1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Live Life

Discussion in 'Fiction' started by yayalovesdaragon, Mar 14, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. yayalovesdaragon Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Feb 11, 2012
    Messages:
    87
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +26 / -1
    Sumpah, ini gak tau dapet inspirasi dari mana, pokoknya jari mencet laptop terus dan... ALAKAZAM!! Jadi ni cerpen dalam waktu 1 setengah jam, hohohoho... [​IMG]

    Kalo ga jelas, ga nyambung, dll, maap deh, namanya juga masih baru [​IMG]

    Ia duduk termangu di dataran hampa, hanya mampu menatap kosong ke kejauhan. Langit yang dulunya pernah biru kini menghitam, bagaikan menahan sakit yang sudah terlalu lama menjangkit. Awan ungu yang beriak-riak seperti ombak itu justru hanya menambah kekelamannya. Cakrawala yang luas namun tak ada satu kehidupan pun di sana, apalagi burung; ia tak pernah punya kesempatan untuk melihat spesies legenda itu. Kata seseorang mereka hilang suatu hari, begitu saja. Meskipun baginya itu kedengaran seperti dia yang berbicaralah yang membuatnya hilang, dia yang berkata seperti itulah yang seharusnya bertanggung jawab.

    Ia membungkuk, menatap lurus ke kepalan tangannya. Sejak kapan kepalan tangan itu tertutup, ia tidak ingat. Ia bahkan tidak ingat lagi sejak kapan ia ada di sana, atau apa yang sebenarnya ia kerjakan sendirian di sini. Ingatannya tidak buruk, tapi ia bagai tidak bisa membuat otaknya bekerja. Seperti saat ia tak punya kekuatan untuk menjangkau sesuatu yang berharga, padahal sesuatu itu terus memanggilnya, lagi dan lagi. Apa kau bisa membayangkan betapa frustasinya memiliki perasaan seperti itu?
    Selama ini ia hanya bisa bergantung pada ibunya, rumahnya, dan terus menunggu... menunggu apa? Ia tidak tahu. Sudah cukup lama ia menutup mata dan berhenti berharap.

    Ia masih tenggelam di dalam pikirannya sendiri, mencoba menggali lebih jauh isi hatinya ketika ia mendengar sesuatu yang sudah lama tidak ia dengar. Dan suara itu bukannya membuatnya senang, justru sebaliknya. Setiap kali suara itu terdengar, seorang saudaranya akan menghilang, pergi ke suatu tempat yang tak bisa ia jangkau. Ia tidak senang, tapi setidaknya hatinya tenang. Akhirnya ia bisa menemui teman-temannya, saudaranya...

    “Ayah! Ayah! Ada sesuatu di sini!”

    Ia tersentak. Tidak, bukan ini suara itu. Ini sesuatu yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.

    “Ada apa, Derri?”

    “Aku tidak tahu apa namanya ini, ayah, tapi warnanya hijau dan ia menempel ke tanah.”

    “Astaga, itu pohon! Dan masih hidup. Aku tidak pernah berpikir untuk bisa melihatnya lagi setelah sekian lama.”

    Ia kebingungan. Ia tak mengerti satu pun apa yang mereka katakan. Dan matanya sudah tertutup terlalu lama, ia bahkan lupa bagaimana cara membukanya.

    Ia mulai merasa takut. Apa... apa yang mereka inginkan darinya? Tidakkah merebut semua yang disayanginya, mematahkan hatinya berkali-kali, cukup untuk mereka? Bahkan, tidakkah merebut nyawanya cukup untuk saat ini?

    Ia tidak pernah peduli pada hidupnya. Kematian bahkan mungkin lebih menyenangkan daripada hidup bagaikan mati, seperti saat ini. Tapi sesuatu yang baru ini membuatnya kembali mengingat bagaimana rasanya gugup, cemas, takut.

    Dua pasang tangan meraba-raba tanah tempatnya hidup, lebih mengagetkannya daripada sebelumnya.

    Apa yang hendak kalian lakukan? jeritnya dalam hati. Bunuh saja aku! Bunuh aku dan biarkan aku membusuk dalam pelukan ibuku, tapi jangan sakiti dia! Sakit yang kau timpakan padanya bahkan menyakitiku lebih lagi, berkali-kali lipat.

    Sekuat apapun ia kakinya mencoba bertahan, sekuat apapun tangan-tangannya meronta, ia tahu ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia bahkan tak punya kemampuan untuk menolong saudara-saudaranya, teman-temannya, dirinya sendiri.

    Bagaimana ia bisa berpikir untuk menolong ibunya?

    “Sudah kau dapatkan semua akarnya, Derri?”

    “Ya, Ayah.”

    “Bagus. Ayo, masukkan dia ke dalam tabungnya. Entah sudah berapa lama ia menyerap air dan udara yang tercemar di sini, kuharap kita tidak terlambat.”

    Ia kehilangan semangat, hancur di hatinya semakin lebar. Ia yakin ia tidak akan bisa bertahan lebih lama.

    Tiba-tiba ia merasakan sebuah sinar. Sinar itu menggelitikinya, memaksanya meregangkan otot-otot matanya dan menyerap semua energi yang ada.

    Seraut wajah hangat sedang tersenyum di depannya. Tahulah ia darimana suara-suara tadi berasal.

    “Hai, kata ayahku namamu pohon, meski aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Sudah berapa lama kau sendirian di sini? Apa tinggal di sini menyenangkan? Aku tidak tahu pasti sih ya, tapi kau pasti akan senang ikut bersama kami. Mau kan, kau pergi bersama kami?”

    “Ia tidak bisa bicara, Derri.” Ia menolehkan matanya ke samping, dan sebuah senyuman kembali membuatnya terpana. Tapi senyum itu bukan untuknya, senyum itu untuk seraut wajah di depannya.

    “Tapi ia hidup, Ayah. Ia bukannya tidak bisa bicara, aku percaya kita hanya tak tahu bahasanya.”

    Wajah itu melihat ke arahnya lagi. “Kau mau, kan?”

    Ia tak tahu sama sekali apa yang diinginkan wajah itu, tapi aneh, cukup dengan senyum itu ia sudah merasa hangat. Lebih hangat daripada yang pernah ia rasakan selama hidupnya. Dan entah bagaimana, ia bisa mengerti apa maksudnya. Sekuat tenaga digoyangkan tangannya, untuk pertama kalinya benar-benar berharap wajah itu akan menyadari jawabannya.

    Senyum di wajah itu melebar. “Ayah! Ayah! Daunnya bergerak, Ayah! Itu berarti dia mau!”

    Wajah yang satu lagi masih tersenyum. “Itu pasti hanya angin.”

    “Tidak, Ayah. Tidak pernah ada angin lagi sejak kehancuran di bumi ini, Ayah pasti tahu itu, kan? ia benar-benar meresponsku!”

    “Baiklah, baiklah. Ayo, karena ia sudah setuju, ayo kita pulang, Derri. Mungkin ia masih harus beradaptasi dengan keadaan tanah di Doros yang cukup berbeda, tapi ia akan hidup.”

    Wajah yang berulang kali dipanggil Derri itu masih mengembangkan senyum. “Tentu saja, Live kan kuat, buktinya ia bisa hidup meski hanya sendirian di sini. Ia pasti akan baik-baik saja.”

    “Live?”

    “Ya, namanya. Berarti hidup, dan sebagai pengingat bahwa ia meresponsku lewat daunnya―leaf.”

    Ia tergetar. Nama... ini pertama kalinya ia punya nama. Dan dengan arti yang sedalam itu.

    Di antara detak jantungnya yang berbunyi kencang, ia masih sempat melihat kembali ke lubang tadinya ia berada.

    Ibu.

    “Ayo, Derri. Kita tidak boleh terlalu lama di sini.”

    “Ya, Ayah.”

    Di dalam gendongan Derri, ia berbisik di dalam hati.

    Ibu.

    Maaf, aku harus meninggalkanmu.


    Mereka sudah masuk ke dalam sebuah tabung yang lebih besar daripada tabung miliknya. Tabung itu membungkus mereka semua dan menarik mereka naik, ke udara yang tak pernah lagi bergerak, ke angkasa yang tak pernah lagi tertawa.

    Tidak ada yang bisa menggantikanmu, Ibu, meski aku berada di tempat paling indah sekalipun. Tapi aku ingin ikut bersamanya. Aku ingin mencoba mencari tahu apa namanya rasa hangat ini, dan dari mana ia berasal.

    Seandainya pun kau tidak setuju, yakinlah, Ibu, tidak ada yang bisa kukatakan selain meminta maaf dan berharap bahwa suatu saat kau akan mengerti.
    Bahwa aku pergi karena aku ingin kau bisa merasakannya juga suatu saat. Aku pergi untuk menjemput senyumanmu.

    Haha, sekali lagi maap kalo ancur, nyeheheehe [​IMG]
     
    • Thanks Thanks x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. xiaomao13 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 22, 2008
    Messages:
    2,451
    Trophy Points:
    132
    Ratings:
    +919 / -0
    Ngomongin pohon ya...
    Nice :3

    Saya pikir bakal berlanjut terus, kalimat berima di awal paragraf, tapi ternyata berubah normal.
    Cuma satu yang mengganjal, kenapa setiap dialog selalu ada jarak satu spasi enter?
    Kalo jadi novel nanti ketebelan yang beli yang susah.
    :p
     
  4. yayalovesdaragon Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Feb 11, 2012
    Messages:
    87
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +26 / -1
    tengkyu buat masukannya, hahahaha
    yah, namanya juga baru, kesalahan2nya mohon dimaklumi XD
     
  5. wakbenu Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 5, 2012
    Messages:
    13
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +2 / -0
    antara apa yg dilamunkan oleh ayahnya sih derri ini yg aq tidak mengerti.
    mungkin ts terlalu banyak menulis soal puisi. jadi kata2nya tidak bisa dicerna dalam sekali baca.

    kalo seandainya ini cerpen. jgn terlalu banyak diisi oleh kata2 yg bikin pusing pembaca.
     
    • Thanks Thanks x 1
  6. yayalovesdaragon Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Feb 11, 2012
    Messages:
    87
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +26 / -1
    [​IMG]
    [​IMG]
    Hahahaha [​IMG]
    makasih buat kritiknya^^ utk karya2 yg berikutny bakal aku lebih perhatiin lagi pemilihan kata2nya biar ga terlalu muter2 ya hahahaha [​IMG]
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    OBJECTION!

    menurutku penggunaan kata-kata yang abstrak atau puitis merupakan salah satu aspek yang penting dari penulis cerpen. Banyak juga loh, pembaca yang lebih milih membaca pelan-pelan setiap katanya, mencerna dengan baik setiap istilah-istilah yang dibuat sang penulis.... tapi ya.. mungkin anda tipe pembaca teenlit atau bacaan ringan, jadi memang kurang cocok dengan cerpen seperti ini.

    nggak ada salahnya menggunakan teknik menyusun puisi pada cerpen, hanya saja dibatasi pada batas tertentu... dan batas itu adalah "cerita". Kerangka cerita atau poin-poin cerita yang ada dalam cerpen seharusnya memang ditulis dengan cukup jelas... dan saya rasa dalam cerpen ini sudah cukup jelas.

    catatan: ini sekedar opini pribadi.
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. yvonemelosa Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 26, 2012
    Messages:
    31
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +9 / -0
    menurut aku cerpen ini termaksud bagus kook :ogtop: menggunakan kata puitis, jadi menarik. cuma memang ada beberapa kalimat dan kata-kata yang kurang pas, cuma aku suka konsepnyaaa :omgatot: kalo sering latihan lagi, pasti hasilnya lebih bagus? diperdalam lagi, lebih mendetail lagi mengungkapkan perasaan si pohon, jadi bisa menyentuh pembacaa..semangat ajaa deh :cheers:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.