1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Permata yang Disebut "Cinta" [Untuk Fantasy Fiesta 2012]

Discussion in 'Fiction' started by om3gakais3r, Apr 20, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Permata yang Disebut “Cinta”

    Apakah bisa seseorang memiliki segalanya? Bisakah seseorang memilih; hitam sekaligus putih, baik sekaligus buruk, dalam sekaligus tinggi?

    Di dalam kotak itu tersimpan sesuatu yang berharga. Sebuah kotak yang tersimpan di dalam tubuh setiap orang, sebuah kotak yang diberikan pada setiap orang bersama dengan sebuah pilihan; membukanya atau tidak. Hanya mereka yang memiliki sebuah keteguhan yang berani membuka kotak itu.

    Kotak itu bukanlah kotak Pandora, yang akan menutupi dunia dengan kegelapan dan menyisakan hanya sebercak harapan. Kotak itu bukanlah sebuah kotak yang berisi permata dimana mereka yang membukanya akan mendapat sebuah kekayaan atau kekuatan.

    Kotak itu berisi sebuah benda yang harus diberikan pada orang lain, benda yang tidak mungkin dimiliki sang pemilik kotak benda itu berasal.

    Masalahnya, apakah mereka siap untuk memberikan benda itu?

    Maksudku, apakah aku siap untuk memberikan benda itu?

    Aku hanya seorang penjaga desa, membunuh hanya aku lakukan ketika seekor kerbau besar perlu aku sembelih untuk dimasak.

    Lalu kenapa?

    Seakan menjadi seekor serigala yang haus akan kematian, aku mengayunkan pedang ini tanpa ragu ke arah tenggorokan puluhan… tidak, ratusan prajurit yang seharusnya lebih terlatih dariku?

    Tenggorokan, urat nadi di leher, bahu, dada bagian kiri, wajah, kepala dan mulut. Tujuh titik pada tujuh orang berbeda aku tebas tanpa mengeluarkan tenaga yang berarti. Merubah manusia menjadi mayat. Merubah mahkluk hidup menjadi properti perang.

    Di tengah pertempuran ini, walau tubuhku terus menembus kulit manusia lain aku terus terpikir… apa yang menyebabkan ini semua terjadi?

    Ah, mungkin aku terlalu berkonsentrasi saat aku menebas orang-orang yang seharusnya aku sebut ‘musuh’ ini. Beberapa detik, mungkin itu cukup. Oleh karena itu, aku mengambil senjata-senjata yang berserakan di dekat setiap mayat yang aku ciptakan, melemparkannya ke arah serombongan orang yang sepertinya penuh dengan emosi mendekatiku.

    Berhasil, aku mendapatkan beberapa detikku. Rombongan itu terjatuh seketika ketika tombak, pedang dan pisau yang aku lemparkan menembus titik vital mereka.

    Hmm, ingatan itu mulai kembali…
    ---***---

    Aku seharusnya sangat menyukai cuaca hari ini karena dengan adanya hujan, binatang liar tidak akan masuk ke desa dan tidak perlu bagiku—“Harold, si Penjaga” melakukan apa-apa untuk menjaga desa ini, desa Ruve dari hewan-hewan yang ingin memakan apel segar dari kebun-kebun yang tersebar di sekitar desa ini. Tidak salah kalau desa ini disebut penghasil apel ternikmat, bahkan macan liar yang seharusnya mengincar daging jauh-jauh datang dari gunung yang cukup jauh hanya untuk merampok buah-buah di kebun desa.

    Seharusnya ada empat penjaga lain, namun mereka sedang ke ibu kota untuk mengikuti sayembara yang diadakan Umbielt, seorang dari ras elf yang sekarang menjabat menjadi pemimpin negri ini. Walau sebagian besar penduduk negri ini manusia, tidak ada yang keberatan karena selama kepemimpinannya. Mungkin karena wajahnya yang tampan dan memiliki karisma seorang raja, tapi kemungkinan besar karena dia adalah seorang yang sangat adil.

    Tidak perlu aku ceritakan betapa adilnya dia, namun cukup untuk membuat rasnya (elf) tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para pemimpin manusia.

    Tapi, sebagaimanapun kebaikan yang dia lakukan sampai saat ini aku tidak terlalu peduli dengan kedudukannya. Yang menjadi hal terpentingku adalah menjaga desa ini, tidak lebih. Terlebih, aku memiliki ingatan yang buruk tentang bangsa elf. Beberapa tahun lalu, sekitar sepuluh atau sebelas tahun lalu beberapa bandit elf merampok desa. Entah apa yang mereka cari, namun tidak satupun barang berharga mereka ambil, kecuali satu hal… maksudku seseorang.

    Saat itu aku tidak mengerti apa yang mereka ambil adalah sesuatu yang sangat penting bagiku. Dia adalah orang yang secara harfiah tumbuh bersamaku. Sejak bayi, kami selalu bersama bagaikan seorang saudara kembar. Saat itu, aku tidak mengerti… dua belas tahun yang aku lalui dengannya akan menghilang begitu saja.

    Di hadapanku, mereka menggoreskan pisau sedalam mungkin ke tenggorokan anak yang tiga hari lagi berumur dua belas tahun. Darah menetes… bukan, mengalir deras dari lehernya lalu mereka memasukkannya ke sebuah karung dan membawanya, menggantungkan karung itu di bagian belakang sadel kuda yang mereka bawa.

    Bagaimanapun aku mengingatnya, ingatan itu hanya memberikan rasa sakit pada dadaku. Rasa yang sama ketika mereka menjauhkanku dari Eria dengan memukulkan tongkat ke dadaku.

    ---***---

    Suara hujan yang cukup berisik seharusnya tidak bisa membuyarkan lamunanku, tapi suara gerobak yang ditarik oleh seekor kuda terdengar semakin lama semakin mendekat bisa melakukannya.

    “Siapa yang datang ke desa di saat cuaca yang buruk ini?”

    Gerobak itu terus melaju dengan kecepatan yang tetap, sampai akhirnya berhenti beberapa ratus meter dari pintu masuk desa.

    Seseorang dengan tudung yang mengendarai gerobak itu turun dan langsung mendirikan tenda.

    “Ah, sepertinya pedagang.”

    Aku mengalihkan perhatianku dari orang itu dan melihat ke langit yang sedikit demi sedikit menghilangkan gelap dari warnanya dan menggantinya dengan terang matahari sore.

    Ah, aku ingat… di bagian timur dinding pembatas desa ada sebuah lubang yang belum pernah ditutup sejak puluhan tahun lalu. Mungkin saja ada binatang liar masuk dari lubang itu.

    Ketika melewati pos pengawasan tidak jauh dari pintu masuk desa, aku bisa melihat tenda dan gerobak orang tadi namun tidak bisa menemukan sang pemilik.

    “Meninggalkan barang-barang pribadi? Apa dia bodoh?”

    Tidak mengindahkan orang yang kemungkinan besar adalah pedagang itu, aku melanjutkan patroli ke arah timur desa. Kemungkinan besar sih tidak mungkin ada yang bisa masuk ke lubang itu karena di bagian luar lubang itu adalah jalan buntu yang terbatas sungai. Tapi, tempat itu pernah menjadi tempat bermainku dan Eria, dengan tali yang aku lempar ke arah sebuah pohon raksasa di hutan sisi lain sungai itu, dengan mudah aku dan Eria bisa menyebrangi sungai itu.

    Untunglah hewan-hewan liar tidak sepintar itu untuk menggunakan tali yang sampai saat ini masih terikat di dua sisi sungai untuk menyeberang.

    Caranya sangat mudah, kalau dari sisi desa ke hutan hanya perlu meluncur dengan bantuan tali yang terbuat dari kulit atau bahan yang kuat semacamnya. Dengan perbedaan ketinggian, dengan mudah menyeberangi sungai itu. Tapi, dari arah hutan untuk masuk ke desa butuh sedikit kerja keras. Selama beberapa meter, harus bergelayutan di tali itu seperti monyet hingga akhirnya mencapai sisi desa.

    Ya, betul… tepat seperti itu… Tunggu, apa yang si pedagang bertudung itu di atas tali?

    “Hey, tuan! Apa yang kau lakukan? Pintu desa ada di sebelah utara!”

    Mungkin karena kaget, orang itu terjatuh tepat ke sungai. Sialnya karena beberapa waktu lalu hujan turun, arus sungai cukup deras untuk menghanyutkan seseorang.

    Untunglah, dengan sekuat tenaga orang itu bertahan dengan berpegangan erat pada sebuah batu. Memberiku waktu untuk membuka baju besi dan perlengkapan penjaga desa dan segera berenang ke arahnya untuk segera membawanya ke salah satu sisi daratan.

    Akhirnya, dengan susah payah orang itu aku bawa ke sisi desa.

    “Hah.. hah.. hah.. Apa yang kau lakukan pria tua? Desa ini menerima semua orang, tidak terkecuali bahkan pencuri atau buronan sekalipun! Jadi tidak perlu untuk menyusup masuk! ” Terengah-engah, aku melontarkan emosiku atas perbuatan bodoh orang itu.

    “Hah… hah… Si… siapa yang pria tua?!” selelah apapun seseorang, suaranya tidak mungkin bisa berubah dari seorang pria tua menjadi perempuan muda, bukan? Tapi, suara itu yang aku dengar. Suara seorang perempuan yang masih muda dan… sedikit familiar di telingaku.

    Tapi, dilihat dari perawakannya yang tegak dan rambutnya putih tidak mungkin seorang wanita tua… kecuali…

    Aku membuka tudung orang itu dan mendapati rambutnya yang berwarna perak, bukan karena tua namun karena sejak lahir dia memiliki rambut yang berwarna indah itu.

    “Kau…” Aku terkejut, karena melihat warna bagian belakang lehernya yang coklat tua dan ujung telinganya yang lancip.

    Suatu hari, lahirlah seorang anak yang sepertinya dari ras elf walau orang tuanya adalah manusia. Namun berbeda dari elf lainnya, dia memiliki rambut putih dan kulit coklat tua. Wajahnya mirip dengan ibunya dan dia memiliki mata ayahnya jadi mereka percaya bahwa anak itu adalah anak kandung dari kedua pasangan manusia itu.

    Mereka memberi nama anak itu sesuai dengan dewi kehidupan; Eria. Ya, Eria… orang yang seharusnya beberapa belas tahun lalu meninggal. Kalaupun orang ini bukan Eria, aku ingin tahu, mengapa gerombolan Elf perampok itu membunuh Eria. Mungkin, dia bisa memberiku jawaban.

    Tapi, tidak mungkin dia menjawabku sekarang. Sepertinya dia pingsan karena suatu sebab jadi aku memutuskan untuk membawa orang itu ke rumahku. Sejak meninggalnya Ayah empat tahun lalu dan Ibu tahun selanjutnya, hanya aku yang tinggal di rumah ini.

    Perempuan yang mengingatkanku pada Eria, aku membaringkannya di atas tempat tidurku. Dia bernapas dengan teratur, sepertinya hanya kelelahan.

    Sementara itu, aku ke luar desa untuk mengambil gerobak dan tenda yang dia bawa agar tidak dirusak gerombolan kerbau liar yang sering lewat.

    Tidak aku duga, di dalam gerobak itu tidak satupun benda yang bisa dijual oleh seorang pedagang biasa. Tidak, barang-barang antik itu hanya ada satu per jenisnya dan sepertinya sudah digunakan beberapa kali. Juga, aku temukan sesuatu yang menguatkan harapanku.

    Ketika aku kembali ke kamarku, orang dengan ras yang aku sebut “elf gelap” itu sedang mengunyah makanan yang sepertinya dia jarah dari lemari penyimpananku. Untunglah hanya beberapa buah apel.

    “I.. Ini… MAAFKAN AKU! Aku kelaparan!” orang itu kaget ketika aku memasuki kamar dan segera meninggalkan makanan yang dia makan di atas tempat tidurku lalu segera berlari ke pojok ruangan.

    Aku segera mendekatinya yang gemetar dan bertambah gemetar setiap kali jarakku dan tubuhnya semakin pendek.

    Dia diam seketika ketika tidak ada lagi jarak antaraku dan dia. Ketika tubuhnya aku balut dengan pelukanku.

    “Eria, kukira aku tidak bisa bertemu denganmu lagi.” Aku mengekang orang itu dengan pelukanku yang erat. Walau ada sedikit keraguan bahwa orang itu adalah Eria, tapi tubuhku begitu yakin bahwa orang yang aku peluk ini adalah orang itu, Eria.

    “Ha..” Orang itu menangis, mungkin karena aku memeluknya terlalu keras atu karena ketakutan terhadap orang yang baru menyerangnya dengan pelukan jadi aku lepaskan pelukanku itu.
    Walau, sepertinya dilihat dari barang-barang yang dibawanya, bisa saja dia mendorongku dan melepaskan pelukanku itu.

    “Ha.. Harold… Kenapa kau lepas? Aku… aku kira kau tidak lagi ingat padaku… kau… *hik*” wajahnya yang penuh dengan air mata menunjukkan wajah yang sangat familiar. Wajah yang ditunjukkan padaku ketika tiga hari aku tidak pulang setelah pergi ke ibu kota. Wajah Eria yang aku rindukan.

    Eria menangis sekuat tenaganya. Terus menangis sampai akhirnya dia kehabisan tenaga yang dia dapat dari hasil rampokan di lemari penyimpanan makananku.

    Setelah tenang, dia menceritakan padaku apa yang terjadi di hari itu. Kejadian yang membuatku terpisah dengannya selama satu dekade lebih.

    Sekitar sepuluh tahun lalu, memang benar Eria sudah mati karena para perampok Elf itu. Mayat Eria dia dibuang ke hutan hitam dan ditemukan oleh seorang Gnome, peri penjaga tanah di tempat itu. Dia memberikan Eria Elixir of Life, sebuah benda yang hanya bisa diciptakan oleh para peri untuk menghidupkan diri mereka sendiri ketika mereka sekarat atau menghidupkan satu sama lain yang sudah mati.

    Pada intinya, karena sebab yang dia tidak ingin jelaskan dia memiliki kekuatan yang sama dengan para peri.

    “Jadi… kemana kau selama ini?” Aku merasa penasaranku yang tertahan selama sepuluh tahun akhirnya akan terjawab, jadi aku ajukan pertanyaan ini.

    “Kau akan mengerti besok, semua pertanyaanmu.” Eria tersenyum lalu membaringkan tubuhnya di lantai.

    “Kau bisa menggunakan tempat tidurku kalau kau mau.” Aku berdiri dari duduk di atas tempat tiduruku lalu berjalan ke arah pintu.

    “Mmm.. aku terbiasa tidur di tempat yang lebih segar daripada kasur.” Eria menggeleng dan menutup matanya di atas lantai yang beralaskan tikar.

    Aku menatap wajahnya yang saat tidur. Wajah yang sama sekali tidak menunjukkan rasa cemas.

    Di dalam gerobak itu, aku melihat berbagai benda langka yang justru seharusnya dimiliki oleh orang yang memiliki kekhawatiran tinggi. Bukan karena langkanya benda itu, namun tujuan mengapa dia memiliki benda itu.

    “Pedang Mythril dan baju perang Adamantine, dua perlengkapan yang terbuat dari dua mineral langka… aku sudah membayangkan apa yang kau lawan selama ini.” Aku keluar dari rumahku dan kembali ke pos penjagaan di bagian selatan yang belum aku cek.

    Pak Will, seorang penjual obat yang baru pulang dari bukit di bagian selatan desa terlihat berlari dan berteriak sesuatu.

    Aku melambaikan tanganku, namun sepertinya bukan itu yang dia ingin aku lakukan.

    “A… mo… er… A!!!”

    Dia berteriak sesuatu yang sama, namun tetap tidak bisa aku dengar.

    Tidak aku mengerti apa yang dia katakan. Tidak sampai tubuhnya yang sudah mulai tua diterkam oleh seekor hewan besar, seperti monyet raksasa namun memiliki rahang serigala dan tubuh yang berotot, seperti seekor macan.

    Tapi bukan itu yang aku khawatirkan, tapi ratusan makhluk yang sama seramnya dengan makhluk yang menyerang Pak Will berbaris dengan rapi di kejauhan.

    Aku segera membunyikan bel, membuat seisi desa keluar dari rumah dan mendekati tempat bel dibunyikan. Ketika mereka melihat makhluk-makhluk itu, warga desa segera berlari ke pintu utara.

    “Mereka juga ada di utara!”

    Sepertinya desa ini sudah terkepung dari kedua pintu yang menghubungkan desa dan dunia luar.

    Tembok desa yang terlalu tinggi tidak membolehkan satupun kabur melewati arah manapun selain kedua pintu desa.

    Ah, kalau begitu…

    “Ambil apapun untuk senjata, para pria menuju bagian utara untuk mengalihkan penyerang, wanita, anak-anak dan orang tua kabur ke arah hutan hitam ketika para pria memperlambat mereka!”

    Awalnya mereka ragu, namun pada akhirnya semua mengikuti saranku. Para pria mengambil apapun untuk senjata; garpu rumput, palu tempa sampai linggis.

    Ah, aku lupa aku meninggalkan pedangku di rumah.

    Aku segera berlari ke rumah dan mendapati Eria tidak terganggu sedikitpun oleh bel yang aku bunyikan dan masih tetap tidur.

    “Eria! Bangun Eria!” aku mengguncang-guncangkan tubuhnya yang sedang tertidur.

    “Hmmm. Ada apa?” masih setengah tertidur sepertinya. Dia tidak mengindahkanku yang sedang panik.

    Tanpa panjang lebar, aku berusaha menarik Eria keluar dari rumah setelah mengambil pedang yang aku tinggalkan di samping kasur.

    DHAR!

    Sebelum sempat aku membuka pintu, salah satu dinding hancur setelah ledakan tanpa bau mesiu ataupun api.

    “Ini.. Sihir?!”

    Beberapa ledakan lain mengikuti setelah ledakan itu. Menghancurkan sebagian bangunan di desa.

    “Sial!” Eria melepaskan tangannya dari tanganku yang menuntunnya ke arah pintu.

    “Aku kira mereka akan sampai ke tempat ini besok!” Menelusuri setiap sudut ruangan, sepertinya ada sesuatu yang dicarinya.

    “Harold! Kau punya senjata lain?” Eria berkata padaku dengan suara yang tegas dan mata yang serius.

    “Gerobakmu ada di belakang.” Aku menunjukkan pintu belakang kepadanya dan dengan segera dia berlari ke arah tempatku menunjuk.

    Dengan cepat, para makhluk itu mendekati desa.

    “Sial! Bagaimana bisa menyelamatkan seisi desa dari monster seperti mereka?!” Tanganku gemetar ketika mengingat aku harus menebas makhluk itu dengan pedang besi murahan yang tidak pernah aku gunakan selain untuk menyembelih kerbau.

    “Tidak bisa seisi desa, tapi setidaknya sebagian dari mereka bisa. ” Eria memegang pedang Mythril di tangannya dan menggunakan baju perang terbuat dari Adamantine… dua benda yang seharusnya ada di museum di ibu kota.

    “Kau tidak bisa mengalahkan mereka dengan pedang kecil seperti itu.” Eria memberikan kotak kayu yang dia bawa. Di dalamnya berisi sebuah pedang yang sepertinya terbuat dari kaca.

    “Bukan kaca, tapi kristal. Bahan terkuat yang pernah kau temui.. tapi aku tidak bisa menggunakannya.”

    Tanpa basa-basi, Eria berlari ke arah selatan desa dan segera menebas setiap makhluk asing yang dia temui. Seperti memotong kertas dengan silet, dia melakukannya dengan mudah.

    Aku ragu, tapi tidak ada pilihan lain selain menggunakan benda ini.

    Pedang itu berat, namun aku berhasil menggunakannya sebagai senjata. Setelah sekali mengenai kulit mereka, aku menyadari kalau aku menggunakan pedang besi itu tidak mungkin aku bisa menyentuh mahkluk-makhluk itu. Seperti memotong sebuah batu, tubuh mereka sangat kuat namun tidak bisa menahan ketajaman pedang kristal ini.

    Aku tidak menyadari pada awalnya, namun setiap makhluk yang tidak lagi bisa bertarung berubah menjadi tubuh yang tidak berbeda dari manusia lebih tepatnya, tubuh seorang elf.

    Pertarungan itu berlanjut hingga pada akhirnya tidak ada lagi satupun makhluk yang tersisa di bagian utara, begitu juga dengan selatan.

    “Akhirnya!” Rasa lega sementara membuatku tenang.

    Tapi, itu hanya sementara. Beberapa detik setelah tidak ada lagi makhluk yang berdiri, ledakan besar menyelimuti desa. Aku tenggelam dalam api yang terus semakin membara.

    Di hadapan mataku, semua orang terbakar dan berubah menjadi abu. Tapi entah kenapa tubuhku tetap utuh.

    “Sial.. SIAL!!!! ELF PENYIHIR SIALAN!!!” Tubuhku memanas, namun panas itu bukannya membakarku malah menyembuhkan setiap lukaku. Semua api yang berasal dari sihir Elf itu seakan seperti angin yang masuk ke dalam hidung ketika menggirup napas. Menyisakan pedang kristal yang berubah memerah.

    Terlambat, semuanya sudah menjadi abu. Semuanya. SEMUANYA!

    Kristal di tanganku terbakar dengan keras. Sepertinya akan melahapku.

    “Harold! Tenanglah!” Eria yang berlari dari balik tumpukan abu mendekatiku dan menagan tanganku.

    Api yang membakar tangaku itu menghilang ketika bersentuhan dengan tangannya.

    “Sekarang, buka matamu.”

    Buka mataku? Mataku sudah terbuka!

    “Buka matamu, seakan kau bangun dari mimpi!”

    Ha? Apa maksudmu?

    “Ah, kau terlalu termakan emosi. Maaf kalau sakit, tapi kau harus bangun!”

    Dadaku terasa sakit, seakan tubuhku terhantam ke tanah setelah jatuh dari tebing… aku akhirnya ‘terbangun’.

    “Sekarang, bisa kau melepasku?”

    Di dalam pelukanku, Eria yang terduduk di pojok ruangan. Seakan tidak pernah terjadi, ruangan kamarku masih utuh.

    “Bukan mimpi, itu adalah pandangan masa depanku.”

    Masa depan?

    “Coba kau lihat apa yang ada di tanganmu. Itu adalah buktinya.”

    Pedang kristal berwarna merah masih aku pegang.

    “Kau bisa mengambil benda itu dari dalam pandangan masa depanku, kalau begini semua lebih mudah.”

    “Elf berusaha menguasai manusia dengan sihir mereka, merubah tubuh mereka dengan sihir menjadi monster. Aku butuh kekuatanmu, untuk membunuh sang pemimpin para elf dan manusia… hanya itu.”

    Tanpa alasan, aku menjulurkan tanganku padanya. Saat itu, aku mengerti. Aku membuka kotak di dalam tubuhku dan memberikan isinya padanya. Bukan karena aku ingin melindungi penduduk desa, tapi hanya sekedar untuk…

    ---***---

    Detik yang aku ambil sudah habis, prajurit yang mengetahui aku kehilangan konsentrasi segera menyerangku. Aku tidak bisa menghindar.

    “Apa yang kau lakukan, bodoh!” Eria segera memotong tangan-tangan mereka, mencegahku untuk terluka.

    “Terima kasih.” Aku segera mengangkat pedangku dan terus mengayunkannya pada prajurit yang tidak ada habisnya.

    Akhirnya ruangan utama raja bisa terlihat. Eria masuk sedangkan aku menahan beberapa penjaga di sekitarnya.

    Tidak lama, dia keluar dengan kepala sang raja.

    “Tinggal hancurkan arsip sihir di kastil ini.” Katanya dengan wajah yang sangat puas.

    Aku mengangguk dan segera membereskan setiap tempat yang terlihat seperti ruangan arsip dengan ledakan api dari pedang kristal merah yang aku pegang.

    Pertarungan itu akhirnya selesai, tidak akan ada lagi penyerangan manusia oleh para monster yang sebenarnya adalah para elf yang menggunakan sihir.

    Tapi tetap, aku dan Eria dianggap sebagai pengkhianat dan diburu di seluruh negri.

    Ya, tapi dengan bantuan para peri di hutan hitam kami bisa bersembunyi di tempat hanya peri yang tahu.

    Tidak ada sedikitpun sesal yang aku rasakan. Aku telah memberikan semua isi kotak itu pada Eria; Kesetiaanku, nyawaku dan emosiku… semuanya dalam satu paket yang aku sebut “Cinta.”

    Fin

    komentar, cabe dll aku sangat terima.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    aduh, mau berkomentar apa yah... koq rasanya saya ga nyaman bacanya. terkadang ada adegan2 yang... ga enak aja... endingnya pun koq gitu doang? endingnya hambar.
     
  4. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    yup, datar dan hambar.. komentar yang sama waktu aku baca ulang cerpen ini. dipaksakan 3000 kata.
     
  5. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    klo kata saya sih ni fict bakalnya panjang, dijadikan cerpen malah jadi aneh. terlalu banyak pemotongan n pemadatan.
     
  6. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    masalahnya terlalu kompleks untuk sebuah cerpen jadinya kesannya gantung banget. . .
    banyak bagian-bagian yang kurang pas rasanya. . .
    overal baguslah. . . :top:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.