1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Bandung, 21 Februari 2122

Discussion in 'Fiction' started by om3gakais3r, May 6, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Untuk 30 days challenge to write novel

    Daftar Isi

    Prolog

    Di tengah kobaran api, dua orang yang entah laki-laki berdiri dengan tegak. Menunggu pergerakan satu sama lain. Entah apa yang terjadi sebelumnya, aku tidak tahu atau mungkin tidak ingat. Tapi satu yang aku pastikan; aku berdiri sebagai salah satu dari mereka.

    Baju yang dikenakan lawanku sepertinya memberikan keunggulan dalam pertahanan, dibanding aku yang hanya mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru yang terdapat bekas koyakan, sobekan dan bakaran di sana-sini. Dia menggunakan pakaian yang terbuat dari logam, entah logam apa itu tapi dilihat dari rapinya setiap sudut pakaian itu dan terpasangnya sebuah lambang di bagian dada sebelah kiri, sepertinya pakaian itu adalah sebuah seragam.

    Tanganku yang mengangkat sebongkah besi raksasa dengan panjang sekitar tiga meter dan lebar setengah meter mulai lemas. Setidaknya besi raksasa ini bisa memberikanku jalan untuk menembus baju besi yang dikenakannya dan menahan serangan dari pedang yang jauh lebih kecil dan ringan dari besi raksasa yang tidak pantas lagi disebut dengan sebuah pedang.

    Nafasku dan nafasnya yang berat sedikit demi sedikit berubah menjadi ringan dan teratur. Perlahan namun pasti nafasku dan nafasnya semakin selaras. Ketika waktuku menarik nafas sama dengan waktunya untuk menarik nafas, itu pertanda saatnya mengumpulkan tenaga di kedua tanganku untuk mengayunkan pedang raksasa yang aku pegang… begitu juga dengannya, dia mengokohkan kuda-kudanya sambil mengambil ancang-ancang untuk melakukan serangan.

    “Vecca!!!!” Ketika aku menghembuskan nafas, aku keluarkan semua tenaga untuk berteriak.

    Teriakan itu menjadi katalisator perubahan energi menjadi gerakan. Mungkin juga sebagai salah satu taktik kecil sebagai penyerangan psikologis.

    “Etra!!!!” Lawanku itu melangkah dengan sekuat tenaga ketika aku memulai langkah pertamaku.

    Seperti ketika melakukan suwit kertas-gunting-batu, siapapun yang menyerang duluan gerakannya akan bisa terbaca oleh lawannya. Tapi, dalam pertarungan satu-lawan-satu, siapapun yang memiliki kekuatan dan prediksi terkuat dialah yang menang. Percuma memulai serangan pertama kalau tidak bisa memprediksi apa yang akan dilakukan lawan ketika bertahan, percuma memulai serangan terakhir kalau tidak lebih cepat menghindar atau bertahan.

    Tapi kali ini bukan soal menyerang-dan-bertahan, melainkan menyerang bagian mana ketika diserang.

    Tidak lama, jarakku dan orang itu hanya tinggal dua langkah; satu langkah untukku dan satu langkah untuknya.

    Aku tidak berencana untuk mengambil langkah lebih dan melakukan serangan ketika aku ambil langkah terakhir. Seperti halnya denganku, orang itu juga tidak memikirkan untuk mencuri langkah lebih agar bisa menembus sasaran lebih dalam. Berdua, kami mengencangkan kuda-kuda ketika kedua kaki kami bersentuhan.

    Ayunan pedang ini akan mengakhiri pertarungan.

    Mengingat posisi pertahananku yang mengandalkan hanya sebilah pedang besar , kepalaku tidak terlindung. Dari mata para penonton yang aku yakin tidak ada, sepertinya mereka melihat aku sedang menyeret pedang ini, namun sebenarnya bukan. Sejak pertama kali aku melangkahkan kaki untuk menyerang, pedang ini terangkat sedikit demi sedikit tanpa menyentuh tanah. Tujuannya adalah memperkuat daya ayun ketika aku mengayunkannya saat berhadapan dengan musuhku.

    Pertahanan musuhku terbuka di bagian pinggang karena pedangnya dia posisikan horizontal di samping kepalanya. Tangan kanannya menahan di bagian yang sejajar dengan pundaknya sedangkan tangan yang satu lagi menutupi dada bagian kiri.

    Posisi sempurna untuk saling membunuh satu sama lain… membuat peluang “seri” jauh lebih tinggi dari “salah satu menang”.

    Tapi, apa itu benar?

    Kedua senjata sedang mengarah ke titik buta kedua lawan masing-masing. Sekilas, ketika seseorang melihatnya ini akan berakhir seri. Tapi dari keempat mata petarung yang sedang mempertaruhkan nyawa mereka, ini adalah sebuah perjudian.

    Ketika mengayun, satu lagi langkah terbuka. Tergantung dari keputusan dan pertimbangan aksi dari setiap petarung, hasil “seri” akan menjadi nol persen sedangkan kemungkinan “Salah satu menang” untuk masing-masing petarung menjadi tiga puluh tujuh koma lima persen sedangkan satu lagi kemungkinan muncul; “pertarungan berlanjut” yang mengambil dua puluh empat persen.

    Tidak lagi ada energi di dalam tubuhku dan sepertinya begitu juga dengan musuhku. Jadi kali ini aku memilih untuk menyerangnya apapun yang terjadi.

    Tapi, rencana itu buyar.

    Sesosok tubuh bangkit dari suatu tempat di antara api yang berkobar.

    “Hahahahahahahaha!” Tawa yang berasal dari tubuh itu terdengar sangat mengerikan.
    Sesakan tawa antara rasa sakit, marah dan ekstasi.

    “Terkutuk kalian!” orang itu mengangkat kedua tangannya, seperti menunjuk ke arahku dan lawanku.

    Seakan membeku, kami berdua berhenti bergerak dan menatap tubuh yang sepertinya sebentar lagi akan mulai benar-benar terbakar oleh api hingga ke bagian tulangnya.

    “Sekarang, bergabunglah denganku di neraka!” Teriakannya terdengar menggetarkan kedua senjata yang aku dan lawanku pegang.

    Seakan menjadi amplifier (penguat) suaranya, pedangku bergetar sesuai kata yang dia katakan.

    Api di tangannya yang menunjuk kami menghilang seketika dan mengungkap benda yang dipegangnya; sepasang pistol, entah apa jenisnya.

    “THAR”

    Sepasang suara ledakan dengan frekuensi sedang terdengar berasal dari kedua tangannya itu. Menggetarkan tidak hanya tubuhku dan lawanku, tapi juga api yang sedang berkobar.

    “Sial, Vinc…” Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, mataku yang terbuka dan mengarah pada orang yang terbakar dalam api itu melihat sebutir benda mengarah tepat ke dalam korneaku.

    Rasa sakit menembus dari mataku ke dalam kepala. Mungkin karena aku terlalu lelah, aku tidak bisa berteriak atau melakukan apa-apa selain terjatuh ke belakang.

    Terjatuh, dalam kegelapan yang sedikit demi sedikit melahap seluruh tubuhku.

    Walau api berkobar di setiap sudut aku berdiri, namun tubuhku terasa dingin dan semakin dingin setiap detik berlalu.

    Semua gelap, menutupi seluruh pandanganku. Kelima indraku seakan tidak lagi bisa merasakan apapun, menyamarkan bau daging terbakar yang sempat aku terbiasa dengannya.

    “Kriiiiiiingg” Suara dering yang keras mulai terdengar dari kejauhan. Aku merasa seakan tubuhku dilempar dari tebing, membuatku berteriak dengan sekuat tenaga dalam kakunya tubuhku yang sekarang lemas.

    Seakan kegelapan itu menghilang dengan satu kedipan, kegelapan itu menghilang dengan satu kedipan… lebih tepatnya setengah kedipan.

    Aku membuka mataku, mendapati aku terbangun secara tiba-tiba.

    Masih belum beradaptasi dengan kondisi yang aku lihat, aku menutup mata dengan tangan kiriku. Berusaha menghilangkan buram yang menjadi filter mataku.

    “Ah, itu hanya mimpi.” Aku membisikkan kesimpulanku setelah beberapa kali memukulkan tangan kiriku ke dinding yang tepat di samping kiriku.

    “Kali ini agak terlalu nyata… ” Aku menatap kedua tanganku yang tidak tergores sedikitpun, tidak seperti ‘aku’ yang dalam mimpi itu; lecet di berbagai sisi, memaksakan memegang pegangan pedang yang tidak empuk sama sekali.

    Yap, itu semua hanya mimpi. Mungkin banyak orang akan menganggap hidupku membosankan, tapi aku berharap hidup membosankanku ini tidak berakhir dengan cepat. Kau tahu, kalau kau bandingkan antara perang dan damai… perang lebih menarik dan tidak membosankan. Tapi aku memilih damai, dunia dimana hal membosankan aku rasakan langsung sedangkan hal-hal ‘menarik’ berada di bawah terpal; entah itu hanya di dalam imajinasi, mimpi, permainan atau disembunyikan dari publik.

    Aku mulai menyukai kedamaian yang aku miliki sekarang. Awalnya aku selalu berharap sesuatu akan terjadi, namun semakin lama aku tumbuh semakin dewasa dan menyadari betapa pentingnya kedamaian itu.

    Tapi tetap, aku merasa bahwa kedamaianku ini tidak lama akan berakhir. Seperti sebuah brankas dengan sebuah kelemahan ketika diketuk salah satu titiknya.

    Apapun yang akan menjadi titik lemah brankas itu, aku berharap dan berusaha agar tidak tersentuh bahkan oleh debu sekalipun.

    Latest Update: 06-Mei-2012
     
    Last edited: May 6, 2012
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Dalam perjalanan ke sekolah yang baru aku hadiri beberapa hari lalu, aku terpikir sesuatu. Kedamaian adalah segalanya bagiku. Tapi kedamaian yang aku maksud bukanlah sesuatu yang menakjubkan seperti mencegah perang… atau sekedar hidup tanpa pertengkaran.

    Pertengkaran selalu terjadi, menjadi bagian tersendiri dalam perdamaian itu.

    Tapi, mengingat kondisiku sekarang… pertengkaran yang berarti tidak akan terjadi. Konflik masih jauh dariku.

    Rubyhart, nama sekolah terbaik di profinsi (mungkin negara) ini. Sekolah yang dibangun tidak lama setelah perang dunia ke tiga sekitar lima puluh tahun lalu menjadi tempat yang selalu diincar orang-orang yang memiliki mimpi yang tinggi. Sekolah ini memiliki jenjang pendidikan dimulai dari SMP, SMA dan perguruan tinggi termasuk juga program eskalasi yang cukup mahal. Jadi tidak aneh kalau di tempat ini tersedia juga asrama.

    Aku akui, Rubyhart adalah tempat yang cukup memukau untuk seseorang hadiri. Tapi bukan faktor-faktor itu yang aku kejar dari Rubyhart.

    Tinggal di kota Bandung itu cukup sulit, terlebih untuk seorang pelajar.

    Memang, saat ini terdapat ribuan unit sekolah berdiri. Tersebar di setiap penjuru kota, SD dan SMP tapi hanya delapan SMA yang ada di daerah Bandung kota dan sekitarnya. Memaksa semua orang yang lulus SMP untuk pindah atau memilih sekolah yang berada di luar kota.

    Beruntung, sistem transportasi kereta yang dikembangkan mulai seratus tahun lalu menjadi sesuatu yang berguna saat ini. Jalur kereta yang mencakup setiap kota di Indo-Pasifik kini menjadi alat transportasi utama semua orang karena murah dan cukup cepat.

    Kecuali aku.

    Untukku, jadwal kereta terlalu pagi mengingat waktuku bangun yang terlalu lambat. Seperti malam ini, aku selalu mendapat mimpi yang cukup nyata sehingga untuk bangun dari mimpi itu butuh waktu yang cukup lama.

    Solusinya? Gampang. Aku harus bisa mendapat tempat di sekolah yang dekat dengan rumahku.

    Oleh karena itu, aku berusaha dengan keras untuk mendapat tempat di SMA terdekat. Kebetulan, SMA yang paling dekat dari rumahku hanya lima belas menit jalan kaki atau sepuluh menit dengan sepeda. Sialnya, tempat itu adalah Rubyhart.

    Well… cerita tentang bagaimana aku bisa diterima di Rubyhart adalah cerita lain tentang darah, keringat dan air mata aku korbankan hanya untuk menghadiri SMA yang dekat dengan rumah secara jujur.

    Rubyhart berada di tengah kota, tapi dikelilingi taman menyerupai hutan yang sengaja dirawat oleh pihak Rubyhart sebagai tempat ekstrakurikuler yang berhubungan dengan alam seperti ekskul berkebun atau pecinta alam.

    Walau gerbang masih beberapa sekitar seratus meter, aku sudah memasuki daerah Rubyhart. Jalan yang memotong taman dengan pepohonan lebat, menghubungkan jalan dan gerbang masuk komplek gedung Rubyhart.

    Setiap kali aku melewati jalan ini, aku selalu terpukau dengan seberapa luasnya sekolah ini.

    “Hei, Romeo… kau lebih cepat enam menit dari kemarin.” Seseorang menyapaku dari belakang.

    Ah, Romeo adalah panggilanku. Aku sendiri tidak mengingat sebabnya, tapi aku dipanggil dengan nama itu sejak SMP, ketika upacara pertama penerimaan siswa baru. Cukup cepat, bukan? Mengingat aku belum mengenal siapapun kecuali teman se-SD.

    Tiga tahun lebih beberapa hari, mungkin itu waktu tepat kapan aku mendapat nama itu. Menurut Erik, orang yang menceritakan apa yang terjadi saat itu, aku tertidur dan ketika itu aku mengucapkan bagian dialog terkenal Romeo dari drama “Romeo dan Juliet” oleh William Shakespheare.

    “Masih sensitif tentang waktu seperti biasa, Erik?”Aku berbalik dan menyapa orang itu. Orang itu adalah Erik, tidak bisa aku sebut sahabat karena kami hanya sering bertukar sapa. Tidak juga bisa aku sebut orang yang tidak aku kenal karena aku sudah cukup akrab dengannya sejak SD walau kelasku dengannya sering terpisah.

    “Tentu.” Orang itu merangkulku dan menunjukkan sesuatu padaku yang sepertinya tidak ingin orang lain melihatnya.

    “Lihat ini, Romeo…” Dari sakunya Erik keluarkan benda bulat.

    “Jam asli dari Swiss, umurnya sudah tiga ratus tahun. Aku berhasil menghidupkannya kembali setelah kerja kerasku selama empat hari!” Sebuah arloji analog dengan desain tua, tapi aku ragu itu adalah benda yang berumur mengingat tidak ada karat ataupun goresan di atas jam itu.

    Kecuali, orang yang tergila-gila dengan perbaikan barang tua seperti Erik memperbaikinya.

    “Hmm.. Nice Job.” Aku berkata padanya sambil mengacungkan jempol dan dibalasnya dengan senyuman lebar.

    “Yah, sampai ketemu di kelas.” Erik berlari, mendahuluiku yang tidak mengubah kecepatan langkahku.

    Ketika Erik tidak lagi terlihat, aku melihat ke atas langit. Dua satelit tambahan yang menyerupai bulan masih terbang di atas angkasa.

    “Damaikah ini?” Aku berbisik padaku sendiri, berharap tidak ada yang menjawabnya.
    Satu-satunya yang aku ketahui dari kelas yang akan aku tempati adalah bahwa aku ada di kelas 1-A, berada di bangunan terdepan sekolah dan ruangannya paling dekat dari pintu masuk, sisanya… aku tidak tahu.

    Ketika aku memasuki ruangan ini, tidak ada satupun hal yang mengejutkanku. Tapi, itulah yang mengejutkan. Ruangan itu tidak jauh berbeda dari ruangan kelas pada umumnya… maksudku tidak jauh berbeda dari ruangan kelas saat aku SMP dulu. Sebelum aku memasuki ruangan ini, aku kira ruangan belajar akan seperti sebuah ruangan konfrensi dimana meja-meja murid semakin ke belakang semakin naik dan papan tulis berukuran besar terpajang di hadapannya. Kursi-kursi yang rangkanya terbuat dari besi atau almunium dibalut dengan busa dan dilapisi dengan plastik yang menyerupai kulit sintetik tipis. Meja terbuat dari kayu dan sepertinya umurnya sudah tua.

    Satu-satunya perbedaannya adalah tempat ini sangat bersih, bebas dari coret-coretan dan noda… bahkan tidak ada setitikpun debu yang menempel. Seakan baru dicat.

    “Entah kenapa kayaknya ada bau cat.” Aku tidak sengaja mendengar seseorang yang sedang berbicara dengan orang lain. Perkataannya menjawab pertanyaanku tentang kenapa tempat ini terlihat sangat rapi. Kemungkinan beberapa hari lalu semua bagian sekolah dicat.

    “Romeo! Disini!” Seseorang dengan rambut yang runcing seperti landak melambaikan tangannya padaku. Orang itu tidak mengenakan dasi, yang merupakan peraturan berpakaian di sekolah ini.

    “Ken… aku kira kau gagal masuk ke sekolah ini.” Singgungku setelah duduk di tempat kosong samping kanan orang itu.

    Ken, dia adalah teman se-SMP-ku. Aku adalah orang pertama yang menyapanya ketika dia pindah saat kelas dua SMP dulu. Ken awalnya tidak bisa berbahasa Indonesia… bukan, dia tidak berani menggunakan bahasa Indonesia. Satu-satunya orang yang bisa bahasanya, bahasa Jepang hanya aku. Butuh satu tahun untuknya agar berani menggunakan bahasa Indonesia dan selama itulah aku menjadi satu-satunya teman yang bisa diajak bicara.

    “Hah! Kau pikir aku siapa?! Rubyhart atau sekolah apapun… semuanya kecil! Apapun di dunia ini bisa aku lakukan! Hahaha—erk!” Ketika Ken tertawa, seseorang dari belakang tempat duduknya menarik rambutnya yang runcing-runcing.

    “Ken, yang tidak pernah bicara pada siapapun saat kelas 2 SMP… kau bilang bisa melakukan apapun, kalau begitu bantu aku sekarang!” Seorang perempuan dengan rambut panjang menarik Ken dari tempatnya duduk.

    “Ju.. Julia!” Ken yang berontak terjatuh ketika Julia melepaskan genggamannya.

    “A.. Aku sedang bicara dengan Romeo… kau tidak ada hak untuk memotong pembicaraan ini!” Setelah berdiri, Ken kembali duduk ke tempat dia duduk sebelumnya.

    “Hmm.. Romeo… kau tidak keberatan kalau aku pinjam orang ini sampai bel masuk?” Julia menatapku, untuk satu detik aku terkejut karena mengingat beberapa hal yang terjadi saat SMP dulu.

    “Silahkan saja… kau bisa meminjamnya sampai akhir tahun. Asal kau membayar uang sewanya, tiga ratus Asie per bulan.” Tiga jari aku acungkan pada Julia.

    “Hey! Aku bukan barang sewaan!” Ken membentakku dari tempatnya duduk.
    Julia menatapku dengan matanya, penuh dengan suatu energi yang aku takutkan—mengindahkan Ken yang marah.

    “Hmmm… Oh Romeo, Romeo wherefore art thou Romeo, Deny thy father and refuse thy name Or—”

    “Agh! Baik! Seratus Asie per bulan!” Perkataan Julia yang aku takutkan keluar, dan terpaksa aku potong.
    Tangan Julia disimpan di depan dadanya, melipat dan menunjukkan pose seorang yang lebih berkuasa dibanding lawan bicaranya. Singkatnya, pose arogansi yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun.

    “Salah, Romeo. Kau seharusnya berkata ‘Shall I hear more, or shall I speak at this?’, bukan menawar dengan harga yang masih tinggi.” Tatapan itu masih dipasang di matanya. Inilah yang aku takutkan dari orang ini.

    “Baik! Baik! Dua puluh Asie per minggu. Plus bonus satu minggu per dua minggu pembayaran, asal kau diam… Deal?” Aku berdiri dan mengacungkan dua jari. Memaksa Julia setuju dengan tawaranku, aku tatap dia dengan tatapan yang paling tajam.

    Julia tersenyum tanda setuju.

    “Hei! Hei! Aku menolak diperjualbelikan seperti ini!” Ken berusaha kabur, tapi saat itu Julia menahan kerah Ken.

    “Hmm.. Karena kau memaksa. Baiklah.” Julia menaruh selembar uang kertas sepuluh Asie dan pergi membawa (baca:menyeret) Ken ke luar kelas sambil berkata “Sisanya aku bayar nanti.”

    Di saat yang sama, Erik datang membawa beberapa bungkusan plastik.

    “Aku terlewat sesuatu?” Erik duduk di depanku, menyimpan bungkusannya di atas mejanya.

    “Hmm.. tidak. Cuma tawar menawar kecil.” Kataku sambil mengambil sesuatu dari tasku.

    Jam digital yang menempel di dinding tepat di atas papan tulis menunjukkan pukul 07:12.

    “Delapan belas menit lagi…” Sekali lagi, aku berbisik pada diriku sendiri. Berharap tidak ada yang menjawabnya.

    Aku menjelajahi setiap sudut meja, mencari tahu apakah di meja dan kursi ini terdapat fungsi yang berbeda dari kursi dan meja di sekolah lain. Mengingat untuk bisa masuk ke sekolah ini butuh beberapa persyaratan yang sulit, kemungkinan bahwa peralatan yang digunakan adalah peralatan khusus cukup tinggi. Tidak semua orang bisa masuk ke sekolah ini, bahkan ketika satu sekolah bisa mengirim empat muridnya ke SMA Rubyhart, sekolah itu akan langsung menjadi sekolah favorit… seperti SMPku dulu, SMP Bandung Kota Bunga. Aku, Erik, Julia dan Ken adalah empat orang dari satu SMP yang berhasil masuk ke sekolah ini dengan mudah walau tanpa jalur tes.

    Jam menunjukkan pukul 07:14, entah sejak kapan aku mulai tertarik dengan ketepatan waktu. Apa mungkin Erik menularkan kebiasaanya? Entah. Aku jadi teringat apa yang aku renungkan pagi ini. Tentang kedamaian yang membosankan… tentang sesuatu yang aku jaga baik-baik dalam hidup. Apakah mungkin, suatu saat nanti kedamaian itu akan hilang? Atau mungkin… aku harus mengorbankan kedamaian itu untuk…

    “Apa seseorang harus mengorbankan kedamaian yang dimilikinya untuk menjaga kedamaian itu sendiri?” Kalimat tanya itu berasal dari seseorang yang duduk tepat di sampingku, arah yang lain dari tempat duduk Ken, sebelah kananku.

    “Aku hanya bertanya pada diriku sendiri, tidak mencari jawaban dari siapapun… kalau seseorang mendengarnya, ini hanya sebuah kebetulan.” Orang itu seakan sedang membaca buku yang dipegangnya, namun ada kemungkinan dia berbicara pada seseorang.

    “Siapkah kau untuk mengorbankan kedamaian sementaramu untuk menjaga kedamaian abadi?” Orang itu membalik halaman buku yang dibacanya, selintas aku membaca tulisan yang sama yang dia katakan dari buku itu.

    “Charles Forward, Book of the Endless 2051.” Orang memindahkan tatapannya dari buku ke arahku.

    Ah, kutipan dari buku… aku kira orang itu sedang membaca pikiranku. Emm… siapa namanya, aku lupa.

    “Hymnastiallias, panggil aku Hymnastiallias.” Orang yang menyebut dirinya Hymn menunjukkan tanda pengenalnya padaku. Di sana tertulis namanya yang panjang “Hymnastiallias Urfuriadliaftakhrifatte” Hmm.. cukup panjang. Aku lebih memilih menghapal nama ‘Ur’ dari nama belakangnya dibanding namanya yang panjang.

    “Tidak apa, kau boleh memanggilku ‘Ur’ atau apapun yang kau mau.” Orang itu tersenyum. Aku bingung, kenapa dia bisa mengetahui apa yang aku pikirkan.

    “Bagaimana kau…”

    “Karena aku bisa. Kau akan bertemu banyak orang yang sepertiku, kaum yang kalian sebut ‘ESPer’… jadi mulailah beradaptasi.” Orang itu kembali menatap bukunya.

    “Lagipula bukankah kau salah satu dari kaum itu juga?” Ur berbisik, walau pelan aku mendengarnya dengan jelas.
     
    Last edited: May 6, 2012
  4. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    OMO?! :kaget:
    kok challengenya bisa ada di sini om? :kaget:
     
  5. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    mencari komentar dari dunia luar juga penting kk.. :unyil:
     
  6. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    yah. . .
    sudahlah. . .
    tetep semangat nulisnya ya. . . :hahai:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.