily didapatnya karena warna rambut panjangnya dan pedangnya, Thanatos Cutlass, yang membantai siapapun yang menghalanginya.”

    “Apa…?” Aku sama sekali tidak menyangka Neroid adalah orang seperti itu, “A-apa yang dilakukan seorang putri bangsawan di tempat ini?”

    “Noblesse Oblige,” Kamita menjawab pertanyaanku, “Kau pernah dengar tentang itu, Tuan Oswald? Artinya kami dari orang-orang yang kelasnya lebih tinggi daripada kutu macam kalian, punya tanggung jawab untuk menjaga keteraturan masyarakat. Untuk itu, kami harus membunuh wanita di belakangmu itu… Keberadaannya sendiri adalah sebuah dosa besar! Alkimis harus dimusnahkan dari dunia ini!”

    “Alkimis…? Apa maksudnya?” Aku melirik ke arah Smirnove, yang tidak bicara sepatah katapun.

    “Nah, karena kau sudah tahu kenyataannya, maukah kau menyingkir dari situ dan membiarkan kami menyelesaikan tugas?” Kamita masih memasang seringainya yang mungkin bisa membekukan api dan meretakkan batu karang.

    “Kurasa itu bukan ide yang bagus… Aku menyingkir sekalipun, kalian pasti akan tetap membunuhku pada akhirnya, seperti yang kau lakukan pada orang lainnya di tempat ini!” Tersenyum kecut, aku menolak tawaran Kamita.

    Kamita tertawa terbahak-bahak,” Wahahaha! Berjalan juga otak di kepalamu itu! Kalau tahu semuanya jadi begini, aku akan membunuhmu kemarin!” Aku bisa merasakan hawa kegilaan dari tawa itu.

    Kamita akan melangkah maju, kalau saja Neroid tidak mendahuluinya.

    “Neroid… Apa-apaan kau?”

    “Aku yang melepaskan pemuda itu kemarin malam. Ia tanggung jawabku. Biar aku yang membunuhnya,” Saat itulah, Neroid menghunus pedang yang—baru kusadari—menggantung di pinggulnya. Pedang itu kemungkinan adalah pedang yang ia gunakan untuk membantai lelaki di gang kemarin. Sebuah pedang berwarna hitam pekat yang penuh dengan aura kematian dan darah.

    “Juno Oswald, kau harus berterima kasih atas kehormatan yang akan kuberikan padamu! Kau yang cuma orang rendahan, akan mati dibelah oleh pedang suci ini… Pedang suci yang sudah membunuh puluhan kriminal, Thanatos Cutlass. Aku, Neroid Lilybelle Hildegrad, menantangmu untuk duel!”

    “Eh...? D-duel? Aku tidak punya waktu untuk acara main-mainmu, Neroid!”

    “Berani-beraninya kau menghina kesucian duel antar kesatria!” Seru Neroid. Kontras dengan suara Kamita yang terasa dingin menusuk, suara Neroid begitu membara hingga bisa membakar apapun juga, “kalau kau berhasil mengalahkanku, maka kau dan wanita yang dibelakangmu itu akan kubiarkan pergi. Biar kulihat harga keadilanmu, Juno Oswald!”

    Aku menelan ludah. Hanya melihat sosok Neroid dan pedang itu saja, aku merasa mual. Hanya melihatnya sekali saja, aku tahu tidak ada gunanya melarikan diri. Kemanapun aku pergi, sosok hitam itu akan mengejarku dan memotongku hingga tak tersisa.

    “Jowie,” panggilan Smirnove menyadarkanku,”Melawannya dalam duel bukanlah ide yang bagus.”

    “…Memangnya kita punya pilihan lain?”

    Jelas, aku takut. Tapi aku merasa bisa mempercayai janji Neroid, sehingga kuputuskan untuk melangkah maju. Smirnove masih berusaha menghentikanku, namun kurasa otakku sudah memutuskan untuk tidak menghiraukannya sama sekali. Orang bilang kebodohan dan keberanian batasnya tipis… Bagiku keduanya sama.

    Jarakku dengan Neroid sekarang hanya beberapa meter. Dua langkah dan tebasan pedang yang kuat darinya akan memenggalku dengan mudah.

    “Aku bahagia kau mau menerima tantanganku, Juno Oswald. Bisa kulihat kau sudah membawa senjatamu sendiri, jadi aku tidak perlu repot memberimu pedang. Bersiaplah,” Neroid memasang kuda-kuda, membuatnya seakan tertutup dari serangan apapun juga, dari arah manapun juga.

    Aku sendiri, tidak peduli pada duel, keadilan, atau hal-hal bodoh yang cuma dipahami bangsawan. Aku hanya ingin bertahan hidup dan menolong Smirnove—!

    “Kita mulai!”

    Sedetik kemudian, Neroid sudah mempersempit jaraknya denganku. Sebuah kilatan warna hitam dengan cepat mengincar leherku—

    “Uagh!” Untunglah reflekku tidak kalah cepat. Belatiku dengan sukses menangkis pedang Neroid.

    Gadis itu kelihatan terkejut, “Belati kecil seperti itu bisa menahan seranganku…? Boleh juga kau, tapi ini belum apa-apa!”

    Kemudian datanglah gelombang serangan dari Neroid. Kanan, kiri, atas, bawah, tidak ada sisi yang terbebas dari kilatan hitam pedang milik The Black Lily. Bunyi gesekan logam yang terus kudengar tidak hanya sering mengalihkan perhatianku, namun juga membuat nyaliku semakin ciut, membuat otakku tanpa henti berkata, “Menghindar! Bertahan! Menghindar!”

    Setelah hantaman yang keras dari Neroid, aku melompat ke belakang.

    “Hah… Hah…”

    “Aku kagum pada kelincahanmu, tapi begitu saja sudah kehabisan nafas? Dasar laki-laki lemah.”

    Ejekan Neroid tidak berpengaruh padaku, karena aku tidak kelelahan. Tekanan dari Neroid-lah yang menguasaiku, menghancurkan semangatku. Aku rasa seorang petarung kelas tinggi tidak hanya bertarung secara fisik, namun juga secara mental.

    Aku cukup yakin aku takkan bisa menghadapi serangan bertubi-tubi Neroid untuk kedua kalinya. Jika ia melancarkan serangan itu lagi, aku pasti akan terpotong-potong seperti lobak. Aku harus memikirkan jalan lain…

    “Ah, benar juga!” Karena begitu gembiranya akan ide yang kudapatkan, aku menyuarakan pikiranku.

    “Hmm? Sepertinya kau baru mendapat ide ya? Lucu sekali, ide macam apapun yang kau miliki, takkan bisa menjatuhkanku.”

    Aku tidak mendengarkan Neroid sama sekali. Otakku terlalu sibuk memikirkan rencana yang akan jadi penentu nyawaku. Aku tidak punya pilihan lain…

    Neroid kelihatan terkejut ketika aku memasang kuda-kuda yang aneh—kuda-kuda yang mirip dengan seorang pelari yang akan melakukan sprint. Tidak aneh bagiku, karena kurang lebih, itulah yang akan kulakukan.

    “Aku rasa tekanan pertarungan membuatmu gila. Biar kuakhiri sekarang juga!” Neroid pun melesat maju ke arahku dengan mengacungkan pedang hitamnya. Jarakku dengannya hanya sekitar tiga meter… Kuharap itu cukup. Hidup atau mati, ini dia…!

    Manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Bagaimanapun juga, ada beberapa batas yang membuat mereka menjadi ‘manusia’. Tidak bisa terbang, tidak bisa bertahan hidup ketika terjatuh dari tempat tinggi, mati ketika kehabisan darah… Kemudian, manusia juga memiliki batas kecepatan. Pelari kelas olimpiade sekalipun tetap tidak bisa menyangi kecepatan beberapa unsur yang ada di dunia ini, seperti suara—dan tentunya, cahaya.

    Namun, hal itu tak berlaku untukku. Kuhempaskan kakiku dari tanah, mulai berlari. Saat itulah aku memasuki sebuah dimensi lain. Dimensi yang biasa kusebut, ‘kecepatan cahaya’.

    Segalanya bergerak begitu lambat—seperti dalam film yang diberi slow motion, aku bisa melihat gerakan Neroid frame demi frame, mengayunkan pedangnya dari kiri atas ke bawah. Aku menundukkan tubuhku serendah mungkin , dan melesat ke arahnya. Dalam sekejap, aku sudah berada di belakang Neroid. Ketika gadis itu menyadarinya, semua sudah terlambat.

    “E-eh!? Sejak kapan..!?”

    Bertumpu pada kaki kananku, aku berputar dan menendang perut Neroid, membuatnya mundur kebelakang. Kemudian setelah kaki kiriku mendarat, aku menerjang tubuh Neroid yang masih kehilangan keseimbangan karena tendanganku. Kecengkram dengan kuat bahunya dan kudorong hingga ia terjatuh menghantam lantai. Kuakhiri dengan mengarahkan belatiku ke lehernya yang ramping, memastikan semuanya sudah berakhir.

    “…Aku menang.”

    ***

    “U…gh… Kau, bagaimana mungkin…?!”

    “Aku sudah menang,” tanpa menghiraukan wajah kesakitan Neroid, aku berkata secukupnya, “lepaskan kami.”

    Neroid tidak membalasku. Ia masih kaku di lantai, menatapku seakan ia melihat seekor bigfoot. Kemudian, ia mengalihkan matanya dariku, “Kalau begitu, kenapa kau tidak membunuhku?”

    “Tidak ada gunanya. Aku melakukan ini bukan untuk menghilangkan nyawa orang, tapi menyelamatkannya.”

    “Haha… Ini adalah akhir yang tidak bisa diduga sama sekali,” Suara Kamita mengalihkan perhatianku, “Kau dengan sukses mempermalukan adikku, Tuan Oswald. Selamat,” katanya sambil bertepuk tangan.

    Aku berdiri dan menghadapnya, tanpa mengalihkan sebagian perhatianku ke Neroid yang masih terbaring di bawahku, “Menyingkirlah dari sana. Biarkan kami lewat.”

    Kamita tidak menjawabku. Ia masih tertawa sambil memegangi wajahnya.

    Kemudian perlahan, Neroid bangkit, “…Kurasa aku tidak punya pilihan lain. Kau mengalahkanku dengan adil, Juno Oswald. Biarkan dia lewat, Kamita,” entah kenapa, ia tidak mau bertatap muka denganku.

    “Jangan bercanda, Neroid! Kau akan melepaskan mereka!?” Tiba-tiba Kamita berteriak, dengan wajah yang dipenuhi amarah.

    “Janji adalah janji. Hasil duelnya jelas, kita akan kejar mereka lain waktu.”

    “Tidak… Aku tidak bisa terima…!” Kamita menggertakkan giginya, kemudian memasang seringai khasnya “Tinggal selangkah lagi dan aku bisa membunuh seorang alkimis… Aku akan mendapat pujian dari Ibu! Kau sekalipun Neroid, takkan menghentikanku! Kau sekalipun!” Kamita berkoar-koar, dan menghakhirnya dengan menghunus pedangnya.

    “Kakak… Apa kau berniat untuk membunuhku juga?” Neroid berkata dengan nada datar, tidak ada rasa terkejut sama sekali dari suaranya.

    “Kalau kau menghalangiku, kenapa tidak?”

    Entah bagaimana namun situasi sekarang menjadi aneh bukan main. Kenapa mereka berdua malah bertengkar satu sama lain?

    “Asal kau tahu saja, adik. Aku tidak pernah mengerti keputusan Ibu untuk menjadikan kita partner. Aku tidak pernah bisa mengerti kau yang kerap mengasihani orang-orang yang tidak lain adalah musuh kita. Aku tidak pernah mengerti kenapa kau masih berpegang teguh pada omong kosong seperti harga diri yang dipercaya oleh orang-orang bodoh di masa lalu.”

    Neroid masih tidak bergeming dari tempatnya berdiri, “Kau membuktikan kecemasanku.”

    “…Kecemasan apa?”

    “Bahwa keluarga Hildegrad sudah membusuk. Sudah karam, dan tak bisa diselamatkan.”

    Awalnya Kamita kelihatan terkejut mendengar kata-kata Neroid. Namun kemudian ia kembali tertawa, “Ahahahahaha! Kau melantur, Neroid! Aku rasa sebaiknya kau segera akhiri lelucon yang mulai terasa hambar ini dan menyingkir dari sana!”

    “Tidak,” Neroid mengambil pedangnya yang tergeletak di lantai dan menghunuskannya ke arah Kamita, “Kau yang menyingkir dari sana.”

    “Negosiasi tidak berjalan lancar yah? Kalau begitu, kita tentukan dengan cara yang lebih primitif!” Kamita melesat maju, diiringi dengan Neroid. Pertarungan antar saudara pun tak terelakkan.

    Aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku akan perubahan situasi ini.

    “A-apa sebaiknya kita lakukan sekarang?”

    Smirnove tidak menjawab. Perasaanku saja atau ia menikmati menonton pertarungan Neroid dan Kamita?

    Sementara aku masih tidak yakin dengan apa yang harus kulakukan, duel yang masih berlangsung di depanku ini semakin sengit. Kedua perempuan ini saling serang dengan buas, seakan mereka melupakan kenyataan bahwa mereka saudara sedarah. Mata mereka menggambarkan keteguhan yang tidak tergerakkan. Tidak ada rasa segan sedikitpun.

    “Aku bosan! Aku bosan! Aku bosan mendengarmu yang selalu mendapat pujian! Neroid inilah, Neroid itulah! Kau itu tidak lain cuma bocah manja!”

    “Kau selalu mengikutiku, menggangguku, mencampuri urusanku! Kau kira aku tidak muak dengan sosokmu yang selalu ada di belakangku!?”

    “Brengsek kau, Neroid!”

    “Sama-sama!”

    Diiringi dengan umpatan-umpatan, suara dua pedang yang bertabrakan terus bergaung di atap gedung itu.

    “Sepertinya pertarungan ini benar-benar didasari perasaan pribadi, sebuah konflik yang tersimpan dalam hati mereka masing-masing mungkin untuk waktu yang cukup lama. Singkatnya, persaingan antar saudara,” Smirnove tiba-tiba berkomentar.

    “Bukan saatnya jadi pengamat pertarungan! Apa tindakan kita selanjutnya, Smirnove? Apa kita lari ke tangga saja, sementara mereka sibuk sendiri?”

    “Bukan ide yang cemerlang. Aku cukup yakin sebagian dari perhatian Kamita Hildegrad masih terarah ke kita. Mungkin kau bisa melarikan diri, tapi diriku, aku tidak yakin,” Kata Smirnove menjatuhkan ideku. Mungkin itu memang benar, kita tidak bisa gegabah…

    Saat itulah, kusadari Neroid melangkah mudur mendekati kami, “Kalian larilah! Perhatian Kamita akan kualihkan!”

    “E-entahlah, aku rasa itu bukan ide yang bagus,” Jawabku menirukan Smirnove.

    “Kau ini ya!” Neroid kedengaran jengkel, “Sudah kuberi saran bagus dan kesempatan melarikan diri, malah seenaknya! Apa kau meragukan kemampuanku untuk mengalihkan perhatian Kamita bodoh itu?!”

    “Bukan itu! Smirnove tidak bisa bergerak cepat, ide itu terlalu untung-untungan!”

    “Kau memang tidak yakin pada kemampuanku, ya?!”

    Sekarang aku yang terdengar jengkel, “Tidak ada hubungannya dengan itu!”

    Sementara, Kamita mulai mendekat. Perlahan, tapi pasti. Ketika Neroid akan melangkah maju dan menghadapi Kamita lagi, terdengar suara keras dari bawah, diiringi dengan getaran.

    “A-agh?! Gempa… Di saat seperti ini… Wuah!?”

    Aku bisa melihat lantai di bawahku, Smirnove dan Neroid perlahan-lahan retak. Sedetik kemudian, lantai batu itu hancur, menjatuhkan kami bertiga ke lantai bawah.


    ***
     
  14. Adhyaksa Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Sep 13, 2009
    Messages:
    46
    Trophy Points:
    21
    Ratings:
    +11 / -0
    Banyak percakapan, bahasanya mudah dipahami. :haha:
    Jempol buat kyouto. Tapi tolong dibanyakin deskripsinya juga, visualisasi tempatnya aku rasa kurang. :peace:
     
    Last edited: Jun 21, 2012
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.