1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic The Observer

Discussion in 'Fiction' started by Miarzi, May 20, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Miarzi Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 19, 2010
    Messages:
    89
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +16 / -0
    “They believed on what they saw. I, believed on what I observed. It’s that simple.”

    Oke... Tanpa banyak ba-bi-bu, monggo dibaca.

    “Beraninya kau berkata demikian!” Bersamaan dengan teriakan itu, ia mendorong orang dihadapannya, Roni Syahruddin, menggoyahkan keseimbangannya dan membuatnya terbentur pada sisi tajam wastafel toilet guru. Roni mengaduh, lalu tergeletak tak sadarkan diri di hadapan orang itu.

    “Sial, apa yang kuperbuat?” Tanya orang yang mendorong Roni pada dirinya sendiri, sambil segera membungkuk di dekat Roni. Nafasnya mendadak tercekat saat melihat adanya darah segar menetes dari bagian belakang kepala Roni, sedikit demi sedikit. “Masih hidup,” lanjutnya setelah memeriksa nafas dan denyut nadi. Sekilas raut wajahnya terlihat lega, namun hal itu berubah sedetik kemudian.

    “Kalau dia selamat, kemudian melaporkanku...” Lalu ia melihat ke arah wastafel, sebilah pisau tajam tergeletak disana, seolah berkata ‘Gunakan aku!’ kepada orang itu. Kemudian dia memandang ke arah stall, pisau, dan sosok Roni yang tak berdaya dihadapannya. “Ya, dunia pasti akan jauh lebih baik tanpa orang ini.”

    ***​

    Hari masih berawan, saat murid-murid mulai berdatangan ke sekolah. Saat tengah semester seperti ini merupakan saat yang santai dan menjemukan. Tidak ada lagi pelajaran yang menarik bagiku, sebagian besar materi untuk nanti Ujian Akhir Semester telah kukuasai. Padahal hal tersebut merupakan tantangan (sekaligus hiburan) yang mampu menjagaku untuk tetap pergi ke sekolah. Setelah menghabiskan lima menit untuk mengumpulkan minatku bersekolah, aku pun turun dari kendaraan dinas ayahku yang dikhususkan untuk keperluanku. Supirku, Pak Jaka, yang telah hafal dengan kebiasaanku, selalu diam selama beberapa menit setiba kami di sekolah. Sehingga ia tidak berkata apa-apa saat aku membisu.

    “Makasih Pak, nanti tolong jemput seperti biasa ya,” ujarku seraya membawa sebuah tas punggung hitamku, tidak lupa aku memberikan senyum seperti biasa padanya. Seperti kata ayahku beberapa tahun lalu, tersenyumlah pada kondisi apapun, dan segala kesulitan akan terhindarkan.

    “Iya Mas Hafiz, saya setelah ini mengisi bahan bakar dan mengganti oli, setelah itu saya akan standby di parkiran seperti biasa.” Jawab supirku tersebut dengan senyum ramahnya yang khas ke arahku. Dari tatapan mata dan tingkah lakunya selama ini padaku, aku berani bertaruh bahwa ia menganggapku sebagai anak lelakinya. Dia telah berkeluarga dan pernah memiliki anak lelaki, yang bila masih hidup, sebaya denganku. Namun akibat sebuah musibah kebakaran, ia kehilangan segalanya. Ayahku yang kemudian menemukannya, dan berhasil mendapatkannya sebagai pengikut setia, yang selanjutnya menyerahkannya kepadaku.

    Berjalan melewati gerbang sekolah, aku memperhatikan sekeliling, dan ternyata tidak ada yang menarik. Maksudku, semuanya berlangsung normal, dan itu sama sekali tidak menarik. Sekali waktu ingin rasanya aku melakukan sedikit keonaran untuk melihat kepanikan dari orang sekitar, dan apabila aku tidak tertangkap karenanya, hal itu sangatlah membanggakan. Namun hal itu tidak pernah kulakukan. Analisis konsekuensi. Berbuat onar secara gegabah dan tanpa perencanaan akan meningkatkan kemungkinan aku tertangkap. Dan bila tertangkap, pasti akan dilaporkan ke orang tua, dan ayahku akan melemparkan (tidak secara harfiah) sebagian kecil uangnya (dengan jumlah yang kurasa cukup untuk mendirikan kembali sekolah ini) dan kasus tersebut pun menghilang. Dan yang lebih buruknya, ayah keparat itu tidak akan mengungkit masalah tersebut kepadaku.

    “Oy Fiz!” Teriak seorang murid lelaki dari pintu gerbang. Beberapa detik kemudian, dia sudah ada di depanku, dengan nafas terengah. Indra Setyawan namanya, temanku, sekelas dan sebangku, atau lebih tepatnya semeja. Kami tidak berbagi bangku, melainkan berbagi meja. Aku benar-benar ingin mengutuk orang yang menciptakan, dan terus memakai istilah ‘sebangku’ untuk dua orang pelajar yang duduk berdampingan di kelas.

    “Lu... Hhh... Udah... Bikin...” Ujar Indra tersengal. Dari raut mukanya aku mengetahui bahwa ia telah menunggu kedatanganku dari pagi, dan karena tidak mengetahui dari kapan tepatnya aku akan datang, ia menunggu di warung kecil yang terdapat di samping sekolah. Dan dia kelihatannya keasyikan mengobrol dengan gadis penjaga warung, sehingga baru menyadari kedatanganku saat aku telah melewati pintu gerbang. Apabila hal ini ditambah dengan fakta bahwa sebentar lagi bel pelajaran pertama akan berbunyi, dengan pelajaran matematika sebagai pelajaran pertama. Sudah pasti Indra, teman semejaku yang bodoh, atau mungkin polos, ini ingin menyalin tugas matematikaku.

    “Gue juga ga bikin tugas matematika, Ndra.” Jawabku sambil mengeryit kepadanya, memasang tampang ngeri, mengingat hukuman bagi yang tidak mengerjakan tugas adalah berhadapan dengan Pak Roni, Guru Matematika yang terkenal killer.

    “Wah, gila lu Fiz, belom ngerjain tapi nyantai gini,” ujarnya, mulai bisa mengatur nafasnya. Indra nampak seperti telah menggunakan seluruh kekuatannya untuk berlari mengejarku.

    “Ya gue sih dah pasrah, baru inget tadi pagi soal tugas itu. Mana gue bangun telat, gara-gara semalam begadang maen Monster Hunter,” Tukasku sambil nyengir tanpa dosa. Sebenarnya tidak demikian. Tugas itu telah kuselesaikan dengan baik, jauh sebelum ini. Tepatnya sepulang sekolah setelah tugas tersebut diberikan. Tugas berisikan 15 soal Matematika yang bahkan aku sempat tertidur karena bosan saat mengerjakannya. Namun aku memutuskan untuk tidak membawanya. Sepertinya akan lebih menarik apabila aku mendapat hukuman di kelas dan bertingkah disana. Toh beberapa hari ini aku telah menjadi ‘anak baik’, dan itu, sangat, sangat, sangat membosankan.

    “Tapi kalo lu mao ikhtiar lebih lanjut, coba dah, langsung ke kelas sekarang. Gue rasa kerjaan si Ratih lagi dikerubutin anak-anak kayak biasanya. Moga-moga aja kagak ancur kayak dulu.” Lanjutku memberikan saran kepada Indra. Detik ketika dia menyadari bahwa aku tidak mengerjakan tugas, rona wajahnya makin memucat seolah melihat Pak Roni dihadapannya yang siap memberikan hukuman. Wajah itu menjadi lebih cerah setelah mendengar, dan ingat, bahwa masih ada harapan untuk lolos dari hukuman tersebut. Seolah melupakan rasa sakit pada lututnya yang ia gunakan untuk lari secara mendadak barusan, Indra kembali melesat ke ruang kelas kami di lantai tiga. Dari kejauhan dapat kulihat ia menabrak satu-dua murid kelas lain, meminta maaf pada mereka dan melanjutkan larinya.

    Ya, bagi anak-anak sekelas, Ratih merupakan sosok pintar yang baik hati. Meskipun menurutku, kebaikan dia lebih cenderung ke arah kebodohan dalam kepandaian otaknya. Memang, dia masuk ke SMU Swasta Widya Karya dengan nilai tertinggi, dan sampai saat ini, di setiap ulangan maupun test, dia selalu mendapat nilai sempurna. Dan kebaikannya pada teman merupakan nilai tersendiri. Pernah suatu kali, kertas tugasnya hancur berantakan karena dipinjam oleh murid-murid yang ingin menyalinnya. Alhasil, dia mendapat hukuman. Tragis. Murid-murid yang memanfaatkan kecerdasannya itu telah membuatnya mendapat hukuman, namun dia tetap menolong mereka. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ada di dalam otaknya.

    Aku pun menghela nafas dan meneruskan langkah menuju kelas, kuperhatikan jam tangan, kira-kira lima menit sebelum bel pelajaran pertama berkumandang. Aku tersenyum sendiri, membayangkan perjuangan Indra dalam menyalin 15 soal tugas matematika. Bagaimanapun, dia tidak akan sempat menyalin seluruh jawaban, kecuali kalau dia memutuskan untuk hanya menuliskan jawaban, tanpa prosesnya. Dan hal itu, akan semakin menambah alasan bagi Pak Roni untuk menghukumnya.

    Beberapa meter menjelang pintu kelas X – 4, kelasku, aku merasakan ada seseorang, setengah berlari, menuju arah yang sama denganku. Saat hendak menengok, Rama Galuh Putra, seorang yang dikenal sebagai berandal kelas, menabrak pundakku, dan berlalu begitu saja tanpa menoleh. Raut wajahnya saat kuperhatikan sekilas tadi, merupakan ekspresi marah, luar biasa marah, namun secara samar aku merasakan adanya perasaan cemas bercampur di ekspresinya tersebut. Menarik, pikirku. Bergegas, aku menuju ke kelas.

    “SATYA!!” Suara Rama membahana ke seluruh penjuru kelas. Berhasil membuat semua murid yang tengah bercanda serentak terhenti dan menjadi hening, dan memandang ke arah Rama, dan kemudian ke arah Satya.

    Satya Zulkarnain, seorang murid lelaki dengan tubuh yang cukup tinggi dan postur tubuh kekar, yang sedang bercandan dengan kedua temannya, nampak memucat saat menyadari dirinya dipanggil oleh Rama. Rama, mengikuti pandangan murid sekelas, langsung menemukan posisi Satya, dan menghampirinya. Segera ia mecengkram dasi abu-abu berlambang SMU Swasta Widya Karya yang dikenakan oleh Satya, dan mengangkat tubuh besar itu ke arah dinding di belakang Satya.

    “Kemana lu kemarin sore, hah?!” Tanya Rama dengan tatapan yang seolah hendak mencabut nyawa korbannya. Satya, dengan tubuh kekar seperti itu, hanya gemetar dengan wajah yang amat pucat.

    “Bukan gitu caranya Sat...” Kata Rama sambil menggeleng, dia sedikit melonggarkan cengkramannya. Satya sedikit terlihat lega dan hendak menghembuskan nafas lega. Namun pada detik itu pula, tinju Rama melayang hanya beberapa mili di samping wajahnya, menghantam tembok dengan suara yang menggema seolah menggetarkan seluruh dinding kelas.

    “Jawab, atau yang selanjutnya...” Ancam Rama menggantung. Seisi kelas, termasuk Satya, sangat tahu apa lanjutan dari ancamannya tersebut.

    “D, Dar, Dari Bang Pendi Ram...” Jawab Satya mencicit, bibirnya tampak semakin memucat. Ya, anak ini hanya besar tubuh, namun sangat pengecut. Senyumku yang hendak mengembang sebisa mungkin kutahan. Aku tidak ingin terlihat seperti penjahat yang tersenyum ketika melihat teman sekelasnya diancam oleh preman, yang bagaimanapun juga, teman sekelasku.

    “Di awal tahun pelajaran beberapa bulan lalu, gue dah bilang ke semua anak di kelas ini, termasuk elu, banci! Tongkrongan Bang Pendi, terlarang buat anak-anak lemah macem lu. Hari ini, gue cuma ingetin lu doang.” Kata Rama dengan penekanan pada kata ‘banci’. Kemudian Rama pun melepaskan Satya, yang hanya mampu berdiri dengan wajah pucat, ia seolah tidak berani berkata ataupun bergerak, bahkan bernafas sekalipun.

    Rama membalikkan badan dan berjalan menuju pintu kelas. Ketakutan, khawatir, cemas. Tiga emosi itu nampak jelas pada setiap pasang mata anak-anak sekelas. Semua, kecuali satu anak. Andre Wisnu, anak yang hanya berjarak sejengkal dari peristiwa tersebut hanya tersenyum seolah mengetahui sesuatu. Dan tadi, saat Rama berbalik dari Satya, nampaknya ia sempat memandang Andre selama sedetik, mungkin kurang. Namun itu cukup untuk mengindikasikan bahwa Andre mengetahui sesuatu tentang Rama, dan tentang ancamannya pada Satya barusan.

    Rama berjalan dengan angkuh ke arahku, dan mendadak berhenti. Ia memandang ke arahku dengan penuh kebencian, setidaknya itulah yang kurasakan pada awalnya. Lalu akupun tersadar, bahwa bukanlah aku target kebenciannya, melainkan sosok di belakangku, Pak Roni. Ancaman Rama pada Satya barusan, rupanya berhasil membuat kami tidak menyadari bel pelajaran pertama telah berbunyi. Dan matematika merupakan pelajaran pertama hari ini.

    Secepat kilat aku segera menyingkir dari sana. Sudah merupakan rahasia umum, bahwa kapanpun Pak Roni melihat Rama, bahkan saat Rama tidak melakukan apapun, Pak Roni pasti menemukan kesalahannya dan membesar-besarkannya. Ya, mereka seperti anjing dan kucing yang tidak pernah akur. Dan berada diantara mereka, bukanlah pilihan yang bagus. Sesampainya aku di tempat dudukku, aku tersenyum sekilas pada Indra, teman semejaku, kemudian kami sama-sama melihat ke arah Pak Roni dan Rama.

    “Mau kemana, Rama?” Tanya Pak Roni, tajam. Aku yakin, seandainya murid biasa yang ditanya seperti itu, mereka akan menunduk, menyentuhkan dagu mereka ke dada.

    “Kemana aja asal bukan disini, Pak Wakasek,” sahut Rama ketus, sambil balas menatap tajam ke arah Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan tersebut.

    “Oh, sepertinya kamu berbuat sesuatu pagi ini,” ujar Pak Roni seraya melihat ke arah Satya, yang masih nampak pucat dengan mata memerah seperti hendak menangis, sedang berusaha untuk berjalan ke arah tempat duduknya. “Apa yang barusan kau perbuat? Hah? Bikin onar lagi? Dasar berandalan tidak tahu diri!?” Sembur Pak Roni kepada Rama yang hanya menatapnya dengan penuh kebencian. Ya, kebencian sejati, yang menyala-nyala, dan tanpa pengendalian diri yang baik, mustahil Rama tidak melayangkan pukulannya kepada sosok dihadapannya itu.

    “Apa-apaan mata itu?” Tanya Pak Roni. “Mau ke Ruang BP lagi hari ini? Kamu mau Bapak panggil lagi kedua orang tua miskin kamu itu ke sekolah? Hah?”

    “Cih,” Rama pun mengalihkan wajah dan tampak berpikir. Aku mau tidak mau mengakuinya, bahkan berandalan sepertinya pun, memiliki hati untuk tidak menyulitkan orang tuanya. Kemudian Rama berbalik dan melangkah ke arah bangkunya, di deretan belakang, di sebelah kanan Andre, anak yang mestinya biasa-biasa saja bila dilihat dari nilai-nilai pelajarannya selama ini. Namun bagaimanapun, senyum Andre tadi benar-benar membuatku penasaran. Apa yang dia ketahui? Pikirku.

    ***​

    Pertunjukan selesai secepat yang kuperkirakan. Aku berusaha menahan tawa, melihat sandiwara dari Rama yang dia tunjukkan barusan, dari jarak sedekat ini. Sebagian besar murid, atau tepatnya seisi kelas kecuali aku, sangat ketakutan melihat ancaman Rama ke Satya barusan. Aku menatap sekilas pada Rama, lalu melirik ke arah jam dinding yang terpasang di samping papan tulis. Sepertinya hanya aku yang menyadari bahwa bel tanda pelajaran pertama telah berbunyi saat Rama memukulkan tangannya tadi. Ya, Rama telah melakukan hal bodoh. Ia mengetahui hari apa ini, dan jelas mengetahui siapa yang mengisi jam pelajaran pertama. Dan seperti biasa, sesuai dugaanku, Rama tidak cukup cepat untuk keluar kelas. Berhadapan dengan Pak Roni, musuh bebuyutannya kalau boleh kukatakan, bagai anjing dan kucing. Berdebat tanpa dapat aku dengar dengan jelas apa yang mereka katakan, namun pada akhirnya Rama berbalik dan menuju ke arah bangkunya. Duduk manis.

    Selanjutnya, sungguh membosankan. Pak Roni memulai pelajarannya seperti biasa. Seperti biasa disini maksudnya, menanyakan apakah semua tugas sudah selesai dikerjakan. Bersyukurlah semua yang telah menyelesaikan tugas, sebab hukuman bagi yang belum selesai, tidaklah menyenangkan. Mereka diharuskan mengikuti pelajaran dengan cara berdiri di depan kelas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Pak Roni. Dan bagi yang tidak sanggup menjawab akan diwajibkan untuk mengerjakan tugas tambahan dengan jumlah yang sangat banyak, untuk dikumpulkan pada pertemuan berikutnya.Namun, ada hal yang cukup mengejutkan, dan menurutku, hal yang cukup istimewa, rupanya Rama telah menyelesaikan tugasnya. Bahkan Pak Roni telah memeriksa tugas milik Rama hingga 3 kali, untuk mencari-cari cela yang bisa dijadikan alasan untuk menghukumnya. Namun pencariannya sia-sia, hal ini membuatnya kesal, dan melampiaskannya dengan menanyakan soal-soal yang sangat sulit pada murid-murid yang ada di depan kelas. Dan tentu saja, tidak ada satupun dari mereka yang dapat menjawabnya.

    Detik-detik berlalu begitu lambat. Semua rumus dan segala hal yang diajarkan Pak Roni, telah kukuasai sejak kelas IX. Sehingga aku merasa tidak perlu memperhatikan apa yang diajarkannya. Aku pun menyibukkan diriku dengan melihat deretan awan dari jendela di sebelah kiriku. Merasakan kebosanan yang teramat sangat. Dan meskipun tahu bahwa Pak Roni melihat kearahku, aku tetap cuek dan tetap memandang ke arah luar. Benar saja, beberapa detik kemudian suaranya menggelegar di kelas.

    ”Andre!!” hardik Pak Roni, terlihat gusar karena aku tidak memperhatikan pelajaran. Aku tidak menjawab, hanya menoleh ke arahnya dengan ekspresi yang datar.

    ”Kerjakan soal ini!” Perintahnya sambil menuliskan sebuah soal, yang sebenarnya, bukan merupakan soal dari materi yang tengah ia ajarkan. Ya, Pak Roni menuliskan soal dari salah satu halaman soal dari bab paling akhir. Salah satu soal yang pernah kukerjakan saat senggang beberapa minggu lalu. Aku melirik ke arah jam dinding, kemudian menatap soal di papan tulis. Perkiraanku, untuk mengerjakan soal ini menggunakan metode biasa akan membutuhkan waktu sekitar tiga menit, dan saat ini lima menit menjelang bel pergantian pelajaran berbunyi. Aku berdiri, melangkah lambat ke arah papan tulis, sambil tetap mengerjakan soal tersebut dalam otakku. Tentu saja dengan menggunakan rumus yang jauh lebih singkat yang berhasil kutemukan saat mengerjakannya waktu itu. Saat aku sampai dihadapan Pak Roni, jawaban soal tersebut berhasil kudapat. Sangat mudah.

    “Ayo lekas kerjakan, kamu kan sangat ‘pandai’ sehingga tidak perlu memperhatikan Bapak, jadi soal ini pasti mudah untukmu kan?” Tanya Pak Roni dengan senang, menekankan kata ‘pandai’ dan berharap aku menyerah dan meminta maaf kepadanya. Yah, setidaknya ia benar tentang satu hal. Lagipula, tidak ada salahnya memberi sedikit pelajaran kepada orang yang tidak pantas kuanggap sebagai guru ini. Aku mengambil spidol dari tempatnya yang terletak di sebelah kiri papan tulis, dan segera menuliskan jawabannya, tanpa menggunakan cara, rumus, atau tetek bengek lainnya. Lalu berbalik, dan menyerahkan spidol kembali pada Pak Roni.

    ”Apa-apaan itu?” Tanya Pak Roni dengan nada marah, tanpa menerima spidol yang kuserahkan.

    ”Jawaban dari soal yang Bapak berikan,” jawabku datar, sambil tetap menyodorkan spidol ke arahnya.

    ”Darimana kamu dapat segitu?” Tanya Pak Roni lagi, dengan nada yang semakin naik, marah.

    ”Menghitung dengan rumus, menurut Bapak bagaimana lagi?” Aku bertanya balik dengan tidak sabar. ”Apa saya masih belum boleh duduk Pak?” tanyaku lagi, kali ini menatap matanya, menuntut untuk diperbolehkan duduk.

    ”Buktikan kalau memang jawabanmu itu benar dengan rumus, maka kamu boleh duduk kembali.” Jawab Pak Roni menantang.

    ”Kenapa bukan Bapak saja yang membuktikannya? Bukankah memang Bapak belum mengajarkan bagian ini? Sebaiknya Bapak bertanggung jawab akan apa yang Bapak ajarkan dan bertanya sesuai apa yang Bapak ajarkan,” Tantangku balik. ”Silahkan Bapak periksa jawaban tersebut benar atau tidak, bila terbukti salah, saya bersedia menerima hukuman apapun yang nantinya Bapak berikan.” Lanjutku, tanpa melepaskan tatapanku padanya, dan menaruh spidol di atas meja guru, dihadapannya, seraya kembali ke tempat dudukku. Dari tempat duduk, aku dapat melihat Pak Roni berupaya secepat mungkin menghitung soal yang ia berikan sendiri kepadaku. Bodoh, seseorang seharusnya tidak memberikan pertanyaan yang belum ia ketahui jawabannya sebagai bahan hukuman, pikirku.

    Tiga menit kemudian, tepat sesuai perkiraanku, dan syukurlah guru piket hari ini tidak terlambat menekan bel, bel pergantian pelajaran pun berbunyi. Pak Roni nampak baru menyelesaikan soal yang tadi ia berikan kepadaku, ia pun membereskan meja tanpa berkata sepatah kata pun pada murid-murid yang menanti jawaban dari Pak Roni, mengenai benar tidaknya jawabanku. Melihat Pak Roni membereskan meja, Rama berdiri, membawa tasnya, dan bergegas ingin keluar dari ruang kelas.

    ”Hei! Mau kemana kamu?” Tanya Pak Roni kasar, saat melihat Rama melintasinya. Jelas terlihat Pak Roni hendak melampiaskan rasa kesalnya kepada seseorang, dan Rama menjadi targetnya.

    Rama hanya menengok, dan mendengus kesal. Dengan enggan menjawab, ”Toilet Pak.”

    ”Ke toilet bawa tas ya? Jangan bilang alasan mau ganti baju disana. Melihat tas tipis tanpa isi seperti itu, Bapak ragu kalau kamu membawa baju olahraga dari rumah,” kata Pak Roni sambil mendekati Rama, dengan menenteng buku dan lembar-lembar tugas para murid yang tadi dikumpulkan. ”Kamu mau membolos lagi kan?” Lanjut Pak Roni dengan nada menuduh.

    ”Tidak Pak, saya hanya ingin mengambil baju olahraga yang tertinggal di rumah.” Jawab Rama segera, nampak jelas ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan kekerasan pada Pak Roni yang saat ini hanya berjarak kurang dari semeter darinya. Namun jawaban yang diberikannya justru membuat senang lawan bicaranya tersebut.

    ”Hah?! Tidak membawa baju olahraga? Itu pelanggaran terhadap peraturan sekolah! Sekarang, ikut saya ke ruang BP!” Sahut Pak Roni dengan senang, sambil mendorong Rama untuk mengikutinya keluar kelas. Rama yang tidak dapat berdalih, dengan enggan mengikutinya dari belakang, menuju ruang BP yang terletak di lantai dua, bersebelahan dengan ruang Tata Usaha.

    Bersamaan dengan perginya dua orang itu, kelas berubah menjadi ramai kembali. Para murid perempuan yang tersisa bergegas menuju ruang ganti. Sedangkan yang laki-laki, bersantai-santai, mengganti baju mereka sambil membicarakan mengenai Rama dan Pak Roni.

    “Ngomong-ngomong Ndre, itu tadi jawaban lu dapet darimana? Kok bisa bener sih? Lu kan gak nghitung apa-apa tadi?” Tanya Indra, salah satu teman sekelasku dengan penasaran.

    “Gue ngitung kok,” Jawabku datar sambil mengganti kemejaku dengan seragam olahraga yang sudah siap di tasku. Aku tidak terlalu mengharapkan Indra, maupun yang lainnya percaya bahwa aku menghitung soal matematika tadi dengan waktu sesingkat itu.

    Sambil tetap berganti pakaian, Indra bertanya lagi, “Seriusan lu? Itu soal kan susah banget. Kita semua lihat sendiri Pak Roni sampe keringetan gitu ngerjain itu soal.”

    Untunglah aku sudah mempersiapkan untuk hal seperti ini, “Haha. Becanda kok. Gak mungkin lah gue ngitung soal kayak gitu di luar kepala,” Jawabku sambil mengambil buku matematika milikku. “Lihat nih, gue beli buku di tukang loak, dapet yang udah ada jawabannya,” sambungku, kemudian melemparkan buku matematikaku ke Indra, yang dengan susah payah menangkapnya.

    “Wah, licik lu, gak bilang-bilang punya harta karun.” Ujar Indra sambil membolak-balik buku matematika milikku di mejanya, yang dalam waktu sekejap sudah disesaki oleh murid lain yang juga ingin melihat buku tersebut. Tidak, aku tidak membelinya dari tukang loak manapun, namun dari toko buku. Dan aku sendiri yang telah menyelesaikan seluruh soal-soal dalam buku tersebut, pada minggu kedua awal semester ini. Bukan pekerjaan yang sulit, bahkan lebih cenderung membosankan. Namun aku harus menyiapkannya untuk saat seperti ini.

    Aku yang telah selesai berganti pakaian, segera menuju keluar kelas. Namun sebelum melangkahkan kaki keluar, aku teringat sesuatu, “Ntar tolong balikin ke meja gue ya, buku matematikanya. Kalo lu mau fotokopi dulu, terserah. Asal dibalikin aja.” Kemudian dengan santai aku berjalan menuju lapangan.

    ***​

    Selain Rama, baru kali ini aku melihat ada yang berani menantang Pak Roni seperti itu. Apakah ini berarti penantianku akan sesuatu yang menarik baru saja berakhir? Ya, Andre Wisnu, seorang murid yang selalu menjaga jarak, dan berpenampilan normal. Tidak ada yang mencolok ataupun menjadi ciri khas darinya, selain kacamata yang selalu ia pakai. Berusia kira-kira sama dengan teman sekelas yang lain, berambut hitam legam dengan belah pinggir yang agak berantakan. Postur tubuh normal, cenderung kurus. Seharusnya, tidak ada yang menarik darinya.

    Namun pertunjukan barusan menepis penilaianku padanya. Bagaimana mungkin ia menyelesaikan soal tersebut hanya dalam waktu kurang dari semenit, tanpa kalkulator maupun ********** apapun. Jenius! Aku menemukan orang jenius! Lebih jenius daripada diriku. Ya, bahkan aku baru menyelesaikan setengah dari rumus yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal itu ketika ia selesai menuliskan jawabannya. Dan saat kulanjutkan, jawabannya tepat. Aku harus menyapanya dan menjadi sahabatnya. Aku sangat ingin mengetahui dunia yang dilihatnya.

    Setidaknya, begitulah pikirku sampai kemudian, beberapa detik yang lalu, ia menguburkan harapanku dalam-dalam. Anak kurang ajar itu ternyata mendapatkan jawaban dari buku yang ia beli. Aargh! Mengapa harapan itu hanya muncul sekilas? Ingin ku berteriak dan memakinya saat ia tadi melemparkan buku itu pada Indra, dan kemudian sambil keluar kelas, berkata dengan entengnya agar buku ini jangan sampai hilang. Harapanku yang telah kau hilangkan!!! Teriakku dalam hati. Akupun melanjutkan berganti pakaian sambil menelan kekecewaan yang sangat. Aku seorang diri, lagi.

    ***​

    mungkin ada yang sedikit bingung ketika membaca. Jadi, di cerita ini, saya berusaha memasukkan dua buah PoV first person, milik Andre Wisnu dan Hafiz.

    Mohon kritik dan sarannya ya. Penulis masih dalam tahap belajar yang akan membutuhkan banyak pelajaran. Thanks buat yang berkenan membaca :ogsembah:
     
    • Thanks Thanks x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    hmm, ceritanya menarik, tentang 2 anak jenius, yang satu jeniusnya cuman setengahnya yang lain...

    tapi inti ceritanya, apakah akan jadi cerita detektif gitu?
     
  4. Miarzi Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 19, 2010
    Messages:
    89
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +16 / -0
    ho oh... rencananya sih gitu... cuma mau menghadirkan cerita detektif dengan nuansa yang berbeda dengan cerita yang lain. tunggu kelanjutannya aja :D
     
  5. Miarzi Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 19, 2010
    Messages:
    89
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +16 / -0
    Okeh... Bagian dua meluncur :ogngacir:

    Sesampai di lapangan, baru beberapa murid perempuan yang telah selesai berganti pakaian. Kurang dari semenit kemudian, para murid laki-laki menuruni tangga, dan berkumpul di lapangan. Aku melihat Indra menghampiriku, setengah berlari.

    “Ndre, buku lu gue pinjem dulu ya. Mau fotokopi, sekalian buat anak-anak yang lain. Besok atau lusa dah gue balikin,” katanya saat sampai di dekatku.

    “Iya, tapi kalau bisa besok aja. Takut kalau kelamaan lu lupa sama buku gue terus lu ilangin. Gue yang mati kalau gitu,” ujarku setengah bercanda. Menjaga jarak, hal paling mendasar yang kupelajari saat SD dulu. Terlalu menyendiri akan menarik perhatian, namun terlalu akrab dengan orang-orang, tentu akan mendapat perhatian lebih banyak lagi.

    Beberapa menit kemudian seorang pria muda, mengenakan kaos biru polos, menempel ketat pada tubuhnya yang berisi, celana training hitam panjang, dan sepatu olahraga bermerk berwarna abu-abu, berjalan bergegas dari ruang guru, ke arah kerumunan murid-murid yang ada di lapangan. Pak Izazhi namanya, seorang guru muda, berusia sekitar 26 tahun, baru menikah beberapa bulan lalu. Dengan rambut cepak model tentara, tubuh tegap, wajah yang cukup tampan dan pembawaannya yang tegas dan bersemangat, ia diam-diam banyak diidolakan oleh murid-murid perempuan sekolah ini. Dan mereka nampak tidak menyerah meskipun mengetahui Pak Izazhi baru saja menikah. Pak Izazhi meniup peluit hijau yang selalu menggantung di lehernya saat mengajar. Murid-murid segera berkumpul dan berbaris, dan seperti biasa, Pak Izazhi ingin memastikan semua murid sudah berkumpul.

    ”Ratih!” Panggilnya kepada Ratih. Karena memang Ratih merupakan ketua kelas, yang menjadikannya berkewajiban atas segala sesuatu yang berkaitan dengan kelasnya.

    ”Iya Pak,” jawab Ratih, sambil maju ke depan. Dengan tatapan penuh tanda tanya menghampiri Pak Izazhi.

    ”Buku absensi murid, dimana?” Tanya Pak Izazhi kepada Ratih, sambil berusaha menghitung jumlah murid yang berbaris di hadapannya.

    ”Hm.. Saya tidak tahu Pak,” jawab Ratih sambil berusaha mengingat dimana letak buku absensi murid. Sebab biasanya memang Ratih, sebagai ketua kelas, yang membawanya ke bawah, kepada Pak Izazhi, dari meja guru di ruang kelas. Kemudian ia tiba-tiba teringat, ”Ah, iya Pak! Tadi sepertinya absensi muridnya dibawa oleh Pak Roni. Mungkin sekarang Beliau di ruang Guru.”

    Raut wajah Pak Izazhi, menegang, seperti menahan marah yang amat sangat, saat mendengar nama Pak Roni disebut. Dia memejamkan matanya, seperti berusaha mengendalikan dirinya, sambil mengepalkan tangannya dengan amat kuat. Dan tiba-tiba darah menetes dari sela-sela kepalan tangan kanannya. Beberapa murid yang melihatnya langsung terkesiap. Dan detik berikutnya, barisan para murid bubar, berkerumun ingin melihat apa yang membuat murid-murid di barisan depan terkejut sedemikian rupa.

    Pak Izazhi tersentak, menyadari bahwa dirinya diperhatikan oleh murid-muridnya, ”Ah, maaf anak-anak. Tampaknya luka Bapak kemarin terbuka lagi. Bukan luka serius kok,” kata Pak Izazhi memasang senyum yang dipaksakan, sambil berusaha menyembunyikan tangan kanannya dari pandangan murid-muridnya. ”Tolong kalian pemanasan dulu sendiri, Bapak akan ke UKS dan mencari buku absensi di Ruang Guru.” Lanjutnya sambil setengah berlari ke arah UKS.

    Murid-murid yang merasa penasaran melanjutkan pemanasan dengan setengah hati. Mereka masih meributkan mengenai hubungan terlukanya Pak Izazhi dengan disebutnya nama Pak Roni tadi. Sebab, seperti halnya warga sekolah yang lain, Pak Izazhi nampaknya juga memiliki masalah dengan Pak Roni. Di depanku, Indra, berkata kepada teman disebelahnya, “Kemaren, Pak Izazhi berantem sama Pak Roni, Fiz. Kayaknya sih, masalah keinginan Pak Izazhi buat pindah ke sekolah lain, sekolah yang lebih deket sama rumah barunya, Pak Izazhi kan baru nikah terus beli rumah gitu, di daerah Tangerang gitu kalau gak salah. Tapi Pak Roni ngerecokin gitu, sampe ngungkit-ngungkit soal hutang Pak Izazhi di sekolah ini. Pak Izazhi lu tahu sendiri, tempramen banget, alhasil kemarin cermin di ruang Guru pecah dia tabok pake telapak tangan. Gila kagak tuh? Telapak tangan bro! Makanya, gue rada heran tangannya gak pake perban. Ternyata cuman diplester gitu. Jelas aja langsung kebuka. Gue sih berharap dia gak ngarahin ke cermin, tapi sekalian aja ke Pak Roni.”

    “Hahaha... Iya tuh, coba kalau kena mukanya, jadi makin kisut dah muka Pak Roni ya,” Jawab Hafiz, teman sebangku Indra. Mereka pun tertawa terkekeh berdua. “Eh, tapi kok lu tahu sih? Soal itu?”

    “Itu kata kakak kelas, temen gue, kemarin lagi ada urusan ke Ruang Guru gitu. Terus tau-tau dua guru itu berantem. Ya gak sampe adu fisik sih. Pas kaca pecah, langsung mereka dipisahin sama guru-guru yang lain.” Jawab Indra dengan enteng.

    “Coba kalau mereka dikasih ketemu di tempat sepi ya, apa jadinya tuh?” Tanya Hafiz sambil bergurau. Lalu kami, aku dan para murid yang lain, melanjutkan pemanasan seperti biasa.

    Seusai pemanasan, Pak Izazhi belum juga kembali ke lapangan. Murid laki-laki yang lain segera membagi diri menjadi dua kelompok, bertanding sepak bola. Aku yang tidak memiliki ketertarikan untuk membuang lebih banyak energi, memutuskan untuk berjalan ke pinggir lapangan, dekat dengan tiang bendera, tempat dimana aku dapat melihat ke sekeliling tanpa terhalang apapun. Akupun melihat Hafiz tidak berminat bermain, ia hanya duduk di pinggir lapangan dekat tangga, nampak tengah berpikir, entah apa.

    Saat tidak ada kegiatan seperti ini, pikiranku mulai mengembara. Hal pertama yang terlintas, keterlambatan Pak Izazhi. Empat kemungkinan otomatis muncul di pikiranku, kesulitan mencari buku absen, ‘tertangkap’ Bu Karla, guru penanggung jawab UKS yang nampaknya belum menyerah untuk mendapatkan Pak Izazhi, pergi ke toilet, atau mencelakai Pak Roni. Kemungkinan terakhir membuatku tersenyum sendiri. Rupanya gurauan Hafiz yang sekilas tadi tertinggal di pikiranku dan menambahkan hal tersebut sebagai kemungkinan yang dapat terjadi. Dan, tiba-tiba rasa takut dan senang bercampur dalam hatiku. Bagaimana bila hal itu terjadi?

    Saat aku berpikiran demikian, aku melihat Pak Musro, dengan seragam lengkapnya; kemeja putih, celana hitam, gesper hijau besar dimana terdapat sebuah pisau besar yang sangat jarang ia pakai, dan sebuah sarung tangan putih yang selalu ia kenakan saat bertugas; berjalan tegap ke arah ruang Guru. Dilihat dari bungkusan yang dibawanya, sepertinya ada paket yang ditujukan untuk salah seorang guru... atau murid, karena ternyata ia berbelok di depan tangga, ke arah meja guru piket. Pak Musro merupakan petugas keamanan sekolah yang amat bertanggung jawab, dan merupakan salah satu petugas keamanan yang belum tergantikan sampai saat ini. Padahal partnernya telah berganti hingga tiga kali.

    Tepat saat Pak Musro melewati tangga, Rama turun, tanpa tas punggungnya, dengan wajah yang sangat kesal. Juga tanpa mengenakan seragam olahraganya. Tadi seusai pelajaran Pak Roni, beliau memanggil Rama ke ruang BP. Entah apa yang Pak Roni lakukan kepada Rama, yang pasti saat ini ia berjalan cepat sepanjang koridor Laboratorium Bahasa, mengacuhkan murid-murid sekelas, yang sejenak menghentikan permainan sepak bola mereka untuk memperhatikannya. Berbelok di ujung koridor, Rama melangkah masuk ke parkiran motor. Saat itulah, aku menyadari ketidakhadiran Hafiz di pinggir lapangan dekat tangga. Tunggu, sejak kapan ia menghilang dari tempatnya duduk tadi? Aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sehingga tidak menyadarinya. Baru saja hendak mengingat hal tersebut, aku melihat Ratih berjalan ke arahku. Mau apa lagi anak ini? pikirku sambil menghela nafas.

    ”Andre,” panggil Ratih, saat sudah berada didekatku. Aku secara reflek mendongak kearahnya, rambutnya yang panjang dikuncirnya ke belakang, seperti yang selalu dilakukannya saat pelajaran olahraga. ”Udah hampir satu jam pelajaran Pak Izazhi belum balik-balik nih, temenin panggil ke ruang Guru yuk. Yang lain tidak ada yang mau aku ajak.” Pintanya kemudian. Sambil menunjukkan wajah memohon.

    ”Hhh... Oke,” sahutku singkat, sambil menghela nafas, bangkit, dan mulai berjalan di depan Ratih menyusuri koridor ke arah ruang Guru. Aku tidak menuruti Ratih semata karena ia memohon. Melainkan karena aku telah hafal sifatnya, yang entah mengapa selalu berhasil mengusik ketenanganku. Sejak awal pertemuan kami, ia selalu memaksakan kehendaknya dan setelah beberapa lama, aku paham. Percuma menolak keinginannya. Selain itu, aku juga ingin mengetahui, dimana guru olahraga kami berada. Kami melewati meja piket, melihat Pak Hasan, Guru Bahasa Indonesia yang sedang tugas piket tengah meminta tolong kepada salah satu pesuruh sekolah untuk membawakan paket yang tadi dibawa oleh Pak Musro. Agak aneh, aku sama sekali tidak melihat Pak Musro kembali ke posnya.

    “Rat, lu lihat Pak Musro gak?” Tanyaku pada Ratih. Mungkin aku luput melihatnya kembali ke pos. Terkadang aku merasa agak aneh, saat berpikir, aku seolah kehilangan pegangan terhadap waktu. Sehingga aku bisa saja terdiam dan tidak memperhatikan sekeliling lebih lama dari yang kuhendaki.

    “Pak Musro? Gak lihat tuh. Kenapa Ndre?” Ratih bertanya balik, seraya berhenti di dekat ruang Guru.

    “Gak apa-apa. Tadi gue lihat dia ke meja piket, tapi gak lihat dia balik ke posnya.” Jawabku sambil terus melangkah, melewati Ratih yang mengangkat bahu, tanda tidak mengerti mengapa aku mempersoalkan hal sepele seperti itu.

    Sesampainya di depan pintu ruang Guru, kami berhenti. Memandang ke arah dua lembar pintu kokoh yang, untuk murid-murid lain termasuk Ratih, mengintimidasi mereka untuk tidak melangkahkan kaki ke dalam sana. Namun hal tersebut tidak terlalu mempengaruhiku. Ibuku, lebih tepatnya almarhumah ibuku, seorang guru di sekolah dasar tempat aku bersekolah dulu. Dan almarhumah ibu selalu mengajarkanku bahwa para guru juga manusia yang dapat salah, sehingga aku tidak perlu merasa takut kepada mereka. Menghormati mereka, itu lain lagi. Selama mereka memiliki kompetensi, aku akan menghormati guru tersebut. Bahkan murid sekalipun, bila memiliki sesuatu yang layak untuk mendapat rasa hormatku, aku akan memberikannya semudah membalik telapak tanganku. Aku membuka pintu ruang guru, dan mendapati ruang tersebut kosong melompong, tanpa satu orang pun di dalamnya.

    ***​

    Bagaimana kalau Pak Izazhi dan Pak Roni dipertemukan di tempat sepi? Pertanyaan yang kulontarkan sebagai gurauan itu memenuhi benakku saat ini. Seusai pemanasan, aku memutuskan untuk tidak mengikuti ajakan Indra untuk ikut bermain sepak bola dan duduk di pinggir lapangan dekat tangga. Permainan yang tidak menghasilkan apapun seperti itu tidaklah menarik untuk kuikuti. Mempertemukan Pak Roni dengan Pak Izazhi jauh lebih menarik saat ini. Tak tahan hanya duduk diam, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke belakang sekolah, menuju kantin.

    Saat melewati ruang UKS, aku tidak melihat seorangpun disana, maka aku melanjutkan langkah ke kantin. Sesampainya disana, aku tidak melihat apapun yang menarik perhatianku selain suara seseorang yang mencuci dari toilet guru pria yang terletak di sebelah mushollah. Dari suaranya, aku menduga orang itu sedang mencuci piring atau sejenisnya. Aku pun pergi kesana untuk melihat, siapa yang berani mencuci piring disana. Bila guru, khususnya Pak Roni tahu, pasti orang itu akan mendapat masalah besar. Sangat besar. Begitu tiba di depan toilet, aku melihat Simin, anak Bu Warda, salah satu pengurus kantin sekolah, sedang mencuci peralatan dapur, seperti piring, panci, pisau dan sejenisnya, di wastafel toilet. Aku merasa sangat beruntung.

    “Min! Kok lu nyuci disini sih?” Tanyaku sambil memasang ekspresi was-was dan melihat ke sekeliling. Simin masih duduk di kelas VII di SMP dekat sini. Nampaknya kebijakan sekolahnya membuat kelas VII masuk pada siang hari, sehingga Simin dapat membantu ibunya sebelum ia berangkat sekolah.

    “Eh, mas Hafiz. Iya, ini... Air di tempat cuci piring dapur mampet lagi mas, gak mau keluar airnya, makanya saya jadi nyuci disini. Soalnya gak mungkin kan saya nyuci di tempat wudlu sana,” jawabnya sambil tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa rasa takut. Yah, kurasa dia memang terbiasa menggunakan wastafel toilet ini sebagai tempat mencuci.

    “Mestinya lu bawa ember aja, isi air, terus lu cuci di tempat cuci sana. Jangan disini, ntar ketahuan Pak Roni, bisa-bisa Bu Warda kena masalah, terus dipecat lho,” aku memperingatkannya dengan sedikit berlebihan. Namun peringatan sekecil apapun, bila membawa nama Pak Roni, akan membawa hasil yang sangat baik. Simin seketika berhenti mencuci dan membereskan semua peralatan dapur baik yang telah dicuci maupun yang belum. Aku segera membantunya membereskan semua, dan membantunya membawa sebagian peralatan dapur ke arah kantin.

    “Eh, bentar Min, gue bersihin wastafel dulu ini, banyak sisa sabun cuci lu tadi. Bisa-bisa ketahuan kalau gak dibersihin. Lu duluan aja,” ujarku, sambil kembali ke dalam toilet, dan membersihkan sisa-sisa sabun yang sengaja tidak kubersihkan tadi. Setelah mendengar langkah Simin menjauh, aku segera menyiram semua sisa sabun, dan mengambil sebuah pisau dari tumpukan peralatan dapur yang seharusnya aku bawa kembali ke dapur. Terimalah hadiah pernikahan dari saya, Pak Izazhi, pikirku. Aku menaruh pisau tersebut di wastafel, kemudian membawa peralatan dapur yang lain ke kantin.

    Pak Roni memiliki kebiasaan untuk ke toilet setelah menghukum anak murid di ruang BP. Jadi besar kemungkinan Pak Roni akan berada disana beberapa saat lagi. Aku berusaha sekuat tenaga menyembunyikan tawa gembira membayangkan apa yang akan dilakukan Pak Izazhi pada Pak Roni bila bertemu di toilet tersebut, dengan sebilah pisau di wastafel. Aku membayangkan setidaknya akan ada laporan penyerangan nanti.

    “Aduh, jadi ngerepotin Mas Hafiz, maafin ibu ya Mas,” ujar Bu Warda saat aku tiba di dapur kantin. Simin tampak membawa ember untuk mengambil air yang akan ia gunakan untuk mencuci peralatan dapur tadi. Jangan sampai anak ini mengacaukan plotku, pikirku cepat.

    “Gak apa Bu, saya juga takut kalau Ibu kena masalah. Soalnya disini yang bisa saya hutangin Ibu aja sih,” jawabku sambil tersenyum lebar. “Min, mending ambil air di tempat wudlu aja. Lebih deket kan.” Aku memberikan saran pada Simin sebelum anak itu keluar pintu dapur kantin.

    “Ah iya, bener juga tuh, makasih Mas,” sahutnya sambil setengah berlari ke arah mushollah.

    “Ya sudah Bu, saya mau balik ke lapangan, takut Pak Izazhi udah dateng.”

    “Iya Mas Hafiz, makasih banyak ya. Jangan bilang-bilang ke guru kalau tadi Simin nyuci piring di toilet guru ya,” kata Bu Warda dengan muka cemas. Pekerjaan disini mungkin satu-satunya sumber penghasilan yang ia miliki. Menurut ceritanya, suaminya menjadi TKI di Malaysia, namun sudah setahun ini tidak ada kabar darinya.

    “Iya Bu, nggak akan saya laporin kok, tenang aja,” jawabku menenangkannya, kemudian segera bergegas keluar kantin. Menuju ruang UKS.

    Dari jendela ruang UKS, aku melihat Bu Karla memasuki ruang UKS. Dia melihat apa yang kulihat, pintu lemari obat sedikit terbuka, sedikit bekas sisa guntingan perban ada di tempat tidur pasien. Bu Karla nampak menghela nafas dan membereskan semua itu. Sekilas aku melihat ekspresi kecewa di wajahnya saat membereskan sisa guntingan perban tersebut. Nampaknya ia mengetahui bahwa Pak Izazhi telah datang ke ruang UKS ini saat Bu Karla di luar, dan Pak Izazhi membalut lukanya kemudian pergi secepat mungkin agar tidak bertemu Bu Karla. Aku segera melongok ke arah lapangan, murid-murid masih bermain sepak bola. Tidak, Pak Izazhi belum kembali ke lapangan. Aku melesat ke ruang Guru. Logikanya, selesai membalut lukanya, Pak Izazhi akan mencari buku absen kelasku. Dari luar ruang Guru aku melihat Pak Izazhi berjalan menuju toilet Guru, ada sebuah pintu belakang yang menghadap ke toilet Guru disana. Dibuat untuk memudahkan guru pergi ke toilet agar tidak perlu berjalan memutar.

    Sempurna! Pikirku kegirangan. Pak Izazhi tanpa kuarahkan telah pergi ke tempat yang seharusnya, tempat hadiah dariku menantinya. Saat berbalik, aku melihat Ratih berjalan menuju Andre, membicarakan sesuatu. Aku berani bertaruh bahwa ia memaksa Andre untuk membantunya mencari Pak Izazhi. Sudah hampir satu jam pelajaran berlalu tanpa kehadiran guru, tentu saja ketua kelas yang teladan harus mencari guru tersebut. Aku segera berbalik dan bergegas menuju toilet guru. Tentu saja menggunakan jalan memutar, melalui ruang UKS.

    Saat melewati ruang UKS, aku mencium bau sesuatu yang terbakar. Seperti bau kain lembab terbakar. Aku mencari asal bau dan melihat ada sesuatu tengah terbakar di pojok terjauh klub berkebun. Secara otomatis tubuhku melesat ke asal api tersebut. Api tersebut masih kecil, namun apabila dibiarkan bisa saja merembet dan menghanguskan semua yang ada. Bukannya aku peduli pada apa yang akan hangus terbakar nanti. Tapi bila ada insiden kebakaran, Pak Izazhi maupun Pak Roni yang seharusnya saat ini tengah bertikai akan berhenti dan runtuhlah plotku. Aku tidak akan membiarkan api kecil ini mengganggu hiburanku, pikirku sambil terus berlari. Sampai disana, aku segera memadamkan api tersebut dengan menginjak-injaknya. Setelah padam, akupun jongkok, hendak memperhatikan benda apa yang terbakar.

    “WOY! NGAPAIN LU BAKAR SAMPAH DISITU!?” Teriak seseorang dari pagar klub berkebun. Perempuan, kemungkinan siswi kelas XI atau XII, memiliki rambut pendek, wajah tegas dan kulit agak kecoklatan. Bukan ide yang baik untuk jongkok disini, apalagi saat siswi tersebut mengambil sebuah balok kayu yang tergeletak di samping pagar, dan melangkah cepat ke arahku. Aku memutuskan untuk segera berlari, melompati pagar klub berkebun, dan berlari secepat yang aku mampu, tanpa menengok ke belakang. Karena dari derap kaki siswi tersebut di belakangku, jelas ia tengah mengejarku dengan kecepatan yang tidak ingin kubayangkan.

    ***​

    ”Mungkin masih di Ruang UKS,” kataku singkat pada Ratih, sambil keluar ruang Guru dan meneruskan langkah ke arah ruang UKS. “Lu tunggu disini aja dulu, mungkin aja nanti Pak Izazhi kesini.” Lanjutku tanpa menoleh padanya.

    Di ruang UKS, aku melihat Bu Karla, seorang guru yang memang bertugas menjaga UKS, tengah menulis sesuatu di meja kerjanya.

    ”Permisi Bu,” sapaku setelah mengetok pintu ruang UKS.

    ”Iya, oh Andre, ada apa? Kamu butuh obat?” Tanya Bu Karla sambil melihat kearahku dan meletakkan dokumen-dokumen yang nampaknya tadi tengah ia kerjakan.

    Aku memandang sekeliling ruangan, namun tidak menemukan kehadiran Pak Izazhi. Hanya sebuah potongan kecil perban yang ada di dalam tempat sampah di samping pintu ruang UKS, yang nampaknya menjadi bukti bahwa Pak Izazhi memang kesini tadi. Bu Karla, yang menunggu jawabanku tampak memandangiku dengan tatapan heran.

    ”Tidak Bu, saya tidak sakit. Saya hanya mencari Pak Izazhi, tadi Pak Izazhi kesini tidak?” Tanyaku, sambil tetap mengamati sekitar. Tidak ada tanda-tanda lagi akan adanya kehadiran Pak Izazhi di dalam ruang UKS ini.

    ”Pak Izazhi? Hmm.. mungkin tadi Pak Izazhi kesini, tadi sih Ibu menemukan sisa perban, dan lemari obat belum tertutup rapat. Jadi mungkin sebelum Ibu kesini, Pak Izazhi datang.” Jawab Bu Karla sambil berusaha tersenyum, meskipun aku tahu, dalam hati ia kecewa karena tidak ada di ruangannya saat Pak Izazhi datang. Yah, itu masalah untuknya, bukan untukku. Masalah bagiku sekarang adalah melepaskan diri dari Ratih dengan cara menemukan guru olahraga yang menyusahkan itu, pikirku sambil menghela nafas.

    ”Oh, ya sudah, terima kasih ya Bu,” kataku sambil sedikit memberikan senyum terima kasih padanya, kemudian berbalik dan meninggalkan UKS. Menemui Ratih yang masih menunggu di depan pintu ruang Guru.

    ”Gimana Dre?” Tanya Ratih kepadaku, penasaran.

    ”Kayaknya Pak Izazhi udah selesai ngobatin lukanya. Tapi sekarang dia gak di ruang UKS lagi.” Jawabku sambil masuk ke dalam ruang Guru. Aku melihat ke arah meja tempat buku absen, nampak berantakan. Dan saat aku mencari, aku tidak dapat menemukan buku absen kelas kami disana. Saat hendak memberi tahu Ratih soal tidak adanya buku absen, dari jendela yang ke arah toilet Guru, aku melihat sekilas, ada sesosok orang atau mungkin murid, melompati pagar yang berbatasan dengan lapangan parkir dan langsung pergi ke arah toilet Guru.

    ”Ratih, ayo kita coba cek toilet sama mushollah Guru di belakang sana. Mungkin Pak Izazhi ada disana,” ajakku mulai bersemangat. Hilangnya seorang guru seperti ini, tidaklah wajar. Dan bila ada satu hal saja yang tidak wajar, disanalah terjadi sesuatu yang ’menarik’. Aku pun melangkah cepat melewati ruang UKS, untuk memutar ke arah toilet dan mushollah Guru. Meskipun aku tidak ragu melangkah ke dalam ruang Guru, bukan berarti aku bisa seenaknya menggunakan pintu yang merupakan jalan pintas ke toilet Guru. Tidak, itu dikhususkan untuk para guru, dan aku menghormatinya. Ratih melangkah dibelakangku sambil bergumam sesuatu yang tidak jelas.

    ”Hei, Mas Andre!” Panggil sebuah suara yang sudah kukenal dari arah kantin. Saat aku menoleh, rupanya pemilik suara tersebut ialah Pak Musro, yang kini tengah duduk di kantin yang masih sepi. ”Mau kemana? Berduaan pas lagi jam pelajaran gini, nanti saya laporin ke petugas piket lho.” Lanjutnya sambil tersenyum penuh makna, melihat aku, yang biasanya selalu sendiri, berjalan berdua dengan Ratih.

    ”Bukan Pak, kami sedang mencari Pak Izazhi,” jawabku sambil melangkah mendekatinya. Rupanya setelah mengantar barang ke petugas piket, Pak Musro pergi kesini.

    ”Lho, emang Pak Izazhi kemana?” Tanya Pak Musro sambil menyeruput teh hangat dihadapannya. Teh... Satu tahun lebih aku mengenal Pak Musro, beliau tidak pernah meminum teh di pagi hari seperti ini.

    Merasa harus memilih, antara mengorek informasi dari Pak Musro atau menyelidiki sesosok bayangan tadi, aku pun berbalik ke arah Ratih. ”Ratih,” panggilku.

    ”Kenapa Dre?” Tanya Ratih, berjalan ke arahku. Mukanya tampak agak merah, mungkin gurauan Pak Musro terlalu ia pikirkan. Yah, sudahlah. Aku tidak peduli.

    ”Lu, tolong periksa duluan ke mushollah dan toilet Guru, mungkin Pak Izazhi disana. Ntar gue nyusul.” Kataku, sambil kemudian berbalik menghadap Pak Musro lagi tanpa menunggu persetujuan dari Ratih. Meskipun tadi sempat kulihat ia hendak mengatakan sesuatu, yang pasti, beberapa kemudian kudengar langkah Ratih yang menjauh pergi ke arah toilet dan mushollah Guru.

    ”Eh, Mbak Ratih mau kemana?” tanya Pak Musro yang memperhatikan langkah kaki Ratih yang saat ini menuju arah toilet dan mushollah Guru.

    ”Dia ke mushollah Pak, cari Pak Izazhi,” jawabku. Sambil memperhatikan sekeliling, berusaha menangkap sebanyak mungkin sesuatu yang tidak ’biasa’ terjadi disini. Suasana kantin nampak normal semua. ”Soalnya sudah hampir satu jam pelajaran Pak Izazhi tidak kembali dari Ruang UKS, dan tadi, di Ruang Guru dan Ruang UKS juga ternyata tidak ada.” Tambahku, memperhatikan Pak Musro, sepasang sarung tangan putih masih dikenakannya, ia memiliki dua buah pasang sarung tangan itu. Peninggalan istrinya sebelum meninggal, Bu Iis membeli bahan dan menjahitkannya sendiri untuk dikenakaan Pak Musro tiap hari. Karena itulah Bu Iis menjahitkan dua pasang untuknya. Begitu kisahnya padaku setahun yang lalu.

    Sarung tangan tersebut saat ini nampak agak basah, tapi mungkin itu karena keringatnya. Sepertinya sarung tangan itu terbuat dari bahan kain yang mudah basah dan mudah kering juga. Kemudian aku merasa Pak Musro memusatkan perhatiannya ke arah Ratih pergi. Merasa penasaran, aku membalikkan badanku, dan ikut melihat ke arah yang Pak Musro perhatikan.

    ”Ada apa Pak?” Tanyaku sambil melihat kearah yang sama dengannya. Ratih nampak celingukan di depan mushollah, dan melanjutkan langkahnya ke arah toilet Guru.

    ”Ah, tidak ada apa-apa,” jawabnya sambil seperti tersenyum sekilas dan menyeruput teh hangatnya. ”Jadi, gimana pelajaran matematikanya tadi?” Tanya Pak Musro kemudian, sambil menaruh gelasnya pelan-pelan.

    Baru aku hendak menjawab, mendadak terdengar teriakan Ratih dari arah toilet Guru. Aku pun langsung berlari ke toilet Guru, begitu pula Pak Musro, yang langsung terlonjak dari tempat duduknya. Pak Musro dengan mudah menyusul dan melewatiku, menuju ke arah toilet Guru, dan langsung berteriak pada Rama, yang baru saja keluar dari toilet Guru dan langsung muntah di dekat pintu belakang ruang Guru, dan Ratih, yang saat ini terduduk, seperti melihat sesuatu yang amat mengerikan di dalam toilet Guru, ”ADA APA?!”

    ”I.. itu..” tunjuk Ratih ke arah toilet, dengan tangan yang gemetar hebat.

    ***​

    Kripik2nya dunks... pedes juga gak apa, yang penting bisa buat ningkatin kualitas ini tulisan :ogmatabelo:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.