1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Subject

Discussion in 'Fiction' started by Eshtar, May 17, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Eshtar Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 31, 2009
    Messages:
    167
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +26 / -0
    Genre: Fantasy, Slice of Life, School

    Daripada fic, mungkin ini lebih tepat disebut sentilan buat keadaan pendidikan Indonesia. Sebenarnya udah pernah saya post di FictionPress, tapi rasanya pengen feedback lebih lagi jadi saya post juga di sini. :D Settingnya berada di Bogor, Jawa Barat. Lebih tepatnya, Bogor Tengah (bahasa orang Bogor: Bogor kota). Oleh karena itu, nanti akan disediakan foto-foto settingnya. Mudah-mudahan foto asli dari hape sendiri, lumayan, sekalian keliling Bogor.


    Chapters: 1
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: May 17, 2012
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Eshtar Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 31, 2009
    Messages:
    167
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +26 / -0
    Setting

    [Tag dulu untuk pictures di setting placenya]
     
  4. Eshtar Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 31, 2009
    Messages:
    167
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +26 / -0
    Chapter 1 : Yang Pasti Bukan Ketombe

    Zaman sekarang, mereka yang memang murni mencari ilmu hanyalah orang yang, menurut orang kebanyakan, tidak realistis. Pemimpi. Pencari kenikmatan tidak konkrit yang tidak signifikan di kehidupan nyata.

    Novel ini adalah untuk mereka yang mencari ilmu untuk ilmu itu sendiri.

    Para pemimpi.

    Chapter I
    Yang Pasti Bukan Ketombe
    Hari Selasa

    Suara angkot dan derum kendaraan kota lain memenuhi jalan di pagi menuju siang hari di hari Kamis—bergema ke dalam ruang kelas yang dekat dengan jalan raya. SMA A memang sangat dekat dengan jalanan, bentuknya yang seperti huruf U dengan lapangan basket di tengah begitu pas dengan jalan raya di sebelah kirinya. Pembatasnya dengan jalan raya hanyalah pagar besi tua yang mencuat tidak sampai satu meter dari dinding sekolah.

    Afzar menghembuskan napas panjang-panjang, mengipasi dirinya sendiri dengan buku Sosiologi Umum. Rambut hitamnya yang panjang dan berantakan bergerak-gerak terkena angin. Awalnya enak. Tidak lama, dia langsung menyesali tindakannya. Mengipas berarti bergerak. Bergerak berarti panas. Kepala dingin dan badan panas tidak berarti terjadi perubahan dengan keadaan gerahnya yang sekarang. Anak itu mengerang dan melempar bukunya ke atas meja.

    "Paaaaannnnaaaaaaassss...!"

    Gadis berambut pendek di sebelahnya melirik, merengut. Padahal tampangnya lumayan dengan jepitan sederhana warna pink lembut, tapi dengan wajah cemberut jutek begitu...

    Afzar memalingkan muka melihat tatapannya dan mengibas-ngibaskan bagian depan baju kemeja sekolahnya yang lepek oleh keringat. Gadis itu mengernyitkan hidung.

    "Bau tahu."

    "Bodo amat."

    "Eh, ini namanya pelanggaran hak asasi! Lo ngelanggar hak asasi gue menghirup udara segar."

    "Gue gak tau ada hak asasi buat makhluk kayak lo," kata Afzar sambil memalingkan muka. Tidak lama kemudian, buku berat Ekonomi Umum mendarat di mukanya. Suara gedebuk keras berjamaah dengan suara kursi dan meja tergeser langsung mengalihkan perhatian anak-anak sekelas yang asyik menikmati jam ganti pelajaran.

    "Yesta!" Afzar berteriak dengan tangan di pipi. Pinggangnya sakit, pipinya panas, dan di atas segalanya, malu. "Yesta, gila lo! Tu buku gede tau!"

    Yesta, si gadis rambut pendek, melempar bukunya ke atas meja. Suara gedebuk buku itu sungguh mencengangkan.

    "Sayang buku segede ini aja gak bisa masukin akal sehat ke kepala lo, Zar."

    Bagi Afzar, tidak ada akal sehat yang menerima bahwa merupakan akal sehat menggebuk kepala orang dengan buku untuk memasukkan akal sehat ke orang tersebut.

    Siang hari di Kamis itu hanya menjadi jauh lebih buruk bagi Afzar.

    Pagi hari dimulai dengan dia berlari masuk gerbang, menahan tangan satpam sekolah yang baru saja mau menutup gerbang lalu menyelinap ke ruang kelas. Oleh karena kejadian tersebut, dia lupa membawa dompet dan alhasil tidak bisa makan ke kantin—Ibu kantin sudah dendam dengan hutang nasi kucing yang belum dia bayar dari semester lalu. Siang hari panasnya luar biasa, dengan kipas angin yang berderit di atasnya bergoyang mau jauh sehingga dimatikan oleh anak-anak cewek yang takut tertimpa kipas angin yang berputar. Alhasil, satu-satunya angin datang dari jendela yang tidak berguna itu, yang menampakkan jalanan sesak, pengamen, dan kadang orang gila daerah situ yang berteriak-teriak pada udara di sebelahnya.

    Ini namanya ketidakadilan. Afzar sungguh percaya kalau ini namanya ketidakadilan.

    Kelas IPA Internasional sekarang menggunakan AC dan proyektor. Kelas IPS hanya punya dua kipas butut dan tanpa AC dan proyektor, dengan jendela yang menghadap ke jalan raya. Angin yang mereka dapat sering hanya karena ada truk tronton besar lewat dengan kecepatan di atas rata-rata. Segar banget, tambahannya debu, panas, dan karbon monoksida.

    Ini sungguh ketidakadilan.

    Suara monoton Pak Suyoni tidak membantu. Perubahan kurikulum atau apa pun itu tidak mengubah apa pun dari cara belajar di sini. Guru-guru yang membosankan tetap membosankan dan guru yang jago mengajar tetap jago mengajar. Satu-satunya yang berubah adalah desain rapor tahunan; terdapat lebih banyak kolom yang tidak diperhatikan dua kali oleh orang tua murid karena tidak mengerti kolom tersebut untuk menilai apa.

    Afzar bersandar sepenuhnya pada sandaran bangku kayunya. Matanya yang coklat tua melayang ke arah jendela, memperhatikan jalanan yang penuh dan macet.

    Kenapa dia ada di kelas IPS ini...? Oh iya, semuanya karena dia tidak mendapat nilai bagus di IPA. Semuanya bilang banyak anak-anak IPS adalah anak-anak buangan dari IPA, yang kurang cerdas untuk tetap berada di jurusan IPA. Yesta paling benci perkataan itu karena dia memang di IPS karena ingin mendalami IPS, tapi Afzar tahu bagi kebanyakan orang, hal yang dikatakan masyarakat adalah benar.

    Mungkin penjurusan sendiri tidak perlu dilakukan. Buktinya banyak anak IPA bakal masuk Fakultas Ekonomi nantinya. Afzar tidak peduli juga. Dia masuk SMA dengan beasiswa basket, dan dia tahu nanti di universitas mungkin dia akan menggunakan beasiswa yang sama—lalu mendapatkan nilai yang sama buruknya dengan yang didapatkannya selama ini. Seluruh jenjang ini omong kosong, tapi paling tidak dengan masuk sekolah dia mendapat uang jajan harian... dan dengan sekolah, dia bisa mendapatkan ijazah atau tim basket yang lebih asik lagi. Mungkin nanti dia bisa dilihat pelatih tim basket nasional dan jadi atlit basket. Siapa tahu?

    Hah. Pelajarannya sendiri tidak penting. Lucunya…

    Saat bosan semakin merayapinya, mata Afzar beralih ke langit.

    Hebat sekali negara ini, selalu berkata, "junjunglah mimpi setinggi langit" namun di saat setiap kali kita mengucap mimpi, yang pertama keluar dari mulut pendengar adalah tertawaan atau perkataan skeptis. Ini adalah negara yang senang menyuruh orang membangun sesuatu lalu menghancurkannya dengan perkataan, "Tidak mungkin" atau "Nggak bakalan". Omong-omong tentang langit…

    Langitnya aneh.

    Afzar mengedipkan mata.

    Langit di luar sekolahnya terlihat amat biru dengan sedikit awan, sedangkan di atas sekolahnya terlihat gelap. Dia bahkan ragu bahwa yang gelap adalah awan. Langit di atas sekolahnya hitam pekat, sangat pekat hingga dia hanya bisa mengingat langit malam, tanpa bintang. Afzar menelengkan kepalanya, berusaha mengingat pelajaran geografi yang dulu pernah dia pelajari.

    Dia tidak ingat.

    Menghembuskan napas panjang sambil mengangkat bahu tidak peduli, Afzar kembali memperhatikan gerakan bibir dan kilat gigi Pak Suyoni.

    Ya ampun, bapak itu harus berhenti merokok.

    X​

    "Ih, si Dio harusnya putus aja dari dulu tau."

    "Tu cewek ga worth it banget deh! Morotin doang kerjanya."

    Panas. Berisik.

    Afzar menghela napas panjang, menalikan celana basketnya. Kanan-kiri yang terdengar hanya gosip, gosip, dan gosip. Dulu hanya cewek yang bergosip non-stop, sekarang cowok juga. Dia heran kenapa.

    Afzar menelengkan kepala ke atas, ke langit... yang tetap saja gelap. Matanya menyipit.

    Sekolahnya berdempetan dengan jalan, jalan raya di kanan dan gang kecil di kiri. Langit hitam tersebut seakan mengikuti kontur sekolah tersebut, membentang bagaikan cat hitam di atas sekolah.

    Apakah wajar langit tetap gelap lokal begini? Kenapa tidak ada awan yang terlihat sama sekali?

    Lama-lama dia merasa bulu kuduknya meremang.

    "Oooiii! Lari delapan putaran!"

    Pelatih mulai mengetukkan buku absen ke kakinya yang berbulu.

    Kalau tidak diikuti, pasti delapan putaran bakal bertambah menjadi dua belas putaran.

    Menarik napas panjang setelah membentuk simpul terakhir di tali celananya, Afzar pun berlari menyusul temannya yang lain.

    X​

    "Afzar, Nakk! Makan dulu! HEI!"

    Suara ibunya terpotong dengan bantingan pintu. Afzar melemparkan tubuhnya ke atas kasur, membiarkan tas sepatunya jatuh di sebelah tas sekolahnya di lantai. Lampu kamarnya yang putih bersinar balik ke matanya seakan menantang, membuatnya memicingkan mata. Afzar bahkan tidak peduli pada keadaan kamarnya yang berantakan; meja komputernya yang dipenuhi komik dan majalah, lemari kayunya yang terbuka dan memperlihatkan pakaian yang asal jejal, serta jendelanya yang seidkit terbuka. Seluruh tubuhnya lelah sehabis basket dan bau khas anak SMA puber menguar dari tubuhnya.

    Tidak dibilang juga dia tahu kalau bau tubuhnya tidak sedap.

    "Haaaaaaa..."

    Kadang Afzar berpikir untuk apa hidup ini ada...

    Ck.

    Sebuah gerakan di sudut matanya membuatnya bergerak sedikit. Sesaat dia mengira ada yang mengawasinya. Bulu kuduknya yang meremang langsung terasa normal kembali saat dia bertemu mata dengan seekor cecak. CECAK.

    Dia kaget oleh CECAK.

    Afzar serasa ingin memukulkan kepalanya ke dinding.

    Cecak tersebut mengeluarkan decak pelan dan bergerak naik dari dekat jendela ke arah lampu—ekornya yang bercabang terseret di dinding.

    "Ngagetin gue aja lu..."

    Sesaat kemudian dia merebahkan tubuhnya lagi, menutup matanya. Sekitar lima menit kemudian dia langsung dipaksa bangun lagi.

    Perutnya berbunyi. Seharusnya dia langsung saja makan sewaktu ibunya menyuruhnya.

    X​

    Hari Rabu


    Berhenti di depan gerbang sekolahnya, Afzar masih dapat mendengar suara jalanan tepat di belakangnya. Masih macet. Masih monoton. Tapi bukan itu masalahnya sekarang.

    Afzar mengacak-acak rambutnya. Matanya yang gelap kembali menatap langit.

    Langitnya masih belum berubah. Hari ini memang agak mendung...

    Tapi apa ini normal?

    Afzar mulai berpikir untuk bertanya pada Yesta tapi kemudian mengurungkan niatnya. Walau gadis itu memang pintar, perlakuan dia pada Afzar tidak pantas disebut perlakuan pada manusia.

    Mungkin memang hanya karena mendung. Afzar berharap MEMANG hanya karena mendung.

    X​

    Cecak itu datang lagi. Afzar memandanginya memandangi dirinya. Mereka diam seperti itu selama beberapa saat hingga akhirnya si cecak kehilangan ketertarikan dan bergerak ke arah jendela. Ekornya yang bercabang kecil membuat Afzar menelengkan kepala. Dia ingat ada mekanisme sesuatu dari cecak yang membuat dia memutuskan ekornya.

    A... Apopsis? Otokmi? Automotif, autodoktif, auto...

    Dia tidak ingat. Menarik napas panjang lalu mengangkat bahu, Afzar kembali memandangi game online di hadapannya.

    Toh dia bukan anak IPA lagi, dia kan anak IPS sekarang.

    X
    Hari Kamis

    Langitnya masih sama. Sekarang Afzar benar-benar yakin ada yang salah dengan langit sekolahnya. Langit tidak mungkin terlihat seaneh ini, tidak mungkin tidak ada awan sama sekali. Walau dia tidak begitu bisa mengingatnya, dalam Geografi kan ada jenis-jenis awan tertentu yang membawa air lalu...

    Dia tidak ingat.

    "Aaaghhhh!" Penuh rasa frustasi, dia mengacak-acak rambutnya yang acak-acakan. Rasanya akhir-akhir ini dia semakin mudah lupa. Memang biasanya nilainya selain nilai olahraga tidak begitu bagus tapi...

    "Masuk, woi!"

    Teriakan Yesta membuatnya menoleh. Gadis itu ada di belakangnya, merengut sebal sambil mendorongnya. Tasnya yang disampirkan di bahu bergemerincing karena banyaknya gantungan kunci yang terantung di sana.

    "Buat macet aja! Cepetaaaaannn...!"

    "Hiiiih! Iye, iye, brisik ah lu!"

    Sumpah, sebingung apa pun dia, Afzar TIDAK AKAN bertanya pada Yesta.

    X​

    Suara bola basket membentur lapangan memenuhi kepalanya.

    Duk duk duk duk... kanan, kiri, lompat.. plus

    Afzar menyedot teh botol yang baru dibelinya sambil memandangi anak kelas sembilan belajar lay up. Matanya melayang ke langit sesaat lalu teringat sesuatu. Dia menoleh ke orang di sebelahnya, kapten timnya, Haki.

    "Ki, lo nyadar ga, langitnya akhir-akhir ini suka aneh?"

    Haki, yang berambut spike nanggung, tidak menghentikan pekerjaannya menalikan sepatu. Dia terkekeh kecil.

    "Ya iyalah aneh. Sekarang kan pancaroba."

    "Bukan gitu... Langit sekolah kita itu loh."

    Mata Haki yang memandangnya terlihat aneh. Dia mengangkat alis.

    "Apanya yang aneh?"

    Afzar malah balas mengedip. Orang buta juga tahu kalau langit di atas sekolah mereka gelap!

    "Item, kali! Langit sekolah kita item banget, padahal di tempat lain biru! Lo ga liat, Ki?"

    Terlihat skeptis, Haki mendongak melihat langit. Dia memicingkan mata. Afzar mengikuti pandangannya, bergidik melihat kegelapan pekat yang menyambutnya. Tidak normal. Tidak mungkin normal. Dia positif sekarang.

    "Tuh, kan? Gelap banget."

    Tapi Haki hanya memandangi Afzar dengan heran. Rengutan di wajahnya membuat Afzar kebingungan.

    "Lo ngomong apa sih? Cerah gini kok."

    Lha.

    Afzar ingin sekali membuka mulut dan berbicara lagi tapi Haki sudah berdiri dan berlari ke tengah lapangan.

    Sekali lagi bulu kuduknya meremang.

    Melepaskan pandangan terakhir kali ke langit, Afzar berlari menyusul Haki ke lapangan. Mungkin dia kebanyakan dipukul Yesta.

    X​

    Robi.

    Bukan, Geki.

    Afzar memutuskan nama cecak itu Geki. Si cecak ini sudah tiga malam mondar-mandir di kamarnya, setiap kali selalu bertemu mata dengannya. Afzar nyaris berpikir cecak itu sengaja kembali, tapi dia tidak mau menambah daftar kegilaannya. Sudah cukup dia melihat langit hitam di atas sekolahnya, tidak usah ditambah dengan dia berpikir bahwa cecak itu memikirkan dia.

    Ide itu membuatnya bergidik.

    Merasa tidak nyaman di bawah tatapan si cecak, Afzar mematikan komputernya lalu naik ke tempat tidur. Cecak itu bergeming di tempatnya, memandanginya naik seakan menantikan sesuatu. Saat Afzar menutup matanya, yang terbayang adalah kegelapan pekat di atas sekolahnya. Afzar serasa ingin membenturkan kepalanya ke dinding lagi.

    Dia butuh psikiater. Kalau besok dia melihat langit itu lagi—atau bahkan cecak itu lagi—Afzar bertekad akan bilang pada ibunya dia ingin bertemu psikiater.

    Mungkin ruang kelasnya yang tidak ber-AC itu yang membuat dia gila, walau dia sendiri tidak tahu apa hubungannya.

    X
    Hari Jumat

    .GELAP. Bahkan semakin gelap.

    Afzar serasa ingin berteriak karena gila. Dia menoleh kesana-kemari namun sepertinya tidak ada seorang pun yang menyadari keadaan langit di atasnya. Sungguh, apakah hanya dia yang sadar? Apakah nanti ada invasi alien atau apalah itu yang akan terjadi pada sekolahnya? Bukan, jangan-jangan dia mulai gila? Jangan-jangan ini yang orang bilang tanda awal stres, halusinasi? Kalau begitu apa yang buat dia stres? Geografi? Ekonomi? Sosiologi?

    "AFZAAAARR~! Lo tiap hari mematung terus kayak gini, ada apa sih?"

    Ah. YESTA.

    Sebelum Yesta sempat menggeplak Afzar, cowok itu sudah berlari menghilang masuk sekolah—sprint kecepatan maksimum menjauhinya sejauh mungkin. Gadis itu mengerjapkan matanya. Dia yakin Afzar tadi berwajah ketakutan.

    Aneh, padahal hari ini dia tidak pakai kosmetik apa pun.

    ... Tunggu dulu, apa justru karena itu ya...? Yesta hanya bisa memiringkan kepalanya dengan bingung.

    X​

    Afzar mengetukkan kakinya dengan tidak sabar, memandangi teman-teman satu timnya saat mereka sibuk mengobrol sehabis berlatih. Langit mulai memerah dan matahari semakin condong ke barat, setelah briefing, pasti mereka selesai. Langit di atas sekolah mereka pun semakin pekat, memekat seiring dengan malam yang merayap datang.

    Ini tidak benar. Ini sungguh tidak benar.

    Kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang menyadari langit sekolah mereka membuat Afzar semakin gelisah. Rasa tidak nyamannya semakin bertambah setiap hari dan dia mulai berpikir dia gila. Tidak ada yang sadar... kenapa tidak ada yang sadar?

    "... Karena mereka 'buta'."


    Afzar membuka matanya. Bulu kuduknya meremang kembali. Ada suara. Suara dari belakangnya. Dia menelan ludah. Dia dapat merasakan matanya melebar saat dia memandangi teman-temannya yang masih saja asyik mengobrol. Siapa...? Di belakangnya dinding. Afzar tidak mau menoleh untuk melihat ada wajah muncul dari sana atau...

    Oi, oii... apa gue beneran gila?


    "Mereka buta, kamu tidak. Paling tidak, tidak sebuta mereka."

    Sumpah, bahasa lo baku banget.

    Sekarang Afzar benar-benar ketakutan. Tangannya meremas handuknya yang basah oleh keringat, gerakan ketukan kakinya semakin kuat seiring dengan kegelisahannya yang bertambah. Tapi suara itu berkeras, seakan memaksanya untuk mendengarkan.

    "Kamu punya kesempatan untuk melihat. Buta atau bisa melihat. Kamu pilih yang mana?"

    Heeeee...

    Tidak bisa, lah! Pikirannya berteriak. Afzar menggertakan giginya. Siapa yang mau melihat-lihat yang aneh-aneh? Dia bukan cenayang, seumur hidupnya dia benar-benar tidak punya indra keenam! Mana mau dia...

    "Bisa."

    BUODOH. Kenapa dia harus keselip lidah di saat begini?

    "Bagus."

    Sensasi dingin merayapinya. Dia serasa sudah disentuh oleh sesuatu yang kecil dan dingin, walau dia tidak tahu apa. Seluruh rambut di tubuhnya meremang, Afzar nyaris berpikir dirinya sekarang seperti orang yang menyentuh bola listrik yang ada di PP IPTEK. Sensasinya begitu tidak nyaman, dia menutup mata menahan gemetar tubuhnya.

    Sensasi itu hilang... dan dia membuka matanya.

    Dia... melihatnya.
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. Miarzi Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 19, 2010
    Messages:
    89
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +16 / -0
    Keren Bro! Lanjutin lagi! Ane penasaran!
     
    • Thanks Thanks x 1
  6. Eshtar Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 31, 2009
    Messages:
    167
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +26 / -0
    Tenkyu... XDDD ntar dulu yaaaa... agak stuck di tengah-tengah nih, masih belum jelas soalnya ke sananya.

    btw, gw 'sis', bukan 'bro', mas... :D
     
  7. Miarzi Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 19, 2010
    Messages:
    89
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +16 / -0
    Ampun mbaksis, ane tak tahu. Hehehe...
     
  8. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    awalnya begitu kaku...membosankan tapi begitu sampai tengah - tengah bagian cerita tentang temannya yang berkata kalau langit tidak hitam ...cerita mulai menarik.



    segi penulisan awal, masih agak kaku di awal beberapa perubahan sudut pandang dalam penulisan terlihat
    contohnya yang ini

    ------
    Ini namanya ketidakadilan. Afzar sungguh percaya kalau ini namanya ketidakadilan.

    Kelas IPA Internasional sekarang menggunakan AC dan proyektor. Kelas IPS hanya punya dua kipas butut dan tanpa AC dan proyektor, dengan jendela yang menghadap ke jalan raya. Angin yang mereka dapat sering hanya karena ada truk tronton besar lewat dengan kecepatan di atas rata-rata. Segar banget, tambahannya debu, panas, dan karbon monoksida.

    Ini sungguh ketidakadilan.
    ------

    bagian tulisan mengatakan "ini ketidakadilan" ini kan sebenarnya ungkapan hati si afzar.... mungkin lebih baik dibuat huruf miring atau kata batin si afzar

    jadi seperti ini

    -------
    Ini namanya ketidakadilan.

    Afzar sungguh percaya kalau ini namanya ketidakadilan.

    Kelas IPA Internasional sekarang menggunakan AC dan proyektor. Kelas IPS hanya punya dua kipas butut dan tanpa AC dan proyektor, dengan jendela yang menghadap ke jalan raya. Angin yang mereka dapat sering hanya karena ada truk tronton besar lewat dengan kecepatan di atas rata-rata. Segar banget, tambahannya debu, panas, dan karbon monoksida.

    "Ini sungguh ketidakadilan." Afzar memaki dalam hatinya
    -------
    dengan kata lain coba manfaatkan dialog pribadi afzar, biar terasa lebih hidup dalam narasinya :hehe:

    gaya cerita asik... sepenggal - penggal step by step menunjukan sehari - hari dia dari awal dia sadar langit item sampe ada suara, bisa membayangkan dengan enak.
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: May 18, 2012
  9. Eshtar Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 31, 2009
    Messages:
    167
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +26 / -0
    Chapter 2 : Sapaan

    Mari kita lanjuuuut:
    Chapter II
    Sapaan

    Dibutuhkan seluruh sisa kesadaran yang Afzar miliki untuk tidak berteriak. Kompensasi dari pertahanannya adalah seluruh tubuhnya terasa mulas dan wajahnya membiru karena menahan napas.

    Di kepala seluruh teman satu timnya dia dapat melihat banyak makhluk aneh yang menusukkan mulut mereka dan menyedot sesuatu. Makhluk-makhluk tersebut ada yang memiliki tubuh besar, ada yang kecil, ada yang bermata sebesar bola tenis, ada yang hanya berupa lipatan kulit yang menumpuk-numpuk di bagian, yang seharusnya sih, merupakan kepala. Lucunya tidak ada satu pun temannya yang menyadarinya. Setiap makhluk tersebut menyedot dengan penuh sukacita bahkan ada yang bertubuh seperti cacing yang menggelembung nyaris pecah.

    Afzar dapat merasakan seluruh bulu kuduknya berdiri. Apalagi saat dia merasakan sesuatu merayapinya.

    "HIIIH!" pekik Afzar sembari mengibaskan lengannya dengan sangat kuat. Sesuatu terlempar dan terjatuh semeter darinya—dia bahkan tidak mau melihat apa itu. Seluruh teman satu timnya langsung menoleh memandang, terlihat heran.

    "... Zar..?"

    "G-Gue pulang duluan!" Tanpa melihat teman setimnya yang lain, Afzar langsung meraih semua barangnya yang berserakan di sekitarnya lalu menjejalkannya ke dalam tas. Haki mengulurkan tangan untuk menangkap bahunya namun Afzar menepisnya—sembari menutup matanya serapat mungkin saat dia nyaris bertemu mata dengan makhluk seperti cacing bermata luar biasa besar di dahi Haki.

    Dia sudah gila. Oh, ya ampun, dia benar-benar sudah gila!

    "GUE BALIK DULUAN!"

    Teman-temannya bahkan tidak sempat memanggil namanya dua kali saat dia lari terbirit-birit dan menghilang ke balik gerbang sekolah.

    X
    Langkah Afzar lebar dan tergesa. Napasnya memburu, jantungnya berdegup begitu kencang, dia dapat merasakannya membentur rongga dadanya. Walau dia hendak pulang, walau tukang angkot sudah membunyikan klakson dengan penuh rayuan, dia tidak mau berhenti dan menaiki kendaraan apa pun—tidak sebelum seluruh hal gila ini berhasil dicerna olehnya.

    Makhluk-makhluk itu... suara-suara... langit gelap yang hanya bisa dilihat olehnya. Kumpulan halusinasi ini sudah mengatakan yang sesungguhnya—dia sudah gila. Ibunya mungkin hanya akan terbelalak bila dia bilang dia ingin ke psikiater. Ibunya mungkin akan menyuruhnya tidur lebih cepat dan memberinya susu putih tambahan sebelum tidur. Afzar tahu ibunya lumayan kolot.

    Masalahnya adalah... dia melihat sesuatu yang orang lain tidak lihat. Afzar yakin seratus persen... ada yang salah dengan kepalanya. Mungkin Yesta juga termasuk diantara penyebabnya. Kalau dia memang benar pergi ke psikiater, Afzar berjanji dalam hati dia bakal menyebut nama gadis sial itu saat ditanya dokter apa saja yang membentur kepalanya.

    Hari semakin gelap dan trotoar semakin sepi—hanya ada tukang gorengan di halte bus di dekat belokan sekitar dua puluh meter di depan Afzar. Napas Afzar mulai terkendali dan dia bisa merasakan rambut di tubuhnya sudah kembali merebah. Lucu sekali kalau dia sampai di rumah seperti kucing kedinginan. Oke, yang sekarang harus dilakukan adalah memanggil angkot, pulang, dan mandi air panas...

    "Nyaris saja aku ketinggalan."

    TUNGGU DULU. TUNGGU TUNGGU TUNGGU TUNGGU DULUUU!

    Langkah Afzar berhenti, begitu pula helaan napasnya. Suara itu... suara sialan itu mengikutinya! Dari mana..? Dia mendengarnya dari belakang. Oke, suara dari belakang tidak pernah berakhir baik di film hantu manapun; mau film hantu Thailand kek, Indonesia kek, Jepang kek, atau bahkan film hantu Amerika dan Eropa yang hantu-hantunya berbaju lebih berkelas dan ganteng-ganteng. Biasanya pemeran utama dengan bodohnya akan diam terpaku... dan menoleh ke belakang... dan...

    Menggertakan gigi sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat seakan ingin menyerang apa pun yang ada di belakang, Afzar meniru semua pemeran utama film-film hantu yang dia pikir bodoh itu: membalikkan tubuhnya ke belakang.

    Kosong.

    Trotoar kosong menyambutnya. Bayangan pohon yang berada di sisi jalan membayangi dirinya dan trotoar beberapa meter ke depan. Cahaya matahari semakin menghilang dan lampu jalan membuat suasana semakin remang-remang. Trotoar kosong bukan tanda yang baik...

    Dan hal tersebut memang membuat Afzar semakin memucat.

    Oookeee... dan sekarang dia mendengar suara tanpa wujud? Terdengar indah.

    "Sedang apa kamu?"

    Dan si suara ini semakin menyebalkan!

    "Sedang apa lagi?" suara Afzar bergetar tak terkontrol. Dia nyaris tidak percaya dia mendengar dirinya sendiri menjawab halusinasinya. Refleksnya menjawab pertanyaan suara tak bertubuh itu didorong oleh semua rasa frustasinya. Daripada tidak bisa melihat, lebih baik hantam dan lihat saja! "Ya nyari elo!"

    Dengerkan? Sekarang muncul lo! Cukup udah lo buat gue gila!

    "Aku ada di sini kok."

    KALO GUE TAU GUE GA BAKAL TANYA!

    "Di tas kamu."

    Tanpa berpikir lagi Afzar langsung melepas tasnya dan melihat... hanya untuk melemparkannya ke trotoar.

    "Yo."

    X​

    Di dunia ini ada banyak hal yang bisa membuatmu kaget dan terdiam... diantaranya ada hal yang membuatmu bertingkah melewati batas gender.

    Afzar sangat percaya diri dengan kejantanan—ahem, kelaki-lakian, maksudnya—dirinya sendiri. Dia termasuk anak yang sangat suka otomotif, sangat pandai olahraga (walau lemah soal IPA), mengenal apa yang disebut 'masa-masa nakal anak cowok puber', tidak mudah jijik, nyaris tidak takut pada apa pun, dan pada intinya sangat lelaki. Tapi untuk eventkali ini, dia menjerit seperti seorang anak perempuan dan melemparkan tasnya layaknya bangsa mereka... hanya dikarenakan bertenggernya cecak dengan ekor bercabang dua di atas tasnya.

    Cecak itu memandanginya dengan pupilnya yang vertikal—sedikit melebar karena kurangnya cahaya di senja itu. Afzar mengenali ekor itu dengan yang ada di kamarnya tapi...

    "Bicaralah kalau ada yang ingin dibicarakan," Cecak itu tiba-tiba berdehem, menaikkan satu kakinya ke depan mulut seperti manusia yang terbatuk. "Aku gentleman yang sangat terbuka kok."

    !APANYA YANG—!

    Oke, oke...
    Afzar menarik napas panjang. Cecak tidak ada yang bisa bicara.

    Dia pasti sedang berhalusinasi lagi. LAGI. Okeeeee, dia kebanyakan makan sambal hari ini, ditambah sedikit telur orak-arik, tapi dia tahu tidak seperti biasanya dia membayar si ibu kantin, kok. Tidak ada yang dendam padanya dan malah memberinya kutukan santet atau sebagainya, kan? Seharusnya tidak ada... walau memang dia pernah berhutang sekali dua kali tapi...

    "Ada apakah? Katakan saja."

    Afzar mengambil tasnya... dan berdiri. Tidak ada sepatah kata pun yang dia katakan. Walau dia sudah jatuh terduduk dan menjerit dan berkeringat dingin, dia tidak mengatakan apa pun pada cecak itu. Walau ada ribuan pertanyaan di kepalanya, dia bahkan tidak berteriak pada cecak itu...

    Afzar menyampirkan tasnya, dan berjalan..

    "Hei, hendak kemana kamu?"

    ... lalu berlari lebih cepat dari rekor larinya yang mana pun sepanjang hidupnya.

    "HEI!"

    X​

    Malam semakin larut dan larinya semakin tidak terarah. Afzar dapat merasakan udara di paru-parunya panas membakar dan ribuan jarum seakan menghujam ke rongga dadanya. Udara malam yang dingin menyesapi dirinya saat dia terus berlari, bahkan saat jalan mulai menanjak. Afzar baru berhenti setelah dia sampai di kawasan Taman Kencana, terengah-engah kelelahan bersimbah keringat. Lampu remang-remang menerangi trotoar gelap dari tengah taman berbentuk segitiga di sebelah kirinya sedangkan lampu angkot yang lewat sesekali meneranginya—memberi kesan bayangannya membesar dan hilang timbul di trotoar. Afzar menggertakan giginya, berpikir betapa buruknya nasib harinya hari ini, betapa normalnya hidupnya selama ini, betapa tidak mungkinnya kejadian beberapa hari ini, betapa ibu kantin selalu baik padanya, betapa nasi goreng ibunya begitu enak, betapa kucing tetangga selalu mengeong di musim kawin, betapa bursa saham sedang menanjak untuk... Oke, bahkan setelah berlari sejauh itu, ternyata otaknya masih cukup energi untuk berpikir kesana-kemari tanpa tujuan.

    Menarik napas panjang, Afzar berteriak ke langit malam.

    Terserah kalau orang-orang di toko Makaroni Panggang yang tidak jauh dari tempatnya berdiri berpikir bahwa dia sudah gila. Terserah kalau orang-orang di angkot melihat dua kali ke arahnya. Kalau teriakan ini tidak bisa membuatnya berpikir jernih, maka... besok dia benar-benar ingin ibunya membawanya ke dokter jiwa.

    "... Zar?"

    Terlompat kaget, Afzar langsung berbalik ke belakang. Di belakangnya adalah Rifky, anak Ipa 6 yang dulu satu kelas X dengannya. Mata Afzar langsung beralih pada benda besar yang bercokol pada Rifky... SEBUAH MATA. Bukan, lebih tepatnya, makhluk di tubuh Rifky sudah lebih besar dari Rifky sendiri hingga yang terlihat hanyalah sebuah mata besar yang membelalak dan mengedip ke arah Afzar—tubuh makhluk itu berbentuk bulat dengan kaki-kaki kecil yang mencengkram tubuh teman sekelas X Afzar tersebut.

    Menelan ludah, Afzar mengambil langkah ke belakang.

    Oke, oke... sekarang kegilaannya semakin... menggila.

    Dan makhluk itu menyadari dirinya menyadarinya.
     
  10. Eshtar Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 31, 2009
    Messages:
    167
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +26 / -0
    Huoo.... >.< saya hybrid yang pindah bahasa dari nulis Inggris ke Indonesia, jadinya di kepala isinya bahasa baku semua.

    Nah, itu dia masalahnya kk, kalo nulis narasi, kadang kecampur dengan pikiran si pemeran utama, jadi susah bedain mana narasi mana pemikiran pemeran utama. Sedikit demi sedikit, kucoba ubah deh... Makasih banyak untuk masukannya! :D
     
  11. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    bru baca chap 1, itu emg sngaja y d buat narasi berulang2 langit, cecak, langit, cecak? Agak cape jg bacany. .

    Trus ni pke pov 3 kn? Tp trkdng trasa kyk pov1.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.