1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Origin Sejarah hari lahirnya kota jakarta

Discussion in 'History and Culture' started by rh0m4ir4m4, Jun 3, 2008.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. rh0m4ir4m4 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 29, 2008
    Messages:
    1,382
    Trophy Points:
    131
    Ratings:
    +2,026 / -0
    [​IMG]
    [​IMG]
    Oleh A.Heuken (Dalam rangka menyambut ultah Jakarta ke 470)
    Awal mula berdirinya beberapa kerajaan dan kota besar di bumi ini diliputi mitos. Kekosongan data sejarah diisi dengan cerita legendaris. Demikian halnya dengan Roma, yang katanya didirikan oleh Romulus dan Remus, kakak-beradik yang dibesarkan oleh seekor serigala. Demikian juga diceritakan tentang negeri Matahari Terbit yang dikaitkan dengan keturunan dewi matahari, yang sampai kini menghiasi bendera kebangsaan Jepang. Menimbulkan polemik
    Rupanya mitos semacam ini meliputi pula asal usul atau lahirnya Kota Jakarta, ibu kota tertua dari semua negara di Asia Tenggara, walaupun belum begitu tua jika dibandingkan dengan kota seperti Kyoto dan Thang-Long atau Hanoi umpamanya. Kalau demikian, atas dasar apa warga Jakarta merayakan hari jadinya yang ke-470 pada tahun ini? Sejarawan Abdurrachman Suryomomihardjo mengomentari keputusan Walikota Jakarta Sudiro (1953 - 1958) tentang hari jadi Jakarta sebagai "kemenangan Sudiro" yang berlandaskan "kemenangan Fatahillah" yang pastinya tidak kita ketahui. Pada tahun '50-an perdebatan tentang asal usul Jakarta memuncak dalam perang pena dua mahaguru, yaitu Dr. Soekanto dan Dr. Hussein Djajadiningrat. Polemik ini pun sudah menjadi sejarah yang dilupakan oleh sebagian besar penghuni Jakarta, yang dibuai terus dengan karangan-karangan resmi yang menampakkan asal usul ibu kota dengan begitu gamblang. Namun belum begitu lama Dr. Slametmulyana masih berpegang pada tesis bahwa nama Ja(ya)karta diturunkan dari nama adipatinya yang ketiga, yaitu Pangeran Jayawikarta, yang membela kotanya terhadap J.P. Coen, pendiri Batavia (1619), namun dikalahkan oleh saingannya dari Banten. Di balik berbagai teori yang kurang pasti ini apa yang pasti? Apa yang terbukti? Pertama, dokumen-dokumen tertua menyebutkan suatu permukiman di mulut Ciliwung bukan dengan nama Ja(ya)karta, melainkan Sunda Calapa. Dokumen tertua yang menyebut nama ini adalah Summa Oriental karangan Tome Pires, yang memuat laporan kunjungannya dari tahun 1512/15. Apakah Ma Huan, penulis laporan pelayaran armada Laksamana Zheng-Ho, yang kapal-kapalnya mengunjungi Pantai Ancol pada awal abad XV, mengenal Chia liu-pa (atau Calapa) belum dapat dipastikan kebenarannya. Direbut pasukan Cirebon Sebutan Sunda Calapa dipakai terus sampai pertengahan abad XVI (misalnya oleh A. Nunez, Lyro do pesos Ymdia, 1554) dan dimuat pada peta-peta Asia sampai awal abad XVII. Nama Ja(ya)karta untuk pertama kalinya disebutkan dalam suatu dokumen tertulis, yang berasal dari sekitar tahun 1553, yakni dalam karangan sejarawan Barros, yang berjudul Da Asia: Pulau Sunda adalah negeri yang di pedalaman lebih bergunung-gunung daripada Jawa dan mempunyai enam pelabuhan terkemuka, (Cimanuk) Chiamo di ujung pulau ini, Xacatara dengan nama lain (Karawang) Caravam, (Xacatara por outro nome Caravam), (Tangerang) Tangaram, (Cigede) Cheguide, (Pontang) Pontang dan (Banten) Bintam. Inilah tempat-tempat yang ramai lalu lintas akibat perniagaan di Jawa seperti pula di Malaka dan Sumatra .... (Barros, Da Asia decada IV, liv. 1, Cap XII, hlm. 77) . Jao de Barros (1496 - 1570) bekerja di Casa da India (1532 -1568) di Lisabon, tempat segala laporan dari Asia diterima dan diarsipkan. Meskipun karangannya tentang Asia Tenggara dari tahun 1553 menunjukkan keadaan yang sedikit lebih tua, kita tidak tahu persisnya dari tahun berapa. Karena itu nama Ja(ya)karta (dalam segala ejaannya) tidak terdokumentasi sebelum tahun 1550. Dokumen Indonesia pertama yang memakai sebutan "Jakarta" tidak mungkin berasal dari sebelum tahun 1602. Dokumen ini merupakan suatu "piagam" dari Banten, yang ditemukan van der Tuuk (1870). Meski demikian, nama Sunda Calapa tetap dipergunakan juga sampai akhir abad XVI, bahkan dalam berita pelayaran Belanda dari akhir abad itu. Walaupun tidak dapat diketahui dari sumber sezaman, kapan pelabuhan di mulut S. Ciliwung itu berganti nama dan mungkin juga penduduknya, bisa dipastikan dari berbagai sumber Portugis (misalnya J. de Barros, F.L. Castaheda, G. Correa), yaitu pada akhir tahun 1526 atau awal 1527. Sunda Calapa direbut dari kekuasaan kerajaan Hindu Sunda oleh pasukan Islam dari Cirebon. Awak kapal Portugis yang dipimpin D. de Coelho dan terdampar di Pantai Sunda Calapa dibunuh dan dipukul mundur oleh penguasa baru . Maka, 470 tahun yang lalu pasti terjadi perubahan besar di daerah yang sekarang disebut "Kota". Sunda Calapa (sampai 1526/27) maupun Jayakarta (1527 - 1619) terletak di sebelah selatan suatu garis yang dibentuk oleh rel kereta api dan jalan tol baru sedikit di sebelah utara Hotel Omni Batavia sekarang. Maka pasukan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati sebagai sekutu (atau bawahan?) Kesultanan Demak mendarat di pantai yang terbentang kurang lebih pada garis tersebut. Mungkin juga ia menyerang Sunda Calapa melewati daratan dari arah Marunda. Hal ini agak sulit, karena pada zaman itu daerah antara Marunda dan Kota masih penuh hutan lebat serta rawa-rawa yang banyak buayanya. Mitos, legenda, atau hanya cerita? Masalah siapa yang memimpin tentara koalisi Cirebon-Demak-Banten melawan raja Pajajaran belum terpecahkan dengan tuntas. Rupanya hal ini tidak mungkin terungkap, karena dokumen sejarah dari masa itu tidak ada, baik yang berbentuk tulisan maupun benda sejarah. Nilai sejarah cerita Purwaka Tjaruban Nagari, yang pengarangnya menyebut diri Pangeran Aria Tjarbon masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Naskah dari sekitar tahun 1720 ini telah beredar sejak awal abad XIX di luar lingkungan Keraton Cirebon. Belum ada edisi kritis dari naskah penting ini, apalagi mengenai kitab sumbernya, yang disebutkan pada halaman terakhir yakni naskah Negarakertabumi. Purwaka Tjaruban Nagari bukan dokumen dari zaman Jakarta didirikan, maka pengetahuan tentang sumbernya penting. Selain itu naskah ini penuh cerita ajaib dan bagian-bagian yang memperlihatkan kepentingan pihak Cirebon pada waktu itu. Atas dasar yang secara halus dapat disebut ketidakpastian itu dibangun suatu sejarah tentang tokoh "pendiri" Jakarta, yaitu Fatahillah. Keberadaan dan peran penting seseorang yang muncul dalam aneka sumber sejarah sebagai Tagaril, Fadilah Khan, Falatehan atau Fatahillah, tak dapat disangsikan. Namun identitas dan kegiatan tokoh dari Pasai (Sumatra Utara) itu belum jelas betul. Karangan dan seminar sejarawan Indonesia dan luar negeri masih tetap bergumul tentang siapakah Fatahillah, orang Gujarat keturunan Arab itu. Mengingat keadaan sumber-sumber sejarah yang sulit ditemukan, bahkan harus dikatakan hampir nihil, maka pada awal berdirinya Kota yang dinamai Jayakarta itu akan tetap diliputi kabut, sehingga mitos dengan leluasa dapat berkembang, dipelihara, bahkan diresmikan. Nasib ini memang bukan hanya khas Jakarta. Memang sejarah yang kritis kadang kala menyajikan kejadian historis sebagai peristiwa yang bercorak agak biasa, sedangkan mitos, legenda, dan cerita dengan leluasa dapat membakar imajinasi dan semangat. Tetapi ini bukan maksud sejarah yang ingin mengenal kenyataan dan menafsirkannya. Apakah menginjak abad XXI ini orang akan puas dengan mitos ataukah mereka ingin mengetahui kebenaran? Kapankah akan terbit sejarah Jakarta yang kritis? Apakah sudah waktunya? Sudah mungkinkah dengan mengingat nasib aneka buku kritis yang muncul akhir-akhir ini? Jakarta yang merayakan hari ulang tahun ke-470 sepantasnya memiliki kajian sejarahnya, yang realistis serta ilmiah. Walaupun masa awal dan sejarah berikutnya akan tampak agak biasa, sejarah seperti ini diperlukan untuk membangun suatu rasa memiliki warga kota pada pergantian abad ini yang tidak lama lagi akan berlangsung. Mitos dan legenda tetap berfungsi, namun tidak memadai sebagai landasan pembangunan masa depan suatu masyarakat yang peduli pada nasib kotanya dan peninggalan-peninggalan sejarahnya.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. raynz M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 10, 2008
    Messages:
    848
    Trophy Points:
    192
    Ratings:
    +14,910 / -0
    kk, saya tambahkan ya..


    Batavia tempo dulu

    Suatu hari pada tahun 1815, di depan kanal di kawasan Harmoni, seperangkat kunci dilemparkan oleh Raffles ke dalam kanal. Itulah tanda diresmikannya Harmonie Society, sebuah tempat dansa elite Belanda yang tertua di Asia dan juga terdapat perpustakaan Batavian Society of Arts and Sciences.

    Mengapa harus melempar kunci ?
    Pelemparan kunci merupakan simbil bahwa pintu Harmoni selalu terbuka bagi yang ingin mereguk khazanah seni dan pengetahuan.

    Tapi sangatlah disayangkan bahwa satu setengah abad kemudian di zaman Orde Baru - bangunan itu menjadi terbuka dalam artian yang sesungguhnya yaitu rata tanah dan menjelma menjadi pelataran parkir Istana Negara, taman dan juga lapangan tenis bagi Sekretariat Negara


    Memang mungkin latar belakang gedung tersebut tidaklah sekuat latar belakangnya Gedung Kebangkitan Nasional di Jl. Abdurachman Saleh ataupun Gedung Sumpah Pemuda di Jl. Kramat Raya. At least begitulah alasan salah satu menteri pada saat itu ketika ditanya mengenai mengapa gedung tersebut diratakan dengan tanah. Tapi tokh tak semua orang setuju dengan alasan tersebut.

    Salah seorang tokoh konservasi bangunan tua di Jakarta merasakan kekesalan yang memuncak saat mengetahui bahwa alasan pemerintah pada thn 1985 membongkar Gedung Harmoni Society karena dianggap bahwa gedung tersebut telah menghina bangsa Indonesia ;0

    Padahal menurutnya, Gedung tersebut merupakan salah satu saksi sejarah Batavia. Harmonie merupakan cikal bakal lembaga ilmiah tertua di Indonesia dengan perpustakaan nasionalnya dan juga museumnya.

    Dalam berbagai macam buku mengenai Batavia Tempoe Doeloe terlihat nyata bahaw kota Batavia ini pada dasarnya memiliki planologi yang terencana walaupun terdapat perbedaan planologi yang dibuat di Batavia antara Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) dan Herman Willem Daendels (1762-1818). Kedua penguasa ini membangun Batavia pada dasarwarsa yang berbeda.

    Pada 1619, Coen membangun daerah utara, yang di Jakarta masa kini kita sebut sebagai daerah KOTA yaitu Pelabuhan Pasar Ikan, Kalibesar, Glodok, Jln. Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Sementara itu Daendels pada tahun 1820 membangun daerah selatan Jakarta yang saat ini kita kenal sebagai Lapangan Banteng, Jln. Juanda, Jln. Veteran, Jl. Majapahit, Medan Merdeka dan Budi Kemuliaan, Pasar Baru, Pasar Senen, Matraman dan Kebon Sirih.

    Salah satu peninggalan bangunan tua yang amat sangat disayangkan adalah Hotel Des Indes yang pada era awal tahun 1970an dihancurkan dan kemudian di situ di bangun kompleks pertokoan Duta Merlin . Satu moment sejarah hilang, padahal di Hotel tersebut dulu, Sultan Hamengkubuwono IX menerima Keris Jaka Pintur dari Sultan Hamengkubuwono VIII sebagai tanda bahwa beliau adalah penerus tahta Kesultanan Yogyakarta berikutnya .., belum lagi dulu di Hotel Des Indes, hampir semua anggota Panitia Proklamasi Kemerdekaan diinapkan menjelang kemerdekaan RI.

    Ada bangunan yang sampai saat ini pun masih dipertahankan seperti contohnya Gedung Arsip Nasional di Jl. Hayam Wuruk, dulunya gedung tersebut merupakan rumah peristirahatan Gubernur Jenderal Reineir de Klerk (1710-1780), pada zamannya dulu, gedung tersebut dianggap unik karena menggunakan kaca patri, dan dindingnya memiliki hiasan pahatan dengan motif simbolis dan alegoris dari alkitab, yang dibuat dengan tingkat kecermatan begitu mendetail.

    Kalau anda sempat berjalan-jalan dan masuk ke dalam gedung tersebut, anda dapat merasakan aura kharisma Batavia jaman dulu yang dulu dikenal sebagai The Queen of the East.

    Dulunya pada masa Coen berkuasa, Batavia dikelilingi oleh benteng seperti layaknya keraton. Hal ini dilakukan untuk melindungi kota dari serangan-serangan yang tidak diinginkan. Namun pada masa Daendels berkuasa sekitar tahun 1811, benteng tersebut diruntuhkan.

    Beberapa bangunan di dalam benteng lama yang dibangun oleh Coen pada tahun 1619, masih dapat disaksikan hingga saat ini. Salah satu yang penting adalah Stadhuis (Balai Kota) yang sekarang lebih dikenal sebagai Musium Fatahilah (diresmikan pada tahun 1974). Ingatan kita terkadang pada masa satu titik hitam sejarah Batavia dimana pada tahun 1740, saat ketika 5,000 orang Tionghoa dibantai habis di lapangan depan halaman Stadhuis. Stadhuis sendiri dibangun selama 3 thn yaitu dari tahun 1707 - 1710. Pemandangan menarik dari halaman depan Stadhuis adalah ke gerbang-gerbang kota Amsterdam Port I dan II. Sayang sekali kedua gerbang tersebut pada era awal tahun 1950an dihancurkan karena terkena project pelebaran jalan .

    Sebenernya sih sejak tahun 1869, kehadiran kedua gerbang tersebut sudah menganggu lalu lintas trem (yang dulu merupakan alat transportasi di Batavia) dan juga delman . Patung-patung Mars dan Minerva yang dulu ada di halaman depan ikut raib seiring dengan masuknya Jepang ke Indonesia pada awal tahun 1942an.

    Satu hal lagi, penjara air yang dulu letaknya ada di dekat teras Musium Fatahilah, telah ditutup rata dan tidak ada bekas sama sekali , terkadang saya berpikir, kenapa hal itu dilakukan ? .. padahal penjara air tersebut merupakan salah satu saksi sejarah dimana dulu salah seorang pahlawan besar Indonesia, Untung Surapati pernah dimasukkan disitu. Dulunya penjara air adalah tempat penyiksaan yang paling dihindari, bayangkan saja didalamnya ditaruh berbagai jenis binatang air yang berbisa ataupun bisa melukai tubuh manusia ..

    Keragaman niaga dan jasa pada masa itu bisa dilihat sepanjang jalan-jalan Pintu Besar (Binnen Nieuwpoort Straat), kelancaran distribusinya dilayani oleh jaringan transportasi umum trem yang pada era 1869 masih bertenaga kuda kemudian meningkat diganti dengan tenaga uap pada tahun 1882 dan akhirnya memakai listrik pada masa awal 1900an. Mengantarkan orang ke wilayah Harmonie, Tanah Abang atau Meester Cornelis yang sekarang dikenal sebagai Jatinegara

    Pada masa awal 1873, seluruh saluran telah tersedia baik itu jaringan telpon, lampu gas dan air.

    Batavia dulu adalah seperti kota-kota kolonial Asia lainnya seperti Calcutta, Macau, Singapore, Malacca dan lainnya, yang mempunyai masa keemasan pada jamannya karena adanya jalinan beberapa budaya menjadi satu yaitu budaya Eropa, Cina, India, Arab, Melayu dan Jawa.

    Jika melihat gambaran Batavia Tempoe Doeloe (ada bukunya: Batavia in Nineteenth Century Photographs, dengan harga kurang lebih Rp. 600,000 ) ,kebanyakan orang akan melihat pada masa itulah masa keemasan Batavia terjadi.

    Jan Pieterszoon Coen pada 1619 membangun benteng VOC, benteng kota Oude Batavia inilah yang menjadi wilayah inti dari apa yang nantinya dikenal dengan nama downtown atau kota lama Jakarta.

    Kanal Molenvliet (sekarang adalah sungai yang membelah Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk) dibangun pada tahun 1648 oleh seorang Kapten Tionghoa bernama Phoa Bing Ham. Kanal itu menjadi penghubung antara Batavia lama dan baru. Rumah-rumah saudagar kaya banyak menghiasi sepanjang kanal tersebut. Beberapa diantaranya adalah Hotel Des Indes (sekarang komplek pertokoan Duta Merlin), Hotel Marine (yang sempat menjadi toko Eigen Hulp dan sekarang menjadi pintu gerbang gedung BTN), Hotel Ernst (diratakan dengan tanah pada thn 1922 dan sekarang menjadi Hotel Melati ).

    Sementara itu Batavia baru (Bovenstad) dikenal bernuansa Eropa tropikal pada saat itu adalah wilayah-wilayah sekitar Rikswijk (sekarang sekneg dan Istana Negara), Koningsplein (Monas), Weltevreden (Menteng dan Gondangdia) serta Waterloo Plein (Lapangan Banteng).

    Insitusi pemerintahan sempat dibangun di sekitar Waterloo Plain (Lapangan Banteng) dengan bentengnya yang terkenal yaitu Frederik Citadel (sekarang lokasi benteng tersebut telah menjadi Masjid Istiqlal).

    Satu-satunya bangunan artifak yang unik dan masih utuh serta sisa dari kejayaan Weltevreden adalah rumah milik pelukis Raden Saleh yang terletak di Jl. Cikini Raya. Kini rumah ini menjadi bagian utama dari Rumah Sakit Cikini.

    Satu lagi yang tersisa dari kejayaan masa lalu adalah bagian dari Tanah Abang sekarang yaitu Taman Prasasti. Taman Prasasti dulu merupakan bagian dari tata kota dan satu-satunya kuburan kota yang ada.

    Tanah Abang sendiri dulu masih merupakan satu pasar kecil dan kemudian diperluas. Perluasan pasar Tanah Abang sekarang memakai bekas lahan Juragan Besar Belanda yaitu Meneer Van Riebeek.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  4. blacksheep M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Nov 23, 2008
    Messages:
    4,594
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +25,113 / -0
    peta batavia 1897
    [​IMG]
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.